Institutional Repository UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta: No conditions. Results ordered -Date Deposited. 2024-03-29T13:33:22ZEPrintshttp://digilib.uin-suka.ac.id/images/sitelogo.pnghttps://digilib.uin-suka.ac.id/http://digilib.uin-suka.ac.id/29297/1.hassmallThumbnailVersion/Halaman%20Judul%20-%20Keilmuan%20dalam%20Islam%20Sejarah%20dan%20masa%20depan.jpg2018-02-09T02:32:42Z2018-02-09T02:32:42Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/29297This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/292972018-02-09T02:32:42ZKeilmuan dalam Islam Sejarah dan Masa DepanSalah satu faktor munculnya krisis peradaban
manusia di dunia Timur dan Barat pada abad kelima
masehi adalah mandegnya gerak dinamika dan kreatifitas
pengetahuan man usia. 1 Islam lahir di tengah krisis
peradaban man usia. Untuk itu Islam lahir untuk mengatasia
krisis peradaban umat manusia dengan melakukan gerak
cepat dan kreatifitas dalam mengembangkan kemampunan
manusia untuk dapat membaca (qira'ah), bernalar
(ta'aqqul), menjelaskan (al-bayan), mempelajari (tafaqqaha)2• berefleksi (tafakkur).3 Dengan pengetahuan,
Islam mampu memimpin gerak maju peradaban yang
rahmatan li al-'aiamin. Namun demikian perlu dipahami
bahwa pengetahuan tidak serta merta menjadi agen tunggal
pembentuk peradaban, pengetahuan hanya salah satu
dimensi utama penopang lahir dan berkembangnya
peradaban Islam sampai di tittik puncaknya.
Upaya-upaya yang diperankan oleh ilmu
pengetahuan dalam mewujudkan puncak perdaban Islam
merupakan salah satu ikhtiar umat Islam untuk
membangun peradaban Islam ke depan, karena hanya
dengan mempelajari sejarahnya manusia dapat
membangun masa depannya. Oleh karena itu, peran
pengetahuan dalam membangun peradaban Islam perlu
ditelisik ulang guna menghindari kesalahan-kesalahan
dalam pemahaman. Karena kesalahan-kesalahan yang
demikian itu akan memunculkan persepsi tentang gagasangagasan
pengetahuan untuk masa depan yang keliru.
Meskipun demikian perlu dipahami bahwa peran
pengetahuan dalam membangun peradaban Islam harus
diposisikan secara proporsional. Artinya, makna atas peran
pengetahuan dalam membangun peradaban Islam hanya
sebatas sebuah pemahaman yang terwakili di dalamnya
tidak lebih. Dengan demikian, usaha-usaha lain yang lebih
komprehensif tentu tetap perlu dilakukan.
Untuk memahami peran pengetahuan dalam
mewujudkan peradaban Islam, langkah awal yang perlu dilakukan adalah membedakan antara sebaran-sebaran
pengetahuan yang tumbuh secara alami dalam proses
berkembangnya peradaban Islam dan membedakan
sebaran-sebaran pemahaman tentang pengetahuan yang
tumbuh dari peran dan kekuatan naq[.4 Pengetahuan yang
berkembang secara alami di dunia Islam cenderung bersifat
induktif, sementara pengetahuan yang berkembang dari.
rumusan-rumusan naqliyah cenderung bersifat deduktif.
Kedua pola tersebut tidak berjalan secara estafet dan
menempati ruangnya masing-masing secara dikotomis.
Kedua pola tersebut silih berganti saling mengisi dan
membantuk proses dinamika pengetahuan dalam Islam di
perjalanan sejarahnya.
Dalam hal usaha-usaha rekonstruksi (pengembangan
dan pembidangan) keilmuan yang berbasis integratifinterkonektif,
sebagaimana yang telah digagas oleh institusi
UIN selama beberapa tahun belakangan ini, pemahaman
atas jejak dan sebaran dua pola keilmuan di atas perlu
diperhatikan. Tanpa pemahaman yang mendalam atas
gerak sejarah dinamika keilmuan dalam Islam, usaha-usaha
rekonstruksi keilmuan yang sedang dilakukan oleh UIN
hanya akan menghasilkan rumusan konstruksi keilmuan
yang rapuh karena tidak didasari oleh kekuatan fondasi dan
sejarah pemahaman atas struktur pengetahuan itu sendiri.
Usaha rekonstruksi keilmuan dengan memahami
ranah sejarah keilmuan Islam merupakan salah satu dimensi. Dimensi-dimensi lain yang menyangkut rumusan
atau tepatnya paradigma, konsep, dan refleksi-refleksi
keilmuan yang diusung dalam proses rekonstruksi
keilmuan di UIN hendaknya ditelaah terlebih dahulu
dalam perspektif kefilsafatan. Dimensi filosofis ini menjadi
bagian penting dari diskursus rekonstruksi keilmuan di
UIN karena kajian tentang keilmuan tidak semata
persoalan faktual tetapi juga menyangkut persoalan
metafisika. Hal-hal faktual secara sederhana dapat
dicontohkan dari kasus pembidangan ilmu-ilmu
humaniora dan ilmu-ilmu alam berikut kecenderungan di
kalangan masyarakat untuk memilih salah satu bidang
tersebut. Sementara persoalan metafisika meliputi konsep
ilmu humaniora berikut batasan-batasan, dan implikasinya
bagi kemanusiaan secara umum.
Pada sisi lain peran dan posisi masyarakat juga perlu
dipahami lebih serius lagi. Pola dinamika yang begitu cair
dalam menentukan pilihan-pilihan dan kriteria-kriteria
tentang keilmuan yang menurut mereka penting dan
prospektif menunjukkan adanya berbagai faktor yang
melatari munculnya pola-pola pilihan dan lahimya kriteriakriteria
tersebut. Artinya persepsi masyarakat yang dinamis
perlu dijadikan sebagai bagian dari pertimbangan bagi
paradigma keilmuan yang diusung oleh UIN. Di sisi lain,
bagi UIN sendiri, faktor-faktor yang melatari pola-pola
pilihan masyarakat juga hendaknya diketahui secara lebih
dini sehingga paradigma-paradigma keilmuan yang
diusung oleh UIN telah melalui pertimbangan yang rna tang.
Yang jelas dalam proses rekonstruksi keilmuan di
UIN, dimensi historis, dimensi filosofis, dan dimensi sosial
memiliki nuansa yang sama dominannya. Untuk itu, ketiga ranah di atas hendaknya menjadi spirit, mainstream, basis
atau dasar pijak bagi proses rekonstruksi keilmuan di UIN.. Zuhrihttp://digilib.uin-suka.ac.id/29296/1.hassmallThumbnailVersion/halaman%20judul%20-%20naturalisme%20Abu%20Bakar%20al-Razi.jpg2018-02-09T02:32:21Z2018-02-09T02:32:21Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/29296This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/292962018-02-09T02:32:21ZNaturalisme Abu Bakr Al-RaziSejauh pengarnatan penulis, rnernperbincangkan gagasan naturalisrne
dengan filsafat Islam selama ini rnasih langka. Kelangkaan
tersebut bukan karena ketidaktahuan intelektual atau pernerhati
filsafat Islam, namun lebih pada kekhawatiran atau bahkan kemustahilan
rnetode nalar naturalisme ke dalam filsafat Islam karena,
pada umumnya, secara otomatis, Islam nampaknya jauh dari nalar
naturalisme karena naturalisme adalah kesementaraan sementara
filsafat Islam mengusung keabadiaan. Naturalime seperti halnya
evalusionisrne Darwin kemudian menjadi hal yang susah untuk
diperternukan dengan mainstream nalar filsafat Islam. Apakah
demikian kenyataannya? Penulis tidak sepenuhnya yakin karena
ada beberapa tokoh semisal Abu Bakr al-Raz1 dan Ibn Thufail yang
berusaha rnemanfaatkan metode nalar naturalisme untuk mengkaji
dan membahas beberapa topik dalam filsafat Islam.
Untuk membuktikan hipotesis di atas, ada beberapa hal yang
dijdaskan lebih hnjut. Satu hal yang perlu ditekankan di sini
adalah konsep remang naturalisme itu sendiri. Naturalisme berasal
dari bahasa Inggris Natural (kata sifat) yang berarti tentang alam
dan M~ture (alam/alamiah). Konsep naturalisme tiidak sepenuhanya
merupakan konsep filsafat. Naturalisme merupakan teori yang menerima "nature" (alam) sebagai keseluruhan realitas. Istilah
"nature" telah dipakai dalam filsafat dengan bebagai macam
arti, mulai dari dunia fisik yang dapat dilihat oleh man usia, sampai
kepada sistem total dari fenomena ruang dan waktu. Natural adalah
dunia yang diungkapkan kepada kita oleh sains alam. Istilah naturalisme
adalah kebalikan dari supernaturalisme yang mengandung
pandangan duaiistik terhadap alam dengan adanya kekuatan yang
ada ( wujud) di atas a tau di luar alam. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa naturalisme adalah teori yang menerima 'natura'
sebagai keseluruhan realitas dan merupakan unsur peming dalam
proses perkembangan pemikiran.
Secara umum, nalar naturalisme ada yang menekankan
pada dimensi kemanusiaan yang kemudian dikenal dengan istilah
naturalime humanistik dan ada pula nalar naturalisme yang
lebih menekankan pada dimensi materi atau mekanismenya yang
kemudian disebut dengan naturalisme materialistik. Naturalisme
humanistikc adalah pemikiran yang menekankan pada manusia,
berikut kepentingan dan segala hal yang terkait dengan manusia.
Naturalisme humanistik menjadi cara hidup yang bersadarkan
pada dinamika perkembangan kapasitas manusia (Titus, 1984:
306). Naturalisme Humanistik ini kemudian melahirkan gagasan
tentanng konsep humanisme dalam pemikiran filsafat. Semantara
yang dimaksud dengan naturalisme materialistik adalah pemikiran
yang menekankan pada peran dan eksistensi meterialisme bai.~
secara mekanik, maupun sejarah dalam mengusung konsep sejarah
pemikiran.
Naturalisme sendiri mubi banyak digunakan pada abaci
ke-17 dan meng~Jami perkemb~.ngannya yang sangat pesat pada
abad ke-18 Naturallsme berkembang dengan cepat di bidang
sains. Aliran ini, dalam komcks rr,odern, terutama dipdopori o1eh
J.J Rosseau, @suf Perancis yang hid up pJda tahun 1712-]778. Kemudian dilanjutkan oleh Frederick W. Nietszshe dan masih
banyak tokoh lainnya, seperti Charles Darwin yang menggunakan
prinisp-prinsip naturalisme dalam filsafat.
Menempatkan naturalisme sebagai suatu aliran atau madzhab
pemikiran secara umum dibagi ke dalam dua perspekti£ Perspektif
pertama menempatkan konsep naturalisme sebagai suatu tema
kefilsafatan baik secara onotologis maupun epistemologisnya. Perspektif
kedua menempatkan konsep naturalisme sebagai metode
berfikir untuk menjelaskan atau merefleksikan suatu persoalan.
Jelasnya, ".lvlethodological naturalism and philosophical naturalism
are distinguished by the fact that methodological naturalism is an epistemology
as well as a procedural protoco4 while philosophical naturalism
is a metaphysical position." 1 Naturalisme Niestzche, misalnya,
menurut penulis merupakan bentuk naturalisme metodologis. ia
menjelaskan konsep-konsep genealogi moralitas suatu masyarakat
dengan pendekatan atau metode naturalitas. Moralitas masyarakat
modern harus dapat dikembangkan lebih lanjut agar sampai,
pada tingkat kesadaran yang lebih tinggi lagi (baca: asketis) dengan
menyadari pola-pola bangunan moralitas dalam dirinya baik dalam
konteks historis maupun konteks kekinian.2
Lebih lanjut, sebagai dijelaskan Janawy sebagaimana dikutip
dari Leiter bahwa,
To be methodologically naturalist, philosophical inquiry should
either (a) be supported by, or justified by, the actual results of our best
science in its different domains; or (b) employ or emulate successful,
distinctively scientific ways of understanding and explaining things.
Leiter refers to these as "Results Continuity" and "Methods Continuity"
respectively. Naturalisme methodologis menegaskan bahwa penelitian-penelitian
filosofis hendaknya didukung oleh argumen-argumen aktual
dan ditopang dengan pemahaman keilmuan yang jelas. Kekuatan
tersebut baik pada metode maupun pada hasil yang diajukan. Artinya,
naturalisme mensyaratkan konsistensi metode dan hasil.
Konsistensi dalam ranah metode, dalam konteks yang lain juga
banyak diinspirasikan dari aliran skeptisisme terhadap keyakinan
yang dibangun oleh imaji-imaji, meminjam bahasa Hume, sehingga
para pemikir kemudian mencoba menggunakan pola nalar naturalisme.
Dalam konteks Hume, misalnya,
Hume here reconciles skepticism and naturalism. It is no merely
that skepticism is natural attitude. Rather, the best expression ofskepticism
is one where we follow our nature without pretending we have
an independent justification; in doing so we even contribute to the
advencement ofknowledge.. Zuhrihttp://digilib.uin-suka.ac.id/29295/1.hassmallThumbnailVersion/halaman%20judul%20-%20rekonstruksi%20studi%20islam%20berbasis%20kemasyarakatan.jpg2018-02-09T02:31:55Z2018-02-09T02:31:55Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/29295This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/292952018-02-09T02:31:55ZRekonstruksi Studi Islam Berbasis KemasyarakatanPerkembangan studi lslam1, baik dari segi objek studi maupun
dari segi partisipasi masyarakat, menurut penulis, tidak serta merta
berjalan seiring dan atau disertai dengan peningkatan pemahaman
terhadap ajaran dan aspek keislaman di tengah masyarakat. Bahkan
tidak sedikit bukti yang menunjukkan bahwa meningkatnya wacana
studi Islam justru melahirkan anggapan-anggapan negatif di kalangan
sebagian masyarakat. Fenomena yang penuh dengan ironi di atas
salah satunya, menurut hemat penulis, disebabkan oleh pem.ah;rm.an
dikotomis antara subjek pengkaji dan masyarakat yang dijadikan
objek pemikiran. Padahal, pemikiran dikotomis yang demikian itu
akan selalu menghadirkan fenomena keberjarakan antara dinamika
pewacanaan studi Islam di satu sisi dan dinamika fenomena keislaman
masyarakat di sisi lain. Fakta-fakta di atas, yang menjadi kegelisahan
akademis, menjadi latar pemikiran yang diharapkan melahirkan
uraian-uraian argumentatif yang mendasar bagi tulisan ini.
Berpijak dari problem teoritik dan praksis di atas, tulisan
ini berusaha membaca kecenderungan fenomena dikotomis dan
keberjarakan studi Islam. Hal demikian beralasan karena munculnya
asumsi-asumsi dikotomis dan keberjarakan di atas lebih disebabkan oleh
kesalahmengertian intelektual dan kesalahpemahaman tentang esensi studi Islam dan eksistensi masyarakat.2 Untuk itu, tulisan ini berupaya
merumuskan pemahaman kesatuan subjek-objek yang menempatkan
wacana studi Islam sebagai fenomena wacana masyarakat (Islam).
Dengan demikian, tulisan ini memosisikan diri sebagai langkah awal
upaya perumusan wacana studi Islam dalam kerangka satu kesatuan
fenomena dalam masyarakat. Signifikansinya, pertama-tama, adanya
landasan pemik:iran bahwa suatu gagasan tidak bisa lepas dari ranah
sosialnyadan,bahkan,gagasantidaksekadardimuri.culkandalamsuatu
ruang kecil yang bernama biografi. Artinya, selama ini korelasi antara
pemik:iran dan ranah sosial hanya dimaknai sebatas latar belakang
kehidupan sosial sang pemik:ir. Padahal, jika mengikuti kaidah-kaidah
yang dikembangkan dalam sosiologi, makna latar belakang pemikiran
tentu tidak sebatas itu.
Kedua, sumbangan pemik:iran keislaman tidak sekadar persoalan
apa yang telah diberikan kepada masyarakat. Hal lain yang lebih
penting justru terletak pada apa sebenarnya yang dibutuhkan oleh
masyarakatatau sekurang-kurangnya, bagaimanakemudian dipahami
bahwa masyarakat memang membutuhkan hasil-hasil pemik:iran dari
studi Islam tersebut. Persoalan yang demikian itu hanya bisa diawali
dengan menelaah secara mendalam bagaimana gagasan-gagasan
dan studi-studi keislaman itu lahir dalam proses dialektikanya
dengan masyarakat. Terkait dengan itu, kepentingan untuk mepalar
ulang persoalan-persoalan teoritik-metodologis yang berasal dari
teks maupun masyarakat amatlah perlu untuk dilakukan.3 Untuk
itu, dari tulisan ini diharapkan bisa menghadirkan suatu rumusan
penalaran yang dapat menjadi landasan pijak bagi suatu dalil tentang
makna bahwa sebuah gagasan selalu dirumuskan dalam konteks dan
kepentingan sosialnya.
Oleh karena luasnya perspektif sosiologis, pembacaan atas pola
dialektik di atas bisa dengan menggunakan perspektif sosiologi
pengetahuan seperti digagas oleh Peter L Berger. Secara sederhana,
gagasan teoretik Berger dilatarbelakangi oleh pemik:iran bahwa
sosiologi pengetahuan harus didefinisi ulang dalam level empiris, yaitu sebagai teori yang digolongkan sebagai disiplin empiris sosiologi-4
Menurut Berger, penegasan ini penting, karena selama ini
sosiologi pengetahuan lebih peduli terhadap kaitan sosial dengan
pengetahuan dari pada d.imensi-dimensi yang terkait dengan
persoalan lebih abstrak dari dinamika sosial manusia. Padahal,
d.imensi sosiologis dari perkembangan tersebut sama pentingnya.
Untuk itu, ia menekankan bahwa sosiologi pengetahuan akan selalu
berkait tidak hanya dengan berbagai varian empiris "pengetahuan"
di masyarakat, tetapi juga dengan proses di mana seluruh unsur
"pengetahuan" berada dalam ranah yang mapan secara sosial sebagai
suatu realitas.5 Baginya, sosiologi pengetahuan harus konsen dengan
pandangan apa pun tentang "pengetahuan" yang ada di masyarakat
tanpa memperhatikan validitas atau invaliditas, dengan kriteria apa
pun. Sejauh pengetahuan manusia dibangun, ditransmisikan, dan
dikelola dalam situasi sosial, sosiologi pengetahuan harus berusaha
untuk memahami proses tersebut. Dengan kata lain, menurut
Berger, sosiologi pengetahuan berkonsentrasi secara penuh terhadap
analisis kontruksi sosial atas realitas.6 Dalam tulisannya yang lain, ia
menjelaskan bahwa tugas sosiologi pengetahuan adalah menganalisis
bentuk sosial pengetahuan, tentang proses di mana individu-individu
mendapatkan pengetahuan ini dan tentang organisasi institusional
dan distribusi sosial pengetahuan.7
Masih menurut Berger, rumusan konseptual tentang d.imensi
sosial sebuah pengetahuan yang dikembangkan atau berkembang
di masyarakat berawal dari proses eksternalisasi (externalization)
kemudian beranjak ke dalam proses objektivasi (objectification) dan
terakhirmenuju prosesintemalisasi (internalization). Bergermenjelaskan
sebagai berikut:8
Proses dialektik fundamental dari masyarakat terdiri dari tiga
momentum, atau langkah, yaitu eksternalisasi, objektivasi, dan
intemalisasi. Ekstemalisasi adalah suatu pencurahan kedirian manusia secara terus-menerus ke dalam dunia, baik dalam aktivitas
fisis maupun mentalnya. Objektivasi adalah disandangnya produkproduk
aktivitas itu baik fi.sik maupun mental, suatu realitas yang
berhadapan dengan para produsennya semula, dalam bentuk suatu
kefaktaan (faksitas) yang eksternal terhadap, dan lain dari, produser
itu sendiri. Internalisasi adalah peresapan kembali realitas tersebut
oleh manusia, dan mentransformasikannya sekali lagi dari strukturstruktur
dunia objektif ke dalam struktur-struktur kesadaran
subjektif. Melalui eksternalisasi, masyarakat merupakan produk
manusia. Melalui objektivasi, masyarakat menjadi suatu realitas
sui generis, unik. Melalui internalisasi, manusia merupakan produk
masyarakat.
Proses pemahaman atas studi-studi keislaman dengan kerangka
sosiologi pengetahuan adalah dengan menempatkan studi Islam pada
wilayah realitas sosialataufenomena kemasyarakatan dengan berbagai
varian, pola, dan tingkat apresiasi yang berbeda. Oleh karena dimensi
sosiologis atas studi Islam merupakan penelaahan dan pemahaman
atas realitas sosial studi Islam, penelusuran atas konsep dan a1asan di
balik pentingnya pengamatan dimensi sosiologis studi Islam sebagai
pengetahuan perlu dikesplorasi lebih lanjut. Dimensi sosiologis studi
ini terletak pada posisi dan peran masyarakat, khususnya masyarakat
intelektual, dalam memahami, mengembangkan, dan mengKritisi
studi Islam. Studi Islam diletakkan pada posisi dan peran masyarakat
dalam memahami studi Islam. Oleh karena itu, sebagaimana ditulis
oleh Waardenburg: 9
Kebenaran adalah tentang network tanda dan telah membentuk
Islam yang dapat dibaca, ditafsirkan, dan dipraktikkan dalam
berbagai cara yang berbeda dalam masayarakat muslim, tidak
hanya tergantung pada institusi penafsir yang berbeda tapi juga
ketergantungan "infrasutruktur'' dan faktor-faktor politik yang
berlaku di masyarakat.
Selama ini, pewacanaan studi Islam lebih difokuskan pada tema
atau substansi kajian daripada eksistensi kajiannya. Masyarakat
intelektual lebih menekankan upaya pemahaman aspek-aspek keislaman sebagai objek dan subjek daripada pemahaman yang
sesungguhnya ada dan mengada di masyarakat. Untuk itu, makna
telaah sosial atas studi Islam tidak sekadar untuk membuktikan
bahwa studi Islam dibangun tanpa meninggalkan dimensi sosial
penggagas dan pembacanya. Telaah sosial atas studi Islam juga
harus diorientasikan untuk melakukan kritik atas akar-akar asumsi
dan pemahaman sosialitas studi Islam masa lampau.. Zuhrihttp://digilib.uin-suka.ac.id/29294/1.hassmallThumbnailVersion/halaman%20judul%20-%20wacana%20pengetahuan%20dan%20kuasa%20menurut%20Micheil%20foucault.jpg2018-02-09T02:31:49Z2018-02-09T02:31:49Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/29294This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/292942018-02-09T02:31:49ZWacana Pengetahuan Kuasa menurut FoucaultAccording to Nitezsche, all of a desire to know the truth already a form of desire
for power. The opinion seems well understood by Foucault. According to him,
when explored in more depth, it will seem that knowledge is formed by a process
of corporate power. This paper seeks to dissect the thoughts of Foucault on
knowledge and other concepts that should be included and should be part of
conversations about knowledge initiated by Foucault.
Keywords: Foucault. Kuasa, Pengetahuan dan Wacana. Zuhrihttp://digilib.uin-suka.ac.id/29293/2.hassmallThumbnailVersion/halaman%20judul%20-%20mafhum%20al-tasamuh%20inda%20ibn%20hazm%20al-andalusi.jpg2018-02-06T09:07:38Z2018-02-06T09:07:38Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/29293This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/292932018-02-06T09:07:38ZMafhum Al-Tasamuh Inda Ibn Hazm Al-Andalusi[Ibn Hazm ai-Andalusi (w. 1064) merupakan salah satu ilmuwan Islam
terbesar pada era pertengahan. Dia merupakan seorang ahli ftqh, ftlosif,
sejarawan, dan ahli tentang studi agama-agama dan aliran-aliran teologis
dalam Islam. Ibn Hazm merijadi sosok fenomenal karena metode dan
materi kqjian-kqjian yang ia geluti memiliki kekhasanyang membedakan
dengan kajian-kqjian keilmuan pada umumfl_ya. Kekhasan ini k,emudian
merijadi daya tarik para ilmuwan modern untuk menelaah pemikiran Ibn
Ha:<Jll. Namun, karena metodologiyang digunakan kebanyakan ftlologi, ada
asumsi seolah-oleh Ibn Hazm jauh dari dimensi humanistik seperti toleransi dalam ka;ian-kajiannya terutama tentang studi agama-agama. Maka!ah
ini berusaha membuktikan seba!iknya. Ibn Hazm merupakan sa!ah satu
tokobyang menekankan pentingnya toleransi baik dari sisi agama maupun
kemanusiaan. Hal itu dibuktikan dari pene!urusan atas rea!itas sosial
dimana ia hidup} sejarah perkembangan kepribadian} dan bahkan ambisi
politik Ibn Hazm yang mengharuskan dia untuk me!angkah dan berftkir
dalam ni!ai-ni!ai to!eransi.. Zuhrihttp://digilib.uin-suka.ac.id/29287/1.hassmallThumbnailVersion/Hakaman%20judul%20-%20%20ilmu%20kalam%20perspektif%20ibn%20khaldun.jpg2018-02-06T02:07:23Z2018-02-06T02:07:23Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/29287This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/292872018-02-06T02:07:23ZIlmu Kalam: Perspektif Ibn KhaldunIbn Khaldoo's chief contribution lies in philosophy of history and
sociology, but in his many writings, he come to discuss on Islamic
theology. As shown in this article, Ibn Khaldun has certain prespective on
Kalam as a kind of rational elaboration toward Islam. His defme Kalam as
a creative tension between syari'ah and philosophy. His masterpiece,
Muqaddimah covers the historical development of kalam and the different
schools of Islamic thought Ibn Khaldun also covers the historical
development of Islamic logic in the context of theology, as he viewed
logic as being distinct from early Islamic philosophy, and believed that
philosophy should remain separate from theology.
Keywords: 'llm Kalam, 'llm Ilahi}yat, episteme. Zuhrihttp://digilib.uin-suka.ac.id/29280/1.hassmallThumbnailVersion/Cover%20-%20Ibn%20Athaillah%20sosok%20dan%20pemikirannya%20tentang%20%20ma%27rifat.jpg2018-02-05T08:11:57Z2018-02-05T08:11:57Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/29280This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/292802018-02-05T08:11:57ZIbnu 'Ata'illah al-Sakandari: Sosok dan Pemikirannya tentang Ma'rifatDalam dunia tasawwuf, ma'rifat dapat dikatakan merupakan salah satu puncak
dari perjalanan seorang sufi dalam melakukan suluk. Ma'rifat secara umum menggambarkan
hubungan yang intens antara seorang sufi dengan Tuhannya dalam bentuk
gnosis, pengetahuan dalam hati. Dalam dunia tasawwuf sendiri, pembahasan tentang
ma'rifat bukannya tanpa perbedaan, yang palingjelas adalah perbedaan pandangan
apakah ma'rifat itu termasuk maqam atau h31. Tulisan dibawah ini merupakan eksplorasi
terhadap pandangan seorang sufi yang terkenal, khususnya di kalangan
pesantren dengan kitab al-Jfikam-nya, tentang ma'rifat termasuk juga term-term
kunci serta perangkat epistemologis yang diperlukan untuk mencapai ma'rifat.. Zuhrihttp://digilib.uin-suka.ac.id/29278/1.hassmallThumbnailVersion/cover%20hermeneutika%20dalam%20pemikiran%20jurgen%20habermas.jpg2018-02-05T07:49:45Z2018-02-05T07:49:45Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/29278This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/292782018-02-05T07:49:45ZHERMENEUTIKA DALAM PEMIKIRAN HABERMASTelaah atas hermeneutika meliputi banyak aspek. Aspek sejarah lahimya wacana
tersebut memunculkan sejumlah tokoh serta pemikirannya tentang hermeneutik.
Sedangkan aspek isi kajian, yang terkandung dalam wacana hermeneutika,
menghadirkan berbagai macam pandangan dan berbagai fungsi konsep
hermeneutika sebagaimana dimunculkan oleh para penggagasnya. Hal lain yang
kiranya cukup penting adalah aspek anal isis wacana. Aspek tersebut sesungguhnya
dapat membantu baik dalam pemahaman tentang konsep hermeneutika,
pengembangan, aplikasi, kritik, serta konsekuensi-konsekuensi logisnya. Artikel ini
mencoba untuk mengeksplorasi dan menelaah lebih dalam bagaimana konsep
hermeneutika dari seorang filosofkelahiran Jerman, Jiirgen Habermas dan apa
kontribusi pemikirannya tentang hermeneutika.. Zuhrihttp://digilib.uin-suka.ac.id/29273/1.hassmallThumbnailVersion/cover%20filsafat%20islam%20dan%20pluralisme.jpg2018-02-05T03:49:35Z2018-02-05T03:49:35Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/29273This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/292732018-02-05T03:49:35ZFilsafat Islam dan PluralismeSebelum lebih jauh berbicara ten tang pluralisme1 di. satu
sisi dan filsafat Islam di sisi yang lain, kedua konsep tersebut
perlu didudukkan dalam suatu pemaknaan yang jelas sehingga
tidak menimbulkan salah pengertian. Filsafat Islam sudah mulai
berkembang pada abad ke sembilan masehi sementara konsep
pluralisme mulai digunakan pada akhir abad ke sembilan belas.2
Oleh karena itu, mendeskripsikan konsep pluralisme dalam filsafat
Islam klasik sangat sulit. Selama ini tema pluralisme lebih banyak
dikaji dari perspektif Islam secara umum.3 Kemungkinan yang dapat
direalisasikan adalah melakukan kerja filsafat atau refleksi-refleksi
kritis dari sudut pandang Islam tentang konsep pluralisme. Artinya,
pluralisme dijadikan sebagai objek materiil sementara filsafat Islam
dijadikan sebagai objek formilnya. Permasalahannya, mampukah filsafat Islam membedah dan sekaligus merumuskan pluralisrne
sebagai suatu konsep yang utuh? Pertanyaan itu-pun rnasih sulit
untuk dijawab dan tulisan ini juga tidak bermaksud untuk rnenjawab
persoalan tersebut. Hal itu perlu dijelaskan oleh karena, sejauh yang
penulis ketahui, dalam konteks kekinian, telaah-telaah filsafat atas
pluralisrne rnasih langka.4 Dengan demikian, tulisan ini lebih tepat
diposisikan sebagai suatu kerangka awal yang proses sistematikanya
dibiarkan rnengalir apa adanya. Dengan rnengambil bagian-bagain
kedl saja dari berbagai diskrusus kislarnlan, pluralisme diharapkan
rnemiliki 'wajah'nya tersendiri yang khas dalam konteks keislaman
secara umum dan filsafat Islam pada khususnya.. Zuhrihttp://digilib.uin-suka.ac.id/29266/1.hassmallThumbnailVersion/COVER%20%20al-jabiri%20tentang%20nalar%20etika%20islam.jpg2018-02-05T02:55:58Z2018-02-05T02:55:58Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/29266This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/292662018-02-05T02:55:58ZDari al Jabiri tentang nalar etika IslamThere are many concepts on islamic-ethics, butAl-Jabiri offer on value reconstruction
of ethics may be the most valuable among them for moslem world. Starting from
critisizing the logic of Arab peoples-on his three books before: Takwin al-Aql al'
Araby, Bunyat a- 'Aql a- 'Araby and a- 'Aql al-Siyasi a- 'Araby- that give more
emphasize on Aqidah, Qabilah and Ghanimah, Al-Jabiri continues his critics with his
valuable book, a- 'aql al-akhlaqi a- 'Araby. With a comprehensive reading on Jabiri's
projects, the writer conclude that in the field of islamic-ethics Jabiri have tried to make
a kind value construction for classical Arab-Islamic-civilization aimed at value reconstruction
for today Arabic and Islamic glorius civilization.
Keywords: 'Aql Araby, EtikaAkhlaq, Maslahat. Zuhrihttp://digilib.uin-suka.ac.id/29263/1.hassmallThumbnailVersion/Cover%20studi%20islam%3B%20sebuah%20pengantar.jpg2018-02-05T02:36:46Z2018-02-05T02:36:46Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/29263This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/292632018-02-05T02:36:46ZSTUDI ISLAM
Sebuah PengantarStudi Islam merupakan tema kajian keilmuan modern yang
memiliki ruang lingkup cukup luas baik dari sisi objek kajian yang
berkembang dalam rentang waktu sejarah kajian yang sangat panjang
maupun dari sisi metode kajian yang tumbuh sering tumbuh
kembangnya pemikiran. Keluasan cakupan studi Islam dilandasi
oleh pemahaman tentang Islam yang selalu berkembang seiring
dengan proses kajian dan atau pembelajaran (studies). Tidak ada
Islam yang tidak disampaikan dengan proses dialektika pembelajaran
atau pemahaman. Pembalajaran dalam Islam menjadi proses
terus menerus seiring dengan proses pen-da’wah-an Islam, dan
dialektika Islam dengan sejarah dan realitas sosial masyarakatnya.
Dengan menempatkan studi Islam dalam konstruksi keilmuan
berarti menempatkan Islam sebagai bagian dari proses pergulatan
Islam bersama realitas sosialnya dengan paradigma keilmuan sebagai
spiritnya. Spirit tersebut mewujud dalam usaha membangun pemahaman
Islam dalam ruang diskursus keilmuan. Pemahaman dalam
diskursus keilmuan berarti membangun pemahaman-pemahaman
tentang Islam yang memiliki basis pengetahuan kuat baik dari
sisi konstruksi epistemik, metodologis, maupun dari sisi konstruksi
sosio-historisnya. Ketiga konstruksi di atas menjadi tiang
penyangga yang menopang terwujudnya wajah studi Islam yang
dinamis dan konstruktif sehingga mampu menghadirkan pemahaman
tentang Islam dan keislaman rahmatan li al-alamin dalam
setiap ruang dan waktu.. Zuhrihttp://digilib.uin-suka.ac.id/29251/2.hassmallThumbnailVersion/NALAR%20KALAM%20PERTENGAHAN.jpg2018-02-01T08:57:43Z2018-02-01T08:57:43Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/29251This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/292512018-02-01T08:57:43ZNALAR KALAM PERTENGAHANBuku ini lahir dari kegelisahan penulis bahwa perdebatan corak pemikiran keagamaan, khususnya dalam bidang aqidah atau teologi yang berkembang di masyarakat sekarang ini belum diimbangi dengan lahirnya karya-karya akademik atas tema yang sama. Akibatnya, banyak perdebatan yang lahir dan berujung dari dan pada kedangkalan pemikiran dan pemahaman terhadap asal-usul, landasan dan akar sejarah pemikiran keagamaan tersebut.
Pada konteks keindonesiaan, konteks paradigmaa pemikiran yang terkait dengan keyakinan atau aqidah di masyarakat Indonesia banyak merujuk dari pola pemikiran dan penalaran tentang prinsip-prinsip keyakinan yang berkembang pada era abad pertengahan atau kurun tahun 1250-an M sampai tahun 1900 M. Realitas demikian tentunya akan sangat berbeda dengan tradisi pemikiran pada era-era sebelumnya, yakni era klasik atau sesudahnya, era modern.
Dengan demikian ada suatu paradigma tersendiri dalam studi kalām, aqidah, atau tauhid yang muncul dan berkembang pada era abad pertengahan. Paradigmaa inilah yang dikenalkan dalam buku ini, sebagai langkah awal untuk kajian yang lebih serius. Untuk itu, buku ini juga dapat dijadikan sebagai referensi bagi mahasiswa yang menekuni bidang kajian kalām atau teologi Islam, khususnya teologi Islam abad pertengahan.. Zuhrihttp://digilib.uin-suka.ac.id/29243/1.hassmallThumbnailVersion/Cover%20-%20BUKU%20DARAS%20etika-perspektif%2C%20teori%20dan%20praktik.jpg2018-02-01T04:42:50Z2018-02-01T04:42:50Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/29243This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/292432018-02-01T04:42:50ZEtika Perspektif, Teori, dan PratikBuku kumpulan tulisan ini merupakan seri ketiga yang fokus
kajian pada bidang etika, sementara seri kedua yang terbit pada
tahun 2015 memfokuskan pada telaah Filsafat Islam, dan seri pertama
yang terbit pada tahun 2013 untuk kajian sejarah dan pemikiran
Islam. Kumpulan tulisan ini kami posisikan sebagai antologi
kajian yang berfungsi sebagai bagian dari buku rujukan atau buku
daras yang digunakan sebagai referensi dalam proses pembelajaran
dan pengkajian mahasiswa. Oleh karena itu, tema-tema kajian yang
lain insyaallah akan selalu hadir pada setiap tahun. Hal itu perlu
ditegaskan karena harus diakui bahwa tradisi pengembangan keilmuan
yang dilakukan dengan menulis masih perlu terus didorong
agar kemudian menjadi tradisi di kalangan akademisi.
Harus diakui bahwa dibanding kajian lainnya, apakah dalam
konteks keislaman atau dalam konteks umum, studi etika merupakan
salah satu kajian yang cukup rumit dan bahkan berat. Kesulitan
selalu muncul karena etika selalu berkait kelindan dengan filsafat
di satu sisi dan norma di sisi lain. Padahal, pada saat yang sama
hal-hal yang filosofis selalu kritis terhadap hal-hal yang cenderung
normatif. Oleh karenanya kesulitan yang muncul bukan saja pada
ranah penerapan atau yang sering disebut moralitas, tetapi juga
dalam ranah teoretis itu sendiri atau etika teoretis. Bahkan, teoriteori
etika cenderung meneguhkan argumen atas apa yang menjadi
keyakinan atau kebenaran epistemiknya, sementara dalam ranah
praksis, tolok ukur etis selalu tersandung oleh berbagai dimensi
yang kadang tidak berkait langsung dengan dimensi teoretisnya.. Zuhri