RELASI RASIO DAN INTUISI DALAM TASAWUF (STUDI KOMPARATIF ATAS PEMIKIRAN AL-GHAZLI DAN SUHAWARDI)

HENDRI KURNIAPI, NIM. 01510560 (2005) RELASI RASIO DAN INTUISI DALAM TASAWUF (STUDI KOMPARATIF ATAS PEMIKIRAN AL-GHAZLI DAN SUHAWARDI). Skripsi thesis, UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA.

[img]
Preview
Text (RELASI RASIO DAN INTUISI DALAM TASAWUF (STUDI KOMPARATIF ATAS PEMIKIRAN AL-GHAZLI DAN SUHAWARDI))
BAB I, V, DAFTAR PUSTAKA.pdf

Download (4MB) | Preview
[img] Text (RELASI RASIO DAN INTUISI DALAM TASAWUF (STUDI KOMPARATIF ATAS PEMIKIRAN AL-GHAZLI DAN SUHAWARDI))
BAB II, III, IV.pdf
Restricted to Registered users only

Download (18MB)

Abstract

Tasawuf sebagai sebuah disiplin keilmuan tersendiri, secara epistemologis mampu memberikan corak pengetahuan yang berbeda dari disiplin keilmuan lainnya. Adalah sebuah keniscayaan jika tasawuf memberikan corak pengetahuan yang berbeda, karena pengetahuan yang dihasilkannya melalui pengamatan langsung secara intuitif (dzauqi) berikut sarananya adalah hati. Namun, hal ini bukan berarti disiplin tasawuf mendiskreditkan akal sama sekali, sehingga terkadang pengetahuan sufistik dikaiakan sebagai pengetahuan yang bersifat irrasional. Anggapan tersebut perlu diluruskan kembali, karena bagaimanapun juga, disiplin tasawuf mengetengahkan akal dan hati dalam menyingkap esensi realitas. Berpijak dari penjelasan di atas, penulis akan memotret dua tokoh legendaris yang mungkin representatif untuk merespon masalah di atas, al-GhazalT dan Suhrawardl. Dalam hal ini, penulis akan mendeskripsikan dan menganalisis konsep epistemologi dan pemikirannya berkaitan dengan pengetahuan sufistik yang pada gilirannya akan dikomparasikan untuk ditemukan titik persamaan dan perbedaan antara keduanya. Al-GhazalT, sebagai salah satu tokoh sufi sunni, merespon masalah di atas. Ia mengatakan bahwa pengetahuan sufistik bersumber dari 2 instrumen, yaitu rasio (akal) dan intuisi (hati). Pengetahuan sufistik tidak serta merta dapat diperoleh tanpa membersihkan dan mensucikan hati dari perbuatan maksiat. Sehingga, hati memiliki peran yang lebih unggul dalam pencapaian pengetahuan, karena jenis pengetahuan ini diperoleh secara pengamatan langsung (ilham) bagaikan cahaya yang menembus ke dalam hati. Maka dari itu, posisi hati sebagai raja harus berada di atas anggota badan yang tunduk dan patuh dalam mentaati perintahnya. Pada kondisi inilah pengetahuan ma ’rifah) layak diiihamkan kepada seseorang yang telah mencapai deraj at (maqam) tertentu. Jika tidak demikian, maka hati tidak akan mampu menangkap ma 'rifah. Selain al-GhazalT, SuhrawardT pun, sebagai salah satu tokoh sufi falsafi, merespon masalah yang sama. Konsepsi filsafat isyraq iyyahnya. diasaskan kepada cahaya. hyraqiyyah berarti iluminatif, dan sesuatu yang iluminatif adalah cahaya. Cahaya, menurutnya, dapat menerangi entitas yang tidak tampak, sehingga ia tidak membutuhkan entitas lain untuk menampakkan diri karena keberadaannya dapat menampakkan yang lain. Dengan perkataan lain, dengan cahaya, sesuatu yang gelap bisa menjadi terang. Sehingga, sesuatu yang mewujud itu hadir karena disinari cahaya, dan hanya entitas cahaya yang dapat menunjukkan eksistensi benda. Menurutnya juga, satu-satunya sumber cahaya yang menguasai bentuk-bentuk cahaya lain hanyalah Allah swt. yang cahaya-Nya memang diperuntukkan bagi yang lain, tentunya hal ini bagi orang yang menempuh jalan menuju kepada-Nya. Sehingga, orang tersebut akan disinari cahaya oleh Pemilik Cahaya Absolut, sedangkan di luar diri-Nya hanyalah cahaya pinjaman (nisbi). Dalam tasawuf al-GhazalT, pengetahuan intuitif atau cahaya kenabian mencirikan pengetahuan tentang diri yang hanya bisa dicapai dengan dzauq dan ilham. Potensi dzauq ini yang akan berperan pertama kali untuk menyingkap pengetahuan ke dalam hati, karena obyek yang ditangkap merupakan esensi realitas yang bersifat metafisis. Kemudian, akal yang diidentifikasi oleh al-GhazalT sebagai sarana al-mufakkirah berfungsi menjelaskan obyek metafisik untuk menunjukkan esensi keberadaan hakikatnya. Dengan perkataan lain, potensi al-mufakkirah ini yang akan memberikan pemahaman lebih lanjut tentang esensi obyek metafisik dalam alam nyata. Obyek pengetahuan yang ditangkap oleh hati bisa dikatakan sebagai bahan baku yang kemudian akan diolah oleh akal. Komponen hati dianggap kemampuannya lebih tinggi ketimbang akal, karena hati dapat menangkap pengetahuan metafisis, namun hati tetap membutuhkan komponen akal untuk menjelaskan pengetahuan yang dihasilkan tetap berada dalam bingkai rasionalitas. Di sinilah tampak jelas hubungan interaktif antara rasio dan intuisi dalam tasawuf al-Ghazali. Adapun dalam tasawuf SuhrawardT, pengetahuan isyraqj merupakan tindakan yang mensyaratkan kesadaran dan kehadiran obyek dalam diri subyek. Subyek benar-benar melihat secara langsung atas hadirnya pengetahuan di dalam dirinya, sehingga tidak ada jarak antara subyek yang mengetahui dengan obyek yang diketahui; keduanya menyatu secara eksistensial. Karena itu, jenis pengetahuan ini bersifat swa-obyektivitas, yang pada gilirannya dapat membawa lebih jauh kepada pengetahuan tentang diri. Maka dari itu, bentuk kesadaran dan kehadiran obyek dalam diri subyek tidak akan terjadi tanpa ada limpahan cahaya yang merasuk ke dalam pikiran subyek, dengan perkataan lain, jika ada limpahan cahaya maka pengetahuan akan muncul dengan sendirinya (manifest it self). Obyek yang sebelumnya tidak tampak dalam pikiran subyek kemudian ia tampak, karena adanya hubungan iluminatif antara subyek dan obyek. Di sinilah letak relasi rasio dan intuisi dalam tasawuf SuhrawardT. Alih-alih demikian, baik al-GhazalT maupun SuhrawardT menyatakan bahwa pengetahuan sufistik sesungguhnya tetap berada dalam bingkai rasionalitas. Keduanya menyatakan bahwa pengetahuan dapat diperoleh hanya jika disinari oleh cahaya. Sehingga, pengetahuan yang dihasilkan tidak mengandung unsur kesalahan apalagi kepalsuan berkat hubungan interaktif dan atau iluminatif antara rasio dan intuisi; kedua komponen ini disinari oleh cahaya. Pada al-Ghazali terjadi hubungan interaktif, karena menunjukkan kelemahan masing-masing komponen. Sedangkan pada SuhrawardT terjadi hubungan iluminatif, karena menunjukkan keterpautan dan penyatuan antara subyek dan obyek. Kendati demikian, keduanya tetap pada esensi yang satu dalam tasawuf.

Item Type: Thesis (Skripsi)
Additional Information: Dr. Syaifan Nur, MA.
Uncontrolled Keywords: al-Ghazli dan Suhawardi
Subjects: Aqidah Filsafat
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta > Aqidah Filsafat
Divisions: Fakultas Ushuludin dan Pemikiran Islam > Aqidah Filsafat (S1)
Depositing User: Miftahul Ulum [IT Staff]
Date Deposited: 04 Jul 2017 13:24
Last Modified: 04 Jul 2017 13:24
URI: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/25753

Share this knowledge with your friends :

Actions (login required)

View Item View Item
Chat Kak Imum