TASAWUF DI ACEH DALAM ABAD XX: Studi Pemikiran Teungku Haji Abdullah Ujong Rimba (1907-1983)

Drs. Misri A. Muchsin, M.Ag, NIM. 993149 (2003) TASAWUF DI ACEH DALAM ABAD XX: Studi Pemikiran Teungku Haji Abdullah Ujong Rimba (1907-1983). ["eprint_fieldopt_thesis_type_phd" not defined] thesis, Pasca Sarjana.

[img]
Preview
Text (TASAWUF DI ACEH DALAM ABAD XX: Studi Pemikiran Teungku Haji Abdullah Ujong Rimba (1907-1983))
BAB I, VI, DAFTAR PUSTAKA.pdf - Published Version

Download (6MB) | Preview
[img] Text (TASAWUF DI ACEH DALAM ABAD XX: Studi Pemikiran Teungku Haji Abdullah Ujong Rimba (1907-1983))
BAB II, III, IV, V.pdf - Published Version
Restricted to Repository staff only

Download (5MB)

Abstract

Disertasi ini membahas tasawuf di Aceh dalam Abad XX, yang ditelusuri melalui pemikiran Teungku Haji Abdullah Ujung Rimba. Pemilihan ulama ini karena pemikirannya yang tertuang dalam karya-karyanya dianggap representatif untuk mengungkapkan tasawuf di Aceh dalam abad XX. Alasan lain karena sejauh yang dicermati belum ada yang mengkaji pemikirannya secara komprehensif, termasuk mengapa ia mengkritik tasawuf Aceh, terutama yang berkembang dalam abad XX. Kritikan terhadap tasawuf yang dilakukan oleh mantan ketua MPU/Aceh 1962-1982 tersebut karena dalam asumsinya tasawuf yang berkembang disana tidak bersendikan syariat. Berdasarkan latar belakang di atas, yang menjadi pokok permasalahan adalah apa dan bagaimana pemikiran Abdullah Ujong Rimba tentang tasawuf. Mengapa dan bagaimana ia merespon praktek ajaran tasawuf di Aceh. Dalam mengkonstruk, seiring untuk menemukan jawaban permasalahan di atas, penulis memanfaatkan pendekatan dan kerangka teori sejarah, sebagaimana yang dikonstruks oleh Trygve R. Tholpsen. Kerangka teori tersebut meliputi kerangka keragaman (diversty), perubahan (change) dan kesinambungan (continuity) melalui dimensi waktu. Pendekatan lain adalah pendekatan tasawuf yang ditawarkan leh Omid Safi dan pendekatan serta kerangka teori sosiologi agama, sebagaimana yang dipersiapkan oleh Martin van Bruinessen. Ahli terakhir berargumentasi bahwa untuk mengkaji aliran atau sekte tasawuf, khususnya di Indonesia perlu dibedakan antara ortodoks (mainstreim Islam) dengan sempalan (heterodoks). Adapun metode penelitian yang dipergunakan adalah metode sejarah analisis kritis; dan hermeneutika serta content analysis dalam mengungkapkan makna-makna yang tersimpul dalam karya-karya Abdullah Ujong Rimba. Temuan penelitian menunjukkan bahwa tasawuf di Aceh dalam abad XX memiliki akarnya pada dan kontinuitas dari tasawuf abad XVI-XVII, yaitu ajaran Wahdat al-Wujud. Selain ada pula ajaran Salik Buta, yang merupakan modifikasi dari yang pertama. Kedua jenis ajaran tasawuf ini menjadi objek kritikan. Abdullahj Ujong Rimba, karena diasumsikan tidak berlandaskan pada syari’at dan keduanya di kategorikan dalam tasawuf sufiyah. Kritik terhadap Wahdat al-Wujud antara lain dalam hal formulasi ilmu ma’rifat, pahan penyatuan Allah dengan makhluk-alam(panteisme) yang disebutnya lebih dekat dengan paham komunisme; dan dalam hal “cerita-cerita bohong“ mereka seperti cerita Kursi, ‘Arasy, dan Louh al-Mahfuz. Adapun kritik terhadap Salik Buta adalah terhadap asal usul ajaran yang diperoleh, menurut Abdullah Ujong Rimba dari dan melalui kitab warisan kaum wujudiy secara tanpa guru dan dengan pemahaman mereka sendiri; i’tiqadnya yang menyatukan antara Khaliq dan mahluk; pemahaman huruf secara simbolik; tentang sya’ir dan Martabat Tujuh; serta kritik terhadap konsepsi mereka tentang hubungan tasawuf dengan syari’at yang dianggapnya tidak saling melengkapi antara satu dengan lain. Dari kritikan-kritikan tersebut menunjukkan kekeliruan Abdullah Ujong Rimba, sebab cerita-cerita seperti itu telah ma’ruf di kalangan dan dalam studi tasawuf. Realitas di atas sekaligus dipertanyakan kredibilitas Abullah Ujong Rimba sebagai sufi falsafi, ketimbang sebagai sufi ‘Amali/Akhlaqi, Teungku (Kiyai) dan pembaru local Aceh. Abdullah Ujong Rimba membedakan antara tasawuf yang berlandaskan syari’at dan disebutnya dengan tasawuf Nabawiyah dan Salafiyah, dengan tasawuf sufiyah yang tidak melandaskan diri sepenuhnya pada syari’at. Aliran kedua sebagai aliran sempalan (heterodoks), yang menganggap syari’at tidak perlu, karena mereka dapat menerima dan menanyakan langsung sesuatu hal kepada Nabi Muhammad dan jika perlu kepada Allalh, serta mereka memperoleh jawaban langsung melalui mimpi ketika kasvaf. Mereka menganggap lebih tinggi mutu ajaran yang mereka perjuangkan-dakwahkan dibandingkan dengan apa yang dipegang olehkaum syari’at (zahiriy). Dari anggapan ahli tasawuf terakhir, Abdullah Ujong Rimba mensimpulkan aktivitas mereka dengan bid’ah, tahayul dan khurafat. Dari hal-hal demikian menjadi dalih baginya untuk memvonis mereka dengan kafir, sesat-menyesatkan, tolol dan dajjal. Kesimpulan demikian kelihatan lebih disebakan karena ia melihat dari perspektif teologis dan mengedepankan syari’at. Kalaupun ia melihat dari perspektif tasawuf, hanya dari perspektif tasawuf ‘Amali-Akhlaqi, padahal ajaran tasawuf yang diamalkan di Aceh sampai abad XX pada umumunya ajaran tasawuf falsafi. Ajaran tasawuf yang berlandaskan syari’at menurut Abdullah Ujong Rimba membawa pengamalannya inklusif, dengan ikut terlibat dalam proses dinamika umat, buka eksklusif yang mengalienasi diri dari pergumulan kehidupan di dunia yang dinamis dan selalu berubah. Kritikan Abdullah Ujong Rimba terhadap tasawuf di Aceh, selain di ranah kelahirannya (Pidie), tidak membawa implikasi positif. Di Konsentrasi Labuhan Haji, Aceh Selatan dan di Kulu-Peulukung, Seunangan Raya Kenyatannya ahli tasawuf lebih serius dan berani mengembangkan misi mereka hinga pasca Abdullah Ujong Rimba meninggal dunia 11 Maret 1983. Ditinjau dari formulasi ajaran, baik aturan, adab dan sesuatu yang disyaratkan dalam tarekat Naqsyabandiyah di Labuhan Haji, tidak mengesampingkan syari’at secara total. Dengan demikian ajaran tasawuf yang dipraktikkan tidak dapat digolongkan heterodoks sedara total. Dengan ditemukan praktik tasawuf, riadah, rabitah dan ajan menghilangkan nafsu, tidak dapat pula dengan langsung digolongkan sebagai ortodoks atau mainstream Islam sebagimana kategorisasi yang dibuat oleh Martin Van Bruinessen, sebab mereka bukan pula satu aliran yang dianut dan dilegalkan secara politis oleh penguas dan sufisme ortodoks, tetapi oleh mayoritas ulama Kaum Tua dan masyaratkat Aceh. Oleh karennya, menurut hemat penulis, Naqsyabandiyah berada di antara kesuanya dan disebut sebagai “Varian antara”. Dari beberapa hal yang menjadi kesimpulan pembahasan, maka sebagai kontribusi, pertama, dpat mempersembahkan satu episode sejarah sosial dan keagamaan Aceh, terutama bidang tasawuf dalam abad XX. Kedua, dengan pengungkapan pemikiran Abdullah Ujong Rimba, yang berbentuk neo-sufisme atau sufisme ortodoks, serta adanya “Varian Antara” yang penulis tawarkan, dapat memperluas wawasan teoretik dalam studi tasawuf. Ketiga, dalam tinjauan teoritik, kategorisasi ortodok dan heterodoks dari Martin Van Bruinessen, kiranya dapat selektif bagi peneliti selanjutnya dalam memanfaatkannya, sebab realitas di lapangan tidak menunjukkan demikian.

Item Type: Thesis (["eprint_fieldopt_thesis_type_phd" not defined])
Uncontrolled Keywords: Kata kunci : Tasawuf, Pemikiran Teungku Haji Abdullah Ujong Rimba
Subjects: Ilmu Agama Islam
Divisions: Pascasarjana > Disertasi > Study Islam
Depositing User: Edi Prasetya [edi_hoki]
Date Deposited: 28 Oct 2014 12:03
Last Modified: 07 Apr 2015 09:11
URI: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/14306

Share this knowledge with your friends :

Actions (login required)

View Item View Item
Chat Kak Imum