DRS.H.M. AMIN SYUKUR, MA, NIM. 88110 / S3 (1996) APLIKASI ZUHUD DALAM SOROTAN AL QUR'AN. ["eprint_fieldopt_thesis_type_phd" not defined] thesis, PASCA SARJANA UIN SUNAN KALIJAGA.
|
Text (APLIKASI ZUHUD DALAM SOROTAN AL QUR'AN)
BAB I, VI, DAFTAR PUSTAKA.pdf - Published Version Download (2MB) | Preview |
|
Text (APLIKASI ZUHUD DALAM SOROTAN AL QUR'AN)
BAB II, III, IV, V.pdf - Published Version Restricted to Repository staff only Download (11MB) |
Abstract
Tasawuf merupakan salah satu aspek (esoteris) Islam, sebagai perwujudan dari ihsan, yang berarti kesadaran adanya komunikasi dan dialog langsung seseorang hamba dengan Tuhannya. Dalam dunia tasawuf, seseorang yang ingin bertemu dengan-Nya, harus melakukan perjalanan (suluk) dan menghilangkan sesuatu yang menghalangi antara dirinya dengan Tuhannya, yaitu dunia materi. Dalam tasawuf sikap ini disebut Zuhud. Zuhud dalam tasawuf menempati posisi sebagai maqam. Dalm posisi ini ia berarti hilangnya kehendak, kecuali berkehendak untuk bertemu dengan Tuhan. Dunia dianggap penghalang (hijab) bertemunya dengan Tuhan dan oleh karena itu ia dianggap sesuatu yang berlawanan arah (dikotomi) dengan-Nya. Dalam kaitan ini zuhud itu bersifat doctrinal dan ahistoris. Zuhud yang dilakukan oleh Hasan al-Basri (110 H./728 M.), Rabi’ah al’Adawiyyah (185 H./801 M.), Ibrahim ibn Adham (161 H./777 M.), al-Ghazali (505 H./1111 M.), Abd al-Qadir al-Jailani (561 H./1165 M.),Ibn ‘Atha ‘Illah al-Sakandari (707 H./1307 M.), dan al-Haddad (1132 H./1719 M.) pada saat tertentu bisa diartikan sebagai maqam, bahwa seseorang tidak boleh merancang masa depannya, dan harus menjauhi dunia, sebab dunia bisa menutupi hati (hijab). Inti zuhud ialah kesadaran jiwa akan rendahnya nilai dunia. Ia bagaikan bangkai. Seseorang boleh memilikinya sekedar untuk mencapai kebaikan dan untuk beribadah kepada Allah Swt. Namun disisi lain terdapat fenomena yang lain pula bahwa zuhud secara umum bisa diartikan sebagai moral (akhlak) Islam, yaitu sikap yang harus dimiliki oleh seluruh umat Islam dalam menghadapi dunia materi ini, yaitu sikap tidak tertarik (‘adam al-ragbah) dan sikap tidak memiliki sesuatu. Di sini dunia dianggap sebagai pangkal kejelekan, fitnah, dan kejahatan. Nabi saw. Pernah bersabda: “zuhudlah terhadap apa yang ada di dunia, niscaya engkau akan dicintai Allah swt… dan zuhud pulalah terhadap apa yang ada di tangan manusia niscaya mereka mencintaimu” (HR. Ibn Majah). Wujud zuhud ini ialah kehidupan yang sederhana, wajar, integrative, inklusif, dan aktif dalam berbagai kehidupan di dunia ini, sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Beserta sahabat-sahabatnya. Dalam konteks sejarah Islam, zuhud dalam pengertian kedua pernah menjadi gerakan protes social. Dalam posisi ini rumusannya bisa berbeda-beda sesuai dengan konteks sosialnya. Di sini zuhud itu historis dan sosiologis. Konsep dan praktek zuhud yang dilakukan oleh Hasan al-Basri (110 H./728 M.), dan sebagainya tersebut secara sosiologis bisa berarti suatu gerakan protes ketimpangan social pada setiap masanya. Abad XIX dan XX yang dikenal zaman modern, kondisi dan situasi berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Setelah dilihat dan disadari kondisi, posisi umat Islam, dan peran yang harus dimainkan umat Islam pada masa ini, baik secara individual maupun secara kolektif, maka rumusan zuhud akan berbeda dengan rumusan sebelumnya. Iqbal (1920 H./1873 M.) misalnya, berpandangan bahwa dunia adalah sesuatu yang haq. Manusia sebagai khalifah Allah, “teman sekerja” (“co worker”) Tuhan harus aktif membangun “kerajaan di dunia”, karena Tuhan belum selesai menciptakan alam ini. Manusialah yang harus menyelesaikannya. Dan sejalan dengan pemikiran tersebut, Seyyed Hossein Nasr menandaskan agar seseorang mempunyai keseimbangan antara ilmu dan amal, antar kontemplasi dan aksi, dan jangan sampai menjadi biarawan. Fazlur Rahman (1338 H./1919 M.), seorang ulama yang hidup di penghujung abad XX mempunyai pandangan yang sangat positif terhadap dunia. Dia menolak pandangan negative dan menjauhkan diri dari dunia, manusia harus aktif dan berfikir positif terhadapnya. Dia mencita-citakan Neo Sufisme, yaitu sufisme yang cenderung menumbuhkan aktivisme. HAMKA (1326 H./1908 M.) sebagai ulama Indonesia mempunyai pandangan yang positif pula terhadap dunia, dan zuhud merupakan sikap jiwa yang tidak ingin dan tidak demam terhadap harta, serta tidak terikat oleh materi. Harta boleh dimiliki tetapi diperuntukkan pada hal-hal yang bermanfaat. Dia menyatakan bahwa manusia harus menciptakan keseimbangan antara kebutuhan jasmani dan rohani, antara materi dan non materi. Dan lebih dari itu mereka harus aktif diatas dunia ini. Perilaku dan pemikiran ulama tersebut perlu dikaji secara Qur’ani. Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam, yang isinya telah diwujudkan dalam perilaku Nabi Muhammad saw. Khususnya mengenai zuhud, beliau telah member uswah (suri teladan) kepada umatnya untuk hidup integrative dalam segala aspek kehidupan, dan aktif di tengah-tengah masyarakat. Secara eksplisit kata zuhud hanya disebut sekali dalam al-Qur’an (Yusuf:20), namun sikap zuhud banyak disebut dalam berbagai ayat al-Qur’an. Secara keseluruhan ayat-ayat yang berkaitan dengan sikap manusia terhadap dunia diklasifikasikan menjadi dua: 1. Ayat-ayat yang menganggap negative terhadap duia, dan menganjurkan agar manusia mengisolasikan diri dari padanya. Model ayat seperti ini menyoroti sikap manusia pada umumnya, dan orang-orang kafir pada khususnya yang hanya mencari kesenangan di dunia ini saja, dan mengharapkan kekekalan hidup didalamnya. 2. Ayat-ayat yang menyatakan bahwa dunia diciptakan oleh Allah Swt. Bukan hanya sekedar sambil lalu (la’ibun), tetapi mempunyai makna, hikmah, dan tujuan yang jelas dan positif (haq). Oleh karena itu seorang mu’min tidak dilarang menikmatinya secara wajar dan proporsional, ia bukan sesuatu yang dapat mengalahkan akhirat dan melupakan Allah Swt. Dengan landasan ayat ini, setiap orang Islam dilarang mengisolasikan diri dari kehidupan ini, dan eksklusif terhadapnya. Sebaliknya mereka wajib bekerja keras, mencari bekal hidup di dunia, dan hasilnya diperuntukkan bagi kebaikan. Dunia ini tempat berkiprah dengan amal salih, yang hasilnya akan dipetik kelak di akhirat. Kiprah mereka di atas dunia ini sejalan dengan fungsi kekhalifahannya yang mempunyai tugas untuk memakmurkan, menegakkan kebenaran dan keadilan, motivator dan dinamisator pembangunan. Sikap manusia terhadap dunia sebagaimana yang telah diharapkan dan dituntun oleh al-Qur’an itu, mempunyai nilai sangat positif dan merupakan senjata yang ampuh bagi manusia dalam menghadapi kehidupan, khususnya di bad modern ini yang sarat dengan problema, baik psikis, ekonomis, dan etis. Zuhud dapat dijadikan sebagai benteng membangun diri dari dalam untuk menghadapigemerlapnya materi. Kata Kunci: Zuhud
Item Type: | Thesis (["eprint_fieldopt_thesis_type_phd" not defined]) |
---|---|
Uncontrolled Keywords: | Kata Kunci: Zuhud |
Subjects: | Ilmu Agama Islam |
Divisions: | Pascasarjana > Disertasi > Ilmu Agama Islam |
Depositing User: | Edi Prasetya [edi_hoki] |
Date Deposited: | 12 Nov 2014 08:21 |
Last Modified: | 07 Apr 2015 11:06 |
URI: | http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/14488 |
Share this knowledge with your friends :
Actions (login required)
View Item |