DIMENSI SUFISTIK DI BALIK PUISI SEKSUAL JALALUDDIN RUMI (1207-1273)

KHOTIB FATHOR, NIM. 99513030 (2005) DIMENSI SUFISTIK DI BALIK PUISI SEKSUAL JALALUDDIN RUMI (1207-1273). Skripsi thesis, UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA.

[img]
Preview
Text (DIMENSI SUFISTIK DI BALIK PUISI SEKSUAL JALALUDDIN RUMI (1207-1273))
BAB I, V, DAFTAR PUSTAKA.pdf

Download (3MB) | Preview
[img] Text (DIMENSI SUFISTIK DI BALIK PUISI SEKSUAL JALALUDDIN RUMI (1207-1273))
BAB II, III, IV.pdf
Restricted to Registered users only

Download (12MB)

Abstract

Jalaluddin Rumi adalah penyair sufi terbesar sepanjang zaman menurut Nicholson, haruslah diakui karya-karyanya kaya dengan tenia dan visi kemanusiaa Hampir dari seluruh kaiyanya bertemakan cinta, yakni relasi antara Khalik dan makhluknya serta antara manusia dan lingkungannya, ajaran yang didedahkan dalam bentuk syair penuh dengan singgungan pada ungkapan dan peristiwa al-QurJanis. Tidak mustahil simbol yang dipergunakan Rumi dalam mengungungkapkan capaian Uahiyahnya, dapat ditutupi melalui wawasan yang paling cerdas dengan citra yang paling sederhana, termasuk seks dan kebiasaan di kamar mandi. Seksualitas yang selama ini dipahami sebagai praktek-praktek yang hanya menonjolkan sisi-sisi kenikmatan biologis, bahkan teijadi kekerasan di dalamnya membuat manusia hanya teijebak pada batas-batas empiris tanpa mampu untuk melampauinya, apalagi menariknya dalam dataran pengalaman spiritual. Persoalan inilah yang membuat Rumi melakukan telaah kritis mengenai cinta, seks dan dimensi spiritualnya dan meletakkannya dalam bentuk simbol. Telaah kritis tentang seks yang digambarkannya dalam bentuk puisi ini merupakan impuls-impuls yang dimiliki setiap manusia yang bisa bergerak dan berubah pada kebaikan atau keburukan. Segala sesuatu adalah tamsil bagi Rumi, simbol atau ungkapan yang terjadi pada keseharian dan di sekitar manusia. Menariknya Rumi tidak begitu banyak menghakimi, tetapi malah mengangkatnya sebagai lensa untuk meneropong pertumbuhan rohani, meskipun ungkapannya begitu ‘jorok’ dan memalukan, tetapi hal itu tidak menjadi persoalan bagi Rumi. Oleh karena itu ia menunjukkan kebahagiaan ajek dan tenaga puisi batin yang tumbuh dalam dirinya. Berangkat dari latar belakang di atas, serta sebagai upaya untuk lebih menfokuskan kajian penelitian ini, penyusun mempunyai dua rumusan masalah: Pertama, Bagaimana corak puisi Rumi dan pemahamannya mengenai seks. Kedua, Bagaimana dimensi sufistik di balik puisi seksual Rumi dan kemungldnan relevansinya bagi kehidupan manusia modem. Sebagaimana layaknya penelitian literar, penelitian ini memakai metode deskriptif-analisis dan pendekatan sufistik (esoteris), sebuah pendekatan yang berusaha menginterpretasikan dan mendeskripsikan puisi seksual Rumi berdasarkan pada pemaknaan yang bersifat simbolik dan filosofis. Paradigma dikotomis antara zahir dan bathin menjadi kerangka rujukan dalam konteks ini. Karenanya, interpretasi digunakan untuk mentranformasikan ungkapan zahir ke batin dalam rangka mengungkap bahwa di balik bentuk ada makna, di balik lahir terkandung batin yang berdasarkan pada ajaran Islam yaitu al-Qur'an dan Hadist Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Paling tidak ada beberapa corak atau karakteristik puisi Rumi. Pertama, keagungan pikiran dan kesederhanaan serta spontanitas dalam penyajiannya. Ciri yang pertama ini mengisyaratkan akan sikap optimis dalam menjalani kehidupan. Kedua, puisinya sering diawali dengan sebuah kisah-kisah, yang bukan dimaksudkan dalam bentuk naratif. Kisah-kisah digunakan sebagai alat pemyataan pikiran atau ide, ataupun sering pula dimaksudkan untuk menciptakan lambang-lambang dari pengalaman mistiknya serta menanamkan pesan moral ditengah-tengah cerita tersebut. Ketiga, sering mengakhiri bait puisinya dengan kata-kata,"diam!" Diam adalah ungkapan yang paling disukai kaum mistik, tak terkecuali kaum sufi, dan khususnya Rumi. Keempat, ciri yang terakhir dari puisi Rumi adalah bercorak seksual, puisi seksual tersebut bukan diperuntukkan membangkitkan nafsu, melainkan sebagai upaya mentransendensikan seks dal am puisi-puisinya. Puisi seksual Rumi mengandung tiga pemaknaan penting dalam dunia tasawuf, yaitu; nafs dan akal, manusia harus senantiasa waspada pada nafsnya yang senantiasa mengajak pada kejahatan, oleh karena itu Tuhan memberikan akal, yang berfungsi sebagai pengarah jalan untuk membedakan mana yang baik dan buruk, benar dan salah dan sebagainya; Selain dari itu tersirat pemaknaan tentang kegelapan hati dan kesadaran Ilahi, yang menyiratkan turun naiknya jiwa dari kesadaran diri kepada kesadaran Ilahi, artinya hati manusia senantiasa diliputi oleh ego, iri, dan semacamnya, maka dari itu manusia dituntut untuk sadar diri, introspeksi, dengan seperti itu ia akan mampu melihat kebenaran realitas menuju realitas yang lebih tinggi yakni Tuhan, sebagaimana penglihatan para Nabi yang hanya tertuju pada Tuhan; dua kondisi manusia tersebut mengharuskannya untuk senantiasa melakukan taubat nasuha, yang berarti penyesalan, berpaling dari dosa, melepaskan segala urusan dunia mendamba hidup abadi bersama Tuhan. Lebih dari itu, simbol puisi seksual Rumi juga mengandung tiga pemaknaan tentang cinta; utusan cinta, cinta dan kemunafikan, cinta dan keindahan; sejati dan imitasi. Utusan cinta, digambarkan oleh Rumi dengan Wali Tuhan yang ketika berbicara terasa begitu berkekuatan, apa yang disampaikannya langsung menyentuh hati pendengamya. Para kekasih Tuhan sebagai penunjuk jalan kerohanian yang sepunuhnya ia harus memiliki kesadaran tentang cinta Ilahi melalui kesadaran hati, bukan melalui konsepsi akal sebab akal memiliki keterbatasan pada konsepsi semata; Cinjq -dan kemunafikan, artinya sebuah kemumian jiwa seseorang terhadap Kekasihnya dengan tidak diantarai sesuatu apa pun yang selainnya. Jika masih ada secuilpun yang masih melekat ini belumlah sempuma cintanya, apalagi yang mengganjal adalah hal yang bersifat duniawi maka di situ terdapat cinta yang munafik atau kepura-puraan; Cinta dm keindahan, sejati dan imitasi, menyiratkan segala sesuatu mengambil bagian di dalam cinta Tuhan, menggerakkan kekuatan penciptaan, sehingga segalanya adalah para pencinta. Cinta merupakan cahaya abadi akan tetapi orang sering tertipu oleh penglihatan zahir yang bersifat bendawi sehingga ia mengarahkan cinta terhadapnya, inilah yang dimaksud cinta imitasi. Akan tetapi cinta imitasi itu penting sebab ia anak tangga yang dapat mengantar pada kesempumaan cinta sejati. Bagi seorang sufi dan beriman hanya ada satu Yang Tercinta, yakni ketika ia telah sanggup melepaskan kenikmatan-kenikmatan tubuh dan selainnya kecuali Tuhan. Demikian sedikit gambaran mengenai hasil dari penelitian ini.

Item Type: Thesis (Skripsi)
Additional Information: Dr. Syaifan Nur, MA
Uncontrolled Keywords: JALALUDDIN RUMI
Subjects: Aqidah Filsafat
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta > Aqidah Filsafat
Divisions: Fakultas Ushuludin dan Pemikiran Islam > Aqidah Filsafat (S1)
Depositing User: Miftahul Ulum [IT Staff]
Date Deposited: 04 Jul 2017 15:48
Last Modified: 04 Jul 2017 15:48
URI: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/25801

Share this knowledge with your friends :

Actions (login required)

View Item View Item
Chat Kak Imum