URUTAN WALI NIKAH DALAM KHI PASAL 21 (PERSPEKTIF HERMENEUTIK)

MAR’ATUS SHOLIHAH, NIM. 1320310051 (2017) URUTAN WALI NIKAH DALAM KHI PASAL 21 (PERSPEKTIF HERMENEUTIK). Masters thesis, UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA.

[img]
Preview
Text (URUTAN WALI NIKAH DALAM KHI PASAL 21 (PERSPEKTIF HERMENEUTIK))
1320310051_BAB-I_IV-atau-V_DAFTAR-PUSTAKA.pdf

Download (2MB) | Preview
[img] Text (URUTAN WALI NIKAH DALAM KHI PASAL 21 (PERSPEKTIF HERMENEUTIK))
1320310051_BAB-II_sampai_SEBELUM-BAB-TERAKHIR.pdf
Restricted to Registered users only

Download (529kB)

Abstract

Dalam perundang-undangan perkawinan Indonesia bagi kaum muslim telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI ), tentang perwalian dalam pernikahan ditetapkan atau diatur dalam Pasal 19-23, wali merupakan rukun yang harus dipenuhi sebelum melaksanakan akad nikah, namun yang berhak dalam wali pernikahan itu hanya dua yakni wali nasab, dan wali hakim, hal ini diatur dalam Pasal 20. Dalam Pasal ini sudah mulai menunjukkan bahwa peran seorang laki-laki adalah sangat urgen dalam pernikahan artinya ada subordinasi kaum perempuan, tidak ada celah andil dalam menentukan atau keberhakan menjadi wali. Pasal 21 telah disebutkan ada empat kelompok yang berhak menjadi wali nasab dalam pernikahan, ada beberapa hikmah menarik yang bisa dipetik dari pengertian pasal tersebut. Pertama, yang hanya ditunjuk sebagai seorang wali adalah pihak laki-laki, sehingga secara implisit atau tersurat akan menafikan perwalian dari garis keturunan perempuan. Kedua, dari kelompok kelompok yang telah ditentukan urutanya, artinya jika dalam suatu kelompok sama derajatnya maka yang berhak menjadi wali nikah kerabat kandung dari kerabat yang "hanya seayah" penegasan ini sama sekali tidak memberi peluang digaris keturunan Perempuan (Ibu). Hal semacam ini mengilustrasikan bahwa perempuan tidak memiliki kesetaraan, pengakuan nasab dan berdampak pada ketidak mampuan pihak perempuan dalam melaksanakan peran muamalah atau bertindak di depan hukum. Para ulama Fiqih dalam menentukan urutan wali nikah diqiyaskan dengan penentuan ‘asobah. Seperti halnya yang dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah menurut beliau urutan wali nikah yang pertama sesuai dengan urutan ‘asobah, baik asobah nasabiyah maupun asabah sababiyah, lain halnya dengan Imam asy-Syafi’i yang hanya memberikan urutan sebagiamana ‘asabah bi nafsih. hal ini senada dengan KHI Pasal 21. Jika dalam menentukan urutan wali nikah diqiyaskan dengan asabah dalam kewarisan, harus menengok ulang tentang sejarah kewarisan khusunya tentang ‘asobah itu sendiri, sosio historis yang melingkupi pada saat penetapan tersebut, sistem kewarisan sedikit banyak masih terpengaruh dengan sistem pra Islam, dimana perempuan dianggap kurang memberikan sumbangsih terhadap kabilah, laki-lakilah yang menjadi superior karena dianggap yang bisa memperjuangkan kabilahnya, oleh sebab itu dalam pembagian kewarisan juga mendapatkan bagian yang lebih unggul. Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan yuridis-normatif dan hermeunetis. Pendekatan yuridis-normatif yaitu suatu penelitian yang secara deduktif dimulai dari analisa terhadap pasal-pasal perundang-undangan yang mengatur terhadap permasalahan diatas. Penelitian hukum secara yuridis maksudnya penelitian yang mengacu pada studi kepustakaan yang ada ataupun terhadap data sekunder yang digunakan. Sedangkan bersifat normatif maksudnya penelitian hukum yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan normatif tentang hubungan antara satu peraturan dengan peraturan yang lain dan penerapan dalam prakteknya.

Item Type: Thesis (Masters)
Additional Information: Prof. Dr.Phil Sairon
Uncontrolled Keywords: Urutan Wali Nikah, Pasal 21 KHI, Hermeunetik, Gender
Subjects: Hukum Islam
Divisions: Pascasarjana > Thesis > Hukum Islam
Depositing User: Miftahul Ulum [IT Staff]
Date Deposited: 26 Oct 2017 11:14
Last Modified: 26 Oct 2017 11:14
URI: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/27839

Share this knowledge with your friends :

Actions (login required)

View Item View Item
Chat Kak Imum