TAFSIR KONTEKSTUAL QS. AL-MĀ’IDAH : 44-47 DAN RELEVANSINYA TERHADAP SISTEM POLITIK DAN KETATANEGARAAN DI INDONESIA (APLIKASI PENDEKATAN KONTEKSTUAL ABDULLAH SAEED)

NAFISATUL MU’AWWANAH, NIM. 13530156 (2017) TAFSIR KONTEKSTUAL QS. AL-MĀ’IDAH : 44-47 DAN RELEVANSINYA TERHADAP SISTEM POLITIK DAN KETATANEGARAAN DI INDONESIA (APLIKASI PENDEKATAN KONTEKSTUAL ABDULLAH SAEED). Skripsi thesis, UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA.

[img]
Preview
Text (TAFSIR KONTEKSTUAL QS. AL-MĀ’IDAH : 44-47 DAN RELEVANSINYA TERHADAP SISTEM POLITIK DAN KETATANEGARAAN DI INDONESIA (APLIKASI PENDEKATAN KONTEKSTUAL ABDULLAH SAEED))
13530156_BAB-I_IV-atau-V_DAFTAR-PUSTAKA.pdf

Download (5MB) | Preview
[img] Text (TAFSIR KONTEKSTUAL QS. AL-MĀ’IDAH : 44-47 DAN RELEVANSINYA TERHADAP SISTEM POLITIK DAN KETATANEGARAAN DI INDONESIA (APLIKASI PENDEKATAN KONTEKSTUAL ABDULLAH SAEED))
13530156_BAB-II_sampai_SEBELUM-BAB-TERAKHIR.pdf
Restricted to Registered users only

Download (7MB)

Abstract

Al-Qur’an seringkali diturunkan dengan latar belakang sosio-historis tertentu. Dalam pemahaman ini, konteks sosio-hostoris wahyu merupakan elemen wahyu yang fundamental. Hubungan fundamental wahyu tersebut terus berlanjut melalui praktek dari komunitas-komunitas interpretatif karena tuntutan kondisi yang berbeda. Atas dasar tersebut, di era kontemporer perlu untuk reinterpretasi produk tafsir agar sesuai dengan tuntutan kondisi kontemporer, dengan cara menghubungkan masa lalu dan masa kini. Untuk menghubungkan masa lalu dan masa kini perlu untuk mengeksplorasi dua dimensi makna al-Qur’an, yaitu makna historis dan makna kontemporer. Kasus tersebut dapat ditemukan dalam penafsiran QS. al-Māʼidah: 44-47 dalam hubungannya dengan sistem politik dan ketatanegaraan. Ayat ini turun sebagai respon atas problem yang dihadapi Nabi dalam menengahi kasus rajam dan penentuan diyat pembunuhan antara bani Nadzir dan bani Quraidzah. Pemahaman ini terus dibawa oleh komunitas-komunitas interpretatif sampai masa pra-Modern. Namun, pada masa modern, yaitu masa imprealisme dan kolonialisme Barat, ayat ini dijadikan sebagai legitimasi kafirnya sistem politik Barat, yaitu sistem negara sekuler. Karena tuntutan situasi dan kondisi kontemporer, sistem negara sekuler justru diminati oleh negara-negara yang mayoritas penduduknya adalah Islam, termasuk Indonesia. Dari sini perlu untuk mengeskplorasi makna historis dan makna kontemporer QS. al- Māʼidah: 44-47 dalam kaitannya dengan sistem politik dan ketatanegaraan. Untuk mengeksplorasi kedua makna tersebut digunakanlah pendekatan kontekstual yang ditawarkan oleh Abdullah Saeed. Berdasarkan pendekatan ini, untuk memperoleh makna tersebut, terlebih dahulu diperlukan pemahaman secara kebahasaan dan melalui pemahaman spekulatif akan masyarakat penerima wahyu dan konteks aslinya. Meskipun pemahaman dapat diperoleh melalui kedua petunjuk ini, namun berbagai perubahan konteks yang terus menerus membuat makna al-Qur’an akan terus mencair. Sehingga perlu berurusan dengan makna yang cair ini untuk mengidentifikasi makna agar bisa terus memandu masyarakat di setiap konteks yang berubah. Baru kemudian makna tersebut diadaptasikan dengan kondisi kontemporer. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa ayat ini terkait dengan situasi sistem politik jāhiliyyah yang cenderung mengabaikan keadilan dan kesetaraan, disebabkan tradisi ‘aṣabiyyah yang mengakar pada masyarakatnya, yang secara spesifik ditemukan dalam konflik antara bani Quraidzah dan bani Nadzir. Oleh karenanya ayat ini tergolong dalam nilai intruksional, yang mungkin bersifat temporal dan mungkin universal. Berdasarkan pertimbangan frekuensi penyebutan dalam al- Qur’an, penekanan dalam dakwah Nabi, dan relevansinya terhadap dakwah Nabi, dapat diketahui perintah dalam ayat ini, yaitu berhukum dengan apa yang diturunkan Allah bersifat temporal, sedangkan makna universal yang menjadi makna historis ayat ini adalah keadilan dan kesetaraan Nabi dalam menengahi konflik masyarakat Madinah, atau secara khusus konflik antara bani Quraidzah dan bani Nadzir. Ketidakkonsistenan penafsiran dalam konteks penghubung memperkuat sifat temporal ayat ini, dan adanya kemungkinan ditafsirkan secara berbeda dalam konteks kontemporer. Berdasarkan tuntutan kontemporer, khususnya Indonesia, untuk mendirikan negara yang mampu menjadi penengah secara adil di antara masyarakat yang plural dan multikultural, maka negara sekuler dalam artian sekarang, yaitu negara netral terhadap agama, maka dapat dikatakan sesuai dengan makna QS. al- Māʼidah: 44-47.

Item Type: Thesis (Skripsi)
Additional Information: Ahmad Rafiq, Ph.D.
Uncontrolled Keywords: Keadilan, Kontekstual, QS. al-Mā’idah: 44-47
Subjects: Ilmu Alqur’an dan Tafsir
Divisions: Fakultas Ushuludin dan Pemikiran Islam > Ilmu Alqur’an dan Tafsir (S1)
Depositing User: Miftahul Ulum [IT Staff]
Date Deposited: 27 Jul 2017 14:49
Last Modified: 31 Jul 2017 14:23
URI: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/26977

Share this knowledge with your friends :

Actions (login required)

View Item View Item
Chat Kak Imum