Institutional Repository UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta: No conditions. Results ordered -Date Deposited. 2024-03-29T08:09:34ZEPrintshttp://digilib.uin-suka.ac.id/images/sitelogo.pnghttps://digilib.uin-suka.ac.id/2016-06-03T00:40:51Z2016-06-03T00:40:51Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/20553This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/205532016-06-03T00:40:51ZSTATUS MAHRAM ANAK PEREMPUAN HASIL ZINA DAN AKIBAT HUKUMNYA (MENURUT MAZHAB HANAFIYYAH DAN MALIKIYYAH)Anak perempuan hasil zina semua ulama’ sepakat tentang tidak berlakunya hak
waris, hak nafkah serta hak wali nikah bagi bapak biologisnya. Yang kemudian
menimbulkan perdebatan adalah mengenai status mahram anak perempuan tersebut
sehingga boleh atau tidak dinikahi oleh bapak biologisnya. Ulama’ Malikiyyah dan
Syafi’iyyah berpendapat boleh dinikahi. Sedang Ulama’ Hanafiyyah dan Hanabilah
meski sama-sama berpendapat tidak boleh dinikahi namun keduanya berselisih
paham mengenai pengertian zina itu sendiri.
Adapun yang menjadi pokok masalah dalam penelitian ini adalah: 1)
Bagaimana mekanisme istinbaţ mazhab Hanafî dan Malikî. 2) Bagaimana persamaan
dan perbedaan terkait status mahram anak perempuan hasil zina menurut mazhab
Hanafî dan Malikî beserta implikasinya. Jenis penelitian yang digunakan adalah
penelitian kepustakaan (library research), teknik pengumpulan data yang digunakan
adalah secara dokumentatif. Adapun metode pendekatan yang penulis gunakan
adalah, metode pendekatan perbandingan mazhab dengan meneliti kaidah yang
dijadikan sarana untuk menggali hukum fiqh.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa ‘Ulama’ Hanafiyyah dan ‘Ulama
Malikiyyah memiliki persamaan di dalam menetapkan pendapatnya dengan
terputusnya hak waris, hak nafkah dan wali nikah bagi anak perempuan hasil zina
dengan bapak biologisnya. Perbedaan Pendapat dari Hanafî dan Malikî tersebut
hanya membawa ujung pada perbedaan antara kebolehan untuk menikahi atau tidak
boleh untuk menikahi. Hanafi tidak memperbolehkannya didasarkan pada tiga hal
yaitu: Pertama, bahwa segala bentuk hubungan seksual baik yang halal maupun
haram berakibat pada hubungan mahram, sebagaimana hubungan seksual pada saat
ihram, atau di saat puasa. Kedua, secara biologis laki-laki tersebut merupakan
bapaknya karena keberadaan anak berasal dari dua air mani yang bercampur,
meskipun secara syar’i tidak diperbolehkan nasab-nya disandarkan kepada laki-laki
tersebut. Ketiga, dengan ditetapkannya hubungan mahram tersebut dapat sebagai
hukuman tambahan agar diketahui bahwa akibat dari zina yang dilakukan adalah
bahwa spermanya menjadi sia-sia. Sedang istinbat hukum yang digunakan oleh
‘Ulama’ Hanafiyyah adalah umumnya nas al-Qur’an pada surat an-Nisa’ (4): 23 dan
dari segi bahasa mengartikan lafaz nakaha pada nas al-Qur’an surat an-Nisa (4) ayat
22 dengan hubungan seksual (jima’) secara hakiki lalu mengartikan akad secara
majazî. Malikî memperbolehkannya didasari pada dua hal yaitu: Pertama, bahwa
hasil hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan di luar akad berakibat pada
terputusnya hubungan mahram. Kedua, Malikî lebih berpegang teguh terhadap basis
otoritatif dengan menggunakan dalil yang jelas. Sedang istinbat hukum yang
digunakan oleh ‘Ulama’ Malikiyyah adalah adanya kemungkinan pen-takhsis-an
pada umumnya nas al-Quran surat an-Nisa’ (4): 23 dan dari segi kebahasaan
mengartikan lafaz nakaha pada nas al-Qur’an surat an-Nisa (4): 22 dengan hubungan
seksual (jima’) secara majazî dan mengartikan akad secara syar’i dan hakiki.NIM. 09360029 AHMAD HABIBI