TRADISI UPACARA MEMAYU DAN IDER-IDERAN TRUSMI KABUPATEN CIREBON JAWA BARAT

NENENG LESTARI, NIM. 09120078 (2013) TRADISI UPACARA MEMAYU DAN IDER-IDERAN TRUSMI KABUPATEN CIREBON JAWA BARAT. Skripsi thesis, UIN SUNAN KALIJAGA.

[img]
Preview
Text (TRADISI UPACARA MEMAYU DAN IDER-IDERAN TRUSMI KABUPATEN CIREBON JAWA BARAT)
BAB I, V, DAFTAR PUSTAKA.pdf - Published Version

Download (3MB) | Preview
[img] Text (TRADISI UPACARA MEMAYU DAN IDER-IDERAN TRUSMI KABUPATEN CIREBON JAWA BARAT)
BAB II, III, IV.pdf - Published Version
Restricted to Registered users only

Download (664kB)

Abstract

Memayu dan ider-ideran Trusmi merupakan tradisi mapag udan (baca: menyambut hujan) yang dilakukan oleh warga Desa Trusmi, Kecamatan Weru, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Dalam pelaksaan upacara memayu dan ider-ideran dimeriahkan juga dengan berbagai macam kegiatan, seperti pertunjukan wayang, tahlilan, dan pentas brai. Istilah memayu berasal dari bahasa kawi yang artinya mbagusi atau memperbaiki atau membuat bagus, yang mana dalam konteks upacara memayu dan ider-ideran ia mengandung dua pengertian. Pertama, memperbaiki atap-atap yang sudah lama dan menggantikannya dengan yang baru. Kedua, memperbaiki diri manusia dari sifat-sifat lama (jelek) dengan sifat-sifat yang baik dan terpuji. Penelitian ini membahas dua hal, yaitu latar belakang sejarah munculnya tradisi upacara memayu dan ider-ideran Trusmi, dan alasan mengapa tradisi tersebut masih bertahan dan lestari ditengah masyarakat yang telah modern saat ini. Untuk membahas kedua pokok masalah tersebut, penulis menggunakan teori fungsionalisme Bronislow Malinowski. Data dikumpulkan melalui observasi, wawancara dan dokumentasi. Adapun pendekatan yang digunakan ialah metode kualitatif. Dari hasil penellitian ini ditemukan bahwa nama Trusmi terbentuk dari dua kata, yaitu terus dan semi yang memiliki arti tumbuh terus-menerus. Asal-usul nama ini berawal dari cerita Ki Gede Bambangan yang sedang duduk-duduk di depan pondoknya sehabis membersihkan pekarangannya dari rerumputan. Tiba-tiba terdengar salam yang tidak tahu persis dari mana datangnya suara itu. Lalu secara menakjubkan tiba-tiba semua rumput dan tanaman liar yang tadinya sudah dibabat itu tumbuh kembali sehingga pemangkasan menjadi sia-sia. Ketika ia melihat sekeliling dengan perasaan kesal bercampur heran, tiba-tiba dua orang laki-laki berjalan kearahnya seraya menyapa, “Assalamu’alaikum.” Suara sapan itu ternyata berasal dari pangeran Cakra Buana dan Sunan Gunung Jati. Akhirnya bermula dari persistiwa itu Ki Gede Bambangaan memeluk Islam dan daerah tersebut dinamakan Trusmi. Yaitu suatu daerah dimana rerumputannya terus-menerus tumbuh kembali. Khusus pada Masjid Trusmi, upacara memayu dilakukan untuk mengganti atap masjid yang terbuat dari welit sebagai gentengnya, dan kayu sebagai kusennya. Penggantian welit itu dilakukan sebagai persiapan menjelang pergantian musim dari kemarau ke musim hujan. Satu tahun sebagai angka periodik penggantian welit. Selanjutnya memayu juga dijadikan sebagai sarana sedekah bumi bagi masyarakat se-wilayah tiga untuk memulai musim tanam. Harapannya kelak dapat memberikan keberkahan dan panennya pun akan sukses. Terlepas dari keyakinan masyarakat tentang memayu, ritus ini merupakan ungkapan mensyukuri nikmat yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu bisa disimpulkan bahwa tradisi memayu dan ider-ideran di desa Trusmi adalah rentetan upacara ritual sakral yang didalamnya juga memuat nilai-nilai kebudayaan yang sampai hari ini masih dilestarikan oleh masyarakat Cirebon, khususnya penduduk Desa Trusmi.

Item Type: Thesis (Skripsi)
Subjects: Sejarah Peradaban / Kebudayaan Islam
Divisions: Fakultas Adab dan Ilmu Budaya > Sejarah Kebudayaan Islam (S1)
Depositing User: Sugeng Hariyanto, SIP (sugeng.hariyanto@uin-suka.ac.id)
Date Deposited: 19 Nov 2013 09:11
Last Modified: 20 Aug 2015 15:42
URI: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/9532

Share this knowledge with your friends :

Actions (login required)

View Item View Item
Chat Kak Imum