Institutional Repository UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta: No conditions. Results ordered -Date Deposited. 2024-03-28T20:21:11ZEPrintshttp://digilib.uin-suka.ac.id/images/sitelogo.pnghttps://digilib.uin-suka.ac.id/2017-07-12T01:59:34Z2017-07-12T01:59:34Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/26243This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/262432017-07-12T01:59:34ZMEMAHAMI RASIO KOMUNIKATIF JURGEN HABERMASModernitas sebagai sebuah 'pandangan dunia' (weltanschauung), dianggap telah menemui ajalnya. Pada
era Modern saat ini, kenyataan barbarisme, totalitarianisme dan tindak kekerasan, dianggap biang
keladi atas hadimya apa itu yang dinamakan modernitas. Modernitas sejauh dapat dirumuskan dalam
premis-premis nilai, menurut Habennas mengandung tiga hal. Pertama, yang dinamakan modem itu
seharusnya mengutamakan kesadaran diri sebagai subjek. Dengan kata lain, orang modern memahami
soal hak, fungsi ilmu pengetahuan, otonomi pribadi dan demokrasi. Kedua, yang modern itu seharusnya
kritis. Artinya, orang modem cenderung mengeliminir prasangka-prasangka dari tradisi, mempunyai
gairah tersendiri untuk meneliti penghayatan, dan mempertanyakan dimensi autoritas yang taken for
granted. Ketiga, yang modern itu seharusnya progresif, dalam arti melakukan perubahan-perubahan
yang secara kualitatif baru. Ketiga unsur modemitas itu tidak bisa dipisah-pisahkan dan berkorelasi
secara inheren. Kesadaran itu melahirkan kritik, dan kritik pada gilirannya menentukan
progresivitas, sehingga kenyataan progresivitas pada akhimya menggugah apa itu yang dinamakan
kesadaran .
Akan tetapi, para ahli waris Nietzsche, seperti Heidegger, Derrida, Foucault, Bataille, Baudrillard
dan seterusnya, yang masyhur dengan sebutan "postmodemis", berusaha melampaui modernitas. Konsep
"post-modemitas" sendiri, menurut Habennas, layak untuk diteliti kembali. Konsep itu berasal dari
konsep yang abstrak dan ahistoris mengenai "modemitas" yang dikembangkan oleh ilmu-ilmu sosial
Barat. Modernisasi itu disamakan dengan akumulasi modal, teknologisasi, birokratisasi, sekularisasi
dan seterusnya, yang bisa diberlakukan secara universal. Dalam ilmu-ilmu sosial, istilah itu
menjadi "teknis", sehingga dilupakan bahwa modernitas berkaitan dengan rasionalisme Barat, yang
oleh Weber diteliti sebagai proses rasionalisasi. Kelemahan mendasar pemikiran postmodem, menurut
Habermas, adalah lewat pemahaman ahistoris dan netral atas konsep "modernitas" itu, sehingga mereka
seolah-olah menjadi pengamat yang bisa meninggalkan cakrawala sejarah menjadi "post"-modern .
Diskursus tentang "post-modernisme", menurut Habennas, tak lebih hanya sekedar "(post) modernisme".
Tanda kurung yang dibubuhkan itu untuk memperlihatkan bahwa post adalah sebuah awalan yang
problematis, dan Habermas malah lebih tegas dalam menghapus awalan itu, sehingga ia tetap bertahan
bahwa apa yang disebut postmodernisme tersebut termasuk ke dalam modernitas. Postmodernisme,
menurutnya adalah simtom suatu krisis dalam sebuah "paradigma rasio yang berpusat pada subjek",
yaitu paradigma yang secara sempit dimutlakkan dalam proyek-proyek modemisasi. Cacat-cacat
pencerahan yang ditimbulkan dari "modernitas kapitalis", itu tidak bisa diatasi dengan cara
meninggalkan modernitas dan pencerahan, melainkan dengan pencerahan lebih lanjut. Maka, Habermas
memberikan alternatif barn pada pencerahan dengan paradigma 'rasio komunikatif (kommunikative
vernuft), yang didesain untuk mengatasi cacat-cacat modernitas itu sendiri. Dari sini dapat
dilihat implikasi rasio komunikatif Jiirgen Habennas bagi pemikiran Islam. Gagasannya,
menginspirasikan pada weltanschauung umat untuk bergeser dari "paradigma otoritatif' ke "paradigma
komunikatif', guna memberikan pencerahan dan pembaharuan dalam memaknai Islam.NIM. 00510112 AHMADJAUHARI