Institutional Repository UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta: No conditions. Results ordered -Date Deposited. 2024-03-29T10:13:16ZEPrintshttp://digilib.uin-suka.ac.id/images/sitelogo.pnghttps://digilib.uin-suka.ac.id/2012-05-05T13:44:40Z2016-10-06T04:10:25Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/925This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/9252012-05-05T13:44:40ZPENAFSIRAN DIN AL-HAQQ DALAM KITAB TAFSIR JAMI AL-BAYAN AN TA'WIL AY AL-QUR'AN ABSTRAK Agama merupakan fenomena sosial yang tidak dapat lepas dari kehidupan manusia. Walaupun manusia dapat menangguhkannya sekian lama bahkan sampai menjelang kematian, tapi pada akhirnya, sebelum ruh meninggalkan jasad ia akan merasakan kebutuhan itu, karena agama mengajarkan manusia bagaimana cara hidup, menghargai, mempergunakan alam sekitarnya, dan bagaimana berterimahkasih kepada Tuhan Yang Maha Esa. Namun, kebanyakan orang masih keliru dalam memahaminya, seringkali agama dijadikan legitimasi untuk kepentingkan kelompoknya, yang hanya akan menimbulkan konflik dalam masyarakat. Permasalahan di atas menjadi menarik untuk dicermati dan diteliti secara mendalam. Bagaimana sebenarnya konsep din al-haqq (agama yang benar) dalam al-Qur'an? apa Atau siapakah yang termasuk dalam kategori Din al-Haqq? Dan bagaimana ciri-ciri Din al- Haqq?. Dalam penelitian ini, penulis ingin mengungkapkan pengertian Din al-Haqq, dan bagaimana ciri-cirinya dari sudut pandang al-Tabari yang tertuang dalam kitab tafsir quot;Jami' al- Bayan 'an Ta'wil ay al-Qur'an quot;. Penelitian ini bersifat kepustakaan murni (library research)yang didasarkan pada tafsir Jami' al-Bayan 'an Ta'wil ay al-Qur'ansebagai sumber data primer, dan buku-buku lain yang terkait sebagai sumber data skunder. Metode yang digunakan untuk mengolah data dalam penelitian ini adalah menggunakan metode deskriptif-analitis, yaitu menggambarkan maknamakna yang diungkapkan oleh al-Tabari dalam tafsirnya, kemudian menganalisisnya. Setelah dilakukan penelitian, maka ditemukan jawaban bahwa pengertian Din al-Haqq menurut al-Tabari dimaknai dengan pertama, agama yang benar, yakni Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw. Kedua, dimaknai dengan hisab dan pembalasan amal yaitu balasan yang setimpal menurut semestinya (sesuai dengan perbuatan mereka). Ketiga, diartikan dengan quot;fitrah quot; yang dimaknai dengan quot;Islam quot;, yang dikaitkan dengan penciptaan manusia. Menurut beliau bahwa manusia semenjak Nabi Adam sampai sekarang diciptakan dalam kondisi quot;Islam quot;. Keempat, diartikan juga dengan din al-qayyim lurus dan tidak ada perubahan atau kebengkokan di dalamnya). Hal ini juga dapat berlaku bagi agama, yaitu ketika seseorang telah menetapkan dirinya pada agamanya maka hendaknya tetap istiqomah (konsisiten) di jalan-Nya. Kelima, diartikan juga dengan Din Hanif yang ditafsirkannya dengan orang Muslim yang berpegang teguh pada agama Ibrahim, dan mengikuti agamanya Keenam, dalam penafsiran al- Tabari juga dijelaskan bahwa din al-h}aqq dimaknai dengan quot;al-din al-Hanifiyyah alsamhah quot; dengan mendasarkannya pada hadis Nabi. Adapun ciri-ciri orang yang termasuk dalam kategori din al-haqq yaitu mengakui kerasulan Muhammad saw. mengakui adanya Nabi-nabi sebelumnya, menegakkan atau menjunjung tinggi nilai-nilai tauhid, mengakui adanya prinsip tasamuh, yaitu kokoh pada prinsip yang di yakini secara benar, namun juga tetap menghormati dan menghargai pemeluk agama lain, mengakui adanya hari akhir atau mengandung nilai-nilai eskatologis, yang disertai dengan kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan meyakini bahwa Allah itu Esa, dan beribadah hanya kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan selain-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan menjalankan apapun yang diwajibkan Allah kepadanya. Itulah agama Allah yang disyariatkan pada manusia dengan perantara diutusnya seorang Rasul, dan dengan petunjuk dari para wali. Juga dijelaskan golongan yang tidak termasuk dalam kategori di n al-h}aqq, mereka adalah orang-orang Musyrik orang-orang yang diberi al-Kitab yaitu orang-orang Yahudi dan Nasrani, karena mereka tidak suka melihat kemunuculan agama Islam yang mampu mengungguli agama lain. Sedangkan ciri-ciri mereka adalah kebalikan dari hal-hal di atas. Menggali secara lebih mendalam penafsiran al-Tabari, akan tampak betapa ia seorang mufasir yang mampu menunjukkan konstruk pemahaman yang credible dan pada gilirannya untuk memberikan inspirasi bagi khazanah penafsiran berikutnya.
ANIQOH - NIM. 035313102012-05-05T13:48:34Z2016-10-06T04:11:19Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/938This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/9382012-05-05T13:48:34ZKONSEP MUBAHALAH DAN PRAKTIK SUMPAH POCONG DI KABUPATEN SUMENEP-MADURA ABSTRAK i Mubahalah /i , kata yang berasal dari i bahlah/buhlah /i dan ber-wazan mufaalah adalah aktifitas saling berdoa kepada Tuhan untuk menjatuhkan laknat kepada pihak yang mengingkari kebenaran. Peristiwa ini hampir sajaa terjadi ketika orang-orang Nasrani Najran menolak kebenaran kisah Isa al-Masih yang disampaikan oleh Rasulullah SAW, tepatnya pada tahun 10 H (sebagaimana yang tersurat dalam Q.S. Ali Imran : 61). Disisi lain, jauh setelah peristiwa itu (sekitar satu setengah milenium berlalu) ada fenomena menarik yang ada di kabupaten Sumenep-Madura, yaitu sumpah pocong. Sumpah pocong ini dilakukan oleh masyarakat kabupaten Sumenep-Madura, biasanya terkait dengan permasalahan-permasalahan yang memang lemah dari segi matreriil hukum, seperti tuduhan selingkuh dan santet. br br Melihat bahwa sumpah pocong adalah sumpah yang dilakukan oleh seorang muslim dan karenanya menggunakan sighat-sighat sumpah yang dibenarkan dalam Islam, sekalipun dari segi teknisnya menggunakan kemasan tradisi lokal (yaitu dipocong), maka penulis berasumsi bahwa fenomena sumpah pocong adalah hasil interaksi (dialektika) antara masyarakat muslim Kabupaten Sumenep dengan teks al-Qur'an (QS. Ali Imran : 61). Disinilah letak ketertarikan penulis untuk meneliti lebih dalam mengenai fenomena sumpah pocong di kabupaten Sumenep-Madura dan relevansinya dengan fenomena i mubahalah /i yang ada pada masa Nabi SAW,s sekitar tahun 10 H. br br Selanjutnya, oleh karena jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan i (field research) /i , maka untuk mendapatkan jawaban-jawaban dari permasalahan di atas, penulis menggunakan metode wawancara dan dokumentasi. Berdasarkan metode ini, ditemukan jawaban bahwa i mubahalah /i adalah berdo'a kepada Tuhan masing-masing untuk menjatuhkan laknat ke atas pihak lawan sebagai media 'uji keberanian' siapakah yang benar diantara keduanya. Solusi ini dipilih Rasulullah SAW, karena adanya kebuntuan negoisasi antara Rasulullah SAW dengan orang-orang Nasrani Najran, kaitannya dengan kisah Isa al-Masih, disamping juga sebagai penguat akan kebenaran yang disampaikan Rasulullah SAW. Penguatan kebenaran tersebut ditunjukkan Rasulullah dengan mengajak ahli keluarga terdekatnya, yaitu: anak (Fatimah), cucu (Hasan dan Husain), dan menantu (Ali bin Abi Talib) untuk bermubahalah bersamanya. Namun akhirnya, orang-orang Nasrani Najran menjadi ragu-ragu sehingga mereka menarik diri dari ber-mubahalah. Bahkan, mereka meminta Rasulullah SAW mengutuskan seorang yang amanah untuk mengajar mereka tentang Islam. Adapun sumpah pocong adalah suatu pernyataan khidmat tentang keterangan atau janji, yang diucapkan di hadapan hakim dengan mengingat sifat kemahakuasaan Tuhan, biasanya menghafalkan kata-kata i 'Wallahi, Billahi, dan Tallahi /i dengan cara orang yang bersumpah dibalut seluruh tubuhnya dengan kain kafan seperti orang meninggal. Gambaran umum teknis pelaksanaan sumpah ini adalah seseorang yang dibebani sumpah akan dibawa ke masjid pada hari yang telah ditetapkan untuk bersumpah. Setelah bersuci, di masjid tersebut, ia akan diupacarakan seperti orang meninggal; dipakaikan kain kafan dan diiringi do'a-do'a yang isinya memohonkan laknat bagi seseorang tersebut jika berdusta. Selanjutnya, dari dua penjelasan di atas, penulis berkesimpulan bahwa sumpah pocong di kabupaten Sumenep-Madura adalah relevan dengan peristiwa i mubahalah /i pada masa Nabi SAW. Keduanya sama-sama masuk kategori i tagliz al-yamin /i , hanya saja jika i mubahalah /i bentuk penguatannya dengan cara mengajak keluarga terdekat sedangkan sumpah pocong dengan dikafani sebagaimana orang meninggal br br
ANWAR - NIM. 005303662012-05-05T15:28:04Z2016-10-06T04:11:45Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/917This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/9172012-05-05T15:28:04ZSIHIR DALAM HADIS (STUDI TEMATIS TERHADAP MAKNA SIHIR DALAM HADIS NABI) ABSTRAK Penelitian tentang Sihir Dalam Hadis Nabi: Studi Tematis Terhadap Makna Sihr Dalam Hadis Nabi, adalah urgen atau penting berdasarkan beberapa alasan. Pertama: sihir sering diidentikkan dengan hal-hal supernatural, gaib, luar biasa dan klenik serta berbau syirik. Kedua, disisi lain kata sihr tidak hanya bermakna sesuatu yang supernatural, melainkan juga dipakai untuk hal-hal lain di dalam kehidupan sehari-hari. Ketiga, banyak terjadi kesalahan dalam memahami sebuah hadis karena tidak jelasnya makna sihir yang dimaksud dalam kalimat tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apa saja makna kata sihr dalam bahasa Arab. Kemudian makna yang mana saja yang dipakai dalam hadis. Serta mengetahui fenomena masa kini apa saja yang masuk kategori sihir. Dengan menggunakan metode deskriptif analitis,dapat diperoleh gambaran berbagai makna sihir, makan masa saja yang terdapat dalam hadis serta fenomena ana saja yang termasuk kategori sihir saat ini. Berdasarkan uraian dari penelitian ini dapat dihasilkan beberapa temuan, yaitu: Pertama. A) Sihir dimaknai sebagai suatu perbuatan yang membuat seseorang dekat dengan setan dan berbagai bantuannya. B). Sihir dengan makna sulap. C). Sihir dengan makna realitas palsu yang direpresentasikan. D). Segala hal yang tidak diketahui sumber serta mekanisme kerjanya. Kedua, ditemukan 4 makna sihr yang dipakai dalam hadis. A). Sihir yang bermakna perbuatan santet. B). Sihir yang bermakna ramalan. C). Sihir yang bermakna representasi realitas palsu. D). Peristiwa atau kemampuan luar biasa. Ketiga, fenomena terkini yang termasuk kategori sihir. A). Sulap. B). Komunikasi media, terdiri dari berita teks media dan iklan. C). Ramalan, terdiri dari: Astrologi, numerologi, palmistri dan radiesthesia. D). Berbagai hal magis yang dianggap menggunakan kekuatan supernatural. Terdapat beberapa bagian. Pertama ialah: berbagai kemampuan psikis,seperti: Clairvoyance, Clairaudience, Telepathy, Precognition, Psychometry, Perjalanan Astral, Telekinsis - Psychokinesis, Levitation. Kedua ialah: tenaga dalam, prana dan reiki. Ketiga ialah berbagai macam jimat atau amulet. 1. simbol-simbol keagamaan dan spiritual: salib, tulisan Allah dan Muhammad, foto guru-guru spiritual seperti Sai Baba dan Babaji. 2. Jimat yang dibuat untuk tujuan khusus, seperti: hizib, keris, susuk, crystal, dan sebagainya.
AHMAD SYUKRI - NIM. 005302442012-05-06T03:23:31Z2016-10-18T08:06:37Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/941This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/9412012-05-06T03:23:31ZPENAFSIRAN IBNU TAIMIYYAH TENTANG HAASANAH DAN SAYYI'AH DALAM SURAT AN-NISA AYAT 79 i (Studi Terhadap Kitab Al-Haasanah wa al-Sayyi'ah) /i ABSTRAK Kebaikan dan keburukan merupakan suatu hal yang selalu mengiringi kehidupan manusia pada dasarnya perbuatan baik dan buruk merupakan perbuatan yang telah ditakdirkan oleh Allah, namun hal ini menjadi kontroversi oleh para Mutakallimin dalam Islam. Kenyataan ini sebenarnya sudah terlihat dalam al-Qur'an dalam surah al-Nisa (4) ayat 78, dalam ayat itu dijelaskan bahwa segala perbuatan baik dan buruk sudah ditakdirkan oleh Allah, namun pada ayat berikutnya masih dalam surah al- Nisa ayat 79 menjelaskan bahwa kebaikan itu berasal dari Allah swt dan keburukan berasal dari manusia. Ibnu Taimiyyah sebagai seorang ulama Salaf menafsirkan surah al-Nisa ayat 78 dan ayat 79 ini tidak ada kontradiksi dalam ayat yang menyebutkan semuanya itu, baik itu kebaikan maupun keburukan, berasal dari Allah swt dan ayat yang berikutnya mengatakan bahwa kebaikan berasal dari Allah dan keburukan berasal dari manusia. Ibnu Taimiyyah menafsirkan dengan menggunakan metode salaf, bahwa menurutnya metode tafsir terbaik adalah, pertama, penafsiran ayat al-Qur'an dengan ayat al-Qur'an. Kedua, penafsiran dengan sunah. Ketiga, penafsiran ayat al-Qur'an dengan perkataan sahabat. Ketiga, penafsiran ayat al-Qur'an dengan tabi'in. Metode penelitian yang dipakai dalam karya ilmiah ini yakni dengan cara meneliti beberapa literatur yang terkait dengan masalah yang diteliti yakni, dengan meneliti beberapa literatur yang terkait dengan masalah baik dan buruk yang dikemukakan oleh Ibnu Taimiyyah. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini yakni bahwa Ibnu Taimiyyah menganggap h}asanah dan sayyi'ah itu mengarah pada pengertian nikmat dan musibah seperti yang ditunjukkan oleh redaksinya. Selanjutnya baik dan buruk dimaknai sebagai ketaatan dan maksiat tapi pengertian ini bisa dibenarkan jika hanya disertai dengan pengertian nikmat dan musibah br br
YASYA AKHIRO - NIM. 015306012012-05-06T03:41:23Z2016-10-18T05:18:44Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/942This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/9422012-05-06T03:41:23ZSTUDI TERHADAP TUJUAN MEMBACA AL-QURAN MASYARAKAT DUSUN SUKOREJO DESA KENTENG KECAMATAN SUSUKAN KABUPATEN SEMARANG JAWA TENGAH ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menyampaikan bahwa banyak cara yang di tempuh para pakar al-Qur'an untuk menyajikan kandungan dan pesan-pesan firman Allah dalam memahami makna al-Qur'an secara langsung atau tidak langsung. Hal ini di sebabkan karena dalam realitanya, fenomena masyarakat Dusun Sukorejo Desa Kenteng Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang Jawa Tengah dalam menggunakan ayat al-Qur'an untuk hal hal yang pragmatis, misalnya untuk jimat, mahabbah, bahkan mengadakan ritual ritual dengan ayat al-Qur'an dengan ritual yang disakralkan. Sehingga fungsi pokok al-Qur'an sebagai Nur terkesampingkan. Adapun model membacanya, yang jelas kehadiran al-Qur'an telah melahirkan berbagai bentuk respon dan peradaban bagi Umat Islam. Kajian yang lebih menekankan pada aspek respon masyarakat terhadap kehadiran al-Qur'an di tengah tengah kehidupan mereka disebut dengan Living Qur'an (al-Quran in everyday life) kajian yang bermula pada makna dan fungsi al-Qur'an yang riil dan dialami masyarakat. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan, dengan lokasi Dusun Sukorejo Desa Kenteng Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang Jawa Tengah. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara, dokumentasi. Dari metode pengumpulan data yang digunakan di peroleh data primer dan data sekunder. Hasil penelitian ini menunjukkan fenomena membaca al-Qur'an diterima masyarakat Dusun Sukorejo Desa Kenteng Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang Jawa Tengah dalam kehidupan sehari hari cara merespon dan dalam pengapresiasiannya beragam, diantaranya: pembacaan al-Qur'an sebagai ritual ibadah, membaca al-Qur'an sebagai seni kaligrafi, ada juga yang menggunakan al-Qur'an sebagai media pengobatan, sebagai petunjuk hidup, ada yang menjadikan ayat-ayat al-Qur'an sebagai wirid dan ada juga karena alasan kecintaan terhadap firman Allah. Sedangkan tujuan-tujuan tertentu pada warga masyarakat di dusun Sukorejo dalam melakukan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan membaca al-Qur'an diantaranya adalah dengan membaca al-Qur'an mereka ingin mendapatkan pahala, memperoleh ketenangan hati, sebagai psikoterapi untuk penyembuhan penyakit jasmani. Ada juga yang di gunakan untuk mengusir setan dan mendapatkan keselamatan. br br
USWATUN HASANAH - NIM. 025310372012-05-06T04:25:08Z2016-10-18T05:03:31Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/944This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/9442012-05-06T04:25:08ZPENAFSIRAN AYAT-AYAT TAUBAT MENURUT MUHAMMAD QURAISH SHIHAB (STUDI ATAS TAFSIR AL -MISBAH) ABSTRAK Manusia adalah makhluk yang tak lepas dari kesalahan dan dosa, baik itu dosa besar maupun dosa kecil. Sedang manusia yang telah terlanjur berbuat dosa kepada Allah, maka manusia itu harus mensucikannya melalui taubat. Bertaubat atas dosa-dosa adalah suatu hal yang wajib, hal ini tidak diragukan lagi sebab logika dan teks-teks naqliyyah mendukungnya, yaitu berupa perintah Allah kepada manusia agar bertaubat. Taubat juga merupakan modal untuk memperoleh keuntungan dunia dan akhirat. Ini tercermin terhadap opsi yang diberikan oleh Allah, yaitu: pertama, menjadi orang yang beruntung dengan bertaubat. Kedua, menjadi orang yang tidak beruntung (rugi) dengan tidak bertaubat, seperti dalam firman-Nya i wa tubu ilallahi jamian ayyuha al-mu'minun la'allakum tuflihun /i bahkan Allah menyebut orang yang tidak bertaubat dengan orang yang i dholim /i . Dari beberapa hal inilah penulis merasa betapa pentingnya taubat itu bagi manusia. Persoalan taubat ini ynag menarik bagi penulis untuk mengkajinya lebih dalam. Mengingat luasnya permaslahan maka penulis membatasi pada tiga sub tema yang dianggap sangat signifikan dan termasuk dosa besar yaitu taubat dari syirik, munafik dan murtad. Selain itu jumlah ayat yang membicarakannya sangat banyak tak kurang ada 87 kali dalam 70 ayat dan cakupannya yang luas. Siginifikansi dari penelitian ini adalah meneliti mengenai penafsiran Muhammad Quraish Shihab dalam kitab Tafsir i al-Misbah /i tentang ayat-ayat taubat dari kesyirikan, kemunafikan dan taubat dari kemurtadan. Sedangkan metode yang ditempuh adalah dengan menggunakan metode i tafsir maudhui /i yang didasarkan kepada i tafsir al-Misbah /i sebagai sumber data primer dan buku-buku lainnya yang mendukung sebagai sumber data sekunder. br br
TAUFIQQURRAHMAN - NIM. 025311602012-05-11T03:08:41Z2016-10-18T04:17:12Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/1024This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/10242012-05-11T03:08:41ZOTENTISITAS HADIS MENURUT SYI'AH (Studi atas Pemikiran Ja'far al-Subhani) ABSTRAK Penelitian ini berangkat dari asumsi bahwasanya keberadaan hadis berkembang luas di dunia Islam, dari sini menimbulkan beberapa kecenderungan dan keragaman atas sunnah dan hadis. Ada yang menjadi suatu tradisi dan bahkan ada yang hilang ditelan zaman. Terlebih jika dikaitkan dengan masalah kepercayaan atas ideologi tertentu, seperti Syi'ah. Sehingga dalam diskursus hadis, memunculkan pandangan yang berbeda di antara golongan Islam. Baik mengenai sumber periwayatan, jalur periwayatan, kriteria kesahihan hadis maupun mengenai perawi dan standar kualitasnya. Dalam Syi'ah sunnah atau hadis adalah perkataan, perbuatan dan persetujuan atau taqrir Nabi saw, dan para imam ma'su m yang dua belas. Sehingga sumber hadis dikalangan Syi'ah bukan hanya berasal dari Rasulullah alhadis al-nabawi, tetapi juga berasal dari dua belas Imam mereka al-hadis almalawi. Dengan demikian penilitian ini difokuskan kepada salah seorang pemikir Syi'ah, yaitu Ja'far al-Subhani Ja'far al-Subhani adalah merupakan salah satu ulama Syi'ah yang berkonsentrasi dalam bidang ilmu hadis dengan karyanya kitab Usul al-Hadis wa ahkamuhu fi amp;#8216;Ilmi al-Dirayah dan Kitab Kulliyat fi amp;#8216;Ilmi al-Rijal, dan beliau juga merupakan maraji' Syi'ah pada masa sekarang ini. Beliau memberikan batasan tentang otentisitas hadis menururt Syi'ah, melalui kaidah-kaidah otentisitasnya. Untuk meneliti beliau ini tentang otentisitas hadis, maka penelitian ini menggunakan pendekatan historis eksplanatoris (eksplanatory analysis), yaitu suatu analisis yang berfungsi memberi penjelasan yang lebih mendalam dari sekedar mendeskripsikan makna sebuah teks. Sehingga memberi pemahaman mengenai, mengapa dan bagaimana pemikiran itu muncul dan apa saja sebab yang melatar belakanginya. Dalam hal ini, Ja'far al-Subhani membuat kriteria kesahahihan suatu hadis yang bebeda dengan ulama-ulama Syi'ah terdahulu, yang mana telah memberikan formulasi baru dalam perkembangan ilmu hadis Syi'ah. Dalam kriteria kesahihan hadisnya, Ja'far al-Subhani tidak menekankan pada sanad saja akan tetapi matnnya juga, hal ini terbukti dengan menambah kriteria harus terhindar dari syaz dan 'illat yang kurang diperhatikan oleh ulama-ulama mutaqaddimin Syi'ah. Dalam manilai suatu hadis, Ja'far al-Subhani sangat teliti dan harus melalui metode ilmu Rijal al-Hadis dan Jarh wa Ta'dil. Dengan metode ini, maka akan menghasilkan kualitas hadis yang telah diklasifikasikan olehnya, yaitu; Sahih, Hasan, Muwassaq dan Daif. Sebagai implementasinya, Ja'far al-Subhani berpandangan bahwasanya dalam kitab hadis utama Syi'ah yaitu al-Kafi, menurut kriteria yang telah ditetapkan oleh Ja'far al-Subhani bahwasanya tidak semua hadis yang termuat dalam kitab ini adalah Sahih. Berangkat dari pemahaman Ja'far al-Subhani mengenai Otentisitas hadis menurut Syi'ah ini, memberikan pandangan bahwa setiap mazhab atau golongan dalam Islam mempunyai pandangan masing-masing tentang otentisitas hadis. Sehingga melahirkan sesuatu yang spesifik dan khas. br br
DADAN HERMAWAN - NIM. 025310262012-05-30T12:23:43Z2016-10-18T03:17:44Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/1242This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/12422012-05-30T12:23:43ZKONSEP AL QUR'AN SEBAGAI SYIFA' TELAAH ATAS PENAFSIRAN IBNU QAYYIM AL JAUZIYIYYAH TENTANG PENYEMBUHAN GANGGUAN KEJIAWAAN DENGAN AL QUR'AN ABSTRAK Islam sha lih likulli zaman wa makan, slogan ini bukan hanya sebagai pajangan dan kebanggaan masa lalu. Islam harus benar-benar dapat menjawab tuntutan zaman, tuntutan untuk menjawab permasalahan ummat yang semakin hari semakin banyak dan beragam harus ada pembuktiannya. Al-Qur'an sebagai senjata utama harus digunakan sebaik-baiknya. Berbagai konsep yang ada dalam al-Qur'an harus dikeluarkan, ditelaah, ditafsirkan dan diteliti serta diuji coba agar dapat menjadi solusi atas permasalahan umat. Salah satu permasalahan hidup yang dialami ummat saat ini adalah gangguan kejiwaan berupa stres, depresi, gelisah, putus asa, yang disebabkan oleh banyak faktor diantaranya adalah tekanan hidup, lingkungan sosial yang tidak kondusif, keluarga yang bermasalah, moral dan akhlak yang rusak. Hal ini membutuhkan solusi yang efektif, salah satunya berupa terapi penyembuhan gangguan kejiwaan tersebut. Permasalahan di atas akan dibahas dalam penelitian ini. Peneliti akan menfokuskan pada penafsiran Ibnu Qayyim al-Jauziyyah tentang al-Qur'an sebagai syifa ', bagaimanakah penafsiran Ibnu al-Qayyim dalam masalah ini dan bagaimana permasalahan ini apabila dilihat dari disiplin ilmu psikologi?. Peneliti berusaha memaparkannya dengan studi kepustakaan, hal ini karena penafsiran merupakan masalah teks, sehingga data-data yang tersedia dalam penelitian teks adalah teks juga dan hal-hal di sekeliling teks itu. Dengan analis dengan pendekatan tematik dan deskripsi analisis, peneliti berharap hasil penelitian ini dapat bermanfaat kepada akademia terutama dalam masalah penafsiran dan dakwah serta pskologi. Menurut penafsiran Ibnu al-Qayyim, salah satu fungsi al-Qur'an adalah syifa', dan itu mencakup keseluruhan al-Qur'an dan bukan salah satu ayat atau salah satu surat dari al-Qur'an. Objek syifa' al-Qur'an adalah psikis manusia dan fisik manusia, sedangkan objek formalnya adalah manusia yang beriman. Gangguan kejiwaan menurut Ibnu al-Qayyim adalah dosa dan maksiat, yaitu dosa sosial dan spiritual, dosa psikis dan fisik, yang semua itu berdampak pada gangguan psikis, jasmani, sosial masyarakat, dan spiritual. Penyebabnya adalah ketidak taatan kepada Allah, sehingga hati menjadi sakit dan berakibat ke seluruh aspek kehidupan individu yang menderita sakit. Dari aspek ilmu psikologi, terapi yang ditawarkan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah merupakan terapi psiko-religius. Psiko-religius merupakan salah satu pendekatan terapi dalam penyembuhan gangguan kejiwaan berdasarkan paham keagamaan dan ajaran-ajarannya. Terapi ini bisa dilakukan oleh pemuka agama, guru agama, atau penderita gangguan kejiwaan didampingi oleh orang yang ahli agama dan mengajarkannya ataupun mencari sendiri dengan mempelajari dan mengamalkan ajaran agamanya dengan serius dan benar. Terapi ini bersifat reedukatif dan suportif yang tujuannya menguatkan daya tahan mental, mempertahankan kontrol diri, memperkuat keseimbangan (penyeseuaian diri), menyesuaikan diri kembali, memodifikasikan tujuan dan menggunakan potensi yang ada.
AHMAD FAUZI - NIM. 035314022012-05-30T12:37:31Z2016-10-18T04:15:24Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/1248This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/12482012-05-30T12:37:31ZPEMAHAMAN RUMAH ZAKAT INDONESIA (RZI) YOGYAKARTA TERHADAP KONSEP MISKIN DALAM AL-QUR'AN ABSTRAK Perjalanan dan perkembangan RZI Yogyakarta yang berdiri pada pertengahan tahun 2000 tidak bisa lepas dari perjalanan sejarah RZI pusat. Mengawali kiprahnya pada tahun 1998, yang bermula dari Bandung dipelopori oleh Abu Syauqi, salah satu tokoh da'i muda Bandung, bersama beberapa rekan di kelompok pengajian Majlis Ta'lim Ummul Quro sepakat membentuk lembaga sosial yang konsern pada bantuan kemanusiaan. Pada tanggal 2 Juli 1998, terbentuklah organisasi bernama Dompet Sosial Ummul Quro (DSUQ). Kemudian pada tahun 2003 DSUQ berubah nama menjadi Rumah Zakat Indonesia DSUQ. Satu tahun berikutnya, tepatnya pada tahun 2004 nama DSUQ dihilangkan sehingga lembaga ini hanya bernama Rumah Zakat Indonesia (RZI). Terkait dengan posisinya sebagai amil zakat, merumuskan konsep miskin yang baku, merupakan faktor penting dan sangat diperlukan oleh RZI, jika hal ini diabaikan, akan berakibat pada terjadinya kesalahan sasaran dalam pendistribusian dana ZIS (zakat,infak dan sedekah). Al-Qur'an yang dipercaya oleh umat Islam sebagai kitab petunjuk tidak luput memperhatikan masalah kemiskinan ini. Tetapi karena kemiskinan dan pengentasannya termasuk persoalan kemasyarakatan, yang faktor penyebab dan tolok ukur kadarnya, dapat berbeda akibat perbedaan lokasi dan situasi. Karena itu, al-Quran tidak menetapkan kadarnya, dan tidak pula memberikan petunjuk operasional yang rinci untuk pengentasannya. Dari point inilah, untuk menelaah bagaimanakah konsep miskin yang dipahami RZI, dan bagaimana pula solusi pengentasan kemiskinan yang ditawarkan menjadi menarik. Untuk menjawab persoalan di atas, terkait dengan penelitian yang bersifat field reasearch ini, data akan dihimpun dengan cara interview, observasi dan dokumentasi. Langkah selanjutnya, data dalam penelitian ini akan dianalisa dengan metode deskriptif kualitatif. Setelah memperhatikan latar belakang pendirian RZI, visi misinya, semboyan lembaga, pengertian dan kriteria kemiskinan yang rumuskannya, dapatlah disimpulkan bahwa konsep miskin dan kemiskinan yang dipahami oleh RZI adalah kemiskinan dalam arti material yang sifatnya terpaksa (involuntary). Yaitu kemiskinan yang perlu diberantas, harus dibantu orang lain karena mereka membutuhkan, mereka juga perlu diberi sesuatu yang dapat meringankan beban hidupnya sehingga dapat memenuhi kebutuhan dasarnya. Solusi yang mereka (RZI) tawarkan secara garis besar dapat dibedakan kedalam dua kategori, yakni; solusi tidak langsung dan solusi langsung. Solusi yang bersifat tidak langsung termanifestasi dalam program sadar zakat yang disosialisasikannya ke ruang publik. Sedangkan solusi yang bersifat langsung termanifestasi dalam bentuk program penyaluran dana ZIS yang praktekkannya. Program penyaluran yang dimaksud terdiri dari 4 (empat) program unggulan, yaitu; Program pendidikan (education care), program kesehatan (health care), program ekonomi (economic care), dan program kepemudaan. (yotuh care). Masing-masing program mempunyai tujuan spesifik dan sasaran yang jelas.
AHMAD HASANUDDIN UMAR - NIM. 005303762012-05-30T13:53:28Z2016-10-18T04:15:44Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/1252This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/12522012-05-30T13:53:28ZKARAKTERISTIK SIFAT MANUSIA MENURUT PENAFSIRAN SAYYID QUTB DAN HAMKA (Studi Atas Penafsiran QS. al-Ma'arij: 19-35) ABSTRAK Manusia merupakan makhluk yang memiliki kesempurnaan tertinggi karena ia dipersiapkan untuk menerima beban kewajiban. Di sisi lain, manusia memiliki kelemahan yang paling mendasar dan yang menyebabkan dosa adalah kepicikan dan kesempitan pikiran. Dalam hal ini, penulis mengangkat judul Karakteristik Sifat Manusia Menurut Penafsiran Sayyid Qut{b dan Hamka (Studi Atas penafsiran QS. al-Ma'arij 19:35). Karakteristik adalah ciri khas atau bentuk watak atau tabiat. Jadi manusia pasti memiliki sifat yang terdapat dalam ayat tersebut. br br Dalam skripsi ini, penulis menggunakan penafsiran Sayyid Qutb dan Hamka dengan jenis penelitian pustaka (library research). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif-analisis. Penelitian ini bersifat komparasi. Memilih Sayyid Qutb dan Hamka, mengingat keduanya termasuk mufassir modern yang hidup pada masa yang sama tetapi dari negara yang berbeda. Selain itu karya tafsirnya yang bercorak Adabi Ijtima'i, menurut hemat penulis sesuai dengan konteks saat ini. Diantara temuan dalam skripsi ini adalah bahwa dalam diri manusia pasti memiliki sifat keluh kesah, baik dalam keadaan susah ataupun senang, akan tetapi sifat itu akan hilang dengan sendirinya jika manusia bisa melaksanakan syarat-syarat yang di sebutkan dalam ayat selanjutnya (22-35), yaitu orang yang istiqomah sholatnya (daimun), disamping dia menjalankan shalat dengan istiqomah dia juga melaksanakan kewajiban kepada Allah dan sesama yaitu dengan membayar zakat, sedekah, percaya akan hari akhir dan azab-Nya, menjaga kemaluan (hafizun), menepati janji (ra'un) dan memberikan kesaksian dengan benar (qoimun) dan selalu menjaga shalat (yuhafizun). Lafadzlafadz tersebut terdiri dari isim fail, yang berarti harus berlangsung terus menerus yang tidak hanya dilakukan satu atau dua kali atau hanya dilakukan satu atau dua kriteria saja. Ternyata antara Sayyid Qutb dan Hamka tidak terdapat perbedaan yang mencolok dalam menafsirkan ayat tersebut, terutama dalam metode penafsiran, keduanya menggunakan metode tahlili, seperti juga ketika menafsirkan ayat dengan ayat dan hadis dan dari segi substansinya juga tidak terdapat perbedaan yang sangat mendasar.
AINA NOOR HABIBAH - NIM. 025311612012-05-30T15:07:41Z2016-10-18T04:15:58Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/1255This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/12552012-05-30T15:07:41ZTAFSIR AL-QUR’AN BERBAHASA BUGIS (TELAAH NASKAH TAFSIR SURAH AL FATIHAH KARYA MUHAMMAD ABDUH PA'BAJAH) ABSTRAK Secara historis, ketertarikan muslim Indonesia dengan al-Qur'an yang dituangkan dalam bentuk tulisan dimulai pada abad ke-17, terhitung sejak penyusunan literatur tafsir yang dilakukan oleh Abd al-Rauf al-Sinkili dengan judul Tarjuman Mustafid. Adapun sebelum literatur tafsir al-Qur'an di Indonesia masih dianggap bercampur dengan literatur-literatur lainnya, seperti fikih, tasawuf, dan teologi. Namun, berbeda dengan tesis yang dikemukakan Abror di atas, Anthony H. Johns mengemukakan bahwa ketertarikan muslim Indonesia dalam hal penulisan tafsir al-Qur'an pada dasarnya telah dimulai satu abad setelah al-Sinkili, yakni oleh tokoh tasawuf yang berasal dari Aceh, Nur al-Din al-Raniri. Namun, akibat konflik yang terjadi antara al-Raniri dengan kepentingan politik pemerintah kerajaan Iskandar Muda yang berdampak pada pembakaran seluruh karya al-Raniri, kini literatur tafsir karya al-Raniri tidak dapat ditemukan lagi. Kitab tafsir yang berjudul Tafsir al-Qur'an bi al-Luqah al-Bugisiyah karya Muhammad Abduh Pa'bajah adalah salah satu karya tafsir bernuansa lokal yang pantas diposisikan sebagai salah satu dari sekian banyak tafsir yang bernuansa lokal. Karya Pa'bajah trsebut merupakan karya tunggal yang pernah ditulisnya di tanah Bugis. Penulisan tafsir tersebut banyak dipengaruhi oleh kondisi sosio-historis masyarakat Bugis. Hal menarik dari keberadaan karya Pa'bajah tersebut adalah karya tersebut masih kental dengan nuansa lokalnya yang menggunakan bahasa dan aksara lontarak. Hal inilah yang menjadikan salah satu alasan penulisan skripsi ini. Skripsi ini berjudul Tafsir al-Qur'an Berbahasa Bugis (Telaah Naskah Tafsir Surah al-Fatihah Karya Muhammad Abduh Pa'bajah). Fokus kajian dalam penelitian ini akan menelaah naskah dari karya Pa'bajah di atas, dengan rumusan kajian teks. Penelitian ini menggunakan literatur kepustakaan sebagai perspektif keilmuan dasar terhadap keilmuan tafsir dengan cara studi kepustakaan dan wawancara dengan sumber-sumber yang diakui validitasnya. Dalam pengolahan data digunakan metode deskriptif analitik, yakni pencarian data dengan interpretasi yang tepat kemudian dianalisis dengan menguraikan data dan sumber yang ada. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan terhadap teks atau naskah, yaitu melakukan penelusuran terhadap kandungan teks dalam tafsir tersebut. Penelitian ini menghasilkan temuan bahwa tafsir karya Muhammad Abduh Pa'bajah dilatarbelakangi oleh kondisi sosio-kultural masyarakat Sulawesi Selatan khususnya pada masyarakat Bugis. Dalam penafsirannya, Muhammad Abduh Pa'bajah mampu memberikan dampak positif terhadap masyarakat Bugis. Bahasa yang digunakan adalah bahasa yang dikonsumsi oleh masyarakat Bugis dalam kehidupan sehari-hari sehingga mudah untuk dimengerti dan dipahami kandungannya. Di samping itu, ia juga berusaha melestarikan kebudayaan lokal masyarakat Bugis . Metode penafsiran Muhammad Abduh Pa'bajah ini tergolong pada metode tafsir bi al-ra'yi, yang menggunakan metode tematik (maudu'i), terutama bentuk tafsir tematik yang mengacu pada ayat-ayat dalam suatu surat tertentu, dengan corak tafsir sastra, budaya, dan kemasyarakatan atau al-adab al-ijtima'i. Dalam tafsirnya banyak terkandung unsur anjuran, ajakan, serta himbauan kepada umat Islam pada umumnya dan khususnya terhadap masyarakt Bugis, sebab masyarakat Bugis pada waktu itu masih dekat dengan kemusyrikan, seperti menyembah berhala. Inilah yang merupakan alasan utama bagi Muhammad Abduh Pa'bajah untuk menulis tafsir tersebut.
AKRAM - NIM. 005302342012-06-01T09:48:00Z2016-10-18T04:16:54Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/1265This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/12652012-06-01T09:48:00ZHADIS-HADIS TENTANG USIA PERNIKAHAN 'AISYAH R.A (STUDI MA'ANIL HADIS) ABSTRAK Kemunduran (degradasi) moral yang terjadi dikalangan remaja dan pemuda semakin terpuruk dengan maraknya perilaku pergaulan bebas. Sebagai agama yang diyakini rahmatan li al-'alamin oleh para pemeluknya, Islam dipandang mempunyai jalan terbaik untuk mengatasinya, hingga muncul wacana melakukan pernikahan dini atau pernikahan usia dini untuk mengurangi dampak buruk dan perilaku menyimpang dari pergaulan bebas. Munculnya wacana pernikahan dini tidak terlepas dari adanya hadis tentang usia pernikahan amp;#8216;Aisyah ra., yang menunjukkan bahwa amp;#8216;Aisyah dinikahi Nabi Muhammad saw., saat usianya baru enam tahun menginjak tujuh tahun. Namun, ternyata hadis tentang usia pernikahan amp;#8216;Aisyah ra. banyak dipertanyakan keabsahannya, karena dianggap tidak relevan dengan perkembangan dunia modern. Berangkat dari keraguan terhadap keabsahan hadis tersebut, penulis berusaha mengkajinya dengan mempertanyakan beberapa masalah diantaranya bagaimana ke-valid-annya, apakah bersifat khas bagi Nabi ataukah amp;#8216;am, dapatkah dijadikan hujjah untuk bertindak, bagaimana memaknai dan memahami hadis tersebut secara teks dan konteks, dan adakah relevansinya dengan perkembangan zaman. Bertumpu pada pertanyaan-pertanyaan tersebut penulis mengkaji dan meneliti hadis tentang usia pernikahan amp;#8216;Aisyah ra. dengan menggunakan metode maani al-hadis untuk memperoleh pemaknaan dan pemahaman sesuai dengan apa yang dimaksud dan dikehendaki oleh hadis, serta dapat diterapkan dalam konteks kekinian. Langkah-langkah metodologis yang penulis tempuh adalah dengan melakukan kritik sanad dan matan, kemudian menganalisisnya dengan metode ma'ani al-hadis yang ditawarkan oleh Musahadi HAM. Adapun penelitian dengan langkah-langkah yang ditawarkan tersebut, menghasilkan kesimpulan bahwa hadis tentang usia pernikahan amp;#8216;Aisyah ra. adalah 1). S{ahih} sanad maupun matannya, sehingga dapat dijadikan hujjah untuk bertindak, serta bersifat amp;#8216;am. 2). Mempunyai relevansi dengan perkembangan zaman, dengan catatan memenuhi ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam hadis, yakni pernikahan harus berdasarkan restu dari wali mujbir, adanya tujuan kemaslahatan, dan sudah matang dari segi spiritual, mental, dan juga fisik. Hikmah dari pernikahan Aisyah ra. yaitu pernikahan Aisyah ra dengan Nabi saw., mempererat persahabatan dan persaudaraan dengan Abu Bakar ra., menambah kemuliaan keluarga Abu Bakar ra. karena menjadi keluarga manusia pilihan Allah swt., Aisyah ra. lebih banyak bertemu dengan Nabi saw., sehingga lebih banyak mendapatkan dan menghafalkan hadis, sebab pada usia yang masih muda Aisyah ra. mempunyai kecerdasan dan ingatannya yang sangat kuat (s|abit), dan Aisyah ra. dapat menjadi rujukan bagi para sahabat sepeninggal Rasulullah saw.
BINTI KHASANAH - NIM. 035313352012-06-01T10:48:39Z2016-10-18T04:19:27Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/1279This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/12792012-06-01T10:48:39ZHADIS-HADIS TENTANG SIFAT NABI SAW DALAM SIMTU AL-DURAR FI AKHBAR MAULID KHAIRIL ALBASYAR KARYA AL-HABIB ALI BIN MUHAMMAD AL-HABSYI (STUDI SANAD DAN MATAN) ABSTRAK Skripsi ini berangkat dari sebuah keinginan penulis bahwa di tengah kondisi krisis keteladanan yang terjadi dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sekarang, potret kehidupan Rasulullah SAW memang patut dihadirkan. Sebagaimana sejarah awalnya, ide dan gagasan Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi, kitab Simtu al-Durar karya al-Habib Ali bin Muhammad yang dibaca pada peringatan maulid nabi Muhammad SAW bertujuan dan menjadi sarana penting untuk membangkitkan semangat serta ghirah keislaman perjuangan umat dengan meneladani akhlak dan kepribadian beliau. Tidak salah jika sekarang pun, peringatan ini dijadikan momentum dan starting point untuk memperbaiki diri, keluarga, dan membangun masyarakat. Adapun latar belakang penelitian berdasarkan ketertarikan terhadap apa yang membuat orang tertarik untuk mengamalkan kitab Simtu al-Durar apakah untuk meneladani kepribadian beliau, dan bagaimana keontetikan hadis yang terkandung di dalamnya apakah sanad dan matannya bersambung atau tidak dan bisa dijadikan hujjah bagi yang mengamalkannya sebagai Sunah . Walaupun dalam banyak hal telah ditetapkan namun dalam suatu cara yang sangat riil Sunnah Islam masih merupakan sebuah proses yang kontinu bagi penyusuaian situasi, peristiwa atau kebutuhan yang dihadapi kepada kehendak Allah yang diwahyukan-Nya. Di dalam sebuah konteks Islam semua penyusuaian itu diperuntukkan dan dibebankan kepada manusia perexellence (sempurna), dan dianggap berguna atau tak berguna menurut ukuran manusia itu sendiri. Peneliti melakukan penelitian terhadap sanad dan matan hadis yang dikutip. Kegiatan awal dengan takhrijul hadis, al-i'tibar, dan penelitian terhadap kemungkinan adanya syuzuz dan illat diakhiri dengan mengambil natijah atau kesimpulan. Setelah selesai, dilanjutkan dengan melakukan penelitian terhadap isi atau matan dari hadis tersebut, sesuai dengan metodologi penelitian hadis yang telah dijelaskan oleh M. Syuhudi Isma'il. Dalam kitab Simtu al-Durar, penulis menemukan Habib Ali 3 kali menyebutkan secara lengkap hadis dari segi sanad dan matan serta hampir semua kalimat penulis menemukan Ali mengambil hadis-hadis tentang biografi (sifat, akhlak, kelahiran, mukjizat) Nabi SAW tanpa penyebutan sanad dan matan. Pada 1 (satu) yang terakhir inilah, penulis melakukan penelitian kualitas hadis. Disebutkan bahwa Nabi SAW berperewakan sedang, berkulit putih kemerah-merahan . Setelah dilakukan penelitian, baik kualitas sanad maupun matan hadis, dapat disimpulkan bahwa hadis tersebut berkualitas sahih.
EDY RAKHMAN - NIM. 035314212012-06-01T11:02:03Z2016-10-18T04:21:02Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/1280This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/12802012-06-01T11:02:03ZKAJIAN TERHADAP AYAT-AYAT TENTANG SIHIR (STUDI KOMPARATIF ATAS TAFSIR MAFATIH AL-GAIB DAN AL-JAMI' LI AHKAM AL-QUR'AN) ABSTRAK Tidak sedikit ayat-ayat al-Qur'an yang berbicara tentang sihir, salah satunya yaitu dalam QS. al-Baqarah(2): 102, yang mana di dalamnya menceritakan tentang sihir pada zaman Nabi Sulaiman, dan juga tentang kisah Harut dan Marut yang mana orang-orang kafir mengatakan bahwa mereka diutus untuk mengajarkan dan mengamalkan ilmu sihir pada manusia. Selain itu pun terdapat banyak pengertian mengenai sihir diantaranya yaitu menurut pendapatnya al-Azhari mengatakan bahwa sihir adalah suatu pekerjaan untuk mendekati setan dan meminta pertolongan kepadanya. Sedangkan menurut al-Ragib al-Asfahani bahwa sahara adalah Pertama, tipuan, imajinasi atau gambaran yang tidak nyata, seperti hal nya yang dilakukan pesulap yang dapat memalingkan pandangan dengan kecepatan tangannya, juga seperti yang dilakukan oleh pengadu domba, memfitnah dengan ucapan-ucapan yang manis yang dapat mempengaruhi pandangan orang lain. Kedua, meminta pertolongan setan dengan melakukan sebuah ritual mendekatkan diri kepada setan. Ketiga, perbuatan yang dapat membuat orang sedih, yang dengannya dapat merubah bentuk dan karakter seseorang menjadi penurut seperti khimar (hipnotis). Dalam hal ini, penulis tidak hanya membahas QS. al-Baqarah saja akan tetapi membahas semua ayat-ayat dalam al-Qur'an yang berkaitan dengan sihir dan mengelompokannya kepada empat masa nabi yaitu: nabi Sulaiman, Musa, Isa dan Muhammad. Akan tetapi penulis mencoba membatasinya dengan mengkomparasikan antara dua penafsir yaitu al-Razi dengan kitab tafsirnya Mafatih al gaib dan al-Qurtubi dengan kitab tafsirnya al-Jami' li Ahkam al-Qur'an. Adapun alasan penulis mengambil dua penafsir di atas, yaitu untuk mengatahui lebih jelas makna sihir menurut seorang filosof dan seorang faqih. Adapun rumusan masalah dalam pembahasan ini yaitu: pertama, untuk mengetahui makna sihir dalam empat masa nabi yaitu, nabi Sulaiman, Musa, Isa dan Muhammad menurut al-Razi dalam kitab tafsirnya Mafatih al Gaib dan al- Qurtubi dalam kitab tafsirnya al-Jami' li Ahkam al-Qur'an. Kedua, mengetahui persamaan perbedaan dari kedua penafsir di atas dalam menafsirkan makna sihir. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode: Pertama, deskripsi yaitu, menguraikan penafsiran al-Razi dan al-Qurtubi terhadap ayat-ayat al-Qur'an yang berkaitan dengan sihir. Kedua, analisis yaitu melakukan suatu analisa dengan pemaparan yang argumentatif. Yaitu berdasarkan latar belakang sejarah yang melatar belakangi kehidupan al-Razi dan al-Qurtubi. Ketiga, komparatif yaitu dengan cara mengklasifikasikan antara penafsiran al-Qurtubi dan al-Razi, dengan memfokuskan kepada perbandingan keduanya. Dalam penelitian ini, penulis menemukan persamaan dan perbedaan dari kedua mufassir dalam menafsirkan makna sihir. Persamaannya yaitu sihir adalah suatu ungkapan yang lembut dan samar penyebabnya, dan yang dikhayalkan oleh sipenyihir. Adapun perbedaan dari keduanya yaitu di dalam menafsirkan pembagian macam sihir. dalam hal ini al-Razi berpendapat bahwasannya sihir itu terbagai kepada delapan macam, sedangkan al-Qurtubi di dalamnya hanya menyebutkan dua macam sihir, akan tetapi dalam pembahasannya beliau lebih menekankan kepada hukum dari sihir tersebut.
EUIS EKA RATNA PURI - NIM. 035313192012-06-07T08:44:18Z2016-10-18T04:22:00Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/1325This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/13252012-06-07T08:44:18ZTRADISI BACA TULIS AL-QUR'AN DI KERATON YOGYAKARTA ABSTRAK Al-Qur'an adalah kitab suci umat Islam yang akan selalu terjaga kemurnian dan keaslian, meskipun telah melewati perjalanan yang panjang hingga berabadabad untuk sampai pada saat sekarang. Keotentikan al-Qur'an tersebut tidak lepas dari jaminan Allah Swt. yang tidak diberikan kepada kitab suci lain semisal Taurat dan Injil. Al-Qur'an pada saat nabi masih hidup hanya diakses oleh masyarakat di sekitar Makkah saja, akan tetapi setelah Islam tersebar dalam wilayah yang sangat luas serta dipeluk oleh berjuta-juta manusia dengan latar belakang suku, bangsa, dengan bahasa yang berbeda pula. Beragamnya pemeluk agama Islam tersebut mengakibatkan al-Qur'an mengalami penyempurnaan. Beberapa penyempurnaan yang dilakukan adalah dalam rangka agar al-Qur'an dapat dengan mudah dipelajari dan selanjutnya diamalkan umat Islam dalam kehidupan sehari-hari. br br Penyempurnaan yang dilakukan adalah sebatas pada tulisan saja sedangkan pelafalan masih sesuai dengan bacaan yang telah diajarkan Rasulullah secara mutawatir. Kapanpun dan di manapun umat Islam berada mereka mempunyai keharusan untuk mengacu pada al-Qur'an dalam menjalani kehidupan. Al-Qur'an sebagai Kitab Suci umat Islam pertama-tama diterjemahkan ke dalam bahasa Nusantara pada pertengahan abad ke-17 oleh ulama dari Singkel Aceh, yaitu oleh i Abd al-Rauf Ali al-Fansuri (Abd al-Rauf Singkil) /i ke dalam bahasa Melayu. Walaupun jika ditinjau dari ilmu tata bahasa Indonesia modern terjemahan tersebut belum sempurna. Akan tetapi pekerjaan tersebut adalah jasa yang amat besar dan menjadi perintis bagi studi tentang Kitab Suci al-Qur'an di Nusantara Di Keraton Yogyakarta Islam mendapat apresiasi dan sambutan yang baik. br br Hal ini dapat dilihat dari gelar raja yang secara turun temurun digunakan oleh Raja-raja yang bekuasa di Yogyakarta yakni i quot;Senopati Ing Ngalogo Abdurrahman Sayyidin Panotogomo Khalifatullah quot; /i yang artinya, sultan adalah penguasa yang sah di dunia ini, dia mempunyai kekuasaan untuk menentukan perdamaian dan peperangan, dia panglima tertinggi angkatan perang. Dia juga Abdurrahman Sayyidin Panotogomo yang berarti penata, pemuka dan pelindung agama yang pemurah sebab dia diakui sebagai Khalifatullah. Kanjeng Kyai Al-Qur'an, malam selikuran, seaman al-Qur'an saat perayaan Adeging Nagari Dalem, dan baju takwa adalah tradisi dan ritual yang ada di Keraton Yogyakarta yang diilhami dan lebih dari merupakan wujud penghormatan keratin terhadap al-Qur'an dan Islam. Beberpa tradisi tersebut masih ada dan dipelihara hingga sekarang. Selain itu, dahulu tradisi baca tulis al-Qur'an di Keraton dipelihara dengan adanya beberapa institusi pendidikan di lingkungan Keraton Yogyakarta. Lembaga ini memberikan pengetahuan awal bagi keluarga (putra putri Keraton) tidak hanya mengenai al-Qur'an akan tetapi juga beberapa pengetahuan agama Islam lainnya.
MUHAMMAD ARWANI MUNIB - NIM. 035314622012-06-07T09:22:11Z2016-10-18T04:22:17Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/1329This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/13292012-06-07T09:22:11ZMANQUL DAN MA'QUL DALAM TAFSIR JUZ 'AMMA KARYA MUHAMMAD ABDUH ABSTRAK Muhammad Abduh adalah Mufassir dari Mesir yang mempunyai metode baru dalam upaya menafsirkan al -Qur'an. Dia menggagas penafsiran ayat-ayat al-Qur'an dengan mengoptima lkan kemampuan akal secara mendalam dan objektif, dengan tanpa mengesampingkan wahyu. Hasil pemikirannya menjadikan dia kharismatik sepanjang sejarah sekaligus kontroversi. Ini cukup menarik, mengingat pada masa hidupnya kondisi umat Islam secara um um masih terbelenggu fanatisme mazhab yang berimbas cenderung kurang objektif dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an. Fakta membuktikan, sampai saat ini penafsiran dengan menggunakan akal serta batas -batasnya masih menuai perdebatan dan tetap hangat menjadi pembahasan dikalangan peneliti di bidang tafsir. Penelitin ini mengambil judul Manqul dan Ma'qul dalam Tafsir Juz Amma karya Muhammad Abduh. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan manqul dan ma'qul yang diterapkan oleh Abduh dalam Tafsir Juz Amma, kemudian menampilkan perbandingan porsi secara kuantitas dan kualitas. Metode penelitian skripsi ini adalah deskriptif-analitis, menggunakan corak berpikir induktif-deduktif. Pendekatan yang digunakan adalah tematik karena penelitian ini mengungkap penafsiran Muhammad Abduh pada sisi manqul dan ma'qul. Pembahasan secara rincinya penulis bagi ke dalam beber apa aspek berdasarkan isi ayat yang ditafsirkan, yaitu aqidah, ibadah, maksiat, qasas, penciptaan manusia, dan fenomena alam. Kemudian membandingkan jumlah secara kuantitas dan secara kualitas antara bi al-manqul dan bi al-ma'qul sehingga akan diketahui kecenderungannya. Metode yang digunakan Abduh dalam tafsirnya ini adalah tah}lily. Beliau menerangkan per ayat, kemudian beliau bahas lagi makna kata-kata yang menjadi kunci dari ayat tersebut sesuai keilmuan beliau. Saat menafsirkan ayat -ayat tertentu, beliau menggunakan qiyas perumpamaan, qaul amp;#8216;Arab syair-syair, kaedah-kaedah Bahasa Arab (analisa bentuk penggunaan kata dalam kalimat), dan juga beberapa pendapat mufassir yang beliau anggap sejalan dengan pemikirannya. Namun kadang-kadang Abduh juga menyebutkan pendapat lain yang tidak sejalan, untuk mengkritik dan memberi solusi sesuai penafsiran dengan pendapat beliau. Muhammad Abduh saat bersinggungan dangan ayat-ayat tentang sesuatu yang gaib atau wilayah Aqidah, jika tidak ada data/informasi penguat landasan berpikirnya, maka ia mengambil sikap tidak memperluas penafsirannya dan mengimani secara langsung. Namun , ketika beliau masih mendapatkan data/informasi dan menurutnya bisa dijadikan argumen berfikirnya, maka beliau mengambil sikap tetap berusaha merinci/ memperluas penafsirannya terlebih dahulu sebelum menyerahkan hakekat makna kepada Allah Swt dan menganjurkan untuk mengimaninya. Dalam proses menggali makna kata/ayat, bagi Abduh akal sangat berperan penting. Bagi Abduh, akal wajib diperankan secara optimal untuk menganalisa setiap materi pembahasan dengan bantuan ilmu pengetahuan atau riset sebagai penduk ung, sedangkan tawakal adalah pilihan terakhir setelah akal dan semua perangkat pendukung tidak mampu menjangkaunya.
MURSYIDI LATIF - NIM. 025310062012-06-07T09:43:48Z2016-10-18T04:24:04Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/1331This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/13312012-06-07T09:43:48ZAYAT-AYAT EKOLOGIS DALAM TAFSIR AL-AZHAR DAN TAFSIR AL-MISHBAH ABSTRAK Kerusakan alam di Indonesia cukup parah. Hal ini disebabkan oleh perbuatan manusia yang tidak menyadari pentingnya menjaga dan memelihara alam. Padahal, alam adalah sumber dan tempat di mana manusia hidup dan berkembang. Bagi Sayyed Hossein Nasr, semuanya berpangkal dari krisis spiritual dan pengenalan terhadap Tuhan. Sementara itu, penduduk Indonesia mempercayai adanya Tuhan Yang Maha Esa. Sebagian besar diantara mereka adalah umat Islam yang berpegang teguh kepada al-Qur'an dan Hadis. Sebuah dasar Islam yang melarang umatnya untuk melakukan pengrusakan di muka bumi ini. Karena itulah, fenomena ini penting di baca dari perspektif tafsir al-Qur'an. Penulis mengkaji Tafsir Al-Azhar karya Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah (1908-1981) yang akrab dengan sebutan Hamka, dan Tafsir Al-Mishbah karya Muhammad Quraish Shihab (1944- ). Terpilihnya dua tafsir ini tidak lain karena kedua pengarangnya adalah berlatar belakang Indonesia. Jika Hamka mewakili tokoh tafsir era 1951-1980 dan Quraish Shihab sebagai tokoh tafsir kontemporer era 1981-sekarang, sehingga memungkinkan kedua tafsir ini menelorkan karya tafsir yang berbeda pula. Hamka dan Quraish sama-sama mengatakan bahwa setelah apa yang dianugerahkan oleh Allah kepada manusia berupa alam semesta ini, manusia tidak pantas untuk mengingkarinya tetapi justru harus ingat bahwa di dunia hanyalah sementara dan cepat atau lambat manusia pasti akan kembali kepada Allah. Oleh karena itu manusia perlu bersyukur dan berterima kasih dengan menjaga alam dari kerusakan dan mengelolanya dengan baik. Akan tetapi secara spesifik keduanya berbeda ketika berbicara tentang penyebab kerusakan alam ini. Bagi Hamka, kerusakan alam bermula dari rusaknya jiwa yang mengakibatkan rusaknya perekonomian dan manusia berlaku di luar batas sehingga kerusakan alam akan terjadi. Sementara itu Quraish mengategorikan kerusakan alam bukan hanya kerena rusaknya jiwa melainkan kerusakan di segala bidang mulai dari keenganan menerima kebenaran dan pengorbanan nilai-nilai agama seperti pembohongan, penipuan, pembunuhan, pemborosan, gangguan terhadap kelestarian lingkungan hingga merusak fitrah kesucian manusia, yakni tidak memelihara tauhid yang telah dianugerahkan oleh Allah kepada manusia. Karena perbedaan latar belakang lingkungan, pendidikan dan kompentensi yang tak sama, kedua tafsir ini berbeda pula. Tafsir Hamka tidak memiliki kedalaman bahasan dibandingkan dengan tafsir yang di tulis oleh Quraish yang memiliki kompetensi dalam bidang tafsir. Meskipun demikian di lihat dari struktur penulisannya Tafsir Al-Azhar dengan nukilan-nukilan pepatah plus susunan kalimat yang seringkali analogis bagi banyak kalangan lebih mudah di terima dibandingkan dengan Tafsir Al-Mishbah yang lebih ilmiah dengan ciri khasnya yang leksikalis sehingga tafsir ini lebih cocok disajikan untuk kalangan intelektual dan cendikiawan.
MUWAFIQATUL ISMA - NIM. 035313552012-06-07T10:39:02Z2016-10-18T04:24:24Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/1334This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/13342012-06-07T10:39:02ZKRITIKUS HADIS WANITA (STUDI ATAS TUJUAN DAN METODE KRITIK 'AISYAH R.A. TERHADAP HADIS-HADIS TENTANG WANITA) ABSTRAK Wanita pada masa awal Islam memainkan peran yang cukup signifikan dalam keberlangsungan komunitas Muslim dengan menjaga mata rantai transmisi tentang kehidupan Nabi. Aisyah r.a. merupakan istri Rasulullah SAW. yang sangat berperan penting dalam mentransmisikan hadis, baik periwayatannya ataupun pelurusan pemaknaannya. Selain sebagai periwayat hadis, Aisyah binti Abu Bakar juga seorang kritikus hadis, dan ia termasuk periwayat hadis wanita yang banyak meriwayatkan hadis tentang kewanitaan. Aisyah r.a pun banyak memberikan komentar atau kritik terhadap hadis-hadis yang berkaitan dengan wanita. Penelitian ini dilakukan untuk menjawab beberapa pertanyaan, yaitu: Apa sajakah tema-tema hadis tentang wanita yang banyak dikomentari oleh Aisyah r.a?; Apa saja tujuan kritik Aisyah r.a terhadap hadis-hadis tentang wanita tersebut?; Bagaimana metode yang digunakan Aisyah r.a. dalam mengkritik hadis-hadis tentang wanita? Bagaimana relevansi dan kontektualisasi hadis-hadis tentang wanita dalam era kekinian? Penelitian ini merupakan kajian kepustakaan (Library Research) yang bersifat kualitatif. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode dokumentasi, yaitu dengan mencari dan mengumpulkan beberapa karya tulis yang berkaitan dengan tema yang akan diteliti, baik berupa buku-buku, kitab, majalah, ataupun berupa dokumen-dokumen yang dianggap relevan. Selanjutnya, peneliti menganalisa secara hermeneutis hadis-hadis tersebut dengan cara menentukan apakah hadis-hadis tersebut bertentangan dengan al-Qur'an, akal sehat, atau hadis yang lebih shahih. Analisa hermeneutika tersebut menghendaki penelusuran terhadap fenomena teks serta ruang lingkup di mana teks itu terlahir. Selain itu, pendekatan sejarah juga digunakan dalam penelitian ini. Dari hasil penelitian ini, dapat diketahui bahwa tema-tema hadis tentang wanita yang banyak dikritik oleh Aisyah r.a. adalah hadis tentang ibadah, meliputi; hadis tentang ciuman pasangan suami istri mengharuskan berwudhu, kewajiban menguraikan rambut bagi wanita ketika sedang mandi, wanita sebagai penyebab terputusnya shalat, dan status wanita haidh yang sedang melakukan ibadah haji. Tema lainnya adalah hadis tentang etika, meliputi; etika hubungan suami istri, kesialan terdapat pada wanita, dan wanita diazab karena seekor kucing. Adapun tujuan kritik Aisyah r.a terhadap hadis-hadis tentang wanita yang dikritiknya adalah untuk meluruskan pemahaman dari hadis-hadis tersebut agar diketahui dengan jelas kapan dan untuk siapa hadis tersebut ditujukan. Selain itu, dapat diketahui bahwa metode yang digunakan oleh Aisyah r.a. dalam mengkritik hadis-hadis tentang wanita tersebut adalah dengan menggunakan metode nasakh, jama', atau tarjih. Kritik Aisyah r.a. sangat penting dalam kajian hadis di Indonesia, dan memiliki peran yang sangat penting dalam rangka membangun dan mensosialisasikan pemahaman hadis yang memiliki semangat kesetaraan.
QORIATUL HASANAH - NIM. 035315192012-06-07T12:11:58Z2016-10-18T04:24:40Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/1345This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/13452012-06-07T12:11:58ZKLASIFIKASI SUNNAH MENURUT PEMIKIRAN SYAH WALI ALLAH AL-DIHLAWI ABSTRAK Nabi Muhammad selain dinyatakan sebagai Rasul yang memiliki empat peran yang berbeda yakni : 1) Sebagai penjelas (expounder) terhadap al-Qur'an 2) Peran sebagai legislator 3) Sebagai figur yang ditaati (muta) 4) Sebagai model perilaku umat Islam (model for muslim behaviour) beliau juga manusia biasa, seorang suami, ayah, anggota keluarga, teman, pengajar, pendidik, mubaligh, pemimpin masyarakat, panglima perang, hakim dan seorang kepala negara. Di samping itu, ada pula hal-hal khusus yang oleh Allah swt, hanya diperuntukkan bagi Nabi sendiri dan tidak untuk umatnya misalnya berpoligami lebih dari empat orang istri. br br Realitas ini perlu dicermati untuk dapat mendudukkan Rasulullah dalam berbagai posisi dan fungsinya. Keberadaan Rasulullah ini menjadi acuan bahwa untuk memahami kandungan sunnah beliau, perlu dikaitkan dengan peran apa yang sedang beliau mainkan. Oleh karena itu, pemahaman terhadap kandungan sunnah dengan menghubungkan fungsi Nabi Muhammad, dewasa ini merupakan kebutuhan yang mendesak dan perlu dikembangkan. Sebenarnya upaya ini telah banyak dilakukan oleh ulama'-ulama' muta'akhirin, dengan usaha pengklasifikasian terhadap sunnah. Namun, disini penyusun hanya meneliti pemikiran salah satu di antara mereka, yaitu Syah Wali Allah yang telah mengklasifikasikan sunnah menjadi dua yaitu, sunnah yang disampaikan sebagai risalah dan sunnah yang disampaikan bukan dalam kapasitas Nabi sebagai penyampai risalah. Klasifikasi sunnah ini, ditulis Syah Wali Allah dalam kitab monumentalnya Hujjah Allah al-Baligah hanya sekitar dua halaman. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui definisi dari klasifikasi sunnah yang ditawarkan oleh Syah Wali Allah, dan untuk mengetahui sejauh mana signifikansi dan kontribusi pemikiran Syah Wali Allah dalam pemahaman sunnah. Penelitian ini bersifat diskriptif analitis, yaitu mendeskripsikan pemikiran yang telah ditawarkan Syah Wali Allah mengenai klasifikasi sunnah kemudian menganalisanya dengan pendekatan historis normatif. Jenis penelitian yang digunakan adalah menggunakan telaah pustaka (library research) terhadap kitab Hujjah Allah al-Baligah sebagai data primer kemudian buku-buku lain yang terkait sebagai data sekunder. Setelah data diklasifikasikan, kemudian diolah dengan analisa deduksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dasar klasifikasi sunnah Syah Wali Allah adalah atas pemisahan Muhammad yang kapasitasnya sebagai penyampai risalah dan bukan penyampai risalah. Kriteria dalam pengklasifikasian sunnah yang ditawarkan Syah Wali Allah telah memberikan kontribusi yang besar dalam upaya pemahaman sunnah, yaitu tidak terjadinya pengeneralisasian terhadap pemahaman sunnah. Namun klasifikasi yang notabene matan oriented ini, harus tetap memperhatikan faktor lain seperti kualitas hadis dan asbab al-wurud, karena penerapan pengklasifikasian baru bisa dilakukan setelah melewati tahapan tersebut.
SITI MASFUFAH - NIM. 035313262012-06-18T11:03:07Z2016-10-18T04:24:56Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/1351This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/13512012-06-18T11:03:07ZNILAI- NILAI KETAUHIDAN DALAM AL-QUR'AN SURAT LUQMAN AYAT 12-19 (STUDI TAFSIR AL QUR'AN 'AZIM IBN KASIR DAN AL MISBAH M. QURAISH SHIHAB) ABSTRAK Al-Qur'an adalah kitab suci yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad saw. untuk pedoman hidup umat manusia agar selamat di dunia dan akhirat. Secara umum di dalam al-Qur'an terkandung banyak unsur dan nilai-nilai ketauhidan atau keimanan dalam rangka membimbing umat manusia pada kehidupan praksis sehari-hari. karena itu ajaran akidah tauhid bukan sekedar ajaran yang harus diutamakan bagi umat manusia, tapi lebih dari itu akidah tauhid yang tertanam dalam jiwa manusia harus dijadikan sebagai sistem kontrol (controlling) bagi kehidupan umat manusia sehari-hari. Hal ini disebabkan tauhid merupakan persoalan yang berhubungan langsung dengan Tuhan dan tidak ada bentuk intervensi apapun selain-Nya. Sehingga dari sini manusia merasa diawasi oleh Tuhan dalam menjalani seluruh rangkaian kehidupan. Salah satu kandungan al-Qur'an yang sarat dengan nilai-nilai ketauhidan adalah surat Luqman ayat 12-19. Sekalipun dalam surat ini hanya sebatas kisah yang menceritakan tentang nasehat Luqman kepada anaknya, namun dalam ayat-ayat tersebut sebenarnya menunjukkan keuniversalan nasehat dan hikmah-hikmah bagi umat manusia dalam sisi pengalamannya. Hal ini dapat dilihat hasil penafsiran dari kedua tokoh Ibn Kasir dalam kitab tafsirnya yaitu Tafsir al-Qur'an al-'Azim dan M. Quraish Shihab dalam karyanya Tafsir al-Misbah. Dalam skripsi ini, penulis akan mencoba menggambarkan dan menganalisis secara komparatif terhadap penafsiran surat Luqman ayat 12-19 yang telah dilakukan Ibn Kasir dan M. Quraish Shihab, karena dengan asumsi kedua mufassir tersebut adalah intelektual muslim yang memiliki kompetensi dalam bidang tafsir. Selain itu juga latarbelakang kehidupan kedua mufassir yang berbeda yakni sebagai mufassir tradisional dan modern. Disamping itu keduanya dikenal dengan pemakaian metode tafsir bi al-ma'sur bi al-riwayah yang dikontekstualisasikan pada sosio-kultural di zamannya masing-masing. Maka sangatlah relevan apabila dijadikan bahan penelitian. Perlu ditegaskan di sini bahwa tujuan dari penelitian ini secara umum untuk mengetahui sejauh mana penafsiran dari kedua tokoh tersebut dalam mengungkap makna-makna teks yang bisu yang kemudian teks tersebut menjadi aktif dalam kehidupan manusia. Maka dari sini penulis menggunakan perangkat atau unsur-unsur metode: (1) Deskripsi, yakni dengan mengutip langsung sebuah riwayah yang terdapat dalam kitab kedua mufassir, (2) Interpretasi, digunakan untuk menafsir makna dari pendapatannya, dan (3) Komparasi, yang penulis gunakan untuk membandingkan pendapat dari kedua mufassir tersebut. br br karena dalam penelitian ini yang sifatnya komparatif, maka sebagai hasil analisis perbandingan, peneliti tidak menemukan perbedaan yang cukup signifikan karena kedua tokoh tersebut berada dalam satu frame yaitu satu sumber al-Qur'an. Hanya saja posisi Ibn Kasir termasuk kategori ulama tradisional, yang menafsirkan al-Qur'an dengan lebih konservatif, yakni hanya berkutat pada sebuah riwayah. Sedangkan M. Quraish Shihab sebagai intelektual modern, lebih kritis dari para mufassir sebelumnya, yakni dalam menafsirkan al-Qur'an lebih mendasarkan pada fenomena-fenomena sosial yang berkembang secara dinamis. Menurutnya umat Islam Indonesia khususnya dalam mengkaji al-Qur'an hanya berhenti pada nuansa bacaan saja, dan bersikap tidak tahu menahu apa makna yang sesungguhnya kanduangan al-Qur'an yang telah dibaca itu. Artinya bahwa al-Qur'an hanya dijadikan sebagai bacaan yang memberi pahala bagi pembacanya (qori'ah), tanpa memahami bahwa al-Qur'an juga memiliki kandungan ilmu pengetahuan, kisah dan hikmah yang harus ditransformasikan dalam kehidupan yang riil.
SRI IMTIKHANI - NIM. 035313252012-06-18T11:17:18Z2016-10-18T04:26:39Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/1355This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/13552012-06-18T11:17:18ZPEMAKNAAN JAMA'AH TERHADAP TRADISI MENGKHATAMKAN AL-QUR'AN DALAM SHALAT TARAWIH DI MASJID PONDOK PESANTREN AL-MUNAWWIR KRAPYAK YOGYAKARTA ABSTRAK Khataman al-Qur'an adalah membaca al-Qur'an dari surat pertama sampai surat terakhir sesuai dengan mushaf usmani, baik secara sendiri-sendiri atau bersamasama. Masa Nabi, istilah yang dipakai jenis khataman dalam konteks al-Qur'an sangat variatif, mulai dari mengkhatamkan satu ayat, beberapa ayat, rangkaian ayat-ayat terakhir dari sebuah surat dan mengkhatamkan satu surat penuh, serta khataman al-Qur'an itu sendiri. Shalat Tarawih adalah ibadah shalat yang dilakukan malam hari pada bulan Ramadlan. Istilah ini tidak pernah muncul saat Nabi masih hidup, istilah yang dipakai adalah qiyam al-lail, yang juga biasa dilakukan di luar bulan Ramadlan. Al-Qur'an sebagai symbolic universe dan manusia sebagai animal symbolicum meniscayakan pemaknaan menjadi sebuah proses yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Terbukti mulai masa Umar bin Khatab, shalat tarawih mulai diatur dengan mengumpulkan pelaku qiyam al-lail masjid menjadi dua jam'ah besar, yakni jama'ah laki-laki dan perempuan. Masa-masa berikutnya mulai di tentukan jumlah rakaat, bacaan surat dan lain-lain. Begitu juga yang terjadi di masjid Pondok Pesantren al-Munawwir Krapyak Yogyakarta, terdapat sebuah tradisi sejak didirikannya institusi tersebut dengan menjadikan al-Qur'an penuh sebagai bacaan surat dalam shalat Tarawih selama duapuluh hari. Umat muslim Indonesia terbilang sedikit yang melakukan tradisi seperti yang ada di Pondok Pesantren al-Munawwir. Rata-rata surat bacaan yang dipakai adalah surat-surat juz 'amma dan terbilang pendek, sejenis surat mu'awizattain. Muslim pedesaan di Tulungagung, terdapat kesan berlomba cepat-cepatan selesai antar jama'ah shalat tarawih, bahkan ada imam yang hanya membaca ayat pertama dari surat-surat yang ayat pertamanya hanya rangkaian huruf hijaiyah (ahruf almuqataah), seperti hamim, nun dan lain-lain. Pada titik ini menarik kiranya untuk mengkaji bagaiman pemaknaan pelaku tradisi tersebut terhadap al-Qur'an, khataman al-Qur'an yang dirangkai dengan jama'ah shalat tarawih? Apa yang menjadi motif tindakan mereka?. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif agar bisa mencari tahu pelaku jama'ah yang terdiri 500 orang secara lebih mendalam. Secara general ada limabelas pemakanaan jama'ah terhadap al-Qur'an, yakni pertama, buku bacaan; kedua, kitab suci yang istimewa; ketiga, kitab yang berisi kumpulan petunjuk; keempat, kitab yang berfungsi sebagai obat rohani; kelima, kitab yang berfungsi sebagai obat fisik; keenam, kitab yang digunakan sebagai sarana perlindungan; ketujuh, sumber ilmu pengetahuan; kedelapan media mendo'akan mayit , kesembilan jika dibaca akan menjadi media terkabulnya do'a dan harapan, kesepuluh melancarkan hafalan, kesebelas menaikkan prestige di hadapan orang lain, keduabelas mendapatkan pahala, ketigabelas bentuk rasa syukur kepada Allah, keempatbelas mengharap barokah dari kemu'jizatan al-Qur'an kelimabelas mencari ridlo Allah. Sedangkan motif jama'ah pun bervariasi, baik yang bersifat teologis maupun praksis, yakni menangkan hati, dimudahkan segala urusan, melancarkan hafalan. Selain itu, sosok KHR. Muhammad Najib AQ, juga menjadi salah satu faktor penting mereka dalam mengikuti tradisi tersebut.
SULAIMANUL AZAB - NIM. 035315172012-06-18T11:34:01Z2016-10-18T04:28:19Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/1357This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/13572012-06-18T11:34:01ZSEJARAH AL-QUR`AN VERSI SYI`AH ABSTRAK Al-Qur`an adalah satu-satunya kitab samawi yang mampu menjaga orisinalitasnya sepanjang sejarah. Al-Qur`an telah mengarungi jalan panjang sejarah dengan selamat, selalu sesuai dengan zaman. Kitab ini terjaga dari segala bentuk manipulasi dan kerusakan zaman, Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Qur`an dan Kami yang menjaganya (Q.S. al-Hijr: 9). Pesan Ilahi di dalam al-Qur`an dititahkan kepada Rasulullah saw. diberbagai pristiwa dan keadaan. Beliau memanggil dan memerintah para penulis wahyu untuk mencatat pesan samawi ini. Catatan-catatan tersebut, semula berbentuk lembaran-lemabaran yang bertuliskan ayat per-ayat, disusun menjadi satu kesatuan atas perintah Rasulullah saw. Kemudian, ayat-ayat yang banyak itu disusun menjadi surah-surah yang berjumlah 114, yang dinamakan dengan mushaf. Al-Qur`an tergolong ke dalam sejumlah kitab suci yang memiliki pengaruh yang amat luas dan mendalam terhadap jiwa manusia. Kitab ini telah digunakan kaum Muslimin untuk mengesahkan prilaku, menjustifikasi tindakan peperangan dan memperkukuh identitas kolektif. Meskipun umat Islam sudah mengakui bahwa al-Qur`an yang keseharian kita baca tidak mengalami perubahan baik dari segi pengurangan atau penambahan akan tetapi ada sebagian orang yang itu ditunjukan kepada orang Syi`ah mengatakan bahwa al-Qur`an yang menjadi pedoman umat Islam seluruh dunia ini sudah mengalami perubahan, pada masa Abu Bakar dan `Umar bin Khattab. Karena itu penulis merasa tertarik untuk meneliti apakah benar orang Syi`ah mempunyai al-Qur`an selain al-Qur`an yang dipakai pada umumnya orang seandainya ada apa karakteristik dari al-Qur`an tersebut. Untuk dapat menjawab permasalahan diatas penulis menggunakan metode historis yaitu dengan mendiskripsikan sejarah masa lalu yang kaitannya dengan sejarah al-Qur`an versi Syi`ah, dengan merujuk buku-buku yang ditulis oleh orang Syi`ah dan juga dengan merujuk buku-buku karangan orang Sunni sebagai bahan analisis. Setelah penyusun melakukan penelitian secara akademis mengenai sejarah al-Qur`an versi Syi`ah dapat disimpulkan bahwa Syi`ah dalam proses pengumpulan al-Qur`an menjadi satu mushaf melalui dua tahap, pertama: Masa Rasulullah saw. al-Qur`an pada masa ini sudah terkumpul menjadi satu akan tetapi penyusunan surat-suratnya pada masa itu belum dilakukan. Kedua, masa `Ali bin Abi Talib (setelah wafatnya Nabi), dimana `Ali mempunyai peran yang sangat penting, beliau menghimpun al-Qur`an berdasarkan wasiat dari Nabi saw. dikatakan bila setelah mengubur jasadnya, agar ia tidak keluar dari rumahnya sebelum ia selesai menghimpun al-Qur`an dari tulisan-tulisan yang ada pada pelepah-pelepah kurma dan tulang unta.`Ali dalam penyusunannya membagi al-Qur`an menjadi tujuh juz, serta ayat dan surahnya tersusun sesuai dengan urutan turunnya ayat, juga dalam mushaf `Ali mengandung tanzil dan takwil yang menjelaskan pristiwa serta kondisi yang menyebabkan ayat-ayat dan surah-surah al-Qur`an diturunkan, juga dalam mushaf-nya dicantumkan asbabu nuzul.
SUPRIYATMOKO - NIM. 03531395 2012-06-18T14:35:13Z2016-10-18T08:06:04Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/1360This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/13602012-06-18T14:35:13ZRELASI LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN (TELAAH KRITIS TERHADAP TAFSIR MAFATIH AL GAIB KARYA AL RAZI)
ABSTRAK Kajian tentang perempuan pada dekade terakhir ini, mengkristal dengan kesadaran bahwa perempuan dalam panggung sejarah selalu mendapat perlakuan dan posisi yang tidak baik dikarenakan budaya dan pandangan misoginis. Kesadaran ulang atas teks-teks keagamaan. Mazhab feminisme, sebagai mazhab baru dalam dinamika penafsiran al-Qur'an, merupakan respon terhadap realitas tersebut. Bagi para feminis muslim, diskriminasi, marjinalisasi terhadap perempuan, tidak terlepas dari peran ulama klasik dan abad pertengahan, yang menafsirakan ayat-ayat al-Qur'an, dan terkesan hanya menguntungkan laki-laki. Berangkat dari pandangan ini, penulis tertarik melakukan penelitian terhadap Tafsir Mafatih al-Gaib karya al-Razi, tentang relasi laki-laki perempuan, yang mana menurut penulis, hal tersebut terdapat dalam beberapa konsep diantaranya : Penciptaan Perempuan, Kepemimpinan Laki-Laki, Poligami, Pewarisan dan Kesaksian Perempuan. Fokus permasalahan yang ingin penulis angkat Pertama: Bagaimana penafsiran al-Razi tentang konsep di atas dan bagaimana gambaran pola relasi laki-laki perempuan yang terkandung dalam penafsiran tersebut; Kedua: Bagaimana relevansi, pola relasi tersebut dengan realitas pola relasi laki-laki perempuan masa al-Razi. Penelitian ini berangkat dari asumsi para feminis muslim, sehingga penelitian ini bertujuan, bagaimana bersifat kritis terhadap wacana pemikiran keagamaan, dan menempatkan konteks kesesuaian dan kesenjangan pada tempat dan konteks zamannya. Dengan menggunakan metode deskriptif-analisis, secara utuh akan tergambar penafsiran al-Razi dan realitas laki-laki perempuan pada zamannya, serta menganalisis adakah keterkaitan keduanya. Pendekatan historis-sosiologis, digunakan sebagai alat analisis konteks sosio-historis al-Razi, serta faktor-faktor yang membentuk kerangka dan pola pikirnya. Pola relasi yang tergambar dalam penafsiran al-Razi adalah pola relasi yang bersifat hierarkis-vertikal. Hal ini tergambar ketika al-Razi menafsirkan konsep kepemimpinan laki-laki (salah satu konsep), bahwa kepemimpinan diberikan pada laki-laki karena beberapa alasan yaitu diantaranya karena laki-laki lebih kuat (fisik), rasional, bijaksana. Alasan yang dikemukakan al-Razi, bersifat seksis dan berdasarkan keunggulan jenis kelamin, yang mana pandangan tersebut merupakan pola pikir yang dipengaruhi budaya patriarkis. Pandangan al-Razi, inilah yang melahirkan pola relasi yang hierarkis antara laki-laki dan perempuan. Namun penulis berpandangan bahwa, pola pikir pola pikir yang berimplikasi pada relasi yang hierarkis tersebut, bukan pada materi penafsirannya namun pada alasan yang dikemukakan al-Razi ketika ia menafsirkan beberapa konsep di atas. Jadi disini perlu ada perbedaan, antara cara pandang dalam menafsirkan ayat-ayat gender dan hasil penafsiran yang sesuai dengan konteksnya. Dengan kata lain, kita tidak harus menggugat penafsiran al-Razi dengan hitam-putih, salah-benar. Karena penafsiran tersebut, apabila dilihat dengan konteks dan asumsi kesesuaian dan kesenjangan serta tingkat kesadaran masyarakat tentang relasi laki-laki dan perempuan, maka hal tersebut memiliki relevansi dengan zamannya. Sehingga disini, nilai relevansi sebuah penafsiran harus dikaitkan dengan, dimana teks tersebut lahir?
WAHYUNI EKA PUTRI - NIM. 035313162012-06-18T15:10:26Z2019-09-17T03:57:02Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/1361This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/13612012-06-18T15:10:26ZPENGKAJIAN TENTANG KITAB HADIS BULUG AL-MARAM MIN ADILLAT AL-AHKAM DI PONDOK PESANTREN TEGAL AL-AMIEN PRENDUAN SUMENEP MADURA ABSTRAK Hasil dari beberapa penelitian sebelumnya, kitab hadis Bulug al-Maram min Adillat al-Ahkam merupakan kitab hadis yang populer dikaji di pondok pesantren di Indonesia, khususnya di Jawa Timur. Salah satunya adalah di Pondok Pesantren Tegal Al-Amien Prenduan Sumenep Madura. Di pondok pesantren tersebut, kitab hadis Bulug al-Maram min Adillat al-Ahkam merupakan satu-satunya kitab hadis yang dikaji dalam kegiatan proses belajar-mengajar di kelas (intra-kurikuler) di tingkat Aliyah (sederajat dengan tingkat Sekolah Menengah Atas). Dari beberapa hasil penelitian di atas maka kemudian timbul suatu pertanyaan kenapa kitab hadis Bulug al-Maram min Adillat al-Ahkam populer dikaji di pondok pesantren di Indonesia?. Selama ini penulis belum menemukan adanya penelitian dalam bentuk skripsi ataupun karya ilmiah lainnya yang membahas alasan-alasan yang melandasi populernya pengkajian kitab hadis Bulug al-Maram min Adillat al-Ahkam di pondok pesantren di Indonesia, khususnya di Jawa Timur. Oleh karena itu, maka perlu kiranya diadakan sebuah penelitian yang membahas tentang alasan-alasan yang melandasi populernya pengkajian kitab hadis tersebut. Dalam hal ini di fokuskan dalam satu tempat penelitian, yaitu di Pondok Pesantren Tegal Al-Amien Prenduan Sumenep Madura. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan dan memaparkan pemahaman seputar alasan-alasan yang melandasi diadakannya proses kajian kitab hadis Bulug al-Maram min Adillat al-Ahkam di Pondok Pesantren Tegal Al-Amien Prenduan. Tujuan ini akan dicapai apabila langsung meneliti kelebihan-kelebihan isi kitab hadis Bulug al-Maram min Adillat al-Ahkam dan penilaian serta pendapat kiai (pengasuh) Pondok Pesantren Tegal Al-Amien Prenduan tentang kitab hadis Bulug al-Maram min Adillat al-Ahkam kaitannya dengan pengkajian kitab tersebut, yang merupakan satu-satunya kitab hadis yang pengkajiannya masuk dalam kategori kegiatan intra-kurikuler di pondok pesantren yang di asuhnya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif-analisis, yaitu berusaha memaparkan dan menganalisis alasan-alasan yang melandasi diadakannya proses kajian kitab hadis Bulug al-Maram min Adillat al-Ahkam di Pondok Pesantren Tegal Al-Amien Prenduan dengan meliputi dua variabel. Pertama, kelebihan-kelebihan kitab hadis Bulug al-Maram min Adillat al-Ahkam. Kedua, penilaian dan pendapat kiai (pengasuh) Pondok Pesantren Tegal Al-Amien Prenduan tentang kitab hadis Bulug al-Maram min Adillat al-Ahkam. Beberapa hasil dari penelitian tersebut adalah: Pertama, kitab hadis Bulug al-Maram min Adillat al-Ahkam ditulis oleh seorang ulama yang telah diakui tentang otoritas keilmuannya, khususnya dalam bidang hadis dan fiqih (mazhab Syafi'i). Kedua, kitab hadis Bulug al-Maram min Adillat al-Ahkam telah disyarah oleh banyak ulama terkenal dan mudah diakses. Ketiga, metode penulisan hadis-hadis dalam kitab hadis Bulug al-Maram min Adillat al-Ahkam indah dan unik. Keempat, penyusunan kitab hadis Bulug al-Maram min Adillat al-Ahkam sistematis dan bercorak kitab fiqih. Kelima, Kualitas hadis-hadis dalam kitab hadis Bulug al-Maram min Adillat al-Ahkam sebagian besar berkualitas sahih yaitu berjumlah 1.210 hadis dan yang berkualitas h}asan berjumlah 294 hadis, sedangkan yang berkualitas da'if berjumlah 110 hadis dari jumlah keseluruhan 1.596 hadis.
NIM. 01530733 YUSUF2012-07-12T11:28:03Z2016-10-18T04:28:50Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/1574This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/15742012-07-12T11:28:03ZAL-NASIKH WA AL-MANSUKH DALAM PANDANGAN AL NAISABURI (TELAAH PEMIKIRAN AL NAISABURI DALAM GARA'IB AL QUR'AN WA RAGA'IB AL FURQAN) ABSTRAK Fenomena naskh adalah suatu keniscayaan. Isyarat akan adanya al-nasikh wa al-mansukh tersirat dari firman Allah Q.S al-Baqarah (2) : 106. Ada banyak arti untuk memaknai kata naskh dalam ayat tersebut, di antaranya menghapus, membatalkan, dan mengganti. Sebagian ulama' mengartikan naskh dengan arti penghapusan ayat-ayat al-Qur'an yang berdampak pada pembatalan hukum, sehingga hal inilah yang menimbulkan kontroversi. Kajian tentang al-nasikh wa al-mansu kh sangat signifikan, karena begitu berpengaruh pada penetapan hukum. Jika al-nasikh wa al-mansu kh dimaknai sebagai penghapusan ayat-ayat al-Qur'an, maka yang menjadi persoalan adalah benarkah ada ayat-ayat al-Qur'an yang dihapus? Bagaimana nasib ayat-ayat tersebut kemudian? Oleh sebab itu, untuk memberikan klarifikasi tentang perdebatan konsep al-nasikh wa al-mansu kh, penulis mencoba menelusuri konsep tersebut dalam kitab tafsir Gara 'ib al-Qur'a n wa Raga 'ib al-Furqa n karya al-Naisaburi. Dengan metode deskriptif-analisis penelitian ini berusaha menguak konsep al-nasikh wa al-mansu kh yang ditawarkan oleh al-Naisaburi secara komprehensif dari dua segi pemaknaan naskh, yaitu dari penafsiran literal (al-Tafsir) dan penafsiran sufi (al-Ta'wil). Dari segi penafsiran literal (al-Tafsir) al-Naisaburi mengartikan kata naskh dalam dua arti, yaitu al-izalah dan al-naql, tetapi dalam praktiknya beliau sangat berhati-hati untuk memasukkan ayat-ayat al-Qur'an ke dalam ayat-ayat yang terkena al-nasikh wa al-mansu kh. Bahkan hampir semua ayat yang dimasukkan ke dalam ayat-ayat yang terkena al-nasikh wa al-mansu kh oleh sebagian ulama' beliau tolak. Hal ini didasari oleh prinsip beliau yang memaknai naskh pada unsur kemaslahatan, sehingga pelaksanaan hukum pada ayat-ayat tersebut sangat tergantung pada kondisi dan situasi yang melingkupinya. Yang menarik adalah penafsiran sufi al-Naisaburi tentang al-nasikh wa almansukh. Beliau mengartikan naskh sebagai perpindahan yang dialami para salik (para penempuh jalan sufi) dari satu hal (kondisi spiritual tertentu) menuju hal yang lebih tinggi yang nantinya akan membawa pada tingkat musyahadah, yaitu cahaya-cahaya penghambaan (anwar al-'ubudiyah) seorang salik tidak akan dinaskh (diganti) melainkan dengan cahaya ketuhanan (anwar al-rububiyah). Dari dua model penafsiran ini bisa diambil benang merah bahwa tidak ada ayat-ayat al-Qur'an yang dihapuskan atau dibatalkan hukumnya. Jika sekilas ada ayat-ayat al-Qur'an yang tampak bertentangan, maka pertentangan itu secara lahiriyahnya saja, bukan pertentangan secara hakiki. Dengan adanya konsep al-nasikh wa almansukh yang dipahami al-Naisaburi bisa diartikan bahwa Tuhan ingin mengajarkan kepada kita tentang akan adanya perubahan (change). Konsep alnasikh wa al-mansukh dalam ayat al-Qur'an bukan berarti bahwa Allah tidak mengetahui akan adanya kemaslahatan suatu hukum di masa mendatang sehingga harus menggantikannya dengan hukum baru, tetapi justru Allah memberikan tuntunan kepada kita untuk selalu melakukan perubahan yang positif, sehingga hidup menjadi dinamis. Dengan demikian, wacana keilmuan akan selalu berkembang.
SITI ROHMAH - NIM. 005300452015-10-16T04:04:19Z2015-10-16T04:09:58Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/1902This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/19022015-10-16T04:04:19ZTHE HOLY QUR'AN: TEXT, TRANSLATION ANTHE AND COMMENTARY KARYA ABDULLAH YUSUF ALIABSTRAK Sesuai dengan sifatnya yang universal, Islam dianut oleh berbagai bangsa di dunia, termasuk yang tidak menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa resmi atau bahasa ibu. Di dalam usaha mempelajari al-Qur'an khususnya dan Islam pada umumnya, kaum Muslim berusaha menerjemahkan dan menafsirkan al-Qur'an ke dalam bahasa masing-masing sambil tetap berpegang penuh kepada bahasa dan teks Arab yang asli.
Abdullah Yusuf Ali (1872-1953) seorang berkebangsaan India terkenal karena karyanya, The Holy Qur'an: Text, Translation and Commentary. Pertama kali terbit pada tahun 1934 secara berkala hingga tahun 1937. Karya ini merupakan acuan buku di dunia Muslim berbahasa Inggris, dan merupakan karya yang paling luas beredar di kalangan Muslim pada abad ke-20. Reputasi karya ini semakin meningkat seiring berlalunya waktu. Ini menjadi bukti atas kepiawaian penerjemahan dan penafsiran si pengarang terhadap bahasa Arab al-Qur'an serta pengungkapannya dalam bahasa Inggris yang fasih.
Fokus kajian adalah kitab The Holy Qur'an: Text, Translation and Commentary. Rumusan masalahnya: 1) Apa latar belakang Abdullah Yusuf Ali dalam menerjemahkan dan menafsirkan al-Qur'an?; 2) Bagaimana metode penerjemahan dan penafsiran yang praktikkan Abdullah Yusuf Ali dalam kitabnya?; dan 3) Apa kontribusi penafsirannya dalam studi al-Qur'an dan relevansi penafsirannya dengan konteks kekinian?
Penelitan ini merupakan penelitan kepustakaan (library research). Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif-analitis, yaitu menggambarkan biografi dan pemikiran Abdullah Yusuf Ali dalam tafsirnya, kemudian metode penerjemahan dan penafsirannya. Untuk melacak orisinalitas, konsistensi hingga kontribusi dan relevansi penafsirannya, penulis menggunakan pendekatan historis, karena dalam membahas pemikiran seorang tokoh, tidak mungkin melepaskan dari faktor historis tersebut.
Temuan dalam penelitian ini: terkait dengan metodologi penerjemahan ia menggunakan metode tafsiriyah dan bentuk terjemahannya puitis. Ia menggunakan sistematika tartib al-suwar, dengan metode tahlili yang bercorak sufi (tasawuf). Sumber penafsirannya adalah al-Qur'an, asbab al-nuzul, sirah, Bibel, sains modern dan temuan-temuan ilmu pengetahuan mutakhir, dan kitabkitab tafsir lain yang dirujuk. Namun porsi ra'yu dominan digunakan dalam tafsirnya. Yang dianggap orisinil darinya adalah terjemahannya yang puitis, rangkuman tafsir puitis, dan beberapa lampirannya yang terkait dengan tematema tertentu dalam al-Qur'an. Beberapa hal yang dianggap tidak konsisten dan kelemahan dari karya ini adalah kurangnya pengutipan hadis, penomoran ayat, penggunaan Bibel yang berlebihan dalam tafsirya, terutama pada ayat-ayat yang berkaitan dengan Yahudi dan Kristen, serta kisah-kisah masa lampau. Terlepas dari ketidak-konsistenannya, karya ini dipakai secara luas sebagai rujukan utama terjemahan al-Qur'an bahasa Inggris.NIM. 04531630 HELMI MAULANA2015-10-19T01:48:00Z2015-10-19T01:55:56Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/1309This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/13092015-10-19T01:48:00ZTAFSIR SUFI-FALSAFI IBN 'ARABI TENTANG PEREMPUAN DALAM AL-QUR'ANMarginalisasi terhadap peran perempuan di dalam wilayah hukum, sosial, dan politik, diterangai oleh banyak kalangan, akibat hegemoni tafsir tafsir patriarkis-klasik dalam menafsirkan kedudukan perempuan melalui doktrin agama, baik al-Qur'an maupun hadis. Perempuan dianggap tidak lebih dari quot;pelayan quot; laki-laki, makhlukn sekunder, dan padanan negatif lainnya, sehingga seolah-olah absah untuk diperlakukan sewenang-wenang oleh kaum laki-laki. br br Dengan menyimak aragam initimidasi dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap perempuan itulah, muncul quot;gerakan baru quot; untuk menyuarakan hak-hak perempuan yang selama ini dibungkam. quot;Gerakan baru quot; tersebut biasa dikenal denga gerakan tafsir feminisme-kontemporer yang merupakan kebalikan dari tafsir patriarkis-klasik. Nama-nama seperti Riffat Hassan, Amina Wadud, Fatima Mernisi, Asghar Ali Engineer, dan lain sebagainya, dalam kajian pemikiran Islam kontemporer dimasukkan ke dalam kelompok quot;gerakan baru quot; ini. br br Karena itu, disinilah perlu ada semacam bentuk quot;tafsir lain quot; yang dapat mengantarkan pada pemahaman terhadap kedudukan perempuan secara quot;utuh quot;, baik ditinjau dari segi kodratnya sebagai manusia, maupun doktrin agama, dengan tidak membatasi diri terhadap apa yang tersurat dan interpretasi-interpretasi artifisial. Berdasarkan penelusuran penulis, pemahaman yang ideal tersebut dapat ditemukan pada tradisi kearifan atau kaum sufi - terlebih dalam pemikiran tokoh sufi terkenal dari Andalusia bernama Ibn 'Arabi, yang menjadi objek penelitian ini. br br Tujuan dari penelitian ini secara umum, yaitu mengetahui pandangan Ibn 'Arabi tentang perempuan dalam al-Qur'an, yang ia kemukakan dalam karyanya, terutama di i al-Futuhat al-Makkiyah, Fusus al-Hikam /i dan i Tarjuman al Asywaq /i . Melalui karya-karya besarnya itu, penulis melakukan pelacakan terhadap pemikiran -pemikirannya dalam bentuk teks langsung berupa dalil dari al-Qur'an dan hadis, maupun statemen-statemen pribadinya. br br Meskipun harus diakui, tidak gampang memahami setiap diksi dari tulisan-tulisannya. Ulasan-ulasan yang ia bangun, terkait dengan tafsir i sufi-falsafi /i tentang perempuan dalam al-Qur'an dikemukakan secara acak dan terpisah di antara beberapa karyanya tersebut. Maka untuk mengatasi problem itu, penulis menggunakan unsur-unsur metodis yang terdiri dari: (1) Deskriptif, yakni dengan mengutip secara langsung pendapat-pendapat Ibn 'Arabi, (2) Interpretatif, digunakan untuk menafsirkan makna dari pendapatnya, dan (3) Komparatif, yang penulis gunakan untuk membandingkan pendapatnya itu dengan tokoh-tokoh sufi dan para mufassir. br br Kemudian untuk lebih jauh memahami pemikirannya, penulis menggunakan pendekatan i historis-filosofis /i . Dengan pendekatan ini, maka diketahui bahwa model penafsiran Ibn 'Arabi bercorak sufi sekaligus filosofis. Dalam setiap memahami persoalan, termasuk tentang kedudukan perempuan dalam al-Qur'an, sangat tampak karakteristik penafsirannya yang bersifat ontologis. Ia bertolak dari proses awal penciptaan manusia, yang kemudian dipadukan dengan metode tasirnya yang menggunakan i mukasyafah /i . Dengan cara seperti itulah, Ibn 'Arabi menghasilkan pola tafsir yang jauh dari bias gender, tetapi lebih pada pemuliaan dan pengagungan terhadap perempuan. Bahkan dalam batas-batas tertentu, perempuan bagi Ibn 'Arabi, menjadi quot;sarana quot; penampakan Tuhan di wajahnya. br br Dengan cara ini, penulis hendak quot;menobatkan quot; sekaligus memperkenalkan sosok Ibn 'Arabi sebagai seorang mufassir, disamping ia juga selama ini oleh banyak orang dikenal sebagai seorang sufi dan filsuf muslim. Karenanya, ia layak disejajarkan dengan mufassir-mufassir lain yang sudah banyak dikenal orang.NIM. 03531533 LAILIYATIS SA'ADAH2015-10-19T02:10:36Z2015-10-19T02:15:15Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/1296This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/12962015-10-19T02:10:36ZMETODOLOGI PENAFSIRAN AL-QUR'AN TELAAH ATAS PEMIKIRAN KASSIM AHMADSkripsi ini membahas tentang metodologi penafsiran al-Qur'an. Dalam hal ini penulis memfokuskan kajian ini kepada studi tokoh yaitu Kassim Ahmad. Permasalahan pokok penelitian skripsi ini adalah: Pertama, bagaimana konstruksi metodologi panafsiran al-Qur'an yang ditawarkan Kassim? Dan kedua, bagaimana aplikasinya dalam al-Qur'an serta relevansinya bagi perkembangan tafsir ke depan? Alasan penulis dalam memilih pemikiran Kassim dalam hubungannya dengan metodologi penafsiran al-Qur'an adalah sebagai berikut: Pertama, Kassim adalah salah satu tokoh yang sangat ambisius dengan perubahan umat, sehingga motto perubahan yang diusungkannya adalah Dare to know under the guidance of the Qur'an (rasa penasaran di bawah bimbingan al-Qur'an). Kedua, keberanian Kassim dalam menerobos apa yang selama ini dianggap final dan mapan dalam teologi Islam yaitu hadis atau sunnah merupakan sumber hukum. Menurutnya hadis atau sunnah bukan sebagai sumber tapi sebagai catatan sejarah, sehingga oleh sebagian orang beliau di cap sebagai orang yang ingkar sunnah. Ketiga, ada pesan yang dalam yang diinginkan Kassim dalam metodologi yang ditawarkannya, yaitu mewujudkan persatuan dan kesatuan serta peradamaian antar umat sesama masyarakat Muslim. Penelitian ini menggunakan pendekatan sosio-historis dengan menggunakan metode deskriptif-analisis. Sementara itu operasional metodologis kajian ini secara garis besar dilakukan melalui lima tahap, yaitu pengumpulan data, klasifikasi data, merestrukturisasi data-data dan kemudian pengelohan dan interpretasi data. Hasil penelitian ini adalah: Pertama, konstruksi dari metodologi ini adalah mengkaji al-Qur'an tidak berbeda dengan mengkaji pemikiran seseorang, artinya dalam mengkaji al-Qur'an juga diperhatikan aspek internal dan eksternalnya, yaitu mulai sejarahnya, bahasanya, hubungannya dengan kitab-kitab suci sebelumnya dan melakukan studi perbandingan tentang penafsirannya. Kedua, untuk mengapliksikan metode ini langkah pertama yaitu menjadikan al-Qur'an sebagai pedoman bagi umat manusia, yang mana ayat-ayat dipahami dalam lingkaran sembilan prinsip dasar yaitu membedakan ayat-ayat yang muhkamat dengan yang mutasyabihat untuk membentuk sebuah kesatuan muatan al-Qur'an dalam sebuah tema tertentu dengan cara ayatuhu yufassiru ba'duha ba'da (eksplanasi) dan dengan melihat konteks tiaptiap ayat dan konteks topik yang akan dikaji kemudian disempurnakan dengan prinsip mudah untuk dilaksanakan, meletakkan prinsip di atas metodologi dan diiringi dengan niat yang baik untuk tujuan kemaslahatan umat ke depan. Adapun relevansinya dan sekaligus kontribusi dari penelitian ini bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu tafsir adalah memberi sebuah tawaran baru berupa alat atau metode penafsiran al-Qur'an bagi perkembangan dan keberagaman penafsiran kontemporer untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan sesama umat Islam.NIM. 03531308 HENDRI2015-10-27T02:49:19Z2016-10-18T04:16:27Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/18041This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/180412015-10-27T02:49:19ZFRAGMEN AYAT AL-QURAN DALAM MANTRAMASYARAKAT BANJAR KALIMANTAN SELATAN( STUDI KASUS DI KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH )Masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan terkenal sangat agamis, baik dalam perilaku
perseorangan maupun kebudayaannya. Ada satu hal yang menarik dalam salah satu
benruk sastra lisan masyarakat Banjar ini yaitu mantra-mantra mereka yang
menggunakan bagian atau fragmen ayat al-Qur’an.
Hal ini merupakan sesuatu yang menarik untuk diteliti dikarenakan dengan latar belakang
mereka yang sangat agamis tetapi mereka memasukkan bagian ayat al-Qur’an yang
sangat dihormati dan dijunjung tinggi oleh umat Islam dalam mantra-mantra mereka,
seolah-olah ini merupakan sebuah paradoks. Menurut hemat penulis ini merupakan
sebuah bentuk interkasi sebuah masyarakat Islam terhadap al-Qur’an . hal ini lah yang
sangat menarik untuk diteliti.
Tidak adanya penelitian yang mendalam yang mendahului tentang penggunaan ayat al-
Qur’an dalam mantra Banjar ini memberikan insprirasi bagi penulis untuk melakukan
penelitian agar bisa memberikan pemaparan berbagai bentuk mantra yagng menggunakan
ayat al-Qur’an dan cara-cara penggunaan fragmen ayat al-Qur’an dalam mantra tersebut
Pentingnya penelitian ini dilakukan adalah dikarenakan bahwa mantra-mantra sebagai
bagian dari sastra lisan Banjar telah mengalami krisis pewarisan atau dengan kata lain
hampir punah ditengah-tengah masyarakat. Selain itu kiranya memang sudah sepatutnya
untuk dapat memberikan laporan akademik karena hal ini merupakan salah satu bentuk
interaksi terhadap al-Qur’an yang ada pada masyarakat.
Metode yang akan saya gunakan adalah melakukan penelitian lapangan dikabupaten Hulu
Sungai Tengah karena daerah ini saya anggap masih kental ke-Banjaran-nya, dengan
melakukan observasi lapangan maupun pustaka untuk mendapatkan sebanyak mungkin
informasi. penulis melakukan wawancara dengan pata Tuan guru (ulama) yang penulis
perkirakan mengetahui tentang mantra-mantra ini. Penelitian dilapangan menjadi pilihan
yang paling tepat agar bisa mendapatkan sebanyak mungkin informasi yagn tiak tercatat.
Dalam penelitian penulis berhasil mendapatkan beberapa catatan penting yaitu bahwa
mantra-mantra yang menggunakan ayat al-Qur’an ternyata terdapat dalam berbagai
macam mantra seperti dalam mantra guna-guna, mantra kedikdayaan, mantra untuk halhal
yang gaib, mantra untuk mengobati penyakit, dan mantra puja-puja. Pada bentuk
bahasa mantranya tpengguanaan ayat al-Qur’an terdapat dalam bentuk bahasa mantra
yang bercampur dengan bahasa selain banjar dan bentuk bahasa yang seluruhnya berasal
dari bahasa Arab. Dan ternyata dalam pengucapan bahasa al-Qur’an dalam mantra
rupanya tidak terikat dengan tajwid sebagai tata aturan pengucapan aksara Arab. Begitu
pula dalam corak mantranya terdapat dalam corak syair, pantun, dan ungkapan.
Penggunaaan ayat al-Qur’an dalam mantra rupanya ada tiga macam cara, pertama
dengan mengambil secara paksa bahasa al-Qur’an menjadi bahsa Banjar, kedua
mengambil arti Al-Qur’an yang sebenarnya, dan ketiga mengambil ayat al-Qur’an
sebagai pelengkap tanpa peduli arti.NIM. 0353425 ALFIANOOR2015-10-30T02:22:38Z2015-10-30T02:32:27Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/1232This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/12322015-10-30T02:22:38ZTAHFIZ AL-QUR’AN (STUDI TENTANG SEJARAH DAN METODE TAHFIZ AL-QUR’AN PRA-KODIFIKASI ABU BAKR)Interaksi (tafa‘ul) ummat islam dengan kitab suci mereka (al-Qur’an)
mempunyai berbagai bentuk dan model, ada yang menghafalkannya, memahaminya,
menulisnya, menafsirkannya dan lain sebagainya. Di mana pada setiap model interaksi
dengan al-Qur’an mempunyai bebrapa tingkatan dan macam, sesuai dengan kemampuan
masing-masing orang yang akan terpengaruh oleh ruang waktu dan tempat. Secara
umum, proses tahfiz al-Qur'an pada masa sekarang yang berlangsung di masjid,
madrasah, kuttab, rumah, ma‘had, universitas sesuai dengan tradisi ta‘lim setempat
menggunakan media al-Qur'an yang tertulis (mushaf), dan pada umumnya seorang murid
membacakan al-Qur’an dihadapan seorang guru (setoran) sesudah menghafalnya dari
sebuah mushaf (al-Qur’an yang tertulis) karena pada umumnya masyarakat sekarang
adalah masyarakat yang berbudaya tulisan (saqafah kitabiyyah). Dari sini peneliti ingin
mengetahui proses tahfiz al-Qur’an sebelum ada mushaf (pra-kodifikasi Abu Bakr) pada
sebuah masyarakat yang masih berbudaya oral (saqafah syafahiyyah). Penelitian ini akan
membantu untuk memberi gambaran yang lebih teliti tentang sejarah tahfiz al-Qur’an, di
mana penelitian dan studi terhadap sejarah al-Qur’an lebih fokus pada sejarah
penulisan/kodifikasi al-Qur’an.
Penelitian ini bersifat library research dengan metode deskriptif-analitis serta
menggunakan pendekatan sejarah naratif yang mencoba mencari fakta mengenai
peristiwa (event), ruang (space), waktu (time), tokoh (man) serta perubahan dan
keberlangsungan (change and contiunity). Peneliti akan mengurutkan, menganalisis, dan
mengklasifikasi data-data sejarah yang diperoleh dari bebrapa sumber. Penelitian ini
dapat memberi kontribusi kepada studi al-Qur’an khususnya dalam ilmu tarikh al-Qur’an
yang masih jarang dijadikan objek penelitian oleh mahasiswa jurusan tafsir dan hadis
UIN SUNAN KALIJAGA, sekaligus akan menambah wawasan para huffaz di bidang
mereka dalam rangka meningkatkan kualitas intelektual dan kesadaran para h}uffaz
(istikmal al-bina’ al-‘ilmi wa at-tarbawi li al-huffaz).
Pada periode Makkah, Nabi dan para sahabat telah berusaha untuk
menghafalkan dan menjaga teks al-Qur'an dengan mengadakan pembelajaran di rumah
para sahabat atau dengan cara privat. Masjid Nabi menjadi pusat pendidikan pada
periode Madinah, di samping tempat-tempat lain seperti as-suffah dan dar al-Qurra’.
Pengajar al-Qur'an tidak hanya Nabi, akan tetapi juga para sahabat senior, misalnya Ibn
Mas‘ud dan Mus‘ab. Selama dua periode ini, transmisi al-Qur'an lebih bercorak oral,
karena bangsa Arab awal berbudaya oral (saqafah syafahiyyah) sehingga para qurra’
mempunyai peran lebih besar dibandingkan al-Qur'an yang tertulis. Para qurra’ di masa
itu tidak menghafal al-Qur'an saja akan tetapi mereka adalah orang yang berilmu
(‘ulama) dan ahli ibadah (nussak). Para qurra’ inilah yang mempunyai peran besar dalam
proses pembentukan mushaf pertama pada masa Abu Bakr.
Dengan menggunakan kaca mata ulumul hadis, peneliti berhasil menjelaskan
metode tahfiz al-Qur'an pada komunitas yang berbudaya oral, di antaranya adalah alistima>‘
min qira’ah asy-syaikh dan al-qira’ah ‘ala asy-syaikh. Nabi dan sahabat
mentransmisikan al-Qur'an dengan benar dan sempurna. Untuk menjaga hafalan al-
Qur'an, mereka telah melakukan berbagai aktifitas muraja‘ah (ulangan) secara pribadi
atau kelompok (dengan patner), hingga hafalan mereka tetap terjaga. Selain metode
yang sistematis, potensi dan dorongan diri yang dimiliki generasi awal dapat juga
dikatakan sebagai faktor pendukung tahfiz. Nabi telah mencoba untuk mendekatkan al-
Qur'an kepada masyarakat dengan berbagai hal hingga seorang qari’ atau hafiz pada
masa Nabi mempunyai kedudukan yang istimewa.NIM. 03531444 ABDUL JALIL2021-11-04T03:33:03Z2021-11-04T03:42:51Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/990This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/9902021-11-04T03:33:03ZDOSA DALAM AL-QUR'AN (KAJIAN TEMATIK TERHADAP KATA I KHATI 'AH, JARMUN, ZANBUN, ISMUN, DAN JUNAH)ABSTRAK Istilah dosa di dalam al-Qur'an disebutkan dengan beragam, hingga tujuh belas kata. Dalam ilmu-ilmu al-Qur'an, muncullah wacana taraduf (sinonimitas) yang telah melahirkan dua kelompok, pertama kelompok yang mengakui adanya tara duf dan kedua, tidak mengakui adanya sinonimitas, dengan alasan bahwa masing-masing kata tersebut memiliki sense dan wilayah maknanya sendiri-sendiri serta memiliki kelebihan-kelebihannya masing-masing. Dari sinilah penelitian ini berangkat, yakni berusaha untuk mencoba mencari sense dan wilayah makna dari masing-masing kata tersebut. Namun penelitian ini hanya dibatasi pada lima kata saja, yakni khati'ah, jarmun, zanbun, ismun dan junah}. Penelitian ini bersifat literer dengan metode maudu'i (tematik). Fokus penelitian ini adalah kelima kata tersebut dengan cara melakukan riset terhadap kelima kata tersebut di dalam al-Qur'an, bagaimana kelima kata tersebut digunakan dalam al-Qur'an. Di samping itu, keteranganketerangan tentang lima kata tersebut juga diambil dari hadis-hadis Nabi Muhammad serta didukung dengan basis informasi dari kamus-kamus induk bahasa Arab. Dari penelitian ini dapat diketahui bahwa kata khati'ah menunjukkan sebuah kesalahan yang bersifat umum (Q.S. al-Fath (48):2), bisa saja kesalahan tersebut memuat dosa jenis zanbun ataupun ismun dan terkadang juga kata ini menunjukkan jenis kesalahan yang tidak disengaja (Q.S. as-Syu'ara' (26):14). Kata jarmun digunakan untuk menunjukkan dosa yang sudah berlebihan atau keterlaluan atau digunakan untuk menunjukkan pelaku dosa yang sudah berulang kali sehingga terbiasa melakukan dosa (Q.S. al-An'am (6):124). Kata ismun meliputi bentuk dosa melawan Allah, Rasul, mengingkari ayat-ayat-Nya, tidak beriman kepada Allah, melanggar segala sesuatu yang telah diharamkan oleh Allah dan perbuatan yang mendatangkan keburukan, permusuhan, kekejian dan menjauhkan dari manfaat, pahala dan kebaikan (Q.S. Al-Baqarah (2):85 dan 181-182). Namun seringkali kata ini digunakan untuk dosa yang berhubungan dengan hal-hal yang sudah diharamkan (Q.S. Al-Baqarah (2):173). Sedangkan kata zanbun seringkali disebutkan dalam konteks menunjukkan jenis dosa yang sudah lampau dan melawan atau menentang Allah (Q.S. Ali Imran (3):11). Kata zanbun mencakup makna dosa, akhir sesuatu, keterbelakangan, kehinaan, perilaku buruk yang mendatangkan akibat atau siksa. Kata junah sering digunakan untuk suatu perbuatan yang dulu kelihatan tidak pantas dan cendrung dosa padahal perbuatan tersebut bukanlah merupakan dosa (Q.S al-Baqarah (2):158). Kata ini memiliki makna 'cenderung pada dosa atau tidak sampai pada dosa' atau 'cenderung pada permusuhan.' Efek dari kata junah seringkali menawarkan dua pilihan, yakni pilihan untuk melakukan perbuatan tersebut ataupun tidak. br brNIM.: 01530702 M. Akram Achyar2022-06-03T05:48:45Z2022-06-03T06:00:35Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/1970This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/19702022-06-03T05:48:45ZKISAH ASHAB AL SABT DALAM AL QUR'AN : STUDI KOMPARASI ANTARA PENAFSIRAN AL TABARI DAN IBN KASIRKisah-kisah yang ada dalam al Qur'an, pada dasarnya tidaklah relevan untuk menjadi referensi sejarah karena sejarah pada hakikatnya tidak menjadi bagian atau unsur ajaran agama. Yang menjadi persoalan bukan kisah itu, akan tetapi apakah kisah-kisah yang ada dalam al Qur'an itu mampu memberikan nilai-nilai kemaslahatan bagi masyarakat atau tidak, merupakan hal yang terpenting untuk diperhatikan. Salah satu kisah al Qur'an yang menarik untuk dikaji adalah kisah Ashab al-Sabt yaitu kisah tentang nenek moyang orang-orang Yahudi yang dikutuk Allah menjadi monyet, karena melanggar aturan pada hari Sabtu. Banyak para mufassir sering terjebak dalam menginterpretasikan beberapa uraian kisah Ashab al Sabt tak terkecuali mufassir klasik maupun kontemporer seperti dicampurkannya cerita-cerita Israil 'iliyyat di dalamnya.
Persoalan yang akan diteliti dalam skripsi ini adalah mengenai : 1) Bagaimana penafsiran al-Tabari dan Ibn Kasir tentang Ashab al Sabt?, 2) Apa persamaan dan perbedaan penafsiran kedua mufassir tentang Ashab al-Sabt? Adapun cara penelitian yang nantinya akan dituangkan dalam skripsi ini adalah dengan langkah kerja metode deskriptif dan metode analisis komparatif, yakni menguraikan penafsiran al-Tabari dan Ibn Kasir tentang kisah Ashab al_sabt yang kemudian ditelaah dan dibandingkan antar keduanya.
Adapun hasil dari penelitian ini adalah, pertama, penafsiran al TAbari mengenai Ashab al sabt adalah bahwa Ashab al sabt merupakan sepenggalan cerita mengenai orang-ornag Yahudi yang melanggar aturan pada hari sabtu, yaitu hari dimana diwajibkan kepada umat Yahudi untuk beribadah yang ditetapkan dalam syari'at Musa as. Namun, sebagian warga Yahudi melanggar perintah Alloh tersebut dan melampaui batas yang diharamkan bagi mereka. Sebagian mereka tetap nekat melanggar aturan hari sabtu dan menghalalkan apa yang diharamkannya. Adapun penafsiran Ibn Kasir tentang Ashab al-Sabt adalah bahwa Ashab al Sabt pada dasarnya adalah sebuah kisah, dimana Allah telah menetapkan dan memberikan kesepakatan bersama dengan warga Yahudi bahwa hari Sabtu merupakan hari terpenting yang wajib bagi mereka untuk menghormati atau mensakralkannya guna beribadah kepada Allah. Menurut Ibn Kasir, Allah telah menyuruh bani Israil sebagaimana hal itu telah menjadi kesepakatan yang telah mereka buat sendiri. Karena sikap dusta dan mengingkari janji yang telah dibuatnya sendiri itulah, lalu Allah mengutuknya menjadi monyet, sebagai balasan yang sesuai dengan perbuatan mereka yang memutarbalikkan ayat Allah.
Kedua, dalam menafsirkan kisah Ashab al-sabt, baik al Tabari maupun Ibn Kasir, keduanya memiliki persamaan cara atau metode dalam membahasnya, yaitu dengan sama-sama merujuk kepada riwayat bani Israil 'iliyyat. NAmun, perbedaan yang sering mencolok diantara keduanya adalah, bahwa al-Tabari kadang memberikan komentar terhadap isi matan riwayat israil 'iliyyat yang menjelaskan tentang kisah Ashab al Sabt, namun kadang pula ia memberikannya tanpa adanya koreksi apapun. Berbeda dengan Ibn Kasir, ia mengomentari kisah Ashab al sabt yang mengandung cerita Israil 'iliyyat. Ia lebih selektif memilih riwayat dan lebih cenderung memprioritaskan atas adanya ke siqah an dalam sanad-sanad yang ia uraikan.NIM.: 01530492 Delfion2022-06-06T07:23:27Z2022-06-06T07:30:17Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/1304This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/13042022-06-06T07:23:27ZPENAFSIRAN SYUKUR DALAM TAFSIR AL-SYA’RAWIPenelitian ini berjudul Penafsiran Syukur dalam Tafsir al-Sya'rawi quot;. Kata syukur dan turunannya disebut tujuh puluh lima kali dalam al-Qur'an. Banyaknya kata tersebut menunjukkan bahwa kata syukur itu penting. Syukur adalah satu model interaksi hamba kepada Allah atas nikmat dan rizki-Nya. Oleh karena itu, syukur menjadi konsep keagamaan dalam kehidupan (teologissosiologis). Sebagai sebuah kata, kata syukur memiliki beragam makna apalagi tatkala ditafsirkan oleh para mufasir yang memiliki latar belakang sosio-historis yang berbeda. Al-Sya'rawi, salah satu mufasir kontemporer yang telah menulis Tafsir al-Sya'rawi, menunjukkan hal ini, bahwa kehidupan sosio-historis dan kulturalnya telah membentuk dirinya untuk menafsirkan al-Qur'an sesuai dengan kebutuhan masyarakat, tidak terkecuali ketika al-Sya'rawi menafsirkan kata syukur. Penelitian ini mencoba menjawab pertanyaan bagaimana konsep syukur menurut al-Sya'rawi an bagaimana aplikasi dan manfaat syukur menurut al-Sya'rawi serta kekurangan dan kelebihan dalam menafsirkan kata syukur. Jenis penelitian ini adalah kepustakaan (library research) dengan sifat deskriptif-analitis. Data-data yang bersumber dari Tafsir al-Sya'rawi akan diuraikan secara mendetail, baru kemudian ditarik kesimpulan. Penelitian ini menggunakan dua pendekatan, yakni pendekatan normatif yang dirangkai dengan pendekatan filosofis. Hasil penelitian menyatakan bahwa konsep syukur menurut al-Sya'rawi adalah pengakuan atas nikmat dari pemberi nikmat (mun'im) dengan ketundukan. Syukur dilakukan ketika seseorang mendapatkan nikmat dan anugerah dari Allah (Fadl). Syukur diwujudkan dalam ucapan (bi al-lisan), badan (bi al-badan), hati, (bi al-qalb) dan harta (bi al-mal). Sebagai sebuah perwujudan terima kasih atas nikmat Allah, maka manfaat terhadap sikap syukur menjadikan Allah menambahi nikmatnya secara terus menerus dan mengantarkan pelakunya pada pemantapan iman. Aplikasi syukur dilakukan ketika seseorang pertama, mensyukuri semua nikmat yang Allah berikan. Kedua, bersyukur ketika mendapatkan nikmat dan ketiga, bersyukur ketika mendapatkan sebagian dari nikmat itu sendiri (aljuz'iyyat al-ni'mah al-wahidah). Syukur merupakan respons manusia paling awal atas Allah yang telah memberikan nikmat, kemudian manusia melanjutkan respons tersebut dengan beriman. Oleh sebab itu kata syukur ditulis terlebih dahulu daripada iman sebagaimana terdapat dalam Q.S. al-Nisa' (4): 147. Apabila syukur dilaksanakan sebagaimana disebutkan di atas, maka syukur itu tidak hanya mendatangkan tambahan nikmat, namun syukur itu merupakan sebuah nikmat tersendiri. Sebaliknya, jika manusia tidak mau bersyukur maka dia mengingkari nikmat Allah atau kufur dan balasannya adalah azab yang Pedih. Sebagai sebuah kitab tafsir, Tafsir al-Sya'rawi memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya adalah memadukan metode tahlilidan maudu'i, berangkat dari kebutuhan masyarakat, sehingga ide-idenya membumi, tidak melepaskan tradisi dan pendapat ulama-ulama terdahulu. Terdapat pengembangan dalam pembagian syukur yakni syukur bi al-mal. Kekurangankekurangannya di antaranya tidak adanya sebuah referensi ketika terdapat penyebutan sebuah pendapat ulama lain. Tidak adanya perhatian terhadap sanad hadis.NIM.: 02531109 Junnatul Khasinah2022-06-07T02:09:27Z2022-06-07T02:17:39Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/1311This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/13112022-06-07T02:09:27ZPENGINGKARAN KEPADA TUHAN (Konsep dan Makna Kufr menurut Toshihiko Izutsu dan M. Quraish Shihab)Kufr pada dasarnya merupakan antitesis dari iman, sedangkan iman adalah bagian dari ajaran atau aspek Islam yang paling pokok dan fundamental. Bila sistem iman rusak, maka runtuhlah bangunan agama secara keseluruhan. Pembahasan masalah kufr dengan demikian merupakan kunci pembuka untuk memahami lebih dalam tentang makna iman. Al-Qur'an memaparkan kufr sebagai sumber dan sentral dari segala kejahatan serta menjadikannya sebagai lawan dari iman, yang merupakan induk dari segala kebaikan. Pengetahuan yang komprehensif mengenai kufr, sekaligus akan menambah pengetahuan tentang iman. Skripsi ini ditujukan untuk menjawab persoalan sekitar konsep kufr dalam al-Qur'an menurut perspektif dua tokoh yang memiliki perbedaan konseptual dalam studi al-Qur'an. Dengan adanya beberapa perpedaan metode penafsiran dari kedua tokoh tersebut maka dapat terumus dalam pertanyaan-pertanyaan berikut: bagaimana inti konsep kufr dalam al-Qur'an menurut Toshihiko Izutsu dan Muhammad Quraish Shihab? bagaimana persamaan dan perbedaan metode penafsiran al-Qur'an yang diterapkan kedua tokoh tersebut dalam menganalisis inti konsep kufr dalam al-Qur'an ? Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode deskriptifkomparatif. Adapun metode pengumpulan datanya adalah dengan metode dokumentasi yang berusaha mengumpulkan seluruh data primer dan sekunder. Data primer pada penelitian ini adalah buku-buku karya kedua tokoh tersebut khususnya buku yang berjudul Ethico-Religious Concept in the Qur'an untuk Toshihiko Izutsu dan Tafsir al-Mishbah untuk M. Quraish Shihab. Sedangkan data sekunder dalam penelitian ini adalah literatur-literatur yang berkaitan dengan pembahasan masalah kufr secara umum. Kemudian data dianalisis dengan menggunakan metode analisis komparatif. Adapun metode pendekatan yang dipakai adalah historis dan linguistik. Menurut Toshihiko Izutsu dan Quraish Shihab kata kufr dan derivasinya di dalam al-Qur'an digunakan untuk menjelaskan dua aspek makna yang berbeda yaitu makna religius dan non-religius. Pada aspek non-religius, kufr bermakna bahasa murni yang berarti, "menutupi'. Sedangkan pada aspek religius, kata ini mempunyai makna yang beragam yang tidak dapat dipisahkan dengan beberapa kata lain yang mengikutinya. Toshihiko Izutsu menggunakan metode semantik dalam menganalisis kata kunci yang berhubungan erat dengan kata kufr, sehingga selain kata kufr masih banyak kata-kata lain yang menunjukkan karakteristik kekufuran. Metode yang diterapkan Izutsu sangat rigid karena jika seseorang melakukan perbuatan kufr, maka ia disebut dengan kafir yang sejajar dengan istilah-istlah lain seperti zalim dan fasiq. Sementara Quraish Shihab dalam kitabnya Tafsir Al-Misbah cenderung menggunakan pendekatan tekstualkontekstual, dimana teks al-Qur'an sebagai pusat. Metode seperti ini melahirkan pemahaman bahwa jika seseorang melakukan perbuatan kufr, maka ia tidaklah sejajar dengan istilah-istilah lain, karena diantara istilah-istilah dalam al-Qur'an tersebut masing-masing mempunyai esensi dan eksistensi sendiri.NIM.: 03531382 Lies Mayasaroh2022-06-07T03:10:49Z2022-06-07T03:17:15Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/1313This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/13132022-06-07T03:10:49ZKONSEP I'JAZ AL-QUR'AN MENURUT ABU BAKAR AL-BAQILLANI DALAM KITAB I'JAZ AL-QUR'AN (Studi tentang Korelasi Pemikiran al-Baqillani dan Teologi al-Asy'ari)Kajian terhadap i'jaz al-Qur'an cukup penting dilakukan. Selain sebagai prinsip elementar dalam kenabian, i'jaz al-Qur'an juga dibutuhkan dalam rangka mengetahui maksud Firman Allah Swt. sekaligus menambah keyakinan terhadap kebenaran pesanpesannya. Begitu pentingnya kajian ini, tak heran bila banyak tokoh melakukan penelusuran secara serius terhadapnya. Salah satu tokoh generasi awal yang menulis tema tersebut adalah Abu Bakar al-Baqillani (W. 403 H). Di dalam kitab I'jaz al-Qur'an, ia menjelaskan konsep itu dengan baik. Sehingga banyak tokoh berikut yang melakukan reproduksi pemahaman berdasarkan pemikirannya. Namun, membaca secara mendalam karya ini akan tampak betapa argumen yang dibangun oleh al-Baqillani dalam penempatan aspek kebahasaan sebagai kemukjizatan al-Qur'an yang sebenarnya merupakan bentuk pemihakan kepada aliran teologi tertentu, yaitu al-Asy'ari. Berangkat dari kenyataan tersebut, penulis mengajukan beberapa pertanyaan sebagai rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu: bagaimana konsep kemukjizatan al-Qur'an menurut al-Baqillani dalam kitab I'jaz al-Qur'an? Bagaimana konsep Kalamullah menurut al-Asy'ari? Bagaimana korelasi antara konsep kemukjizatan al-Qur'an menurut al-Baqillani dan pandangan Kalamullah teologi al-Asy'ari? Mengapa terjadi korelasi antara keduanya? Dengan menggunakan pendekatan historis dan metode diskriptif-interpretatif dan metode intertekstualitas dapat dihasilkan kesimpulan sebagai berikut: konsep kemukjizatan al-Qur'an menurut al-Baqillani di dalam kitabnya terletak pada pemberitaan gaib, keummiyan Nabi Muhammad Saw., dan susunan dan struktur (al-nazm wa al-ta'lif) bahasa yang indah. Hanya saja, aspek kebahasaan merupakan aspek yang sesungguhnya dari kemukjizatan al-Qur'an. Sebab, berdasarkan tantangan yang disodorkan oleh al-Qur'an untuk membuat semisalnya dan kenyataan tidak adanya perlawanan dari masyarakat. Kedua, konsep Kalamullah menurut teologi al-Asy'ari bersifat Qadim. Ia tidak diciptakan. Ketiga, al-Baqillani terbukti memihak kepada paham Kalamullah Qadim menurut teologi al-Asy'ari. Pandangan al-Baqillani tentang kemukjizatan al-Qur'an pada ranah susunan dan struktur bahasa yang indah seolah ingin menyampaikan pesan teologis bahwa Kalamullah adalah Qadim, sehingga tidak mungkin akan ditandingi oleh siapapun. Betapa al-Asy'ari dalam hal ini memberikan sumbangan yang besar terhadap kerangka berpikir (al-binyah al- amp;#8216;aqliyyah) al-Baqillani dalam konseptualisasi ilmu tersebut, begitu juga al-Baqillani yang berjuang melakukan pembelaan terhadap aliran keagamaannya. Keempat, korelasi pemikiran antara dua tokoh terjadi sebab: [1], pemahaman yang sama tentang Kalamullah antara al-Baqillani dan al-Asy'ari. [2], persinggungan antara al-Asy'ari dengan al-Baqillani dalam tranformasi pengetahuan baik secara langsung maupun tidak. [3], al-Baqillani hidup pada masa yang sedang gencar terjadi pembahasan masalah teologi. Wajar bila ia berusaha melakukan afirmasi terhadap pandangan teologi yang diikuti. Harapannya, penelitian ini dapat memberikan sumbangan intelektual yang berharga bagi jurusan TH tentang konsep kemukjizatan al-Qur'an dari sisi geneologi penulisan dan segala hal yang menyelimutinya.NIM. 03531300 M. Alwy Amru Ghozali2022-06-07T06:21:30Z2022-06-07T06:28:43Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/1301This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/13012022-06-07T06:21:30ZKISAH ISTRI FIR'AUN DAN MARYAM DALAM AL-QUR'AN (Studi Atas Tafsir al-Mizan Karya Muhammad Husain at-Tabataba'i)Kaum wanita muslimah pada umumnya, memerlukan suri tauladan agung yang menjadi simbol wanita mulia, yang telah dikisahkan dalam al-Qur'an. Sosok wanita teladan ini sebagai tolok ukur dalam perbaikan diri menuju fitrah wanita sejati. Seiring perubahan zaman, kaum wanita banyak mengalami berbagai erosi, misalnya kemerosotan dalam kepribadian, akhlak bahkan aqidah. Salah satu penyebabnya adalah krisis figur wanita teladan. Wanita muslimah semakin jauh meninggalkan teladan sejati mereka yang telah terbukti mampu memainkan peran positif. Oleh karena itu, penelitian tentang tokoh-tokoh wanita dalam al-Qur'an sangat urgen atau penting dilakukan berdasarkan beberapa alasan, pertama, sosok wanita dalam al-Qur'an sebagai suri tauladan agung, dan simbol wanita mulia dalam sejarah Islam. Kedua, pengulasan keteladanan dan pesan moral al-Qur'an yang terkandung dalam kisah-kisah tersebut. Ketiga, signifikansi pesan moral kisah wanita dalam al-Qur'an dalam konteks masa kini. Pengkajian figur wanita yang akan penulis lakukan adalah pengkajian kisah dua tokoh wanita, yaitu istri Fir'aun dan Maryam. Penulis akan mengkaji kedua tokoh tersebut melalui tafsir al-Mizan fi Tafsir al-Qur'an karya Tabataba'i. Kekhususan dalam kitab tafsir al-Mizan yang merupakan karya monumentalnya ini di dalam membahas beberapa ayat gender penulisnya memberikan nuansa esoterik yang hampir tidak kita jumpai di dalam kitab tafsir kalangan Sunni. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis, yakni mengumpulkan data yang ada, menafsirkannya dan mengadakan analisa yang interpretatif dengan cara menyelami kemudian mengungkap arti dan nuansa yang di maksud oleh seorang tokoh. Selanjutnya untuk menganalisa data digunakan metode deduktif, yaitu menganalisa data-data yang bersifat umum, kemudian ditarik ke dalam kesimpulan yang bersifat khusus. Hal ini dilakukan untuk mengetahui detail-detail penafsiran Tabataba'i ketika menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an tentang kisah istri Fir'aun dan Maryam. Berdasarkan uraian dalam penelitian ini, maka dapat dihasilkan beberapa kesimpulan yaitu, pertama, keteguhan iman yang tergambar dalam diri istri Fir'aun yaitu, Asiyah. Kisah istri Fir'aun mengandung pesan moral yang sangat berharga, bahwa dalam diri seseorang yang suci dan murni dari kekafiran dan kemunafikan, meskipun berdampingan dan bergaul dengan seorang yang kafir, maka hatinya tetap teguh memegang prinsip dan keimanannya. Sifat keibuan pada diri Asiyah, ketika menyelamatkan bayi Musa dari kekejaman Fir'aun, yang hendak membunuhnya. Kedua, kesalehan dan kesucian diri, yang tergambar jelas dari sosok Maryam. Dengan berbekal iman kepada Allah SWT Maryam tetap tegar dan ikhlas menerima segala ujian dari Allah SWT. Pemeliharan diri dengan menutup aurat dengan jilbab atau hijab. Keimanan dan ketakwaan mampu menumbuhkan rasa tenang dalam hati dan tentram dalam jiwa. Keimanan juga menumbuhkan rasa optimisme, keberanian, perasaan harga diri dan harapan serta rasa dekat dengan Tuhan.NIM.: 02531163 Ika Narulita2023-06-08T07:47:05Z2023-06-08T07:49:08Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/1680This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/16802023-06-08T07:47:05ZTEORI EVOLUSI DARWIN DALAM PANDANGAN TAFSIR ILMI HARUN YAHYAPerkembangan ilmu pengetahuan modern saat ini telah banyak memunculkan penafsiran yang bercorak 'ilmi. Penafsiran semacam ini menekankan pada pembahasan tentang ayat-ayat kauniyah yang ditafsirkan dengan menggunakan penemuan-penemuan ilmiah sebagai penjelas dari ayat-ayat kauniyah tersebut. Model penafsiran semacam ini dilakukan oleh Harun Yahya untuk menafsirkan ayat-ayat tentang keruntuhan teori evolusi Darwin terutama mengenai asal-usul manusia yang disesuaikan dengan penemuan-penemuan ahli bidang antropologi dan biologi modern seperti Roy Britten dan tokoh-tokoh lainya.
Penafsiran ayat-ayat yang berkaitan dengan teori evolusi Darwin oleh Harun Yahya ini difokuskan pada beberapa ayat yang mengetengahkan mengenai asal-usul manusia. Perbedaan tentang penciptaan manusia menurut Darwin dan al-Qur'an inilah yang dicoba diteliti oleh Harun Yahya dengan menggunakan teori sains modern yang digagasnya seperti halnya pendapat para pakar paleontologi dan biologi seperti halnya Roy Britten dan para tokoh pengkaji evolusionis lainnya.
Agar pendekatan yang digunakan untuk meneliti pembahasan penafsiran Harun Yahya terhadap ayat-ayat yang berhubungan dengan teori evolusi Darwin terutama mengenai asal-usul manusia ini agar dapat mencapai secara maksimal, maka penulis menggunakan pendekatan histories kritis, yang berusaha mengetahui dan memaparkan latar belakang yang mempengaruhi pemikiran Harun Yahya dalam kapasitasnya sebagai seorang penafsir ilmi.
Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah bahwasannya Harun Yahya dengan tegas menolak apa yang dikatakan oleh Darwin dalam selogannya bahwa asal-usul manusia tercipta dari bangsa kera (simpance). Dalam hal ini Harun Yahya mencoba membantahnya dengan menggunakan pendekatan histories kritis dalam tafsir ilminya terutama mengenai ayat-ayat yang berhubungan dengan keruntuhan teori evolusi Darwin terutama mengenai asal usul manusia.
Disini jelas bahwa Harun Yahya dengan tegas menolak apa yang di katakan Darwin dalam berbagai karyannya terutama mengenai teori evolusi yang berhubungan dengan asal-usul manusia. Karena dalam pandangan Harun Yahya teori evolusi ini runtuh dengan beberapa sebab diantaranya: (1) Jenis-jenis makhluk hidup tak bisa berubah. Tidak mungkin terjadi perubahan dari satu bentuk kebentuk lainya, misalnya dari ikan menjadi amfibi dan reptil ke burung, atau mamalia darat ke paus. (2) Tiap jenis makhluk hidup tak berkerabat satu sama lain dan di turunkan dari leluhur yang sama. Masing-masing merupakan dari suatu tindakan penciptaan tersendiri. (3) Seleksi alam yang di ketemukan Darwin hanya berlaku di alam, namun tidak pernah menghasilkan spesies baru. (4)Catatan fosil tidak menunjukkan bentuk transisional, serta menunjukkan penciptaan tiap kelompok makhluk hidup secara terpisah. (5) Kerumitan dan kesempurnaan pada tubuh dari DNA makhluk hidup tak timbul karena kebetulan, namun merupakan bukti bahwa ada yang merancang kerumitan tersebut.NIM.: 02531143 AHMAD CHOLIB2023-06-08T08:04:25Z2023-06-08T08:10:09Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/1317This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/13172023-06-08T08:04:25ZPANDANGAN MUHAMMAD HUSAIN HAIKAL TERHADAP HADIS ISRA' MI'RAJ NABI MUHAMMAD SAWHadis sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur'an menduduki posisi yang sangat penting dalam Islam. Oleh karena itu, diperlukan penelitian yang ketat untuk menguji otentisitas sebuah hadis. Para ulama klasik seperti al-Bukhari, Muslim dan lain-lain menekankan penelitian pada aspek kesahihan sanadnya dengan asumsi bahwa kebenaran sebuah ilmu diukur dari kebenaran riwayatnya. Berbeda dengan mereka, para ulama modern seperti Muhammad Abduh dan Muhammad Husain Haikal lebih menekankan pada penelitian kesahihan matan hadis yang didasaran pada pembacaan mereka terhadap sejarah penulisan (kodifikasi) yang lama dan peristiwa pemalsuan hadis yang marak pada masa awal Islam serta pembacaan mereka terhadap realita umat Islam pada zamannya yang diserang oleh mitos, takhayul, dan khurafat yang menjadikan mereka tertinggal dari peradaban dunia modern. Sebagai seorang pemikir modern, Muh}ammad H{usain Haikal memiliki gagasan modernisme yang dia tuangkan dalam karya monumentalnya Hayat Muhammad yang berisi perjalanan hidup Nabi Muhammad saw. dari proses kelahiran hingga wafat yang digambarkan dengan semanusiawi mungkin dengan pendekatan ilmu pengetahuan modern seperti psikologi termasuk di antaranya adalah sebuah peristiwa agung, yakni isra' mi'raj Nabi saw. Secara umum, ada tiga pemahaman mengenai isra' mikraj ini, yakni isra' mikraj dilakukan dengan ruh, isra' dengan jasad dan mikraj dengan ruh, serta isra' mikraj dilakukan dengan jasad. Dari sana, muncul sebuah rumusan masalah, yakni bagaimanakah pandangan Muhammad Husain Haikal mengenai hadis-hadis isra' mikraj, mukjizat Nabi saw., serta kritik yang ditujukan kepadanya terkait padangannya tersebut. Setelah meneliti dengan metode deskriptif analitis, penyusun menemukan bahwa dengan konsep kesahihan sebuah matan hadis yang digagas Muhammad Husain Haikal, yakni sesuai dengan al-Qur'an, syariat, akal dan panca indera, dia mengutip tiga hadis yang dianggapnya sahih dari segi matan meskipun lemah dari segi sanadnya sebagai sumbernya, yakni hadis riwayat i Aisyah, Umm Hani' dan Mu'awiyah bin Abu Sufyan . Ketiga hadis tersebut Haikal kutip sebagai pendukung pendapatnya yang menyatakan bahwa isra' mikraj Nabi Muhammad saw. dilakukan dengan ruh. Untuk menjelaskannya, Haikal membaca isra' mi'raj dengan konsep i wihdat al-wujud dan menganalogikannya dengan teori ilmu pengetahuan modern seperti telepati, gelombang suara, dan hipnotisme. Jika memang isra' mi'raj dilakukan dengan ruh, bukan jasad, maka hal itu menjadikannya masuk ke dalam kategori sesuatu yang gaib. Dan jika ia termasuk ke dalam ketori gaib, maka pembuktian secara ilmiah pun sulit dilakukan. Sehingga isr'a mikraj bukanlah mukjizat Nabi saw., tetapi lebih diartikan sebagai kelebihan yang diberikan Allah kepada Rasil-Nya. Oleh karena itu, menurut Haikal, mukjizat Nabi Muhammad saw. sebenarnya adalah al-Qur'an. Karena ia merupakan sesuatu yang sangat manusiawi, rasional, dan ilmiah. Meskipun begitu, ada beberapa kritik yang lancarkan atas pandangannya ini, yang pada intinya menyatakan bahwa Haikal terlalu terlena dengan metode ilmiahnya sehingga kurang memperhatikan hal-hal yang benar jika dilihat dengan metode yang lainnya.NIM.: 03531509 M. NUR ROHMAN