INTEGRASI SISTEM PANGNGADERRENG (ADAT) DENGAN SISTEM SYARIAT ISLAM SEBAGAI PANDANGAN HIDUP ORANG BUGIS DALAM LONTARAK LATOA

H. ANDI RASDIYANAH, NIM. 833018 (1995) INTEGRASI SISTEM PANGNGADERRENG (ADAT) DENGAN SISTEM SYARIAT ISLAM SEBAGAI PANDANGAN HIDUP ORANG BUGIS DALAM LONTARAK LATOA. ["eprint_fieldopt_thesis_type_phd" not defined] thesis, UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA.

[img]
Preview
Text (INTEGRASI SISTEM PANGNGADERRENG (ADAT) DENGAN SISTEM SYARIAT ISLAM SEBAGAI PANDANGAN HIDUP ORANG BUGIS DALAM LONTARAK LATOA)
BAB I, VI, DAFTAR PUSTAKA.pdf

Download (4MB) | Preview
[img] Text (INTEGRASI SISTEM PANGNGADERRENG (ADAT) DENGAN SISTEM SYARIAT ISLAM SEBAGAI PANDANGAN HIDUP ORANG BUGIS DALAM LONTARAK LATOA)
BAB II, III, IV, V.pdf
Restricted to Registered users only

Download (18MB)

Abstract

Penelitian ini difokuskan pada (1) hubungan hukum adat dengan hukum Islam dalam pola integrasi system Pangngaderreng dengan system syariat Islam yang kemuadian berintegrasi dengan hukum Nasional. (2) Perbendaharaan Syariat Islam dengan system buadaya dan system sosial., serta kemampuannya dalam memberikan pengarahan hidup, nilai agama, sosial dan budaya kepada orang Bugis. (3) Peranan system Pangngaderreng yang ditunjang dengan unsur sirik dalam Lontarak Latoa terhadap pelaksanaan syariat Islam bagi masyrakat Bugis di Tana Bone pada periode Lontarak, dan kesinambunga implikasinya pada masyarakat Bugis di Kabupaten Bone pasca Lontarak , serta terwujudnya sumbangan bagi pegembangan hukum Islam dalam kerangka pembinaan hukum Nasional. Alasan untuk mengangkat Latoa menjadi objek utama sebagai Lontarak yang berisi Pangngaderren, karena (1) Latoa mengandung system Pangngaderrengsecara lengkap yang ditulis dalam bahasa Bugis, yang mengalami penulisan ulang setelah masuknya Islam, serta lebih banyak mengandung konsep Syariat Islam. (2) tokoh-tokoh nara sumber adalah tokoh Bugis abad XV dan XVI (kecuali Nabi Muhammad SAW, dan Lukman Al-Hakiem), mejelang diterimanya Islam sebagai agama resmi kerajaan. Adapun penetapan Bone sebagai objek, didasarkan atas pertimbangan bahwa (1) Kerajaan Bone merupakaan kerajaan Bugis yang paling besar dan terkenal pada periode Latoa, yang meskipun terlambat masuk Islam (1611), namun kemantapan Islam tidak kurang bobotnya disbanding dengan kerajaan lainnya. (2) perbedaan anatara kelompok elit dengan warga masyarakat lainnya dewasa ini, masih cukup jelas, sehingga agak mudah mengamati pengaruh Pangngaderreng bagi setiap strata sosial yang ada. Pengumpulan data dilakukan dengan studi naskah kepustakaan, dokumentasi, wawancara dan observasi. Sumber utamanya dalah Lontarak Latoa yang telah ditransliterasi dan diterjemahkan oleh matullada (disertasi 1975) dari Latoa yang termuat dalam Bchr julid II halaman 1 sampai dengan halaman 180 yang diterbitkan oleh Mattes (1872) yang dilasin dalam Latoa tulisan tangan (hs) pemberian Arung Pancana Collik Puji’e yang disalin khusus dengan indahnya untuk Matthes. Studi naskah yang dilakukan adalah penempatan Latoa sebagai sumber data substansial sambil bekerja diatas hasil telaah naskah cetakan yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, dengan analisis pemaknaan teks yang telah mengungkapkan nilai-nilai budaya Islam sebagai alernatif pengembangan kebudayaan. Studi naskah selanjutnya adalah Lontarak Sukkukna Sajo (LSW) tulisan Andi Makkaraka Arung Bettengpola, Wajo yang ditranskripsi dan ditransliterasi oleh Andi Zainal Abidin Farid (disertasi 1975), system syariat Islam, profil orang Bugis dalam Latoa, peraturan-peraturan hukum nasional serta masyarakat Bugis di Bone sepanjang yang berkaitan dengan pelaksanaan syariat Islam dalam bidang akidah syariat dan akhlaq. Penelitian bertujuan mengetahui berbagai pola piker yang berintegrasi dalam system Pangngaderreng, meliputi pola pikir Pancasila, adat dan Islam menurut Latoa. Disamping itu menonjolkan peranan konsep sarak dan unsur-unsur Pangngaderreng lainnya yang telah dipengaruhi oleh Islam dalam membentuk pandangan, sikap dan tingkah laku orang-orag Bugis dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dan beragama, sebagai pembenaran anggapan bahwa orang Bugis identik dengan Islam. Kegunaan penelitian diharapkan kiranya dapat dipertimbangkan sebagai sumber informasi ilmiah yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan khazanah daerah dan penelitian agama. Diharapkan pula untuk dapat menciptakan system penghargaan kepada karya-karya ilmiah yang dapat memperinggi martabat suku bangsa, bangsa Indonesia dan Umat Islam. Bagi IAIN dan Departemen Agama sendiri diharapkan dapat mempergunakan sebagai bahan pengembangan dan pembinaan hukum Islam di Indonesia dalam kerangka pembinaan hukum Nasional. Pembahasan syariat Islam dalam hubungannya dengan masyarakat Bugis Bone, didekati dari sudut system agaa, dengan melibatkan pendekatan budaya untuk mencari unsur-unsur syariat Islam yang terdapat dalam Pangngaderreng serta faktor-faktor yang memperngaruhi perkembangan dan penerapannya. Pendekatan sosial dilakukan juga dengan mempelajari peranan-peranan tertentu yang tertuang dalam sumber-sumber Pangngaderreng sebagai salah satu system yang berlaku pada masyarakat Bugis Bone. Secara integralistik berlaku pengaruh Islam dalam berbagai aspek kehidupan orang Bugis secara berkesinambungan. Setelah dilakukan penelitian dan pembahasan melalui proses yang telah dikemukakan, maka ditemukanlah hal-hal sebagai berikut. II Pangngaderreng sebagai system budaya dan system sosial, adalah petuah raja-raja dan orang bijaksana di Tana Bone pada abad ke 16/17 yang berisi bahan-bahan tertulis yang terdapat pada Lontarak Latoa yang melukiskan pandangan hidu orang Bugis, yang meliputi norma-norma keagamaan, sosial, buadaya, kenegaraan, hukum dan sebagainya., terdiri atas unsur adek (dalam arti sempit), rapang (yurisprudensi), bicara (peradilan), warik (pelapisan sosial) sebagai unsur aslinya setelah memperoleh tambahan dengan unsur sarak (syariat Islam) sebagai dampak Islamisasi, menjadikan lima unsur yang berintegrasi menjadi satu system nilai yang pada gilirannya berintegrasi dengan system hukum Nasional. Islam diterima sebagai agama resmi kerajaan Bone (1611 M), telah berhasil menanamkan nilai-nilai dalam masyarakat sehingga tertuang Latoa tidak menangkap ajaran Islam secara harfiah melainkan secara maknawii dari para penyiar Islam, sehingga dalam Latoa tidak terdapat nash-nash Al-Qur’an dan hadis serta pendapat ulama secara eksplisit. Namun, nilai-nilai Islam telah diserap dan diintegrasikan dengan ajaran-ajaran adat dalam Latoa. Integrasi terjadi dalam dua bentuk, Substansial dan struktural. Integrasi Substansial terjadi dalam dua bentuk pula yaitu (1) integrasi yang bersifat asimilas berupa pembauran beberapa aspek Pangngaderreng dengan Syariat Islam, yang sulit dipisahkan. (2) Integrasi yang bersifat adaptasi antara ajaran Syariat Islam dengan beberapa ajaran Pangngaderreng. Adapun wujud integrasi Struktural dalah pencantuman sarak sebagai salah satu aspek Pangngaderreng dengan ditetapkan aparat sarak (Qadhi dan sebagainya) sebagai aparat kerajaan. Integrasi aspek-aspek syariat Islam dengan aspek-aspek Pangngaderreng dalam Latoa, terlihat dalam berbagai ungkapan dan pernyataannya. Akidah ketauhidan sebagai salah satu aspek syariat Islam (dalam pengertian umum) terlihat dalam Latoa. Lontarak yang ditulis sebelum Islam seperti I La Galigo, belum menyebutkan Allah sebagai Tuhan tetapi dengan nama Datu Palanroe, Aji Patotoe dan La Puangnge. Lontarak Sukkukna Wajo menyebut Tuhan Dewata Seuwae (Tuhan Yang Esa). Karen pengaruh Islam Latoa, suah menyebutkan Tuhan dengan Allah Ta’alla dalam lebih banyak dibandingkan nama dewata. Ajaran keesaan Tuhan dalam Latoa lebih jelas disbanding dengan I La Galigo. Allah menurut Latoa ditempatkan sebagai zat yang transenden. Kepadanya manusia menyerahkan rahat dan sebagainya. Ajaran-ajaran akhlaq juga terdapat dalam sejumlah alinea Latoa, telah berintegrasi dengan ajaran Islam. Misalnya ajaran pensucian diri, keikhlasan beramal, berbuat adil, hubungan baik dengan sesame, kepatuhan kepada raja sepanjang raja patuh kepada adat dan sebagainya. Pangngaderreng yang berkaitan dengan kenegaraan telah terintegrasi dengan aspek Fikih Siyasah dalam syariat Islam yang tidak menentukan bentuk negara, tetapi hanya menetapkan prinsip-prinsip hidup kenegaraan yakni: prinsip-prinsip ketuhanan, Syura (musyawarah), keadilan, kemaslahatan dan kemakmuran rakyat. Dalam Latoa, corak negara bersifat monarchi, tetapi bukan monarchi absolut. Raja tidak dipilih tetapi di angkat berdasarkan keturunan. Namun tidak berarti raja dapat berbuat sekehendaknya. Kekuasaan raja dibatasi oleh aturan-aturan adat. Sepanjang raja patuh pada Pangngaderreng, maka rakyat wajib mematuhinya. Raja dipecat bila ia menyimpang. Kerajaan mempunyailembaga adat tempat bermusyawarah untuk merumuskan berbagai kebijakan yang akan dilaksanakan oleh kerajaan, yang disebut baruga. Pangngaderreng yang bersangkut paut dengan bicara (peradilan) terintegrasi dengan aspek qadha dengan hukum Islam. Latoa menggariskan sejumlah norma bagi hakim dalam memutuskan perkara, tidak dilakukan dalam keadaan marah atau terlalu girang, larangan menerima sogokan, tidak pilih kasih, perlu saksi dan sumpah bagi terdakwa, semuanya itu telah digariskan juga oleh syariat Islam. Dalam aspek warik, Latoa menetapkan pelapisan sosial terdiri Anakarung (bangsawan), To Maradeka (orang merdeka, orang kebanyakan) dan Ata (hamba sahaya. Baik Pangngaderreng maupun syariat Islam sama-sama menghargai dan memberi hak-hak tertentu kepada budak yang tidak boleh dilanggar. Budak harus diperlakukan secara adil dan manusiawi, bahkan raja bisa dihukum karana mengabaikan hak para budak. Integrasi Substansial ini bersifat asimilasi. Pangngaderreng yang bersifatputusan hukum mempunyai beberapa kesamaan dengan putusan hukum dera, hukum bunuh, diusir dari negeri, disita dan sebagainya. Dalam beberapa hal terdapat perbedaan, antara lain: perbuatan zina dihukum bunuh. Dalam Islam perzinaan ghairu muhshan didera dan pezina muhshan dihukum rajam. Hukum tentang pelanggaran terhadap raja dan kerajaan terinci dalam Latoa, dalam syariat Islam tidak terinci. Beberapa persamaan seperi qishosh, pelaku makar dibunuh atau diusir dari negeri.Integrasi dalam kedua hal ini bersifat adaptasi. Pangngaderreng sebagi hukum adat, merupakan wujud kebudayan orang Bugis khususnya Bone di masa lampau. Disamping itu Pangngaderreng juga bernilai keagamaa dalam dimensi ketuhananan, pribadi dan sosial kemasyarakatan yang terabstraksi dalam konsep siri sebagai konsekwensi batin dala prose aktualisasinya menjadi kaidah untuk koreksu sosial. Pangngaderreng juga mengalami tantangan dan erubahan dalam perjalanan sejarahnya, walaupun mengalami tantangan sesuai cirinya yang dinamis dan terbuka. Namun ia juga berpeluang untuk tetap lestari dalam prospek masa depannya, karena adanya upaya pembinaan kehidupan keagamaan, adanya upaya pemerintah mengembangkan kebudayaan bangsa dengan pendekatan integralistik antara penumbuhan kemampuan mengembangkan nilai-nilai buadaya daerah yang luhur dan beradab dengan penerapan nilai budaya asing yang positif dalam rangka pengayaan budaya Nasional. Di alam kemerdekaan hukum adat juga tetap lestari dan dipandang sebagai salah stu sumber bagi pembinaan hukum nasional. Pangngaderreng secara assensial lebih terjamin lagi kelestariannya dalam kebijaksanaan orde baru untuk melestarikan nilai-nilai Pancasila. Nilai-nilai Pangngaderreng secara implisit terkandung dalam sila pancasila. Pemikiran ini menghendaki solusi berupa langkah-langkah positif untuk optimalisasi pencapaian prospek masa depan.

Item Type: Thesis (["eprint_fieldopt_thesis_type_phd" not defined])
Additional Information: Kata kunci: Pangngaderreng, Hukum Adat, Hukum Islam
Subjects: Ilmu Agama Islam
Divisions: Pascasarjana > Disertasi > Ilmu Agama Islam
Depositing User: Miftahul Ulum [IT Staff]
Date Deposited: 17 Nov 2014 15:04
Last Modified: 07 Apr 2015 10:35
URI: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/14559

Share this knowledge with your friends :

Actions (login required)

View Item View Item
Chat Kak Imum