STATUS BPJS KESEHATAN MENURUT ISLAM: STUDI KOMPARATIF MENURUT HASIL KEPUTUSAN MUI DAN HASIL KEPUTUSAN NU

BAKHTIAR YUSUF, NIM. 13360042 (2017) STATUS BPJS KESEHATAN MENURUT ISLAM: STUDI KOMPARATIF MENURUT HASIL KEPUTUSAN MUI DAN HASIL KEPUTUSAN NU. Skripsi thesis, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

[img]
Preview
Text (STATUS BPJS KESEHATAN MENURUT ISLAM: STUDI KOMPARATIF MENURUT HASIL KEPUTUSAN MUI DAN HASIL KEPUTUSAN NU)
13360042_BAB-I_IV-atau-V_DAFTAR-PUSTAKA.pdf - Published Version

Download (9MB) | Preview
[img] Text (STATUS BPJS KESEHATAN MENURUT ISLAM: STUDI KOMPARATIF MENURUT HASIL KEPUTUSAN MUI DAN HASIL KEPUTUSAN NU)
13360042_BAB-II_sampai_SEBELUM-BAB-TERAKHIR.pdf - Published Version
Restricted to Registered users only

Download (5MB)

Abstract

Kesehatan adalah hak dasar setiap orang, dan semua warga negara berhak mendapatkan pelayanan kesehatan. Dengan mempertimbangkan tingkat urgensi kesehatan termasuk menjalankan amanah UUD 1945, maka pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah telah melakukan beberapa upaya untuk meningkatkan kemudahan akses pada fasilitas kesehatan. Oleh sebab itu, pemerintah menuangkanya kedalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau kemudian disebut dengan BPJS Kesehatan. Pada tahun 2015, MUI dalam agenda Ijtima’ Ulama se-Indonesia mengeluarkan beberapa fatwa, salah satunya adalah fatwa tentang BPJS Kesehatan. Di dalam fatwa tersebut MUI berpendapat bahwa secara umum BPJS Kesehatan belum mencerminkan konsep ideal jaminan sosial dalam Islam. Kemudian PBNU dalam agenda Muktamar NU di Jombang juga melakukan pembahasan yang sama terkait dengan status hukum BPJS Kesehatan melalui lembaga Bahtsul Masail. Di dalam kesimpulanya PBNU menilai bahwa BPJS Kesehatan yang selama ini di jalankan oleh pemerintah tidak ada masalah dalam kacamata syariah karena prinsip BPJS Kesehatan bukan seperti prinsip asuransi pada umumnya. Hal ini berbeda dari fatwa yang dikeluarkan oleh MUI. Melihat perbedaan pendapat kedua lembaga tersebut, maka penyusun tertarik untuk mengkaji bagaimana metode pengambilan keputusan hasil Ijtima’ Ulama MUI dan Bahtsul Masail NU dalam menetapkan status hukum BPJS Kesehatan, serta letak persamaan dan perbedaan kedua lembaga tersebut dalam menetapkan status hukum BPJS Kesehatan. Selain itu, penyusun juga tertarik untuk melihat hasil fatwa tersebut melalui perspektif kemaslahatan. Dalam melakukan kajian ini, penyusun menggunakan metode maslahah, yaitu suatu ilmu yang digunakan untuk menilai sebuah keputusan hukum berdasarkan kemanfaatan yang akan dicapai bagi masyarakat. Dengan kata lain, metode maslahah ini kemudian akan digunakan sebagai analisis sebuah fatwa. Selain itu, penyusun juga melakukan kajian ini menggunakan cara library research sebagai metode pencarian data-data dan menyampaikanya dengan cara deskriptip-analitik. Untuk data primer merujuk kepada hasil keputusan fatwa MUI dan Bahtsul Masail NU, sedangkan untuk sumber pendukung merujuk kepada buku, jurnal, dan karya ilmiah lainya yang terkait dengan tema. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam menetapkan sebuah fatwa baik MUI maupun NU mempunyai model penetapan dan hasil yang berbeda. MUI menilai bahwa BPJS Kesehatan belum sesuai dengan syariah karena di dalam akad antar para pihak masih mengandung unsur gharar, maisir, dan riba dengan penekanan kepada teks-teks al-Quran dan Sunnah serta pendapat ulama. Sedangkan NU menilai BPJS Kesehatan sudah sesuai dengan syariat Islam karena masuk kedalam akad ta’awun yang didapatkan melalui penalaran terhadap kitab-kitab para ulama.

Item Type: Thesis (Skripsi)
Additional Information: STATUS BPJS KESEHATAN MENURUT ISLAM: STUDI KOMPARATIF MENURUT HASIL KEPUTUSAN MUI DAN HASIL KEPUTUSAN NU SKRIPSI DIAJUKAN KEPADA FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN SYARAT-SYARAT MEMPEROLEH GELAR SARJANA STRATA SATU DALAM ILMU HUKUM ISLAM OLEH : BAKHTIAR YUSUF NIM: 13360042 PEMBIMBING : GUSNAM HARIS, S.Ag., M.Ag. NIP: 19720812 199803 1 004 PERBANDINGAN MAZHAB FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA 2017 ABSTRAK Kesehatan adalah hak dasar setiap orang, dan semua warga negara berhak mendapatkan pelayanan kesehatan. Dengan mempertimbangkan tingkat urgensi kesehatan termasuk menjalankan amanah UUD 1945, maka pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah telah melakukan beberapa upaya untuk meningkatkan kemudahan akses pada fasilitas kesehatan. Oleh sebab itu, pemerintah menuangkanya kedalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau kemudian disebut dengan BPJS Kesehatan. Pada tahun 2015, MUI dalam agenda Ijtima’ Ulama se-Indonesia mengeluarkan beberapa fatwa, salah satunya adalah fatwa tentang BPJS Kesehatan. Di dalam fatwa tersebut MUI berpendapat bahwa secara umum BPJS Kesehatan belum mencerminkan konsep ideal jaminan sosial dalam Islam. Kemudian PBNU dalam agenda Muktamar NU di Jombang juga melakukan pembahasan yang sama terkait dengan status hukum BPJS Kesehatan melalui lembaga Bahtsul Masail. Di dalam kesimpulanya PBNU menilai bahwa BPJS Kesehatan yang selama ini di jalankan oleh pemerintah tidak ada masalah dalam kacamata syariah karena prinsip BPJS Kesehatan bukan seperti prinsip asuransi pada umumnya. Hal ini berbeda dari fatwa yang dikeluarkan oleh MUI. Melihat perbedaan pendapat kedua lembaga tersebut, maka penyusun tertarik untuk mengkaji bagaimana metode pengambilan keputusan hasil Ijtima’ Ulama MUI dan Bahtsul Masail NU dalam menetapkan status hukum BPJS Kesehatan, serta letak persamaan dan perbedaan kedua lembaga tersebut dalam menetapkan status hukum BPJS Kesehatan. Selain itu, penyusun juga tertarik untuk melihat hasil fatwa tersebut melalui perspektif kemaslahatan. Dalam melakukan kajian ini, penyusun menggunakan metode maslahah, yaitu suatu ilmu yang digunakan untuk menilai sebuah keputusan hukum berdasarkan kemanfaatan yang akan dicapai bagi masyarakat. Dengan kata lain, metode maslahah ini kemudian akan digunakan sebagai analisis sebuah fatwa. Selain itu, penyusun juga melakukan kajian ini menggunakan cara library research sebagai metode pencarian data-data dan menyampaikanya dengan cara deskriptip-analitik. Untuk data primer merujuk kepada hasil keputusan fatwa MUI dan Bahtsul Masail NU, sedangkan untuk sumber pendukung merujuk kepada buku, jurnal, dan karya ilmiah lainya yang terkait dengan tema. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam menetapkan sebuah fatwa baik MUI maupun NU mempunyai model penetapan dan hasil yang berbeda. MUI menilai bahwa BPJS Kesehatan belum sesuai dengan syariah karena di dalam akad antar para pihak masih mengandung unsur gharar, maisir, dan riba dengan penekanan kepada teks-teks al-Quran dan Sunnah serta pendapat ulama. Sedangkan NU menilai BPJS Kesehatan sudah sesuai dengan syariat Islam karena masuk kedalam akad ta’awun yang didapatkan melalui penalaran terhadap kitab-kitab para ulama. ii iii iv KEMENTERIAN AGAMA UNIVERSITA S ISLAM NEGERI SUNAN KALUAGA FAKULTAS SYARI'AH DAN HUKUM Jl. Marsda Adisucipto Telp (0274) 512840 Fax. (0274) 545614 Yogyakarta 55281 PENGESAHAN TUGAS AKHIR Nomor :B-336/Un.02iDSIPPJ)09i07/20l7 Tugas Akhirdenganjudul : STATUS BPJS KESEHATAN M ENURUT ISLAM : STUDI KOMPARATIF MENURUT HASIL KEPUTUSAN MU1 DAN HASIL KEPUTUSAN NU Yang dipersiapkan dan disusun oleh: Nama Nomor Induk Mahasiswa Telah diujika n pada Nilai Munaq asyah :BAKHTIAR YUSUF : 13360042 : Selasa, 18 Juli 2017 : AlB Dinyalakan teJab diterima oleh Fakultas Syari'ah dan Aukum UIN Snnan Kalijaga Yogyaka:rta TIM UJIAN TUGAS AKHIR Pengtgi I / NIP. 19700912 199803 1 003 v SISTEM TRANSLITERASI ARAB-LATIN Transliterasi kata-kata Arab yang dipakai dalam penyusunan skripsi ini berpedoman pada Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor: 158/1987 dan 0543b/U/1987. A. Konsonan Tunggal Huruf Arab Nama Huruf Latin Keterangan ا Alif Tidak dilambangkan Tidak dilambangkan ب Ba‟ B Be ت Ta T Te ث Ṡa Ś es (dengan titik di atas) ج Jim J Je ح Ḥa n n t t خ Kha Kh ka dan ha د Dal D De ذ Ż l Ż ż t n n t t t s ر Ra R Er ز Zai Z Zet ش Sin S Es ظ Syin Sy es dan ye vi ص d es (dengan titik di bawah) ض d de (dengan titik di bawah) ط Ṭa Ţ te (dengan titik di bawah) ظ Ẓa zet (dengan titik dibawah) ع „Ain „ koma terbalik (di atas) غ Gain G ge dan ha ف Fa F Ef ق Qaf Q Qi ك Kaf K Ka ل Lam L El و Mim M Em ن Nun N En و Wawu W We ﻫ Ha H Ha ﺀ Hamzah ‟ Apostrof ٌYa Y Ye vii B. Konsonan Rangkap Konsonan rangkap yang disebabkan oleh syaddah ditulis rangkap. contoh : َلَسَو Ditulis Nazzala َههِ تِ Ditulis Bihinna C. Ta’ Marbutah diakhir Kata 1. Bila dimatikan ditulis h ْةَمْكِح Ditulis Hikmah ْةَهِع Ditulis „ ll D. Vokal Pendek ﹷ َمَعَف fathah Ditulis ditulis A f ‟ l ﹻ َرِكُذ kasrah Ditulis ditulis I Żu r ﹹ ُةَﻫْﺬَﻴ dammah Ditulis ditulis U Y ż u viii E. Vokal Panjang Fatḥah + alif 1 Ditulis Ᾱ ًَضْوَﺘ لافَ ditulis F lāt nsā 2 K sr + y ‟ m t ٌلْﻴِﺼْﻔَﺘ Ditulis ditulis Ῑ T fs īl Ḍammah + wawu mati 3 ُلْىُﺼُﺃ Ditulis ditulis Ū s l F. Vokal Rangkap F t + y ‟ m t 1 ًْنْﻴَﻫُسها Ditulis ditulis Ai az-zu lī Fathah + wawu mati 2 ْةَنْىَﺪها Ditulis ditulis Au ad-daulah G. Kata Pendek yang Berurutan dalam Satu Kata Dipisahkan dengan Apostrof ْتَﺪعِ ﺃُ Ditulis ‟ t H. Kata Sandang Alif dan Lam 1. B l ut uruf qom r yy tul s n n m n un n uruf “l” ْنآْرُﻘنا Ditulis Al-Qur‟ân ix ْشاَﻴﻘِ نا Ditulis Al-Q yās 2. Bila diikuti huruf Syamsiyyah ditulis dengan menggunakan huruf Syamsiyyah yang mengikutinya, dengan menghilangkan huruf l (el) nya. ْءاَمَطنا Ditulis As- mā‟ ْصْمَشنا Ditulis Asy-Syams H. Penulisan Kata-kata dalam Rangkaian Kalimat Ditulis menurut penulisnya ْدْورُ ُﻔْنا يِوذَ Ditulis Ż ī l-fur ْةَىطُ نا ُمﻫْ َﺃ Ditulis Ahl as-sunnah x Motto: مكما ىهع اهساسأو اهانبم تعيرشنا لدع يهو .داعلماو شاعلما فى دابعنا لحاصمو مكف ,اههك تحهصمو ,اههك تحمرو ,اههك هعو ,رىلا لىإ لدعنا هع تجرخ تنأسم ,ةدسفلما لىإ تحهصلما هعو ,اهدض لىإ تحمرنا هم تسيهف ,ثبعنا لىإ تمكما هعو .ميوأتناب اهيف تهخدأ نإو ,تعيرشنا )ميقنا هبا املإا( “Teks-teks agama ada yang sejalan dengan akal pikiran, ada yang (tampaknya) tidak. Jika sejalan, tidak ada masalah. Namun, jika (tampaknya) bertentangan dengan nalar, teks-teks tersebut perlu diinterpretasi” (Ibnu Rusyd) xi Persembahan Karya ini ku persembahkan kepada kedua orangtuaku dan juga keluargaku sebagai bentuk baktiku kepada kalian semua yang selalu memberikan motivasi, doa, dukungan berupa moril dan materiil untuk mendorong terselesaikannya karya ini. Untuk teman-teman Bani Krapyak dan teman-teman Jurusan Perbandingan Mazhab angkatan 2013. Terimakasih tiada tara untuk semua pihak yang membantu terselesaikannya skripsi ini. xii KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah SWT, yang senantiasa memberikan karunia-Nya yang agung, terutama karunia kenikmatan iman dan Islam. Hanya kepada-Nya kita menyembah dan hanya kepada-Nya kita meminta pertolongan, serta atas pertolongan-Nya yang berupa kekuatan iman dan Islam akhirnya penyusun dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita Baginda Nabi Agung Muhammad SAW, yang menyatakan dirinya sebagai guru, “ Bu’iṡtu Mu’alliman” dan memang beliau adalah pendidik terbaik sepanjang zaman yang telah berhasil mendidik umatnya. Shalawat dan salam juga semoga tercurahkan pada para keluarga, sahabat, dan para pengikut beliau. Skripsi dengan judul “STATUS BPJS KESEHATAN MENURUT ISLAM: STUDI KOMPARATIF MENURUT HASIL KEPUTUSAN MUI DAN HASIL KEPUTUSAN NU” disusun untuk melengkapi dan memenuhi salah satu syarat kelulusan mahasiswa S1 Perbandingan Mazhab Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Penyusunan skripsi ini tidak akan terwujud tanpa adanya bantuan, bimbingan dan dorongan dari xiii berbagai pihak. Oleh karena itu dengan segala hormat dan kerendahan hati penyusun menghaturkan terimakasih kepada: 1. Bapak Prof. Drs. K.H. Yudian Wahyudi, M.A., Ph.D, selaku Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta beserta staffnya. 2. Bapak Dr. H. Agus Moh. Najib, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum beserta staffnya. 3. Bapak H. Wawan Gunawan Abdul Wahid, S.Ag., M.Ag, selaku Ketua Jurusan Perbandingan Mazhab beserta staff Jurusan. 4. Bapak Gusnam Haris, S.Ag., M.Ag., yang telah membimbing penyusun menyelesaikan studi ini. Dengan arahan, kritik dan saran yang telah diberikan dalam menjawab kegelisahan penulis untuk kesempurnaan skripsi ini. 5. Seluruh staff pengajar di Jurusan Perbandingan Mazhab. Penyusun ucapkan Terimakasih atas pelajaran yang diberikan selama ini. 6. Kepada ibu dan bapak tercinta, yang telah membimbing, memotivasi, memberikan dukungan dan doa di setiap langkah yang ku tempuh. 7. Kakak-kakak tercinta, terimakasih atas semua dukungan yang telah diberikan kepada adik bungsumu dalam menyelesaikan studi ini. 8. Saudara-saudaraku dan sahabat-sahabatku, terutama Bani Krapyak, Mahrus Fauzi, Rozien, Zufran, Amir, Adi, Tubagus dan teman-teman Jurusan Perbandingan Mazhab angkatan 2013. Tanpa kalian kuliah akan terasa hambar. Terima kasih atas canda, tawa serta transformasi keilmuan xiv yang selama ini telah kita jalani. Semoga kita semua diberi kebaikan dan kesuksesan oleh Allah SWT. 9. Dan pihak-pihak lain yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu dalam tulisan ini, terima kasih atas dukungannya. Diharapkan skripsi ini tidak hanya berakhir di ruang munaqasyah saja, tentu masih banyak kekurangan yang membutuhkan kritik dan saran. Oleh karena itu, demi kepentingan ilmu pengetahuan, penyusun selalu terbuka menerima masukan serta kritikan. Semoga skripsi ini bisa bermanfaat bagi Kita semua. Terima kasih. Yogyakarta, 25 Ramadhan 1438 H 20 Juni 2017 M Penyusun Bakhtiar Yusuf NIM 13360042 xv DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i ABSTRAK .................................................................................................... ..... ii HALAMAN SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ....................................... iii HALAMAN PERSETUJUAN SKRIPSI ........................................................ iv HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................... v PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN ............................................ vi HALAMAN MOTTO ....................................................................................... xi HALAMAN PERSEMBAHAN xii KATA PENGANTAR xiii DAFTAR ISI xvi BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1 B. Pokok Masalah 10 C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .............................................. 11 D. Telaah Pustaka .......................................................................... 11 E. Kerangka Teoritik ..................................................................... 14 F. Metode Penelitian ...................................................................... 19 G. Sistematika Pembahasan ........................................................... 24 xvi BAB II PENGGUNAAN TEORI PENELITIAN .................................... 25 A. Sejarah Pembentukan Hukum Islam .......................................... 25 B. Ushul Fikih................................................................................. 30 C. Sebab-sebab Terjadinya Perbedaan Pendapat. ........................... 35 D. Maslahat ..................................................................................... 35 1. Definisi Maslahat .................................................................. 35 2. Pembagian Kebutuhan Maslahat ........................................... 38 3. Macam-macam Maslahat 40 BAB III HUKUM BPJS KESEHATAN MENURUT MAJELIS ULAMA INDONESIA DAN NAHDLATUL ULAMA ............................. 43 A. Status BPJS Kesehatan Menurut Majelis Ulama Indonesia ...... 43 1. Sejarah Lahirnya Majelis Ulama Indonesia .......................... 43 2. Pandangan Majelis Ulama Indonesia Tentang Status BPJS Kesehatan ............................................................................. 52 B. Satus BPJS Kesehatan Menurut Nahdlatul Ulama..................... 60 1. Sejarah Lahirnya Nahdlatul Ulama ....................................... 60 2. Pandangan Nahdlatul Ulama Tentang BPJS Kesehatan........ 68 BAB IV ANALISIS KOMPARATIF PUTUSAN MAJELIS ULAMA INDONESIA DAN NAHDLATUL ULAMA TENTANG STATUS BPJS KESEHATAN .................................................................... 80 A. Analisis Menurut Majelis Ulama Indonesia dan Bahtsul Masail Tentang BPJS Kesehatan ........................................................... 80 xvii 1. Aspek Pengambilan Hukum dan Penggunaan Dalil 80 2. Aspek Maslahat ................................................................. 87 3. Aspek Persamaan dan Perbedaan ...................................... 95 a. Aspek Perbedaan ............................................................... 95 b. Aspek Persamaan .............................................................. 97 BAB V PENUTUP ..................................................................................... 99 A. Kesimpulan ............................................................................... 99 B. Saran 100 DAFTAR PUSTAKA 102 LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................................ I 1. DAFTAR TERJEMAHAN ............................................................................... I 2. BIOGRAFI ULAMA DAN TOKOH ............................................................... III 3. FATWA MUI TENTANG BPJS ...................................................................... IV 4. FATWA NU TENTANG BPJS ........................................................................ XI xviii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembahasan mengenai Hukum Islam tidak akan pernah ada habisnya. Meskipun dalam Islam sudah ada al-Quran dan hadis sebagai dasar hukum dan pedoman hidup yang utama. Namun dengan adanya perubahan zaman, seringkali muncul persoalan-persoalan yang tidak ditemukan pemecahan hukumnya, baik di dalam al-Qur‟an maupun hadis. Selain itu, salah satu faktor yang menjadikan adanya perubahan hukum dalam penetapan hukum Islam ialah tingkat kemaslahatan dan kemadharatan akibat hukum itu sendiri.1 Selain dari pada itu, Islam biasannya didefinisikan sebagai wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad yang terdiri atas dua macam: wahyu yang berbentuk al-Qur‟an dan wahyu yang berbentuk hadis Nabi Muhammad saw.2 Untuk bisa menjawab sebuah permasalahan yang ada di tengah-tengah masyarakat, maka di butuhkan seperangkat pemahaman terhadap wahyu. Ilmu tersebut adalah ilmu usul fikih yang kemudian digunakan sebagai dasar ijtihad. Di dalam proses berijtihad ada beberapa langkah yang harus diperhatikan, yaitu berdasarkan al-Qur‟an, Sunnah, qiyās, dan ijmā‟.3 Selain empat dalil 1 Deniwahyudin, “Hukum Menembok Kuburan: Studi Komparasi Antara Majelis Tarjih Muhammadiyah Dan Bahtsul Masail NU”, Skripsi, (Yogyakarta: Fakultas Syari‟ah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2016), hlm. 1. 2 M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam Dalam Teori Dan Praktek, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 19. 3 Muhammad Khudlari Bik, Uṣūl al-Fiqh, (Libanon: Dar al-Fikr, 1988), hlm. 3. Bandingkan dengan pemaparan dari Abdul Wahab Khalaf tentang urutan dalil ijtihad. Di dalam 1 2 tersebut, masih ada dalil lain yang bisa digunakan sebagai metode penemuan hukum Islam, antara lain: fatwa sahabat, istiḥsān, „urf, maṣlaḥaḥ mursalah, istiṣhab, dan syar‟u man qablanā.4 Begitu pentingnya fungsi ijtihad, terlebih lagi di zaman modern seperti sekarang dimana permasalahan semakin kompleks. Oleh sebab itu, fatwa dari hasil ijtihad tidak boleh dikeluarkan oleh sembarang pihak atau lembaga yang mempunyai kompetensi untuk itu. Jika fatwa dikeluarkan secara sembarangan akan melahirkan tindakan tahakkum (perbuatan membuat-buat hukum) dan tasyarrū‟ (membuat-buat syari‟at baru), keduanya sama-sama dilarang oleh agama.5 Oleh sebab itu, untuk menghindari kesalahan dalam berijtihad, para ulama telah memberikan beberapa kriteria bagi seorang mujtahid sebelum melakukan istinbāṭ al-aḥkām. Wahbah az-Zuhaily6 memaparkan delapan syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid, antara lain: Pertama, mengetahui secara baik bahasa al-Quran dan ayat-ayat hukum di dalam al-Quran. Kedua, mengetahui secara baik hadits-hadits hukum. Ketiga, memiliki pengetahuan tentang nasīkh dan mansūkh di dalam al-Quran maupun Sunnah . Keempat, mengetahui tentang ijmā‟. Kelima, memiliki pengetahuan tentang qiyās. bukunya, Wahab Khalaf menempatkan ijma‟ dahulu sebelum qiyas yang kemudian disusul dengan dalil-dalil yang lain. Abdul Wahab Khalaf, „Ilm Uṣūl Fiqh, (Mesir: Dār al-Qalām, 1978), hlm. 233. 412. 4 Muhammad Abu Zahrah, Uṣūl al-Fiqh, (Libanon: Dār al-Fikr „Arābiy, t.t), hlm. 408- 5 Mashudi, Kontruksi Hukum Dan Respon Masyarakat Terhadap Sertifikasi Produk Halal: Studi Socio-Legal Terhadap Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan, Dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), hlm. 37-38. 6 Wahbah az-Zuhaily, Uṣūl al-Fiqh al-Islāmī, (Beirūt: Dār al-Fikr, 1986), hlm. 1044- 1049. 3 Keenam, menguasai bahasa arab beserta nahwū, ṣarf, dan gaya bahasa di dalam al-Quran maupun hadist. Ketujuh, menguasai ilmu usul fikih. Kedelapan, mengetahui maqāṣid asy-syarī‟ah dalam beristinbāṭ. Dalam konteks Indonesia, ketika berbicara tentang ulama, di negeri ini telah banyak melahirkan ulama-ulama besar. Ulama-ulama tersebut juga memiliki kontribusi dalam menuntun umat menuju kemajuan. Salah satu bentuk kontribusinya adalah dalam memberikan fatwa dalam berbagai permasalahan, dimulai dari permasalahan ibadah, mu‟āmalāh, makanan halal, kedokteran, kenegaraan, teknologi, sampai dengan permasalahan kontemporer. Sepanjang sejarah berdirinya bangsa Indonesia, peranan ulama sudah tidak dapat diragukan lagi. Perjuangan melawan penjajahan Belanda, Inggris dan lainnya, ulama mempunyai andil yang besar. Mereka menggerakkan para santrinya atau menggerakkan rakyat untuk melawan penjajah yang mereka anggap sebagai kafir dan musuh Islam, dan oleh karena itu umat Islam wajib hukumnya mengangkat senjata untuk mengusir penjajah.7 Oleh karena itu, peranan para ulama begitu besar bagi bangsa Indonesia. Selain memberikan fatwa keagamaan, para ulama juga turut serta dalam mewujudkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Dalam konteks pemberian fatwa keagamaan, di Indonesia terdapat organisasi keagamaan yang sudah lama memiliki integritas dalam pemberian fatwa, diantaranya adalah Majelis Ulama Indonesia melalui Komisi Fatwanya dan Nahdlatul Ulama dengan Lembaga Bahtsul Masailnya. Tujuan 7 Umar Hasyim, Mencari Ulama Pewaris Para Nabi: Selayang Pandang Sejarah Para Ulama, (Bekasi: Bina Ilmu, 1998), hlm. 217-218. 4 dibentuknya Komisi Fatwa dan Bahtsul Masail adalah untuk mengeluarkan fatwa-fatwa hukum Islam dari sumber hukum asalnya, terutama dalam menghadapi persoalan-persoalan yang timbul di alam Indonesia.8 Majelis Ulama Indonesia sendiri didirikan pada tanggal 17 Rajab 1395 H, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 M oleh Musyawarah Nasional I Majelis Ulama se-Indonesia di Jakarta. Lembaga ini dibentuk sebagai sebuah wadah musyawarah ulama, zu‟amā dan cendekiawan muslim. Majelis ini bertujuan mengamalkan ajaran Islam untuk ikut serta mewujudkan masyarakat yang aman, damai, adil, dan makmur, rohaniah serta jasmaniah yang diridhai Allah swt. dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.9 Sejak berdirinya pada tahun 1975 sampai tahun 1988 Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan lebih dari 39 buah fatwa. Jumlah tersebut bisa saja bertambah berkali-kali lipat sampai tahun 2016. Hal ini dikarenakan zaman yang semakin maju dengan banyaknya permasalahan baru di dalamnya. Fatwa-fatwa itu mencakup banyak bidang kehidupan, yaitu ibadah, perkawinan dan keluarga, makanan, kebudayaan, soal hubungan antar agama, soal-soal kedokteran dan permasalahan bisnis kontemporer.10 8 Rohadi Abdul Fatah, Analisis Fatwa Keagamaan Dalam Fiqh Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hlm. 41. 9 Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa MUI Bidang Sosial Dan Budaya, (Jakarta: Erlangga, 2015), hlm. vii. 10 M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi Dan Liberasi, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), hlm. 133. 5 Secara teoritis MUI mempunyai pedoman bahwa dasar pengeluaran suatu fatwa ialah setelah meneliti secara tuntas dasar-dasar atau argumen-argumen dari al-Qur‟an, hadits, ijmā‟, dan qiyās dengan urutan seperti itu.11 Hal tersebut sudah menjadi Pedoman Penetapan Fatwa MUI pada Bab II Pasal 3. Kemudian fatwa keagamaan MUI mempunyai prinsip sistematis, argumentatif, kontekstual, dan aplikatif12. Lebih lanjut lagi, MUI dalam berijtihad menggunakan model ijtihad insyā‟i dan ijtihad intiqā‟i13 atau metode bayānī dan ta‟līlī.14 Dalam menetapkan sebuah fatwa, gambaran utama di dalam setiap penetapan fatwa MUI masih dikuasai oleh pandangan Imam Syafi‟i. Penunjukan pada karya-karya Syafi‟i masih demikian sering dilakukan sehingga terwujud suatu pola susunan referensi tertentu. Beberapa naskah Syafi‟i tertentu seperti Syarh al-Muhazzāb dari an-Nawawi dan Fatḥ al- Wahhāb dari al-Anshari mendapat prioritas lebih selain Tuḥfat al-Muḥtāj dari Ibnu Hajar al-Haitami dan I‟ānāt at-Ṭālibīn dari Sayyid Bakri ad-Dimyati.15 Selain MUI, ada Nahdlatul Ulama yang memiliki lembaga Bahtsul Masail. Berbicara tentang Nahdlatul Ulama setidaknya ada lima periode menarik sejak awal pembentukan organisasi ini. Periode pertama adalah sejak tahun 1926 sampai 1945 ketika NU eksis sebagai ormas Islam. Periode kedua, dari tahun 11Ibid., hlm. 134. 12 Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa MUI..., hlm. xxiv. 13Ibid., hlm. xlii 14Ibid., hlm. xxviii. 15 M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam Dalam Teori Dan Praktek, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 249. 6 1945 sampai 1952 ketika NU bergabung untuk masuk kedalam percaturan politik dengan Masyumi. Periode ketiga, dari tahun 1952 sampai 1973, ketika NU memutuskan untuk maju secara independen dalam ranah politik dan memutuskan untuk keluar dari Masyumi. Periode keempat, berlangsung dari tahun 1973 sampai 1984 ketika NU bergabung dengan partai PPP. Dan periode kelima, dari tahun 1984 sampai sekarang, NU kembali ke khiṭṭāh sebagai ormas Islam dan tidak lagi bergabung kedalam politik praktis.16 Sebagai sebuah ormas Islam yang kental dengan tradisi pesantren, fikih merupakan pengetahuan yang dianggap paling penting di lingkungan NU, dan penerapan fikih yang paling umum adalah dalam bentuk fatwa, ketetapan otoritatif.17 Di lingkungan NU, fatwa dikeluaran dalam beberapa tingkatan, dari tingkat cabang sampai nasional yang sebelumnya mendapatkan pertanyaan dari seseorang melalui forum Bahtsul Masail.18 Di dalam mengeluarkan fatwanya, NU tidak dapat di lepaskan dari tradisi pemikiran fikih mażhābī atau fiqh empat madzhab, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi‟i dan Hambali. Sudah menjadi kesepakatan ulama sejak dulu bahwa untuk memecahkan masalah-masalah keagamaan yang terkait dengan hukum fikih, NU mempergunakan acuan fikih empat madzhab tersebut.19 Meskipun ide dasarnya mengikuti salah satu dari empat madzhab, namun dalam 16 Faisal Ismail, Islamic Traditionalism In Indonesia: A Study Of The Nahdlatul Ulama‟s Early History And Religious Ideology (1926-1950), (Jakarta: Departemen Agama, 2003), hlm. 1-2. 17 Martin Van Bruinessen, NU Tradisi Relasi-Relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru, alih bahasa Farid Wajidi, (Yogyakarta: LKiS, 1994), hlm. 208. 18Ibid., hlm. 212. 19 Ahmad Zahro, Lajnah Bahtsul Masail NU 1926-1999: Tradisi Intelektual NU, (Yogyakarta: LKiS, 2004), hlm 7 prakteknya, dilihat dari putusan hukum agamanya, hanya mendasarkan pada kitab-kitab karya para pengikut Imam Syafi‟i.20 Para ulama NU dan forum Bahtsul Masail mengarahkan orientasinya dalam pengambilan hukum kepada aqwā al-mujtahidīn yang muṭlāq maupun muntaṣīb. Bila kebetulan ditemukan qaul manṣūṣ, maka qaul itulah yang dipegangi. Jika tidak ditemukan, maka akan beralih ke qaul mukharrāj. Bila terjadi khilāf, maka diambil yang paling kuat sesuai dengan pentarjihan ahli tarjīḥ.21 Sebagai sebuah ormas agama yang sama-sama memiliki lembaga fatwa, baik MUI maupun NU seringkali berbeda dalam memutuskan suatu permasalahan. Hal tersebut disebabkan karena pemahaman masing-masing berkaitan dengan banyak faktor yang mungkin berbeda antara kedua organisasi ini.22 Salah satu bentuk nyata perbedaan tersebut adalah pada saat menetapkan status hukum BPJS Kesehatan dalam Islam. BPJS Kesehatan sendiri adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan23. Jaminan kesehatan sendiri adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan 20 Ahmad Qodri A. Azizy, Islam Dan Permasalahan Sosial: Mencari Jalan Keluar, (Yogyakarta: LKiS, 2000), hlm. 25. 21 Sahal Mahfudh, “Bahtsul Masail Dan Istinbath Hukum NU: Sebuah Catatan Pendek”, dalam, Akhmad Sahal, Munawir Aziz (ed.), Islam Nusantara: Dari Ushul Fiqh Hingga Paham Kebangsaan, (Bandung, Mizan, 2015), hlm. 51-52. 22 Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran: Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Masyarakat, (Bandung: Mizan, 2013), hlm. 570. 23 Kementerian Kesehatan RI, Buku Saku FAQ BPJS Kesehatan, (Jakarta: Kemenkes RI, 2013), hlm. 3. 8 dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah24. Pelaksanaan program BPJS Kesehatan itu sendiri berdasarkan kepada UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN dan UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS.25 Sedangkan BPJS Kesehatan baru beroperasi pada tanggal 1 Januari 2014.26 Semua penduduk Indonesia wajib menjadi peserta jaminan kesehatan yang dikelola oleh BPJS termasuk orang asing yang telah bekerja paling singkat enam bulan di Indonesia dan telah membayar iuran.27 Untuk kepesertaan BPJS Kesehatan sendiri, pemerintah mengelompokan dua kelompok: PBI jaminan kesehatan dan bukan PBI jaminan kesehatan.28 PBI jaminan kesehatan adalah penerima bantuan iuran yang iurannya dibayar oleh pemerintah. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah golongan fakir, miskin, dan orang cacat total tetap.29 Sedangkan untuk kelompok yang termasuk kedalam kategori bukan PBI jaminan kesehatan adalah pekerja penerima upah dan keluargannya (PNS, TNI, POLRI, Pejabat Negara), pekerja bukan penerima upah dan keluarganya (setiap orang yang bekerja atau berusaha atas risiko sendiri), bukan pekerja dan keluargannya (investor, pensiunan, veteran).30 24 Ibid., hlm. 5. 25 Ibid., hlm. xi. 26 Ibid., hlm. 4. 27 Ibid., hlm. 6. 28 Ibid., hlm. 7. 29 Ibid., hlm. 8. 30 Selengkapnya, Ibid., hlm. 11, 14, 15, 18. 9 Untuk bisa mengikuti program BPJS Kesehatan sendiri, peserta harus mengikuti prosedur yang telah ditetapkan. Tahap pertama yang dilakukan adalah pendaftaran dengan mengisi form-form yang telah tersedia. Di dalam form tersebut juga peserta ditawarkan kelas-kelas pelayanan apabila suatu saat jatuh sakit. Peserta juga wajib membayar iuran setiap bulannya sesuai dengan pelayanan yang telah ditentukan. Apabila peserta BPJS telat dalam membayar iuran tersebut, maka akan dikenai sanksi administrasi sebesar dua persen. Setelah kebijakan tentang BPJS Kesehatan ini telah berjalan, di tahun 2015 MUI mengeluarkan fatwanya tentang BPJS Kesehatan ini dalam agenda Ijtima‟ Ulama Komisi Fatwa MUI Tahun 2015. MUI menyatakan bahwa BPJS Kesehatan belum sesuai dengan prinsip syari‟ah, karena di dalam akadnya masih ada unsur garār, maisīr dan ribā. Garār secara terminologi adalah penipuan dan tidak mengetahui sesuatu yang diakadkan yang di dalamnya diperkirakan tidak ada unsur kerelaan. Maisīr adalah memperoleh keuntungan tanpa bekerja, yang biasanya disertai unsur pertaruhan atau spekulasi dan BPJS Kesehatan juga melakukan ribā yang dilarang oleh Islam. Ribā didapat BPJS Kesehatan dengan menarik bunga sebagai denda atas keterlambatan pembayaran.31 Oleh sebab itu MUI merekomendasikan kepada pemerintah untuk membentuk, menyelenggarakan, dan melakukan pelayanan jaminan sosial berdasarkan prinsip syari‟ah.32 31http://nasional.kompas.com/read/2015/07/30/18280481/BPJS.Kesehatan.Dinilai.Tak.Se suai.Syariah.Ini.Dasar.Pertimbangan.MUI. Diakses pada 31/03/2017. 32 Lihat Hasil Ijtima‟ Ulama MUI V 2015, format pdf, dalam http://mui.or.id/wp- content/uploads/2015/06/MU-Hasil-Ijtima-Ulama-V-tahun-2015.pdf. Diakses pada 04/01/2017. 10 Tak lama berselang masih di tahun yang sama, NU dalam Muktamarnya yang ke-33 di Jombang juga membahas tentang status hukum BPJS Kesehatan dalam hukum Islam. Di dalam kesimpulan fatwanya, NU berpendapat bahwa konsep tentang BPJS Kesehatan telah sesuai dengan syari‟ah dan menilai akad yang ada di dalamnya termasuk akad ta‟āwun.33 Dari penjelasan di atas, bahwa MUI dan NU berbeda pendapat tentang fatwa hukum BPJS Kesehatan, dari sinilah penyusun tertarik untuk mengkaji dan meneliti lebih jauh bagaimana hukum BPJS Kesehatan menurut MUI dan NU, kemudian metode istinbāṭ hukum apa yang dipakai oleh MUI dan NU dalam memutuskan hukum BPJS Kesehatan serta melihat nilai-nilai kemaslahatan yang dihasilkan oleh kedua fatwa tersebut. Sehingga dari penelitian ini akan didapatkan sebuah bangunan keilmuan yang komprehensif dalam memahami fatwa yang dikeluarkan oleh MUI dan NU. B. Pokok Masalah Berangkat dari semua rangkaian pembahasan dalam latar belakang masalah di atas, penyusun melihat adanya beberapa pokok masalah yang dapat diangkat dalam penelitian ini, antara lain: 1. Bagaimana pandangan serta metode fatwa Majelis Ulama Indonesia dan Nahdlatul Ulama terhadap status hukum BPJS Kesehatan? 2. Apa persamaan dan perbedaan diantara keduanya terkait dengan hukum BPJS Kesehatan? 33 Rumadi, dkk (ed.), Hasil-Hasil Muktamar Ke-33 Nahdlatul Ulama, (Jakarta: LTN PBNU, 2016), hlm. 117. 11 C.Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan. Tujuan dari penelitian ini adalah: a. Untuk menjelaskan metode penetapan hukum dari MUI dan NU terhadap hukum BPJS Kesehatan. b.Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan antara MUI dan NU terkait penetapan status hukum BPJS Kesehatan, baik dari segi metode istinbāṭ maupun dari segi pandangan hukumnya. 2. Kegunaan. a. Sebagai kontribusi pemikiran dalam ilmu pengetahuan khususnya dalam ilmu hukum Islam. b. Sebagai respon dari fenomena yang ada di masyarakat seputar polemik tentang BPJS Kesehatan. D. Telaah Pustaka Telaah pustaka dilakukan untuk mendapatkan gambaran tentang hubungan pembahasan dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, sehingga tidak terjadi pengulangan atau plagiasi karya ilmiah yang pernah ada. Dalam hal ini adalah tentang permasalahan BPJS Kesehatan. Permasalahan tentang BPJS Kesehatan adalah termasuk permasalahan baru dalam dunia kesehatan. BPJS Kesehatan sendiri adalah sebuah upaya pemerintah untuk memberikan pelayanan kesehatan gratis kepada masyarakat yang membutuhkan. 12 Tetapi kemudian pada tahun 2015 muncul fatwa MUI dan NU terkait dengan BPJS Kesehatan ini. Penelitian tentang metode penetapan fatwa MUI maupun NU sudah banyak dilakukan. Termasuk penyusun yang mencoba melakukan penelitian terhadap fatwa kedua lembaga ini dalam permasalahan BPJS Kesehatan. Adapun beberapa penelitian lain yang penyusun temukan dan menyangkut tentang asuransi kesehatan atau BPJS Kesehatan, adalah sebagai berikut: Indira Kartini dalam karya tesisnya pada tahun 2016 yang berjudul, “Operasionalisasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Perspektif Hukum Islam”.34 Fokus masalah dalam penelitian tersebut adalah untuk mengetahui dan menjelaskan operasionalisasi yang dilakukan oleh BPJS Kesehatan. Selain itu juga dalam karya tersebut mencoba untuk menganalisa kedudukan akad dan status BPJS Kesehatan dalam hukum Islam. Kemudian skripsi karya Karlinda Yunita pada tahun 2016 yang berjudul, “Asuransi Jiwa Syariah Menurut Lajnah Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama Dan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia”.35 Fokus dari pembahasan skripsi tersebut adalah mencoba untuk mengetahui metode istinbāṭ serta persamaan dan perbedaan NU dan MUI dalam memutuskan hukum asuransi jiwa syari‟ah berdasarkan fatwa yang dikeluarkan dalam 34 Indira Kartini, “Operasionalisasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Perspektif Hukum Islam”, Tesis yang diterbitkan UIN Sunan Kalijaga tahun 2016. 35 Karlinda Yunita, “Asuransi Jiwa Syariah Menurut Lajnah Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama Dan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia”, Skripsi yang diterbitkan UIN Sunan Kalijaga tahun 2016. 13 Keputusan Alim Ulama NU di Bandar Lampung pada tahun 1992 dan dari hasil fatwa Dewan Syariah Nasional MUI. Skripsi Rina Muthmainnah pada tahun 2016 yang berjudul, “Analisis Terhadap Hasil Bahtsul Masail Muktamar NU Ke-33 Tahun 2015 Tentang BPJS”.36Dalam karya ini penyusun mencoba menganalisis metode penetapan fatwa yang dilakukan oleh NU dalam memutuskan permasalahan BPJS. Dalam penelitianya, skripsi ini menggunakan metode penelitian pustaka dan menggunakan pendekatan normatif. Kemudian teknik analisis data yang digunakan adalah deskriptif analitis. Skripsi Khurotun „Ainiah pada tahun 2016 yang berjudul, “BPJS Dalam Perspektif Hukum Islam: Analisis Keputusan Bahtsul Masail NU”.37 Dalam skripsi ini, penyusun mencoba untuk mengetahui bagaimana pandangan serta argumen NU terhadap penyelenggaraan jaminan sosial. Penelitian ini adalah jenis penelitian pustaka dengan menggunakan metode deskriptif analitis. Selain analisis tentang metode penetapan fatwa NU tentang BPJS Kesehatan, penyusun menemukan skripsi dari Siti Umi Sholikhah yang berjudul, “Polemik Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tentang BPJS Kesehatan Ditinjau Dari Perspektif Hukum Islam”.38 Dalam skripsi ini, pembahasan yang dijadikan fokus adalah mengenai polemik fatwa MUI 36 Rina Muthmainnah, “Analisis Terhadap Hasil Bahtsul Masail Muktamar NU Ke-33 Tahun 2015 Tentang BPJS”, Skripsi yang diterbitkan UIN Walisongo tahun 2016. 37 Khurotun „Ainiah, “BPJS Dalam Perspektif Hukum Islam: Analisis Keputusan Bahtsul Masail NU”, Skripsi yang diterbitkan IAIN Purwokerto tahun 2016. 38 Siti Umi Sholikhah, “Polemik Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tentang BPJS Kesehatan Ditinjau Dari Perspektif Hukum Islam”, Skripsi yang diterbitkan Universitas PGRI Yogyakarta tahun 2016. 14 tentang BPJS ditinjau dari hukum Islam. Selain itu, dalam skripsi ini juga mencoba untuk mengetahui metode fatwa MUI serta manfaat yang ada dalam BPJS untuk masyarakat. Masih tentang fatwa MUI mengenai BPJS, pada jurnal Tsaqafah ada sebuah tulisan dari Husni Mubarrak yang membahas tentang MUI dan BPJS yang berjudul, “Kontroversi Asuransi di Indonesia: Telaah Fatwa MUI Tentang BPJS”.39 Dalam tulisan ini, pembahasanya meliputi tentang asuransi yang sesuai menurut Islam dengan menyertakan pendapat ulama serta mencoba menganalisa hasil keputusan MUI. Dari hasil penelusuran pustaka, penyusun tidak menemukan sebuah karya yang mencoba menganalisis secara bersamaan metode fatwa MUI dan NU tentang BPJS Kesehatan. Selain itu, dalam penelitian skripsi yang dilakukan oleh penyusun, penyusun mencoba untuk mencari persamaan dan perbedaan antara MUI dan NU dalam pembahasan BPJS Kesehatan ini serta menganalisa dalil yang digunakan, sehingga akan ditemukan dalil yang lebih kuat. Skripsi tersebut disajikan dengan redaksi judul sebagai berikut: Status BPJS Kesehatan Dalam Hukum Islam (Studi Komparatif Menurut Hasil Keputusan MUI Dan Hasil Keputusan NU). 39 Husni Mubarrak, “Kontroversi Asuransi di Indonesia: Telaah Fatwa MUI Tentang BPJS”, di terbitkan pada Jurnal Tsaqafah tahun 2016. 15 E. Kerangka Teoritik Setelah masalah penelitian dirumuskan, maka langkah selanjutnya dalam sebuah proses penelitian adalah mencari teori-teori, konsep-konsep dan generalisasi-genaralisasi hasil penelitian yang dapat dijadikan sebagai landasan teoritis untuk pelaksanaan penelitian. Landasan atau kerangka teori ini perlu ditegakkan agar penelitian itu mempunyai dasar yang kokoh, dan bukan sekedar perbuatan coba-coba. Teori itu sendiri adalah seperangkat konstruk, definisi, dan proposisi yang berfungsi untuk melihat fenomena secara sistematik, melalui spesifikasi hubungan antar variabel, sehingga dapat berguna untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena.40 Dalam tradisi keilmuan Islam, lebih khusus tradisi ilmu hukum Islam, dianggap sebagai kekayaan dan kekuatan spiritual yang perlu dipertahankan. Tradisi merupakan sumber kekuatan mental spiritual yang ampuh untuk menahan berbagai perubahan dan pembangunan dalam segala bidang.41 Berkaitan dengan hal itu, sebagai sebuah kekayaan intelektual, hukum Islam dapat dijadikan sebuah objek kajian yang menarik dengan berbagai macam model pendekatan. Pada umumnya pendekatan dan teori yang sekarang populer di kalangan ilmuwan adalah juga sudah digunakan oleh para ilmuwan masa silam, meskipun konsepnya masih sederhana dan belum dirumuskan sesistematis yang sekarang. Pendekatan sosiologi, sejarah, filologi, semantik 40Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2014), hlm. 52. 41 Asmawi, Studi Hukum Islam: Dari Tekstualis-Rasionalis Sampai Rekonsiliatif, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 19. 16 adalah pendekatan yang demikian populer dan hasilnya dapat dilihat dalam karya-karya klasik, meskipun beberapa dekade setelah era mujtahid mutlak kesadaran itu menipis.42 Di dalam hukum Islam itu sendiri memiliki beberapa produk pemikiran sebagai implikasi dari penyebutan hukum Islam sebagai kekayaan intelektual43, antara lain: fikih44, fatwa45, kodifikasi46, dan kompilasi47. Kesemuanya itu dapat dijadikan objek penelitian yang menarik dengan beberapa pendekatan yang sesuai. Dalam penelitian ini penyusun mencoba menggunakan beberapa teori untuk menganilisisnya. Dalam penelitian ini penyusun mencoba meneliti hasil fatwa MUI dan NU terkait dengan status BPJS Kesehatan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui metode masing-masing lembaga fatwa tersebut dalam menetapkan sebuah fatwa, mencari persamaan serta perbedaannya, dan menimbang dalil yang digunakan. 42 Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam, (Yogyakarta: Tazzafa, 2012), hlm. 188. 43Ibid., hlm. 49. 44 Fikih berasal dari kata al-fiqh yang menurut bahasa adalah al-„ilm bi al-ṣāi wa al-fahm lahū (mengetahui sesuatu dan memahaminya), to understand to comprehend (memahami, mengetahui). Sedangkan menurut istilah fiqh adalah mengetahui hukum-hukum syara‟ yang bersifat amaliyah dari dalil-dalil yang terperinci. Asmawi, Studi Hukum Islam: Dari Tekstualis- Rasionalis Sampai Rekonsiliatif, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 33. 45 Fatwa adalah pendapat ulama tentang satu masalah tertentu, yang prosedurnya diawali dengan pertanyaan. Karena itu, dalam prosedur lahirnya fatwa ada tiga unsur, yakni: muftī, mustaftī, fatwa. Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam..., hlm. 52. 46 Kodifikasi adalah pembukuan suatu jenis hukum tertentu secara lengkap dan sistematis dalam suatu buku hukum. Ibid, hlm. 54. 47 Kompilasi secara etimologi, berarti kumpulan atau himpunan, atau kumpulan yang tersusun secara teratur. Kata kompilasi diambil dari kata compilare, compilation berarti karangan yang tersusun dari kutipan-kutipan buku lain. Jika kata compilation dikaitkan dengan hukum akan mempunyai arti „himpunan undang-undang‟. Ibid, hlm. 53. 17 Dalam penelitian tentang fatwa keagamaan, metode yang biasa dilakukan adalah metode pendekatanusul usul fikih. Usul fikih sendiri terdiri dari kata usul dan fikih. Usul merupakan kata jamak dari aṣl, yang artinya dasar atau pokok, sedangkan fikih adalah pemahaman yang mendalam. Menurut ulama, fikih adalah ilmu untuk mengetahui hukum-hukum syara‟ yang diambil dari dalil-dalil secara tafṣīliyah. Jika kata fiqh ini dikaitkan dengan ushul sehingga menjadiusul fikih, maka definisinya menjadi dasar-dasar untuk mengetahui hukum-hukum syara‟ yang diambil dari dalil-dalil secara rinci.48 Objek fikih adalah hukum yang berhubungan dengan perbuatan manusia beserta dalil-dalilnya yang terperinci. Adapun objek dari usul fikih adalah mengenai metodologi penetapan hukum-hukum tersebut. Kedua disiplin ilmu tersebut (fikih dan usul fikih) sama-sama membahas dalil-dalil syara‟, tetapi tinjauannya berbeda. Fikih membahas dalil-dalil tersebut untuk menetapkan hukum-hukum cabang yang berhubungan dengan perbuatan manusia, sedangkan usul fikih meninjau dari segi metode penetapan hukum, klasifikasi argumentasi, serta situasi dan kondisi yang melatarbelakangi dalil-dalil tersebut. Dalam hal ini, objek pembahasan usul fikih adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan metodologi yang dipergunakan oleh ahli fikih di dalam menggali hukum syara‟. Jadi objek usul fikih meliputi klasifikasi dalil, orang-orang yang dibebani hukum syara‟, orang-orang yang tidak berhak taklif, kaidah-kaidah bahasa yang dijadikan petunjuk oleh ahli fikih untuk menetapkan hukum-hukum syara‟ dari naṣ, kaidah-kaidah dalam 48 Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqh: Metode Istinbat Dan Istidlal, (Bandung: Rosda, 2013), hlm. 1. 18 menggunakan qiyās dan menetapkan titik persamaan antara hukum pokok dan cabang.49 Di dalam sub disiplin ilmu usul fikih ada yang dinamakan sebagai studi perbandingan usul fikih yang kemudian menjadi sebuah metode pendekatan dalam sebuah penelitian. Studi perbandingan usul fikih itu sendiri adalah ilmu yang mempelajari dasar-dasar atau metode dan cara istinbāṭ hukum antar berbagai mazhab baik dari segi persamaan maupun perbedaannya serta membandingkan satu sama lainnya, kemudian mengambil mana yang lebih tepat untuk dijadikan sebagai pegangan dalam melakukan istinbāṭ hukum. Dengan kata lain, studi perbandingan usul fikih merupakan upaya untuk mengkaji dan membahas proses dan prosedur istinbat hukum yang terdapat di dalam berbagai mazhab dengan cara membandingkan satu sama lainnya agar dapat melihat tingkat kekuatan hujjāh yang dimiliki oleh masing-masing mazhab tersebut serta mencari segi-segi persamaan dan perbedaannya.50 Di dalam usul fikih ada sebuah metode untuk mengetahui hikmah- hikmah dibalik pemberlakuannya sebuah syari‟at. Dalam menetapkan sebuah hukum, Allah senantiasa menyelipkan hikmah di dalamnya.51 Untuk mencari sebuah hikmah ini dalam usul fikih menggunakan teori maṣlaḥah. 49Ibid., hlm. 4-5. 50 Romli, Studi Perbandingan Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), hlm. 12. 51 Forum KALIMASADA, Kearifan Syariat: Menguak Rasionalitas Syariat dari Perspektif Filosofis, Medis, dan Sosiohistoris, (Kediri: Lirboyo Press, 2012), hlm. 6. 19 Maṣlaḥah sendiri berasal dari bahasa Arab yang terbentuk dari huruf ṣad, lam, dan ḥa yang berarti berarti kebaikan, benar, adil, saleh dan jujur.52 Hampir sama dengan pemaknaan tersebut, Muhammad Said Ramadlan al-Buti mengartikan kata maṣlaḥah sebagai segala sesuatu yang mendatangkan manfaat, yang dapat mencakup berbagai macam upaya dalam pencapaian yang bersifat positif; atau sebaliknya, yaitu menolak dan menghindari dari hal-hal yang negatif. Dengan kata lain, maṣlaḥah itu disamakan dengan mempertimbangkan sesuatu demi kebaikan manusia.53 Dari sedikit pemaparan diatas penyusun akan mencoba meneliti terkait dengan metodologi yang digunakan oleh kedua lembaga fatwa tersebut. Setelah itu langkah selanjutnya adalah mencari persamaan dan perbedaan yang ada di dalam fatwa tersebut kemudian diakhiri dengan analisa terhadap prinsip kemaslahatan yang digunakan, baik oleh MUI maupun NU. Oleh karena itu, dalam penyelesaiannya penyusun menggunakan metode usul fikih dengan teori maṣlaḥah sebagai langkah yang digunakan. 52 Ahmad Faidy Haris, The Spirit of Islamic Law: Membongkar Teori Berhukum Statis Menuju Hukum Islam Dinamis, (Yogyakarta: Suka Press, 2012), hlm. 63. 53Ibid., hlm. 64. 20 F. Metode Penelitian Dalam penelitian ini penyusun menggunakan metode penelitian sebagai berikut: 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah library research54 atau penelitian kepustakaan, yaitu penelitian yang mengambil dan mengolah data yang bersumber dari buku-buku atau kitab-kitab yang berkaitan serta memiliki relevansi dengan penelitian ini. Adapun objek penelitiannya adalah mengenai status hukum BPJS Kesehatan menurut MUI dan NU. 2. Sifat Penelitian Sifat penelitian yang digunakan penyusun adalah deskriptif55- analitik56-komparatif57, yaitu menggambarkan secara rinci serta 54 Berbeda dengan metode lapangan, metode pustaka atau library research ini adalah model penelitian dengan cara mengumpulkan data yang dilakukan melalui tempat-tempat penyimpanan hasil penelitian, yaitu perpustakaan. Oleh karena itulah, studi pustaka adalah penelitian yang didominasi oleh pengumpulan data nonlapangan sekaligus meliputi objek yang diteliti dan data yang digunakan untuk membicarakannya, sebagai objek primer sekaligus sekunder. Nyoman Kutha Ratna, Metodologi Penelitian: Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora Pada Umumnya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 196-197. 55 Penelitian deskriptif ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang suatu gejala/suatu masyarakat tertentu. Dalam penelitian deskriptif bias harus diperkecil dan tingkat keyakinan harus maksimal. Penelitian deskriptif ini meliputi: penelitian yang mencari hubungan antara dua variabel atau lebih, penelitian yang berusaha untuk melakukan semacam ramalan, penelitian yang menggambarkan penggunaan fasilitas masyarakat, penelitian yang menggambarkan karakter suatu kelompok orang tertentu. Sukandarrumidi, Metode Penelitian: Petunjuk Praktis Untuk Peneliti Pemula, (Yogyakarta: UGM Press, 2012), hlm. 104-105. 56 Dengan metode analitik ini bertujuan agar dalam penelitian ini tidak sekedar menguraikan objek kemudian membiarkannya sedemikian rupa tanpa memberikan ulasan, kritik, analisis, dan penilaian sebagaimana dikehendaki dalam rangka memperoleh objektivitas. Oleh karena itulah, dalam perkembangan selanjutnya metode deskriptif dilengkapi dengan metode analitik sehingga menjadi metode deskriptif analitik. Nyoman Kutha Ratna, Metodologi Penelitian: Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora Pada Umumnya..., hlm. 336. 57 Penelitian komparatif adalah suatu penelitian yang bersifat membandingkan. Sedarmayanti dan Syarifudin Hidayat, Metodologi Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 2011), 21 menguraikan dan mengkomparasikan metode istinbāṭ MUI dan NU dalam mengeluarkan fatwa tentang BPJS Kesehatan. Selain itu, penyusun juga mencoba menganalisa dalil yang digunakan dalam berfatwa. 3. Pendekatan Penelitian Pendekatan penelitian yang digunakan penyusun dalam penelitian ini adalah usul fikih dengan menggunakan teori maṣlaḥah. Penggunaan pendekatan usul fikih dan teori maṣlaḥah ini selain untuk mengetahui metode istinbāṭ antara MUI dan NU, penggunaan pendekatan dan teori tersebut juga untuk mengetahui persamaan serta perbedaan dalam beristinbat dan mengetahui kemaslahatan yang terkandung di dalam fatwa tersebut. 4. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data Dalam hal ini penyusun menggunakan sumber data sebagai berikut: a. Sumber Primer Sumber ini memuat segala hal yang berkaitan dengan penelitian ini. Adapun data-data yang dijadikan sebagai rujukan utama penyusun antara lain: Hasil Ijtima‟ Ulama MUI V 2015 yang di dapatkan dari situs MUI dalam bentuk pdf dan Hasil-Hasil Muktamar ke-33 NU yang diterbitkan oleh LTN PBNU juga dalam bentuk pdf. Keduanya adalah hasil dari fatwa tentang BPJS Kesehatan yang telah dibukukan. hlm. 34. Analisis komparatif memang telah banyak dikenal sejak Weber, Durkheim, dan juga Mannheim. Analisis komparatif dan juga eksperimen keduanya menggunakan logika perbandingan. Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1990), hlm. 88. 22 b. Sumber Sekunder Sumber data sekunder diantaranya diambil dari kitab-kitab fikih, karya ilmiah berupa jurnal, buku-buku, dan karya lain yang membahas tentang BPJS Kesehatan dan metode istinbāṭ MUI dan NU. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan, yaitu dengan mengkaji dan menelaah berbagai referensi yang mempunyai relevansi dengan pokok pembahasan. 5. Analisis Data Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang analisis datanya menggunakan metode analisis data deskriptif non statistik, yaitu menggambarkan atau menguraikan suatu masalah tanpa menggunakan informasi berupa tabel, grafik, dan angka-angka. Selain itu, penyusun juga menggunakan analisis data komparatif, yaitu cara analisis data dengan membandingkan antara dua obyek atau lebih yang diteliti untuk dicari data yang lebih kuat atau kemungkinan dapat dikompromikan. Adapun data yang diperoleh dihimpun kemudian diolah menggunakan metode berfikir sebagai berikut: a. Metode Induktif Metode induktif merupakan suatu pola berpikir yang menarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat individual. Pola penalaran induktif dimulai dengan mengemukakan pernyataan-pernyataan yang mempunyai ruang lingkup yang khas dan terbatas dalam menyusun argumentasi dan diakhiri dengan penyimpulan 23 yang bersifat umum58. Dalam hal ini penyusun menggunakan dasar hukum yang bersumber dari hasil fatwa MUI dan NU. b. Metode Komparatif Metode komparatif, yaitu menganalisis dua fenomena atau lebih yang berbeda dengan jalan membandingkan dua hasil fatwa tersebut kemudian dicari letak persamaan dan perbedaannya guna diambil kesimpulan serta memberikan penilaian tentang kekuatan dalil dalam berfatwa. G. Sistematika Pembahasan Sistematika pembahasan penyusunan skripsi tersusun atas pendahuluan, pembahasan (isi) dan penutup, agar penelitian ini berjalan dengan terarah dan sistematis. Adapun sistematika pembahasan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Bab I merupakan Pendahuluan, mulai dari Latar Belakang Masalah, Pokok Masalah, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Telaah Pustaka, Kerangka Teoritik, Metodologi Penelitian, sampai Sistematika Pembahasan. Bagian ini merupakan arahan dan acuan kerangka penelitian serta sebagai bentuk pertanggungjawaban penelitian. Kemudian pada Bab II berisikan tentang penjelasan serta urgensi penggunaan teori dalam penelitian ini. 58 Sukandarrumidi, Metode Penelitian: Petunjuk Praktis Untuk Peneliti Pemula, (Yogyakarta: UGM Press, 2012), hlm. 38. 24 Pada Bab III berisi tentang pembahasan mengenai hukum BPJS Kesehatan menurut NU. Dalam pembahasannya akan diawali dengan memberikan gambaran umum tentang NU dengan lembaga fatwanya, meliputi: sejarah beridirinya, tokoh, metode istinbāṭ dan produk yang dihasilkannya. Pada Bab IV berisi tentang analisis yang meliputi komparasi antara MUI dan NU tentang hukum BPJS Kesehatan. Dalam bab inilah dapat diketahui persamaan dan perbedaan serta dalil kemaslahatan yang digunakan oleh MUI dan NU terhadap hukum BPJS Kesehatan. Di dalam Bab V berisikan tentang penutup dari hasil penelitian ini. Dalam bab ini menyajikan tentang kesimpulan serta saran-saran, kemudian diakhiri dengan daftar pustaka termasuk lampiran-lampiran dan daftar riwayat hidup penyusun. BAB II PENGGUNAAN TEORI PENELITIAN A. Sejarah Pembentukan Hukum Islam Pembahasan tentang hukum Islam menjadi suatu pembahasan paling penting dalam studi Islam. Sejarah tentang pembahasan hukum Islam ini lebih panjang daripada keilmuan Islam yang lain. Pembahasan tentang hukum Islam ini menjadi skala yang sangat luas. Begitu banyak aturan-aturan hukum yang muncul dalam Islam sehingga jumlahnya tidak terhitung.1 Perkembangan awal hukum Islam sejatinya telah ada pada zaman Rasulullah saw. periode pertama ini biasa disebut dengan era kenabian. Periode pertama ini lebih merupakan ‘asrut tasyri’ (masa turunnya syari‟at), tetapi pada era ini Nabi beserta para sahabatnya berhasil mewariskan suatu keniscayaan bagi perkembangan kajian-kajian fikih pada era berikutnya.2 Pembinaan hukum Islam pada zaman Nabi terjadi dalam kurun waktu 610-632 Hijriyah. Jika dihitung jumlahnya menjadi 22 tahun. 12 tahun terjadi di Mekkah dan 10 tahun terjadi di Madinah.3 Pada masa kenabian ini, Nabi Muhammad saw. berkedudukan sebagai narasumber bagi kaum muslimin sehubungan dengan persoalan-persoalan 1 Murtadha Mutahhari, Understanding Islamic Sciences: Philosophy, Theology, Misticism, Morality, Jurisprudence, (London: ICAS Press, 2002), hlm. 143. hlm. 20. 2 Mun‟im Sirry, Sejarah Fiqh Islam: Sebuah Pengantar, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), 3 Muhammad Muslehuddin, Philosophy of Islamic Law and The Orientalists: A Comparative Study of Islamic Legal System, (New Delhi: Markazi Maktabah Islami, 1985), hlm. 67. 25 26 keagamaan. Mereka tidak hanya mengakui, mencontoh dan meneladani setiap perilakunnya sehari-hari, tetapi lebih dari itu, mereka juga menanyakan hal-hal yang pelik dalam kehidupan sehari-hari mereka. Dalam menjawab dan memberikan penjelasan-penjelasan tersebut, Nabi senantiasa mendapatkan bimbingan dari Allah swt. melalui wahyu yang diturunkan kepadanya. Selain itu, juga dapat diketahui bahwa disamping mendapat wahyu, Nabi juga diberikan hikmah oleh Allah, sebagaimana tercermin dalam firman-Nya4: كيهع للها مضف ناكو ،مهعت هكت من ام كمهعو تمكحناو بتكنا كيهع للها لزوأو 5اميظع Sampai di sini nampaknya cukup sulit untuk mengatakan bahwa dalam menghadapi masalah-masalah tertentu, Nabi diharuskan menggunakan nalarnya untuk berijtihad. Sebab beliau sudah menerima wahyu selengkapnya ditambah lagi dengan hikmah yang merupakan potensi pengetahuan yang tidak perlu diusahakan secara sungguh, seperti dalam terminologi ijtihad. Nabi di sini memiliki kedudukan bukan sebagai mujtahid, melainkan beliau mempunyai kedudukan sebagai mubayyin, penjelas.6 Tetapi disatu sisi, Nabi saw. juga mempunyai otoritas untuk menjawab setiap permasalahan berdasarkan ketetapan beliau sendiri sebagai Rasul yang memang mempunyai otoritas untuk menentukan hukum.7 4 Syamsul Bahri, Metodologi Hukum Islam, (Yogyakarta: Teras, 2008), hlm. 2. 5Q.S. An-Nisa‟ (4): 113. 6Ibid., hlm. 3. 7 Ahmad Azhar Basyir, “Pokok-Pokok Ijtihad Dalam Hukum Islam”, dalam, Jalaluddin Rahmat (ed.), Ijtihad Dalam Sorotan, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 47. 27 Sepeninggal Rasulullah (632 H)8, pembinaan hukum Islam kemudian diteruskan oleh para sahabat. Diantara sahabat-sahabat Rasulullah yang terkenal dalam memberikan fatwa, antara lain: Abu Bakar, Utsman, Ali, Abd al-Rahman ibn „auf, Abdullah bin Mas‟ud, Ubay ibn Ka‟ab, Muaz bin Jabal, „Ammar bin Yasir, Hudayfah bin Yaman, Zaid bin Tsabit, Abu Darda, Abu Musa al-Asy‟ari dan Salman al-Farisi.9 Dalam metode fatwanya, para sahabat meyamakan setiap peristiwa yang terjadi untuk kemudian menghukuminya menggunakan pendekatan teks al- Quran dan Sunnah. Dengan kata lain, yang dilakukan oleh para sahabat itu adalah merujuk setiap permasalah yang ada kepada sumbernya. Usaha ini juga dapat disebut sebagai metode penglihatan terhadap bunyi dan maksud literalnya, implikasinya, dan hal-hal lain yang dinilai relevan.10 Selepas masa sahabat, pembinaan hukum Islam kemudian dilakukan oleh tabi’in. Berakhirnya masa sahabat ini terjadi antara tahun 90 dan 100 setelah Hijriyah. Berakhirnya masa sahabat ini ditandai dengan wafatnya para sahabat di berbagai daerah, seperti Kuffah, Madinah, Basrah dan Damaskus. Kemudian, yang merespon kebutuhan fatwa pada saat itu adalah golongan tabi’in, atau disebut juga mawāli, atau juga orang-orang yang hidupnya sangat dekat dengan para fuqaha diantara golongan sahabat. Mereka antara lain 8 Josep Schacht, An Introduction to Islamic Law, (New York: Oxford and Clarendon Press, 1971), hlm. 15. 9 Taha Jabir al-Alwani, Source Methodology in Islamic Jurisprudence: Ushul Fiqh al- Islami, (USA: International Institute of Islamic Though, 1994), hlm. 19. 10Ibid., hlm. 20. 28 adalah, Nafi‟, Ikrimah, „Ata ibn Rabbah, Tawus, Yahya ibn Katsir, Ibrahim al- Nakha‟i, al-Hasan al-Bashri, Ibn Sirrin, „Atha al-Khurasani, dan Sa‟id ibn al- Musayyab.11 Periode selanjutnya adalah periode para imam madzhab. Masa tasyri’ periode ini dimulai pada pertengahan abad kedua sampai pertengahan abad keempat Hijriyah, yaitu pada masa Bani Abbasiyyah. Periode ini disebut sebagai periode perkembangan kematangan tasyri’ yang gemilang karena fikih dan ijtihad12 ulama mengalami perkembangan yang luar biasa. Pada masa ini juga banyak sekali keilmuan yang telah dibukukan, seperti hadits, fatwa para sahabat, fatwa tabi’in, tabi’ tabi’in, ilmu hadits, tafsir dan usul fikih.13 Pada periode ini, terdapat empat imam besar dalam hukum Islam, antara lain: Imam Abu Hanifah (80-150 H), Imam Malik ibn Anas (94-179 H), Imam ibn Idris al-Syafi‟i (150-204 H), Imam Ahmad ibn Hanbal (164-241 H). Keempat imam tersebut telah melakukan upaya ijtihad sebagai sebuah hal yang penting dalam melahirkan hukum Islam, dan menyusun metode-metode dalam penemuan hukum itu. Imam Abu Hanifah banyak menggunakan penalaran akalnya terhadap al-Qur‟an dalam menjawab setiap permasalahan, hal ini wajar saja karena di daerah Kuffah tempat sang imam tinggal tidak tersedianya hadits. Imam Malik dalam ijtihadnya sering sekali menggunakan Sunnah, hal 11Ibid., hlm. 33. 12 Kata „ijtihad‟ bersal dari akar kata „jehd‟, yang berarti menggunakan segala kemampuan. Dengan kata lain, ijtihad adalah sebuah doktrin yang digunakan sebagai usah secara maksimal untuk menemukan jawaban atas permasalahan agar sejalan dengan syariat. Al Haj Moinuddin Ahmed, The Urgency of Ijtihad, (New Delhi: Kitab Bhavan, 1992), hlm. 31-32. 13 Abdul Madjid Khon, Ikhtisar Tarikh Tasyri: Sejarah Pembinaan Hukum Islam dari Masa ke Masa, (Jakarta: Amzah, 2013), hlm. 83. 29 ini wajar sa
Uncontrolled Keywords: BPJS Kesehatan, hukum Islam
Subjects: Perbandingan Madzhab
Divisions: Fakultas Syariah dan Hukum > Perbandingan Madzab (S1)
Depositing User: Drs. Bambang Heru Nurwoto
Date Deposited: 07 Nov 2017 08:56
Last Modified: 07 Nov 2017 08:56
URI: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/28226

Share this knowledge with your friends :

Actions (login required)

View Item View Item
Chat Kak Imum