Institutional Repository UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta: No conditions. Results ordered -Date Deposited. 2024-03-29T14:12:04ZEPrintshttp://digilib.uin-suka.ac.id/images/sitelogo.pnghttps://digilib.uin-suka.ac.id/2017-07-27T07:49:09Z2017-07-31T07:17:20Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/26970This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/269702017-07-27T07:49:09ZMAKNA HISTORIS AYAT-AYAT TENTANG
SAB’ SAMAWAT (Aplikasi Teori Historical Function Jorge J. E. Gracia)Banyak upaya telah dilakukan untuk memahami makna sab’ samāwāt yang
dimaksud dalam al-Qur’an. Namun, beberapa di antaranya justru terkesan
memaksakan gagasan sang penafsir untuk masuk ke dalam teks. Teks dipaksakan
tunduk kepada gagasan penafsir dengan mengabaikan aspek sosio-historis saat teks
tersebut diturunkan. Sehingga, tafsir yang dihasilkan bersifat ahistoris. Misalnya,
menafsirkan sab’ samāwāt dengan tujuh lapisan atmosfer. Untuk mengatasi
problematika penafsiran yang demikian ini, Jorge J. E. Gracia menuliskan pentingnya
memahami historical meaning dari suatu teks dalam bukunya A Theory Of Textuality.
Signifikansi menemukan historical meaning tersebut tertuang dalam teori Gracia yaitu
historical function. Maka, tujuh ayat tentang sab’ samāwāt penting untuk dianalisis
menggunakan teori ini. Tujuh ayat tersebut adalah Qs. Al-Baqarah: 29, al-Isra’: 44, al-
Mu’minun: 86, Fusilat: 12, at-Talaq: 12, al-Mulk:3, dan Nuh: 15.
Menurut Gracia, menemukan historical meaning merupakan langkah awal bagi
seorang penafsir, sebagai upaya untuk mendapatkan pemahaman objektif dari teks
yang akan ditafsirkan. Historical function bertujuan menciptakan kembali di horizon
contemporary reader suatu pemahaman yang dimiliki oleh historical author (orang
yang memiliki otoritas terhadap teks) dan historical audience. Dengan begitu,
contemporary reader dapat memahami, bagaimana suatu teks yang akan ditafsirkan
tersebut muncul, bagaimana historical author menyampaikan pesannya, serta
bagaimana pemahaman historical audience tentang itu. Upaya ini terdiri dari empat
langkah konkret yaitu analisis sejarah, analisis intratekstualitas, analisis bahasa, serta
analisis intertekstualitas.
Tujuh langit, pada awalnya berasal dari peradaban Mesopotamia yang
kemudian dikembangkan oleh astronomer Yunani. Kepercayaan ini kemudian
berkembang pada masa-masa setelahnya di berbagai agama seperti Yahudi, Kristen,
Hindu, juga pada agama Islam yang muncul di Arab pada abad ke-7 M. Hubungan
Jazirah Arab dan Mesopotamia terjadi melalui perdagangan dan migrasi, baik dari
Jazirah Arab ke Mesopotamia ataupun sebaliknya. Kepercayaan tentang sab’ samāwāt
telah dikenal baik sejak zaman Nuh yang hidup 3000-4000 sebelum Isa as. Itu artinya,
sab’ samāwāt bukanlah hal yang baru bagi masyarakat Arab abad k-7 M, melainkan
berasal jauh dari peradaban sebelumnya. Dalam al-Qur’an, sab’ digunakan untuk dua
maksud, yaitu baik bermakna hakiki maupun majazi. Adapun dalam konteks
historisnya, sab’ dalam ayat-ayat tentang sab’ samāwāt dipahami secara hakiki. Dari
sumber-sumber riwayah yang didapat, disimpulkan bahwa masyarakat Arab pada abad
ke-7 M memahami sab’ samāwāt sebagai tujuh lapisan langit yang bertingkat.NIM. 13530087 FATIMAH FATMAWATI