Institutional Repository UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta: No conditions. Results ordered -Date Deposited. 2024-03-19T07:14:41ZEPrintshttp://digilib.uin-suka.ac.id/images/sitelogo.pnghttps://digilib.uin-suka.ac.id/2013-04-15T10:21:11Z2016-12-27T07:20:39Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/485This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/4852013-04-15T10:21:11ZPAJAK DALAM PERSPEKTIF FIQH ISLAMbDalam perjalanan sejarah Islam yang panjang, telah dikenal beberapa sumber pendapatan dan keuangan negara i(al-mawarid al-maliyyah li al-dawlah)/i. Sebagiannya bersifat rutin i(dawriyyah)/i yakni zakat, Kharaj (pajak bumi), jizyah (pajak jaminan keamanan atas non Muslim) dan usyuur (pajak ekspor dan impor) sedangkan sebagian yang lain bersifat insidental i(ghayr dawriyyah)/i yakni seperlima harta rampasan perang i(ghanimah dan fay)/i, seperlima hasil tambang i(maadin)/i dan harta karun i(rikaz)/i, harta peninggalan orang yang tidak memiliki ahli waris, harta temuan dan segala bentuk harta yang tidak diketahui secara pasti siapa pemiliknya.
Kitab-kitab fiqh yang ada (baik klasik maupun modern) telah cukup rinci membicarakan sumber-sumber pendapatan negara tersebut di atas. Suatu hal yang sudah cukup dipahami ialah bahwa tidaklah semua sumber pendapatan itu ditetapkan berdasarkan nash-bash syara (manshuh alayha), melainkan sebagiannya ditetapkan berdasarkan ijtihad, sejalan dengan perkembangan dan tuntutan kehidupan pada setiap masa. Sebagai contoh, pemungutan ikharaj/i pertama kali dilakukan di masa khalifah Umar ibn al-Khaththab, berdasarkan hasil ijtihadnya yang kemudian diterima oleh para sahabat yang lain, sehubungan dengan wilayah taklukan di Iraq (Sawad al-Iraq). Demikian pula pemungutan iusyuui, ditetapkan oleh khalifah yang sama, setelah menerima laporan dari Abu Musa al-Asyari r.a. dan surat dari penduduk Manbij. Keputusan memungut usyuur inipun ditetapkan Umar melalui musyawarah denga para sahabat nabi yang lain.
Dalam pada itu, sejalan dengan perkembangan zaman dan kompleksitas kehidupan, muncul pula bentuk-bentuk pungutan di luar apa yang telah disebutkan di atas, yang kemudian dikenal dengan istilah pajak i(dharibah)/i. Yang disebut terakhir ini adalah pungutan yang dilakukan penguasa dari rakyatnya dengan mengatasnamakan kepentingan umum atau negara. Sejalan perkembangan kehidupan pula, jenis-jenis pajakpun semakin beraneka ragam. A. MALIK MADANIY2013-04-10T09:28:31Z2013-04-10T09:29:06Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/493This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/4932013-04-10T09:28:31ZCITRA STATUS SOSIAL PARA HAJI DI KALANGAN MASYARAKAT PEDESAAN MADURAPenduduk asli Madura dikenal sebagai masyarakat yang kuat dan teguh dalam memegangi identitas mereka sebagai pemeluk-pemeluk agama Islam. Oleh karena itu dapat dianggap sebagai suatu penghinaaan dan pencemaran yang berat apabila kepada kepada mereka dilontarkan tuduhansebagai orang yang bukan Islam. Apakah keteguhan memegangi identitas Islam ini sudah diikuti pula dengan kesadaran yang tinggi dalam menghayati dan mengamalkan butir-butir nilai ajaran Islam dalam perilaku kehidupan mereka sehari-hari, baik dalam hal-hal yang berkaitan dengan aspek sosial kemasyarakatan i(muamalah)/i dan lain sebagainya; hal ini memerlukan suatu penelitian tersendiri. Terlepas dari berbagai kemungkinan dalam menjawab pertanyaan di atas, satu hal yang pasti bahwa aspek peribadatan menempati kedudukan yang istimewa dalam kehidupan keagamaan masyarakat Madura. Ibadah Haji sebagai salah satu dari rukun Islam yang lima merupakan ibadah yang memiliki tempat tersendiri di hati orang-orang Madura. Hal ini terbukti dari kenyataan besarnya minat penduduk untuk melaksanakan ibadah ini. Data-data statistik yang ada pada Kantor Pemda Tingkat 1 Jawa Timur c/q Sub Bagian Urusan Haji dapat memperjelas kebenaran pernyataan ini. (A. Malik, 1982/1983 ; 20). Kenyataan besarnya minat berhaji di atas tidak dapat dipungkiri merupakan suatu hal yang menarik perhatian, mengingat di satu pihak ibadah haji sangat banyak bergantung kepada kemampuan finansial seorang Muslim yang di Indonesia dikenal ONH (Ongkos Naik Haji) yang relatif mahal, sehingga tidak mengherankan bila Bernard Lewis menyatakan : In practice, statistic shows that only a small number of Muslims, especially in the case of those countries far from Mecca, is able to perform the pilgrimage (B. Lewis, 1971 : 33); sedang di lain pihak Madura dikenal sebagai pulau yang tandus dan gersang dengan taraf kehidupan ekonomi sebagian penduduknya yang sebagian besar masih rekatif rendah dibandingkan dengan daerah-daerha lain di Propinsi Jawa TImur (Mubyarto, 1983 : 15-16). Dengan kata lain, bahwa bagi sebagian besar orang Madura yang berhasil menunaikan Ibadah Haji, ibadah Haji benar-benar menuntut pengorbanan yang tidak kecil. Dari sisi ini, dapat dipahami apabila para Haji dalam kalangan masyarakat Madura, khususnya di kalangan masyarakat pedesaan dapat memperoleh status sosial yang tinggi melebihi lapisan-lapisan masyarakat awam non Haji. b A. MALIK MADANIY