GERAKAN DAKWAH DAN PENDIDIKAN JAM’IYYAH NAHDLATUL ULAMA DI PULAU JAWA (PERIODE MUKTAMAR NU KE-27 DI SITUBONDO 1984 SAMPAI DENGAN MUKTAMAR KE-28 DI KRAPYAK YOGYAKARTA 1990)

H. IMAM CHUSENO , NIM. 96301/DBT (2003) GERAKAN DAKWAH DAN PENDIDIKAN JAM’IYYAH NAHDLATUL ULAMA DI PULAU JAWA (PERIODE MUKTAMAR NU KE-27 DI SITUBONDO 1984 SAMPAI DENGAN MUKTAMAR KE-28 DI KRAPYAK YOGYAKARTA 1990). ["eprint_fieldopt_thesis_type_phd" not defined] thesis, UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA.

[img]
Preview
Text (GERAKAN DAKWAH DAN PENDIDIKAN JAM’IYYAH NAHDLATUL ULAMA DI PULAU JAWA (PERIODE MUKTAMAR NU KE-27 DI SITUBONDO 1984 SAMPAI DENGAN MUKTAMAR KE-28 DI KRAPYAK YOGYAKARTA 1990))
BAB I, V, DAFTAR PUSTAKA.pdf

Download (7MB) | Preview
[img] Text (GERAKAN DAKWAH DAN PENDIDIKAN JAM’IYYAH NAHDLATUL ULAMA DI PULAU JAWA (PERIODE MUKTAMAR NU KE-27 DI SITUBONDO 1984 SAMPAI DENGAN MUKTAMAR KE-28 DI KRAPYAK YOGYAKARTA 1990))
BAB II, III, IV, V, VI.pdf
Restricted to Registered users only

Download (8MB)
[img] Other (Thumbnails conversion from text to thumbnail_lightbox)
lightbox.jpg

Download (0B)
[img] Other (Thumbnails conversion from text to thumbnail_preview)
preview.jpg

Download (0B)
[img] Other (Thumbnails conversion from text to thumbnail_medium)
medium.jpg

Download (0B)
[img] Other (Thumbnails conversion from text to thumbnail_small)
small.jpg

Download (0B)
[img] Other (Thumbnails conversion from text to thumbnail_lightbox)
lightbox.jpg
Restricted to Registered users only

Download (0B)
[img] Other (Thumbnails conversion from text to thumbnail_preview)
preview.jpg
Restricted to Registered users only

Download (0B)
[img] Other (Thumbnails conversion from text to thumbnail_medium)
medium.jpg
Restricted to Registered users only

Download (0B)
[img] Other (Thumbnails conversion from text to thumbnail_small)
small.jpg
Restricted to Registered users only

Download (0B)
[img] Other (Thumbnails conversion from text to thumbnail_lightbox)
lightbox.jpg

Download (0B)
[img] Other (Thumbnails conversion from text to thumbnail_preview)
preview.jpg

Download (0B)
[img] Other (Thumbnails conversion from text to thumbnail_medium)
medium.jpg

Download (0B)
[img] Other (Thumbnails conversion from text to thumbnail_small)
small.jpg

Download (0B)
[img] Other (Thumbnails conversion from text to thumbnail_lightbox)
lightbox.jpg
Restricted to Registered users only

Download (0B)
[img] Other (Thumbnails conversion from text to thumbnail_preview)
preview.jpg
Restricted to Registered users only

Download (0B)
[img] Other (Thumbnails conversion from text to thumbnail_medium)
medium.jpg
Restricted to Registered users only

Download (0B)
[img] Other (Thumbnails conversion from text to thumbnail_small)
small.jpg
Restricted to Registered users only

Download (0B)

Abstract

Penelitian ini mengungkap gerak dakwah dan pendidikan Jami’iyyah Nahdlatul Ulama di Pulau Jawa pasca Muktamar NU ke-27 di Situbondo (1984) dan ke-28 di Krapyak Yogyakarta (1990 dalam rentang waktu 10 tahun. Penelitian ini menggunakan pendekatan historis (metode dokumenter) dan analisis isi (content analysis). Pendekatan historis dipergunakan untuk membuat rekonstruksi masa lampau secara sistematis dan obyektif dengan cara mengumpulkan, mengevaluasi, memprofikasi serta mensintesiskan bukti-bukti untuk menegakkan fakta, sehingga diperoleh kesimpulan yang kuat. Dengan metode historis diharapkan juga terungkap secara kronologis fase-fase hubungan antara generasi pendiri dan penerus organisasi NU. Pendekatan (metode) content analisis secara kualitatif dengan mengumpulkan berbagai data dan kategori yang muncul, kemudian diperbandingkan (comparative). Dengan metode ini peneliti berupaya seoptimal mungkin untuk menganalisis seluruh data yang terhimpun baik dari sumber primer yang berasal dari jajaran pengurus NU dan tokoh-tokoh organisasi terkait maupun sumber sekunder, berupa dokumen, AD-ART, keputusan-keputusan Muktamar/Raker, artikel-artikel terkait dan hasil-hasil penelitian yang mendahuluinya. Berkaitan dengan penelitian di atas, karya tulis ini hendak menunjukkan kepada khalayak bahwa arah gerakan NU setelah kembali ke kittah 1926, khususnya di saat berada di bawah kepemimpinan K.H. Ahmad Siddiq dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bukanlah suatu gerakan keagamaan semata, tetapi berciri gerakan transformatorik, yang di satu sisi hendak mencairkan kebekuan kultur, visi, misi dan orientasi intern NU, di sisi lain berupaya membangun kesadaran rakyat, khususnya warga nahdliyyin sendiri yang sudah sejak lama dihinggapi sikap ketergantungan kepada pihak ekstern, khususnya pada pihak penguasa , yang mengakibatkan peran civil society (dalam arti kontrol sosial) NU mandeg, dan NU sulit untuk bangkit serta bebas dari intervensi negara. Perubahan pola gerakan itu terjadi sebagai akibat tarik menariknya kondisi internal NU dengan persoalan eksternal yang berupa kekuasaan negara (Orba) yang berciri otoriter dan intervensionis. Untuk mencapai hasil optimal, NU terus berusaha meningkatkan SDM warganya, baik melalui kegiatan dakwah maupun pendidikan atau kegiatan lokakarya, seminar, pelatihan-pelatihan dan lain-lain. Sejarah perjalanan Nahdlatul Ulama (NU) hingga decade 1980-an dapat dibedakan ke dalam tiga fase, dengan ciri-ciri yang berbeda. Pertama, fase sebelum kemerdekaan yang menitikberatkan kepada aktifitas keagamaan yang berciri Ahl al-Sunnah wal al-Jama’ah (Aswaja) yang ditandai lahirnya Taswirul Afkar (lembaga pemikiran, penalaran atau diskusi), Nahdlatut Tujjar (bergerak dalam bidang perdagangan), Nahdlatul Watan (bergerak dalam bidang kepemudaan). Pada fase pertama doktrin mazhab empat dijadikan rujukan dan koridor semua gerakan, dengan para ulama atau kiai pondok pesantren yang berperan sebagai penggerak, pengendali atau narasumber. Pada saat itu pondok pesantren selain berperan sebagai penyangga utamaeksistensi NU, sekaligus sebagai tempat pendidikan dan pembinaan kader pimpinan NU, terutama untuk menduduki posisi Syuriyyah. Fase kedua, berkaitan dengan situasi politik menjelang dan awal kemerdekaan, sebagai dampak dari diakomodasinya kekuatan-kekuatan politik yang tumbuh dalam masyarakat. Pada fase kedua ini NU mulai melibatkan diri dalam kegiatan politik praktis. Untuk menyalurkan aspirasi politiknya, pada awalnya tokoh-tokoh NU bergabung dengan Partai Masyumi (Majlis Syura Muslimin Indonesia) yang merupakan salah satu presentasi dari unsur Islamisme yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Akan tetapi karena Masyumi tidak banyak memberikan peluang jabatan kepada politikus-politikus NU, sementara NU beranggapan bahwa NU-lah yang paling banyak memasok suara, maka melalui Muktamar NU ke-19 di Pelembang pada tahun 1952, NU menyatakan keluar dari Masyumi, dan berdiri sendiri sebagai Partai NU. Pada masa pemerintahan Orba, semua partai berdasar Islam menifusikan diri dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Fase ketiga, adalah fase kembali ke Kittah 1926 di Situbondo Jawa Timur da ke-28 (1989) di Krapyak Yogyakarta, memiliki nilai yang sangat strategis dalam perjalanan sejarah NU. Di Situbondo dicetuskan NU kembali ke Khittah 1926, yang berarti NU kembali ke gerakan diniyah murni. Sementara Muktamar NU di Krapyak Yogyakarta sebagai upaya evaluasi sampai sejauh mana perjalanan NU kembali Khittah. Sebagaiman telah dipaparkan bahwa sebelum NU kembali ke Khittah 1926, NU kegiatannya lebih menekankan pada bidang politik praktis, sehingga bidang garapan NU yang menjadi landasan dari awal berdirinya NU, seperti dalam bidang sosial, dakwah, pendidikan dan berbagai kegiatan lainnya terabaikan. Dengan kembali ke Khittah 1926, diharapkan berbagai lembaga yang terabaikan, serta yang sebahagiannya sempat menanggalkan label NU, baik karena alasan kurang mendapat perhatian yang layak dari pimpinan NU maupun karena rasa takut terhadap penguasa orde baru (Orba) yang sering melontarkan berbagai penekanan bahkan terror, segera dapat bangkit kembali dan bangga beridentitas NU. Pada dataran empirik kembali ke Khittah 1926 tidak berjalan mulus, sebab sebagian kalangan politisi NU, ada yang menerima keputusan kembali ke Khittah 1926 “tidak sepenuh hati” artinya dapat menerima keputusan kembali ke Khittah, tetapi dengan beberapa catatan. Sementara sebagian tokoh NU beranggapan bahwa konsep kembali ke Khittah belum disosialisasikan secara jelas dan meluas ke dalam kalangan politisi NU, bahkan ada yang beranggapan konsep kembali ke Khittah n1926 sekedar ingin mengembalikan peran ulama (kiai) ke posisi penentu , yang pada era politik praktis sangat diabaikan. Dengan demikian, maka wajarlah apabila pada awal perjalanan NU di atas rel Khittah 1926 dalam kenyataan sangat tergantung dari penafsiran para tokohnya sendiri-sendiri, oleh sebab itu, pada tingkat internal NU benturan kepentingan antara tokoh-tokoh dari faksi-faksi yang ada tidak dapat dihindari. Keberadaan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sendiri sebagai Ketua Tanfidziyah PBNU tiga periode (1984 – 1989, 1989 – 1994, 1994 - 1999) yang berasal dari kelompok penggagas gerakan pembaharuan, tampaknya menjadi salah satu penyebab konflik, karena Gus Dur oleh warga NU ditempatkan dan diakui sebagai penafsir yang selalu dianggap benar, sebagai pengejawantahan konsep kembali ke Khittah 1926, dan sebagian besar warga NU mengakui kelebuhan Gus Dur dibandingkan dengan tokoh-tokoh NU yang lain. Melihat misi dan orientasi gerakan pembaharuan yang dilakukan kalangan cendekiawan NU, mereka pada umumnya berada di bawah pengaruh kuat Gus Dur. Pada dataran internal aktivitas para pembaharu tidak hanya bertumpu pada kegiatan-kegiatan tradisional seperti pendidikan di pondok-pondok pesantren dan kegiatan-kegiatan rutin lainnya, melainkan juga sudah pada pengemabngan pemikiran kritis dikalangan kiai dan santri kearah hubungan yang lebih demokratis. Pada konteks ini santri nahdliyyin sudah mulai diperkenalkan dengan wacana tentang hubungan negar-rakyat, demokrasi, perkembangan masyarakat yang kapitalistik dengan berbagai dampak negatif-positifnya bagi masyarakat dunia ketiga, termasuk tentang realitas kekuasaan negara (Orba) yang semakin menampilkan sosok superioritasnya. Pada tataran eksternal, mengembangkan gagasan tentang pola hubungan rakyat-negara yang lebih egaliter. Posisi tawar-menawar rakyat dengan negara digagaskan untuk semakin seimbang, yang secara konseptual sering disebut dengan gerakan civil society. Pada saat yang sama pemerintah Orba melakukan berbagai tekanan terhadap Jam’iyyah dan Jama’ah NU, dengan memanfaatkan konflik internal yang sedang melanda NU. Maka tidak heran apabila Gus Dur sebagai ketua Tanfiziyyah sering mendapat hambatan penguasa daerah, manakala mengadakan kunjungan kerja ke daerah untuk upaya konsolidasi. Kondisi yang kurang kondusif, baik pada posisi internal maupun eksternal NU, tentu sangat bias bagi upaya melaksanakan amanat muktamar, khususnya dalam bidang kegiatan dakwah, dan pendidikan. Tetapi NU selalu dapat memanfaatkan keadaan sesulit apapun berkat selalu membudayakan kaidah-kaidah fiqhiyyah seperti ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluhu, apabila dalam berjuang tidak menghasilkan seluruhnya (seratu persen), maka yang telah diperoleh jangan dilepaskan, dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil masalih, menolak kerusakan harus didahulukan dari pada mengejar maslahat, dan al-muhafazatu ‘ala qadimi al-salih wa al-Akhzu bi al-Jadidi al Aslah, mempertahankan hal-hal yang lama yang masih baik dan mengambil hal-hal yang baru yang lebih baik. Dengan referensi-referensi dogmatis (fiqhiyyah) tersebut, maka dalam berbagai gerak dan langkahnya NU senantiasa memperlihatkan watak yang fleksibel dalam menterjemahkan dan menerima realitas. Sementara orang diluar NU menilai watak fleksibelitas tersebut sebagai cerminan tidak memiliki pendirian kuat dan tidak konsisten.

Item Type: Thesis (["eprint_fieldopt_thesis_type_phd" not defined])
Additional Information: Kata Kunci : Dakwah
Subjects: Ilmu Agama Islam
Divisions: Pascasarjana > Disertasi > Ilmu Agama Islam
Depositing User: Miftahul Ulum [IT Staff]
Date Deposited: 17 Nov 2014 15:25
Last Modified: 17 Nov 2014 15:25
URI: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/14566

Share this knowledge with your friends :

Actions (login required)

View Item View Item
Chat Kak Imum