Institutional Repository UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta: No conditions. Results ordered -Date Deposited. 2024-03-29T14:49:18ZEPrintshttp://digilib.uin-suka.ac.id/images/sitelogo.pnghttps://digilib.uin-suka.ac.id/2012-05-06T01:39:09Z2016-12-20T03:59:44Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/798This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/7982012-05-06T01:39:09ZAKULTURASI AJARAN ISLAM DAN BUDAYA JAWA DALAM SERAT KALATIDHA KARYA RADEN NGABEHI RANGGAWARSITA ABSTRAK Akulturasi merupakan perpaduan dua budaya atau lebih dimana budaya baru yang masuk mampu berinteraksi danberadaptasi dalam lingkungan budaya lama sehingga terjadi komunikasi budaya yang lambat laun saling mempengaruhi dan memadu tanpa menghilangkan kepribadian masing-masing. Proses akulturasi biasanya diawali dalam suatu masyarakat berbudaya yang hidup berdampingan dengan masyarakat lain, dimana masing masing unsur budaya yang mereka miliki saling menyusup dan mempengaruhi. Cepat lambatnya pengaruh suatu budaya, tergantung dari kekuatan budaya itu sendiri dalam berinteraksi dengan buadaya lain. Agama dan budaya merupakan dua unsur penting dalam masyarakat yang saling mempengaruhi. Ketika ajaran agama masuk dalam komunitas yang berbudaya, akan terjadi tarik menarik antara kepentingan agama dan kepentingan budaya. Agama dan budaya mempunyai tujuan masing-masing, tetapi keduanya mempunyai wilayah yang sama dan saling tumpang tindih. Akhirnya, tidak menghalangi akan adanya kehidupan beragama dalam bentuk budaya. Begitu pula ketika agama Islam mulai masuk dan berkembang dalam sistem kerajaan Mataram (Surakarta), terjadi suatu komunikasi dan penyelarasan dengan budaya Jawa yang menyebabkan terbentuknya suatu singkretisme. Reaksi transformasi budaya tersebut juga disambut oleh Raden Ngabehi Ranggawarsita dengan memanfaatkan unsur-unsur ajaran Islam dalam meningkatkan kebudayaan Jawa berupa kesusastraan.
Aplikasi akulturasi budaya antara ajaran Islam dan budaya Jawa dituangkan dalam kesusastraan berupa Serat Kalatidha dengan menggunakan bahasa Jawa. Proses penciptaannya, tidak bisa lepas dari kondisi masyarakat dan sistem kerajaan yang melatarbelakangi sebagai inspirasinya. Sementara kejiwaan Raden Ngabehi Ranggawarsita dipengaruhi unsur ajaran Islam yang didapat dari pesantren dan tanggungjawab seorang pujangga untuk melestarikan budaya Jawa, akibatnya terjadi penyerapan dan penyelarasan dua budaya tersebut yang dimaksudkan untuk saling mendukung pelestariaannya. Untuk mengupas masalah akulturasi ajaran Islam dan budaya Jawa dalam Serat Kalatidha, menggunakan pendekatan semiotika yang dimaksudkan untuk mendapatkan makna dibalik simbol dalam Serat Kalatidha dan menggunakan teori akulturasi yang dimaksudkan untuk mengetahui unsur-unsur yang ada didalamnya.
GHOZALI - NIM : 021210622012-05-06T03:26:13Z2016-12-20T04:00:07Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/799This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/7992012-05-06T03:26:13ZRUWATAN CUKUR RAMBUT GIMBAL DI DESA DIENG KECAMATAN KEJAJAR KABUPATEN WONOSOBO ABSTRAK Indonesia merupakan negara yang plural, yang terdiri dari berbagai macam suku, agama, budaya dan adat istidat yang mempunyai ciri khas masing-masing. Salah satunya adalah tradisi budaya yang terdapat di Desa Dieng, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, yaitu Ruwatan Cukur Rambut Gimbal. Awal mula adanya ruwatan ini tidak lepas dari salah satu dari ketiga pengelana yang dipercaya masyarakat Wonosobo sebagai pendiri Kabupaten Wonosobo dan sekaligus penyebar agama Islam di Wonosobo, yaiyi Kyai Walik, Kyai Karim, dan Kyai Kolodete. Kyai Kolodete ini ditugaskan di Dataran Tinggi Dieng, dan masyarakat Dieng menganggapnya sebagai nenek moyang mereka. Selain itu ia juga dipercaya masyarakat ebagai tokoh yang berambut gimbal. Anak-anak yang berambut gimbal biasanya bermula dari sakit panas, yang tinggi hingga berminggu-minggu bahkan sampai berbulan-bulan, dan lama-kelamaan rambutnya menjadi gimbal. anak-anak tersebut dipercaya masyarakat Dieng sebagai anak yang dibayangi roh Kyai Kolodete yang telah moksa pada wktu bertapa. Anak tersebut sering disebut oleh masyarakat Dieng ebagai anak sekrta yang akan dijadikan makanan Batarakala, dengan demikian untuk melepaskan anak gimbal dari malanya tersebut, maka anak gimbal tersebut harus di ruwat. Anehnya apabila rambut gimbal itu dipotong tanpa menggunakan prosesi upacara ruwatan dan tidak memenuhi permintaan yang diminta oleh si anak, maka rambut gimbal itu akan tumbuh kembali.
HERI CAHYONO - NIM : 031214712012-05-15T03:25:43Z2016-12-20T06:52:24Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/1084This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/10842012-05-15T03:25:43ZKOFLIK ANTARA NU DAN MUHAMMADIYAH (1960-2002) (Studi Kasus di Wonokromo Pleret Bantul Yogyakarta) ABSTRAK Wonokromo adalah salah satu daerah awal pusat perkembangan Islam di Yogyakarta. Sejak awal berkembangnya dusun ini, dilakukan oleh seorang Kyai yang menjunjung tinggi ajaran-ajaran Islam. Sejak saat itu secara turun temurun selalu ditanamkan pada diri masyarakat Wonokromo untuk selalu menjunjung tinggi ajaran Islam. Norma ini selalu dipegang teguh oleh masyarakat Wonokromo sehingga lahir norma-norma pendukung yang lain yaitu ditanamkan rasa malu apabila tidak sampai bisa mengaji dan adanya proses seleksi bagi para pendatang, sehingga dusun ini pun mendapat julukan sebagai dusun santri. Pada awalnya masyarakat Wonokromo cukup homogen karena hanya ada satu faham Nahdlatul Ulama. Baru kemudian setelah itu muncul Muhammadiyah. Sejak munculnya Muhammadiyah, maka masyarakat yang pada awalnya merupakan masyarakat yang homogen, kemudian terjadi peralihan menjadi masyarakat yang heterogen sehingga sempat terjadi kategorisasi NU dan Muhammadiyah bahkan sempat terjadi konflik walaupun hanya berupa celaan. Konflik verbal yang sering muncul dalam kehidupan sehari-hari lama kelamaan menjadikan bentrok fisik. Seperti pada tahun 1960-an, muncul konflik tentang bedhug yang menjadikan munculnya bentrokan fisik. Dimulai dengan adanya perbedaan pendapat tentang hari raya yang kemudian mengarah kepada permasalahan NU dan Muhammadiyah. Namun konflik tersebut dapat diatasi dengan adanya pihak penengah yang mendamaikannya. Setelah konflik tersebut lahir norma baru dalam rangka penciptaan kerukunan antara NU dan Muhammadiyah agar konflik tersebut tidak terulang lagi. Norma tersebut tidak memperdebatkan perbedaan khilafiyah antara NU dan Muhammadiyah. Norma yang kedua adalah Masjid Taqwa Wonokromo sebagai kegiatan nasional sehingga tidak boleh untuk menyiarkan NU dan Muhammadiyah. Dalam penetapan hari besar Islam, masjid mengikuti pemerintah dan dalam hal pengangkatan takmir dibuat berimbang antara NU dan Muhammadiyah. Norma yang ketiga yaitu, sebisa mungkin menghindari penggunaan atau pemasangan simbol-simbol NU ataupun Muhammadiyah. Meskipun proses kerukunan telah berlangsung di dalam masyarakat, namun ternyata pada tahun 2002 konflik di Wonokromo muncul lagi. Pada saat itu yang terjadi mengenai konflik pemilihan kepala desa. Konflik pemilihan kepala desa memang secara implisit tidak menghasilkan suatu resolusi baru karena konflik ini secara tertutup dan hanya dirasakan oleh beberapa orang saja, walaupun memang membawa nama organisasi massa sehingga tidak ada norma baru yana lahir dan berlaku di masyarakat. Kerukunan kehidupan masyarakat Wonokromo yang sudah terwujud, bukanlah suatu hal yang mudah untuk mempertahankannya. Oleh karena itu yang terpenting adalah tetap waspada terhadap semua kemungkinan yang dapat mencetuskan kembali perseteruan di masa lalu pada semua aspek kehidupan, terutama dalam bidang politik yang seringkali menjadi pemicu konflik. Meskipun konflik pemilihan kepala desa dapat diredam, tetapi peristiwa itu merupakan suatu pertanda bahwa masih ada celah-celah kecil bagi munculnya konflik yang mungkin lebih besar lagi. Kondisi yang tidak dikehendaki oleh siapapun terutama warga masyarakat Wonokromo sendiri.
SHODDIQ RAHARJO NIM. 001200702012-05-15T03:43:23Z2022-01-26T02:23:39Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/1080This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/10802012-05-15T03:43:23ZSERAT SASTRA GENDHING (Analisis Untuk Memahami Spiritualisme Sultan Agung Hanyakrakusuma) ABSTRAK Budaya sebagai hasul dari peradaban peristiwa masa lampau manusia sangatlah menarik untuk dicermati dan diteliti lebih mendalam dengan dilihat dari berbagai macam sudut pandang, sehingga kita dapat memahami makna yang terkandung dalam sebuah peristiwa. Sejarah kebudayaan pada kenyataannya merupakan hasil dari sebuah fakta kehidupan yang nyata dan dapat dibuktikan dengan data-data yang valid, hal ini telah membuat suatu cerita masa lalu menjadi lebih menarik. Sebagai hasil dari peristiwa masa lalu, sejarah kebudayaan memuat berbagai macam aspek kehidupan di dalamnya, salah satunya adalah mistisisme dan spiritualisme yang biasanya banyak dibumbui dengan berbagai kisah-kisah di luar logika. Sultan Agung Hanyakrakusuma sebagai raja, sastrawan, dan seniman yang telah memberikan kontribusi yang besar pada kerajaan Mataram Islam. Ia tokoh yang memiliki kepekaan yang tinggi terhadap masalah bangsa dan agamanya. Salah satu sumbangsihnya adalah kitab karangannya yang berjudul Sastra Gendhing atau bisa diterjemahkan sebagai sastra lagu. Sastra Gendhing memuat berbagai petuah raja termasuk di dalamnya ajaran spiritual sultan. Karya mistik Sastra Gendhing mengajarjan tentang keselarasan lahir batin dan awal akhir. Keserasian antara jagad gumelar dengan jagad gumulung, ditinjau dari ketajaman spiritual ini, Sultan Agung mendapat gelar yang sepadan dengan wali. Spiritualisme Sultan Agung yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah aspekaspek spiritualnya dalam karya, Sastra Gendhing.
SAIDAH DIFLA IKLILA - NIM : 031215112012-05-16T02:32:09Z2016-12-20T04:02:40Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/1070This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/10702012-05-16T02:32:09ZK.H.R. ASNAWI: SEJARAH HIDUP, PEMIKIRAN, DAN PERJUANGANNYA ABSTRAK K.H.R. Asnawi dilahirkan di Kudus, beliau sangat aktif dalam penyebaran agama Islam dan perjuangan kemerdekaan. K.H.R. Asnawi ulama besar Indonesia pada abad XX. Beliau merupakan bagian penting pada jaringan ulama dan kyai pada massanya. Tokoh ini hidup di tiga zaman, yaitu pada masa kolonial Belanda, masa kolonial Jepang, dan masa kemerdekaan. Pada masa sebelum kemerdekaan, beliau pernah bergabung dalam pergerakan SI (serikat Islam) sebagai komisaris di Makkah. Beliau dekat dengan aktifis pergerakan nasional, seperti H. Agus Salim dan HOS Cokroaminoto. K.H.R. Asnawi dikenal sebagai ulama dan pemikir yang memiliki pandangan dan pendirian yang konsisten dan berkomitmen kuat bagi perjuangan umat Islam. Dalam bidang syariat Islam, beliau mendasarkan pandangannya pada empat sumber inti Islam, yaitu al-Qur'an, al-Hadis, ijma', dan qiyas. Hal ini seperti yang dipakai oleh pendiri madzhab Syafi'i, yaitu Imam Syafi'i. Salah satu karya beliau diantaranya adalah kitab fashalatan, yaitu kitab kuning dalam bahasa Jawa. Inti dari pemikiran-pemikiran beliau dapat dikelompokkan dalam tiga kategori, yaitu teologi (akidah), hukum Islam (fiqih), dan pendidikan pesantren.
Dari uraian di atas dapat dirumuskan beberapa permasalahan, yaitu (1) bagaimana riwayat hidup K.H.R. Asnawi. (2) apa saja pemikiran keagamaan K.H.R. Asnawi. (3) apa saja aktifitas perjuangan yang dilakukan K.H.R. Asnawi. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan historis dengan jenis penelitian kualitatif-deskriptif. Adapun teori yang digunakan adalah teori biografi, yaitu teori yang berorientasi pada penelusuran dan pemahaman yang mendalam mengenai kepribadian seseorang lihat berdasarkan pengetahuan, latar belakang sosial, kultur tokoh, latar belakang pendidikan, dan orang yang ada di sekitarnya yang memungkinkan mempengaruhi pemikirannya.
Muhib Inganatut Tholibin - NIM.021210582012-05-16T05:02:28Z2023-10-27T06:51:55Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/1081This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/10812012-05-16T05:02:28ZPERAN TARI DOLALAK DALAM PENYEBARAN ISLAM DI DESA KALIHARJO KECAMATAN KALIGESING KABUPATEN PURWOREJO (1936-2007)Awal kemunculan tari Dolalak berkaitan dengan penjajahan Belanda di Daerah Purworejo, karena Purworejo dipakai pusat pertahanan serdadu Belanda sehingga didirikan tangsi untuk asrama militer Belanda. Yang tinggal di tangsi bukan hanya orang Belanda saja tetapi juga pemuda-pemuda pribumi dari berbagai daerah. Mereka diwajibkan dan dilatih kemiliteran menjadi prajurit Belanda. Kehidupan didalam asrama yang penuh dengan kedisiplinan dan kekerasan itu membuat mereka bosan sehingga perlu hiburan. Pada waktu istirahat mereka menghibur dirinya dengan berbagai cara, diantaranya menari, menyanyi, pencak silat, kadang ada yang menirukan gerak dansa di dalam tangsi, kemudian di tirukan oleh masyarakat Purworejo dengan nada do-la-la yang orang Jawa menyebutnya quot;dolalak quot;. Hal ini mereka lakukan hanya sekedar menghilangkan kebosanan serta kerinduan akan keluarga dan sanak saudara. Kesenian tari Dolalak merupakan kesenian khas Kabupaten Purworejo, bahkan sebagai identitas Kabupaten Purworejo. Ide ini di prakarsai oleh Rejo Taruno, Duriyat, dan Rono Dimejo pada tahun 1915 di, Trirejo, Loano. Kesenian tari Dolalak pada awalnya di tarikan oleh penari laki-laki., namun dalam perkembangnya, tari Dolalak ditarikan oleh penari perempuan. Hampir disetiap grup kesenian tari Dolalak di Purworejo, semuanya penarinya perempuan, akan tetapi yang masih bertahan penari laki-laki adalah di Desa Kaliharjo, Kaligesing. Kesenian tari Dolalak mempunyai keunikan bahwa tari Dolalak ditemukan beberapa perbedan karakter pembawanya sesuai dengan kelompok usia dan perkembangan jaman.Dalam perkembanganya iringan musik diiringi dengan menggunakan istrumen jedur, terbang, kencer, dan kendang. Syair yang digunakan dalam tari Dolalak berisi tuntunan shalat, mengaji, kerja bakti, dan lain-lain. Pada saat dipentaskan kesenian tari Dolalak di Trirejo, Loano, Cokro Sumarto, Sastro Sumanto, Suprapto, Amat Yusro dan Martoguno tertarik, yang kemudian mendirikan tari Dolalak di Desa Kaliharjo pada tahun 1936. Cokro Sumarto sebagai pendiri kesenian tari Dolalak Di Desa Kaliharjo. Cokro Sumarto sebagai tokoh agama yang taat dan di hormati. Cokro Sumarto mempunyai peran yang penting dalam pemahaman Islam, karena di samping sebagai tokoh agama juga seniman. Cokro Sumarto mempunyai pengaruh dalam hal agama karena dengan didirikannya kesenian tari Dolalak pemahaman Islam semakin meningkat.
Adapun Rumusan Masalah : Bagaimana keberadaan dan perkembangan kesenian tari Dolalak di Desa Kaliharjo? Bagaimana peran kesenian tari Dolalak dalam penyebaran Islam di Desa Kaliharjo? Tujuan dan Kegunaan Penelitian: Untuk mendeskripsikan keberadaan dan perkembangan kesenian tari Dolalak di Desa Kaliharjo, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo dan Untuk mengetahui peran kesenian tari Dolalak dalam penyebaran Islam di Desa Kaliharjo Kaligesing Purworejo. Kegunaan Penelitian: untuk: Mendapatkan informasi sejarah kesenian Islam khususnya tari Dolalak, Memberikan sumbangan dalam rangka melestarikan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia dan budaya daerah pada khususnya, Menambah khasanah ilmu pengetahuan mengenai sejarah budaya kesenian tari tingkat lokal sebagai karya yang menarik, berbobot serta tidak membosankan sehingga diharapkan dapat memperkaya khazanah intelektual khususnya di bidang sejarah.NIM. 03121496 Salimah2012-05-16T06:18:50Z2016-12-20T04:02:58Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/1069This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/10692012-05-16T06:18:50ZSENI KALIWUNGON DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT KAMPUNG TEGALARUM KABUPATEN KLATEN ABSTRAK Kalau kita membicarakan kebudayaan, memang tidak ada habis-habisnya. Oleh karena kebudayaan selalu berkembang seiring dengan kemajuan masyarakatnya. Dengan kata lain kebudayaan mempunyai sifat elastis dan dinamis. Namun demikian dalam perkembangan masyarakat tidaklah semua unsur budaya itu dapat menyesuaikan diri. Banyak unsur kebudayaan sebagai hasil karya masyarakat itu tidak mampu berkembang dan ditinggalkan akhirnya hilang. Hal ini tidak terlepas dari kemajuan atau kesadaran masyarakatnya, sehingga mampu mengerti budaya yang sudah tidak dijalankan lahi dengan kebudayaan yang masih layak dipertahankan bahkan dilestarikan. Misalnya keberadaan seni Kaliwungon di kampung Tegalarum, yang itu termasuk salah satu unsur budaya tradisional dalam hal kesenian. Seni Kaliwungon yang berada di kampung Tegalarum merupakan salah satu jenis seni musik yang bernuansa Islam yang masih bertahan dari perkembangan zaman. Walaupun kesenian ini muncul pada tahun 1941 hingga sampai saat ini masih berjalan dengan baik. Adanya kesenian tradisional dalam masyarakat yang itu memiliki dampak yang positif, jika masyarakat dapat mengemas dalam wadah yang bagus. Karena kesenian bukan hanya mengandung nilai-nilai keindahan semata tetapi juga mengandung nilai-nilai moral. Begitu juga dalam seni yang bernuansakan Islam, di dalamnya juga terdapat nilai-nilai yang itu harus diperhatikan. Seperti nilai keagamaan dan nilai sosial budaya, di mana nilai yang terkandung dalam kesenia tersebut juga terdapat fungsi yang dapat berpengaruh dalam kehdupan masyarakat. Dalam hal ini peneliti, meneliti tentang kesenian Kaliwungon yang berada di Kampung Tegalarum. Penelitian ini menitik beratkan beratkan pada keberadan kesenian beserta nilai dan fungsinya dalam kehidupan masyarakat.
Adapun pendakatan yang dipakai dalam penelitian yang membahas tentang kesenian Kaliwungon di kampung Tegalarum, Kab. Klaten. Dalam hal ini pendekatn yang dipakai adalah pendekatan antropologi budaya, karena untuk melihat atau mengamati perilaku yang dilakukan oleh masyarakat terhadap bidang kesenian yang itu termasuk dari unsur kebudayaan. Dalam setudi ini bertujuan untuk mengetahui latar belakang, struktur, alur, nilai dan fungsi dari seni Kaliwungon di kampung Tegalarum. Sedangkan kegunan dalam penelitian ini untuk dokumentasi kebudayaan, pengembangan khazanah kebudayaan Islam, dan sebagai bacaan yang ilmiah tentang kebudayaan yang berbentuk kesenian Islam.
MUH NASRUDIN - NIM. 001202322012-05-16T07:14:52Z2016-12-20T04:03:31Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/1072This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/10722012-05-16T07:14:52ZKEBIJAKAN PEMERINTAHAN UZBEG KHAN (1313-1341) PADA MASA DINASTI GOLDEN HORDE ABSTRAK Sejarah masyarakat islam di Asia Tengah sejak periode Mongol sampai periode kontemporer ini pada garis besarnya dapat dibagi tiga wilayah. Di antara wilayah tersebut, Golden Horde merupakan bagian wilayah yang mendiami padang rumput bagian barat dan utara. Dalam sejarah Mongol kemunculan Golden Horde sangat menarik. Karena Golden Horde ini anak cabang dari dinasti Mongol, dan berkuasa paling lama serta dapat membawa kejayaan dalam peradaban di Asia dan Eropa. Golden Horde ini merupakan dinasti keturunan Chingis Khan dari anaknya yang bernama Jochi. Dinasti ini didirikan oleh Batu (anak Jochi), yang terletak di daerah Sarai dibagian timur tepi Akhtuba, anak sungai dari Volga dan dijadikannya sebagai ibukota Negara. Dalam istanahnya, Batu menyepuh tenda kemah-kemah, karena keindahan dari istanahnya maka dinasti raja terkenal sebagai Golden Horde juga dikenal dengan sebutan dinasati Qipchak. Pada masa pemerintahan Uzbeg Khan (1313-1340), dinasti Golden Horde yang dulunya beragama Kristen menjadi beragama islam, mulai dari kalangan atas maupun bawah. Seperti halnya yang terlihat pada kaum bangsawan, raja, sampai ke rakyat jelata semuanya masuk islam. Pada hal dulunya keturunan Mongol itu anti dengan islam, dan masa-masa sebelum pemerintahan Uzbeg Khan pun sudah ada yang masuk islam. Akan tetapi tidak begitu terlihat sebagaimana pada masa pemerintahan Uzbeg Khan (1313-1340).
Hal inilah yang menarik untuk dijadikan studi penelitian. Pada awalnya dinasti Golden Horde merupakan keturunan Mongol yang taat dengan ajaran nenek moyangnya, akan tetapi setelah pemerintahan Uzbeg Khan inilah membuat catatan sejarah baru bagi keluarga Mongol tersebut. Pada masa pemarintahannya pun banyak mengalami perkembangan dan kemajuan.
Rumusan Masalah
1.Bagaimana latar belakang berdirinya dinasti Golden Horde?
2.Siapakah Uzbeg Khan?
3.Usaha dan kebijakan apa saja yang dilakukan oleh Uzbeg Khan sehingga berhasil mengantar dinasti Golden Horde pada kejayaan ?
MUSLIKHATUN - NIM. 031215082012-05-16T08:08:59Z2015-12-08T08:36:00Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/1076This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/10762012-05-16T08:08:59ZPERSATUAN ISLAM (PERSIS) PADA MASA K.H.E ABDURRAHMAN (1962-1983) ABSTRAK Penelitian Persis pada masa periode kepemimpinan K.H. E. Abdurrahman penting dilakukan, karena pada periode kepemimpinannya Persis mengalami reorientasi kembali menjadi organisasi yang memusatkan perhatian pada bidang sosial keagamaan. Di samping itu, peran K.H. E. Abdurrahman di dalam tubuh Persis sangat menentukan bagaimana orientasi dan aktivitas Persis. Penelitian ini di fokuskan pada bagaimana corak Persis pada periode kepemimpinan K.H. E. Abdurrahman.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengenali sosok K.H. E. Abdurrahman,dan untuk menganalisa kepemimpinan Persis pada masa K.H. E. Abdurrahman. Penelitian dan pembahasan skripsi ini menggunakan metode sejarah.
Hasil penelitiannya adalah K.H. E. Abdurrahman adalah sosok ulama yang tekun dalam mendidik dan berdakwah. Ia memiliki keahlian dalam bidang agama seperti theologi, syari'ah, hadits, fiqih, ushul fiqih, dan bahasa. Ia termasuk ulama yang tidak mengenal kompromi terhadap ajaran-ajaran yang tidak ada sumbernya dari Al-Qur'an dan As-Sunah. Ia merupakan sosok ulama yang rendah hati, berwibawa, berwawasan luas. Orientasi politik PERSIS ketika berada di bawah kepemimpinan K.H. E. Abdurrahman ternyata lebih memilih untuk bersikap netral, tidak mendukung atau ikut berpartisipasi dalam partai politik manapun. Orientasi organisasi PERSIS ketika berada di bawah kepemimpinan K.H. E. Abdurrahman adalah menjadikan PERSIS sebagai organisasi kader dengan cara melakukan pembenahan dan pembinaan kader-kader baru PERSIS yang berkualitas tinggi, hal tersebut dikarenakan PERSIS pada waktu itu lebih mendahulukan kualitas dari pada kuantitas, tidak mementingkan jumlah anggota, akan tetapi lebih mengutamakan pengaruh pemikiran. Adapun yang menjadi fokus gerakan PERSIS pada masa K.H. E. Abdurrahman adalah lebih mengkhususkan diri pada bidang pendidikan dan dakwah, alasannya karena secara historis PERSIS lahir dari sebuah kelompok studi keagamaan.
NANANG SUTISNA - NIM.011206552012-05-16T08:33:03Z2021-12-20T04:39:24Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/1077This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/10772012-05-16T08:33:03ZISLAM DI LAMPUNG 1552-1570 ABSTRAK Perkiraan Sejarah suku Lampung dimulai dari zaman Hindu Animisme yang berlaku di antara tahun pertama Masehi sampai permulaan abad ke-16, yang dimaksud dengan zaman Hindu di sini ialah zaman masuknya ajaran-ajaran atau sistem kebudayaan yang berasal dari daratan India, termasuk Budhisme yang unsur-unsurnya terdapat dalam adat budaya orang Lampung. Islam diperkiraan memasuki daerah Lampung di sekitar abad ke-15, melalui tiga arah. Pertama dari arah barat Minangkabau), memasuki dataran tinggi Belalau. Kedua dari daerah utara (Palembang), melalui daerah Komering pada permulaan abad ke-15 atau setidak-tidaknya di masa Adipati Arya Damar (1443) di Pelambang. Ketiga dari Banten oleh Fatahillah Sunan Gunung Jati, memasuki daerah Labuhan Meringgai sekarang, yaitu di Keratuan Pugung di sekitar tahun 1525, sebelum di rebutnya Sunda Kelapa (1526). Dari perkawianan Fatahillah dengan Putri Sinar Alam anak Ratu Pugung maka lhirlah Minak Kejala Ratu yang kemudian menjadi cikal-bakal Keratuan Darah Putih yang menurunkan Raden Intan. Jadi yang paling berpengaruh Islam di Lampung jalur yang ketiga yaitu dari Banten.
Seperti sudah kita ketahui, Banten diIslamkan oleh Fatahillah atas nama raja Demak. Segera kedudukan Banten diperkuat, dan untuk kepentingan perdagangan maka seluruh pantai Utara diIslamkan pula sampai di Cirebon. Sunda Kelapa, kota pelabuhan Pajajaran, yang dapat menjadi saingan, direbut tahun 1527, dan sebagai bagian Banten diberi nama Jayakarta. Pemerintahan daerah banten dipegang sendiri oleh Fatahillah, sedangkan daerah Cirebon ia serahkan kepada anaknya, Pangeran Pasarean. Ketika dalam tahun 1552 Pangeran Pasarean ini wafat. Fatahillah sendiri pergi ke Cirebon untuk mengendalikan pemerintahan, setelah Banten ia serahkan kepada seorang anaknya lagi yang bernama Hasanuddin. Di Cirebon Fatahillah lebih bertekun dalam hal keagamaan, dan setelah pemerintahan dapat ia serahkan kepada seorang cucunya ia mengundurkan diri di Gunung jati. Sebagai Penyiar agama Islam ia dianggap sebagai salah seorang dari wali 9, dan bergelar Sunan. Dalam tahun ia wafat, dan dimakamkan di tempat pemukimannya di atas bukit Jati; maka ia kemudian lebih terkenal sebagai Sunan Gunung Jati. Sementara itu Hasanuddin di Banten semakin berkuasa, dan tidak lagi menghiraukan Demak yang sejak seitar tahun 1550 kacau saja keadaanya. Dalam tahun 1568 ia bahkan memutuskan sama sekali hubungannya dengan Demak, dan menjadi raja pertama di Banten. Segera ia perkokoh kedudukannya dan ia perluas daerahnya sampai di Lampung. Dengan demikian ia menguasai daerah-daerhah lada dan perdagangannya.
NANIK JUNAIDAH - NIM: 031215072012-05-21T03:18:18Z2016-12-20T06:45:56Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/1079This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/10792012-05-21T03:18:18ZTRADISI SUROAN DI DESA BEDONO KLUWUNG KECAMATAN KEMIRI KABUPATEN PURWOREJO (Studi Budaya) ABSTRAK Setiap bangsa dan suku-suku di Indonesia mempunyai kebudayaan yang berbeda-beda. Demikian pula suku Jawa yang memiliki kebudayaan khas, terutama dalam bidang religi dengan tradisi upacaranya yang merupakan bagian dari kehidupan sebagai pengungkapan rasa budayanya. Upacara adat tradisional mempunyai arti bagi warga masyarakat yang bersangkutan, selain bermakna sebagai penghormatan terhadap roh leluhur dan rasa syukur terhadap Tuhan juga sebagai sarana sosialisasi dan pengokohan nilai-nilai budaya yang sudah ada dan berlaku dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Seperti yang saya ketahui di Desa Bedono Kluwung, terdapat adanya suatu tradisi Suroan yang begitu unik, berbeda dengan tradisi Suroan di Desa Banyuraden dilaksanakan setiap menjelang tanggal 8 Suro atau tanggal 7 Suro tengah malam, mereka mengikuti tradisi karena adanya keyakinan mereka bahwa dengan menggunakan sisa-sisa air yang digunakan oleh Ki Demang Cakradikrama yang dilakukan pada malam 8 Suro, akan mendapat berkah dan harapan mereka akan dikabulkan Tuhan. Mereka melakukan hal ini untuk menghormati arwah leluhur yang anggap begitu sakral yaitu Ki Demang cakradikrama. Sedangkan tradisi Suroan di Desa Bedona Kluwung mereka melakukan pada malam 1 suro bertepatan pada 1 Muharram pengajian dan kenduren sebelum melakukan penyembelihan kambing lalu dimasak yang uniknya lagi segala sesuatunya dilakukan oleh kaum pria, sedangkan wanitanya hanya membawa nasi dibakul. Penyembelihan kambing itu sendiri bermakna untuk memberikan penghormatan sebagai ketaatan mereka kepada leluhurnya. Prosesi ritualisme yang menunjukan bahwa selain tradisi Suroan sebagai media untuk menghormati roh leluhur, juga sebagai rasa syukur atas rahmat dan anugrah Tuhan. Di samping itu, keberadaan tradisi Suroan dan perkembangannya di lingkungan masyarakat mempunyai dampak positif bagi kehidupan masyarakatnya.
RATNA CHRISTIANA - NIM.031214742012-05-21T03:57:43Z2016-12-20T07:07:21Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/1087This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/10872012-05-21T03:57:43ZPERJUANGAN DEMANG LEHMAN DALAM PERANG BANJAR TAHUN 1859-1862 ABSTRAK Belanda datang ke Banjarmasin pada awal abad 17, hal tersebut dikarenakan daerah ini banyak menghasilkan lada dan batu bara. Sejak itulah terjadi hubungan dagang antara orang Banjar dengan Belanda. Belanda memonopoli perdagangan lada, bahkan ingin menguasai wilayah kerajaan Banjar dengan politik devide et impera. Pada tanggal 14 Februari 1606, kapal dagang VOC Belanda datang di bawah pimpinan Gillis Michieszoon. Setibanya di Banjarmasin anak buahnya berbuat hal-hal yang menyinggung perasaan orang Banjar, dan semua awak kapal yang naik ke darat dibunuh oleh orang Banjar. Setelah kejadian tersebut, Belanda segera mengirimkan armada perang menuju Banjarmasin, mereka membakar kota, kapal-kapal yang berlabuh di bandar, dan keraton Banjar yang tidak jauh dari sungai juga turut menjadi sasaran pembakaran. Setelah peristiwa tersebut, rakyat Banjar menjadi anti terhadap Belanda di tanah Banjar. Belanda terus campur tangan dalam urusan kerajaan, ekonomi, dan sosial keagamaan. Pada tahun 1857 Belanda menobatkan Pangeran Tamjidillah sebagai sultan secara sepihak dengan mengabaikan surat wasiat Sultan Adam yang menghendaki Pangeran Hidayatullah sebagai pengganti ayahnya Sultan Muda Abdurrahman. Pengangkatan Pangeran Tamjidillah menjadi sultan menimbulkan kekecewaan di kalangan rakyat dan para pembesar Kerajaan yang pada klimaksnya menimbulkan Perang Banjar. Di dalam Perang Banjar terdapat beberapa tokoh Banjar yang menjadi panglima melawan Belanda, salah satunya adalah Demang Lehman yang berasal dari Martapura. Ia merupakan Panakawan dari Pangeran Hidayatullah, oleh karena kesetiaan, kecakapan, dan jasa besarnya maka ia diangkat Pangeran Hidayatullah menjadi Kepala Distrik di Riam Kanan. Pada saat Perang Banjar meletus, Demang Lehman mendapat tugas dari Pangeran Antasari untuk memimpin perlawanan di daerah Martapura dan Tanah Laut bersama Kiai Langkang dan Penghulu Buyasin. Di mata Belanda, Demang Lehman termasuk pejuang Banjar yang sangat ditakuti dan berbahaya dalam menggerakkkan kekuatan rakyat sebagai tangan kanan Pangeran Antasari dan Pangeran Hidayatullah. Pangeran Antasari memberikan tugas kepada Demang Lehman untuk menjadi pemimpin perang di beberapa daerah. Untuk menumpas perlawanan Demang Lehman, Belanda mengirim kapal-kapal perangnya dalam jumlah banyak. Menghadapi pasukan Belanda yang cukup banyak, Demang Lehman dan pasukannya beberapa kali terpukul mundur. Meskipun beberapa kali mengalami kekalahan, ia dan pasukannya tetap tidak pernah takut terhadap Belanda. Demang Lehman menolak berunding dengan Belanda. Damai bagi Demang Lehman berarti harus angkat kaki dari Bumi Banjar. Sikap keras menjadi tekad Demang Lehman untuk mengusir penjajah Belanda, sampai titik darah penghabisan. Pada tanggal 6 Oktober 1861, ia dan pasukannya diminta Belanda datang ke Banjarmasin untuk berunding. Belanda meminta supaya Demang Lehman mau tinggal di Banjarmasin, hal ini dilakukan Belanda untuk membuat Demang Lehman ikut bergabung dengan Belanda. Residen Belanda berusaha memikat Demang Lehman dengan janji memberi biaya tiap bulan kepada Demang Lehman apabila dapat membujuk Pangeran Hidayatullah dan Pangeran Antasari ke Banjarmasin. Belanda berjanji jikalau Pangeran Hidayatullah kembali ke Banjarmasin akan diberikan jabatan yang tinggi di kerajaan Banjar. Setelah Pangeran Hidayatullah ke Banjarmasin, Belanda mengingkari janji. Pangeran Hidayatullah ternyata diasingkan Belanda ke Jawa, tepatnya di Ciganjur. Demang Lehman merasa kecewa dengan tipu muslihat Belanda, dan berusaha mengatur kekuatan kembali di daerah Pangkal, Batulicin. Akan tetapi, Belanda telah membuat rencana untuk penangkapan terhadapnya. Sehabis shalat subuh, ia ditangkap dan pemerintah Belanda memutuskan hukuman gantung kepada Demang Lehman. Pada tanggal 27 Februari 1862 Demang Lehman dihukum gantung dan kepalanya dipenggal. Kepala Demang Lehman dibawa ke Belanda dan disimpan di Museum Leiden.
SUNDARI - NIM. 031214852012-05-21T07:38:03Z2016-12-20T07:09:36Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/1068This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/10682012-05-21T07:38:03ZKIAI HAJI HADJID DAN PERJUANGANNYA PADA MASA PERANG KEMERDEKAAN RI DI DIY ABSTRAK Dengan adanya agresi militer Belanda I, maka rakyat Indonesia mempersiapkan diri untuk menghimpun kekuatan. Di Yogyakarta, reaksi keras salah satunya muncul dari kalangan ulama, yang bertekad untuk ikut berpartisipasi dalam mempertahankan kedaulatan negara RI. Para ulama bermusyawarah untuk membentuk wadah Majelis Ulama Angkatan Perang Sabil (MUAPS) dan Angkatan Perang Sabil (APS) sebagai wadah perjuangan para pejuang Islam dalam melawan penjajah. Mereka berjuang bersama rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah diraih. Salah seorang tokoh yang ikut andil dalam perjuangan pada masa itu adalah K.H. Hadjid. Ia lahir di Kauman, Yogyakarta pada tahun 1898 M, dari keluarga berpendidikan dan berdasar pada jiwa ketauhidan yang kuat membuat jiwa patriotisme Hadjid terasah. Sejak kecil, ia sudah dibekali dengan ilmu-ilmu agama yang didapat dari belajar di pondok-pondok pesantren.
Kemudian ayahnya mengirim Hadjid untuk menimba ilmu di Tanah Suci Mekah. Dalam perjalanan karirnya, ia telah banyak aktif dalam berbagai organisasi masyarakat, keagamaan, maupun lembaga pemerintah. K.H. Hadjid hidup dalam situasi yang penuh dengan gejolak. Di antaranya penjajahan Jepang, agresi militer Belanda I dan II, telah mencetak jiwa kepemimpinan yang tangguh untuk selalu berjuang demi agama, bangsa dan negaranya. Semangat perjuangan K.H. Hadjid sangat tinggi, hal ini juga diwariskan pada putra-putrinya. Bahkan dalam situasi perang ketika salah seorang putranya sedang mendampingi istrinya melahirkan, K.H. Hadjid memerintahkan putranya untuk pergi ke medan perang. Menurut K.H. Hadjid bahwa kewajiban yang lebih penting pada waktu itu adalah berperang, berjuang demi bangsa dan negara. Hal itu merupakan gambaran perjuangan dan pengorbanannya dalam perang kemerdekaan RI. K.H. Hadjid adalah ulama yang lebih dikenal sebagai tokoh awal pergerakan Muhammadiyah ini tidak saja sebagai ulama yang wara'i, tinggi ilmu agamanya dan berwawasan luas, tetapi juga disegani di kalangan umum sebagai pemimpin yang kharismatik dalam berjuang di medan pertempuran.
Hal ini yang dipandang menarik dan perlu penulis teliti lebih lanjut. Untuk menguraikan masalah penelitian ini penulis menggunakan pendekatan behavioral, yakni pendekatan yang tidak hanya tertuju pada kejadiannya saja, tetapi juga tertuju pada pelaku sejarah dan situasi nyata. Bagaimana pelaku sejarah menafsirkan situasi yang dihadapinya, sehingga dari penafsiran tersebut muncul tindakan yang menimbulkan suatu kejadian, dan selanjutnya timbul konsekuensi atau pengaruh dari tindakannya berkenaan dengan perilaku pemimpin. Teori yang digunakan adalah teori konflik, menurut George Ritzer masyarakat senantiasa berada dalam proses yang ditandai oleh pertentangan yang terus-menerus di antara unsur-unsurnya. Setiap elemen memberikan sumbangan terhadap disintegrasi sosial. Teori konflik menggunakan prinsip koersi untuk mendorong melakukan perubahan-perubahan di dalam masyarakat.
Trio Andika Rachmandani - NIM. 031214632012-05-21T07:48:25Z2016-12-20T03:57:19Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/1108This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/11082012-05-21T07:48:25ZKOMPLEKS MASJID KI AGENG SUTAWIJAYA MAJASTO TAWANGSARI SUKOHARJO JAWA TENGAH (Tinjauan Histori) ABSTRAK b Penelitian /b ini penulis menggunakan metode sejarah, yaitu menguji dan meneliti secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau untuk merekontruksi hal-hal yang imajinatif dari masa lampau berdasarkan data yang diperoleh. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1). Ki Ageng Sutawijaya merupakan keturunan Raja Majapahit yaitu Brawijaya V, pada waktu kerajaan Majapahit runtuh beliau meninggalkan istana dan melarikan diri bersama saudara-saudaranya, kemudian dalam pelariannya Ki Ageng Sutawijaya bertemu Sunan Kalijaga. Beliau mula-mula mempunyai nama Raden Joko Bodho, setelah bertemu Sunan Kalijaga beliau memperoleh gelar Ki Ageng Sutawijaya. Ki Ageng Sutawijaya mendapat perintah untuk berguru kepada Sunan Tembayat. Setelah berguru beberapa bulan di Tembayat, Ki Ageng Sutawijaya menuju bukit Majasto dan menyebarkan Islam disana sesuai perintah Sunan Kalijaga. 2). Masjid Ki Ageng Sutawijaya merupakan masjid bersejarah yang usianya sudah ratusan tahun yang didirikan sekitar tahun 1587-1653 M sesuai prasasti yang tertera pada gapura masjid. Dibangunnya masjid ini oleh Ki Ageng Sutawijaya yang merupakan bukti dari perintah gurunya yaitu Sunan Kalijaga dan Sunan Tembayat sebagai sarana dakwah bagi masyarakat Majasto, mengingat masyarakat Majasto saat itu pengetahuan mereka tentang Islam sangat minim sehingga yang memeluk Islam hanya sedikit bahkan ada yang memeluk Hindu. 3). Masjid ini sebagai salah satu sarana pembangunan manusia di bidang spiritual pada khususnya dan sebagai sarana mengembangkan kehidupan sosial di Majasto. Untuk mencapai Majasto seperti yang diperintahkan oleh Sunan Kalijaga, Ki Ageng Sutawijaya banyak mengalami kesulitan karena sering tersesat walau akhirnya beliau berhasil sampai di Majasto. Islamisasi di Majasto berlangsung perlahan-lahan mengingat masyarakat saat itu masih memeluk Hindu, dalam berdakwah beliau selalu berpegang pada Al-Quran yaitu Surat Al-Alaq ayat 1-5 dan juga menegakkan kebenaran dan keadilan dengan menyuruh kepada amar ma'ruf nahi munkar. 4). Masjid Ki Ageng Sutawijaya merupakan peninggalan yang mempunyai nilai sejarah, meskipun usianya sudah ratusan tahun tetapi masjid ini tetap berdiri kokoh dan selalu dikunjungi oleh masyarakat Majasto yang ingin beribadah dan juga berziarah ke makam Ki Ageng Sutawijaya. Disamping itu di masjid tersebut sering diadakan pengajian bagi masyarakat dan juga upacara tradisi sadranan di halaman masjid. 5). Kondisi fisik bagian masjid masih tampak asli, pada pintu masuk ruang utama hanya dilakukan penambahan sedikit dengan cat juga pada beberapa bagian bangunan lain pada masjid. Teras masjid sudah dilakukan perbaikan dengan sedikit perluasan, sedangkan tangga menuju masjid diberi tambahan pegangan, dan pembangunan pendapa yang berfungsi sebagai tempat upacara sadranan bagi masyarakat majasto. 6). Pengaruh unsur kebudayaan pra-Islam tampak juga dalam beberapa bangunan masjid seperti kebudayaan Hindu yang tampak pada atap masjid yang berbentuk tumpang yang dilengkapi dengan mustaka, gapura yang berbentuk paduraksa, ruang utama yang berbentuk mendapa, mimbar yang diberi hiasan sulur tumbuhan, dan sendang yang masih ada di sekitar masjid. Pemberian atap jenjang juga merupakan pengaruh dari kebudayaan Budha yang berasal dari strata yang digunakan pada Candi Borobudur. Kebudayaan tersebut telah memberi peranan dalam pembentukan seni arsitektur dan ornamental Masjid Ki Ageng Sutawijaya. Seni ornamental berbentuk sulur bunga yang terdapat pada mimbar dan hiasan lengkung pada mihrab, sedangkan hiasan bidang terdapat pada bagian pintu dan jendela. Pada gapura banyak terdapat hiasan seperti relief dan patung harimau dan buaya, yang bagian tengah gapura dihubungkan dengan motif sayap burung. Gapura tersebut telah mengalami pengecatan ulang agar warnanya tidak pudar oleh cuaca. 7). Hal-hal yang mempengaruhi percampuran kebudayaan pada Masjid Ki Ageng Sutawijaya adalah faktor agama masyarakat Majasto dan faktor sosial budaya yang merupakan pengaruh dari agama pra-Islam. Begitu halnya dengan kebudayaan yang berkembang di Majasto yang merupakan pengaruh dari agama-agama pra-Islam. Jadi, tidak menutup kemungkinan, jika arsitektur Masjid Ki Ageng Sutawijaya dibuat dengan memadukan antara beberapa kebudayaan pra-Islam yaitu Animisme, Dinamisme, Budha, dan Hindhu. 8). Dalam penelitian ini terdapat persamaan tentang masjid-masjid kuno yang adadi Jawa dengan Masjid Ki Ageng Sutawijaya yang terdapat di Majasto. Persamaan tersebut tampak pada beberapa bagian yaitu: denahnya persegi, mempunyai serambi, berdiri pada pondasi yang kuat dan tinggi, mempunyai atap yang bertingkat dan menyempit ke atas yang disebut tumpang, mempunyai ruangan tambahan di sebelah selatan, ada mihrab, dan terdapat pintu gerbang. Semua itu merupakan ciri-ciri pada masjid tradisional yang ada di Jawa.
ANIK TRI WAHYUNI - NIM. 021210362012-05-21T08:15:50Z2016-12-20T07:08:14Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/1094This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/10942012-05-21T08:15:50ZMUHAMMAD 'ABID AL-JABIRI (STUDI PEMIKIRANNYA TENTANG TRADISI/ TURAS ) ABSTRAK b Tatkala /b berbicara mengenai permasalahan kebangkitan Islam, kita akan masuk dataran pembenahan sesuatu yang belum sempurna sehingga menyebabkan kebangkitan Islam tidak berjalan dengan lancar melainkan sesuatu yang stagnan. Muhammad amp;#8216;Abid al-Jabiri, seorang pemikir Islam yang berasal dari Maroko, dia adalah seorang filosof Islam dan merupakan pemikir yang terkemuka saat ini yang telah mengemukakan gagasan segar dalam rangka proyek besar bagi kebangkitan umat Islam. Mencuatnya nama pemikir Arab Islam kontemporer ini tidak lepas dari proyek pemikirannya yang ia sebut dengan Kritik Nalar Arab. Kritik Nalar Arab yang kemudian biasa disebut dengan (KNA) dilatarbelakangi oleh semangat revivalisme (Kebangkitan Islam) dalam dua gagasan yaitu sebagai refleksi atas kegagalan kebangkitan Islam sekaligus upaya untuk merealisasikan kebangkitan Islam yang tak kunjung datang. Kebangkitan Islam diera modern dipandang oleh al-Jabiri belum berhasil atau bahkan gagal. Salah satu penyebab mendasar gagalnya kebangkitan Islam adalah ketidaktepatan dalam mensikapi tradisi ( i turas /i ). Hal ini berimplikasi pada hilangnya mata rantai semangat intelektualitas dan sain yang menghubungkan dengan i turas /i masa lalu nan gemilang Menurut al-Jabiri tradisi adalah sesuatu yang hadir dan menyertai kekinian kita yang berasal dari masa lalu, apakah itu masa lalu kita atau masa lalu orang lain, ataukah masa lalu tersebut adalah masa lalu yang jauh maupun yang dekat. Ada dua hal yang penting yang harus diperhatikan dari definisi ini. Pertama bahwa tradisi adalah sesuatu yang menyertai kekinian kita, yang tetap hadir dalam kesadaran atau ketidaksadaran kita, Kehadirannya tidak sekedar dianggap sisa-sisa masa lalu melainkan sebagai masa lalu dan masa kini yang menyatu dan bersenyawa dengan tindakan dan cara pikir kaum musilmin. Maka tradisi bukan hanya yang tertulis dalam buku-buku karya para pemikir yang tersusun di rak-rak perpustakaan, malainkan realitas sosial kekinian kaum muslimin itu sendiri. Kedua tradisi yang menyakup kemanusiaan yang lebih luas seperti pemikiran filsafat dan sain, yang kedua ini disebut al-Jabiri sebagai at-turas al-insan. Namun al-Jabiri kemudian menegaskan bahwa tradisi yang hidup itu sebenarnya berakar kuat pada pemikiran-pemikiran Islam, yang dikembangkan para ulama sejak abad kedua Hijiriah hingga masa sebelum kemunduran sekitar abad kedelapan sebelum Hijiriah. Maka tidak heran jika kemudian al-Jabiri memfokuskan perhatiannya pada tradisi Islam yang tertulis untuk dibongkar dan dipahami secara obyektif. Dari sedikit pemaparan di atas, jelaslah bahwasannya al-Jabiri sangat memfokuskan tradisi untuk kelangsungan proyek kebangkitan Islam, penelitian ini mencoba mengungkap dan menerangkan lebih mendalam mengenai tradisi yang ada dalam gagasan al-Jabiri yang akan kami uraikan dalam skripsi kami. Penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif dengan mengambil kesimpulan yang berdasarkan pemikiran logis atas berbagai data yang dapat kami peroleh melalui kepustakaan.
SUPAAT EKO NUGROHO 01120576 2012-05-22T02:19:28Z2016-12-20T03:57:39Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/1103This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/11032012-05-22T02:19:28ZMUHAMMAD YUNUS ANIS DAN KIPRAHNYA 1925-1979 M ABSTRAK
Maksud dan tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan menganalisis peristiwa masa lalu, maka dalam penelitian ini digunakan metode historis, yaitu proses menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau, kemudian ditelaah secara jelas. Adapun hasil penelitian yang diperoleh sebgai berikut. Pertama, Bidang Pendidikan seperti: mendirikan Sekolah Tinggi Islam yang sekarang menjadi Universitas Islam Indonesia, Pembenahan Administrasi dalam Muhammadiyah yang mengakibatkan peningkatan dari tingkat Cabang dan Ranting di seluruh Indonesia, Pembangunan sekolah Muhammadiyah, dan pendidikan Agama di Angkatan Darat yang bertujuan untuk mengatur dan membina mental rohani jiwa tentara agar para prajurit menjadi pembela negara dan bangsa dengan setia. Kedua, Bidang Sosial keagamaan yaitu lahirnya kepribadian Muhammadiyah. Dalam perumusan kepribadian Muhammadiyah, M. Yunus Anis banyak memberikan pengarahan dan pemikirannya. Tujuan di rumuskannya untuk menjadi landasan dan pegangan para pemimpin Muhammadiyah dalam menjalankan roda pemerintahan organisasi agar tetap sesuai asas dan tujuan Muhammadiyah yang sebenarnya. Mendirikan Perkumpulan Dakwah Idharul Haq, tujuan M. Yunus Anis mendirikan perkumpulan ini yaitu sebagai media dakwah Islam dan untuk mempererat hubungan silaturahmi sesama umat Islam. Ketiga, Bidang Politik, menjabatnya M.Yunus Anis dalam anggota DPRGR bukanlah atas nama Muhammadiyah, tetapi di tunjuk oleh Jenderal A.H. Nasution supaya mewakili imam Tentara. Selain itu Presiden Soekarno memilihnya sebagai anggota DPRGR, dengan tujuan mengikutsertakan pemuka-pemuka Muhammadiyah dalam pemerintahan. Kedudukan umat Islam dalam pemerintahan, bagi M. Yunus Anis perlu mendapat perhatian sebaik-baiknya. Dengan jalan ini wakil-wakil umat Islam dapat menyumbangkan pemikirannya supaya pelaksanaan pemerintahan tidak merugikan umat Islam. Selain itu dia termasuk tim kepemimpinan menghadapi krisis-krisis Nasional mendampingi Jenderal A.H. Nasution, dalam menggariskan koreksi total pembaruan mental yang di tuangkan pada persyaratan ketaqwaan serta berporoskan pelaksanaan murni dan konsekwen UUD 1945.
ENI SETYOWATI - NIM. 031215102012-05-22T03:26:55Z2016-12-20T04:03:51Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/1101This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/11012012-05-22T03:26:55ZNURCHOLISH MADJID; PANDANGAN TENTANG DEMOKRATISASI DI INDONESIA TAHUN 1970-2005 ABSTRAK
Pembicaraan sekitar pemikiran Islam Nurcholis Madjid selalu menarik karena pro dan kontra disekitar pemikiran Islamnya selama dua dasawarsa Orde Baru dan telah menimbulkan perdebatan yang berkepanjangan dikalangan kaum Muslim pembaharu. Bagi para pendukungnya, pemikiran Islam Nurcholis Madjid dipandang sebagai suatu usaha untuk melakukan penyegaran kembali paham dan pemikiran Islam, sehingga dirinya didudukan sebagai tokoh pembaharu pemikiran Islam di Indonesia yang muncul pada tahun 1970. Sedang bagi para pengkritiknya, pemikiran Islamnya dipandang sebagai suatu usaha untuk mengacaukan pemikiran Islam dan ajaran demi kepentingan golongan tertentu, sehingga dirinya dituduh sebagai orang yang salah tuntunan dan paling buruk sebagai bukan Islam. Nurcholish Madjid menggagas konsep pluralisme agama pada era 1970-an ketika ia mengungkapakan Islam Yes, Partai No , sebagai gerakan pembaruan yang membela modernisasi yang kemudian menjadi akar pemikirannya tentang demokrasi. Pembaharuan itu sendiri merupakan upaya menformulasikan kesimpulan-kesimpulan keagamaan Islam yang bersifat universal. Pendirian keagamaan Nurcholish Madjid yang neomodernis, terbuka, inklusif, dan toleran memudahkannya berinteraksi dengan gagasan-gagasan dasar demokrasi. Keterlibatannya dalam wacana demokrasi dan proses demokratisasi di Indonesia justru lahir, berakar, dan berkembang dari pendirian keagamaannya itu. Bagi Nurcholish Madjid, Islam dan demokrasi bukanlah pilihan yang dilematis dan berkonsekuensi pada pecahnya kepribadian. Justru sebaliknya, Islam dan demokrasi harus dikombinasikan, baik dalam pengertian prinsip maupun prosedur. Nurcholish Madjid mencoba mengawinkan antara demokrasi dan Islam yang menghasilkan demokrasi dengan paradigma Islam. Islam dan demokrasi yang dimaksudkan di sini adalah menjadikan Tuhan, dalam pengertian ajaran-ajaran yang diturunkan, yakni Islam, sebagai sumber etika asasi dan menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan politik. Nurcholish Madjid berkeyakinan bahwa tanpa Islam, demokrasi akan kekurangan landasan keyakinan, nafas, dan roh. Sebaliknya, tanpa demokrasi, Islam akan kesulitan untuk mewujudkan tujuan dasarnya sebagai sarana bagi kebaikan untuk semua. Demokrasi yang gagaskan oleh Nurcholish Madjid disini bisa disebut dengan istilah demokrasi religius yaitu penggabungan antara pemahaman syuraa (musyawarah) dengan demokrasi yang datang dari Barat.
MUHAFIK - NIM. 011206752012-06-26T10:56:13Z2016-12-20T04:02:15Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/1536This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/15362012-06-26T10:56:13ZMASJID MERAH PANJUNAN CIREBON (KAJIAN HISTORI-ARKEOLOGIS) ABSTRAK Masjid Merah Panjunan didirikan oleh salah satu putra Sultan Bagdad, yaitu Syarif Abdurrahman. Masjid yang didirikan pada tahun 1480 M ini, pada awalnya bernama al-Athyah yang berarti yang dikasihi. Pendirian Masjid Merah Panjunan lebih disebabkan oleh karena belum adanya Masjid Agung di wilayah Caruban selain sebuah tajug sederhana, yaitu Masjid Pejlagrahan yang sampai saat ini juga masih ada.
Selain itu, dapat dilihat juga adanya beberapa alasan lain yang melatarbelakangi pendirian Masjid Merah Panjunan. Fungsi politis juga ikut mewarnai pembangunan Masjid Merah Panjunan selain fungsi praktis tersebut di atas. Fungsi ekonomis dari pembangunan Masjid Merah Panjunan dapat dilihat dari keberadaannya di wilayah yang merupakan sentra produksi dan pemasaran gerabah, karena pada saat itu masjid merupakan tempat khalayak ramai berkumpul. Bahkan fungsi ini kemudian juga mempengaruhi nama wilayah sekaligus nama masjid ini yaitu Panjunan.
Wilayah Panjunan dan sekitarnya menjadi sentra perdagangan dalam wilayah Cirebon, kota perdagangan pantai yang sangat ramai saat itu, sehingga penduduknya berasal dari berbagai macam suku bangsa. Berangkat dari asumsi bahwa masjid sebagai bangunan publik sehingga menjadi cerminan kebudayaan publik yang memilikinya dan realitas dari wujud fisik bangunan Masjid Merah Panjunan memperlihatkan adanya perpaduan budaya dan agama masyarakatnya dalam wujud akulturasi.
Proses akulturasi di Indonesia sudah terjadi semenjak masa pra-Islam, yaitu Budha dan Hindu. Agama Hindu datang ke Indonesia dibawa oleh bangsa India. Setelah kedatangan agama Hindu dan Budha ke Indonesia, datanglah agama Islam. Agama-agama tersebut kemudian bertemu dan mengadakan kontak secara terus-menerus. Akhirnya terjadilah akulturasi antara kedua agama tersebut.
Wujud akulturasi tersebut dapat dilihat dari adanya unsur-unsur budaya yang ada pada arsitektur Masjid Merah Panjunan. Jika menggunakan agama dan asal sebagai agen pengaruh budaya maka unsur-unsur akulturasi tersebut adalah sebagai berikut.
1. Unsur budaya Islam; Selain jelas dari wujud fisik dan fungsi praktis dari masjid ini yaitu sebagai bangunan peribadatan umat Islam, maka dapat dilihat lebih terperinci juga unsur-unsur khas yang berasal dari pengaruh Islam. Unsur budaya Islam dapat kita lihat pada mimbar, mihrab, tempat wudlu, dan beberapa ragam hias kaligrafi yang terlihat di tiang dan blandar. 2. Unsur budaya Jawa; Unsur budaya Jawa masih sangat terlihat dalam arsitektur Masjid Merah Panjunan ini yaitu dari jenis bangunannya yang jelas menggunakan arsitektur Jawa yaitu tajug dan limasan. Selain itu juga dapat dilihat dari pola konstruksi dan susunan arsitekturalnya. 3. Unsur budaya Cina; Pengaruh dari Cina juga ditemukan pada Masjid Merah Panjunan ini yang dapat dilihat dari penggunaan beberapa keramik produksi Cina untuk hiasan tempel, dan penggunaan bahan sirap seperti pada bangunan khas Cina. 4. Unsur budaya Hindu; Unsur budaya Hindu secara eksplisit tidak banyak dapat dilihat secara langsung pada wujud fisik bangunannya, tetapi jika dikaitkan dengan makna-makna filosofis dan simbol-simbol yang ada pada Masjid Merah Panjunan, masih dapat ditemukan adanya kelanjutan-kelanjutan pemakaian makna filosofis Hindu yang kemudian disesuaikan dengan ajaran Islam. 5. Unsur budaya Eropa; Unsur budaya Eropa dalam arsitektur Masjid Merah Panjunan dapat kita lihat dengan jelas pada keramik-keramik produksi Eropa, khususnya Belanda. Unsur-unsur tersebut diatas, semuanya disusun dan diterapkan sedemikian rupa sesuai dengan selera estetika pada jamannya. Selera jaman yang saat itu juga sudah dipengaruhi oleh aktivitas perdagangan orang-orang Eropa kemudian juga mempengaruhi estetika akulturatif di atas.
LAELY WIJAYA - NIM. 01120573 2012-06-26T11:03:58Z2022-08-09T06:21:25Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/1556This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/15562012-06-26T11:03:58ZPERAN ABD AL-RAHMAN I TERHADAP KEBANGKITAN DAULAH BANI UMAYYAH DI ANDALUSIA 750 - 763 M ABSTRAK Ketika pada masa kejayaan kekuasaan Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus menjelang akhir setelah sekian lama mengalami kejayaan dalam kurun waktu 90 tahun (661-750) secara garis besar bahwa pada waktu itu situasi politik yang kurang stabil membuat kelemahan umat Islam yang dipicu oleh beberapa faktor yang diantaranya:
Pertama, faktor internal. Para ahli sejarah mengatakan bahwa penyebab kehancuran Dinasti Umayyah berasal dalam kekuasaan itu sendiri, hal tersebut bermula dari kekuasaan mas pemerintahan Imar Ibn Abdul Aziz (99-101 H/717-720 M). Sepeninggal Umar II pemerintahan mulai melemah dan sangat menonjol pada masa Khalifah Yazid II (101-105 H/720-724 M). Pada akhirnya stabilitas pemerintahan menjadi kacau dengan latar belakang dan kepentingan etnis politis, masyarakat menyatakan konfrontasi terhadap pemerintahan Yazid Ibn Abdul Malik.
Kedua, faktor eksternal. Puncak kerusuhan pada masa pemerintahan Hisyam Ibn Abdul Malik (105-125 H/724-743 M). Karena di zaman ini muncul satu kekuatan baru Bani Abbas yang menjadi tantangan berat bagi pemerintah. Usaha untuk memberikan teror fisik maupun ancaman tersebut berlanjut hingga pada puncaknya. Dalam perkembangan berikutnya teror kekuatandari golonganBani Hasyim ini, mampu menggulingkan Umawiyyah di Timur dan menggantikan dengan Dinasti baru, Bani Abbas.
Ketika memasuki keberhasilan menyusun kekuatan militer yang mendapat dukungan dari bangsa Barbar, maka wajah Islam mulai bersinar bersamaan terbentuknya Dinasti Umayyah di Andalusia. Barangkali berkat keuletan dan kebijaksanaan pemimpin Abdurrahman ad-Dakhil yang bergelar Amir (panglima atau gubernur) tidak terikat dengan sistem Khilafah, tetapi mengacu pada corak imperium Yunani. Selanjutnya Dinasti Umayyah II di Andalusia benar-benar menjadi pusat keilmuan dan peradaban Eropa yang berbasiskan Islam pada masa keemasannya serta mampu menempatkan Cordova sejajar dengan Konstantinopel.
Penulis mengkaji korelasi kemunduran Bani Umayyah di Timur dengan berdirinya di Barat ini, sebab walaupun hampir sebagian besar ahli sejarah menggambarkan sisi gelap dari para penguasa Bani Umayyah katakanlah memakai politik yang dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai agama, namun pada kenyataannya banyak kebijakan-kebijakan politik dan keberanian dalam menyatukan kaum radikal yang selalu memberikan teror maupun cap terhadap penguasa khususnya, umat Islam pada umumnya. Menurut Sir Hamilton kemampuan administrasi negara yang mengadopsi dari bangsa Yunani membuat kejayaan Islam semakin menuju kemaharajaan.
MAHRUL AFANDI - NIM. 001203012012-06-26T11:11:35Z2016-12-20T04:29:14Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/1540This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/15402012-06-26T11:11:35ZPERAN DEMAK TERHADAP RUNTUHNYA MAJAPAHIT (1478-1527 M) ABSTRAK Periode tahun 1478-1527 M, merupakan periode di mana Majapahit di bawah kekuasaan kerajaan baru, yaitu kerajaan Islam Demak. Dalam periode ini segala urusan perpolitikan di Majapahit diatur oleh Demak, baikurusan yang menyangkut dalam negeri maupun luar negeri. Hal tersebut sangat berpengaruh dalam kehidupan kerajaan Majapahit, sehingga Majapahit mengalami kehancuran akibat intervensi yang berlebihan dari Demak.
Kajian ini sangat menarik bagi penulis untuk mengkaji dan meneliti secara dalam terhadap proses keruntuhan Majapahit yang diakibatkan oleh peranan Demak. Bagaimanakah peran Demak secara berlebihan terhadap kelangsungan hidup Majapahit periode 1478-1527 M.
Ada dua faktor yang menyebabkan Majapahit semakin menuju pada jurang kehancuran. Faktor tersebut adalah faktor intern, yaitu lemahnya Majapahit yang disebabkan dari dalam, antara lain adalah perebutan kekuasaan, semakin lemahnya perekonomian dan lepasnya beberapa daerah yang dahulu di bawah naungan Majapahit. Sedangkan pada faktor ekstern adalah hilangnya sumber penghasilan, akibat direbutnya beberapa bandar dagang yang dimiliki Majapahit, yang berakibat pada semakin lemahnya perekonomian di Majapahit. Selain itu juga akibat intervensi Demak terhadap Majapahit yang semakin mendukung terpojoknya kerajaan tersebut pada jurang kehancuran.
Seiring dengan kemerosotan Majapahit, Demak yang dahulunya merupakan sebuah desa kecil yang bernama Glagah Wangi, dapat naik dan menggantikan posisi Majapahit sebagai kerajaan yang dapat mendominasi di segala sektor di Nusantara. Islam yang berkembang di Demak atas usaha dari Raden Patah tersebut, dalam waktu yang singkat (yaitu tiga tahun), dapat menjadi sebuah kekuatan yang dapat menyingkirkan pengaruh Hindhu-Budha. Dalam waktu yang singkat pula Raden Patah beserta pengikutnya dapat mengusai kota Semarang, yang berlanjut pada dikuasainya kota Majapahit (1478 M) dan seluruh pemerintahannya.
Pada tahun 1517 M, Demak kembali melakukan penyerangan yang berhasil memutus hubungan antara Majapahit dengan Portugis. Sedangkan pada penyerangan yang terakhir (1527 M), Demak berhasil menghilangkan Majapahit dari bumi Nusantara, sebab Majapahit kembali melakukan hubungan dengan Portugis.
MAS'UD ROFIQI - NIM. 01120626 2012-06-26T11:33:17Z2016-12-20T06:26:02Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/1543This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/15432012-06-26T11:33:17ZFILSAFAT SEJARAH MENURUT ALI SYARI'ATI (1933-1977) ABSTRAK Islam menggambarkan sebuah pandangan dunia yang mencakup seluruh segi kehidupan, selain memperhatikan masalah-masalah yang dihadapi umat manusia, Islam juga memberikan bimbingan dalam masalah sosial. Menurut Ali Syari'ati, Islam merupakan sebuah Mazhab pemikiran yang menjamin kehidupan manusia baik individu maupun kelompok, dan misinya adalah membimbing masa depan umat manusia. Islam adalah sistem nilai dan ajaran yang bersifat Illahiyah dan karena itu bersifat transenden, tetapi dari sudut pandang sosiologis ia merupakan fenomena peradaban, kultural dan realitas sosial yang tidak sekedar sejumlah doktrin yang bersifat menjamin dan menjagat raya, tetapi juga mengejawani bahkan institusi-institusi sosial yang dipengaruhi oleh situasi dinamika dunia dan waktu.
Ali Syari'ati adalah salah satu tokoh yang secara intelektual dididik dan dibesarkan dalam tradisi keagamaan yang kuat, dan dunia keilmuan yang kritis. Ali Syari'ati dengan gagasan pemikirannya tentang Islam dan pembaharuan telah menjadi salah satu alternatif bagi pemikiran sisoal, politik kontemporer. Hal ini dibuktikannya dengan sebagai seorang ideologi dan orator, serta penulis terutama tulisannya mengenai filsafat sejarah. Ali Syari'ati sangat tertarik dengan Filsafat Sejarah, dalam karyanya yang berjudul Tarikhi Takammuli Falsafi (Sejarah Perkembangan Filsafat), ia berupaya membedakan antara Islam dengan mazhab Filsafat, politik, dan sosial ekonomi atau dikenal dengan nama Maktab-evasetheh-e Islam (Jalan Tengah Islam). Islam adalah Median School atau Mazhab pertengahan antara sosialisme dan kapitalisme. Hal ini sangat menarik mengingat filsafat sejarah yang berkembang pada saat itu mencampur adukkan antara Islam dengan Mazhab yang ada, sehingga Ali Syari'ati berusaha membuka wawasan masyarakat, dengan pemikiran Filsafat Sejarah Ali Syari'ati pada nantinya akan mempengaruhi perkembangan Filsafat Sejarah sampai saat ini.
Permasalahan dalam penelitian ini dibatasi pada masalah-masalah yang berkenaan dengan pemikiran Ali Syari'ati tentang Filsafat Sejarah yang terimplementasikan dalam perkembangan Filsafat Sejarah masa kini serta ideologi yang melatarbelakanginya.
Teori yang akan dipakai dala penelitian ini adalah teori perubahan ide yang dikembangkan oleh William Watt yang menyatakan bahwa timbulnya ide karena peristiwa yang mendahuluinya, sedangkan ide itu sendiri akan melahirkan ide lagi.
Sedangkan penelitian ini menggunakan pendekatan perilaku (Behavioral Approach). Teori ini berhubungan dengan penelitian tingkah laku manusia. Teori ini tidak hanya tertuu pada peristiwanya, tetapi tertuju pada perilaku sejarah dalam situasi riil serta bagaimana perilaku menafsirkan situasi yang dihadapi. Penafsiran tersebut memunculkan suatu tindakan yang menimbulkkan suatu kejadian dan khayalan maupun yang tidak diharapkan. Ali Syari'ati berupaya menginterpretasikan situasi riil, yang menjadi rangsangan dari sikapnya, sehingga mampu mengimplemetasikan pemikiran Filsafat Sejarahnya.
NUR MUALIM - NIM. 01120684 2012-06-26T11:40:49Z2016-12-20T04:01:01Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/1533This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/15332012-06-26T11:40:49ZK.H.SHOLEH AMIN DAN PERANNYA DALAMPERKEMBANGAN ISLAM DI KECAMATAN TAYU KABUPATEN PATI (1920 - 1941 M.) ABSTRAK Setiap kehidupan Masyarakat selalu memiliki kecenderungan akan munculnya orang-orang yang memilki pengaruh terhadapa orang lain. Mereka adalah pemimpin yang dengan segala bentuknya merupakan simbol dan perwujudan dari sistem nilai dan sistem sosial Kyai adalah seseorang yang memperoleh pengakuan dari masyarakat atas pengetahuannya yang luas dalam bidang agama, baik kyai yang memimpin pesantren maupun yang tidak memimpin pesantren. Peran kyai yang memimpin pesantren merupakan inti manajemen sebuah pesantren, sebab kepemimpinan merupakan daya penggerak dari sumber manusia maupun alat.
K.H. Sholeh amin lahir di desa tayu wetan pada tahun 1881, tokoh yang sangat berpengaruh dan berperan dalam pendidikan, bidang sosial kemasyarakatan. Ia merintis berdirinya sebuah lembaga pendidikan formal dan non formal bagi masyarakat kecamatan tayu kabupaten pati. Peran K.H. Sholeh amin dapat dilihat bidang pendidikan, ia mendirikan pesantren Nahdlatut thalibin dan madrasah Miftahul Huda yang berlokasi di desa Tayu Wetan kecamatan tayu kabupaten pati. Dalam bidang sosial kemasyarakatan ia mengadakan pengajian-pengajian keislaman yang berhaluan ahlu sunnah wal jama'ah. Ia meninggal pada tahun 1941.
Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan biografi dengan menelusuri kenyataan-kenyataan hidup dari subjek yang sedang di teliti dan faktor-faktor yang mempengaruhi kehidupan tokoh untuk merekonstruksi perjalanan hidup tokoh. Selain menggunakan pendekatan biografi penelitian ini juga menggunakan pendekatan sosiologis yaitu dengan memperhatikan peristiwa-peristiwa yang prosesnya dalam masyarakat yang menimbulkan hubungan antar manusia dalam situasi dan kondisi yang berbeda untuk mengungkap keadaan masyarakat.
HALIMATUS SA'DIYAH - NIM. 021211082012-06-26T11:48:29Z2016-12-20T04:01:36Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/1535This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/15352012-06-26T11:48:29ZPERJUANGAN JENDERAL SOEDIRMAN PADA MASA REVOLUSI FISIK (1945-1950) ABSTRAK Soedirman merupakan pejuang kemerdekaan yang mengobarkan semangat jihad, perlawanan terhadap kezaliman, membekali dirinya dengan pemahaman dan pengetahuan agama yang dalam. Sebelum terjun dalam dunia militer dia aktif dalam aksi-aksi perlawanan dalam mempertahankan kemerdekaan RI. Lahir dari keluarga yang sederhana, di desa Bodaskarangjati, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, pada tanggal 24 Januari 1916. Ayahnya seorang mandor tebu pada pabrik gula di Purwokerto. Sejak bayi Soedirman diangkat anak oleh asisten wedana (camat) di Rembang, yaitu R. Tjokrosunaryo.
Ketika dia menjadi seorang panglima, Soedirman adalah seorang yang ditakuti lawan dan disegani kawan. Memiliki semangat berdakwah yang tinggi, dan lebih banyak menekankan pada ajaran tauhid, kesadaran beragama serta kesadaran berbangsa. Sebagai bagian dari hamba-hamba Allah, kepedulian akan kemurnian nilai-nilai ketauhidan terhadap masyarakat Jawa yang masih sangat kental dipengaruhi oleh adat istiadat. Menjadi suatu kegiatan dakwah yang memiliki nilai strategis, karena dengan cara itulah semangat jihad untuk melakukan perlawanan dalam diri rakyat dapat terpompa dan terpelihara. Termasuk bagi seorang Soedirman, yang memulainya dari kepanduan Hizbul Wathon bagian dari Muhammadiyah. Bakat dan jiwa perjuangannya mulai terlihat sejak dari kepanduan Hizbul Wathon ini, juga peningkatan kemampuan fisik danpenggemblengan mental. Bakat kemiliterannya ditempa melalui organisasi berbasis dakwah. Bahkan semangatnya berjihad telah mengantarkan Soedirman menjadi orang nomor satu dalam sejarah militer Indonesia.
Seorang jenderal yang shalih, senantiasa memanfaatkan momentum perjuangan dalam rangka menegakkan kemerdekaan sebagai bagian dari wujud pelaksanaan jihad fi sabilillah. Semangat jihad ini dia tanamkan kepada para anak buahnya, bahwa mereka yang gugur dalam perang ini tidaklah mati sia-sia, melainkan gugur sebagai syuhada. Untuk menyebarluaskan semangat perjuangan jihad tersebut, baik di kalangan tentara atau pun seluruh rakyat Indonesia, Jenderal besar ini menyebarkan pamflet atau selebaran yang berisikan seruan kepada seluruh rakyat dan tentara untuk terus berjuang melawan Belanda dengan mengutip salah satu hadits Nabi. Insjafilah Barangsiapa mati, padahal (sewaktoe hidoepnja) beloem pernah toeroet berperang (membela keadilan) bahkan hatinya berhasrat perang poen tidak, maka matilah dia di atas tjabang kemoenafekan.
Perang gerilya yang dilakukan, tak luput dari mencontoh apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Sewaktu berada di desa Karangnongko, setelahm sebelumnya menetap di desa Sukarame, Panglima Besar Soedirman yang memiliki naluri seorang pejuang, menganggap desa tersebut tidak aman bagi keselamatan pasukannya. Maka beliau pun mengambil keputusan untuk meninggalkan desa dengan taktik penyamaran, sebagaimana yang dilakukan Rasulullah besarta para sahabatnya saat akan berhijrah. Setelah shalat subuh, Soedirman dengan beberapa pengawal pergi menuju hutan. Mantel yang biasa dipakai olehnya ditinggal dalam rumah di desa itu, termasuk beberapa anggota rombongan yang terdiri dari Suparjo Rustam dan Heru Kesser. Pagi harinya Heru Kesser segera mengenakan mantel tersebut dan bersama Suparjo Rustam berjalan menuju arah selatan, sampai pada sebuah rumah barulah mantel tersebut dilepas dan mereka berdua bersama beberapa orang secara hati-hati pergi menyusul Soedirman. Pada sore harinya pasukan Belanda dengan pesawat pemburunya mengebom rumah yang sempat disinggahi Heru Kesser dan Suparjo Rustam, ini membuktikan betapa seorang Panglima yang menguasai taktik dan sejarah perjuangan dalam Islam.
KHAMIDAH - NIM. 03121506 2012-06-27T09:45:35Z2016-12-20T06:44:20Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/1542This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/15422012-06-27T09:45:35ZMOHAMMAD NATSIR DAN UPAYA MENGATASI KRISTENISASI DI INDONESIA ABSTRAK Pita sejarah mengenal sosok Mohammad Natsir sebagai tokoh yang mempunyai peranan penting. Perjalanan hidupnya dipenuhi dengan berbagai kegiatan terutama bagi pembangunan agama Islam di Indonesia. Salah satu peran penting Mohammad Natsir dapat dibuktikan dalam usahanya mengatasi kristenisasi di Indonesia yang dianggap sudah melampaui batas-batas kewajaran dalam pelaksanaannya.
Kegiatan tersebut antara lain mengintervensi keimanan umat Islam, misalnya dengan mendatangi rumah-rumah orang muslim, membangun gereja di kawasan umat Islam atau dengan memanfaatkan ketidakmampuan umat Islam, terutama di bidang ekonomi, seperti membagikan sejumlah materi yang menjadi kebutuhan hidup umat Islam yang tidak lebih dari 'Peaceful Aggression', atau penyerangan yang bersemboyan kedamaian.
Selain itu terdapat kegiatan misionaris agresif lainnya yang terlihat dalam bentuk diakonia. Diakonia adalah penyalahgunaan pelayanan masyarakat dan sikap tidak toleran orang-orang Kristen terhadap umat Islam di Indonesia, misalnya dalam bentuk penawaran pekerjaan, perbaikan rumah, pelayanan kesehatan, kursus latihan gratis dan kegiatan lainnya.
Upaya yang dilakukan oleh Mohammad Natsir dalam mengatasi masalah kristenisasi ini dituangkan dalam 3 usaha, yaitu : 1. Pengiriman Tenaga Da'i Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia ke daerah daerah yang sering dijadikan target kristenisasi. 2. Pengiriman Surat kepada Paus Yohanes Paulus II. 3. Mengajukan Modus Vivendi sebagai jalan keluar. Adapun penulisan skripsi ini menggunakan pendekatan perilaku, yaitu perjuangan Mohammad Natsir dalam mengembangkan Islam di Indonesia tidak hanya dipengaruhi faktor politik tetapi juga dipengaruhi faktor sosial budaya. Dengan pendekatan ini, maka kajian dalam penelitian ini tidak hanya akan tertuju pada pelaku sejarah dalam situasi ril, bagaimana pelaku menafsirkan situasi yang dihadapi, sehingga dari penafsiran tersebut muncul suatu tindakan yang menimbulkan suatu kejadian yang selanjutnya akan timbul konsekuensi dari tindakan pelaku sejarah.
NOVI SETYANI - NIM. 02121094 2012-06-27T10:00:53Z2016-12-20T06:45:15Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/1544This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/15442012-06-27T10:00:53ZRESPONS MUHAMMADIYAH TERHADAP KEAGAMAAN DAN BUDAYA LOKAL DI DESA KUBANGKONDANG KECAMATAN CISATA KABUPATEN PANDEGELANG BANTEN (1965-1970 M) ABSTRAK Muhammadiyah merupakan gerakan pembaharuan dalam Islam yang terbesar di Indonesia. Organisasi ini didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H yang bertepatan dengan tanggal 18 November 1912 M. Gerakan ini diberi nama Muhammadiyah dengan harapan agar pengikutnya benar-benar bisa mengikuti jejak Nabi Muhammad SAW.
Adapun maksud dan tujuan didirikannya adalah untuk menegakkan dan menjujung tinggi Agama Islam, sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Gerakan Muhammadiyah merupakan wujud ide dan gagasan pemikiran dari KH. Ahmad Dahlan di dalam realita kehidupan umat manusia.
Terdapat dua ide atau gagasannya, pertama, menyangkut konsepnya tentang realita umat yang mencerminkan kondisi perpecahan, kebodohan, dan kemiskinan. Yang kedua, berkaitan dengan usaha pembebasan umat dari ketiga kondisi tersebut. Jalan pembebas ditempuh dengan menggunakan pengembangan akal dan ilmu. Menurut KH. Ahmad Dahlan, umat Islam harus mengembangkan kecerdasannya (akal sehat) melalui pendidikan, khususnya logika, dan berusaha memahami dan mengamalkan ajaran Islam berdasarkan akal sehat tersebut.
Dari sejak awal gagasan yang digulirkan Muhammadiyah hingga amal usahanya di tengah-tengah masyarakat, cukup beragam reaksi dan respons terhadap Muhammadiyah. Ada yang menerima dengan mengikuti kegiatankegiatannya dan mengikuti keyakinan akan kepahaman kepercayaannya. Ada juga yang sudah tahu akan pemahaman dan keyakinan Muhammadiyah tetapi masih berpegang kepada kepercayaan lokal. Juga ada yang membiarkan gerakan-gerakan Muhammadiyah atau menolak dengan tidak mengikuti keyakinan dan dan kepercayaan serta kegiatan yang dilakukan oleh jamaah Muhammadiyah.
Realitas keagamaan masyarakat Kubangkondang disoroti tajam oleh Muhammadiyah sebagai ritual yang penuh penyimpangan. Semua bentuk kepercayaan terhadap keris, batu akik dan pemujaan terhadap roh nenek moyang dianggap syirik. Selamatan dalam tradisi petani maupun tradisi santri dianggap bid'ah, walaupun selamatan itu dimaksudkan untuk mendoakan orang yang meninggal, karena Nabi tidak pernah mengajarkan hal yang demikian.
Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah dalam merespons kesenian lokal di Nusantara ini, selalu mendasari pandangannya pada acuan normatif yang tercantum dalam al-Quran dan as-Sunnah. Meluasnya dakwah Muhammadiyah melampaui batas ruang dan waktu meniscayakan proses interaksi sosial dalam relasi-relasi lahir sebagai proses dialektis dalam interaksi Muhammadiyah dengan konteks kultural lokal. Sebagai sejarah panjang Muhammadiyah, menurut sementara anggapan memang banyak didominasi oleh warna purifikasi, sehingga melahirkan ketegangan dengan konteks kultural lokal
NURFAIDAH - NIM. 01120580 2012-06-27T10:34:05Z2022-04-28T03:42:08Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/1546This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/15462012-06-27T10:34:05ZKI AGENG MAKUKUHAN DAN AWAL ISLAMISASI DI DAERAH KEDU (TEMANGGUNG) 1471-1497 ABSTRAK Istilah Wali dalam masyarakat Jawa merupakan sebuah nama yang sangat terkenal dan mempunyai arti khusus, yakni digunakan untuk menyebut nama nama tokoh yang dipandang sebagai awal mula penyiar agama Islam di Tanah Jawa.
Mengenai asal-usul para Wali tersebut sampai sekarang masih belum terdapat keseragaman pendapat. Namun, dapat ditarik kesimpulan bahwa para Wali yang ada di negara kita mempunyai darah campuran dari bangsa Arab, Cina, dan Jawa. Ketidakjelasan asal-usul para Wali nampak pada Ki Ageng Makukuhan yang disebut juga dengan nama Syeikh Maulana Taqwim, Jaka Teguh dan Maha Punggung. Di samping itu, ia juga dinamakan Sunan Kedu karena telah menyebarkan agama Islam di Daerah Kedu yang sekarang bertempat di Desa Kedu, Kecamatan Kedu, Kabupaten Temanggung.
Ki Ageng Makukuhan adalah seorang wali yang ikut tergabung dalam anggota Dewan Santri sanga generasi penerus Walisanga. Ia adalah seorang wali yang hidup sejaman dengan Walisanga yang memegang peranan penting dalam menyebarkan agama Islam di Daerah Kedu (Temanggung). Salah satu bukti ia pernah berguru kepada Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga. Ia telah merubah masyarakat Kedu yang semula masih menganut kepercayaan Hindu dan Budha hingga menjadi masyarakat yang beragama Islam. Berkat Ki Ageng Makukuhan seluruh masyarakat Temanggung dan sekitarnya sekarang menjadi makmur khususnya dalam bidang pertanian.
ROKHMAT - NIM. 01120600 2012-06-27T14:02:06Z2016-12-20T04:01:19Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/1534This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/15342012-06-27T14:02:06ZMASYARAKAT ISLAM KEBONSARI MADIUN DI TENGAH FAHAM KOMUNIS TAHUN 1948-1965 m ABSTRAK Idiologi Komunis bersifat atheis yaitu tidak mengenal adanya kehidupan beragama atau bertuhan. Pandangan ini bersifat matrealisme dengan sistem totaliter, di mana kendali secara ketat berada ditangan pemerintah. PKI memperjuangkan Idiologi komunismenya menggunakan jalan kekerasan dan mengalalkan segala cara, selama hal tersebut dapat mengarahkan pada pencapaian tujuan. Jalan kekerasan, konfrontatif dan tak kenal kompromi dikenal sebagai salah satu ciri khas gerakan komunis.
Oleh karena itu bertolak belakang dengan masyarakat Indonesia yang beradab, berbudaya dan memiliki sopan santun yang tinggi. Demikian pula dengan keyakinan atheisnya bertentangan sema sekali dengan masyarakat Indonesia yang beriman kepada Tuhan sang pencipta. Salah satunya adalah ajaran Islam yang bertumpu pada ajaran tauhid dan tasawuf. Selain itu Islam sebagai suatu sistem yang sudah lama memberikan himpunan jawaban terhadap masalah masalah yang dihadapi manusia dan sebagai suatu imam yang di dalamnya memberikan kepada manusia khazanah baru yang memungkinkan manusia dapat menjawabnya sendiri.
Secara aktif dan agresif PKI merebut kekuasaan, sehingga umat Islam di Kebonsari mengetahui hal itu berusaha melawan. Umat islam di Kebonsari ketika mulai mengetahui tindakan PKI yang tidak sesuai dengan perikemanusiaan itu melawan. Bagi umat islam musuh yang paling dibenci adalah kebatilan. Umat islam dalam mengobarkan semangat perjuangannya selalu menggunakan semangat jihad yaitu berjuang di jalan Allah untuk menegakkan agama dan menumpas tindakan yang bathil.
Adanya konflik antara komunis dengan masyarakat Islam menimbulkan pemerontakan yang berdampak antara lain: terdapat kekacauan ekonomi yaitu terjadi inflasi dan krisis produksi pangan sulit dicari dan harga melambung tinggi. Aksi sabotase ditujukan pada sarana produksi dan transportasi. Hal ini antara lain ditandai dengan pemogokan, perusakan dan penguasaan pabrik gula dan beberapa kali sabotase alat transportasi kereta api.
Adanya PKI mengakibatkan rakyat mengorbankan waktunya untuk membantu kelancaran perjuangan melawan PKI dan rakyat tidak dapat melaksanakan pekerjaan karena adanya situasi yang tidak menentu saat itu. Kondisi inilah yang menyebabkan perekonomian masyarakat serba sulit, mereka hidup serba asal-asalan karena perasaan khawatir akan keselamatan jiwanya yang terancam.
PKI yang secara aktif dan agresif berusaha mempengaruhi masyarakat untuk menjadi anggota PKI, menimbulkan ketegangan dalam bidang politik. Hal ini dikarenakan dalam mewujukan cita-cita menjadikan komunis sebagai Idiologi Negara, PKI menggunakan segala cara. Adapun metode yang akan digunakan adalah metode Historis yaitu suatu proses menguji dan menganalisis secara kritis terhadap rekaman dan peninggalan masa lampau. Metode hiatoris ini bertumpu pada empat langkah yaitu Heuristik, kritik Sumber, Interpretasi dan historiografi. Penelitian ini menggunakan pendekatan antropologis dan teori yang akan digunakan adalah teori konflik yang berakar dari Karl Marx.
ISTIQOMAH - NIM. 01120602 2012-06-27T14:17:58Z2022-07-12T07:26:34Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/1541This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/15412012-06-27T14:17:58ZFATIMA MERNISSI (BIOGRAFI INTELEKTUAL SEORANG FEMINIS MUSLIM) ABSTRAK Sepanjang sejarahnya, hubungan antara laki-laki dan perempuan selalu menyimpan misteri dan kekuatan yang tak terduga. Misalnya saja, sejarah dibangunnya Taj Mahal di India yang amat megah dan monumental dan berbagai peperangan yang menelan jutaan jiwa kesemuanya itu tak jarang bermula dari dinamika gejolak, dan misteri yang muncul dari kompleksitas relasi antara lakilaki dan perempuan. Feminisme adalah merupakan gerakan emansipasi wanita.
Gerakan ini pada awalnya muncul sekitar akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 di Amerika yang difokuskan untuk mendapatkan the right to vote. Fatima Mernissi adalah salah seorang tokoh feminis Muslim kelahiran Maroko pada tahun 1940, ia mengkritisi sebagian hadis, terutama sanad dan matannya yang dirasa merugikan kaum perempuan. Dari sikap kritisnya itu, banyak lahir karyanya tentang kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Tokoh ini terkenal dengan pendapatnya 'jika hak-hak wanita merupakan masalah bagi sebagian kaum lelaki modern. Hal itu bukan karena al-Qur'an atau pun Nabi, bukan pula karena tradisi Islam melainkan karena hak-hak tersebut bertentangan dengan kepentingan kaum elite lelaki.'
Untuk mempermudah penulisan, penelitian ini akan menggunakan pendekatan biografi yang membahas kehidupan tokoh, terutama yang berhubungan dengan pemikirannya. Dengan pendekatan ini diharapkan bisa memaparkan dengan lebih jelas hal-hal apa saja yang mempengaruhi, minimal mengilhami lahirnya pemikirannya tentang kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Penelitian ini juga akan dibantu dengan teori panggung yang dikemukakan oleh Erving Goffman.
NI'MATUL HUSNA - NIM. 03121512 2012-06-27T14:30:58Z2016-12-20T07:08:35Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/1547This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/15472012-06-27T14:30:58ZPOLEMIK AGAMA DAN NEGARA (SUDI KOMPARATIF SOEKARNO VERSUS M NATSIR TENTANG IDEOLOGI NEGARA) ABSTRAK Awal munculnya Polemik agama dan Negara antara Soekarno dan Natsir ketika munculnya artikel Soekarno 'apa sebabnya Turki memisahkan agama dari Negara pada tahun 1940-an'. Artikel tersebut hanya untuk memenuhi permintaan pembaca Panji Islam dan hanya sebagai bahan pertimbangan saja tentang baik dan buruknya agama dipisahkan dari Negara. Soekarno juga bersikap netral tidak memihak atau menolak ide pemikiran atau kebijakan politik Kemal Attaturk yang memisahkan agama dari Negara Turki.
Natsir membaca pemikiran Soekarno tentang arah dan kebijakan yang dibuatnya yaitu supaya makmur dan untuk kepentingan bersama maka agama harus dipisahkan dari Negara. Natsir menanggapi pernyataan Soekarno. Natsir menganggap pernyataan yang dilontarkan oleh Soekarno adalah bentuk pemihakan terhadap ide pemikiran Kemal yaitu agama harus dipisahkan dari Negara. Bagi Natsir, tidak mungkin orang sekaliber Soekarno tidak mampu mengemukakan pendiriannya sendiri. Setiap orang bisa membaca yang tersirat dan tersurat,dan sudah dapat mengambil konklusi. Bagaimnakah pendirian Soekarno dan Natsir yang sebenarnya tentang agama maupun Negara. Masalah ini menarik dan penting untuk dikaji lebih dalam karna ideologi Negara yang sekarang dipakai yaitu Pancasila dianggap belum mencukupi memenuhi dasar hukum untuk masyarakat Indonesia. Benarkah Natsir benar-benar tidak sepakat jika agama dipisahkan dari negara.
SAMIN - NIM. 02121092 2012-12-14T15:23:55Z2021-10-19T11:56:10Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/2708This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/27082012-12-14T15:23:55ZKIPRAH UMMU SALAMAH DALAM MEMPERJUANGKAN AGAMA ISLAM (615-681 M)Ummu Salamah atau Hindun lahir di tengah mayarakat jahiliyah. Ia adalah putri dari Abu Umayyah bin Maghfirah bin Abdullah bin Umar bin al-Makzum dan Atikah binti Rabiah. Suami pertamanya bernama Abdullah bin Abdul Asad (Abu Salamah). Keduanya masuk Islam pada masa awal Islam. Abu Salamah adalah seorang sahabat yang ikut dalam berbagai peperangan dan ia gugur dalam membela Islam. Tidak lama setelah Abu salamah meninggal, Ummu Salamah menikah dengan Rasulullah dan mendapat gelar Ummul Mukminin.
Kiprah Ummu Salamah dalam memNIM.: 01120618 Sri Murwanti2023-10-27T06:54:17Z2023-10-27T06:58:01Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/796This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/7962023-10-27T06:54:17ZPERJUANGAN PANGERAN ANTASARI MELAWAN BELANDA DI DALAM PERANG BANJAR 1859 - 1862Perang Banjar merupakan wujud perlawanan umat Muslim Banjar terhadap Belanda. Perang ini merupakan satu cetusan di dalam rangkaian perjuangan bangsa Indonesia menolak penjajahan dari bumi Nusantara. Perang Banjar ini merupakan salah satu mata rantai sejarah perang kemerdekaan, utamanya pada abad ke-19, seperti peristiwa-peristiwa yang bersamaan khususnya di daerah-daerah lain di Indonesia, misalnya di Minangkabau dengan Perang Paderinya, di Jawa dengan Perang Diponegoro, Perang Bali, Perang Aceh, Perang Palembang dan lain-lain. Pada awal abad ke-17 bangsa Belanda datang ke Banjarmasin, hal ini dikarenakan melimpah ruahnya penghasilan lada dan batu bara di Banjarmasin. Sejak itulah terjadi hubungan dagang antara orang Banjar dengan Belanda. Pada perkembangan selanjutnya Belanda memonopoli perdagangan lada bahkan ingin menguasai wilayah kerajaan Banjar dengan politik devide et impera. Perang Banjar juga dilatarbelakangi oleh intervensi Belanda, hal ini tampak dalam pengangkatan Belanda terhadap Tamjidillah sebagai Sultan Banjar pada tahun 1857. Pengangkatan Tamjidillah menjadi Sultan Banjar ini telah melanggar surat wasiat yang dibuat oleh Sultan Adam yang menghendaki Pangeran Hidayatullah untuk menjadi Sultan ketika ia nanti wafat. Setelah Tamjidillah diangkat menjadi Sultan, maka timbul kericuhan di wilayah kerajaan Banjar. Kericuhan itu merupakan reaksi masyarakat Banjar yang tidak suka akan pengangkatan Tamjidillah menjadi Sultan. Pada tanggal 28 April 1859 Pangeran Antasari memimpin rakyat Banjar untuk melakukan penyerangan terhadap Belanda di benteng Oranye Nassau, sejak saat itulah Perang Banjar meletus. Dalam Perang Banjar ini Pangeran Antasari tampil ke gelanggang perjuangan bahu membahu dengan pejuang Banjar lainnya untuk menyelamatkan kerajaan Banjar dari tangan Belanda. Yang menarik, Pangeran Antasari mengucapkan sumpah Haram Manyarah Waja Sampai Kaputing yang berarti bahwa perjuangan dipandang haram kalau menyerah kepada Belanda, oleh karena itu perjuangan harus diteruskan sampai tercapai apa yang dicita-citakan yaitu tanah Banjar bebas dari penjajahan. Sumpah tersebut, bagi Pangeran Antasari dan pengikutnya merupakan suatu ikrar yang harus ditaati. Pangeran Antasari juga sempat diangkat menjadi Sultan Banjar pada tanggal 14 Maret 1862 dengan gelar Panembahan Kahlifatul Mu'minin. Meskipun pada tahun tersebut Pangeran Antasari meninggal dunia, tapi perjuangannya tetap dilanjutkan oleh anaknya yang bernama Pangeran Seman sampai perang ini berakhir.NIM. 03121447 Basuki Rachmad2023-10-27T07:01:03Z2023-10-27T07:03:55Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/792This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/7922023-10-27T07:01:03ZPERAN MIAI (MAJELIS ISLAM A'LA INDONESIA) DALAM BIDANG KEAGAMAAN DI INDONESIA (1937-1943 M)Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI) dibantu oleh umat Islam dilatarbelakangi dengan kebijakan Belanda membentuk Undang-Undang perkawinan pada tahun 1937. Undang-Undang tersebut dianggap oleh umat Islam bertentangan dengan umat Syari'at islam, sehingga Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah yang mewakili umat Islamberinisiatif mendirikan MIAI, sehingga pada tahun 1937 didirikanlah Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI). Kongres al-Islam pertama yang di selenggarakan MIAI pada tanggal 26 Februari-1 Maret 1938 di Surabaya. Pada kongres pertama ini membahas tentang Undang-Undang Perkawinan yang diajukan pemerintah. Masalah ini dibicarakan dalam kongres kesatu antara lain: soal hak waris umat Islam, raad agama, permulaan bulan puasa, dan perbaikan perjalanan haji. Kongres ke-2 lebih banyak mengulang materi kongres pertama. Dengan penekanan pada masalah perkawinan dan artikel yang berisi tentang penghinaan terhadap umat Islam. Untuk masalah penghinaan tersebut, kongres membentuk komisi yang diketuai Persatuan Islam Indonesia (PERSIS), dengan maksud untuk melakukan penelitian terhadap masalah tersebut dan mempersiapkan pembelaannya. Kongres ke-3 di selenggarakan di Solo pada tanggal 7-8 Juli 1941. Pada kongres ini, materi yang dimusyawarahkan tentang perjalanan haji, tempat shalat di Kereta Api, penerbitan surat kabar MIAI, Fonds MIAI, zakat fitrah, raad agama, dan tranfusi darah. Sebagai fedarasi yang didirikan dengan tujuan untuk mempersatukan umat Islam dan konflik-konflik keagamaan. Kegiatan keagamaan MIAI mulai nampak sejak kekuasaan kolonel Belanda digeser oleh Jepang. Hal ini tidak lepas dari politik Jepang terhadap umat Islam yang berpolitik.Peran MIAI cukup besar dalam mempersatukan umat Islam di dalam suatu komunitas umat yang berlandaskan dengan al-Qur'an dan sunnah, sehingga perbedaan yang timbul pad asaat itu mengenai hal-hal keagamaan dapat diselesaikan dengan baik tanpa adanya perdebatan yang panjang antara umat Islam sendiri., sehingga umat Islam tidak terpecah-belah pada saat penjajah melakukan penindasan terhadap mereka. Pada tahun 1943 MIAI dibubarkan, karena penjajah yang berkuasa pada saat itu menganggap MIAI sudah tidak relevan dengan kebijakan penjajah. Oleh sebab itu dibuat kebijakan baru yang bisa mengakomodasi kebijakan penjajah terhadap umat Islam. Untuk merealisasikannya, maka diganti dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI) sebagai organisasi baru yang menjadi salah satu tempat aspirasi umat Islam. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan Historis untuk mengkaji Peran Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI) Dalam Bidang Keagamaan.NIM.: 03121482 Yunik Indrawati2024-02-28T06:49:47Z2024-02-28T06:56:24Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/2242This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/22422024-02-28T06:49:47ZKONTRIBUSI SITI HAJJINAH MAWARDI PADA PERGERAKAN WANITA DI INDONESIA (1917-1991)Salah satu tokoh wanita Islam yang berperan dalam perkembangan pergerakan wanita di Indonesia adalah Siti Hajjinah Mawardi. Ia dilahirkan di Kauman, Yogyakarta pada tahun 1906 dan dibesarkan di lingkungan yang taat beribadah. Pada usia belasan tahun Siti Hajjinah bergabung dengan perkumpulan pengajian Sopo Tresno yang diadakan oleh Kyai Ahmad Dahlan dan Nyai Ahmad Dahlan. Tahun 1917, ketika Sopo Tresno berganti nama menjadi Ãisyiyah, Hajjinah juga bergabung di Aisyiyah. Dari saat itulah Hajjinah aktif di Aisyiyah sampai akhir hayatnya. Pada tahun 1928, Hajjinah Mawardi diutus oleh Aisyiyah untuk menghadiri konggres wanita Indonesia pertama di Yogyakarta. Ia bersama-sama dengan utusan pergerakan wanita lain membentuk Perikatan Perkumpulan Istri Indonesia (PPII) Objek penelitian ini adalah Siti Hajjinah Mawardi dari tahun 1971-1991.
Penulis memilih tahun 1917 sebagai awal penelitian karena pada tahun tersebut Siti Hajjinah mulai aktif di organisasi pergerakan wanita dan tahun 1991 sebagai akhir penelitian karena pada tahun tersebut Hajjinah Mawardi meninggal dunia. Untuk memperoleh deskripsi yang jelas maka berikut hal-hal yang hendak ditelusuri dengan dipandu pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut; 1. Bagaimana latar belakang Hajjinah Mawardi? 2. Bagaimana kontribusi peran Hajjinah Mawardi pada Aisyiyah? 3. Bagaimana kontribusi/peran Hajjinah Mawardi pada pergerakan wanita di Indonesia?
Dalam penelitian ini digunakan pendekatan gender. Gender adalah perbedaan laki-laki dan wanita yang dikonstruksikan secara sosial dan kultural. Gender mempunyai sifat sosial yang diperoleh dari pembiasaan atau pembelajaran masyarakat sehingga terpengaruh oleh waktu, tempat dan kondisi sosial Dengan segala perjuangan Hajjinah, pada usianya memasuki tahun ke-74, Hajjinah dipanggil menghadap Ibu Tien Soeharto di Jakarta, akan tetapi pertemuan dengan ibu negara yang dijadwalkan pada tanggal 19 Desember 1985 itu tidak dapat dihadirinya. Selanjutnya presiden dan Ibu Tien Soeharto menghadiahinya foto kepala negara beserta Ibu yang ditandatangani sendiri oleh presiden Soeharto, dalam foto itu oleh presiden Soeharto dituliskan “salam dan selamat untuk Ibu H.Mawardi. Foto hadiah kepada negara dan ibu negara merupakan penghargaan yang diterimanya atas jasa-jasanya sebagai salah seorang pemrakarsa sekaligus peserta kongres wanita pertama Indonesia. Dengan demikian sewajarnya apabila Hajjinah dapat dijuluki sebagai “Muslimah Pejuang Tiga Zaman.NIM. 01120637 LELY SETYA RINI