Institutional Repository UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta: No conditions. Results ordered -Date Deposited. 2024-03-29T14:34:30ZEPrintshttp://digilib.uin-suka.ac.id/images/sitelogo.pnghttps://digilib.uin-suka.ac.id/2020-09-04T06:28:48Z2020-09-04T06:28:48Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/40865This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/408652020-09-04T06:28:48ZETIKA SASAK
(Studi Naskah Babad Lombok)Secara geografis pulau Lombok terletak di antara dua pulau yaitu pulau Bali dan Pulau Sumbawa. Sasak Merupakan salah satu nama suku mayoritas yang ada di pulau Lombok. Sejarah masyarakat suku Sasak banyak tercatat dalam naskah atau babad-babad seperti Babad Lombok, Babad Selaparang, Babad Sakra dan Babad Praya, yang merupakan objek kajian dalam penelitian ini. Empat babad tersebut secara umum, rata-rata menceritakan perihal perlawanan masyarakat suku Sasak terhadap raja Bali yang saat itu sedang menjajah di pulau Lombok. Namun sedikit kisah yang berbeda pada bagian awal di dalam Babad Lombok, yakni menceriktakan perihal asal-muasal manusia Sasak, ajaran agama masyarakat suku Sasak, kemudian disambung lagi dengan kisah perlawanan masyarakat suku Sasak terhadap penguasa Bali. Dalam penelitian ini, penulis tertarik akan mencari sistem nilai apa saja yang ada di dalam naskah babad Lombok (empat babad) tersebut, kemudian masing-masing sistem nilai tersebut memungkinkan akan dijadikan pegangan (falsafah) hidup masyarakat suku Sasak yang ada di Lombok. Kajian etika masyarakat suku Sasak dalam babad Lombok ini, penulis tidak bermaksud untuk menjustifikasi etika masyarakat suku Sasak secara kolektif, artinya bahwa nilai etik dalam naskah babad Lombok ini tidak sepenuhnya menjadi etika masyarakat suku Sasak. Penelitian ini mempunyai titik tekan pada aspek nilai yang ada di babad Lombok.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan kerangka teori Peter L Berger dan Thomas Lukmann yaitu konstruksi sosial (social construction) atau dikenal juga dengan sosiologi penegetahuan. Di dalam teori ini terdapat tiga moment pengetahuan ekternalisasi, objektivasi dan internalisasi. Teori konstruksi sosial (social construction) atau sosiologi pengetahuan ini secara ringkas mengatakan bahwa masyarakat merupakan produk manusia dan manusia merupakan produk sosial (masyarakat). Teori ini akan digunakan untuk menganilisis sistem nilai yang ada di dalam babad Lombok melalui tiga momen pengetahuan tersebut.
Adapaun hasil dari penelitian ini yakni terdapat enam belas sistem nilai dari ke-empat babad terebut yaitu; Nilai ketuhanan, Nilai Kepemimpinan, Larangan mengambil hak milik orang lain, Menepati janji, Dermawan, Kebijaksanaan, Kebahagiaan, Nilai Humanis, Berbakti Kepada Orang Tua, Keikhlasan Terhadap Takdir Tuhan, Nilai Balas Budi, Kesetiaan dan Kepatuhan, Musyawarah, Berfikir Sebelum Bertindak, Pemberani, Peduli terhadap sesama Agama (muslim). Kemudian ke-lima belas nilai tersebut, disederhanakan lagi menjadi sepuluh sistem nilai. Bagaimana sistem nilai tersebut dijadikan falsafah hidup (world view) masyarakat suku Sasak, yakni mengaitkannya dengan nilai-nilai kandungan al-Qurān, karena pandangan hidup (world view) kita banyak dipengaruhi oleh berbagai informasi-informasi termasuk ajaran agama (dalam hal ini Islam), maupun ajaran agama-agama yang lain yang mengajarkan tentang kabajikan-kebajikan. Ajaran agama selalu membahas eksistensi Allāh, manusia, relasi antara Allāh dan manusia, relasi antara manusia dan manusia, dan relasi antara manusia dan alam. Bahkan sampai titik tertentu, agama juga memberi
prinsip-prinsip dasar bagi ilmu pengetahuan. Dengan demikian sitem nilai yang ada di naskah babad Lombok ini dikaitkan dengan nilai-nilai agama bisa menjadi sumber dari falsafah hidup (world view) masyarakat suku Sasak.NIM: 18205010032 ABDUL KOHAR2020-09-04T06:23:06Z2020-09-04T06:23:06Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/40863This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/408632020-09-04T06:23:06ZPERGESERAN PENAFSIRAN AYAT POLIGAMI DALAM Q.S. AN-NISA’
[4]: 3
(Studi Tafsir Era Klasik, Pertengahan, Modern-Kontemporer)Interpretation of polygamy verses in Q.S. An-Nisa '[4]: 3 is one of the Qur'anic
texts which is often discussed by various interpreters of the classical to contemporary
interpretations. Secondly, the era of modern-contemporary interpretation prefers to be
understood as a monogamous verse rather than the concept of polygamy. This diversity
has resulted in changes to the compilation of texts in varying difficulties and changes.
This is caused by several factors underlying the compilers to internalize the text and
complexity as a solution to answer the problems of the people. The focus of this study
addresses three interactions: (1) Why changes in the interpretation of Q.S. an-Nisa '[4]:
3 studies of the era of classical to contemporary interpretations. (2) Factors underlying
the transition of interpretation of the Q.S. an-Nisa '[4]: 3 Study of Interpretation from
Classical to Contemporary Era. (3) Classifying the forms of interpretation of the classical
to contemporary eras.
This research is a research which is a descriptive literature research using
historical-analytical studies. With this expectation the author tries to analyze the specific
interpretation of the Q.S. an-Nisa '[4]: 3 in the interpretation of the classical to
contemporary eras, then the writer will bring up the roots of thought about the
interpretation of the Qur'an
The results of this study indicate that, the shift in interpretation of polygamy
verses in Q.S. an-Nisa '[4]: 3 in the interpretation of the classical, middle, moderncontemporary
era that, the interpretation of the classical era tends to understand the
Qur'an textually and root the system patriarchal culture. While the interpretation of the
middle era interpretation is the development of an ideology and the interests of the
mufassir in understanding the verse of polygamy. However, interpretations of the
modern-contemporary era have shown the development of thinking structures and the
emergence of various scientific approaches that are critically explored so that in
understanding texts try to dialogue between texts with the social conditions of society.
As for the classification of interpretations including, First, the interpretation of
classical-mid-era interpretation is oriented (Subjectist Buys Pathirarkhi). Second, the
interpretation of the modern-contemporary era emphasizes more on women's rights,
namely (Gender Neutral Objectives), this principle as one to realize the objectives of the
Qur'an and eliminate pathirarkhi biases in the context of interpretation. While the forms
of epistemological shifts are, First, Interpretation of the Formative Era with Critical
Quasi Reason (Classical Era). Second, the Interpretation of the Affirmative Era with
Ideological Reason (Middle Era). Third, Interpretation of Reformative Era with Critical
Reason (Modern-Contemporary Era)NIM: 18205010020 Wely Dozan2020-09-03T03:12:35Z2020-09-03T03:12:35Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/40791This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/407912020-09-03T03:12:35ZKONSEP SUFISME DALAM KEPUSTAKAAN ISLAM KEJAWEN
(Telaah Atas Pembacaan Prof. Dr. Simuh)
TESISThis research is entitled, “Konsep Sufisme dalam Kepustakaan Islam Kejawen (Telaah Atas Pembacaan Prof. Dr. Simuh”- "The Concept of Sufism in the Islamic Literature of Kejawen (Study of Prof. Dr. Simuh's Reading)". Sufism in the Islamic Literature of Kejawen is a treasure of thought which contains teachings about the combination of mystical Javanese mysticism and Sufism. Meanwhile, Kejawen Islamic Literature itself is a naming for various works on Javanese Sufism written in and by the Javanese people, as well as making various Sufism teachings that are distinctively believed by Javanese people. Study of Prof. Dr. Simuh’s reading here means seeing how Simuh's reading of the various works of Islamic kejawen and parsing the main points of his teachings. Simuh himself was a thinker and academic who throughout his life studied intensely about Sufism and Javanese Sufism. Therefore, research on the concept of Sufism in the Kejawen Islamic Literature in the perspective of Simuh becomes very relevant.
The object of this research material is the concept of Sufism in Javanese Kejawen literature, while the formal object is the study of Prof. Dr. Simuh. The research method used is literature study. The method used is descriptive analysis. The elements of this method are used to look at the complementary concepts of Javanese Sufism in the Javanese Islamic literature, especially in the reading of Prof. Dr. Simuh.
The results of this research: first, the concept of Sufism in Javanese Javanese literature is a Javanese Sufism teaching that contains syncretism between Javanese mystical elements and Islamic Sufism, both of which are united and become treasures of thought and belief that are unique to Javanese people. Second, the main points of Javanese Sufism teachings contained in the Javanese Islamic literature include teachings on anthropocentrism, theocentrism, and teachings on Manunggaling Kawula Gusti or the concept of the union of being between humans and God. Third, some of the weaknesses contained in the Javanese Islamic literature include: many works in this literature that do not appreciate aspects of Islamic law, this starts from the lack of understanding of the authors of the main points of Islamic teachings themselves, so that it gives birth to a misunderstanding and distant of objective value. Furthermore, the writing of works in the Islamic literature of Kejawen is much influenced by the political interests of the rulers. So that many Javanese mystical teachings or Sufism seem to be forced to be in accordance with the interests and wishes the kings of Java.NIM: 1620510036 Miftahul Huda2020-07-27T05:57:11Z2020-07-27T05:57:11Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/39847This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/398472020-07-27T05:57:11ZAspek Lokalitas dalam Tafsir Qoeran Djawen Koleksi Museum Radya Pustaka Solo Kode 202.297.094 Ssj TProses menafsirkan Al-Qur’an pada hakikatnya tidak hanya sebatas praktik memahami sebuah teks oleh seorang mufasir. Lebih dari itu, seorang mufasir melakukan dialog dengan tradisi, budaya dan sosial politik yang ada. Demikian pula mengkaji tafsir di Indonesia khususnya Jawa, juga menyangkut kondisi sosial politik penulis, ruang audiens ketika tafsir ditulis, bahasa yang digunakan serta tujuan ditulisnya tafsir merupakan beberapa kajian yang penting untuk dieksplorasi. Di tanah Jawa terdapat cukup banyak mufasir dengan karakter karya tafsirnya masing-masing, salah satunya adalah kitab Tafsir Qoeran Djawen. Dalam tafsir ini menampung beragam aspek lokal seperti akasara, narasi dan komunikasi dalam praktik penafsirannya.
Berangkat dari hal tersebut, penulis mengangkat judul “Aspek Lokalitas dalam Tafsir Qoeran Djawen Koleksi Museum Radya Pustaka Solo Kode 202.297.094 Ssj T”. Penelitian ini memfokuskan pada dua permasalahan. Pertama, Bagaimana karakteristik kitab Tafsir Qoeran Djawen. Kedua, Bagaimana bentuk lokalitas yang terkandung dalam Tafsir Qoeran Dajawen. Penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian kepustakaan (Library Research) dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini mencoba untuk mengulas berbagai dimensi lokal pada Tafsir Qoeran Djawen sebagai sumber primer, dibantu beberpa sumber sekunder, yaitu buku dan jurnal. Selain itu, untuk mengulas lebih dalam terkait penelitian ini penulis menggunakan teori Vernakularisasi yaitu pembahasalokalan nilai-nilai Islam berdasarkan sumber utama (Al-Qur’an) yang berbahasa Arab kemudian ditulis, diterjemahkan, dihafal, disampaikan dengan bahasa dan aksara lokal.
Dengan menganalisa sumber primer, yaitu Tafsir Qoeran Djawen, ditambah dengan beberapa sumber sekunder, penelitian ini menghasilkan kesimpulan berikut: 1) Karakteristik kitab Tafsir Qoeran Djawen terdiri dari sistematika dan teknis penulisan tafsir, sumber tafsir, metode dan corak penafsiran. 2) Bentuk lokalitas dalam tafsir terbagi menjadi lima aspek. Pertama lokalitas dalam penampilan yang menggunakan aksara cacarakan dan bahasa Jawa krama inggil. Kedua, lokalitas dalam komunikasi yakni menggunakan bahasa Jawa dalam menulis tafsir agar dapat dipahami oleh masyarakat di lingkungan sekitar tafsir ini muncul. Ketiga, Aspek lokalitas dalam pefsirannya pengarang kitab Tafsir Qoeran Djawen menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan memasukkan unsur-unsur lokalitas yang ada dalam masyarakat Jawa, seperti tradisi dan budaya dalam masyarakat, peristiwa-peristiwa yang bersinggungan dengan masyarakat dan lain-lain. Keempat, aspek keagamaan dapat dilihat ketika pengarang menolak penggunaan qiyas dalam pengambilan hukum. Kelima Aspek lokalitas penggunaan falsafah Jawa.NIM. 18205010024 Nayla Masyruhah2020-07-27T05:51:27Z2020-07-27T05:51:27Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/39846This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/398462020-07-27T05:51:27ZRELASI TAUHID DAN AKHLAK DALAM KITAB UMM AL-BARĀHĪN
KARYA IMAM AL-SANŪSĪSampai pada taraf tertentu, Teologi Islam seringkali dipahami hanya sebatas
kajian yang hanya menyentuh persoalan keyakinan (akidah) umat Islam. Tentu,
upaya untuk mengkonseptualisasikan dan mengaktualisasikannya ke wilayah yang
lebih konkret dan applicable menjadi salah satu proyek besar yang telah lama
diagendakan oleh para pengkaji Teologi Islam di era kontemporer, yang mana ide
dan sumber gagasan upaya tersebut sebagian besar diambil dari karya teologis era
klasik maupun pertengahan. Pada titik inilah, penelitian ini dilakukuan untuk
mengetahui sejauh mana konsep Tauhid (akidah Islam) yang terdapat dalam kitab
Umm al-Barāhīn karya Imam al-Sanūsī (9 H/15 M), yang menjadi salah satu
referensi umat Islam dalam mempelajari akidah Islam, menempati posisi penting
dalam membentuk episteme ketauhidan yang berorientasi pada kesalehan
komprehensif seorang Muslim, salah satunya ialah membentuk pemahaman Akhlak
yang berlandaskan pada nilai-nilai Tauhid.
Berangkat dari permasalahan tersebut, penulis bermaksud menganalisis
bentuk dan mekanisme relasi Tauhid dan Akhlak dalam kitab Umm al-Barāhīn
secara filosofis dengan mengacu pada model pembacaan kontemporer dalam tradisi
pemikiran filsafat (hermeneutika, kritik, dan dekonstruksi) dan metodologi
integrasi epistemologis (epistemological integration) yang ditawarkan oleh Fathi
Hasan Malkawi. Selanjutnya, penulis berupaya menempatkan kajian ini dalam peta
sejarah dan perkembangan tradisi keilmuan Islam, agar dapat dimengerti sejauh
mana kajian ini bekerja dan dapat dikembangkan lebih lanjut dalam bangunan
keilmuan Islam kontemporer.
Dengan metode deskriptif-analitis-kritis dan pendekatan filosofis, penelitian
ini menghasilkan beberapa temuan berikut. Pertama, kitab Umm al-Barāhīn karya
Imam al-Sanūsī adalah salah satu kitab akidah yang mengusung terintegrasikannya
antara paradigma rasional, yang direpresntasikan dalam ahkām al-‘aql dan logika
bahasa, dengan paradigma spiritual, yang direpresentasikan dalam bentuk żikr.
Oleh karenanya, kitab ini menjadi petunjuk practical belief yang mengantarkan
lahirnya prinsip moralitas dalam bentuk mahāsīn al-akhlāq al-dīniyyah dan prinsip
metaetika dalam bentuk khawāriq al-‘ādāt. Kedua, relasi Tauhid dan Akhlak dalam
kitab Umm al-Barāhīn secara filosofis dapat diketahui bentuk dan mekanismenya
dengan memperhatikan tiga dimensi penting (ontologis, epistemologis, aksiologis),
diantaranya: (1) Tauhid dilihat dan ditempatkan sebagai problem bahasa sekaligus
problem realitas; (2) sementara itu, makna Tauhid mengalamai perjumpaan dan
berdialog dengan teks dan realitas, maka analisa yang digunakan kemudian ialah
analisa struktur lafdz dan ma’na sekaligus analisa struktur realitas dengan berpijak
pada logika deduktif, induktif, dan abduktif; dan (3) makna Tauhid menjadi dasar
bagi terbentuknya kesalehan komprehensif yang selain ditanamkan ke dalam
(melalui żikr) dan berorientasi kesalehan spiritual, namun juga diproyeksikan
keluar dan berorientasi kesalehan sosial. Pada titik inilah, paradigma Tauhid
sebagai religious world view menempati posisi penting bagi pengembangan Studi
Tauhid dan Akhlak dalam bangunan keilmuan Islam kontemporer. Setidaknya, ada
tiga pokok isu dan prospek yang menjadi wilayah pengembangan tersebut,
diantaranya ialah Islamic Spiritual Order & Islamic Social Order, Building Islamic
Factual Knowledge: Social Science & Humanities, Education Reform &
Transformation.NIM: 18205010015 Adnan Nuril Anwar2020-07-27T03:49:28Z2020-07-27T03:49:28Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/39842This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/398422020-07-27T03:49:28ZKhawas al-Qur’an dalam Kitab Syams al-Ma’arif al-Kubra
Karya Ahmad bin ‘Ali al-BuniPenelitian ini membahas khawas al-Qur’an dalam kitab Syams al-Ma’arif al-Kubra karya ‘Ali al-Buni. Khawas al-Qur’an ialah salah satu cabang ‘ulum al-Qur’an yang berhubungan dengan manfaat atau pengaruh yang ditimbulkan dari mendengar bacaan, membaca dan menulis tulisan atau mengamalkan isi Al-Qur’an. Adapun kitab Syams al-Ma’ari al-Kubra merupakan karya Syaraf al-Din Syihab al-Din Ahmad bin ‘Ali bin Yusuf al-Buni al-Maliki al-Ifriqi (w. 622 H/1225 M), salah satu tokoh ahli hikmah yang lahir di daerah Bunah. Tema penelitian ini menarik untuk dikaji sebab mampu mengulas timbulnya pengaruh-pengaruh dari berinteraksi dengan Al-Qur’an khususnya pada kitab Syams al-Ma’arif al-Kubra yang pastinya tidak lepas dari pengalaman personal pengarang kitab.
Berangkat dari prihal tersebut, maka rumusan masalah yang menjadi pembahasan dalam penelitian ini yaitu: (1) Bagaimana dinamika ilmu khawa>s} al-Qur’a>n dari masa ke masa ?. (2) Bagaimana tipologi khawa>s} al-Qur’a>n dalam kitab Syams al-Ma’a>rif al-Kubro> karya Ah}mad ‘Ali> al-Bu>ni>?. Guna menjawab rumusan masalah tersebut penulis menggunakan teori tipologi fungsi Al-Qur’an; informatif dan performatif yang dikemukakan oleh Sam D. Gil. Adapun penelitian ini merupakan studi pustaka (library research) dengan sumber data primer kitab Syams al-Ma’arif al-Kubra sedangkan sumber data skundernya adalah beberapa kitab tafsir, jurnal dan buku yang berkaitan dengan khawas al-Qur’an. sebab kitab ini tidak hanya membahas terkait khawas al-Qur’an, maka penulisnya membatasi fokus pembahasan kepada tema-tema bab yang membahas secara khusus terkait khawas al-Qur’an.
Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa dinamika khawas al-Qur’an sudah ada sejak masa Nabi hingga kontemporer. Sedangkan al-Buni dalam kitabnya Syams al-Ma’arif al-Kubra menjelaskan khawas al-Qur’an melalui metode dari gurunya dan pengalamannya sendiri. Metode yang digunakan al-Buni tersebut juga merupakan pengembangan dari metode yang telah Nabi ajarkan meliputi membaca, menulis dan wirid. Al-Buni menambahkan berbagai metode seperti ilmu huruf, astrologi, ilmu wifiq, ilmu rasm, ritual dan lain sebagainya. Selain itu ia juga menggunakan beragam media seperti dupa, kaca, madu, minyak dan lain-lain. Apabila khawas al-Qur’an pada kitab Syams al-Ma’arif al-Kubra dilihat dari tipologi fungsi Al-Qur’an, maka terdiri dari dua fungsi, yaitu fungsi informatif dan fungsi performatif. Sedangkan kitab Syams al-Ma’arif al-Kubra ini didominasi oleh fungsi performatif, sebab di dalam kitab ini lebih cenderung terhadap ranah kajiankitab suci sebagai sesuatu yang diperlakukan seperti praktik suwuk, mantra dan rajah.NIM. 17205010071 Wahyu Kusuma Aji2020-07-17T03:26:14Z2020-07-17T03:26:14Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/39740This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/397402020-07-17T03:26:14ZDEKONSTRUKSI TEOLOGI
(Studi atas Pemikiran Ahmad Wahib)Memahami kontroversi suatu pemikiran bukanlah sesuatu yang mudah, apalagi bila pemikiran tersebut menyangkut sesuatu yang dianggap final kebenarannya, seperti persoalan Tuhan dan agama. Sulitnya memahami tersebut tidak jarang akan melahirkan resistensi, yang pada titik terekstrimnya menempatkan si pemikir dalam stigmatisasi penyesatan dan pengkafiran. Ahmad Wahib dengan pergolakan pemikirannya adalah salah satu tokoh yang banyak melontarkan kritik atas karakteristik kejumudan beragama yang pada gilirannya berimbas cara berteologi. Penelitian ini adalah upaya untuk mengeksplorasi sisi lain Ahmad Wahib yang tidak begitu dipertimbangkan dalam pemikirannya karena kritiknya yang tajam dan tampak subversif. Sisi lain yang dimaksud adalah dimensi ketuhanan (teologi) yang unsur-unsur dekonstruktif-transformatifnya begitu mewarnai dalam catatan-catatan hariannya.
Sebagai penelitian kepustakaan (library research) yang bersifat deskriptif-analisis dan rasional-spekulatif, maka penulis dalam hal ini menggunakan pendekatan hermeneutik sebagai sudut pandang. Sedangkan untuk menelaah lebih jauh penulis berpijak di atas formulasi dekonstruksi Derrida sebagai landasan teori sekaligus pisau analisisnya.
Dengan penelusuran melalui dekontruksi atas catatan-catatan harian Ahmad Wahib, penelitian ini berhasil menemukan pemikiran teologi Ahmad Wahib yang lahir dari spirit humanistik-pembebesan, yang secara konstruktif tergelar dalam tiga tahap unik: diawali dari proses desaksalisasi ajaran Islam dengan menjadikan keraguan sebagai metode untuk tidak terjebak kedalam logosentrisme ketuhanan. Selanjutnya Ahmad Wahib merumuskan kembali teologi Islam melalui sekularisasi dengan sejarah Muhammad sebagai titik tolak. Tujuan utamanya mewujudkan universalisme Islam yang memungkinkan hidupnya spiritualitas dalam diri individu dengan ―indentitas keislaamaanya‖ sebagai khalifatulah fil ardl. Dari ‖aku-individu‖ menjadi ‖aku (yang menjadi) rahmat bagi semesta‖. Sehingga upaya pembangunan masyarakat, penyejahteraan dan kepedulian pada yang tertindas tidak hanya dilakukan berdasarkan dorongan sosiologis dan kalkulasi matematis, tetapi ia lahir dari kesadaran jiwa berdasarkan penghayatan yang menyeluruh terhadap ajaran Islam.NIM. 1520510056 Abd. Salam2020-07-16T04:38:22Z2020-07-16T04:38:22Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/39731This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/397312020-07-16T04:38:22ZGENEALOGI PENGAJIAN KITAB TAFSĪR AL-IBRĪZ DAN TIPOLOGI RESEPSI YĀSĪNAN DI PONDOK PESANTREN ASSHODIQIYAH SEMARANGPengajian kitab tafsīr al-Ibrīz dan pembacaan surat Yāsīn di pondok pesantren Asshodiqiyah Semarang merupakan suatu agenda rutin yang selalu dilaksanakan setiap harinya. Pada umumnya, mayoritas di pondok pesantren yang berada di Indonesia dalam mempelajari keilmuan tentang kitab tafsīr menggunakan literatur-literatur kitab tafsīr klasik. Hal ini disebabkan karena adanya faktor daerah yang memungkinkan menggunakan kitab tersebut. Dari segi prosesinya pengajian kitab tafsīr al-Ibrīz di pesantren Asshodiqiyah terdapat faktor genealogi dari pengajian kitab tafsīr al-Ibrīz dan terdapat pula pola resepsi (pembacaan atau penerimaan) terhadap pembacaan surat Yāsīn. Penelitian ini mencoba menggali pengajian kitab tafsīr al-Ibrīz dan pembacaan surat Yāsīn dari dua aspek yakni genealogi pengajian kitab tafsīr al-Ibrīz dan resepsi masyarakat pessantren terhadap pembacaan surat Yāsīn, dengan meliputi dua rumusan masalah, pertama, Bagaimana genealogi pengajian kitab tafsīr al-Ibrīz di pondok pesantren Asshodiqiyah Semarang?. Kedua, Bagaimana tipologi resepsi surat Yāsīn di pondok pesantren Asshodiqiyah Semarang?.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan jenis field research (penelitian lapangan) yang berlokasi di pondok pesantren Asshodiqiyah Semarang. Subjek penelitian ini terdapat pada masyarakat pesantren Asshodiqiyah Semarang. Para informan meliputi tokoh pesantren yaitu pengasuh (Kiai) pesantren, ustadz pesantren, pengurus pesantren, santri serta tokoh masyarakat sekitar pesantren yang juga merupakan bagian dari sumber data primer penelitian. Sedangkan data sekunder diperoleh dari arsip-arsip dalam bentuk buku dan karya tulis. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara dan dokumentasi yang kemudian dianalisis dengan cara reduksi, penyajian data dan kesimpulan. Selain itu, teori yang diaplikasikan adalah teori genealogi Michel Foucault, dan teori resepsi.
Hasil penelitian menemukan bahwa pengajian kitab tafsīr al-Ibrīz di pesantren Asshodiqiyah terdapat proses marginalisasi dari segi sejarah. Adanya pengajian kitab tafsīr al-Ibrīz tersebut terindikasi sejak berdirinya pondok pesantren Asshodiqiyah. Proses marginalisasi juga dilakukan dengan menghilangkan unsur kriteria kitab-kitab tafsīr yang tidak mu’tabar dilingkungan pesantren tersebut. Selain itu, proses normalisasi pengajian kitab tafsīr al-Ibrīz terlihat dari eksistensi pengajian tafsīr al-Ibrīz tersebut yang dilaksanakan oleh pihak pondok pesantren Asshodiqiyah sendiri secara rutin setiap hari diselenggarakan pengajiannya. Kegiatan Yāsīnan tidak hanya dilaksanakan pada upacara keagamaan saja. Akan tetapi, pada aspek resepsi pada surat Yāsīn oleh masyarakat pesantren Asshodiqiyah tergambar dalam tipologi resepsi yang meliputi eksegesis, estetis dan fungsional. Adanya kitab tafsīr al-Ibrīz merupakan salah satu bukti resepsi eksegesis yang tunjukan oleh masyarakat pesantren Asshodiqiyah. Lantunan dan lukisan kaligrafi sebagai bukti estetis dan pada sisi fungsional, surat Yāsīn dijadikan sebagai menghibur, penentram jiwa dan obat hati bagi orang yang membaca serta orang yang mendengarkannya, dengan selalu memuji keagungan Allah SWT.NIM. 1620510001 MOHAMMAD ZAMZAMI ‘URIF2020-07-13T04:53:25Z2020-07-13T04:53:25Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/39684This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/396842020-07-13T04:53:25ZPENDEKATAN MA‘NĀ-CUM-MAGHZĀ ATAS AYAT JILD DALAM AL-QUR’ANThis paper explores the ma‘nā-cum-maghzā approach to jild verses in the Qur'an. So far, the meaning of jild has drawn debate, especially in QS. Al-Nur: 2 which generally interpreted that the meaning of jild in this verse is physical punishment, stoning (rajam) for muhsan and whipping for ghairu muhsan. Pre-modern to modern-contemporary commentators generally interpret this verse textually while the interpretation of the hadith using bi al-ma'ṡūr interpretation (referring to narrations) to find the meaning. With this reading, it means that it has only reached the historical meaning (al-ma'nā al-tārīkhī), furthermore, it has not looked at the historical phenomenal significance (al-maghzā al-tārīkhī) and the dynamic phenomenal significance (al-maghā al- mutaharrik). Therefore the writer uses the ma'nā-cum-maghzā approach to obtain historical significance and then develops it into dynamic (present / contemporary) significance. The results of this study indicate: First, the historical meaning (ma‘nā al-tārīkhī) of jild is a form of corporal punishment and other forms of physical punishment have been accepted as a form of punishment in 7th century hijri calendar. It can be traced that the using of whips in the history of human diversity includes three aspects: asceticism (flogging oneself to show redemptive behavior), punishment, and performance. Second, the historical phenomenal significance (al-maghzā al-tārīkhī) from jild verse namely; 1) maintaining honor 2) form of legal relief 3) giving deterrent / repentance effect 4) removing oppression 5) being careful in imposing law 6) encouraging closing disgrace. Third, the dynamic phenomenal significance (al-maghzā al-mutaharrik) is that jild in QS. Al- Al-Nūr: 2 is a category of implementation value. These implementation values are specific measures or steps used to practice the values of community protection. The sizes listed in the QS. Al-Nur: 2 is the law of flogging 100 times for those who commit adultery (zina). This verse talks about the mechanism form problem solving in society. Then, the purpose of QS Al-Nūr: 2 is hifẓu nasl (to carry out a legal marriage) and hifẓu nafs, a protection in the community as an effort to prevent crime (adultery). So when it is a form of prevention, that form can be replaced by another form which is similar.NIM. 18205010040 Ridha Hayati2020-07-13T04:46:55Z2020-07-13T04:46:55Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/39683This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/396832020-07-13T04:46:55ZPEMIKIRAN SEJARAH KUNTOWIJOYO DALAM KAJIAN FILSAFAT SEJARAHSebagai makhluk sejarah, manusia selalu mengamati peristiwa sejarah yang ada dan terjadi dari sisi makna dan sebab akibatnya. Dimensi sejarah itu menyangkut tiga hal, yaitu; masa lampau, masa sekarang dan masa yang akan datang. Oleh karenanya diperlukan penalaran sejarah (historiosophy). Kuntowijoyo adalah tokoh sejarahwan dan cendekiawan muslim yang mengetengahkan kembali penulisan sejarah bukan hanya sebagi rentetan waktu dan menjadikan fakta sejarah sebagai sesuatu yang hidup dan mempunyai makna bagi kehidupan manusia di masa depan. Kuntowijoyo menyatakan bahwa Sejarah adalah rekonstruksi masa lalu untuk dikontekstualisasikan ke dalam kehidupan kekinian. Penelitian ini mengkaji tentang pemikiran sejarah kuntowijoyo dalam tulisan sejarahnya yang tidak hanya berbicara tentang rentetan waktu melainkan lebih mendalam dari hal tersebut, alasan inilah yang mendorong penyusun untuk menyajikan tesis ini dengan rumusan masalah sebagai berikut; bagaimana geneologi intelektual Kuntowijioyo?, bagaimana corak pemikiran kesejarahan Kuntowijoyo?, bagaimana pemikiran Kuntowijoyo tentang kesadaran sejarah?.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori dealektika sejarah dalam filsafat sejarah Hegel, yang di gunakan untuk menganalisis pemikiran sejarah Kuntowijoyo yang ditulis dalam karya sejarahnya. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research) yakni dengan mengumpulkan data-data penelitian dari buku, ensiklopedi, kamus, majalah, maupun jurnal yang dipandang memiliki relevansi dengan pemikiran sejarah Kuntowijoyo.
Kesimpulan dari penelitian ini menunjukan bahwa sejarah yang dimaksud Kuntowijoyo adalah sesuatu atau peristiwa yang telah terjadi di masa lalu yang di rekonstruksi atau membangun kembali masa lalu untuk kepentingan masa kini dan masa akan datang. Kuntowijoyo merumuskan sejarah umat Islam Indonesia kedalam tiga periode kesadaran yang saling berdealektika, periode mitos sebagai tesis yang bercirikan Islam yang berkembang bersifat singkretis atau mistis-religius sedangkan periode idiologi sebagai antitesis yang dimana Islam sudah mulai menampakkan perubahan ke arah yang bersifat normatif atau beralih ke sistem kepemimpinan yang rasional ditandai dengan munculnya Sarekat Islam (SI), menuju sintesis yaitu periode Ilmu sebagi puncak dari sejarah yaitu periode ini Islam sudah mulai ditampakkan sebagai ilmu dengan formulasi normatif dari al-Quran di tandai dengan munculnya kelompok ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia).NIM. 1520510094 Muhamad Zainul Badar2020-06-08T04:45:08Z2020-06-08T04:45:08Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/39467This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/394672020-06-08T04:45:08ZKEMAJEMUKAN DALAM PANDANGAN MUFASSIR NUSANTARAIndonesia dan kemajemukan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Sebagai
sebuah negara dengan 500 suku yang memiliki adat istiadat yang berbeda tentu
saja perlu adanya pemahaman yang komprehensif dalam memahami makna
kemajemukan agar tidak terjadi kesalapahaman dan gesekan antar Suku, Ras,
Agama dan Antar Golongan.
Melihat sebuah fakta bahwa Islam menjadi sebuah agama mayoritas di Indonesia
dengan prosentase 87%, maka disini penulis merasa perlu untuk melihat bagaimana
Tafsir al-Quran dari dua mufassir nusantara yaitu Bisri Musthofa dan Haji Abdul
Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan Buya Hamka berbicara mengenai
kemajemukan dengan mengambil beberapa ayat yang secara eksplisit berbicara
mengenai perbedaan manusia. Beberapa ayat yang akan digunakan diambil dari
teori Muhammad Imarah tentang pembagian ayat kemajemukan dalam beberapa
pembahasan diantaranya yaitu kemajemukan dalam beragama dan kemajemukan
dalam berbangsa.
Pada penelitian ini, penulis menggunakan motode penelitian kualitatif dengan
menggunakan data primer yaitu Tafsir al-Ibriz Li Ma’rifati Ayat al-Quran al-Aziz
karya Bisri Muṣṭafa dan Tafsir al-Azhar karya Haji Abdul Malik Karim Amrullah.
Dalam penafsirannya terhadap Q.S. Al-Maidah 44, Q.S. Al-Maidah 46-48, baik
Bisri Mustafa dan Hamka sepakat bahwa Allah ada agama yang diturunkan
sebelum Islam yaitu Kristen dan Yahudi dimana setelah turunnya Islam. Pada ayat
ini, Hamka terlihat lebih tajam atas kritiknya terhadap komunitas kristen yang
dinilai berlebihan dalam beragama. Namun menurut keduanya tidak ada paksaan
bagi penganut Kristen dan Yahudi untuk memeluk Islam.
Sementara dalam menafsirkan Q.S ar-Ruum ayat 22, Bisri Mustofa menyatakan
bahwa perbedaan yang ada pada manusia tidak hanya terlihat di bagian luarnya saja,
tetapi semua hal yang ada di dalam tubuh manusia pun berbeda. Hamka sendiri
lebih detail menjelaskan tentang perbedaan manusia. Mulai dari perbedaan besar
seperti muka dan rupa hingga perbedaan kecil seperti sidik jari. Pada Q.S. al-
Hujurat ayat 13, keduanya senada dalam memberikan pemahaman tentang
perbedaan suku dan bangsa, bahwa sebagai seorang manusia, tidak seharusnya kita
menonjolkan atau mengunggulkan nasab. Hamka dalam hal ini juga memberikan
kritiknya kepada keturunan Arab dengan pernyataan bahwa mengapa Syarifah tidak
boleh menikah dengan laki-laki yang bukan Sayyid walaupun laki-laki tersebut
memiliki akhlak yang baik. Ini menunjukkan sikap objektif Hamka dalam menilai
dan memperjuangkan gagasannya terkait pentingnya memahami keragaman
manusia.NIM. 1620510025 Moh Muffid Muwaffaq2020-05-05T03:33:04Z2020-05-05T03:33:04Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/39195This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/391952020-05-05T03:33:04ZKONSEP ZUHUD DALAM PEMIKIRAN AL-GAZᾹLĪ DAN HAMKA: STUDI KOMPARATIFSejarah merekam bahwa telah terjadi perkembangan konsep zuhud dalam ajaran tasawuf– dari konsep zuhud yang menjauhi duniawi kepada konsep zuhud yang tidak menjauhi duniawi. Adanya perkembangan konsep tersebut menjadi kajian menarik tentunya untuk diteliti lebih mendalam lagi. Dalam hal ini, dengan melakukan studi komparatif antara konsep zuhud yang menjauhi duniawi dalam pemikiran al-Gazālī dengan konsep zuhud yang tidak menjauhi duniawi dalam pemikiran Hamka, sehingga didapati suatu gambaran yang jelas mengenai perkembangan konsep zuhud tersebut. Makanya, penelitian ini akan mengkaji bagaimana konsep zuhud dalam pemikiran al-Gazālī dan Hamka. Serta, bagaimana perbandingan konsep zuhud dalam pemikiran al-Gazālī dan Hamka.
Penelitian ini menggunakan kerangka teori asketisme Max Weber dalam menganalisis pemikiran zuhud al-Gazālī dan Hamka, yang mana Weber membagi 2 (dua) kategori manusia dalam memahami asketis; yang menolak dunia dan yang tidak menolak dunia, sehingga sifat kerangka teori ini yaitu afirmatif. Langkah pertama dari penelitian ini adalah mengklasifikasikan data-data, kemudian mengambarkannya sesuai data apa adanya dan menganalisisnya– dengan menggunakan 4 (empat) metode; interpretasi, analisis, sintesis, dan komparasi.
Adapun hasil penelitian ini yaitu bahwa konsep zuhud al-Gazālī adalah konsep zuhud yang menjauhi dunia; dalam artian mengisolasi diri dari hidup keramaian, hidup menyendiri, dan terkesan tidak menyeimbangkan kehidupan dunia dan akhirat. Sementara konsep zuhud Hamka adalah konsep zuhud yang tidak menjauhi dunia; dalam artian hidup aktif dan bersosial di tengah masyarakat, hidup bermanfaat, dan menyeimbangkan antara kehidupan dunia dan akhirat. Adapun titik temu dari pemikiran zuhud al-Gazālī dan Hamka yaitu terdapat pandangan yang sama mengenai kecintaan terhadap dunia, harta, dan kedudukan yang merupakan sumber kelalaian manusia dari Allah SWT. Sementara titik beda yang signifikan antara pemikiran al-Gazālī dan Hamka yaitu pertama, al-Gazālī mengedepankan kesalehan individual sementara Hamka menyeimbangkan antara kesalehan individual dan sosial; Kedua, jika al-Gazālī ber-’uzlah maka Hamka beraktivisme. Ketiga, bagi al-Gazālī faqir itu istimewa, sementara bagi Hamka kondisi apapun; baik miskin atau kaya sama saja asal tak lalai dari Allah SWT. Keempat, al-Gazālī mengedepankan akhirat semata, sementara Hamka tawazun.NIM. 18205010006 Endrika Widdia Putri2020-05-05T03:26:45Z2020-05-05T03:26:45Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/39194This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/391942020-05-05T03:26:45ZKEBERADAAN SULUK DALAM TAREKAT NAQSYABANDIYAH
DI DESA SUKADATANGDesa sukadatang adalah merupakan sebuah desa kecil yang terletak di Kecamatan Curup Utara Kabupaten Rejang Lebong yang mayoritas masyarakatnya menganut adat Rejang. Di Desa Sukadatang ini terdapat sebuah keberadaan Tarekat Naqsyabandiyah. Yang mana tarekat ini mempunyai sebuah paham ritual yang dinamakan Suluk yang dilaksanakan oleh jamaah Tarekat Naqsyandiyah yang dating dari berbagai daerah.
Maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah apa yang melatarbelakangi berkembangnya Suluk tarekat Naqsyandiyah tersebut, yang mana pelaksanaan Suluk ini suatu yang diyakini oleh jamaah tarekat Naqsyabandiyah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Yang dilaksanakan di gedung tarekat Naqsyabandiyah yang terletak di Desa Sukadatang, dengan bacaan-bacaan zikir. Sehingga orang yang melaksanakan ajaran suluk ini menjadi yakin bahwa untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT adalah dengan memperbanyak membaca zikir.
Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah penelitian kualitatif yaitu penelitian lapangan yang bersifat deskriptif. Sedangkan metode yang digunakan dalam penelitian ini, yakni dengan metode interviw, dan dokumentasi untuk memperoleh data yang akurat.
Hasil dari penelitian yang dilakukan, bahwa berkembangnya suluk dalam tarekat Naqsyabandiyah di Desa Sukadatang adalah. Berawal dari tarekat ini pada mulanya dipelajari oleh Buya Rasyid Syah Fandy kepada Buya Syekh Zainal Arifin di Sukaraya Rupit. Dan Buya Rasyid Syah Fandi inilah yang mengembangkan ajaran dan pelaksanaan suluk di dalam tarekat naqsyabandiyah ini hingga sampai sekarang. menurutnya dengan mempelajari suluk dia bisa lebih mendekatkan diri kepada Allah, serta merasakan kehadiran Allah dalam dirinya dan terasa dekat kepada Allah, dan dengan suluk ini bagi orang yang mengikutinya dengan zikir sehingga mendapatkan ketenangan dan ketentraman jiwa dalam kehidupannya.NIM. 18205010005 Arrasyid2020-05-05T03:15:00Z2020-05-05T03:15:00Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/39193This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/391932020-05-05T03:15:00ZPERGERAKAN KAPAL LAUT
DALAM AL-QUR’ĀNTelah banyak penelitian tentang sains modern salah satunya tentang pergerakan kapal laut. Kapal merupakan salah satu alat transportasi laut yang berfungsi sebagai alat pengangkutan dan sarana penghubung antar pulau. Teradapat term pergerakan kapal laut dalam Al-Qur’ān, yakni dalam Q.S Al-Isra [17] : 66, Al-Jatsiyah [45]:12, Ar-Rum [30]: 46, as-Syura [42] : 32, Luqman [31] :31, az-Zukhruf [43] :12, Fatir [35]:12. Makna pergerakan kapal laut yang selama ini berkembang yakni taskhir Al-Fulk dan taskhir Al-Jawār, kedua makna ini disatu sisi saling bersebrangan. Oleh karena itu disini diperlukan kajian untuk mencari titik terang terhadap persoalan pemaknaan tersebut.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kontekstual Abdullah Saeed. Pemilihan pendekatan tersebut disebabkan karena diperlukan kontekstualisasi dari sebuah ayat yang disebabkan konteks yang berbeda. pendekatan ini terbagi menjadi tiga alur besar. Pertama, memahami makna historis sebuah ayat. Kedua, memahami makna ayat dalam konteks penghubung. Ketiga, melakukan kontekstualisasi dengan memprtimbangkan kontes ekonomi hari ini. oleh karena itu, dalam penelitian ini, disajikan makna pergerakan kapal laut dalam pandangan penerima pertama dengan menganalisis ayat secara lingustik, konteks sastrawi, teks-teks paralel, konteks makro, dan menemukan hirarki nilai dalam kedua ayat tersebut. Kemudian disajikan pula bagaimana makna pergerakan kapal dipahami dalam konteksnya masing-masing dalam sejarah Islam dengan menganalisis tafsῑr-tafsῑ r terhadap pergerakan kapal laut dari era sahabat hingga era modern-kontemporer. Terakhir, dijelaskan bagaimana relevansi makna kontekstual pergarakan kapal laut terhadap jalannya perekonomian di negara Indonesia.
Dari penelitian ini dapat diketahui bahwa dalam pandangan penerima pertama secara spesifik makna dari pergerakan kapal laut adalah sebagai transportasi pimpinan armada pergerakan. Oleh karena itu, secara luas term pergerakan kapal laut bisa dimaknai sebagai transportasi angkatan laut
yang mengatur urusan umat. Begitu juga dalam analisis konteks sastrawi didapati bahwa ayat tersebut mengandung nilai-nilai kemanusiaan yang secara substansial ditekankan dalam Al-Qur’ān antara lain dalam kehidupan sosialekonomi.NIM. 18205010003 Neny Muthi’atul Awwaliyah2020-05-05T02:44:32Z2020-05-05T02:44:32Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/39191This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/391912020-05-05T02:44:32ZRESEPSI AL-QUR’AN DAN HADIS
DALAM RITUS SALATPenyebaran Islam ke berbagai wilayah di dunia melibatkan proses penyerapan unsur-unsur lokal. Hal tersebut selanjutnya memunculkan beragam tradisi religius-kultural yang dapat ditemukan pada setiap masyarakat muslim di beragam kawasan berbeda. Masyarakat muslim Sigi Lamo adalah satu di antara komunitas muslim yang juga memiliki tradisi keberagamaan yang khas. Studi ini dibuat dengan menyoroti salah satu tradisi peribadatan masyarakat muslim Sigi Lamo yaitu ritual salat yang dilaksanakan oleh jamaah tersebut. Ritus salat jamaah Sigi Lamo menampilkan karakteristik yang khas dan berbeda sebagaimana umumnya dipraktikkan oleh masyarakat muslim lainnya. Karakteristik distingtif dari ritus salat jamaah Sigi Lamotersebut menjadi problem akademik utama yang dibahas. Penelitian ini menggunakan teori resepsi untuk menjawab problem akademik itu dengan mengasumsikan ritual salat jamaah Sigi Lamo sebagai suatu fenomena resepsi al-Qur’an dan hadis.
Studi ini termasuk ke dalam kategori penelitian kualitatif berupa penelitian lapangan/field research. Penelitian dilakukan dengan menerapkan pendekatan fenomenologi. Subjek utama dari penelitian ini ialah jamaah masjid Sigi Lamo kesultanan Ternate Maluku Utara. Sedangkan metode pengumpulan data yang digunakan memanfaatkan tiga metode yaitu observasi partisipan, wawancara, dan dokumentasi. Data yang diperoleh diolah dan dianalisis dalam tiga tahapan yaitu reduksi, penyajian, dan penarikan kesimpulan.
Hasil penelitian menemukan bahwa karakteristik khas dari tata cara peribadatan jamaah Sigi Lamo dikonstruksi oleh resepsi al-Qur’an dan hadis. Kedua teks tersebut diresepsi menjadi sumber legitimasi sekaligus sebagai bagian pelengkap dari penyelenggaraan ritus salat jamaah Sigi Lamo. Resepsi al-Qur’an-hadis yang dilakukan masyarakat Sigi Lamo tidak lepas dari pengaruh kompleksitas faktor seperti situasi sosial, budaya maupun politik. Hal–hal tersebut mempengaruhi pemahaman para jamaah Sigi lamo ketika meresepsi kedua teks al-Qur’an maupun hadis. Dari sinilah selanjutnya kekhasan praktik peribadatan yang diamalkan di masjid Sigi Lamo kemudian lahir. Resepsi al-Qur’an-hadis yang ditemukan dalam ritus salat jamaah Sigi Lamo menampilkan ciri terjadinya reformulasi ajaran-ajaran Islam menggunakan medium-medium lokal. Teks-teks al-Qur’an maupun hadis yang menjadi unsur dari konstruksi ritus salat tersebut diresepsi oleh jamaah Sigi Lamo dengan melibatkan elemen-elemen lokal masyarakat Ternate. Hal itu dapat diamati pada sejumlah aspek. Pertama ialah pendayagunaan masjid adat sebagai tempat pelaksanaan salatnya. Berikutnya ialah penerapan aturan-aturan adat dan penggunaan perangkat adat dalam penyelenggaraan ritual tersebut. Terakhir ialah penambahan ritual adat kolano uci sabea (pelaksaan salat bagi sultan) sebagai pelengkap dari keseluruhan tahapan penyelenggaraan salat di masjid Sigi Lamo.NIM. 17205010062 Rianto Hasan