REKONSILIASI AKAL-WAHYU DALAM EPISTEMOLOGI IBN RUSYD DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KONSEP KEBENARAN

Nur Rahmad Yahya Wijaya, S. Th. I., N I M. 03212412 (2008) REKONSILIASI AKAL-WAHYU DALAM EPISTEMOLOGI IBN RUSYD DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KONSEP KEBENARAN. Masters thesis, UIN Sunan Kalijaga.

[img]
Preview
Text (REKONSILIASI AKAL-WAHYU DALAM EPISTEMOLOGI IBN RUSYD DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KONSEP KEBENARAN)
BAB I,BAB V.pdf - Published Version

Download (778kB) | Preview
[img] Text (REKONSILIASI AKAL-WAHYU DALAM EPISTEMOLOGI IBN RUSYD DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KONSEP KEBENARAN)
BAB II,III,IV.pdf - Published Version
Restricted to Registered users only

Download (443kB)

Abstract

Maraknya klaim-klaim kebenaran atas nama agama dan Tuhan, dan paksaan atas satu tafsir kebenaran, menunjukkan bahwa kedewasaan berakal dan bernalar masih jauh dari yang semestinya. Ketidakdewasaan ini membuat lupa bahwa pemahaman keagamaan, apapun bentuknya, dari siapapun ia disandarkan, dan dari manapun ia berasal, hanyalah tafsir atas wahyu Tuhan. Akhirnya, ini membuat lupa bahwa sebenarnya kebenaran tidak hanya dapat diakses dengan satu tafsir, satu cara, satu bahasa, dan satu pemahaman. Di antara manusia juga ditemukan bahwa kemampuan bernalar tidak sama dan tidak dapat disamakan. Bahwa kebenaran dapat diraih dengan berbagai bahasanya ini juga ditunjukkan oleh ragam bahasa al-Qur’an yang dapat sesuai dengan berjenjangnya ragam kecerdasan manusia. Penelitian ini mencoba menghadirkan Ibn Rusyd, yang dengan usahanya, telah menunjukkan bahwa sasaran utama wahyu adalah khalayak manusia pada umumnya. Kebenaran, yang disampaikan di dalam wahyu, dengan demikian lebih memilih bahasa yang dapat cocok untuk semua kalangan. Tetapi jika seseorang bermaksud mencari kebenaran terdalam, ia harus menelusurinya lewat pencarian akal manusia, yang sebenarnya juga merupakan karunia Tuhan bagi umatnya yang terlatih, dan, bagaimanapun, pertentangan akal-wahyu hanyalah kesan di permukaan luar pemahaman yang sempit dan dogmatis. Penelitian ini, pada dasarnya, terutama pada Bab III, menggunakan pendekatan filosofis rasional untuk membahas persoalan rekonsiliasi akal-wahyu pemikiran Ibn Rusyd. Dengan pendekatan ini setidaknya ditemukan tiga cara dalam memahami persoalan-persoalan pemikiran dan keilmuan, terutama yang berhubungan dengan persoalan ketuhanan dan teologis. Lebih dari itu juga ditemukan juga bahwa ilmu kalam telah gagal mempertahankan pembuktian argumentasi-argumentasinya, dan bahwa hanya filsafat yang dapat menggantikan posisi dan kekurangan ini. Selanjutnya, pada Bab IV, penelitian ini menggunakan pendekatan hermeneutik Gadamerian sebagai pengganti dari pendekatan filosofis rasional yang digunakan pada bab sebelumnya. Pendekatan hermeneutik Gadamerian dirasa perlu dan bermanfaat untuk memecahkan isu-isu kontemporer berkenaan dengan persoalan kebenaran. Permainan rigid penalaran logis dipampatkan sedemikian rupa sehingga tidak sekaku pada apa yang dipahami Ibn Rusyd sendiri tentang kebenarankebenaran. Bagaimanapun Ibn Rusyd menunjukkan bahwa kebenaran dapat ditempuh dengan tiga cara: burhani, jadali, khitabi, dan mengasumsikannya melalui cara-cara berlogika yang masih sangat sempit saat itu, pembahasan pada bab ini, yaitu bab IV, memberikan kemungkinan ditemukannya banyak cara dalam memperoleh kebenaran. Alih-alih menggunakan keketatan logika dalam menganalisa kebenaran-kebenaran, disini, peneliti lebih suka untuk menerima gagasan Gadamerian bahwa logika sendiri sudah tidak berdaya dan tidak mampu menjadi sarana untuk mencapai kebenaran agama dan filsafat. Ini juga dilandaskan pada ketidakkonsistenan Ibn Rusyd, yang meskipun menyerang pendekatan sufistik sebagai cara untuk memperoleh pengetahuan, tetapi pada saat lain membenarkan berbagai bentuk pengetahuan yang sebenarnya lebih dekat dengan pendekatan sufistik. Atas kenyataan dan kekurangan Ibn Rusyd ini, pendekatan hermeneutik Gadamer tampaknya dapat dimanfaatkan dalam bab ini. Penelitian ini menunjukkan bahwa akal dan wahyu (baca: sumber kebenaran), dan filsafat dan agama (baca: capaian penalaran sumber kebenaran), kata lain pengertian dan keimanan, sebenarnya tidak bertentangan dan juga tidak boleh saling dipertentangkan. Kebenaran filsafat didukung oleh perintah wahyu, dan kebenaran wahyu dibuktikan melalui pencarian filosofis. Namun, satu hal yang menjadi landasan akal dan wahyu, bahwa kebenaran ontologis dari prinsip-prinsip fundamental agama tidak boleh diutak-atik karena yang demikian juga dibenarkan dan dibuktikan lewat pencarian filosifis. Ibn Rusyd menemukan bahwa sebebas-bebas penalaran semestinya tidak melanggar wilayah terlarang ini. Selain itu, dan meskipun pada kenyataannya ada orang yang terjatuh karena kedekatannya dengan filsafat, ini tidak lantas membolehkan pelarangan mendalami filsafat. Filsafat adalah sarana agar wahyu dipahami secara rasional dan lebih baik, meskipun orang yang tidak punya kelebihan tertentu juga tidak mampu menempuhnya. Penelitian inipun menunjukkan bahwa seluruh pemikiran, dogma-dogma, doktrin-doktrin teologis mazhab-mazhab kalam, termasuk dan terutama sekali Asy‘ariyyah, yang mengaku sebagai Ahl al-Sunnah, mengklaim diri sebagai wakil ortodoksi Islam, pada dasarnya, hanyalah salah satu capaian yang dihasilkan dari tiga macam penalaran. Seluruh penalaran kalam, termasuk Asy‘ariyyah, menggunakan metode jadali, sebuah metode filsafat yang, pada dasarnya, sangat rentan dengan kesalahan, alih-alih menyelamatkan keimanan, dan ini sangat jelas pada Asy‘ariyyah; maka sangat keliru jika mereka mengklaim sebagai wakil dari kebenaran Islam. Meskipun metode burhani milik falasifah lebih meyakinkan, mengantarkan pada kebenaran, metode khitabi kaum awam, yang nyaris tanpa penalaran, jauh lebih baik dari metode jadali, jika penguasaan seseorang terhadap filsafat belum sempurna, sebagaimana kasus mutakallimun; maka, mereka tidak berhak, bahkan mereka bersalah jika doktrin doktrin keimanan kelompoknya sendiri, sebagai tuntutan keseragaman, dipaksakan sebagai doktrin keimanan kepada setiap orang dengan berbagai tingkat kecerdasan. Sebuah pemikiran kalam, hanyalah hasil penalaran dari satu di antara tiga metode penalaran, yang oleh Ibn Rusyd disebut sebagai turuq al-iman al-salasah. Setelah masa-masa Ibn Rusyd, bentuk penalaran filosofis mulai berkembang, dan dari sinilah ditemukan bahwa metode penalaran dan tafsir kebenaran sebanyak filsafat yang dikembangkan manusia. Ia yang mengatakan dan menyebarkan doktrin bahwa filsafat dan agama bertentangan tidak hanya bersalah kepada filsafat, tetapi juga kepada agama; ia bersalah kepada keduanya. Filsafat dan wahyu adalah kebenaran dan kebenaran tidak bertentangan satu sama lain. Tetapi karena kebenaran itu dapat ditunjukkan dengan cara-cara dan bahasa-bahasa yang berbeda, maka pemahaman tertentu terhadap kebenaran hanyalah salah satu hasil dari penalaran atas cara-cara yang dapat ditempuh untuk memperoleh pengetahuan dan kebenaran.

Item Type: Thesis (Masters)
Additional Information: Pembimbing: Dr. Syaifan Nur, M.A
Uncontrolled Keywords: REKONSILIASI AKAL-WAHYU, EPISTEMOLOGI IBN RUSYD DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KONSEP KEBENARAN
Subjects: Aqidah Filsafat
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta > Aqidah Filsafat
Divisions: Pascasarjana > Thesis > Agama dan Filsafat
Depositing User: Edi Prasetya [edi_hoki]
Date Deposited: 04 Feb 2013 20:46
Last Modified: 15 Apr 2015 09:36
URI: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/6841

Share this knowledge with your friends :

Actions (login required)

View Item View Item
Chat Kak Imum