ISTISHLAH SEBAGAI METODE FORMULASI HUKUM DAN RELEVANSINYA DENGAN PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA

NOOR ACHMAD, NIM. 88114 (2006) ISTISHLAH SEBAGAI METODE FORMULASI HUKUM DAN RELEVANSINYA DENGAN PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA. ["eprint_fieldopt_thesis_type_phd" not defined] thesis, UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA.

[img]
Preview
Text (ISTISHLAH SEBAGAI METODE FORMULASI HUKUM DAN RELEVANSINYA DENGAN PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA)
BAB I, VI, DAFTAR PUSTAKA.pdf - Published Version

Download (3MB) | Preview
[img] Text (ISTISHLAH SEBAGAI METODE FORMULASI HUKUM DAN RELEVANSINYA DENGAN PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA)
BAB II, III, IV, V.pdf - Published Version
Restricted to Registered users only

Download (12MB)

Abstract

Mengkaji filsafat hukum Islam akan selalu menghadapi dilema antara penggunaan nalar dan nash, karena melakukan kajian filsafat hukum berarti mengkaji hakikat hukum atau mengkaji hukum sampai pada inti dasarnya. Untuk mencapai hakikat hukum, diperlukan kajian yang menyeluruh dan berpikir holistik, kritis, radikal, spekulatif, dan reflektif. Artinya, hukum harus diletakkan pada sesuatu yang netral untuk dikaji dan tidak dogmatis. Sementara itu, hukum Islam adalah hukum yang bersumber pada wahyu al Qur’an dan al Sunnah. Artinya hukum Islam tidak bisa dipandang sebagai sesuatu yang netral dan tentu saja mempunyai unsur dogmatis. Namun demikian, hukum adalah untuk manusia, dan sifat dasar manusia sebagai makhluk sosial akan selalu mengalami perubahan. Perubahan sosial yang dialami manusia, membawa konsekwensi adanya tuntutan perubahan terhadap hukum, antara perubahan sosial dan tuntutan hukum. Baik al Qur’an maupun Rasulullah saw dalam banyak hal memberi kelonggaran di dalam menggunakan penalaran (ra’yu) untuk memahami al Qur’an dan al Sunnah. Dengan penalaran ini, al Qur’an dan al Sunnah tidak dipandang sebagai sesuatu yang statis, tetapi sesuatu yang hidup dan bergerak sejalan dengan perubahan dan pergerakan tuntutan manusia terhadap hukum. Namun demikian, hakikat pergerakan ini bukanlah untuk mengubah al Qur’an dan al Sunnah, karena yang berubah adalah manusia itu sendiri. Pemahaman manusia terhadap al Qur’an dan al Sunnah dalam persoalan hukum disebut dengan fiqh, dan oleh karena itulah fiqh dapat berubah sesuai dengan perubahan tuntutan ruang dan waktu. Di antara metode penalaran untuk memahami nash dan memformulasikan hukum agar supaya dapat memberikan jawaban terhadap perubahan sosial, adalah menggunakan penalaran atau mencari kemaslahatan. Penalaran ini berangkat dari paradigma maqashid al syari’ah atau tujuan-tujuan ditetapkannya hukum, yaitu untuk menciptakan kemudahan bagi manusia agar terwujud kemashlahatan bagi manusia, baik di dunia maupun akhirat. Oleh karena itu, penalaran istishlah ini lebih menekankan pada penelusuran secara mendalam tentang untuk apa hukum itu ditetapkan dan diberlakukan bagi kehidupan manusia. Setelah Rasulullah saw wafat, penalaran istishlah banyak digunakan oleh para sahabat, khususnya yang paling terkenal adalah ‘Umar ibn al Khaththab. Dalam beberapa kasus, ia tidak saja melakukan pemahaman terhadap nash yang berbeda pada zamannya, tetapi juga berbeda dengan apa yang telah berlaku pada zaman Rasulullah, sehingga keputusan-keputusannya itu dianggap bertentangan dengan nash atau sesuatu yang pada saat itu telah menjadi hukum positif. Penggunaan penalaran istishlah berlanjut pada masa-masa berikutnya yang kemudian mendapat kejelasannya secara metodologis pada zaman ulama mujtahid bersamaan dengan tersusunnya metode-metode istinbath atau ijtihad hukum yang lain. Semua ulama hampir sepakat bahwa istishlah dapat dijadikan sebagai hujjah syar’iyyah selama kemashlahatan yang ditetapkan itu sejalan dengan al Qur’an dan al Sunnah. Dari rumusan ini muncul pertanyaan, yakni sejauh mana istishlah dianggap tidak bertentangan dengan nash dan siapa yang berhak menetapkan hukum yang dianggap kuat mengandung kemashlahatan. Pertanyaan ini dilatarbelakangi oleh suatu kekhawatiran bahwa kemashlahatan hanya didasarkan pada pertimbangan hawa nafsu atau kehendak manusia semata. Menjawab pertanyaan tersebut, ditemukan bahwa ruang lingkup kemashlahatan di sini hanya dalam bidang hukum yang sejak awal telah menjadi garapan manusia dalam setiap aspek kehidupannya. Artinya, ruang lingkup penalaran istishlah ini bukan pada wilayah syari’ah, karena wilayah syari’ah sejak awal bersifat statis dan berlaku sepanjang masa. Meskipun wilayah syari’ah ini juga tujuannya untuk kemashlahatan manusia, namun yang mengetahui secara persis terhadap syari’ah adalah Al Syar’i (Allah dan Rasul-Nya). Adapun manusia mempunyai kekuatan dan kewenangan untuk menentukan kemashlahatan, karena manusia mempunyai kekuatan untuk menilai baik dan buruk, benar dan salahnya sesuatu, berdasarkan pada kaidah-kaidah umum nash. Penggunaan istishlah dalam memformulasikan hukum menjadi lebih penting manakala dikaitkan dengan urusan sosial kemasyarakatan yang menjadi tanggungjawab pemerintah/negara, yang dalam bahasa politik disebut sebagai uli al amr atau waliy al amr. Karena bagaimanapun juga saat sekarang ini negara-negara Islam yang ada di dunia telah menjadi negara bangsa (nation state) yang masing-masing memiliki landasan filosofi dan sistem hukumnya sendiri. Dalam konteks inilah, kemashlahatan menjadi bagian substansial kebutuhan manusia yang universal, yang dalam banyak hal menjadi porsi negara/pemerintah untuk mengaktualisasikannya. Artinya, selama kemashlahatan itu ada maka berarti hukum Islam itu telah berjalan, dan kemashlahatan itu dapat diambil atau diformulasikan manakala terdapat keadilan dan kepatutan umum yang dirasakan oleh manusia. Dalam kajian penggunaan istishlah sebagai metode formulasi hukum Islam di Indonesia--yang bukan merupakan negara Islam meskipun mayoritas penduduknya beragama Islam yang tentu saja tidak satu madzhab--, penggunaan metode istishlah merupakan kebutuhan yang sangat niscaya dan penting adanya. Apalagi Indonesia memiliki kultur, filosofi, nilai dan sistem hukum tersendiri. Ini dapat dilihat dalam beberapa produk hukum yang merupakan regulasi yang dikeluarkan oleh negara/pemerintah sebagai uli al amr/waliy al amr, bagi kaum Muslim Indonesia, seperti Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan beberapa aturan hukum yang terkait dengan kepentingan umum, tampak sekali menggunakan metode istishlah atau pendekatan kemashlahatan. Karena inti dari formulasi hukum di Indonesia yang dibutuhkan adalah hukum yang dapat menghadirkan kemashlahatan dan kebaikan bagi warga-bangsa Indonesia, dan demikian itulah yang berkembang dalam pemikiran dan pembangunan hukum di Indonesia.

Item Type: Thesis (["eprint_fieldopt_thesis_type_phd" not defined])
Additional Information: Promotor : Prof. Drs. H. Qodri A. Azizy, M.A.,Ph.D
Uncontrolled Keywords: usul fikih, filsafat hukum Islam, istishlah, pembaharuan hukum Islam di Indonesia
Subjects: Hukum Islam
Divisions: Pascasarjana > Disertasi > Study Islam
Depositing User: H. Zaenal Arifin, S.Sos.I., S.IPI.
Date Deposited: 16 Dec 2014 09:03
Last Modified: 07 Apr 2015 09:56
URI: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/15163

Share this knowledge with your friends :

Actions (login required)

View Item View Item
Chat Kak Imum