Institutional Repository UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta: No conditions. Results ordered -Date Deposited. 2024-03-28T12:01:50ZEPrintshttp://digilib.uin-suka.ac.id/images/sitelogo.pnghttps://digilib.uin-suka.ac.id/2024-03-21T07:11:38Z2024-03-21T07:11:38Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/64473This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/644732024-03-21T07:11:38ZHADIS-HADIS TENTANG LAKNAT BAGI PELAKU SUAP (RISYWAH) DALAM AL-KUTUB AL-TIS’AH (STUDI MA’ANI AL- HADIS)Sebagai sebuah kejahatan yang luar biasa (extra-ordinary crimes), masalah
suap (risywah}) di Indonesia sudah sedemikian akut dan parah serta menjadi
persoalan yang sangat serius. Praktik suap sudah menjangkit dan menyebar ke
seluruh lapisan masyarakat, tidak hanya melibatkan elit pemerintah atau pejabat
publik semata, tetapi juga masyarakat, pemuka agama dan adat. Akibatnya, suap
telah merusak tatanan dan sistem kerja lembaga pemerintah, mental masyarakat,
serta hancurnya kondisi perekonomian negara yang berakibat merosotnya daya saing
dan semakin terpuruknya masyarakat miskin. Di tempat lain, dalam konteks studi
hadis, penulis melihat bahwa hadis-hadis tentang suap (risywah}) masih sangat jarang
dilirik sebagai landasan hukum bagi upaya meminimalisir perilaku suap. Hal ini
kemudian berimplikasi pada munculnya kesan pemberantasan suap akhir-akhir ini
telah menafikan fungsi ajaran agama sebagai kritik sosial bagi pemberantasan suap.
Berangkat dari fakta di atas, maka pokok penelitian skripsi ini difokuskan pada
kajian ma’ani> al-h}ad}i>s\ untuk menjawab pertanyaan yang diajukan dalam rumusan
masalah sebagai berikut: pertama, Bagaimana pemaknaan hadis tentang laknat bagi
pelaku suap (risywah})? dan kedua, Bagaimana relevansi hadis tentang laknat bagi
pelaku risywah} (suap) dalam konteks kekinian?
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode tematik dengan
pendekatan historis-hermeneutis untuk menjawab rumusan masalah di atas. Adapun
langkah operasional penelitian ini dilakukan dengan mengacu kepada bangunan
metodologi hermeneutika hadis yang dikembangkan oleh Musahadi HAM yang dibreak
down ke dalam tiga tahap kerangka kerja, yaitu: kritik historis, kritik eidetis,
dan kritik praksis dengan melewati tahap dokumentasi, klasifikasi dan restrukturasi
data. Data yang ada selanjutnya di analisis dan dilakukan interpretasi sesuai dengan
masing-masing sub-bab pembahasan.
Hasil penelitian dari kajian ini adalah: Pertama, Suap merupakan suatu
perbuatan yang mengarah kepada usaha merubah dan mendapatkan barang yang
batil menjadi hak dan sebaliknya. Selanjutnya jika mengacu kepada beberapa
riwayat yang ada, diperoleh kesimpulan bahwa praktik suap yang terjadi pada masa
Nabi lebih banyak berhubungan dengan personal dan sama sekali tidak ada
hubungannya dengan upaya untuk memperkaya diri sendiri atau merampas hak-hak
orang lain, namun lebih mengarah kepada upaya untuk menghindari kez}aliman yang
dilakukan kepada Nabi dan para sahabat dan bersifat insidental.
Kedua, jika hasil pemaknaan di atas kemudian dijadikan sebagai alasan bagi
kebolehan melakukan suap dalam bentuk apapun, maka hal tersebut tidak relevan
untuk diterapkan dalam konteks Indonesia sekarang. Pertimbangan akan hal ini
karena praktik suap yang terjadi di Indonesia telah mencapai level akut sehingga jika
suap diperbolehkan, maka akan semakin menyuburkan perilaku suap serta akan
berdampak semakin merusak sistem pelayanan publik berupa memburuknya kualitas
pelayanan yang diberikan.NIM.: 06530048 Abdul Kholiq2024-03-21T06:39:48Z2024-03-21T06:39:48Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/64463This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/644632024-03-21T06:39:48ZPENAFSIRAN AL-BALA’ DALAM AL-QUR’AN STUDI KOMPARATIF ANTARA AR-RAZI DENGAN SAYYID QUTBKitab al-Qur'an merupakan Kitab suci yang tak akan lekang oleh waktu
dan zaman, senantiasa terjaga keotentikannya, kitab yang akan selalu menjadi
petunjuk bagi manusia diberbagai masa dan dimanapun ia berada. Manusia
diciptakan oleh Allah di dunia bukanlah tanpa tujuan atau sia-sia. Dianugerahinya
manusia dengan kehendak dan kebebasan, akal yang dilengkapi perasaan siap
memahami perintah dan larangan, membedakan yang benar dan yang salah, serta
kemampuan untuk membedakan yang berguna dengan yang tidak merupakan
bukti bahwa manusia tidak diciptakan dengan sia-sia. Dengan anugerah yang
diberikan kepadanya, manusia akan selalu diberi ujian dan cobaan oleh Allah dan
nantinya manusia akan menggunakan anugerah tersebut untuk menghadapi ujian
dan cobaan yang diberikan kepadanya.
Fenomena bencana alam yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini
merupakan sedikit contoh bahwa manusia akan selalu diberi cobaan dan ujian
oleh Allah, memang semua itu merupakan bencana alam, akan tetapi tidak akan
terjadi tanpa kehendak Allah swt. Ujian dan cobaan dalam Bahasa Arab disebut
dengan menggunakan term al-bala', dan ternyata didalam al-Qur'an al-bala' dan
derivasinya tidak selalu diartikan sebagai suatu ujian bencana, akan tetapi kadang
diartikan sebagai ujian dengan kenikmatan. Berangkat dari situlah penulis ingin
meneliti konsep al-bala' dalam al-Qur'an dengan perspektif dua mufassir, yaitu
Fakhr ad-Din ar-Razi dan Sayyid Qutb, yang nantinya akan dikomparasikan
antara penafsiran keduanya. Penulis memilih dua mufassir terebut karena kedua
mufassir tersebut memiliki perbedaan corak karya tasirnya, kitab Tafsir al-Kabir
karya Fakhr ad-Din ar-Razi masuk dalam jajaran tasir bi al-ra'y, sedangkan kitab
Tafsir Fi Zilal al-Qur'an karya Sayyid Qutb bercorak adabi ijtima'i. Dari kedua
mufassir tersebut penulis ingin mengetahui bagaimana penafsiran al-bala' dalam
al-Qur'an menurut ar-Razi dan Sayyid Qutb. Penulis juga ingin mengetahui apa
persamaan dan perbedaan penafsiran keduanya, karena seperti yang telah
disebutkan diatas bahwa kedua mufassir tersebut memiliki corak yang berbeda.
Penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian kepustakaan (library
research), yaitu suatu penelitian dengan mengumpulkan data dan informasi
tentang al-bala' , penafsiran ar-Razi tentang al-bala' yang terdapat dalam kitabnya
yaitu Tasir al-Kabir, penafsiran Sayyid Qutb tentang al-bala' yang terdapat dalam
kitab tafsirnya yaitu Tasir fi Zilal al-Qur'an, dan sumber data yang berasal dari
dokumen tertulis baik yang berupa buku, majalah, artikel dan lain sebagainya.
Analisis data dilakukan dengan metode deskriptif analitis komparatif. Sedangkan
dalam pengolahan data tersebut penulis menguraikan penasiran ar-Razi dan
Sayyid Qutb tentang ayat-ayat al-bala' kemudian penulis melakukan suatu analisa
dengan pemaparan yang argumentatif berdasarkan pendekatan sejarah yang
melatarbelakangi kehidupan ar-Razi dan Sayyid Qutb , sehingga diketahui caracara,
kecenderungan dan sikap mereka ketika menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an
dalam tema al-bala', kemudian penulis mengklasifikasikan antara penafsiran ar-
Razi dan Sayyid Qutb dengan memfokuskan perbandingannya untuk menentukan
persamaan dan perbedaan.NIM.: 03531518 Nafidl Hakim2024-03-21T06:34:18Z2024-03-21T06:34:18Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/64461This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/644612024-03-21T06:34:18ZHADIS-HADIS WAHN (CINTA DUNIA DAN TAKUT MATI)
(STUDI MA‘ANIL HADIS)Salah satu hadis yang menarik dikaji adalah hadis-hadis tentang wahn
(cinta dunia dan takut mati). Mengapa demikian? Hadis ini membicarakan tentang
mundurnya umat Islam yang diakibatkan oleh sikap mereka yang sangat
mengagungkan urusan duniawi. Mereka menganggap bahwa urusan dunia adalah
segala-galanya, dan perbuatan inilah yang mengakibatkan raibnya keimanan pada
kehidupan akhirat. Akibat dari gaya hidup mereka ini banyak yang telah
kehilangan bayang-bayang Tuhan, bisa ditebak dampak-dampak perilaku yang
menghalalkan segala cara demi kepuasan nafsu badani semata yang
ditimbulkannya, aneka penyimpangan susila, keserakahan nafsu itu adalah potret
dampak dari penampilan hidup manusia yang selalu mengunggulkan
keduniawiannya, tanpa dilandasi oleh iman yang kuat.
Dengan melihat latar belakang tersebut, penulis mencoba untuk meneliti
hadis-hadis yang berbicara tentang wahn (cinta dunia dan takut mati). Bagaimana
sebenarnya hadis ini dimaknai? Lalu bagaimana pula relevansi hadis tentang wahn
(cinta dunia dan takut mati) ini jika dikaitkan dengan konteks kekinian? Sehingga
dengan demikian dapat diperoleh makna yang tepat agar tidak terjadi
kesalahpahaman yang dapat merugikan umat manusia umumnya dan umat Islam
khusunya.
Hadis di atas setelah ditelusuri, ternyata tesebar di dalam dua dari
sembilan kitab hadis standar yang dikenal dengan istilah al-kutub al-tis’ah, yakni
kitab hadis Sunan Abi Dawud dan Musnad Ah�mad. Setelah melewati pos sensor
untuk menentukan nilai sebuah hadis, hadis yang akan diteliti ini ternyata terdapat
dua pendapat. Jika merujuk pada pendapat Ibnu H�ibban dan aź-Źahabi, hadis ini
termasuk hadis sah�īh�, namun jika merujuk pendapat Abdurrahman bin Abi H�atim,
hadis ini termasuk hadis d�a‘if dari segi sanad.
Dalam meneliti hadis ini, penulis menggunakan metode yang ditawarkan
oleh Musahadi HAM, di antara tahapan-tahapannya adalah pertama, melakukan
kritik historis. Kedua, melakukan kritik eiditis yang terdiri dari analisis isi,
analisis realitas historis, dan analisis generalisasi. Sedangkan tahapan yang ketiga
adalah kritik praksis, yaitu memproyeksikan makna hadis tentang wahn (cinta
dunia dan takut mati) ini ke dalam realitas kehidupan kekinian sehingga memiliki
makna praksis bagi kemanfaatan umat agar bangkit dari keterpurukan.
Hasil pemaknaan hadis di atas, secara tersirat memunculkan pemahaman
bahwa faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran dan kelemahan umat Islam
adalah karena telah mengendornya semangat jihad dan lunturnya semangat
berkorban di antara mereka.
Dengan dijadikannya hadis di atas sebagai cara pandang gaya hidup,
umat Islam diharapkan akan memegang sebuah filter kehidupan berbasis
keimanan dalam rangka membendung dampak negatif akibat cinta dunia atau
dapat membendung hawa nafsu yang dapat mengakibatkan umat menjadi terisolir
dan takut mati.NIM.: 05530008 Naili Qurrota A’yuni2024-02-29T07:36:43Z2024-02-29T07:36:43Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/64197This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/641972024-02-29T07:36:43ZMEMPERINDAH GIGI PERSPEKTIF HADIS (STUDI MA’ANI AL-HADIS HADIS-HADIS AL-MUTAFALLIJAT)Islam adalah agama Rahmatan lil 'Alamin, yang ajaran-ajarannya, baik yang tertuang di dalam al-Qur'an maupun al-Hadis selalu s}alih fi kulli makan wa fi zaman, dan sangatlah benar bahwa risalah kerasulan Muhammad SAW yang disampaikan selama kurang lebih 23 tahun sudah sangat sempurna (Al-Maidah : 5).
Perubahan zaman yang sangat cepat dan semakin kompleks, mempengaruhi gaya hidup masyarakat modern untuk saling berlomba-lomba dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, salah satunya adalah dengan merubah bentuk tubuhnya agar terlihat indah, cantik dan menarik. Berbagai produk dan alat kecantikan ditawarkan oleh perusahaan-perusahaan kecantikan melalui media cetak maupun elektronik dengan memasang iklan-iklan kecantikan dengan memanfaatkan wanita-wanita cantik sebagai modelnya.
Fenomena yang lagi marak dalam dunia kecantikan adalah perubahan bentuk dan warna gigi agar terlihat indah dan menarik seperti penggunaan behel, kaskuser, kawat gigi, Crowding, Bleaching, Gigi contouring dan Reshaping, Implan, Cosmetic dentis, Spacing, Peg Shape dan lain sebagainya, padahal banyak hadis yang menjelaskan larangan memperindah gigi, apakah dengan cara memperuncing bentuknya (Al-Washr), meratakan, mengukir, dan merenggangkannya (Al-Mutafallijat), bahkan perbuatan itu sangat dilaknat. Hal ini memunculkan pertanyaan, apa maksud dibalik pernyataan Rasulullah SAW melarang perilaku tersebut?, apakah karena adanya faktor teologis merubah ciptaan Allah?, atau ada faktor lain seperti budaya, kesehatan, dan ekonomi?. Maka berangkat dari hipotesa sederhana inilah perlu adanya penelitian kembali, agar hadis bisa membumi di tengah-tengah masyarakat sekarang.
Selanjutnya penelitian ini menggunakan ilmu ma'ani al-hadis} dan mengkorelasikannya dengan konteks kekinian, dengan demikian diharapkan dapat memperoleh pemahaman yang s}alih fi kulli makan wa fi zaman. Adapun penelitian ini dilakukan dengan melalui beberapa langkah, antara lain : Penelitian sanad (kritik historis) untuk mengetahui kualitas hadis yang dibahas, dilanjutkan dengan penelitian makna hadis (kritik eiditis) yang meliputi kajian kebahasaan (linguistic), kajian tematik-komprehensif dengan mengkonfirmasikannya dengan Qur'an dan hadis-hadis lain yang setema, serta kajian terhadap hal-hal yang melatarbelakangi munculnya hadis tersebut, kemudian langkah selanjutnya adalah dengan menangkap makna universal dari hadis itu, dan terkahir membawa makna tersebut ke dalam realitas sekarang.
Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa perbuatan memperindah gigi (al-Mutafallijat) termasuk perilaku yang dilarang oleh Rasulullah SAW karena adanya faktor penipuan, merubah ciptaan Allah, dan berlebih-lebihan (al-israf) atau kesombongan (al-Khuyala'), begitu juga jika memperindah gigi itu dimaksudkan untuk fashian, mode, dan trend yang banyak menghabur-haburkan uang (ekonomi sia-sia) maka itu tetap dilarang, namun jika hal tersebut dilakukan untuk tujuan kesehatan dan menambah kecantikan dengan menggunakan alat-alat yang bisa menghilangkan resiko bahaya bagi pasien dan juga dikerjakan oleh tenaga ahlinya, maka hal tersebut tidak dilarang, karena inti dari ajaran islamadalah kemaslahatan umatnya.NIM.: 06530059-05 Muhammad Zubad2024-02-29T07:31:08Z2024-02-29T07:31:21Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/64196This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/641962024-02-29T07:31:08ZPENAFSIRAN SAHABAT ‘ABDULLAH IBNU MAS’UD DALAM SAHIH AL-BUKHARI DAN SAHIH MUSLIM (STUDI ASPEK-ASPEK EPISTEMOLOGIS)Tafsir menjadi sebuah kegiatan memproduksi makna yang akan berproses
untuk terus berproduksi, tafsir yang humanis dan populis dan membumi menjadi
dambaan. Implementasi pemahaman terhadap al-Qur’an yang beraneka ragam
menjadikan pengamalan terhadap al-Qur’an juga beragam. Kekayaan penafsiran
ini merupakan anugerah dan dinamika tersendiri, akan tetapi untuk tidak timbul
penafsiran yang membabi buta atau terkandung berbagai unsur berdampak
negatif, maka diperlukan adanya parameter atau standar validasi sebagai tolak
ukur. Secara metodologis sebuah penafsiran agar dapat diterima maka harus
bersinergi dengan penafsiran para sahabat yang mempunyai relasi signifikan
terhadap Nabi SAW.
fokus utama atau yang menjadi sisi kuriositas dalam penelitian ini adalah
apakah penafsiran para sahabat yang menjadi parameter penafsiran, mempunyai
perbedaan masa dan kurun waktu dengan masa sekarang masih mempunyai
relevansi terhadap keadaan sosial sekarang?, tetapi sebelum hal ini
diimplementasikan ada sisi kuriositas yang menarik lainya, adalah bahwa obyek
penelitian penafsiran ini bukan kitab tafsir, akan tetapi kitab hadis. Penelitian ini
menggunakan pendekatan epistemologis sebagai usaha menjawab persoalan tadi.
Pertanyaan persoalan di atas akan diimplementasikan menjadi trilogy’s
Questions sebagai representasi tahapan terhadap usaha menjawab pertanyaan
apakah penafsiran sahabat dalam hal ini adalah sahabat Ibnu Mas’ud mempunyai
relevansi dengan masa sekarang, selain itu sebagai sebuah usaha memetakan
penafsiran beliau yang dalam dunia tafsir karya beliau yang terdokumentasikan
masih sangat sedikit.NIM.: 03531307 Andrawan Bekti Susetyo2023-12-12T01:50:37Z2023-12-12T01:50:37Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/62575This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/625752023-12-12T01:50:37ZKONSEP RAHMAT DI DALAM AL-QUR’AN (KAJIAN SEMANTIK)Sejak Masa Nabi saw., telah banyak usaha yang dilakukan oleh para ulama
untuk mengungkapkan makna dan isi yang terkandung di dalam Al-Qur’an. Banyak
metode-metode yang mereka gunakan untuk mengungkap inti dan konsep-konsep yang
ditawarkan Al-Qur’an. Metode-metode pentafsiran tersebut semakin berkembang dari
generasi ke generasi. Mulai dari era klasik dengan metode tafsir tematiknya, era modern
dengan beragam metode tafsir mulai dari tafsir sastra, tafsir ‘ilmi dan lainnya, hingga era
kontemporer dengan menggunakan metode linguistik yang diadopsi dari keilmuan Barat.
Salah satu metode pentafsiran yang banyak digunakan saat ini adalah metode
semantik. Semantik sendiri merupakan sebuah metode yang meneliti tentang maknamakna
dan konsep-konsep yang terdapat pada kata di dalam Al-Qur’an dengan
mempelajari langsung sejarah penggunaan kata tersebut dan bagaimana perubahan
maknanya.
Dalam skripsi ini penulis mencoba mengungkapkan makna dan konsep yang
terkandung di dalam kata rahmah yang terdapat dalam Al-Qur’an dengan menggunakan
metode semantik. Kata rahmah sendiri merupakan salah satu sifat positif Tuhan dalam
berinteraksi kepada makhluk-Nya. Makna dasar dari kata ini adalah kasih sayang, sebuah
makna yang abstrak yang tidak dapat diketahui dengan jelas kecuali dengan melihat
bentuk-bentuknya dalam kehidupan sehari-hari.
Selain membahas tentang makna dan konsep yang terkandung dalam kata
rahmah, skripsi ini juga menerangkan tentang bagaimana caranya mengaplikasikan
konsep tersebut dalam kehidupan sehari-hari, baik itu hubungan kepada Tuhan maupun
hubungan kepada sesama manusiaNIM.: 05530005 Fauzan Azima2023-03-08T03:48:33Z2023-03-08T03:48:33Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/57000This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/570002023-03-08T03:48:33ZKONSEP TOLERANSI DALAM AL-QUR’AN
PERSPEKTIF ZUHAIRI MISRAWISkripsi ini membahas tentang konsep toleransi dalam al-Qur’an perspektif
Zuhairi Misrawi. Permasalahan pokok yang akan dijawab adalah; pertama,
bagaimana metode penafsiran yang digunakan oleh Zuhairi Misrawi dalam
menafsirkan ayat-ayat toleransi? kedua, bagaimana penafsiran Zuhairi Misrawi
tentang ayat-ayat toleransi dalam al-Qur’an? dan ketiga, bagaimana relevansi
penafsiran Zuhairi Misrawi tentang ayat-ayat toleransi dalam al-Qur’an dikaitkan
dengan konteks ke Indonesiaan.
Alasan peneliti memilih konsep toleransi dalam al-Qur’an prespektif Zuhairi
Misrawi sebagai objek penelitian karena; pertama, bagian dari visi teologi atau
akidah Islam dan masuk dalam kerangka sistem teologi Islam sejatinya harus di
kaji secara mendalam dan diaplikasikan dalam kehidupan beragama karena ia
adalah suatu keniscayaan sosial bagi seluruh umat beragama dan merupakan jalan
bagi terciptanya keutuhan antar umat beragama. Tetapi realitas yang ada, justru
konflik keagamaan acap kali dilegitimasikan dengan al-Qur’an. Dalam hal ini,
Zuhairi di kenal sebagai sosok intelektual yang banyak berkesimpung dalam
persoalan tersebut sehingga perlu untuk dikaji lebih dalam pemikirannya. Kedua,
pemilihan peneliti mengenai buku karya Zuhairi yang berjudul al-Qur’an Kitab
Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme, dan Mulikulturalisme dikarenakan karya ini
masih baru, kemudian penulisnya menyajikan pembahasan mengenai toleransi
beragama dilengkapi dengan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang secara ekspilisit
berisi tentang pesan toleransi.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan historis,
dimaksudkan untuk melihat latar belakang penulis mulai dari segi latar belakang
pendidikan, sosial-budaya Zuhairi Misrawi yang berpengaruh terhadap pemikiran
dalam menafsirkan ayat-ayat toleransi. Penelitian ini merupakan penelitian
deskriptif-analitik. Adapun operasonal metodelogis penelitian ini di lakukan
melalui beberapa tahapan yang berupa; menguraikan dan menjelaskan
permasalahan yang akan diteliti dengan memaparkan data-data yang telah ada,
kemudian mengolah dan menginterpretasikannya. Sumber yang akan
dideskripsikan dengan analisis yang memadai adalah tentang ayat-ayat toleransi
serta relevansinya dikaitkan dengan konteks keIndonesiaan.
Sedangkan hasil dari penelitian ini berupa; pertama, metode penafsiran
Zuhairi cenderung kepada metode tafsir maudu’i<, kemudian corak penafsirannya
adalah ada>bi ijtima>’i, Namun penafsirannya juga memiliki kecenderungan
pada tafsir falsafi. Kedua, penafsiran Zuhairi Misrawi terhadap ayat-ayat toleransi
secara keseluruhan berisi spirit untuk mengajak kepada pedamaian dan sikap
saling menghargai antar umat beragama. Ketiga, penafsiran yang di lakukan oleh
Zuhairi Misrawi terhadap ayat-ayat yang secara eksplisit berisi tentang pesan
toleransi sangat relevan ketika dikaitkan dengan konteks keIndonesiaan.NIM.: 06530050 Alifah Ritajuddiroyah2012-08-08T11:29:17Z2012-08-29T12:38:51Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/3303This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/33032012-08-08T11:29:17ZHADIS TENTANG KEUTAMAAN BERCOCOK TANAM (studi Ma'anni Al Hadis)Islam adalah rahmat bagi seluruh alam, dengan melibatkan al-Qur'an dan hadis sebagai dua rujukan ajaran. Penggunaan keduanya tak mengenal batas ruang dan lekang waktu, sehingga menyuguhkan tantangan bagi masyarakat Islam, untuk mampu menghadirkan keduanya dalam kompleksitas kehidupan sesuai semangat zamannya masing-masing. Pada titik inilah, dibutuhkan ihtiar ijtihadi memformulasikan nilai ideal universal dari teks al-Qur'an dan hadis. Apa yang dilakukan oleh penulis, melalui kajian ma'ani al hadis pada hadis tentang keutamaan bercocok tanam, adalah bagian dari upaya menghadirkan hadis sebagai kompas menghadapi persoalan produktivitas hasil pertanian untuk ketersediaan pangan. Problem pangan disinyalir adalah problem setiap peradaban, karena menyangkut kebutuhan primer hidup manusia, yaitu pangan, sekaligus kunci stabilitas kehidupan manusia baik sebagai individu maupun unsur pembentuk masyarakat.
Salah satu kendala ketersediaan pangan terletak pada aspek produktivitas hasil pertanian, yang menghadapi masalah seperti menipisnya lahan pertanian akibat alih fungsi, rusaknya kualitas lahan pertanian dan daya dukung alam yang lain akibat penggunaan teknologi tak ramah lingkungan, kebijakan pertanian yang tidak berpihak pada petani, dan beberapa masalah lainnya. Maka titik berangkat penyelesaian persoalan ada pada motivasi bercocok tanam dan keberpihakan pada pembangunan pertanian. Di sinilah fungsi hadis tentang keutamaan bercocok tanam yang penulis kaji.
Dalam melakukan kajian ma'ani al-hadis pada hadis tentang keutamaan bercocok tanam, penulis menggunakan metode yang ditawarkan Musahadi Ham, yang meliputi: kritik historis (penelitian sanad); kritik eidetis (penelitian matan dan makna hadis) melalui kajian linguistik, kajian tematik komprehensif dengan melakukan konfirmasi terhadap ayat al-Qur'an serta mengumpulkan hadis se tema guna memperoleh pemahaman yang holistik dan komprehensif, analisa historis, analisa generalisasi atau menangkap makna universal hadis; dan terakhir menemukan relevansi makna hadis dengan realitas persoalan produktivitas hasil pertanian.
Hasil kajian ma'ani al-hadis yang penulis lakukan, menghasilkan kesimpulan, bahwa Islam sangat memperhatikan pembangunan pertanian, di antaranya dengan memberikan motivasi bagi kegiatan bertani. Pembangunan pertanian dalam pandangan Islam juga bersifat transenden dan bukan sekularistik, sehingga kegiatan bertani dilakukan dalam koridor etika bertani yang tidak melanggar ketentuan Allah, seperti mengakui kekuasaan Allah sehingga tidak bersifat tamak dengan memonopoli industri pertanian, serta bertani menggunakan inovasi teknologi ramah lingkungan. Hal ini terkait dengan orientasi maslahat dalam kegiatan bertani, bahwa bertani bukan hanya untuk dirinya tapi juga orang lain, dan generasi yang akan datang. HAJAR NUR SETYOWATI - NIM. 015305032012-08-08T11:31:50Z2015-05-29T07:40:37Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/3299This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/32992012-08-08T11:31:50ZHADIS TENTANG ANJURAN MENIKAHI WANITA PRODUKTIF (Telaah Ma'anil Haadis)Salah satu hadis yang menarik untuk dikaji adalah hadis tentang anjuran menikahi wanita produktif. Mengapa dikatakan demikian? Hadis ini membicarakan tentang anjuran yang ditujukan kepada laki-laki, jika menikah hendaknya menikahi wanita yang dapat melahirkan banyak anak. Keadaan yang demikian tentu memberikan pertanyaan baru bagi pihak perempuan, apakah memang demikian? Padahal subur tidaknya seorang wanita tidak ditentukan oleh manusia, tentu Allah yang lebih berkehendak atas segalanya. Selain itu, mengapa pihak laki-laki tidak disyaratkan subur juga? Karena tidak bisa dipungkiri bahwa kehadiran anak dalam sebuah keluarga tidak bisa lepas dari kedua belah pihak, baik laki-laki maupun perempuan harus sama-sama subur dan hal tersebut juga terjadi atas Kehendak Allah tentunya. Selain itu, jika melihat kembali kehidupan keluarga Rasulullah SAW, tentu hal ini bertentangan dengan kenyataan yang dialaminya. Karena pada kenyataannya beliau tetap menikahi wanita mandul, bahkan dari beberapa orang istri beliau hanya dua orang saja yang dapat melahirkan anak.
Dengan melihat latar belakang tersebut, penulis mencoba untuk meneliti hadis-hadis yang berbicara tentang anjuran menikahi wanita produktif ini. Bagaimana sebenarnya hadis ini dimaknai? Lalu bagaimana pula relevansi hadis tentang anjuran menikahi wanita produktif ini jika dikaitkan dengan konteks kekinian? Sehingga dengan demikian dapat diperoleh makna yang tepat agar tidak terjadi kesalahpahaman yang dapat merugikan umat Islam umumnya dan wanita khususnya.
Dalam meneliti hadis ini, penulis menggunakan metode yang ditawarkan oleh Musahadi HAM. Di antara tahapan-tahapannya adalah pertama, melakukan kritik historis untuk menguji keotentikan hadis sehingga diketahui kualitas kesahihan hadis. Kedua, melakukan kritik eiditis yang terdiri dari analisis isi, analisis realitas historis dan analisis generarisasi. Dan tahapan yang ketiga adalah kritik praksis, yaitu memproyeksikan makna hadis tentang anjuran menikahi wanita produktif ini ke dalam realitas kehidupan kekinian sehingga memiliki makna praksis bagi penyelesaian problematika hukum dan kemasyarakatan.
Setelah melakukan penelitian, dapat disimpulkan bahwa dengan memperhatikan situasi makro pada saat hadis ini turun, maka wajar jika kesuburan wanita diperhitungkan. Karena posisi wanita pada saat itu sebagai obyek pasif dan mayoritas pihak yang aktif dalam urusan publik adalah laki-laki. Kemudian dalam kehidupan rumah tangga Rasulullah, beliau tidak mempermasalahkan kesuburan istriistrinya. Yang terpenting adalah bagaimana jalan terbaik untuk tetap menjaga keutuhan rumah tangga dalam segala situasi apapun. Dalam hal relevansinya, hadis ini relevan jika ditempatkan pada saat sebelum menikah dan sudah tidak relevan lagi jika ditempatkan sesudah menikah. Karena bagaimanapun juga, tujuan utama sebuah pernikahan adalah membangun rumah tangga sakinah mawaddah warah}mah dan dalam hal ini, relasi positif antara suami dan istri sangat penting demi menjaga kelanggengan sebuah keluarga. AULIYA ROHMAWATI NIM. 055300092012-08-14T13:10:21Z2012-08-14T13:11:07Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/4345This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/43452012-08-14T13:10:21ZAL-QASAS AL-QUR'ANI PERSPEKTIF M. ABED AL-JABIRI (STUDI ATAS KARYA SERIAL DISKURSUS AL-QUR'AN)Skripsi ini membahas tentang kisah al-Qur'an (al-qisas al-Qur'an) dalam perspektif M.'Abed al-Jabiri. Permasalahan pokok yang dijawab adalah; pertama, bagaimana pemikiran al-Jabiri tentang kisah al-Qur'an dan kedua,, bagaimana relevansi dan implikasi dari apa yang ditawarkan oleh al-Jabiri dalam mengkaji kisah al-Qur'an? Alasan peneliti memilih kisah al-Qur'an dalam perspektif al-Jabiri sebagai obyek penelitian karena, pertama, kajian tersebut tidak bisa dilepaskan dari kajian sejarah, tradisi dan kebudayaan bangsa Arab, secara khusus, dan dataran Timur Tengah, secara umum. Dalam hal ini al-Jabiri dikenal sebagai sosok intelektual yang pakar dalam kajian-kajian tersebut. Kedua, dalam menyajikan pembahasan tentang kisah al-Qur'an, secara khusus dan al-Qur'an secara umum, al-Jabiri menggunakan sistematika tartib nuzuli dan pola ideografi yang bertujuan untuk mengaktualisasikan al-Qur'an, selain sebagai objek terbaca bagi dirinya serta bagi kita (ja'l al-Qur'an mu'asiran linafsih wa mu'asiran lana). Padahal secara umum sistematika yang digunakan dalam kajian kisah al-Qur'an adalah tematik dan/atau tartib mushafi.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan historis-sosiologis-filosofis model stukturalisme genetik dengan metode deskriptif-taksonomi-interpretif. Adapun operasional metodologis penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan yang berupa; pengumpulan dan klasifikasi data, merestrukturasi data-data, kemudian mengolah dan menginterpretasinya. Sedangkan hasil penelitian ini berupa; pertama, dalam pandangan al-Jabiri, al-Qur'an menggunakan kisah untuk tujuan dakwah, bukan dari sisi pengisahannya itu sendiri. Karena itu kisah al-Qur'an merupakan bagian dari bentuk perumpamaan (darb al-masal). Selain itu kisah al-Qur'an merupakan cermin yang didalamnya terlihat perjalanan da'wah Muhammadiyyah. Karenanya dalam mengkaji kisah al-Qur'an ia bertujuan untuk mengungkap sinergitas antara proses penurunan al-Qur'an dengan perjalanan dakwah Muhammadiyyah.
Demi mencapai tujuan tersebut, dalam dataran aplikatif al-Jabiri menggunakan sistematika tartib nuzuli dengan pola ideografi, dimana ayat-ayat kisah diurai dengan format kronologi pewahyuan serta diklasifikasi dalam tema-tema besar sesuai dengan keserasian magza-nya. Model kajian tersebut tidak terlepas dari metodologi yang ia bangun dalam pembacaan turas, secara umum, dan pembacaan al-Qur'an secara khusus, dimana dengan prinsip al-fasl, yang menggunakan pendekatan struktural, analisis historis, dan kritik ideologis, ia berusaha untuk mengatasi problem objektivitas, dan denga prinsip al-wasl, yang menggunakan pendekatan intuisi matematis, ia berusaha untuk menanggulangi problem rasionalitas, berikut kontinuitasnya.
Kedua dalam kerangka besar konstruksinya, menurut peneliti bahwa metodologi yang al-Jabiri gunakan dapat dinilai relevan sepanjang tidak terjadi disorientasi dari tujuan mendasanya. Karena, metodologi yang ia konstruksikan erat kaitannya dengan berbagai prinsip dan tujuannya dalam mengkaji kisah al-Qur'an. Sementara itu, implikasi yang ditimbulkan dari pandangan dan metodologi yang digunakan, salah satunya adalah lebih mendominasinya kajian sejarah daripada penjelasan fungsi fundamental kisah al-Qur'an, yang dalam pandangannya adalam memberikan bentuk perumpamaan (darb al-masal). Akan tetapi, hal tersebut dilakukan dalam rangka mengungkap sinergitas antara proses penurunan al-Qur'an denga perjalanan dakwah Muhammadiyyah. Inilah yang ia sebur dengan membaca al-Qur'an dengan sirah, dan membaca sirah dengan al-Qur'an (qira'ah al-Qur'an bi al-sirah wa qira'ah al-sirah bi al-Qur'an). MOHAMAD YAHYA - NIM. 06530056AL2012-08-14T14:10:56Z2012-08-14T14:11:43Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/4331This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/43312012-08-14T14:10:56ZINTERNALISASI AYAT-AYAT AL QUR'AN DALAM SASTRA MELAYU (STUDI SYAIR GULUNG ADAT BUDAYA MELAYU TANAH KAYUNG)Sepenggal perjalanan historis keberadaan Islam sebagai Dien di muka bumi ini memberikan sentuhan yang baik bagi peradaban dunia. Islam mengajarkan umatnya untuk bisa hidup dengan baik sesuai tuntunan yang ada di dalam Islam itu sendiri. Tuntunan tersebut terdiri atas dua sumber hukum, yang merupakan representasi dari kehidupan dunia. Sumber hukum yang pertama, sifatnya formal yang merupakan kumpulan-kumpulan kalam ilahi yang menyangkut tentang tata aturan, cara beribadat, ilmu pengatahuan, dan hubungan interaktif dari seorang hamba kepada sang pencipta dan seorang hamba dengan yang lainnya (hubungan sosial). Sumber hukum tersebut dikenal dengan Al-Qur`an. Sumber hukum yang kedua yang sifatnya historis merupakan hasil penghayatan seorang Nabi terhadap apa yang ada di sekitarnya, baik itu persoalan-persoalan kehidupan, bahkan sampai kepada persoalan-persoalan agama yang tidak di jelaskan dalam Al-Qur`an karena sifatnya kontemporer. Sumber hukum kedua ini lebih dikenal dengan Al-Hadis atau As-Sunah.
Di Indonesia, khususnya bangsa Melayu yang menjadikan Islam sebagai satu-satunya agama dalam setiap aspek adat-istiadat budayanya tentulah sangat berpegang teguh kepada Al-Qur`an. Hal ini bisa dilihat dari seringnya, atau bahkan hampir semua hukum-hukum yang ada dalam adat istiadat mengacu kepada Al-Qur`an sebagai bentuk penginterprestasian ayat-ayat Al-Qur`an oleh masyarakat Melayu tempo dulu yang disesuaikan dengan adat-istiadat setempat. Sebagai contoh dari sastra Melayu yang memuat nilai-nilai Al-Qur`an di dalamnya adalah Syair Gulung yang merupakan adat budaya Melayu Tanah Kayong di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, yang merupakan budaya tertua hasil peninggalan leluhur orang-orang Melayu setempat, dan merupakan bentuk penginternalan sekaligus sebagai bentuk pengaktualan terhadap ayat-ayat Al-Qur`an yang mengandung nasehat dalam bait-bait kata yang teruntai di dalamnya.
Dalam menganalisis nilai-nilai yang terdapat di dalam Syair Gulung, pendekatan hermeneutik merupakan pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini, dikarenakan hermeneutik merupakan salah satu media dalam menganalisis bahasa dalam tradisi Melayu, dengan pertimbangan sastra merupakan karya tulis yang paling dekat dengan agama. Perbedaannya, agama merupakan kebenaran keyakinan, sedangan sedangkan karya sastra sendiri merupakan kebenaran imajenasi. Agama dan sastra adalah bahasa, baik lisan maupun tulisan. Asal agama dari firman Tuhan sedangkan sastra merupakan kata-kata yang dihasilkan oleh pengarang, baik hasil ciptaan subjek Ilahi maupun subjek kreator.
Satu hal yang ditemukan dalam penelitian kali ini adalah peranan budaya sangat menentukan dari diterimanya Islam di tengah-tengah masyarakat. Masyarakat tidak bisa menerima suatu hal baru yang tidak sesuai dengan apa yang telah mengkonstruksi kehidupan keseharian mereka. Oleh karena itu, mengaktualkan nilai-nilai dari ayat-ayat al-Qur`an diperlukannya proses objektifikasi dari proses akulturasi antara nilai-nilai al-Qur`an dengan nilai-nilai budaya tempatan. MUHAMMAD RIZA - NIM. 065300112012-08-14T14:13:24Z2012-08-14T14:14:06Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/4321This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/43212012-08-14T14:13:24ZKAJIAN TERHADAP AYAT-AYAT AL-HAZN DALAM AL-QUR'AN ( STUDI METODE TAFSIR TEMATIK )Di dalam setiap diri manusia mempunyai hati yang akan cenderung menyeru pada dua hal yakni kesenangan dan kesedihan. Terkadang ia mengikuti Tuhannya dan terkadang ia tenggelam dengan kesedihan. Kesedihan adalah gejolak hati yang ada pada seseorang yang selalu mengajak untuk memikirkan hal-hal yang negatif , seperti memikrkan masa lalu, memikirkan orang yang telah pergi dan lain sebagainya, dalam hal ini akan menyebabkan seseorang bersedih.
Al-Hazn juga dapat menjadikan seseorang menjadi lesu dan tidak bersemangat dalam menjalankan aktifitas diakibatkan karena sesuatu yang sedang dialami. Sebab pada hakikatnya manusia diciptakan dengan potensi fitrah, namun al-Hazn menghambat potensi itu muncul kepermukaan. Maka dari itu dengan Iman dan Takwa dengan sabar adalah bersikap tenang dalam menghadapi suatu permasalahan dan itu suatu keharusan yang harus dimiliki bagi yang menghendaki keseimbangan dalam menempuh kebahagiaan dalam hidupnya di dunia dan di akhirat. Umat manusia pada umumnya dan khususnya kaum muslim pasti memiliki sifat al-Hazn dalam kehidupannya. Sehingga sangatlah penting bagi penulis untuk membahasnya lebih jauh dalam skripsi ini, yakni dengan mengkaji al-Hazn Dalam al-Qur'an, pengkajian atau penelitian ini akan dilakukan dengan pendekatan kajian tafsir tematik. Dalam memahami daripada isi al-Qur'an khususnya yang berkaitan dengan al-Hazn, maka penulis perlu menggunakan buku-buku tafsir untuk memahami bentuk al-Hazn, makna serta dampak, dan cara menghilangkan al-Hazn dalam kehidupan sehari-hari yaitu disertai pula dengan penjelasan hadis-hadis yang terkait.
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan pendekatan penafsiran konteks tekstual ( internal ) dan konteks historis ( eksternal ) Analisa konteks tekstual adalah dengan menganalisis ayat sesuai makna bahasanya. Dan analisis konteks historis dengan menganalisis permasalahan dengan pendekatan asbabun nuzul atau dengan mengkaji kronologi sebab turunnya ayat. Sifat al-Hazn itu hanya dikaruniakan Allah Swt kepada manusia saja, tidak kepada makhluk lain. Sebabnya ialah karena manusia memiliki sifat yang berbeda-beda disamping itu manusia dianugerahi akal untuk berfikir supaya jangan sampai merugikan diri sendiri dan orang lain. Al-Hazn akan selalu hadir dalam diri manusia karena itulah kuatkanlah dan selalu teguh tatkala musibah (bencana) kecil maupun besar. Hatinya tabah dalam menghadapi setiap permasalahan, tidak berubah pendirian. Dengan membentuk hati yang besar, hatinya tidak tergoncang, tidak gelisah, tidak sedih. Dan sudah menjadi Sunatullah bahwa setiap manusia dalam kehidupannya akan selalu menghadapi berbagai macam persoalan, karena itu sudah merupakan kepastian Allah Swt, dengan ini al-Qur'an mengajarkan janganlah kalian bersedih hati. Tetaplah berpegang teguh pada al-Qur'an. KHUSFATUN KHASANAH - NIM. 055300412012-08-14T14:22:49Z2012-08-14T14:23:36Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/4342This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/43422012-08-14T14:22:49ZKISAH ASHAB AL KAHF DALAM AL-QUR'AN PERSPEKTIF MUHAMMAD AHMAD KHALAFULLAH DALAM AL FANN AL QASASI FI AL QUR'AN AL KARIMPenulisan skripsi ini dilatarbelakangi oleh minimnya kajian tentang Khalafullah mengenai kisah ashab al-kahf. Sebab penulis menilai bahwa banyak kajian tentang kisah, khususnya kisah ashab al-kahf yang didekati dengan pendekatan historis. Lebih lanjut maksud penulisan skripsi ini adalah ingin mengungkapkan kisah ashab al-kahf dalam perspektif yang berbeda, dalam hal ini adalah perspektif sastra.
Dalam skripsi ini penulis berusaha meneliti pandangan penafsiran Muhammad Ahmad Khalafullah mengenai kisah ashab al-kahf serta hal-hal yang membedakan penafsirannya dengan mufassir-mufassir yang lain. Poin kedua ini penulis bertujuan mengungkap latar belakang historis tentang tesa-tesa Khalafullah. Untuk menelitinya penulis menggunakan penelitian kepustakaan (library research). Adapun untuk menganalisis data yang telah terkumpul dan terklasifikasi, penulis akan menggunakan metode deskriptif-analisis.
Al-Manhaj al-adabi yang digunakan Khalafullah berimplikasi bahwa kisah-kisah yang ada dalam al-Qur'an bukan semata-mata data historis, melainkan merupakan narasi yang bisa dimasukkan dalam bingkai sastra yang sarat akan pesan-pesan yang terkandung di dalamnya. Metode sastra ini menurutnya sangat tepat untuk digunakan sebagai pisau analisa dalam mengungkap kisah-kisah al-Qur'an. Ia mengatakan bahwa kesalahan para mufassir selama ini terletak pada metode yang mereka gunakan. Mereka secara tidak sadar telah melupakan sisi-sisi sosiologis dan keagamaan dari pesan kisah-kisah al-Qur'an. Dalam penelitiannya ini ia lebih menekankan aspek psikologis, karena menurutnya sebuah kisah memiliki pengaruh psikologis karena dapat menjelaskan keremangan makna universal dan menyentuhkannya dalam jiwa pendengarnya.
Dalam kisah ashab al-kahf Khalafullah membuktikan bahwa kisah dalam al-Qur'an bukan semata-mata data historis. Karena dalam kisah ini unsur-unsur sejarah seperti tokoh, tempat dan waktu cenderung ditiadakan. Al-qur'an tidak secara jelas menyebutkan jumlah pemuda ashab al-kahf dan waktu mereka tinggal di goa. Narasi kisah ashab al-kahf yang demikian dimaksudkan pengisahannya untuk membuktikan kerasulan Muhammad dan sebagai jawaban atas bebrapa pertanyaan kaum musyrik Makkah kepada Muhammad ketika akan menguji kebenaran kerasulan dan ajarannya. Narasi kisah yang demikian membawa dampak psikologis bagi pendengarnya sehingga dapat mengungkap pesan-pesan yang tersimpan di dalamnya. Model pemikirannya ini banyak dipengaruhi al-Khuli yang notabene sebagai gurunya. Bagi al-Khuli sebelum menafsirkan al-Qur'an mufassir harus menempatkan al-Qur'an sebagai kitab sastra arab terbesar (kitab al-arabiyyah al-akbar). Di sisi lain gagasan yang dikedepankan al-Khuli tersebut merupakan pengembangan lebih lanjut dari sebagian tawaran 'Abduh yakni al-manhaj al-lughawi al-fanni dan juga mempunyai kedekatan dengan proposal Taha Husein.Kedekatannya terutama pada kajian-kajian sastra arab dan hubungannya dengan teks al-Qur'an. Hal ini kemudian dapat dijadikan sebuah asumsi kecurigaan akan hubungan mata rantai secara intelektual antara al-Khuli, quot;Abduh dan Taha Husein. Sehingga apa yang melandasi akar pemikiran Khalafullah bermuara pada ketiga tokoh tersebut. FATHUL HADI - NIM. 055300652012-08-14T14:36:44Z2012-08-14T14:37:35Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/4338This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/43382012-08-14T14:36:44ZKORUPSI DAN PEMBERANTASANNYA PADA MASA NABI SAW.(STUDI MA'ANI AL-HADIS TENTANG HADIS-HADIS GULUL)Korupsi merupakan satu persoalan bangsa yang hingga kini tetap menjadi prioritas utama untuk memberantasnya. Berbagai upaya telah dilakukan baik oleh pemerintah maupun non-pemerintah. Namun upaya dari semua itu tetap belum menunjukkan hasil yang signifikan. Bahkan boleh dibilang korupsi terus saja mengganas. Sampai-sampai timbul rasa pesimis bahwa pemberantasan korupsi merupakan sesuatu yang mustahil. Ungkapan-ungkapan seperti bahwa korupsi di negara ini tak ubahnya virus yang terus berkembang serta menjalar tanpa bisa lagi terdeteksi, kondisi korupsi saat ini sudah memasuki keadaan tidak berpengharapan , atau negara dalam keadaan darurat korupsi adalah cermin dari rasa pesimisme itu. Di sisi yang lain, menurut hasil Penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta, maraknya korupsi pada saat ini justru terjadi tatkala religiusitas masyarakat sedang mengalami eskalasi atau peningkatan. Masjid dan juga tempat-tempat ibadah lain makin penuh sesak. Hal ini tentu merupakan sebuah paradoks yang sulit dimengerti. Oleh sebab itulah, penelitian ma'ani al-Hadis tentang hadis-hadis gulul (korupsi) perlu dilakukan. Karena hadis merupakan sumber ajaran kedua Islam yang diamalkan dan diaktualisasikan dalam kehidupan keseharian masyarakat Indonesia, yang notabene adalah salah satu dari masyarakat terkorup di dunia.
Pertanyaan yang coba dijawab dari penelitian ini adalah; (1) bagaimanakah bentuk atau ragam praktik korupsi (gulul) yang terjadi pada masa Nabi saw.?, (2) bagaimanakah tindakan atau solusi penanganan yang dilakukan oleh Nabi saw.?, (3) bagaimanakah relevansinya dengan konteks kekinian, terutama di Indonesia?. Untuk menjawab ketiga pertanyaan tersebut, penelitian ini sepenuhnya memanfaatkan kepustakaan (library research) dengan menggunakan metode tematik, yakni dengan mengumpulkan hadis-hadis yang berkenaan dengan gulul dalam al-Kutub al-Tis'ah dan mengklasifikasikannya. Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan historis-hermeneutik. Analisi historis dimaksudkan untuk menentukan validitas dan otentisitas hadis, serta untuk mendapatkan akurasi fakta historis dari hadis tersebut, baik secara makro maupun mikro. Adapun digunakannya hermeneutika adalah karena kajian ini terkait erat dengan kegiatan penafsiran. Di dalam penafsiran, teks dan konteks berdialektika. Karenanya, dalam memahami dialektika teks dan konteks diperlukan hermeneutika sebagai pendekatan.
Hasil dari proses penelitian ma'ani al-hadis ini diketemukan jawaban bahwa praktik korupsi sudah dikenal pada masa Nabi saw., yaitu pertama, berupa korupsi harta rampasan perang (ghanimah); kedua, korupsi non-ghanimah atau korupsi otogenik. Korupsi ghanimah yang riil ditemukan adalah berupa kasus korupsi mantel atau selimut oleh budak Kirkirah dan Mid'am, korupsi tali sepatu oleh seorang sahabat yang tidak diketahui identitasnya, dan korupsi manik-manik orang Yahudi oleh seorang sahabat dari Bani Asyja'. Adapun korupsi otogenik yang pernah terjadi adalah kasus pemberian hadiah atau suap terhadap pejabat publik, yaitu kepada amp;#8216;Abdullah ibn al-Lutbiyyah, petugas penarik zakat di daerah Bani Sulaim. Korupsi otogenik lainnya adalah berupa pengambilan kekayaan publik, pengambilan uang di luar gaji resmi, penggelapan (hasil) pekerjaan, dan penguasaan lahan/tanah secara tidak sah. Hanya saja berbagai bentuk korupsi ini belum pernah secara riil ditemukan. Ia masih sebatas pada taraf wacana yang digulirkan oleh Nabi saw.
Dalam menghadapi persoalan ini Nabi lebih banyak mendekatinya dengan langkah teologi-moralitas ketimbang hukum, seperti keengganan beliau untuk menyalati koruptor, menyatakan bahwa sadaqah dari hasil korupsi tidak akan diterima oleh Allah, mengingatkan bahwa sekecil apapun korupsi akan mengantarkan pelakunya ke dalam neraka, dan memperingatkan supaya koruptor tidak dilindungi. Nilai-nilai teologi-moralitas ini bila dikembangkan lebih jauh, sedikitnya melahirkan tiga rumusan epistemologi yang bisa ditawarkan dalam upaya perlawanan terhadap korupsi, khususnya di Indonesia, yaitu menumbuhkan kesadaran akan bahaya korupsi, tidak saling mencurigai-bukan berarti menghilangkan nalar kritis-antar elemen kontra korupsi, dan pengembangan retributivisme, yaitu penghukuman seberat-beratnya terhadap koruptor yang telah terbukti. SYAIKHUDIN - NIM. 055300552012-08-15T11:07:42Z2012-08-15T11:09:04Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/4349This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/43492012-08-15T11:07:42ZQASAM DALAM AL QUR'AN (STUDI KOMPARASI PEMIKIRAN IBN AL-QOYYIM AL-JAUZIYYAH DAN 'AISYIAH ABDURRAHMAN BINT AL-SYATI' TERHADAP AYAT-AYAT SUMPAH)Sebagai sebuah peradaban, bangsa arab memiliki aturan dan tata hukum yang berlaku. Untuk itu, al-Qur'an diturunkan secara berangsur-angsur terutama demi menyelerasi situasi dan kondisi masyarakat arab yang beragam. Aqsam al-Qur'an adalah salah satu bentuk ungkapan al-Qur'an yang memanfaatkan keadaan tersebut. Peradaban mereka yang begitu menghargai sumpah dan kondisi psikologis mereka yang bertingkat-tingkat menginspirasi al-Qur'an untuk menggunakan ungkapan qasam dalam bebrapa beritanya.
Aktivitas penafsiran terus berkembang dari generasi ke generasi. Hal ini juga yang terjadi dalam upaya pemahaman terhadap ayat-ayat qasam. Diantara tokoh yang memiliki perhatian khusus dalam kajian ini ialah Ibn al-Qoyyim al-Jauziyyah sebagai perwakilan dan generasi era pertengahan dan 'Aisyah Abdurrahman Bint al-Syati' dalam era modern. Dari kedua mufassir ini, penulis berusaha melakukan penelitian yang bersifat komparatif terhadap pemikiran mereka dalam kajian qasam. Penelitian ini menggunakan metode analitis-komparatif, yakni dengan menelaah bahan-bahan pustaka baik berupa buku, artikel dalam jurnal, dan sumber-sumber lain yang relevan dengan topik kajian.
Gagasan yang berkembang di kalangan para ulama adalah bahwa qasam haruslah berupa sesuatu yang agung (diagungkan). Gagasan inilah yang mendorong para mufassir untuk mencarikan aspek keagungan (hikmah, manfaat, dan keutamaan) dalam aqsam yang digunakan al-qur'an. Ibn Qoyyim termasuk yang memegang erat gagasan ini dan menetapkan kaidah-kaidahnya. Tujuan dari qasam, menurutnya adalah mengungkapkan kemulian muqsam bih. Pemikiran inilah yang kemudian dibantah dan direkonstruksi oleh Bint al-Syati'. Menurutnya qasam al-Qur'an harus dipahami sesuai dengan ungkapanya yang berbeda-beda tersebut. Hasil pembacaannya terhadap ayat-ayat qasam menyimpulkan bahwa qasam dengan wawu yang berada pada awal surah atau ayat lebih menunjukkan adanya keseimbangan pembandingan antara muqsam bih yang berupa materi-materi indrawi dengan jawab al-qasam yang berupa materi-materi maknawi. Muqsam bih yang diungkapkan di awal adalah sebagai persiapan untuk menjelaskan (tautiah idahiyyah) hal-hal gaib tersebut, sedangkan qasam yang didahului oleh la menunjukkan ketidakbutuhan Allah terhadap qasam, karena Allah yang Maha Benar pada dasarnya tidak membutuhkan sumpah.
Bint al-Syati' telah melakukan rekonstruksi dari apa yang telah dicapai oleh Ibn al-Qoyyim dan para mufassir sebelumnya tentang hubungan muqsam bih dan muqsam 'alaih, dan menetapkan kaidah-kaidah metodologis. Baginya, pertama muqsam bih wajib berupa sesuatu yang hissi dan muqsam 'alaih berupa hal-hal yang maknawi. Kedua, setiap kata yang dijadikan muqsam bih harus diperhatikan batasannya, karena akan mempengaruhi pemaknaan pembandingan (al-taqabul) pada muqsam 'alaih. Ketiga, harus dibedakan antara wawu qasam yang terdapat pada awal kalimat dengan didahului (disisipi) kata tertentu sebelumnya. MUH TAQIYUDIN - NIM. 065300052012-08-15T11:10:51Z2012-08-15T11:11:31Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/4335This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/43352012-08-15T11:10:51ZRELASI ANTARA MANUSIA DENGAN KERUSAKAN ALAM (TELAAH ATAS PENAFSIRAN TANTAWI AL-JAUHARI DALAM KITAB AL-JAWAHIR FI TAFSIR AL-QUR'AN AL-KARIM)Permasalahan lingkungan hidup yang terjadi di dunia dewasa ini tidak terlepas dari peranan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut di satu sisi membantu umat manusia dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan memperbaiki kualitas kehidupan, tetapi di sisi lain penggunaan teknologi yang tidak beraturan, mempunyai implikasi terjadinya degradasi sumber daya alam dan kerusakan lingkungan hidup Berbagai pihak beranggapan bahwa kerusakan lingkungan hidup yang terjadi akibat penggunaan teknologi oleh manusia dapat diatasi dengan mudah melalui rekayasa teknologi pula. Pendapat ini menempatkan permasalahan kerusakan lingkungan hidup sebagai masalah teknis semata. Sedangkan apabila kita perhatikan kerusakan lingkungan hidup yang terjadi pada saat ini sebagian besar bersumber pada perilaku manusia yang kurang bertanggung jawab, tidak peduli pada lingkungan dan hanya mementingkan dirinya sendiri.
Masalah kerusakan lingkungan pada hakekatnya adalah masalah kemanusiaan yang erat hubungannya dengan sistem nilai, adat istiadat dan agama dalam mengendalikan eksistensinya sebagai pengelola lingkungan hidup. Oleh karena itu cara mengatasinya tidak hanya dengan melakukan usaha yang bersifat teknis semata, melainkan yang lebih utama haruslah ada usaha yang bersifat edukatif dan persuasif. Dengan demikian akan dapat dilakukan usaha ke arah perubahan sikap dan perilaku yang sudah lama berurat dan berakar dalam masyarakat. Usaha atau kegiatan yang dimaksud yaitu Pembinaan Etika Lingkungan pada Masyarakat Akhir-akhir ini malapetaka yang berupa banjir, kekeringan, pencemaran air, pencemaran tanah, polusi udara, keracunan oleh pestisida, kenaikan suhu akibat pemanasan global telah banyak diberitahukan oleh media massa. Hal tersebut merupakan ancaman yang serius bagi kelangsungan kehidupan kita yang menghendaki hidup sejahtera di bumi ini Oleh karena itu dalam upaya mengatasi permasalahan kerusakan lingkungan hidup yang semakin mengkhawatirkan kehidupan makhluk yang ada di bumi ini termasuk di dalamnya manusia, di samping penanganan secara teknis, yang lebih utama untuk diperhatikan adalah penanganan terhadap manusia yang mempunyai perilaku yang kurang bertanggung jawab, tidak peduli pada lingkungan dan mementingkan diri sendiri tersebut Salah satu upaya yang dapat dilakukan yaitu mengembalikan fungsi dan tanggung jawab manusia sebagai pemimpin di bumi.
Berkaitan dengan persoalan tersebut, penulis mengkaji tafsir Al-Jawahir fi Tafsir al-Qur'an al-Karim karya Tantawi Jauhari, yang merupakan salah satu karya tafsir modern. Selain itu, tafsir ini merupakan tafsir yang bercorak ilmi, sehingga sangat relevan dengan kondisi sekarang. Dari pembahasan ini diharapkan bisa mendapatkan solusi untuk mengatasi kerusakan yang melanda Indonesia khususnya dan dunia pada umumnya. SITI NOOR AINI - NIM. 055300242012-08-15T12:21:47Z2012-08-15T12:22:35Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/3378This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/33782012-08-15T12:21:47ZZAUJ DALAM AL-QUR’AN (Studi Tafsir Tematik)Gagasan tentang quot;pasangan quot; umumnya bermakna laki-laki dan perempuan, atau jantan dan betina, akan tetapi bukan berarti hanya manusia maupun binatang saja yang diciptakan berpasang-pasangan oleh Yang Maha Kuasa. Dalam kitab suci-Nya, al-Qur'an, Allah memberi petunjuk bahwa berpasang-pasangan tidak hanya dimiliki manusia, namun semua makhluq selainnya juga demikian. Al-Qur'an juga menyebut adanya pasangan pada alam tumbuh-tumbuhan dengan keanekaragaman hayatinya serta dalam rangka yang lebih umum, dan dengan batas-batas yang tidak ditentukan.
Penciptaan pasangan merupakan fitrah kehidupan, sehingga semua hal akan didapatkan selalu dengan pasangannya, karena eksistensi sesuatu adalah satu-satunya balancing power dari eksistensi pasangannya dalam membentuk harmonisasi kehidupan. Sebagaimana seorang lelaki hanya bisa dikatakan quot;suami quot; apabila dikaitkan dengan quot;istri quot; yang seorang perempuan. Malam diikuti oleh siang, sifat feminimitas dikaitkan dengan maskulinitas, dan tentu saja seorang lelaki dihubungkan dengan perempuan.
Dalam bidang ilmiah, teori tentang keberpasangan mulai terungkap kebenarannya satu persatu, dimulai dari pemecahan atom yang selama ini dianggap sebagai materi terkecil, ternyata didalam intinya terdapat pasangan proton dan netron. Akan tetapi bagaimana dengan dampak penciptaan berpasangan ini pada makhluk hidup yang lebih dahulu diketahui keberpasangannya. Jika inti dan fungsi dari pasangan adalah penyeimbang bagi pasangan yang lain maka tentunya di dalam al-Qur'an memuat prinsip-prinsip tersebut yang menuntun manusia untuk menjaga keseimbangan ekosistemnya. Dari sini penulis merasa tertarik untuk mengangkat tema ini menjadi sebuah skripsi dengan menggunakan metode tematik. Metode ini diharapkan dapat membantu memperoleh pemahaman yang objektif mengenai pandangan universal Al-Qur'an yang diturunkan bersamaan dengan terma zauj serta prinsip yang ditawarkan dalam rangka menjaga keseimbangan antar makhluk.
Term zauj disebut sebanyak 81 kali dalam 72 ayat yang tersebar pada 43 surat berbeda, dan sebagian besar menunjukkan arti istri. Hal ini dapat diartikan bahwa keberpasangan manusia sangat kompleks sehingga al-Qur'an memberi perhatian dalam porsi paling besar karena membutuhkan aturan yang detail. Di sisi lain, melalui konsep zauj, manusia diajarkan tentang adanya keseimbangan alam yang penjagaannya ditekankan pada tiga titik komponen lingkungan yang saling bertautan yaitu bumi, flora, dan fauna. Bumi merupakan komponen terpenting dan cara menjaganya adalah dengan menjaga keseimbangan kehidupan penghuninya (manusia, flora, dan fauna). Sedangkan penjagaan flora dan fauna dapat dilakukan dengan melindungi proses regenerasinya agar jangan sampai terputus akibat kelalaian serta kekegoisan manusia. Karena, sesuai watak manusia yang sering berkeinginan melakukan pelanggaran, disharmonisasi yang terjadi di alam kebanyakan diakibatkan oleh ulah manusia, akan tetapi disisi lain hanya manusialah yang dipercaya Allah untuk menjaga keberlangsungan kehidupan di semesta karena manusia adalah khalifatullah fil ard. Mauidzoh Hasanah 035314762012-08-15T13:24:08Z2012-08-15T13:24:50Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/3479This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/34792012-08-15T13:24:08ZSTUDI ATAS PENAFSIRAN AL-QURTUBY TERHADAP AYAT-AYAT TENTANG NIKAH BEDA AGAMA DALAM KITAB AL-JAMI' LI AHKAM AL-QUR'AN ABSTRAK Pernikahan bernuansa keragaman banyak terjadi dan kita jumpai di dalam kehidupan masyarakat sekarang ini. Hal ini memunculkan kontroversi yang cukup fenomenal atas sah atau tidaknya pernikahan beda agama dilihat dari sudut pandang doktrin agama maupun perundang-undangan di Indonesia. Problem ini kemudian menimbulkan Respon yang beragam dari masyarakat dengan munculnya dua kubu yang saling berseberangan, sebagian golongan mengecam perkawinan campur ini, Sebagian lain mereka yang pro terhadap adanya pernikahan beda agama mengemukakan pendapat-pendapat baru yang mencoba untuk mereduksi pendapat lama dengan membuka pemahaman baru terhadap wacana quot;pernikahan beda agama quot;, Berangkat dari problema tersebut penulis tertarik untuk mengkaji lebih jauh masalah pernikahan beda agama ini dalam pandangan al-Qurtubi dalam kitabnya Al-Jami' Li Ahkam Al-Qur'an. Adapun alasan penulis untuk memilih al-Qurtubi sebagai objek kajian lebih disebabkan karena pendapatnya dalam masalah ini cukup dinamis dan kontroversial, disamping itu kitab Al-Jami' Li Ahkam Al-Qur'an merupakan salah kitab tafsir yang bercorak fiqih (Lawn al-Fiqh), sehingga sangat relevan dengan kajian nikah beda agama ini yang selalu menuntut kejelasan hukum.
Pokok kajian yang dibahas dalam penelitian ini hanya terfokus pada satu hal pokok yakni quot;bagaimana penafsiran al-Qurtubi terhadap ayat-ayat yang berkaitan dengan nikah beda agama dalam kitabnya Al-Jami' Li Ahkam Al-Qur'an, dengan memperhatikan kandungan hukum dari ayat tersebut. Penelitian ini bersifat deskriptif-analitik dengan pendekatan filosofis dan komparatif, yakni menuturkan menggambarkan dan mengklasifikasi secara obyektif data yang dikaji sekaligus menginterpretasikan dan menganalisa data. Dengan metode ini dimaksudkan bahwa poin-poin dan pemikiran al-Qurtubi diuraikan secara lengkap dan ketat, baik yang terdapat dalam sumber primer maupun sumber sekunder. Sehingga pemikiran tokoh dimaksud dapat dipotret secara jelas. Dalam hal ini, penyusun berusaha menggambarkan obyek penelitian yaitu penafsiran al-Qurtubi terhadap ayat-ayat yang berkaitan dengan pernikahan beda agama dalam tafsirnya (Al-Jami' Li Ahkam Al-Qur'an). Sementara itu pendekatan filosofis untuk mencari jawaban secara mendasar tentang aspek-aspek penafsiran al-Qurtubi, terutama fundamental idea mengenai interpretasi terhadap ayat-ayat yang bekaitan dengan pernikahan beda agama. Terakhir dengan pendekatan komparatif terutama digunakan untuk membandingkan pemikiran al-Qutubi dengan penafsir lainnya guna mengungkap karakteristik pemikiran al-Qurtubi.
Dari penelitian ini dapat diambil kesimpulan bahwa al-Qurtubi sebagaimana kesepakatan ulama, tidak membolehkan pria Muslim untuk menikahi wanita musyrik dengan kategori musyrik Arab paganis, akan tetapi Ia membolehkan seorang pria Muslim menikah dengan wanita ahl-kitab berdasarkan surat al-Maidah ayat 5, karena ayat ini menjadi takhsis terhadap surat al-Baqarah ayat 221, bagi al-Qurtbi, ahl-kitab mempunyai cakupan yang luas dan bukan hanya orang-orang Yahudi dan Majusi. RUSLAN NIM 025310002012-08-15T13:28:02Z2012-08-15T13:28:46Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/3453This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/34532012-08-15T13:28:02ZTAFSIR JARWA JAWI ( Kajian Metodologi penafsiran Al-Qur'an Maulvi Muhammad Ali) ABSTRAK Skripsi ini berjudul Tafsir Qur'an Suci Jarwa Jawi Dalah Tafsiripun: Kajian Metodologi Penafsiran al-Qur'an Maulvi Muhammad Ali. Maulvi Muhammad Ali adalah seorang pendiri dari Gerakan Ahmadiyyah aliran Lahore. Selama hidupnya Maulvi mendedikasikan dirinya hanya untuk kejayaan agama Islam, perjuangannya ia tuangkan dalam berbagai bentuk karya-karya tulis yang berisi ilmu pengetahuan dan pemahaman tentang Islam yang benar. Atas dasar inilah maka Mirza Ghulam Ahmad pendiri gerakan Ahmadiyyah Qodian mengamanatkan pada dirinya untuk menyelesaikan terjemahan Qur'an Suci dalam bentuk bahasa Inggris yang diberi nama quot;The Holy Qur'an quot; yang menjadi cita-citanya, demi tegaknya agama Islam di dunia Barat dan Eropa. Untuk tujuan itulah maka diterjemahkannya Qur'an Suci dalam berbagai bahasa di dunia. Yang kemudian di Indonesia (dulu tanah Jawa Duwipa) oleh pendiri gerakan Ahmadiyyah aliran Lahore oleg Rng. H. Minhadjurrahman Djajasugita dan M. Mufti Sharif dibuatlah terjemahan Qur'an Suci Jarwa Jawi Dalah Tafsiripun yang merupakan salinan dari terjemahan dalam bahasa Inggris karya Maulvi Muhammad Ali.
Penelitian dalam Penulisan ini dikhususkan pada pokok masalah pembahasan metodologi penafsiran al-Qur'an oleh Maulvi Muhammad Ali. Dalam hal ini penulis memfokuskan metodologi penafsirannya ke dalam lima kajian, yaitu bentuk penafsiran, metode penafsiran, corak penafsiran, sistematika penafsiran, dan kelebihan serta kekurangannya dari metodogi penafsiran tersebut.
Penelitian dalam penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kongkrit tentang apa latar belakang Maulvi Muhammad Ali menulis tafsir ini dan bagaimana keberadaan tafsir Maulvi Muhammad Ali sebagai bentuk tafsir pembawa pencerahan (reanisance) sebagaimana yang telah diamantkan Gerakan Ahmadiyyah. Baik pencerahan pada ruang dan waktu saat India masih terliputi oleh berbagai praktek-praktek keagamaan yang menimpang, dan dalam cengkaram kolonialisme. Begitujuga hal yang sama terjadi di Jawa, maka muncullah karya terjemahan tafsir The Holy Qur'an dengan nama Qur'an Suci Jarwa Jawi Dalah Tafsiripun.
Subyek penulisan dalam penelitian ini adalah kitab tafsir terjemahan dari The Holy Qur'an karya Maulvi Muhammad Ali, yaitu Qur'an Suci Jarwa Jawi Dalah Tafsiripun karya Rng. H. Minhadjurrahman Djajasugita dan M. Mufti Sharif, sebagai bahan primer, dan buku-buku pendukung lain yang berkaitan sebagai bahan skunder. Data kemudian diolah menggunakan pendekatan historis, dan kemudian dengan metode analitis secara induktif. Dalam analitis induktif ini data-data yang akan ditampilkan secara khusus dan selanjutnya dari kesimpulan yang khusus itu akan ditarik generalisasi-generalisasi yang bersifat umum.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk penafsiran Maulvi Muhammad Ali dalam tafsir ini adalah tafsir bi al-ra'yi. Hal ini dikarenakan digunakan pemikiran dalam menafsirkannya lebih banyak dari pada penggunaan riwayat. Sedangkan metode yang digunakan adalah metode tahlili (analisis) dengan corak adabi ijtima'I, dengan dasar penafsiran-penafsiran tersebut dengan merespon persoalan masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar nantinya masyarakatnya berpegang teguh atau kembali pada al-Qur'an dan al-Hadis. Nur Kholid MS NIM. 015307832012-08-16T13:29:18Z2012-08-16T13:49:48Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/4132This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/41322012-08-16T13:29:18ZBIRRUL WAL IDAIN MENURUT MUHAAMMAD 'ALI AL-SAABBUNNI (Studi Terhadap Kitab Tafsir Rawai' al-Bayyan)Dalam pergaulan di tengah-tengah masyarakat tidak akan terlepas dari orang yang usianya lebih tua, sebab pada dasarnya manusia dalam mengarungi jenjang kehidupan adalah berlanjut dari generasi ke generasi berikutnya. Karena itu, Islam mengatur bagaimana seharusnya generasi yang lebih muda bergaul dengan sopan santun terhadap generasi yang tua. Orang yang lebih dekat dengan kita yang usianya lebih tua adalah kedua orang tua, sementara terdapat cendekiawan muslim kekinian yang mempunyai konsen tinggi terhadap kehidupan muslim dunia. Dialah Muhammad 'Ali al-Sabuni dengan karya Rawai'al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam, selain itu dikarenakan tokoh ini mempuntai pandangan yang memadai tentang birrul walidain.
Di situ ada tiga hal yang perlu dikaji, yakni : pertama Bagaimana penafsiran al- Sabuni surat Luqman ayat 12-15 mengenai birrul walidain, kedua Faktor apa saja yang melatarbelakangi penafsiran tersebut, ketiga Bagaimana implikasi penafsiran al-Sabuni tentang birrul walidain dalam konteks keluarga Islami? Jenis penelitian ini adalah library research (penelitian pustaka) dengan sifat Deskriptif-Analitik. Adapun pengambilan datanya dengan pengumpulan dari pustaka dari kitab Rawai' al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam yang dikarang oleh Muhammad amp;#8216;Ali al-Sabuni sebagai data primer serta buku-buku lain tentang birrul walidain sebagai data sekunder.
Di dalam kitab Rawai' al-Bayan, al-Sabuni menafsirkan surat Luqman ayat 12-15, yakni secara garis besarnya dalam perintah Allah untuk berbuat baik kepada kedua orang tua, Allah menyebutkan dengan kata quot;walidain quot;, tetapi kemudian disusul dengan menyebutkan ibu secara khusus. Ini dalam istilah bahasa disebut 'dzikrul khas ba'da amp;#8216;am quot;(menyebutkan yang khusus sesudah yang umum). Gunanya untuk menembah perhatian dan memandangnya sebagai hal yang penting, karena hak ibu atas anak lebih besar dari pada hak ayah.
Ada dua faktor utama yang melatarbelakangi penafsiran al-Sabuni terhadap surat Luqman ayat 12-15. Pertama, berkaitan dengan faktor intern,yang disebabkan oleh latarbelakang keilmuan yang dimiliki oleh al-Sabuni. Yang kedua, yakni faktor eksternal yang disebabkan sosio-historis. Al-Sabuni setelah mengamati cerita-cerita para salafush shalih dalam meniti Islam, tak terkecuali dalam birrul walidain muncul keprihatinan yang dirasakan al-Sabuni antara hubungan antara anak dengan orang tua. Al-Sabuni melakukan kegiatan ilmiah dalam memahami dan menjelaskan kandungan al-Qur'an tentang birrul walidain setiap kebutuhan setiap generasi. Padahal sebenarnya esensi dan hakikat birrul walidain tidak hanya mencakup ketika orang tua masih hidup, akan tetapi juga dilakukan ketika orang tua sudah meninggal. SOBIROH - NIM. 055300422012-08-28T09:34:54Z2012-08-28T09:36:48Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/3922This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/39222012-08-28T09:34:54ZAL-QUR'AN DAN DIALEKTIKA KEBUDAYAN INDONESIA (Telaah Atas Penulisan Tafsir Jenis Kolom Dalam Buku Nasionalisme Muhammad; Islam Menyongsong Masa Depan karya Emha Ainun Nadjib)Sampai kapanpun perbincangan seputar masalah al-Qur'an tidak akan pernah menemukan titik akhir. Selain berfungsi sebagai petunjuk bagi umat manusia, al-Qur'an, yang juga mengandung isyarat-isyarat ilmu pengetahuan telah memungkinkan dilakukannya kajian-kajian yang beragam. Hal ini semakin membuktikan kepada kita betapa al-Qur'an merupakan firman Allah SWT yang keberadaannya tidak mungkin kita ragukan lagi. Keluasan makna dalam al-Qur'an sebenarnya dapat diungkap melalui sebuah pertanyaan: bagaimana membuktikan kebenaran al-Qur'an dalam berbagai konteks kehidupan? Tetapi yang perlu dilakukan dalam membuktikan kebenarannya itu adalah bagaimana mengungkapkan maksud atau nilai-nilai yang dikandungnya. Dalam konteks inilah kemudian bermunculan beragam penafsiran yang terus mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Sebagai kitab petunjuk, kitab hukum sampai dengan kitab yang mengandung isyarat ilmu pengetahuan, al-Qur'an telah melahirkan berbagai macam penafsiran dengan sekian corak dan jenisnya.
Penelitian dalam skripsi ini juga bermaksud untuk melakukan suatu kajian terhadap hasil penafsiran al-Qur'an yang dilakukan oleh Emha Ainun Nadjib di dalam bukunya Nasionalisme Muhammad; Islam Menyongsong Masa Depan. Selama ini, sosok Emha Ainun Nadjib lebih banyak dikenal sebagai penyair dan budayawan daripada sebagai seorang mufassir atau tokoh intelektual yang secara khusus banyak mengkaji al-Qur'an dan melahirkannya menjadi beberapa karya tafsir.
Untuk membantu memudahkan tugas ini, fokus penelitian yang dilakukan menyangkut beberapa hal diantaranya adalah (1), bagaimana tinjauan ontologis pemikiran Emha Ainun Nadjib mengenai al-Qur'an, (2), bagaimana hubungan dialektika antara al-Qur'an dan budaya Indonesia, dan (3), Tema kebudayaan apa saja yang di dalamnya disitir ayat al-Qur'an dan bagaimana Emha Ainun Nadjib memberikan penjelasannya (penafsirannya).
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (liberary research) dengan menggunakan metode analitis-deskriptif dan wawancara. Beberapa langkah penelitian selanjutnya yang meliputi deskriptif, interpretasi dan sintesis juga dilakukan sehingga pada akhirnya dapat dicapai kesimpulan yang sesuai dan sekaligus dapat menjelaskan bagaimana pemikiran (ontologis) Emha Ainun Nadjib mengenai al-Qur'an, hubungannya dengan dialektika budaya di Indonesia berikut tema kebudayaan apa saja yang dijadikan objek dalam memberikan penafsirannya terhadap al-Qur'an. RUSDI - NIM 025311162012-08-29T09:40:23Z2015-05-29T07:50:12Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/3889This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/38892012-08-29T09:40:23ZESKATOLOGI DALAM PERSPEKTIF FAZLUR RAHMAESKATOLOGI RAHMAN
(Telaah Atas Tema Pokok al-Qur’an)Al-Qur'an sampai saat ini melahirkan pusat pusaran wacana ke-Islaman yang tak pernah berhenti dan menjadi pusat inspirasi bagi manusia. Sehingga melahirkan pemikir-pemikir yang sekelas al-Razi, Ibn Katsir, az-Zamakhsyari, Ibn Qayyim al-Jauziyah, serta Hujjatul Islam; al-Gazali. Usaha mereka untuk membangun keilmuan Ushuluddin (teologi), merupakan pondasi bagi pemikir-pemikir yang datang belakangan, semisal Nasr Abu Zayd, Hassan Hanafi, Fazlur Rahman, dan lain sebagainya. Dari sekian banyak keilmuan yang disandang para pemikir-pemikir tersebut, baik klasik maupun kontemporer, penulis melihat bahwa konsep teologi klasik sangat menarik untuk diusung lagi dalam ranah keilmuan saat ini. Ibarat sebagai hegemoni rutinitas', yang mana keilmuan saat ini telah di sibukkan oleh urusan-urusan hak, demokrasi, politik dan ilmu humaniora lainnya. Sehingga menjadi ketertarikan penulis untuk mengkaji teologi klasik tersebut dengan dihubungkan teologi modern. Dalam hal ini penulis mengkaji konsep eskatologi-nya Fazlur Rahman. Yang menurut penulis patut di pelajari, karena merupakan suatu pembacaan yang baru tentang konsep eskatologi yang telah ada; yang tentu saja kesemuanya itu berpijak pada al-Qur'an.
Skripsi ini berusaha mengungkapkan gagasan-gagasan Fazlur Rahman dalam persoalan eskatologi dengan prinsip-prinsip yang membangun gagasangagasan Ulama klasik dengan menafsirkan ulang pengetahuan eskatologi yang telah ada. Usaha ini dilakukan dengan mengkaji sumber utama dari Fazlur Rahman, yaitu karyanya yang berjudul Tema Pokok al-Qur'an (Major Themes of the Qur'an). Metode yang dipakai Fazlur Rahman dalam memahami ayat-ayat metafisika sangat berbeda dengan metode-metode pembacaan Fazlur Rahman secara konvensional. Pembacaan Fazlur Rahman tentang ayat-ayat metafisika akhirat melahirkan metodologi interpretasi yang baru, yang lain dari metodologi yang pernah ditawarkan oleh Fazlur Rahman sebelumnya; double movement.
Metode yang digunakan oleh Fazlur Rahman dalam menafsirkan ayat-ayat metafisika akhirat (eskatologi) adalah sintesa-logis, yaitu dengan merangkum ayat-ayat yang berhubungan dengan suatu tema, untuk dirimuskan kembali menjadi satu tema dengan pemahaman yang utuh. Pemahaman eskatologis Fazlur Rahman sangat berbeda dengan pengetahuan eskatologis menurut pemikir-pemikir kebanyakan. Dengan sosiohistoris yang modernis, menjadikan pemahaman yang unik' ketika dihadapkan dengan pemikiran masa lalu. Suatu contoh; Rahman mengakui bahwa kehancuran kiamat adalah kehancuran yang merupakan syarat terjadinya transformasi dan penyusunan kembali alam semesta untuk menciptakan bentuk-bentuk kehidupan yang baru dan level-level kehidupan yang baru pula. Sedangkan alam baru yang tersusun ini, berasal dari unsur-unsur yang terkait dengan alam sebelumnya, yang mana menurut penulis bahwa surga dan neraka diciptakan dengan unsur-unsur alam semesta pada saat ini, logisnya pemahaman Rahman bahwa surga dan neraka adalah belum diciptakan. AHMAD AZIB - NIM. 025309512012-08-29T12:33:48Z2012-08-29T12:35:45Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/3901This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/39012012-08-29T12:33:48ZHASAN MENURUT TOSHIHIKO IZUTSU DALAM BUKU ETHICORELIGIOUS CONCEPTS IN THE QUR'ANBuku Ethico-Religious Concepts in the Qur'an merupakan buku yang cukup menarik perhatian para sarjana ke-Islaman. Buku ini telah diterjemahkan ke berbagai bahasa di dunia, dan salah satunya bahasa Indonesia. Di dalamnya Toshihiko Izutsu mengemukakan pandangannya tentang persoalan etika religi dalam al-Qur'an. Salah satu persoalan etika yang menjadi perhatian Izutsu adalah persoalan baik dan buruk, yang dalam al-Qur'an diwakili oleh kata salih, hasan, khayr, birr, ma'ruf dan tayyib. Diantara kata-kata tersebut, etika yang diwakili oleh kata hasan merupakan hal yang cocok untuk diteliti lebih lanjut, karena kata ini digunakan untuk mengungkapkan segala sesuatu yang dipandang baik, bahkan banyak sekali para Nabi yang dipuji dengan sebutan muhsinin.
Skripsi ini akan mengetengahkan pandangan Toshihiko Izutsu tentang hasan, sehingga di dalamnya akan ditemukan apa saja makna kata ini dalam al-Qur'an. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif-analitis, yaitu menggambarkan secara utuh pemikiran Izutsu tentang hasan dan bagaimana ia menerapkan pendekatan semantiknya terhadap kata ini, untuk kemudian dianalisis lebih lanjut dan dikritisi jika terdapat hal-hal yang kurang cocok dengan variabel makna hasan dalam al-Qur'an yang penulis temukan. Sedangkan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini ialah pendekatan semantik, sebagaimana yang dirumuskan Izutsu. Adapun dari sisi jenis, penelitian termasuk jenis penelitian pustaka (library research) dengan memakai sumber dan sekunder, dengan rincian, bahwa yang menjadi sumber primer adalah buku Ethico-Religious Concepts in the Qur'an, dan sumber sekundernya adalah buku-buku yang membahas tentang hasan dan derivasinya.
Kata hasan dan derivasinya menurut Izutsu di dalam al-Qur'an digunakan terhadap perkara religius dan keagamaan. Ia bisa berarti menyenangkan (pleasing), memuaskan (satisfying), indah (beautiful), terpuji (admirable), kebahagiaan (happiness), kemakmuran (prosperity) dan keberuntungan (good luck). Kata ini juga bisa bermakna sikap yang selalu siap membantu orang miskin, tidak cepat marah dan memberi maaf kepada sesama manusia. Namun ada beberapa makna kata ini yang luput dari pemaparan Izutsu, yaitu surga, nikmat dan menang atau mati syahid. Ketiga hal tersebut tergolong ke dalam apa yang disebut Izutsu sebagai Ethico-Religious. Selain itu, terhadap h{asan ini, ia tidak menerapkan pendekatan semantik yang telah dirumuskannya. FAISAL HIDAYAH - NIM. 055300072012-08-29T12:41:01Z2012-08-29T12:43:11Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/3911This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/39112012-08-29T12:41:01ZHADIS TENTANG TAUBAT DARI SUATU DOSA TETAPI MASIH MELAKUKAN DOSA YANG LAINManusia adalah tempat salah dan lupa, tidak ada yang dapat luput dari dosa. Oleh karenanya menurut sebagian kalangan melakukan perbuatan dosa itu wajar serta manusiawi. Akan tetapi tidak boleh hanyut dalam kewajaran itu, lalu dengan selalu membiasakan perbuatan yang terlarang, atau hanyut dalam kesedihan karena dosanya hingga tidak melakukan suatu tindakan apapun, kalau demikian keadaannya maka perbuatan yang harus dilakukan adalah melakukan perbuatan yang baik dan bertaubat kepada Allah.Taubat seringkali dilakukan oleh manusia hanya sebatas ritualistik dan tidak jarang mengesampingkan esensi ritual yang dijalaninaya sehingga tujuan awal dari taubat yang dilakukannya terkadang hanya sebagai formalitas belaka dan bersifat kamuflase. Seperti halnya syarat, aturan, keadaan rukhiyah dan pendukung lainnya.
Dari sinilah penelitian ini berangkat, yakni berusaha untuk mencoba mencari sense dan wilayah makna yang proporsional yaitu tentang prilaku manusia ketika melakukan taubat dari suatu dosa kemudian melakukan dosa lagi. Bagimana tinjauan hadis dalam menjelaskan paradigma seperti itu ? Dosa merupakan perilaku buruk yang masing-masing mempunyai klasifikasi tersendiri yang berimplikasi terhadap proses netralisasinya. Penelitian ini bersifat literer dengan mengggunakan metode makna hadis (ma'anil hadis).
Fokus penelitian ini adalah pada tema tersebut diatas yang terdapat pada hadis Qudsi yang diriwayatkan oleh al-Bukhari hadis nomor 6953, Imam Muslim hadis nomor 4953, dan Imam Ahmad pada hadis nomor 7607, 9984, dan 8888. Dengan cara melakukan riset terhadap hadis-hadis tersebut pada kitab aslinya yaitu dengan mencari melalui lafal (metode takhij al-h}adis bi allafz). Selanjutnya penulis mencarinya dalam kitab al-Mu'jam al-Mufahras li Alfaz al-hadis an-Nabawi melalui penelusuran matan hadis (kalimah min matan al-hadis) dengan menggunakan bantuan CD Rom Mausu'ah al-hadis.
Dari penelitian ini dapat diketahui bahwa hadis tersebut sangat relevan dengan kehidupan realistis kejiwaan manusia yaitu makhluk yang mempunyai potensi untuk melakuakan hal-hal yang buruk dan untuk mengantisipasi tabi'at buruknya Allah SWT memberikan solusi dengan mensyari'atkan taubat kepada-Nya, walaupun keburukan itu dilakukan secara berulang kali. Hadis ini menyiratkan makna bahwa dalam perjalanan hidup seorang manusia harus mempunyai landasan tauhid yang kuat, seperti halnya pengetahuan seorang hamba terhadap Tuhan bahwa Dia Maha Pengampun akan tetapi juga Maha Pemberi Siksa bagi yang melakukan dosa. Keyakinan tauhid yang kuat akan menumbuhkan sisi ruhaniah manusia sebagai kontrol pribadi dalam menjalani kehidupan sehari-hari, dari hal yang kecil hingga perkara besar, dan menjadikan diri senantiasa dapat mengetahui jalan keluar atas problematika hidup juga menjadikan diri sendiri seorang manusia solutif. MUHAMMAD HUDA - NIM. 015306132012-08-29T12:44:13Z2012-08-29T12:46:33Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/3908This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/39082012-08-29T12:44:13ZHADIS-HADIS TENTANG MALU ADALAH SEBAGIAN DARI IMAN (KAJIAN MA'ANI AL-HADIS)Nabi Muhammad dalam suatu riwayat menyebutkan, aku diutus untuk meyempurnakan akhlaq ini menunjukkan bahwa Islam juga mengajarkan pranata sosial, khususnya yang berkaitan dengan etika sosial. Dalam kaitannya dengan persoalan ini, ada suatu riwayat (hadis) yang menceritakan, bahwa Rasulullah saw. Melewati seorang laki-laki yang sedang menasehati saudaranya tentang malu, dia berkata sesungguhnya kamu sungguh pemalu sehingga seakan-akan dia berkata malu telah mencelakakan dirimu maka Rasulullah saw. Bersabda: tinggalkanlah dia, karena sesungguhnya malu itu sebagian dari iman. Malu (al-Haya') adalah sifat atau perasaan yang menimbulkan keengganan melakukan sesuatu yang rendah atau tidak baik.
Hadis yang fungsinya sebagai tabayyun al-Qur'an dan juga sebagai sumber hukum juga berbicara tentang malu adalah bagian dari iman. Misalnya hadis riwayat Abu Dawud yang menjelaskan bahwa Iman itu terdiri dari tujuh puluh bagian. Yang paling utama ialah ucapan (pengakuan) tiada tuhan selain Allah dan yang paling rendah ialah menyingkirkan gangguan dari jalanan. dan malu adalah salah satu cabang dari iman.
Dalam penelitian ini ada dua hal pokok yang menjadi acuan, pertama: menemukan pemaknaan hadis-hadis tentang malu adalah sebagian dari iman yang jelas sehingga mendekati kebenaran, kedua : menelusuri kontekstualisasi dari pemaknaan hadis-hadis tersebut. Untuk memperoleh pemahaman yang mendekati kebenaran, maka perlu dilakukan analisa berkaitan dengan hadis tersebut. Adapun metode yang digunakan dalam studi terhadap hadis malu adalah sebagian dari iman adalah metode kritik sanad dan pemahaman matan. Langkah yang digunakan pada metode ini meliputi analisa historis, pemaknaan dan kajian kondisi kekinian. Melalui kritik sanad, maka hadis tentang malu adalah sebagian dari iman berkualitas sahih. Khususnya melalui pendekatan matan, diperoleh hasil yang komprehensif sehingga ditemukan makna malu adalah sebagian dari iman. Malu (al-Haya') dalam hadis tersebut adalah sifat atau perasaan yang bisa mencegah seseorang untuk melakukan perbuatan yang jelek maupun merampas hak-hak orang lain. sifat malu akan mengendalikan hawa nafsu seseorang, sehingga dia selalu berbuat baik dimanapun ia berada MOH. AFIFI - NIM. 025309762012-08-29T12:47:39Z2012-08-29T12:50:28Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/4095This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/40952012-08-29T12:47:39ZHADIS-HADIS TENTANG TATO (Telaah Ma'ani al-Hadis)Islam adalah rahmat bagi seluruh alam, yang menjadikan al-Qur'an dan Hadis sebagai sumber pokok dalam segi kehidupan umatnya. Al-Qur'an sebagai rujukan pertama dan Hadis sebagai baya n (penjelas) apabila dalam al-Qur'an tidak dijelaskan penjelasannya secara rinci. Hadis yang bersifat universal akan selalu sesuai dengan aspek kehidupan tanpa mengenal batas. Oleh karena itu perlu adanya pengkajian yang mendalam untuk dapat menangkap makna dan tujuan yang terkandung didalamnya agar mendapatkan pemahaman yang tepat serta dapat menghubungkannya dengan permasalahan-permasalahan yang banyak terjadi di masa sekarang. Tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa penampilan merupakan sesuatu yang sangat penting untuk diperhatikan. Baik buruknya pribadi seseorang dapat dilihat dari sejauh mana ia memperhatikan penampilan. Agar seseorang terlihat rapi, cantik, dan indah untuk dilihat, ia akan berusaha mewujudkannya sampai mencapai hasil yang diinginkan. Dengan begitu dunia fashion-pun semakin melebarkan sayapnya. Berbagai assesoris dan pernak-pernik ditawarkan untuk melengkapi kesempurnaan dalam berpenampilan. Salah satu assesoris yang sedang digemari masyarakat dari berbagai golongan adalah seni tato. Banyak sekali riwayat yang menjelaskan tentang hal ini, dan semuanya melarang prilaku tersebut. Hal ini memunculkan pertanyaan ada apa dibalik pernyataan Rasulullah sebagaimana dalam hadis tersebut. Maka perlu adanya penelitian terhadap masalah ini.
Selanjutnya penelitian ini menggunakan ilmu ma'ani al-hadis dan mengkorelasikannya dengan konteks kekinian, dengan demikian diharapkan dapat memperoleh pemahaman yang salih li kulli zaman wa makan. Adapun penelitian ini dilakukan dengan melalui beberapa langkah, diantaranya penelitian sanad (kritik historis) untuk mengetahui kualitas hadis, dilanjutkan penelitian makna hadis (kritik eiditis) yang meliputi kajian kebahasaan, kajian tematik-komprehensif dengan mengkonfirmasikannya dengan al-Qur'an dan hadis-hadis lain yang mendukung, serta kajian terhadap hal-hal yang melatarbelakangi munculnya hadis tersebut.Kemudian langkah selanjutnya adalah menangkap makna universal dari hadis tersebut, dan yang terakhir mengkomunikasikan makna hadis dengan realitas kekinian.
Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa tato adalah termasuk prilaku yang dilarang oleh Rasulullah SAW. karena dianggap merubah ciptaan Allah SWT. akan tetapi dengan catatan apabila tato tersebut bersifat permanen dan tinta yang digunakan dapat menghalangi sampainya air wudlu pada kulit, selain itu tinta yang digunakanpun membahayakan kesehatan. Apabila tato yang digunakan bersifat temporer maka hal itu diperbolehkan dan tinta yang digunakanpun adalah Henna, karena selain Henna dapat ditembus oleh air wudlu, untuk kecantikan, ia juga mengandung banyak khasiat yang dapat digunakan untuk menyembuhkan berbagai penyakit. DEWI KOFSOH - NIM. 05530031 2012-08-29T14:42:54Z2015-05-29T07:51:07Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/3888This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/38882012-08-29T14:42:54ZIMPLEMENTASI HADIS BIRRUL WALIDAIN SETELAH MENINGGAL DUNIA PADA MASYARAKAT WONOKROMO (STUDI LIVING HADIS)Indonesia adalah negara yang kaya dengan berbagai budaya dan tradisi. Setiap wilayah di sini memiliki tradisi yang beragam, tidak terkecuali pulau Jawa. Salah satu tradisi yang dikenal dan dilaksanakan di pulau Jawa adalah tradisi nyadran. Nyadran pada konsep awalnya adalah upacara yang dilaksanakan sebagai pemujaan terhadap roh nenek moyang yang telah meninggal untuk meminta bantuan terhadapnya. Mereka berkeyakinan bahwa nenek moyang yang telah meninggal itu lebih dekat kepada Tuhan, jadi do'a mereka lebih didengar dan lebih cepat dikabulkan daripada do'a mereka yang masih hidup. Seiring dengan kedatangan dan berkembangnya Islam di pulau Jawa yang dibawa oleh para Wali, tradisi ini mulai mendapat pengaruh dari nilai-nilai ajaran Islam. Karena telah begitu kuat mengakar dan melembaga dalam masyarakat, oleh para Wali tradisi ini tidak serta-merta dihapus dan dihilangkan akan tetapi diakulturasikan dengan nilai-nilai Islam.
Tradisi nyadran di Wonokromo adalah salah satu wujud implementasi hadis birrul walidain setelah meninggal dunia. Dengan demikian nyadran yang ada di Wonokromo secara singkat dimaknai dengan tradisi tradisi birrul walidain. Di kampung ini nyadran yang dulunya merupakan tradisi pra-Islam sudah berubah sangat Islami dan diisi dengan acara-acara yang diajarkan dalam Islam. Hal inilah yang melatar belakangi penyusun melakukan penelitian ini, bagaimana sebuah tradisi yang dulunya tidak berasal dari ajaran Islam bisa berubah begitu Islami . Selain hal tersebut, juga untuk mengetahui bagaimana praktek nyadran masyarakat desa Wonokromo serta bagaimana implementasi hadist birrul walidain setelah meninggal dunia pada masyarakat Wonokromo dan hampir tidak ada perbedaan / perselisihan bahwa tradisi ini bid`ah atau tidak.
Penelitian ini metode yang penyusun gunakan adalah penelitian lapangan (field research), yang bersifat deskriptif-analitik yaitu penyusun terjun langsung ke lapangan atau tempat penelitian untuk mengetahui secara jelas dari berbagai sisi tentang perayaan nyadran yang dilakukan oleh masyarakat Desa Wonokromo. Adapun tehnik pengumpulan datanya antara lain dengan wawancara langsung, dokumentasi acara, serta obserevasi langsung ke lapangan. Sedangkan pendekatan yang penyusun gunakan adalah pendekatan sosial cultural dan pendekatan normative, yaitu cara mendekati suatu masalah dengan menggunakan teori sosiologi untuk mengetahui interaksi antara norma adat dan agama dalam masyarakat dan juga meneliti apakah sesuatu itu baik atau tidak dan sudahkah sesuai dengan normanorma yang berlaku, yang dalam hal ini adalah syari'at Islam, kemudian dalam pengolahan data penyusun menggunakan metode induksi dan deduksi yaitu untuk menganalisa data dan bukti khusus yang mempunyai unsur-unsur kesamaan untuk mendapatkan kesimpulan yang bersifat umum.
Dari penelitian ini dapat diketahui bahwa ternyata acara nyadran di desa Wonokromo bertujuan untuk dakwah, memohonkan ampunan kepada Allah SWT bagi orang-orang yang telah wafat terutama keluarganya dan yang terpenting adalah sebagai ajang silaturrahmi antar warga. AHMAD ARROFIQI - NIM. 045315572012-08-29T14:46:25Z2012-08-29T14:49:41Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/4092This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/40922012-08-29T14:46:25ZARBA'ATUN HURUM DALAM Al-QUR'AN (KAJIAN TAFSIR TEMATIK)Arba'atun Hurum merupakan empat bulan yang dimuliakan oleh Allah SWT. Empat bulan tersebut memiliki setatus mulia tentunya memiliki latar bekang kenapa Allah SWT memuliakan keempat bulan itu. Keempat bulan itu adalah Zulqa'dah, Zulhijjah, Muharam dan Rajab. Pemuliaan terhadap Arba'atun Hurum sudah pernah dipraktekkan oleh orang-orang Arab sebelum nabi Muhammad saw. datang membawa ajaran Islam. Di sinilah pentingnya dilakukan penelitian tentang Arba'atun Hurum untuk mengetahui bagaimana latar belakang pemuliaan keempat bulan tersebut.
Skripsi ini berangkat dari keinginan penulis untuk mengetahui latar belakang adanya pengistimewaan terhadab empat bulan yaitu Zulqa'dah,Zulhijjah, Muharam dan Rajab. Setelah penulis mendengarkan penceramah dalam satu pengajian yang membahas hal tersebut. Penelitian penulis anggap penting karena masih ada anggapan bahwasannya salah satu bulan yang dimuliakan adalah bulan yang keramat. Sepertihalnya mengkeramatkan bulan Syuro atau Muharrom dianggap sebagai bulan yang tidak tepat untuk melakukan pesta-pesta seperti pernikahan. Hal ini berbeda dengan bulan sebelumnya yakni Zulhijjah. Sebaliknya, pada bulan itu (khususnya pada tanggal 10 Muharrom), masyarakat merayakan dengan membuat bubur merah-putih. apa yang diyakini bahwa bulan Muharram tidak baik untuk berpesta adalah tidak benar. Yang benar adalah bahwa pada hari tersebut disunahkan berpuasa.
Penelitian ini merupakan penelitian ayat-ayat al-Qur'an tentang Arba'atun Hurum dengan menggunakan al-Qur'an sebagai data primer, sedang data sekunder diambil dari kitab-kitab tafsir. Dengan meggunakan pendapat para ahli tafsir penulis berusaha menjelaskan kenapa keempat bulan tersebut mendapat pengistimewaan di banding dengan bulan-bulan yang lainnya.Setelah peneliti melakukan penelitian, peneliti tidak menemukan perbedaan penafsiran para ulama tafsir yang karya-karyanya peneiti gunakan sebagai sumber rujukan. Para ulama tersebut sepakat bahwasannya yang dimaksud dengan Arba'atun Hurum adalah empat bulan yang dimuliakan yaitu, bulan Zulqa'dah, bulan Zulhijjah, bulan Muharram dan bulan Rajab.
Dari hasil penelitian, peneliti menemukan apa yang melatar belakangi sehingga keempat bulan tersebut memiliki setatus dimuliakan. Semisal bulan Zulqa'dah merupakan salah satu bulan Haji, Bulan Zulhijjah seluruh manasik Haji dilakukan pada bulan ini, Bulan Muharram disunahkannya puasa Asyura, bulan Rajab terdapat peristiwa yang bersejarah yaitu peristiwa Isra' dan Mi'rajnya Nabi Muhammad s.a.w. SAMSUL ABIDIN NIM. 065300282012-08-30T09:08:32Z2012-08-30T09:11:37Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/4097This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/40972012-08-30T09:08:32ZETIKA PERANG (QITAL) DALAM SURAH AL-BAQARAH MENURUT TAFSIR AL-MANAR KARYA M.'ABDUH DAN RASYID RIDHAKecenderungan berperang sekarang kian tidak memperhatikan masalah etika. Akibatnya, tidak sedikit orang-orang yang tidak berdosa kehilangan nyawa, bahkan mayoritas anak-anak dan ibu-ibu maupun orang tua-pun jadi ikut korban dari ketidakpunyaan etika dalam berperang. Kondisi ini membuat pelaku kekuasaan terkuat dan licik kian merajai. Sebaliknya yang lemah semakin tertindas. Kondisi yang kacau ini relatif mengancam hak bangsa yang damai,hukum yang adil serta keaman dari seluruh dunia kecuali yang bersekongkol dengan Negara adi kuasa tersebut. Menghadapi konflik yang kurang imbang tersebut, Al-Qur'an relatif banyak memberikan garis-garis dalam kerangka etika
berperang. Realitas tersebut mendorong penulis untuk merinci bagaimanakah arti Etika Perang (Qital) Dalam Surah al-Baqarah menurut Tafsir al-manar karya M.'Abduh dan Rasyid Ridha itu sendiri dan apa sajakah sebenarnya yang ada di dalam makna perang itu sendiri. Apakah berperang ada etika tersendiri sehingga tidak mengurangi makna dari arti berperang tersebut.
Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research), dalam arti bahwa data-data yang diteliti berupa bahan-bahan kepustakaan, khususnya yang terkait dengan pokok bahasan. Adapun pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan Historik-Biografik, yaitu pendekatan yang berusaha memberikan pengertian tentang subjek dan berusaha menetapkan dan menjelaskan dengan teliti fenomena-fenomena hidup dari subjek yang diteliti. Dalam hal ini yang dikaji adalah pemikiran M. Abduh dan Rasyid Ridha dalam tafsir al-Manar terhadap etika (qital) perang dalam surat al-Baqarah(2):190, 191, 244.
Dari hasil penelitian ini, disimpulkan bahwa quot;telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang di perangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya quot; ( QS. all- Hajj (22)39 quot; . perintah perangilah Fi sabilillah (di jalan Allah), yakni, untuk menegakkan nilai-nilai ketuhanan Yang Maha Esa serta kemerdekaan dan kebebasan yang sejalan dengan tuntunan agama. Ayat ini juga menjelaskan kapan peperangan dimulai, yakni saat diketahui secara pasti bahwa ada orang orang yang memerangi, yakni sedang mempersiapkan rencana dan mengambil langkah-langkah untuk memerangi kaum muslim atau benar-benar telah melakukan agresi. Ini dipahami dari penggunaan bentuk kata kerja mudhari atau kata kerja masa kini yang mengandung makna sekarang dan akan datang pada kata () yuqatilunakum atau mereka memerangi kamu. Dengan demikian ayat ini menuntut agar tidak berpangku tangan menanti sampai musuh memasuki wilayah atau mengancam ketenteraman dan perdamaian. Kata tersebut juga mengisyaratkan bahwa perintah memerangi itu hanya ditujukan kepada siapa yang menurut kebiasaan melakukan peperangan, sehingga jika dalam satu masa atau masyarakat, wanita, orang tua, atau anak-anak tidak melakukan perang, maka tidak boleh diperangi, bahkan yang memulai perang kemudian menyerah (ditawan) pun tidak boleh diperangi. Karena itu pula sarana-sarana yang tidak digunakan sebagai alat perang tidak boleh dimusnahkan, seperti rumah sakit, perumahan penduduk, perumahan, dan lain-lan GUNAWAN JATI NUGROHO NIM. 05530037 2012-08-30T12:01:45Z2012-08-30T12:03:48Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/4099This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/40992012-08-30T12:01:45ZHADIS-HADIS TENTANG ISYARAT TELUNJUK KETIKA TASYAHHUD (Kajian Sanad dan Matan)Proses pengkodifikasian hadis yang berlangsung jauh setelah wafatnya Nabi dan banyaknya hadis yang diriwayatkan secara ma'na secara tidak langsung berdampak pada perbedaan pemahaman pada generasi Islam selanjutnya, terutama generasi yang jauh dari masa Nabi dan Sahabat seperti umat Islam sekarang ini. Apalagi dalam kitab-kitab hadis yang dijadikan rujukan banyak ditemukan hadishadis yang saling bertentangan, salah satunya yaitu hadis-hadis tentang isyarat telunjuk ketika tasyahhud. Dalam kitab kitab hadis khususnya al-Kutubu al-Tis'ah setidaknya ada 3 versi hadis yang mendiskripsikan keadaan telunjuk Nabi ketika tasyahhud, pertama, Nabi mengisyaratkan telunjuk ketika tasyahhud,kedua, Nabi tidak menggerak-gerakkan telunjuk ketika tasyahhud dan ketiga,Nabi menggerak-gerakkan telunjuk ketika tasyahhud.
Dikalangan masyarakat awam, perbedaan pemahaman dan pengamalan hadis ini kerap menjadi masalah, bahkan ironisnya bisa menjadi permusuhan dan saling mengolok-olok. Maka, fenomena ini menjadi penting untuk dikaji secara ilmiah, karena posisi hadis sebagai pedoman kedua mengharuskan umat Islam dalam praktik keberagamaannya didasarkan pada dalil yang berkualitas shahih,apalagi menyangkut persoalan shalat yang merupakan amalan terpenting dalam agama islam.
Untuk meneliti hadis-hadis tersebut, penulis menggunakan metode kritik sanad dan matan. Penelitian ini menggunakan dua sumber data; data primer yaitu al-Kutubu al-Tis'ah dan data skunder yaitu buku-buku yang terkait dengan masalah ini. Dalam menganilisis sanad penulis melakukan takhrij, kemudian i'tibar sanad dan meneliti pribadi para periwayat. Langkah metodologis dalam analisis matan yaitu meneliti matan dengan melihat kualitas sanadnya, meneliti susunan lafaz berbagai matan semakna serta meneliti kandungan matan.
Adapun penelitian dengan langkah-langkah tersebut menghasilkan kesimpulan 1) dari ketiga versi hadis tentang isyarat telunjuk ketika tasyahhud,hadis isyarat telunjuk ketika tasyahhud merupakan hadis yang paling kuat (rajih),sanad hadis ini shahih dan kandungan matannya juga shahih sehingga dapat dijadikan hujjah. Begitu juga dengan hadis tidak menggerak-gerakkan, sanad hadis ini shahih dan kandungan matannya sejalan dengan hadis isyarat telunjuk ketika tasyahhud. Berbeda dengan hadis menggerak-gerakan telunjuk ketika tasyahhud meskipun sanadnya shahih akan tetapi matannya bertentangan dengan hadis yang lebih kuat. 2) berdasarkan kualitas dan keterangan hadis,mengindikasikan bahwa Nabi ketika duduk tasyahhud tidak menggerak-gerakkan telunjuknya. Makna isyarat yang dimaksud yaitu posisi telapak tangan kanan Nabi ketika duduk tasyahud seperti angka lima puluh tiga, ibu jari betemu dengan jari tengah sehingga membentuk bulatan (itulah angka lima) dan mengisyaratkan telujuk (itulah angka tiga) dan tidak menggerak-gerakanya. Kemudian Nabi ketika mulai menunjukan telunjuknya yaitu ketika berdo'a, dan sebagian besar ulama mengatakan ketika mengucapkan quot;La Ilaha Illallah quot; sebagai pengakuan keesaan Allah secara bersamaan antara hati, lisan dan perbuatan INNI NUR 'AINA NIM. 055300452012-08-30T12:44:57Z2012-08-30T12:46:19Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/4110This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/41102012-08-30T12:44:57ZHADIS-HADIS TENTANG TAWASSUL (Studi Ma'ann i al-Haadis)Penelitian ini mengambil judul Hadis-Hadis Tentang Tawassul: Studi Ma'ani al- Hadis. Pembahasan ini menarik karena tema tentang tawassul, sebagaimana yang penulis ketahui, merupakan tema yang meskipun sudah lama diperbincangkan di kalangan umat Islam terdahulu, namun hingga kini di Indonesia pembahasan tentang tawassul ini masih diperdebatkan, yakni ada yang menuduh kafir bagi melakukannya dan ada pula yang menganjurkannya asalkan meminta kepada Allah. Salah satu yang diperdebatkan ialah tentang boleh tidaknya ber-tawassul terhadap muqarrabi n yang telah meninggal, seperti berziarah kepada para wali untuk ber-tawssul kepada mereka. Yang menarik kemudian dari
perdebatan ini adalah bahwa keduanya, baik yang pro maupun yang kontra, dalam mempertahankan argumentasinya, memakai hadis sebagai rujukannya. Dalam pengertian,hadis-hadis tentang tawassul mereka pahami, lalu dengan pemahaman itu, ditariklah sebuah kesimpulan yang menjadi dasar dari pendapat mereka.
Dalam skripsi ini, penulis berupaya untuk meneliti dan menganalisis hadis-hadis
yang perdebatkan di atas dengan pendekatan Ma'ani al-Hadis, yakni dengan cara menganaliss hadis-hadis tawassul secara tekstual hingga kontekstual. Sehingga nanti dari penelitian ini, dapat diketahui makna hadis-hadis tentang tawassul secara konprehensif, yang pada akhirnya dapat diketahui hukumnya yang sesuai ajaran nabi.
Dalam mengkaji hadis-hadis tersebut, metode yang penulis gunakan adalah metode Ma'ani al-Hadis yang ditawarkan oleh Musahadi HAM. Yaitu menentukan validitas dan otentisitas hadis dengan menggunakan kaidah keshahihan yang telah ditetapkan oleh para ulama kriktikus hadis dahulu. Kemudian menjelaskan makna-makna hadis tersebut dengan menganalisis matn-matn hadis melalui kajian linguistik, tematis komprehensif dan konfirmatif. Dalam analisis matan juga diperlukan analisis historis, yaitu latar belakang munculnya hadis untuk menangkap makna universal dan pesan moral yang terkandung dalam hadis (generalisasi). Selanjutnya, penulis juga mencoba merelevansikan hadis-hadis tersebut di masa kini.
Secara kritik sanad hadis didapatkan suatu konklusi bahwa terdapat hadis yang sahih dan hasan, tapi tidak ditemukan hadis daif. Demikian halnya dalam kritik matan hadis,hadis-hadis tentang tawassul tidak ada yang bertentangan dengan al-Qur'an dan hadis, namun justru sesuai dengan ajaran universal yang terdapat dalam agama Islam, yaitu anjuran untuk ber-tawassul.
Akhirnya, dalam pemaknaannya, secara sederhana dapat penulis simpulkan bahwa hadis-hadis tentang tawassul tersebut tidak hanya dimaknai sempit, yakni hanya boleh bertawassul di hadapan muqarrabi n yang masih hidup saja, namun juga bisa dimaknai secara luas, yakni bisa bertawassul pada yang telah wafat. Sebab pada prinsipnya, hakikat wasilah dari tawassul kepada muqarrabi n bukanlah keberadaan sosoknya, melainkan kemuliaan dan amal saleh beliau. MUCHAMMAD CHAIDAR NIM: 045316912012-08-30T12:49:02Z2015-05-29T07:54:13Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/4089This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/40892012-08-30T12:49:02ZHADIS TENTANG WAKTU PEMBAYARAN UPAH (Studi Sanad dan Matan) Penelitian ini akan meneliti hadis tentang waktu menyegarakan pembayaran upah. Hadis yang berkaitan dengan upah tersebut, sering digunakan sebagai dasar ataupun dalil dalam permasalahan pengupahan. Oleh karena itu, peneliti memandang perlu untuk meneliti hadis yang berkaitan hal tersebut dari sudut kedudukan hadis tersebut.
Penelitian ini adalah penelitian dengan metode Kritik Sanad dan Matan, ini merupakan sebuah upaya untuk mencari hadis-hadis yang kualitasnya sahih, baik dari segi sanad maupun dari segi matan dan bisa dijadikan hujjah. Selanjutnya penulis melakukan takhrij al-hadis dari alkutub at-tis'ah dengan menggunakan kitab Miftah Kunuz al- Sunnah dan CD-Rom Mausu'ah dengan kata kunci tertentu, dari sana didapatkan informasi bahwa hadis tentang waktu menyegerakan pembayaran Upah diriwayatkan oleh dua perawi. Hadis-hadis tersebut diriwayatkan oleh Ibn Majah dan al-Baihaqiy. Namun pada penelitian ini penulis hanya akan meneliti hadis yang dari perawi Ibn Majah saja.
Adapun metode pengumpulan datanya adalah dengan metode dokumentasi yang berusaha mengumpulkan seluruh data primer dan sekunder. Data primer pada penelitian ini adalah literatur-literatur hadis primer yang termasuk dalam al-Kutub al-Tis'ah dan juga kitab- kitab syarh hadis. Sedangkan data sekunder adalah literatur-literatur yang berkaitan dengan pembahasan masalah waktu pembayaran upah secara umum.
Setelah diadakan penelitian, menurut pandangan kebanyakan ulama-ulama hadis, kesimpulan bahwa kualitas hadis tentang waktu pembayaran upah berkualitas Sahih, dalam pandangan sebagian ulama dan da'if dalam pandangan sebagian ulama yang lain maka dengan demikian hadis tersebut dapat dijadikan hujjah berdasarkan pendapat
sebagian ulama tersebut, akan tetapi menurut sebagian ulama yang berpendapat da'ifnya hadis tentang waktu pembayaran upah, maka hadis tentang penyegeraan waktu pembayaran upah tidak bisa dijadikan hujjah yang mengharuskan, melainkan hadis ini menjadi himbauan atau anjuran saja. ABDUL HAFIDH ROISY - NIM 03531413HADIS2012-08-30T13:18:09Z2012-08-30T13:23:48Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/3909This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/39092012-08-30T13:18:09ZKISAH MUSA DAN KHIDIR DALAM SURAT Al-KAHFI ( Studi atas Penafsiran Al-Qusyairi dalam kitab Lataif Al-Isyarat )Setiap kisah mengambil bentuk dan waktunya sendiri-sendiri. Bukan saja hal ini menjadi takdir Allah, akan tetapi sekaligus menjadi contoh bagi semua makhluk Allah. Kisah Musa dan Khidir layak untuk kita teladani, sebagai kisah orang shaleh yang menjadi kekasih Allah. Skripsi ini coba mengkaji kitab Lataif al-Isyarat karya al-Qusyairi. Melalui kisah ini, Allah Swt. menginginkan agar kita memperhatikan bahwa ilmu pengetahuan yang diberikan kepada Khid}ir bukanlah ilmu pengetahuan biasa yang dapat diperoleh melalui bacaan atau proses belajar. Tetapi ilmu pengetahuan tersebut secara langsung diperoleh Khid}ir dari Allah Swt. Dengan ini, maka Khidir( dibukakan hijab dan dikuakkan Allah kepadanya) mengetahui yang zahir dan yang batin. Mengetahui apa yang terjadi, dan mengetahui rahasia dibalik peristiwa. Sedangkan Musa menyadari bahwa Khidir itu mengetahui apa yang tidak beliau ketahui.
Berangkat dari upaya mengangkat pesan yang ada dalam kisah ini, baik yang bersifat lahir ataupun batin, maka perlu diajukan dua pertanyaan mendasar, yang secara spesifik membidik kisah ini, yaitu: bagaimana penafsiran al-Qusyairi tentang ayat-ayat kisah Musa dan Khidir? dan juga apa keterkaitan makna zahir dan batin kisah Musa dan Khidir menurut penafsiran al-Qusyairi? Untuk mendapatkan hasil penelitian yang baik, maka dibutuhkan adanya sebuah metode. Jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka ( Library Research ), yang menggunakan sember data primer dan juga sekunder. Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, yaitu menuturkan dan menafsirkan data yang berkenaan dengan pokok pembahasan serta menganalisis pendapat al-Qusyairi yang berkaitan dengan kisah Musa dan Khidir dalam surat al-Kahfi. Karena penelitian ini adalah kajian tokoh, maka pengumpulan data dilakukan dengan cara membaca dan menelaah karya yang dihasilkan oleh tokoh tersebut. Sedangkan sumber data bantu adalah kajian-kajian yang membahas tentang tokoh dan pembahasan yag berkenaan hal tersebut. Sumber data primer al-Qusyairi : tafsir Lataif al-Isyarat yang merupakan karya al-Qusyairi sendiri.
Dalam analisa ini menggunakan metode Kualitatif Induktif . Metode induktif adalah suatu metode yang dipakai untuk menganalisis data yang bersifat khusus dan memiliki kesimpulan umum. Dalam kesimpulan yang didapat menyatakan bahwa kitab tafsir ini sangat simpel dalam pemaknaanya dan terksesan mengikuti alur tanpa adanya sedikit komentar lebih dalam, sehingga maksud dari al-Qusyairi sendiri kurang begitu terlihat. Dalam kitab ini dapat ditemukan makna-makna yang tersirat ataupun yang tersurat. Pendidikan adalah makna yang paling menonjol, yang diperkuat dengan sabar, niat karena Allah dan juga baik sangka, sebagai elemen yang dapat dijadikan penunjang dalam mendapatkan ilmu. Bahkan lebih jauh, elemen ini jika diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat dapat menjadikan kehidupan bermasyarakat menjadi harmonis. MOH. TOHA MAHSUN - NIM. 025310812012-08-30T14:11:15Z2012-08-30T14:12:20Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/4112This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/41122012-08-30T14:11:15ZISTRI SALIHAH DALAM QS. AN-NISA' (4)34 MENURUT PENAFSIRAN JALAL AD-DIN AS-SUYUTI (dalam Kitab ad-Durr al-Mansur fi at-Tafsir al-Ma'sur)Wanita adalah salah satu makhluk Allah yang memiliki keunikan tersendiri, sehingga mengenai asal kejadian, kecenderungan, kadar rasionalitas, kodrat, hingga peranannya dalam berbagai aspek kehidupan selalu menarik untuk dikaji. Secara implisit banyak sekali ayat al-Qur'an yang menunjukkan kesalehan seorang istri. Dalam satu kasus, secara eksplisit kata as-salihat tersebut dipahami secara khusus ditujukan kepada kaum wanita sebagai istri salihah. Permasalahan tersebut menjadi menarik untuk dicermati dan diteliti secara mendalam. Siapakah yang dimaksud sebagai istri salihah dalam QS. an-Nisa ' (4): 34 kemudian bagaimanakah penafsiran as-Suyuti tentang istri salihah dalam QS. an-Nisa ' (4): 34? Dan bagaimana relevansi penafsiran as-Suyuti tersebut dengan konteks sekarang?
Penelitian ini bersifat kepustakaan murni (library research) yang didasarkan pada kitab ad-Durr al-Mansur fi at-Tafsir al-Ma'sur sebagai sumber primer, dan buku-buku lain yang terkait sebagai sumber data sekunder. Metode yang digunakan untuk mengolah data dalam penelitian ini adalah deskriptif-analitis dengan menyelidiki, mengklasifikasikan dan menuturkan data-data apa adanya kemudian menganalisisnya.
Setelah dilakukan penelitian, maka ditemukan jawaban bahwa yang dimaksud sebagai istri salihah dalam QS. an-Nisa' (4): 34 adalah ketaatan mereka kepada Allah yang dimanifestasikan dalam ketaatannya kepada suami dan pemeliharaan dirinya dalam konteks rumah tangga. Namun hal itu berangkat dari sebuah rangkaian proses, di mana karena beberapa kelebihannya, laki-laki menjadi pemimpin bagi perempuan (dalam ikatan pernikahan). Hal itu tidak berlaku mutlak ketika tuntutan-tuntutan yang dibebankan kepada seorang suami tidak dapat terpenuhi sehingga seorang wanita juga memiliki hak-hak untuk beraktifitas di luar konteks rumah tangga, yaitu dengan berperan di berbagai wilayah dalam kehidupaan.
Ad-Durr al-Mansur fi at-Tafsir al-Ma'sur merupakan kitab musnad hadis, ringkasan dari karya sebelumnya, tanpa transmisi sanad dan secara khusus berisikan tafsir terhadap ayat-ayat al-Qur'an. Dalam menafsirkan penggalan kalimat dalam QS. An-Nisa' (4): 34 as-Suyuti menggunakan riwayat-riwayat yang berbicara mengenai kesalehan seorang istri, perumpamaannya, kepatuhan dan peranannya dalam rumah tangga. Di antara riwayat-riwayat tersebut ada yang dapat diragukan otentisitasnya, namun dengan memperhatikan dan memposisikan yang bertentangan atau tampak bertentangan ini benar-benar fungsional sebagai sesuatu yang rasional dan sejalan dengan prinsip-prinsip yang dibangun al-Qur'an, juga konteks sosio-historis yang melingkupi as-Suyuti dikaitkan dengan konteks sekarang, maka riwayat-riwayat tersebut tetap dapat dikatakan masih relevan, meskipun ada juga yang tidak relevan jika diterapkan mentah-mentah pada masa sekarang.
Jelas as-Suyuti menunjukkan peranan seorang wanita hanya sebagai istri dan ibu dalam konteks kehidupan berumah tangga sebagaimana konteks sosial pada masa itu, di mana orientasi seorang wanita hanya berkutat pada peranannya dalam keluarga dan tanggungjawabnya sebagai seorang hamba untuk mengabdi kepada Tuhannya. Kepatuhan, kesetiaan dan peran domestik seorang istri adalah sesuatu yang fitrah dan logis ketika di latar belakangi oleh asumsi kelebihan-kelebihan laki-laki sehingga menjadi sebuah kewajaran jika kepatuhan seorang istri adalah sebagai kompensasi terhadap apa yang dilakukan seorang suami terhadap keluarganya dalam upaya memberikan nafkah dan penghidupan yang layak. Hal itu juga bisa dipahami sebagai pembagian peran yang tidak kaku antara suami dan istri, bersama-sama untuk membangun kehidupan rumah tangga. MUHAMMAD NASHRUL HAQQI NIM. 045315552012-08-30T14:29:52Z2015-05-29T07:59:53Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/3894This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/38942012-08-30T14:29:52ZKONSEP JIWA YANG TENANG DALAM AL-QURAN (Studi Tafsir Tematik)Ketenangan, kedamaian,ketentraman adalah dambaan setiap orang karena ketenangan kedamaian, ketentraman adalah bingkai kebahagiaan dalam hidup. Hal ini pun tidak jarang membawa problem dalam kehidupan setiap manusia. Bagi seorang muslim, hal ini secara otomatis menuntut untuk kembali merujuk kepada dua hal pokok yakni al-Qur'an dan al Hadis sebagai dasar agama islam, karena perujukan kepada al-Qur'an dan al Hadis dalam segala aspek kehidupan menjadi sebuah keniscayaan. Untuk mencapai hal tersebut sudah seharusnya manusia mengoptimalkan potensi yang diberikan Allah. Potensi tersebut adalah panca indra, akal dan kalbu yang bisa dioptimalkan dengan cara meraih sebanyak mungkin ilmu yang bermanfaat. Tidak hanya yang bersifat materi melainkan juga yang bersifat immateri yang bisa didapat dengan kebersihan hati dan jiwa yang tenang. Berangkat dari problema tersebut penulis tertarik untuk mengkaji lebih jauh mengenai pemahaman dan makna mutmainnah dalam al-Qur'an. Apakah ketenangan yang hanya menerima begitu saja keadaan tanpa berbuat sesuatu ataukah ketenangan yang senantiasa membuat manusia proaktif, bagaimana pemahaman makna mutmainnah dalam al-Qur'an dipahami untuk menghadapi kerasnya zaman yang terus bergerak. Fokus kajian dalam penelitian ini adalah bagaimana konsep jiwa yang tenang dalam al-Qur'an.
Penelitian ini bersifat deskriptif analitik yakni menuturkan, menggambarkan dan mengklasifikasikan secara obyektif data yang dikaji sekaligus menginterpretasikan dan menganalisa data. Dalam hal ini penyusun berusaha menggambarkan obyek penelitian yaitu berbagai penafsiran terhadap mutmainnah kemudian menganalisis dengan penafsiran tematik.
Kesimpulan mengenai permasalahan yang telah dirumuskan yaitu mutmainnah adalah ketenangan jiwa yang condong kepada nilai-nilai ketuhanan dan mengikuti petunjukpetunjuk ilahi. Mutmainnah adalah jiwa yang beriman dan tidak digelitik rasa takut dan duka dalam hati. Mutmainnah bisa diartikan sebagai jiwa yang ikhlas, yakin, beriman, dan juga jiwa yang rida dengan ketentuan Allah dan yang tahu bahwa sesuatu yang menjadi bagiannya pasti akan datang kepadanya. Jiwa yang tenag itu tumbuh karena kemampuan menempatkan sesuatu kepada tempat yang sewajarnya dan senantiasa meletakkannya di atas dasar iman. Dengan dasar iman, maka manusia akan menerima segala sesuatu yang dihadapinya, baik senang maupun susah, baik menang ataupun kalah dan lain-lain dengan perasaan rida.
Dalam al-Qur'an an-Nafs al-Mutmainnah didorong oleh factor,pertama berupa factor internal, adalah daya kalbu mnusia yang memiliki sifat ilahiyah. Jika kalbu berkuasa maka ia mampu memberikan garansi ketenangan dan keimanan. Kedua, faktor eksternal berupa penjagaan dari dan hidayah dari Allah Swt. Hidayah ( petunjuk ) dari Allah Swt sangat membantu manusia dalam menemukan jatidirinya. Manusia dengan kemampuannya sendiri tanpa diberi hidayah akan sangat sulit untuk menemukan jati dirinya, sebagaimana nabi Adam as. telah menggunakan segala potensinya, bahkan menguasai seluruh displin ilmu, tetapi ia belum mampu menjaga eksistensinya yang baik sehingga ia tergelincir dan terlempar dari surga. Nabi Adam as. baru memiliki eksistensi yang sebenarnya ketika diberi dari Allah Swt. A'RIFATUL HIKMAH - NIM. 025310402012-08-30T14:34:13Z2015-05-29T08:00:44Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/4090This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/40902012-08-30T14:34:13ZKIAT HIDUP SUKSES DALAM TAFSIR AL-MANARFungsi Al-Qur'an sebagai hidayah (petunjuk) ditujukan bagi manusia pada umumnya maupun bagi kaum beriman dan bertakwa pada khususnya yang mengantarkan mereka kepada kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Berbagai macam konsep dihasilkan dari Al-Qur'an, baik yang berkaitan dengan problem teologi, hukum, sosial, bahkan pribadi, salah satunya adalah konsep tentang sukses dalam hidup, baik di dunia maupun di akhirat.
Sukses merupakan kata yang sering didengar. Sesuatu yang sangat diinginkan setiap orang di dunia ini. Untuk sukses, setiap orang berusaha dan siap berkorban apa pun untuk mencapainya. Sebagian orang menganggap kata ini merujuk kepada pencapaian materi yang berlimpah. Ada yang menganggap bahwa sukses adalah pencapaian posisi tertinggi dari sebuah hierarkhi. Berangkat dari signifikansi dari hal tersebut penyusun tertarik untuk meneliti lebih jauh kiat-kiat hidup sukses dalam Tafsir al-Manar, sebuah kitab tafsir yang mempunyai corak (lawn) adabi ijtima'i yang memberikan porsi lebih pada berbagai permasalah sosial yang aktual pada zamannya. Oleh karena alasan ini, tidak berlebihan jika kitab ini dipilih sebagai obyek kajian dalam penelitian ini.
Penelitian ini bersifat deskriptif-analitik yakni menuturkan, menggambarkan dan mengklasifikasi secara obyektif data yang dikaji sekaligus menginterpretasikan dan menganalisa data. Dalam hal ini, penyusun berusaha menggambarkan obyek penelitian yaitu penafsiran Muhammad Abduh dan Rasyid Rida tentang kiat hidup sukses dalam tafsirnya (Tafsir al-Manar) kemudian menganalisis dengan pendekatan tafsir tematik.
Dari penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa, dalam tafsir Al-manar, kesuksesan merujuk pada kata quot;falah quot; yang bermakna kesuksesan yang bersifat duniawi maupun ukhrawi. Di dalam Al-Qur'an, terdapat beberapa ayat yang menerangkan tentang kiat-kiat sukses dalam hidup. penafsiran yang dilakukan oleh Muhammad 'Abduh dan Muhammad Rasyid Rida atas 8 surat yang yakni, QS. Al-Baqarah: 189; QS. Ali 'Imran: 130 dan 200; QS. Al-Maidah: 35, 90, dan 100; QS. Al-A'raf: 69; QS. Al-Anfal: 45. Menurut Abduh dan Rida, diantara kiat sukses dalam hidup adalah menyatakan bahwa takwa kepada Allah merupakan sebuah syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang agar dia dapat menggapai kesuksesan di dunia maupun di akhirat.
wujud kontektualisasi dari kiat-kiat sukses yang dijabarkan oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Rida bisa kontekskan dengan beberapa sikap diantaranya,pertama, melakukan aktivitas yang Sesuai Dengan Situasi dan Kondisi dengan Berpegang Pada Nilai-Nilai Kebaikan. Kedua, Berpikir dan Bertindak Win-win Solution. Ketiga, proaktif. Keempat, keseimbangan antara kesalehan vertikal dan horisontal. Kelima, kesabaran serta ketenangan jiwa. ABDULLAH MUSLIM NIM. 03531432012-09-03T18:02:04Z2012-09-03T18:02:48Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/3641This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/36412012-09-03T18:02:04ZHADIS-HADIS KEUTAMAAN SURAT AL-WAQI'AH (Studi Kritik Sanad dan Matan Hadis)Dalam skripsi ini penulis mengkaji hadis-hadis yang menjelaskan keutaman surat al-Waqi'ah bersumber dari karya al-Baihaqi dalam kitab Jami' al-Sahih. Penelitian ini terfokus pada hadis-hadis keutamaan surat al-Waqi'ah, dimana banyak di antara kaum muslimin yang mengetahui bahwa surat al-Waqi'ah memiliki keutamaan yang berkaitan dengan rizki, oleh karenanya banyak orang merutinkan untuk membaca surat al-Waqi'ah untuk kelancaran rezekinya, sebagian ada yang berhasil dan sebagian tidak. Urgensi penelitian ini adalah bagaimana menyikapi teks hadis (yang berkualitas da'if) yang telah berkembang di masyarakat.
Penelitian ini adalah penelitian perpustakaan. Rumusan masalah yang akan dijawab adalah bagaimana kualitas sanad dan matan hadis keutamaan surat al-Waqi'ah, selain itu bagaimana pemahaman yang tepat terhadap hadis ini. Untuk menjawab rumusan masalah, penulis menggunakan metode takhrij, i'tibar, kritik sanad dan matan hadis, yang dilanjutkan dengan telaah makna matan hadis. Dalam penelitian kritik sanad hadis yang dilakukan penulis, terdapat periwayat-periwayat yang tidak diketahui sumbernya, yaitu tidak semua perawi terdapat dalam kitab Rijal maupun CD Tarajim al- Rijal, sehingga penulis merujuk pada kajian yang telah dilakukan oleh ulama hadis, al- Albani, dimana hadisnya berkualitas da'if. Ibnu Hajar al-Asqalani merupakan seorang ulama hadis yang memperbolehkan dalam mengamalkan hadis da'if, sehingga hadis ini dapat diamalkan, dalam rangka Targib wa al-Tarhib.
Dalam kajian kritik matan hadis, didapatkan suatu konklusi bahwa matan hadis tidak bertentangan dengan ajaran universal yang terdapat dalam agama Islam, yaitu anjuran untuk senantiasa membaca al-Qur'an. Sedangkan substansi dari matan hadis: tidak akan faqir, yang dimaksud adalah faqir hati, sebagaimana dijelaskan dalam hadis riwayat Muslim, bahwa kekayaan yang sesungguhnya adalah kekayaan hati, bukan materi. Di samping itu membaca al-Qur'an merupakan salah satu terapi hati bagi setiap muslim dan secara otomatis seseorang yang rutin membaca al-Qur'an atau al-Waqi'ah, akan memiliki investasi yang sangat besar dalam kehidupan yang akan datang, sebab ketika seseorang membaca al-Qur'an maka dia telah mendapatkan pahala yang besar. Sehingga dapat dikatakan seseorang hanya dapat meraih kesuksesan sejati apabila dia telah berusaha secara maksimal baik secara lahir maupun batin. SURAHMAT - NIM. 055300012012-09-03T18:24:09Z2012-09-03T18:25:03Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/3633This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/36332012-09-03T18:24:09ZIDEOLOGI DALAM PENAFSIRAN AL-QUR’AN (Telaah Atas Penafsiran Nazwar Syamsu dalam Buku Al-Qur’an tentang Manusia dan Masyarakat)Skripsi ini membahas tentang ideologi dalam penafsiran al-Qur'an. Dalam hal ini, penulis memfokuskan kajian terhadap penafsiran Nazwar Syamsu yang tertuang dalam karyanya yang berjudul Al-Qur'an tentang Manusia dan Masyarakat. Dalam disiplin ilmu tafsir terdapat kaidah-kaidah atau ilmu-ilmu tafsir dalam melakukan penafsiran al-Qur'an. Ilmu-ilmu tersebut antara lain meliputi ilmu tentang turunnya ayat, surat, kisah-kisah, dan tanda-tanda yang ada dalam ayat, kemudian susunan (tertib turun) Makkah dan Madinahnya, muhkam dan mutasyabihnya, nasikh dan mansuhnya, dan seterusnya. Ilmu-ilmu tersebut dibutuhkan sebagai perangkat metodologi dalam menafsirkan al-Qur'an yang berfungsi untuk mengarahkan penafsiran. Asumsi pentingnya dimunculkannya perangkat metodologi penafsiran tersebut agar penafsiran atau interpretasi tidak terjebak pada kepicikan, oportunis, dan hal-hal negatif lainnya, dimana secara faktual, tidak ada yang cukup bisa membatasi kepentingan-kepentingan dan hal negatif lainnya yang bisa disusupkan dalam penafsiran al-Qur'an. Teks normatif al-Qur'an pun tidak cukup eksplisit dalam kaitannya dengan interpretasi dalam menentukan jenis kepentingan dan juga pengetahuan yang layak dijadikan pedoman dalam menafsirkan teks al-Qur'an. Dengan demikian teks al-Qur'an berpotensi untuk dimanipulasi, diselewengkan, dan dilacurkan sesuai dengan ambisi dan kepentingan masing-masing penafsir. Individu atau kelompok akan bebas menempatkan ideologinya diatas teks, maksudnya dari tafsir ke talwin (ideologisasi).
Keterkaitan antara ideologi dengan penafsiran dalam hal ini, berangkat dari asumsi bahwa sebuah karya tafsir, dilihat dari epistem yang terbangun dan arah gerak di dalamnya, tidak lepas dari ruang sosial, dimana, kapan , dan oleh siapa tafsir itu ditulis. Ruang sosial ini, dengan keragaman problem dan dinamikanya, disadari atau tidak, selalu saja akan mewarnai karya tafsir, sekaligus merepresentasikan kepentingan dan ideologi yang ada. Dan hal inilah yang terlihat dalam penafsiran Nazwar Syamsu, dimana latar belakang Nazwar Syamsu ini adalah bagian dan bahkan pernah menjadi pemimpin dari sebuah aliran atau kelompok keagamaan yang disebut dengan Gerakan Jama'ah Islam Qur'ani, yaitu suatu kelompok yang berpandangn bahwa al-Qur'an adalah satu-satunya sumber hukum dalam Islam, dan Nabi Muhammad hanyalah berfungsi sebagai penyampai wahyu saja. Ruang sosial ini tentu sangat berpengaruh terhadap penafsiran Nazwar Syamsu terhadap al-Qur'an.
Pengertian ideologi dalam hal ini, merujuk kepada pengertian Nasr Hamid Abu Zayd tentang apa yang dia sebut dengan interpretasi ideologis. Dalam pemikirannya, dia terkadang menggunakan terma ideologi dalam pengertiannya yang ketat, yakni sebagai kesadaran kelompok untuk melindungi kepentingan mereka berhadapan dengan kelompok lain dalam suatu masyarakat, dan terkadang dia menggunakan terma ini secara longgar ketika dia mengkritik interpretasi apapun yang dalam pandangannya tidak mempunyai dasar di dalam teks yang diinterpretasikan itu sendiri. Dia juga mengaitkan ideologi dengan manipulasi politik dan pragmatis terhadap makna teks, dengan mengkontraskan ideologi dengan pemahamn ilmiah. Namun secara umum, Abu Zayd menggunakan kata ideologi untuk merujuk kepada bias, kepentingan, orientasi, kecenderungan ideologis, tujuan-tujuan politis, pragmatis, dan keyakinan keagamaan.
Dengan menggunakan mekanisme analisis hermeneutik Nasr Hamid Abu Zayd, yaitu membedakan antara wilayah makna, signifikansi, dan ruang yang tak terkatakan di dalam teks, dan juga analisis wacana kritis, penulis mencoba membedah jalin kelindan antara penafsiran dengan ideologi yang terdapat dalam penafsiran Nazwar Syamsu.
Melalui mekanisme analisis tersebut terlihat jelas bahwa penafsiran yang dilakukan oleh Nazwar sangat bias. Cara penceritaan atau narasi dan posisi-posisi yang ditempatkan dan ditampilkan dalam menafsirkan teks, membuat satu pihak menjadi legitimate (Nazwar dan kelompoknya inkar as-sunnah), dan pihak lain menjadi illegitimate (sunni dan umat Islam lainnya). YUSUF INDARTO - NIM. 035313212012-09-04T09:44:07Z2012-09-04T09:46:42Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/3904This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/39042012-09-04T09:44:07ZPENAFSIRAN AT-TABARI DAN ASY-SYA'RAWI TENTANG MAKANANIstilah Makanan dalam bahasa Arab disebutkan dengan 3 buah istilah kata yaitu aklun, ta'am, dan giza'un. Namun dari ketiga istilah ini, al-Qur'an hanya menggunakan dua buah saja yaitu ta'am, dan aklun. Kata ta'am dan berbagai bentuk derivasinya disebutkan sebanyak 48 kali dalam al-Qur'an. Sedangkan kata aklun dan berbagai bentuk derivasinya disebutkan sebanyak 109 kali dalam al- Qur'an. Penulisan ini mengambil studi perbandingan pemikiran at-Tabari dalam Kitab Jami' al-Bayan an Ta'wil ay al-Qur'an dan asy-Sya'rawi dalam karyanya Tafsir asy-Sya'rawi dua orang tokoh mufassir yang hidup dalam zaman yang saling berbeda. Tentunya dalam hal ini terdapat perbedaan yang cukup mendasar pada pemikiran mereka masing-masing karena situasi dan kondisi lingkungan yang berbeda, di samping perbedaan ideologi yang dianutnya. Hal tersebut cukup berpengaruh terhadap pemikiran yang mereka hasilkan. Berdasarkan uraian tersebut penulis bermaksud meneliti: 1) Bagaimana penafsiran at-Tabari dan asy-Sya'rawi tentang makanan dalam tafsirnya? 2) Apa persamaan dan perbedaan penafsiran mereka tentang makanan?
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan yang mengambil sumbernya dari Kitab Jami' al-Bayan an Ta'wil ay al-Qur'an karya at-Tabari dan Tafsir asy-Sya'rawi karya asy-Sya'rawi, dengan menggunakan pendekatan tematik. Berdasarkan hasil pembahasan, baik at-Tabari maupun asy-Sya'rawi dalam menafsiri ayat-ayat makanan, tidak lepas dari kolerasi antara ayat-ayat satu dengan ayat yang lainnya, sehingga dapat diperoleh pemahaman yang utuh tentang makanan itu sendiri. Berdasarkan ayat-ayat yang dikaji dapat dipahami bahwasanya makna makanan dalam penafsiran at-Tabari dan asy-Sya'rawi dikelompokkan menjadi berbagai macam, yaitu, makanan sebagai seruan, sebagai roporsional dengan kebutuhan, sebagai anugerah, sebagai peringatan, dan tidak encampur adukkan yang halal dan yang haram. Persamaan dan penafsiran at-Tabari dan asy-Sya'rawi terlihat dalam beberapa hal. Persamaan penafsiran kedua ufassir ini, terletak pada tiga hal, yakni, penafsiran dalam hal halal dan haram, pengharaman makanan dan minimum dan produk yang meragukan. Kemudian at-Tabari ketika menafsirkan ayat-ayat makanan, selalu memberikan penjelasan yang relatif lebih luas, ia menjelaskan secara zahir dan menafsirkan ayat tersebut dengan mengemukakan beberapa buah hadis, pendapat para sahabat dan tabi'in, pendapat para ulama dan pendapatnya sendiri. Demikian juga asy-Sya'rawi, dalam memberikan penafsiran ayat-ayat makanan, selalu menggunakan sunnah dan ayat-ayat al-Qur'an yang lain untuk menjadikan supaya lebih jelas ayat yang dimaksud. Sedangkan perbedaan penafsiran antara at-Tabari dan asy-Sya'rawi pada intinya adalah pada penggungkapkan sesuatu yang tersembunyi dalam makna makanan dilakukan apabila arti yang terkandung sesuai dengan makna zahir ayat. HENDRO KUSUMA - NIM. 025308932012-09-04T09:48:18Z2012-09-04T09:50:02Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/3934This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/39342012-09-04T09:48:18ZPENAFSIRAN MUHAMMAD RASYID RIDA TERHADAP AYAT-AYAT KHILAFAH DALAM TAFSIR AL-MANARIslam menampakkan diri sebagai suatu gerakan yang menekankan pentingnya kehidupan sosial, lebih dari pada kehidupan kolektif. Dengan kata lain kehidupan pribadi mereka yang bertanggungjawab dan bukan perorangan yang terikat pada kelompok. Dengan tepat masyarakat yang dibentuknya merasa perlu adanya kesatuan yang khusus, berbeda dengan dunia luar karena memiliki ideal bersama serta hak dan kewajiban yang timbal balik fenomena tersebut tidak khusus untuk agama Islam saja, tetapi ide tentang kelompok atau umat hanya terdapat dalam Islam, sebab umat umat berkumpulnya orang-orang mukmin yang percaya kepada kesaksian yang berpusat pada kalam Tuhan yang tidak berubah dan pasti abadi didunia yaitu Kitab Suci al-Qur'an.
Pokok masalah dalam penulisan skripsi ini adalah memaparkan bagaimana penafsiran Muhammad Rasyid Rida terhadap ayat-ayat khilafah dalam tafsir al-Manar. Penelitian ini pada dasrnya bercorak library reaserch, yaitu semua sumber berdasarkan bahan-bahan yang tertulis dan berkaitan dengan permasalahan yang penulis bahas dan data sekunder yang menunjang penelitian ini.
Dari penafsiran Muhammad Rasyid rida dapat disimpulkan bahwa agama dan politik adalah menyatu dan tidak bisa terpisahkan, karena tugas negara adalah menegakkan agama sehingga khilafah islamiyah menjadi tujuan bersama. Pandangan ini menunjukkan Islam tidak bisa dipisahkan dari negara. Dalam idenya Muhammad Rasyid Rida menginginkan akan kesatuan atas dasar kesamaan keyakinan dikalanagan umat sehingga khilafah dapat terwujud yang pada prinsipnya membumikan ajaran-ajaran Islam. Dengan demikian jika melihat konteknya maka penafsiran Muhammad Rasyid Rida, adanya benar bila diterapkan, sebab tidak ada pemisah antara agama dan negara yang akhirnya khilafah dapat terlaksana atas dasar penyatuan dan kebersamaan antara umat. TAUFIK HIDAYAT - NIM. 035313302012-09-04T14:30:50Z2012-09-04T14:31:58Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/4118This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/41182012-09-04T14:30:50ZSIKAP PEMELUK AGAMA DAN KAUM KAFIR MAKKAH TERHADAP AL-QUR'AN (Telaah atas Q.S 2 89-91, 5 83 dan 15 6)Al-Qur'an memang tidak akan pernah habis untuk dikaji, bagaimana tidak dalam satu ayat saja bisa memberikan makna yang luas dan bermacam-macam bagi masing-masing individu yang berinteraksi dengan al-Qur'an. Keberadaan al- Qur'an sebenarnya sudah tercantum dalam kitab-kitab suci sebelumnya, fungsinya yang sangat penting dalam kehidupan manusia menempatkan al-Qur'an sebagai acuan yang central dalam kehidupan, segala sesuatunya telah tercantum dan diatur di dalamnya, baik itu tentang hubungan manusia dengan penciptanya, manusia dengan manusia, bahkan manusia dengan alam dan makhluk lainnya, semua tertera dengan jelas di dalam al-Qur'an.
Kedatangan al-Qur'an ke dunia dimulai dengan turunnya wahyu pertama yang menjadikan Muhammad saat itu resmi diangkat oleh Allah swt. sebagai Rasulnya. Namun kedatangannya tidak serta merta mendapatkan dukungan yang banyak dari kalangan masyarakat pada zaman itu, yang mana masyarakat di jazirah Arab lebih banyak menyembah berhala. Perjuangan yang sangat panjang dan tidak kenal menyerah yang akhirnya berbuah manis hingga sekarang, walaupun pada mulanya kedatangan al-Qur'an mendapatkan reaksi yang tidak mengenakkan dari kalangan masyarakat saat itu, penghinaan, hujatan dan penolakan namun ada dari sebagian mereka yang mengimaninya.
Penelitian ini membahas tentang bagaimana sikap pemeluk agama dan kaum kafir Makkah terhadap al-Qur'an dengan metode dokumentasi yakni menjadikan dokumen atau catatan sebagai sumber data atau mengumpulkan data dan informasi dengan bantuan berbagai macam materi yang terdapat dalam kepustakaan. Lalu diolah dengan menganalisis data yang nantinya akan menjadikan sebuah kesimpulan dari pokok permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini yaitu bagaimana sikap pemeluk agama dan kaum kafir Makkah terhadap al-Qur'an serta akibat apa yang ditimbulkan atau yang didapat dari sikap pemeluk agama dan kaum kafir Makkah terhadap al-Quran.
Dalam penelitian ini masa yang digunakan adalah masa di mana al-Qur'an itu diturunkan. Walaupun pada dasarnya itu akan berlaku sampai saat ini. Dari ketiga surat yang dipakai dalam penelitia ini surat al-Baqarah ayat 89-91, surat al-Maidah ayat 83 dan surat al-Hijr ayat 6 diterangkan tentang penolakan mereka terhadap al-Qur'an karena rasa iri dan dengki yang ada dalam diri mereka, dan juga dikarenakan al-Qur'an ternyata tidak diturunkan khusus kepada mereka. Walaupun demikian ada sebagian dari mereka kaum Nasrani yang mengimani al- Qur'an yaitu para Rahib-rahib dan Pendeta-pendeta yang hatinya suci. Bagi mereka yang mengingkari al-Qur'an akan mendapatkan sanksi dari Allah swt. namun sebaliknya bagi mereka yang mengimani, mereka akan mendapatkan jalan yang lurus yang nantinya akan membawa mereka kepada kebahagiaan yang abadi. SAIFUL ANWAR NIM. 025311042012-09-06T08:32:29Z2012-09-06T08:34:58Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/4317This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/43172012-09-06T08:32:29ZAL MAUT DAN AL WAFAH DALAM AL QUR'AN (Studi Penafsiran al Baidawi dalam Tafsir Anwar al Tanzil wa Asrar al Ta'wil)Al-maut dan al-wafah merupakan dua lafad yang banyak sekali disebutkan dalam al-Qur'an, yaitu sekitar dua ratus sembilan ayat. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya kedua lafad tersebut walaupun tidak menutup kemungkinan lafad yang lain juga penting. Dalam kasus-kasus tertentu, misalnya kematian, al-Qur'an seakan-akan menyamakan makna kedua lafad tersebut. Disatu sisi al-Qur'an menggunakan lafad al-maut dan di sisi lain menggunakan lafad al-wafah. Banyak juga penulis kamus yang menyamakan kedua lafad tersebut. Lantas apakah benar bahwa lafad al-maut dan al-wafah memiliki persamaan ataukah ada perbedaan diantara keduanya? Atas dasar inilah penulis tergelitik untuk meneliti makna kedua lafad tersebut.
Objek material yang penulis bidik dalam penelitian ini adalah penafsiran al-Baidawi atas makna lafad al-maut dan al-wafah dalam karya monumentalnya yaitu Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta'wil. Metode yang penulis gunakan adalah deskriptif analitis, yaitu mencoba mendeskripsikan ayat-ayat al-maut dan alwafah, yang kemudian melakukan analisa dengan menggunakan pendekatan bahasa terhadap kedua lafad tersebut.
Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an, al-Baidawi sebenarnya tidak memiliki kecendrungan khusus untuk menggunakan satu corak yang spesifik secara mutlak. Sedangkan model penyajiannya adalah tahlili. Jika dirinci skema metodologis dan karakteristiknya, pertama, al-Baidawi menafsirkan ayat al-Qur'an dengan al-Qur'an, misalnya satu ayat dengan ayat yang lain, baik dalam satu surat ataupun di lain surat. Kedua, menafsirkan ayat al-Qur'an dengan hadis-hadis Nabi, ucapan para sahabat, tabi'in dan ulama sebelumnya. Ketiga menggunakan bahasa yang ringkas. Keempat, dalam tafsirnya beliau sangat memperhatikan aspek bahasa. Dalam pada itu ternyata al-maut dan al-wafah memiliki banyak ragam pemaknaan tergantung dengan konteks seperti apa al-Qur'an berbicara. Menurut al-Baidawi ragam pertama pemaknaan al-maut adalah al-maut memiliki makna mati dalam pengertian yang sebenarnya. Kedua al-maut yang bermakna hilangnya daya tumbuh. Ketiga, al-maut yang memiliki makna hilangya daya nalar. Keempat, al-maut yang bermakna sedih, takut atau juga khawatir. Sedangkan terakhir al-maut bermakna tidur. Begitu juga dengan al-wafah, al-Baidawi memberikan berbagai ragam makna, yaitu al-wafah dalam arti mati, alwafah dalam arti tidur dan al-wafah dalam arti mengangkat. Dengan demikian objek al-maut lebih umum dibandingkan dengan alwafah. Ketika al-maut berbicara masalah kematian, objeknya bukan hanya manusia, akan tetapi lebih luas dari itu seperti hilangnya daya tumbuh pada pohon. Sedangkan al-wafah objeknya hanya satu ketika berbicara masalah kematian yaitu manusia. HERMAN FELANI - NIM. 055300302012-09-06T10:55:09Z2012-09-06T10:56:33Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/4320This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/43202012-09-06T10:55:09ZKISAH NABI IBRAHIM DALAM AL-QUR'AN (KAJIAN NILAI-NILAI TEOLOGI-MORALITAS KISAH NABI IBRAHIM PERSPEKTIF MUHAMMAD A. KHALAFULLAH DAN M. QURAISH SHIHAB)Secara garis besar, kisah yang terdapat dalam al-Qur'an mengandung dua unsur pokok yang sangat penting, yakni unsur teologi dan unsur moral. Kedua unsur tersebut merupakan materi dakwah al-Qur'an untuk menunjukkan kebenaran risalah yang dibawa para nabi dan rasul yang diutus oleh Allah. Dari materi dakwah al-Qur'an tersebut diharapkan manusia dapat mengambil hikmah dan pelajaran, baik dari nilai teologi maupun nilai moralnya. Seperti kisah-kisah lain dalam al-Qur'an, kisah Nabi Ibrahim tentunya juga mengandung dua materi dakwah al-Qur'an tersebut. Sebab pada dasarnya, kisah yang ada dalam al-Qur'an sepenuhnya merupakan mediator untuk menyampaikan pesan Tuhan yang ada di dalamnya.
Oleh karenanya, penelitian ini diarahkan untuk mengungkap pesan yang ada dibalik kisah Nabi Ibrahim dalam al-Qur'an tersebut. Untuk melakukan pembacaan pada kisah Nabi Ibrahim tersebut, penulis mengacu pada karya dua tokoh, yakni Muhammad A. Khalafullah dan M. Quraish Shihab, dengan rumusan masalah yang akan dipecahkan, bagaimana pandangan kedua tokoh tersebut tentang kisah Nabi Ibrahim ini? Serta nilai teologi-moralitas seperti apa yang hendak disampaikan dalam materi kisah tersebut? Dipilihnya kedua karya tokoh ini sebagai acuan sekaliagus obyek penelitian didasari oleh beberapa pertimbangan, yaitu pertama, belum adanya peneliti yang mencoba membandingkan pemikiran keduanya. kalaupun ada hanya sebatas penelitian tokoh pertokoh. Kedua, terkait dengan letak geografis keduanya yang berbeda. Perbedaan letak geografis dan latar belakang keilmuan, memungkinkan untuk mempengaruhi penafsiran keduanya. Maka dari itu penelitian ini sangat urgen untuk melihat sisi perbedaan dan persamaan keduanya dalam menafsirkan kisah al-Qur'an. Metode yang penulis pakai dalam penelitian ini adalah analisis komparatif, yakni dengan menganalisis karya kedua tokoh tersebut tentang kisah Nabi Ibrahim, dengan pendekatan historis- biografis.
Selanjutnya, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang cukup berarti bagi khazanah keilmuan Islam, terutama di bidang kajian tafsir al-Qur'an. Setelah penulis melakukan deskripsi dan analisis terhadap penafsiran Khalafullah dan Quraish Shihab tentang kisah Nabi Ibrahim, maka penulis mendapatkan kesimpulan bahwa pesan teologi yang dimaksudkan dalam kisah Nabi Ibrahim adalah bentuk ketauhidan yang utuh hanya kepada Allah, yang menyadari tentang hakikat wujud Tuhan yang hakiki. Adapun nilai moral dalam kisah Nabi Ibrahim ini adalah, pertama adanya sikap pengorbanan untukmendekatkan diri kepada Tuhan. Kedua, sikap dialogis-demokratis dalam menyampaikan pesan Tuhan. Ketiga, sikap santun (halim) dan toleran terhadap orang lain. Keempat, kesabaran dalam menghadapi kegagalan berdakwah (berusaha). Kelima, sikap peduli terhadap sesama manusia, terutama faqir miskin. Khalafullah dengan Quraish Shihab menyepakati bahwa hendaknya suatu kisah dalam al-Qur'an tidak dilihat dari segi historisitasnya, akan tetapi dilihat sebagai teks yang mengandung pesan-pesan Ilahiah. Namun, pada level tertentu Quraish Shihab tetap meyakini sepenuhnya bahwa kisah al-Qur'an itu merupakan fakta sejarah dan benar-benar terjadi. Hal ini yang menjadikannya berbeda dengan Khalafullah yang meyakini bahwa tidak semua kisah al-Qur'an memiliki fakta sejarah, karena menurutnya sebagian besar kisah al-Qur'an bersifat khayali. KHOLILURRAHMAN AZIZ - NIM. 055300542012-09-07T09:54:34Z2015-05-29T08:01:49Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/4313This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/43132012-09-07T09:54:34ZSEJARAH DAN RASM MUSHAF AL-QUR'AN POJOK MENARA KUDUSAl-Qur'an diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. tidak berupa tulisan atau berbentuk satu jilid yang tersusun rapi. Ada dua cara yang dilakukan oleh umat Islam untuk menjaga kitab sucinya tersebut dari kemusnahan, yakni dengan cara hafalan dan penulisan. Dua cara tersebut telah dilakukan sejak zaman Nabi Muhammad Saw. dan masih berlangsung hingga saat ini. Seiring dengan perkembangan teknologi, Al-Qur'an telah dicetak dengan menggunakan mesin cetak. Di Indonesia telah banyak penerbit yang turut andil menjaga Al-Qur'an dalam bidang penulisan. Dengan demikian telah banyak Al-Qur'an yang dicetak di Indonesia. Diantara sekian banyak mushaf yang dicetak di Indonesia, penulis menaruh perhatian pada Mushaf Al-Qur'an Pojok Menara Kudus. Mushaf yang diterbitkan oleh Penerbit Menara tersebut memiliki beberapa keunikan tersendiri, karena banyak para penghafal Al-Qur'an yang menggunakan mushaf ini dalam proses menghafalnya. Keunikan yang penulis maksud adalah mushaf ini pada setiap halaman selalu diakhiri dengan waqaf yang merupakan akhir dari sebuah ayat, dan masih ada keunikan-keunikan lain seputar penulisannya.
Melihat ciri khas yang dimiliki oleh Mushaf Al-Qur'an Pojok Menara Kudus, timbul pertanyaan mengenai sejarah penulisan mushaf Al-Qur'an tersebut, bentuk rasm yang digunakan serta kelebihan dan kekurangan mushaf tersebut.Sehingga setelah mengetahui sejarah penulisan, bentuk rasm yang diguunakan serta kelebihan dan kekurangan dalam mushaf tersebut, maka dapat memberi kontribusi kepada studi Al-Qur'an khususnya dalam Tarikh al-Qur'an dan mampu menambah wawasan dalam studi Al-Qur'an khususnya huffaz yang memakai Mushaf Al-Qur'an Pojok Menara Kudus sebagai literatur dalam menghafal Al-Qur'an dalam rangka meningkatkan kualitas intelektual dan kesadaran para huffaz.
Metode yang digunakan penulis adalah Pengumpulan data berupa observasi, interview, dan dokumentasi. Tahap kritik sumber, interpretasi han historigrafi. Data-data yang telah dikumpulkan kemudian diorganisasikan dalam bentuk tulisan ilmiah yang sistematis, dengan memberikan keterangan dan penjelasan yang sesuai dan mudah dipahami. Setelah melalui penelitian diketahui bahwa mushaf tersebut mengkopi ulang Mushaf Bahriyyah dari Suriah milik KH. Arwani amin. Setiap awal halaman merupakan awal ayat, dan setiap akhir halaman merupakan akhir ayat. Dalam tiap juz terdapat 20 halaman, setiap halaman terdiri 15 baris. Hal tersebut dapat memudahkan para penghafal Al-Qur'an. Bentuk rasm campuran, yaitu rasm 'usmani dan rasm imla'i. Meggunakan 12 tanda waqaf. Mad tabi'i tidak diberi tanda sukun, idgham tidak diberi tasydid, iqlab tidak diberi tanda mim kecil dan ha' dhamir belum menggunakan kasrah tegak dan dhammah terbalik. ANNAS ZAENAL MUTTAQIN - NIM. 035315372012-09-08T14:03:20Z2012-09-08T14:05:08Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/3897This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/38972012-09-08T14:03:20ZSITTATU AYYAM MENURUT PENAFSIRAN TANTAWWI JAUHARIPerbincangan mengenai ayat-ayat kauniyah dalam al-Qur'an khususnya ayat-ayat tentang penciptaan alam semesta yang dikaitkan dengan sittatu ayyam, ramai dibicarakan baik oleh sebagian ahli tafsir maupun para ilmuan. Penelitian terhadap penafsiran Tantawi Jauhari tentang penciptaan alam dalam sittatu ayyam sangat penting untuk dilakukan, karena Tantawi berusaha mengkonsultasikan kembali ayat-ayat al-Qur'an dengan keajaiban alam, mencarikan hasil ilmu kealaman yang belum pasti dalam al-Qur'an, bahkan ia menyusun pembahasan-pembahasannya dengan mengkompromikan pemikiran Islam dengan kemajuan studi ilmu fisika. Fokus dari penelitian ini adalah bagaimana makna sittatu ayyam menurut penafsiran Tantawi, apa metode dan corak yang digunakan Tantawi dan apakah kelebihan dan kekurangan Tantawi dalam menafsirkan ayat-ayat tentang penciptaan alam dalam kitab al-Jawahir.
Penelitian ini adalah termasuk jenis penelitian kepustakaan (library research), yakni penelitian yang dilakukan dengan menelaah bahan-bahan pustaka baik berupa buku, ensiklopedi dan sumber-sumber lain yang relevan (sesuai) dengan topik yang dikaji. Sumber data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah kitab al-Jawahir fi Tafsiri al-Qur'an al-Karim, sedangkan sumber sekunder yang digunakan adalah merujuk kepada buku-buku yang berkaitan dengan Tantawi, buku-buku yang membahas mengenai proses penciptaan alam dalam sittatu ayyam serta buku-buku lain yang terkait dengan penelitian ini. Agar penelitian ini mendapatkan sudut pandang yang komprehensif, maka penulis menggunakan metode deskriptif analisis.
Hasil penelitian menunjukkan, bahwa penafsiran Tantawi tentang makna sittatu ayyam tidak hanya berdasar pada teks ayat saja, tetapi ia melengkapinya dengan berbagai pendapat mufassir, bahkan ia juga memasukkan disiplin keilmuan yang berkembang. Makna sittatu ayyam menurut Tantawi adalah bukanlah hari menurut kadar dan ukuran manusia di bumi, melainkan merupakan ibarat saja dari masa-masa yang panjang dan hanya Allah yang mengetahui hakikat makna yang terkandung di dalamnya. Penciptaan alam dalam sittatu ayyam maksudnya adalah enam tahapan penciptaan alam. Metode yang digunakan Tantawi dalam menafsirkan ayat-ayat tentang penciptaan alam dalam sittatu ayyam yaitu metode tahlili. Sedangkan corak penafsiran Tantawi adalah corak tafsir amp;#8216;ilmi, yakni penafsiran yang banyak diwarnai dengan pengadopsian pada temuan-temuan ilmiah. Kelebihan penafsiran Tantawi adalah ia berusaha menghubungkan penafsirannya dengan teori kelamanan yang berkembang, dan untuk memperjelas pembahasannya ia melampirkan gambar-gambar yang mendukung penafsirannya. Sedangkan kekurangannya adalah Tantawi hanya menjadikan fakta ilmiah tersebut sebagai bentuk pembuktian tentang selarasnya al-Qur'an dengan ilmu pengetahuan tanpa memberikan pembuktian tingkat kebenaran teori tersebut. DEVI HILYAH - NIM. 065300432012-09-10T10:24:23Z2015-05-29T08:02:31Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/3893This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/38932012-09-10T10:24:23ZTAFSIR QS. AL-NUR AYAT 35 DALAM KITAB MISYKAT AL-ANWAR KARYA AL-GHAZALI (Telaah Tafsir Sufistik)QS al-Nur ayat 35, yang sering disebut-sebut sebagai ayat cahaya' (ayat yang membahas tentang Allah sebagai cahaya langit dan bumi) di kalangan para sufi, menjadi kajian tasawuf yang mendalam dan memiliki posisi sentral bagi pencerahan jiwa manusia dalam membimbing dan menemukan kebahagiaan dan kebenaran yang sejati. Meski terma Nur dalam al-Qur'an dengan bentuk derivasinya terulang sebanyak 49 kali, yang sebagiannya menjadi ungkapan simbolik (metaforis) yang menunjuk kepada beberapa makna. Sehingga konsep nur menjadi menarik untuk dikaji kembali, dalam hal ini penulis mengambil konsep nur dalam kitab Misykat al-Anwar, kitab tersebut diyakini sebagai satu-satunya karya al-Ghazali yang memaparkan doktrin esoteric beliau. Kitab ini membahas secara komprehensif dimensi-dimensi alam malakut (alam atas), sebuah kajian yang memungkinkan kita mengenal lebih dekat hakikat Allah, Pencipta dan Pengatur Seluruh Semesta. Beliau membahas alam malakut melalui simbolisme cahaya. Cahaya ini hanya bisa tersingkap oleh para pemilik bas|hirah (mata hati).
Al-Ghazali, seorang Hujjat al-Islam juga seorang pemikir sinkretik-kreatif dalam Islam yang mampu menggabungkan pelbagai pemikiran dalam suatu corak yang bisa diterima umat telah berhasil memadukan dimensi-dimensi syari'at Islam dengan dimensi-dimensi ushuluddin melalui pendekatan tasawufnya, adalah termasuk salah seorang yang menguraikan penafsiran ayat al-Qur'an yang berkaitan dengan nur yang tertuang dalam QS al-Nur ayat 35 sebagai bahasa metaforis. Untuk itu, al-Ghazali membedakan kaum awwam, kaum khawash, dan kaum khawash al-khawash dalam melihat cahaya-Nya. Dalam kajian ini, akan dipaparkan penafsiran al-Ghazali dalam kitabnya yang berpandangan bahwa para sufi dalam mencapai ma'rifat Dzat Allah harus menggunakan metode pancaran cahaya (iluminasi), karena hakikat cahaya sebenarnya hanyalah Allah, sementara cahaya-cahaya lainya bersifat majazi. Melalui sudut pandang al-Ghazali inilah permasalahan di atas dicoba untuk dikaji lebih dalam melalui telaah tafsir sufistik. Bagaimana penafsiran al-Ghazali terhadap QS al-Nur ayat 35, dan bagaimana metode yang ia gunakan dalam menafsirkan QS al-Nur ayat 35 tersebut dalam kitab Misykat al-Anwar?.
Kajian ini bersifat kepustakaan murni (library reseach) yang didasarkan pada kitab Misykat al-Anwar sebagai sumber data primer dan karya-karya al-Ghazali selain dari kitab tersebut serta buku-buku lain yang terkait sebagai sumber data sekunder. Adapun metode untuk mengolah data digunakan metode Deskriptif-Analitis dengan pendekatan Strukturalis Genetik yang berfungsi untuk mengkaji intrinsic karya itu sendiri, latar belakang penulis dan kondisi sosio-historis yang melingkupinya. Struturalisme memandang bahwa keterkaitan dalam struktur itulah yang mampu memberi makna yang tepat. Dengan demikian, akan terlihat bagaimana struktur pemikiran al-Ghazali dan setting sosio-historisnya.
Dari penilitian ini ditemukan jawaban, bahwa dalam menafsirkan QS al-Nur ayat 35 tersebut, al-Ghazali tetap berpegang pada makna z|ahir (eksoteris) yang ditunjukkan ayat tersebut dan melingkupinya dengan pengaruh/bangunan tasawuf dan metafisika tasawuf atas penafsiran, pemaknaan atau tafsir esoteris yang memiliki kecenderungan sufistik yang cukup kental serta kecenderungan falsafinya, khususnya dalam Misykat al-Anwar. Ia mengarahkan pemaknaan tersebut kepada makna majazi melalui metode tamsil, perumpamaan. Metode tersebut merupakan sintesa antara pendekatan tafsir eksoteris dengan tafsir esoteris juga antara corak sufistik dengan corak falsafi. ALI ROMDHON - NIM. 025310462012-09-10T10:29:39Z2012-09-10T10:31:05Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/3905This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/39052012-09-10T10:29:39ZTEMPAT DI BUMI YANG PALING ALLAH CINTAI ADALAH MASJID ( Kajian Ma'anil Hadis terhadap Hadis-hadis Masjid ) Bila dimaknai dari sisi yang lebih luas makna masjid adalah suatu refleksi ketundukan atau kepatuhan kepada Allah, jadi seluruh aktifitas yang ada pada lingkungan tempat ibadah tersebut (baca: masjid) pada dasarnya harus merupakan sebuah perwujudan atau refleksi ketaatan dan ketundukan kepada sang khalik yaitu Allah semata. Refleksi ketaatan dan ketundukan bukan berarti masjid hanya diperuntukkan untuk kegiatan-kegiatan ritual semata. Secara teoritis konseptual, masjid adalah pusat kebudayaan Islam, kebangkitan Islam berasal dari Masjid. Rasul menjadikan masjid sebagai tempat kegiatan ritual, spiritual dan membangun pemahaman umat islam terhadap islam (Politik) masjid ditengah masyarakat Muslim dan non-Muslim. Kini dan selamanya masjid merupakan pusat simbol aktivitas politik dan intelektual, entah kaum muslim itu mayoritas atau minoritas di suatu daerah. Dikalangan non-Muslim, masjid menjadi fokus perdebatan di sekitar identitas Islam dari tempat suci inilah syi'ar keislaman mulai digelindingkan sekian segmen gerakan tauhid yang meliputi aspek duniawi, material spiritual, dimulai. Dalam berbagai catatan sejarah telah banyak direkam dengan baik mengenai kegemilangan peradaban Islam serta bangunan suci itu mengekpresikan padangan hidup Islam yang pada awalnya telah disiapkan dan dihasilkan dari proses penggodokan ala masjid. Sayangnya, berkali-kali kita terpaksa harus menelan pil pahit, bahwa saat ini masih banyak masjid yang keberadaannya seperti ada dan tiada, masjid sudah tidak memiliki fungsi maksimal, atau hanya berfungsi sebagai tempat pemenuhan ritual an sich.
Fenomena semacam ini penting disikapi tidak hanya akan memperburuk tempat suci agama, namun bila dibiarkan berlanjut, Islam akan dianggap sebagai jelmaan suatu sistem peribadatan para petapa yang kehilangan daya antisipasi terhadap gejolak terpaan problem duniawi. Sisi itulah yang sengaja penulis ketengahkan dalam penelitian sekripsi ini sebagai akar masalah dalam penelitian ini dengan harapan untuk mencoba merumuskan kembali semangat yang telah dihasilkan oleh umat muslim massa setelah nabi dalam membangun peradaban yang berbasis masjid.
Dengan menggunakan metode ma'ani al-hadis, hadis tentang tempat di bumi yang paling Allah cintai adalah masjid dapat dipahami secara kontekstual mengingat sangat terikat oleh ruang dan waktu dimana hadis itu berkembang. Pemahaman tersebut dengan alasan diantaranya pertama, Fungsi dan peranan masjid seperti yang disebutkan pada masa nabi dan masa keemasan islam itu tentunya sulit diwujudkan pada masa kini. Namun, ini tidak berarti bahwa masjid tidak dapat berperan di dalam hal-hal tersebut tertapi fungsi masjid bisa di arahkan kepada kebutuhan ummat dimana waktu dan tempat masjid itu didirikan sesuai social budayanya. Kedua, Menyadari sepenuhnya peran masjid sebagai tempat ibadah dan pusat kegiatan umat, tujuan pendiriannya pun harus ditetapkan secara jelas dan benar-benar disadari sejak awal. Supaya keberadaan sebuah masjid tidak mubazir.
Atas dasar itulah punulis mencoba menarik makna segar dari makna awal tentang hadis-hadis masjid, yang secara kontekstual mengandung multifle effek pada kehidupan social. Besar harapan mudah-mudahan bisa terpenuhi paling tidak akan menjadi landasan normatif philosofis dalam khazanah tentang masjid fokus kajian studi ma'anil hadis. IMAM SADIANA A - NIM. 035314822012-09-10T13:19:24Z2012-09-10T13:20:35Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/3322This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/33222012-09-10T13:19:24ZKEPEMIMPINAN DALAM KELUARGA (Studi Komparasi Penafsiran Yunahar Ilyas dan Husein Muhammad)Kepemimpinan dalam keluarga masih menjadi kajian menarik bagi masyarakat Indonesia, khususnya bagi gerakan feminisme. Banyaknya kajian ini didorong oleh keprihatinan terhadap kenyataan di masyarakat yang beranggapan bahwa laki-laki lebih unggul daripada perempuan dalam segala hal. Pada umumnya, perempuan memainkan peran sosial-ekonomi dan politik dengan porsi yang sangat kecil apabila dibandingkan dengan peran laki-laki. Hal ini dikarenakan posisi perempuan dianggap kurang memiliki daya saing terhadap lingkungan yang dihadapi. Salah satunya disebabkan oleh faktor pendidikan dari pihak perempuan yang lemah. Bagi sebagian masyarakat, peranan laki-laki dan perempuan yang berbeda seperti di atas dianggap sebagai suatu hal yang alamiah atau kodrati. Anggapan itu dalam kajian feminisme ditolak dengan keras. Bagi feminisme, konsep seks dibedakan dengan gender. Menurut mereka, perbedaan biologis dan fisiologis adalah perbedaan seks, sedangkan yang dimaksud dengan perbedaan fungsi, peran, hak, dan kewajiban adalah gender. Dalam konteks Indonesia, muncul tokoh-tokoh masyarakat yang melakukan peninjauan ulang terhadap makna Al-Qur'an yang berkaitan dengan masalah gender, seperti Yunahar Ilyas dan Husein Muhammad.
Skripsi ini, akan membandingkan penafsiran kedua tokoh, mulai dari metode, inti panafsiran, relevasi dengan kondisi Indonesia sekarang, sehingga dari situ akan ditemukan persamaan dan perbedaan mereka dalam menafsirkan ayat kepemimpinan dalam keluarga. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode deskriptif-komparatif, yaitu menggambarkan secara utuh pemikiran kedua tokoh, kemudian membandingkan pemikiran keduanya. Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian pustaka (library reserch). Adapun sumbernya diambil dari karya Yunahar Ilyas, yaitu Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Qur'an Klasik dan Kontemporer serta Kesetaraan Gender dalam Al-Qur'an; Studi Penafsiran Para Mufasir dan buku karya Husein Muhammad Fiqih Perempuan; Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender serta Islam Agama Ramah Perempuan; Pembelaan Kiai Pesantren serta karya-karya beliau di berbagai media.Tafsiran Yunahar dan Husein dapat dikatakan dalam bentuk tafsir bi al ra'yi, menggunakan metode maudu'i, sedangkan dari segi corak berbeda.
Penafsiran Yunahar bercorak budaya kemasyarakatan sedangkan Husien bercorak fiqih atau hukum. Mereka menafsirkan ayat tentang kepemimpinan dalam keluarga disandarkan pada surat an-Nisa 34. Awalnya mereka mempunyai pandangan yang sama, yaitu laki-laki dan perempun yang kemampuan intelektualnya lebih, dapat memimpin keluarga, dan menjadikan prinsip musyawarah sebagai poin penting dalam hubungan keluarga. Akan tetapi ada perbedaan pada penekanan selanjutnya, bahwa Yunahar melihat harus ada salah satu yang menjadi pemimpin agar tidak terjadi kebuntuan dalam keluarga, karena ia berpandangan kepemimpinan keluarga bersifat normatif bukan kontekstual. Sementara itu, Husein melihat kepemimpinan dapat dipegang suami atau istri, karena keduanya mempunyai hak yang sama dalam memimpin keluarga. Hendro Sucipto 055300022012-09-10T13:57:31Z2012-09-10T14:00:05Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/3559This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/35592012-09-10T13:57:31ZKONSEP FU’AD DALAM AL-QUR’AN (Studi Ma'anil Al-Qur'an)Al-Fu'ad adalah bagian dari pada hati yang berkaitan dengan ma'rifat. Al-fu'ad adalah tempat melihat dan bagian hati adalah pengetahuan jika pengetahuan dan ru'yah disatukan, sesuatu yang tidak dapat terlihat dapat diketahui dan seseorang hamba menjadi yakin. Al-Fu'ad merupakan tempat ma'rifat dan rahasia-rahasia, alat penglihat batin setiap kali seseorang mendapat sesuatu yang bermanfaat, maka yang pertama kali merasakan manfaat adalah fu'ad, lalu Qalb. Al-fu'ad terletak ditengah-tengah Qalb, sedangkan Qalb berada di tengah-tengah Shadr.
Pokok penelitian ini mencoba untuk mencari pemaknaan terhadap kata fu'ad dalam al-Qur'an dengan menggunakan metode semantik yaitu kajian analitik terhadap istilah-istilah kunci suatu bahasa dengan suatu pandangan yang akhirnya sampai pada pengertian konseptual atau pandangan dunia masyarakat yang menggunakan bahasa itu. Kemudian untuk menganalisisnya digunakan analisis bahasa dan diperkuat dengan menelaah ayat-ayat al-Qur'an dan hadis Nabi Saw.
Dalam penelitian ini juga akan membahas makna dari beberapa jumlah dan keterkaitannya dalam al-Qur'an, kategorisasi ayat-ayat fu'ad dalam al-Qur'an, etimologi (makna dasar fu'ad), dan pengertian menurut beberapa mufasir. Meskipun sebagian besar ulama membedakan, walaupun ada sebagian kecil ulama yang menyamakannya. Dalam memaknai kedua istilah tersebut, ulama berbeda pendapat. Maka dari penelitian ini diperoleh temuan penting tentang fu'ad dalam al-Qur'an al-Karim tidaklah sama.
Penulis menganggap ada masalah yang harus diselesaikan, sebagai berikut: 1. Apa makna kata fu'ad dalam al-Qur'an 2. Bagaimana konsep fuad dalam al-Qur'an untuk menjawab rumusan masalah di atas, ada berapaberapa langkah oleh sebab itu, penulis menggunakan metode tematik, selanjutnya mencoba menganalisis dengan analisis semantik.
Al-fu'ad merupakan potensi Qalb yang berkaitan dengan indrawi, mengolah informasi yang sering dilambangkan berada dalam otak manusia. fu'ad mempunyai tanggung jawab intelektual yang jujur kepada apa yang dilihatnya. Potensi ini cenderung dan selalu merujuk pada objektivitas, kejujuran dan jauh dari berbohong. Qalb diberikan potensi pikir, yaitu hati dalam bentuk fu'ad. Kemampuan untuk mengolah, memilih, dan memutuskan segala informasi ruang akal, berpikir, bertafakkur, memilih dan mengolah data yang masuk dalam qalb manusia. Sehingga lahirlah ilmu pengetahuan yang bermuatan moral Al-Fu'ad yang ada dalam al-Qur'an merupakan simbol dalam penyebutan arti al-fu'ad adalah al Qalb karena bisa mengebu-mengebu dan menyala-menyala al fu'ad dimiliki oleh manusia dan hewan yang memiliki Qalb dan pula yang mengatakan al-fu'ad ditengah-tengah Qalb. Selain itu juga ada yang menyatakan kata al-fu'ad: penutup Qalb atau kulit Qalb. Jika fuad adalah isi/biji maka Qalb adalah bungkusan paling luar/kulitnya. SYAMSUDDIN - NIM. 055300282012-09-11T15:16:59Z2012-09-11T15:18:34Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/3906This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/39062012-09-11T15:16:59ZTRAFFICKING PEREMPUAN DALAM HADIS (Kajian Ma'anil Hadis)Salah satu kreativitas bebas nilai yang ditemukan oleh manusia, adalah menjadikan manusia sebagai komoditi industri. Manusia diperdagangkan, diperjualbelikan, seperti layaknya komoditi lain. Sederhanya, manusia berdagang manusia. Istilah ini biasanya lebih dikenal dengan istilah trafficking. Islam merupakan agama yang mendasarkan ajaran-ajaran-Nya pada dua pilar utama, al-Qur'an dan al-Hadis. Hadis sebagai sumber ke-2, menuntut perlunya mengkaji secara serius untuk mendapatkan pemahaman utuh dan kemudian menghasilkan formula-formula dan pemikran baru yang mencerahkan umat. Tujuannya adalah agar umat semakin sadar bahwa trafficking merupakan kejahatan yang bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam.
Penyusunan skripsi ini diarahkan untuk menjawab persoalan-persoalan seputar trafficking dalam hadis. Persoalan tersebut terumuskan dalam pertanyaan-pertanyaan berikut; bagaimana bagaimana pemaknaan trafficking dalam hadis dan relevansi pemaknaan tersebut dalam realita di Indonesia? Penelitian ini merupakan library research yang menggunakan metodologi penelitian kualitatif dengan sumber utama penelitian ini adalah kitab-kitab hadis, baik berbentuk buku dan digital -seperti Mausu'ah dan Syamilah-. Sedangkan sumber sekundernya dapat berupa literatur-literatur pendukung sumber primer berupa buku, artikel, internet maupun jurnal yang memiliki relevansi dengan pokok kajian penulis. Secara pendekatan, penelitian ini menggunakan pendekatan hermeneutik, yakni konsep hermeneutik hadis yang ditawarkan oleh Yusuf Qardhawi. Menurutnya, untuk mendapatkan pemahaman makna hadis nabi dan mendapatkan signifikansi kontekstualnya, ada beberapa langkah yang perlu diperhatikan diantaranya; memahami sunnah berdasarkan petunjuk al-Qur'an, menghimpun hadis yang topik bahasannya sama dan memahami hadis berdasarkan latar belakang kondisi dan tujuannya.
Dengan pendekatan hermeneutik yang digunakan dalam penelitian ini, hasil yang bisa didapatkan dari penelusuran hadis-hadis yaitu adanya pelarangan menjadikan tetangga sebagai seorang pelacur, mempekerjakan orang lain tanpa memberikan upahnya dan larangan menjadikan budak dari seorang yang merdeka. Tujuannya adalah mengangkat harkat martabat manusia secara umum, -khususnya pada kaum perempuan-. Dengan demikian, relevansi pemaknaan hadis anti trafficking dikaitkan dengan realitas di Indonesia adalah adanya kesetaraan dan keadilan bagi perempuan. Sehingga perlu adanya pengarahan tentang pemahaman anti trafficking, -utamanya trafficking in women- dan merubah paradigma perempuan menuju paradigma teologi pembebasan. Memahami makna substantif dari hadis anti trafficking dengan makna bahwa peran manusia -baik perempuan maupun laki-laki- adalah menghilangkan dari ruang keterpurukan dan ketertindasan perempuan M. SHOFWAN - NIM. 035314672012-11-29T13:34:18Z2015-05-29T08:07:18Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/4904This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/49042012-11-29T13:34:18ZDASAR DASAR KLASIFIKASI FUNGSI NABI MUHAMMAD SAW DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMAHAMAN HADISPemahaman terhadap hadis merupakan sebuah usaha untuk memahami matan hadis secara tepat dengan mempertimbangkan factor-faktor yang berkaitan dengannya, indikasi-indikasi yang melingkupi matan hadis akan dapat memberikan kejelasan dalam pemaknaan terhadap hadis, apakah suatu hadis dimaknai dengan tekstual ataukah kontekstual. Pemahaman akan kandungan hadis apakah masuk dalam katagori temporal, local dan universal juga mendukung pemaknaan yang tepat terhadap hadis. Pemaknaan dengan model seperti ini menjadi sebuah kebutuhan mendesak ketika wacana-wacana keislaman yang hadir banyak mengutip literature-literatur hadis, yang ada pada gilirannya akan mempengaruhi pola pikir dan tingkah laku masyarakat.
Penelitian ini akan meneliti tentang klasifikasi fungsi nabi Muhammad SAW., juga manganalisa implikasi dari klasifikasi tersebut terhadap pemahaman hadis. Sifat penelitian ini adalah literer sehingga menggunakan riset perpustakaan, yaitu mencari informasi-informasi dari berbagai macam kepustakaan yang berhubungan dengan penelitian tersebut.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa Nabi Muhammad memiliki dua peran yang berbeda, yaitu dalam kapasitas pribadinya beliau adalah manusia biasa seperti kita, di sisi lain sebagai nabi, beliau diangkat Allah menjadi utusan Allah. Pandangan ini didukung oleh fakta sejarah yang membuktikan adanya fungsi nabi, dapat dikatakan selain nabi berfungsi sebagai rasul yang bertugas menjalankan fungsi risalah kenabian,sekaligus berfungsi sebagai pemimpin masyarakat, kepala Negara, hakim, mufti, panglima perang, dan juga manusia biasa. Berbagai bentuk perbuatan nabi Muhammad SAW,. tersebut dapat diketahui melalui penelitian sejarah, juga mempunyai pengaruh yang macam-macam. div AHMAD GUNAWAN - NIM. 96532233 2012-12-03T14:37:05Z2012-12-03T14:39:39Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/3328This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/33282012-12-03T14:37:05ZHADIS TENTANG MENGANGGAP AKU (RASULLULLAH SAW) SEBAGAI PEMIMPIN MAKA ALI ADALAH PEMIMPINNYA (Studi Ma'ani al Hadis atas riwayat Tirmizi)Skripsi ini mengkaji tentang hadis-hadis menganggap aku (Rasulullah SAW) sebagai pemimpin maka 'Ali adalah pemimpinnya(studi maa nil hadis| atas riwayat Tirmiz|i). skripsi ini bertujuan untuk mengetahui keotentikan hadis baik dari segi sanad maupun matan dan bertujuan untuk mengetahui metode kepemimpinan yang digunakan oleh 'Ali ketika dia menjadi pemimpin.
Penelitian ini bercorak pustaka, metode yang digunakan adalah metode deskriptif analitis yakni dengan meneliti sanad dan matan hadis, kemudian menganalisanya. Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sejarah yakni untuk mengetahui faktor internal maupun eksternal munculnya hadis tersebut.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa hadis yang diteliti adalah hadis sahih. Karena hadis ini memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh ulama ahli hadis, yakni: 1) Bersambung sanadnya. 2) Para periwayat hadis 'adil dan dabit. 3) Tidak mengandung syaz| dan 'illat. Dan hadis tersebut tidak bertentangan dengan hadis lain. Adapun hasil dari penelitian tentang metode yang digunakan oleh 'Ali dalam kepemimpinannya ketika menjadi khalifah adalah menurut penulis kurang relevan untuk digunakan pada masa itu. Menurut penulis dimana pada masa 'Ali menjadi khalifah, kehidupan sosial kaum muslimin mulai berubah dari masyarakat yang berpegang teguh pada ajaran agama kepada masyarakat yang mulai mencintai kehidupan dunia (Pada waktu itu, kaum muslimin yang ada, kebanyakan yang tidak mengalami kehidupan bersama Rasulullah SAWdan dua khalifah sebelumnya- Abu Bakr dan 'Umar bin Khattab) Hal inilah yang menjadi salah satu faktor yang merubah gaya kehidupan sosial kaum muslimin, di samping itu juga sebelum masa pemerintahan 'Ali, yakni pada masa kekhalifahan 'Usman, kehidupan kaum muslimin mengalami kemajuan yang sangat pesat, baik dalam bidang ekonomi maupun budaya dan agama islam mulai mengenal dunia luar dengan mulai menyebarnya ke punjuru dunia.
Walaupun 'Ali dikenal sebagai sahabat yang gagah berani dalam medan pertempuran dan sering menjadi kunci kaum muslimin dalam meraih kemenangannya pada masa Rasulullah SAW, namun ketika dia menjadi khalifah, metode yang dia gunakan tidak bisa lepas dari latar belakang dia sebagai pendidik, seorang hakim, mufti dan kurang berpengalamannya dalam bidang politik pada umumnya, sangat mempengaruhi terhadap metode yang dia gunakan. Adapun metode yang dia gunakan Yakni ketika dia berkomunikasi dengan para pejabatnya, layaknya seperti hubungan antara guru dan murid, tidak seperti bawahan kepada atasan. Hal ini juga terlihat dari kebijakan-kebijakan yang dia tetapkan dan keputusan-keputusannya yang berhubungan dengan pemecatan terhadap beberapa wakilnya ketika para wakil tersebut melaksanakan kebijaknkebijakan yang tidak sesuai dengan apa yang dia kehendaki atau kurang setuju dengan apa yang menjadi kebijakannya.
Pada masa sekarang, metode yang digunakan oleh khalifah 'Ali sulit diterapkan kepada kaum muslimin sekarang, khususnya di Indonesia. Berbedanya kultur dan masa menjadi salah satu kendala utama yang menyebabkan sulitnya metode yang digunakan oleh 'Ali diterapkan pada masa ini akan tetapi ketaatan kepada pemimpin adalah kewajiban bagi warga negara selagi pemimpin tidak mengajak kepada suatu perbuatan yang bertentangan dengan aturan yang ditetapkan dalam al-Qur'an dan Hadis maupun dengan norma-norma yang berlaku. LAELA UMI ASHIM 025310412013-01-02T12:35:11Z2013-01-02T12:37:12Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/3341This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/33412013-01-02T12:35:11ZPEMAHAMAN YUSUF AL QARADAWI TERHADAP MAJAZ AL HADIS DALAM BUKU KAIFA NATA' AMAL MA'A AL SUNNAH AL NABAWIYYAH MA'ALIM DAWABITSkripsi ini berjudul quot;Pemahaman Yusuf al-Qaradawi terhadap Majaz al-Hadis dalam Buku Kaifa Nata'amal ma'a al-Sunnah al-Nabawiyyah Ma'alim wa Dawabit quot;. Topik ini penulis angkat karena dalam memahami Majaz al-hadis sering terjadi perdebatan antara pemaknaan secara tekstual maupun kontekstual. Pemaknaan yang haqiqi bagi kaum tekstualis adalah lebih tepat dibanding pemaknaan majazi, sementara bagi kaum kontekstualis adalah sebuah keharusan di suatu saat untuk memaknai hadis secara majazi, sementara jika dilihat dari epistemologi yang digunakan oleh Yusuf al-Qaradawi dalam memahami hadis Nabi adalah menggunakan epistemologi bayani, yaitu epistemologi yang berpijak kepada teks baik secara langsung atau tidak dalam memperoleh pengetahuan, maka fokus dari penelitian ini adalah metode pemahaman Yusuf al-Qaradawi terhadap majaz al-hadis dan implikasi pemahaman Yusuf al-Qaradawi terhadap majaz al-hadis dalam pemahaman hadis nabi.
Permasalahan yang ingin ditemukan jawabannya melaui penelitian ini adalah bagaimana metode pamahaman Yusuf al-Qaradawi terhadap majaz alh adis? dan apa implikasi pemahamannya terhadap pemahaman hadis nabi?. Untuk mencapai tujuan tersebut penulis menggunakan analisis historis-biografik dan pendekatan sastra, khususnya ilmu al-bayan, untuk mengetahui metode pamahaman Yusuf al-Qaradawi terhadap majaz al-hadis dan implikasinya terhadap pemahaman hadis Nabi.
Dari penelitian ini dengan menggunakan dua pendekatan (historis-biografik dan sastra, khususnya ilmu al-bayan), maka diperoleh kesimpulan bahwa, metode yang digunakan oleh Yusuf al-Qaradawi dalam memahami majaz al-hadis adalah metode ta'wil. Adapun langkah-langkah metode pemahamannya adalah pertama, mengaitkan pentakwilannya dengan al-Qur'an, kedua, dengan hadis-hadis setema, ketiga pendapat ulama', dan keempat, pendekatan logika bahasa, dengan syarat sesuai dengan kesimpulan akal yang sehat, syari'at yang benar, pengetahuan yang pasti, dan fakta yang tidak diragukan. Kemudian qarinah (indikator) yang digunakan adalah qarinah lafziyya (indikator dalam teks) dan ini adalah yang diprioritaskan baru kemudian qarinah haliyyah (indikator diluar teks). Hal ini karena Yusuf al-Qaradawi dalam memaknai teks selalu berangkat dari makna apa yang terdapat dalam teks, sebelum mencari makna sesuai konteks.
Implikasi dari metode pamahamannya dalam pemahaman hadis Nabi, di antaranya, pertama, pemahaman teks hadis harus berasal dari teks, kedua, pentingnya pendekatan secara majazi terhadap hadis-hadis yang sulit difahami, tanpa terkecuali hadis metafisik dan sifat-sifat Tuhan, ketiga, riwayat bi alma'na tidak dapat dikesampingkan dalam pemahaman hadis yang mengandung majaz. M. SYAFI' NIM: 055300512013-01-02T14:52:40Z2013-01-02T14:54:30Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/3347This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/33472013-01-02T14:52:40ZPENAFSIRAN 'AQL MENURUT AL TABARANI DALAM TAFSIR JAMI' AL BAYAN 'AN TA'WIL AY AL QUR'ANAkal ('Aql) adalah sesuatu yang membedakan antara manusia dengan makhluk Allah yang lain, karena akallah manusia memperoleh kemuliaan di sisi Allah SWT, sehingga dipercaya menjadi Khalifah di muka bumi ini. Karena akal memiliki kekuatan dan daya yang mampu membedakan mana yang hak dan yang bathil, dan mampu memahami tanda-tanda keEsaanNya. Namun, pada kenyataannya banyak manusia yang tidak bisa memfungsikan akalnya sebagaimana mestinya.
Dalam al-Qur'an, term tentang akal ('Aql) tidak disebutkan dalam bentuk isim (kata benda) namun disebutkan dalan bentuk kata kerjanya, seperti ya'qilun, ta'qilun, ya'qiluha, na'qilu dan 'aqaluh. Ada pendapat yang mengatakan bahwa akal merupakan quot;sebuah organ quot; yang membutuhkan tempat (lokus), yang biasa disebut dengan isilah quot;Otak quot;. Pendapat lain mengemukakan bahwa akal adalah quot;sebuah potensi quot; yang memiliki fungsi untuk berpikir atau menelaah. Dan ini logis dengan melihat term-term yang digunakan al-Qur'an yang tidak menyebut kata 'Aql dalam bentuk isimnya, namun dalam bentuk kata kerjanya.
Penelitian ini bersifat kepustakaan murni (Library Research) yang didasarkan pada metode tafsir maudu'i, yakni tafsir tematik dengan cara menghimpun dan menyusun seluruh ayat yang memiliki kesamaan arah, kemudian menganalisanya dari berbagai aspek. Penelitian ini memaparkan penafsirkan tokoh mufassair klasik, Abu Ja'far Muhammad Ibn Jarir al- Tabari dengan tafsirnya quot;Jami' al-Bayan 'an Ta'wil ay al-Qur'an, yang merupakan tafsir yang bersifat ensiklopedis dan komprehensif. Tafsir tersebut membeberkan makna kata-kata dalam terminologi Bahasa Arab disertai dengan struktur linguistiknya, di samping itu al-T{abari tidak terlibat secara mendalam terkait masalah akal dalam ranah Teologi maupun Filsafat.
Temuan dalam penelitian ini adalah dalam menafsirkan kata 'Aql tersebut, al-Tabari tidak secara eksplisit menafsirkan kata tersebut dalam bentuk isimnya, namun al-Tabari menafsirkan sesuai dengan kata kerja yang ada dalam al-Qur'an. Ini mengindikasikan bahwa al-Tabari memaknai 'Aql sebagai sebuah daya atau kekuatan untuk memahami atau berpikir yang dikaitkan dalam hal pemahaman terhadap tanda-tanda keEsaan Allah SWT. Al-Tabari menafsirkan kata 'Aql dalam pengertian quot;Akal Fungsional quot; bukan akal secara organ. Dalam hal pemaknaan terhadap kata 'Aql ini, al-Tabari tidak terlibat dalam perdebatan makna dan fungsi akal dalam ranah teologi maupun filsafat. Jadi, al-Tabari lebih menekankan pemaknaan akal secara utuh. Dan pemaknaan terhadap makna 'Aql yang ada dalam al-Qur'an ini berbeda dengan makna 'Aql yang selama ini berkembang di masyarakat, yakni makna 'Aql dalam arti pemahaman atau rasio, yang di dalamnya tidak terkandung unsur nilai-nilai dan etika. Sedangkan 'Aql dalam al-Qur'an, menurut al-Tabari mengandung unsur nilai-nilai yang mengikat bagi pemiliknya. MAFTUH MUBAROK NIM: 035314062013-01-25T09:56:36Z2015-05-29T08:09:36Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/4778This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/47782013-01-25T09:56:36ZADALAH AS SAHABAH MENURUT AHMAD AMINPerdebatan sekitar keadilan sahabat sampai detik ini masih belum menemukan kata sepakat. Masing-msing pihak tetap kesikukuh dengan pendapatnya masing-masing. Kubu yang mendukung ta'dil kolektif sahabat memang tidak bisa disalahkan seratus persen, sebab menurut mereka banyak di jumpai dalil-dalil baik dari al Qur'an maupun hadis yang memuji dan menjamin kredibilitas sahabat dan dapat dipastikan bahwa sahabat tidak mungkin berbuat salah dan dusta, mengkritik sahabat berarti menjatuhkan pilar-pilar agama Islam, pendapat ini di anut oleh ulama Sunni selama ini.
Meskipun ulama Sunni menganggap final masalah ini , namun keputusan mereka belum bisa memuaskan seluruh pihak. Ahmad Amin misalnya menolak anggapan mereka,menurutnya sahabat tidak ubahnya seperti manusia yang lainnya yang bisa berbuat salah dan lupa serta mengikuti hawa nafsunya. Oleh sebab itu sahabat seharusnya diteliti seperti perawi yang lainnya. Amin menerapkan metode al Jarh Muqaddamun amp;#8216;ala at ta'dil, untuk menilai sahabat disamping didukung oleh fakta-fakta historis. Hal ini sesuai dengan bidangnya dalam sejarah peradaban Islam.
Dalam skripsi ini menggunakan metode deskriptip analitik, yakni menggambarkan dan menguraikan keadilan sahabat secara keseluruhan dan menganalisanya sehingga nantinya akan mendapatkan gambaran yang jelas tentang keadilan sahabat. Skripsi ini juga menganalisa kembali as sahabatu kulluhum amp;#8216;udul, yang selama ini dijadikan landasan untuk menilai sahabat, tapi nampaknya kaidah ini perlu ditinjau kembali karena banyak ayat-ayat al Qur'an dan hadis-hadis nabi yang mengindikasikan adanya sahabat nabi yang mempunyai sifat dusta, munafik serta lari dari perang. Di samping itu sejarah mencatat bahwa ada di antara sabahat nabi yang berbohong sehingga menyebabkan turunnya al Qur'an. Maka dari itu kaidah ini walaupun bisa dijadikan acuan umum untuk menilai ta'dil kolektif sahabat tapi masih memberikan kesempatan untuk dikaji ulang atau dengan sendirinya walaupun kaidah ini tidak serta merta gugur tapi perlu dipertimbangkan lagi kebenarannya. ABDUL HAKIM - NIM. 965321182013-01-25T10:24:13Z2013-01-25T10:26:19Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/4831This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/48312013-01-25T10:24:13ZAL NASIKH WA AL MANSUKH DAN IMPLIKASINYA DALAM PENAFSIRAN AL QUR'AN (SEBUAH KAJIAN HISTORIS)Nasikh mansukh merupakan salah satu dari pembahasan ilmu al Qur'an.Dalam perkembangannya konsep naskh sangat kontroversial. Terlebih jika naskh ini dilihat dari perspektif histories serta diangkat dalam sebuah kajian tafsir dan ulumul Qur'an, memiliki peran yang signifikan dalam wacana tafsir. Hal ini tebukti bahwa, jika sebuah ayat diasumsikan sebagai ayat nasikh maka yang berhak me-naskh adalah Allah semata. Persoalannya bukan tidak menerima interpretasi, akan tetapi banyak ayat-ayat al Qur'an yang secara lahiriah mengidentifikasikan adanya kontradiksi antara ayat-ayat yang satu dengan yang lainnya. Hal tersebut tidak ada petunjuk yang jelas dari Nabi.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sejarah dan perkembangan nasikh mansukh; mengetahui sejauh mana implikasi nasikh dan mansukh terhadap penafsiran al Qur'an. Jenis penelitian ini adalah kepustakaan (library research), maka teknik yang digunakan adalah pengumpulan data secara literer, yaitu pengambilan bahan pustaka yang sesuai dan berhubungan dengan objek pembahasan penulisan. Penelitian ini bersifat analisis-diskriptif yaitu dengan mengumpulkan data-data yang ada, menafsirkan dan menganalisa dengan menggunakan pendekatan sejarah.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah sejarah pemikiran naskh tidak dapat ditelusuri hingga zaman nabi, karena tidak ada petunjuk yang jelas tentang hal tersebut. Akan tetapi embrio naskh sudah ada, sebagaimana termaktub dalam al Qur'an surat al Baqarah ayat 106. Keberadaan naskh dalam al Qur'an diperkuat oleh asar serta riwayat-riwayat yang disandarkan pada sahabat. Sehingga zaman setelah nabi dan sahabat para ulama bertengkar tentang hal ini, ada yang menerima naskh adalah sebagai keniscayaan (proses sejarah) dan ada yang menolak naskh dengan alas an-alasan tertentu. Salah satunya adalah tidak mungkin terjadi bahwa ayat-ayat al Qur'an yang dibuang (dihapuskan), karena menurutnya seluruh ayat al Qur'an operatif abadi. Implikasi penerapan naskh pada penafsiran al Qur'an penulis kategorikan enjadi 2 periode. Yang pertama adalah pereode klasik, jika konsep naskh diterapkan pada masa ini (padahal ulama cenderung memahami naskh adalah penghapusan) maka dampak yang akan timbul adalah akan mengurangi ayat-ayat al Qur'an dan mengurangi fungsi al Qur'an sebagai hidayah. Sedangkan pada periode modern implikasinya adalah menjadikan pemahaman dan kesempurnaan al qur'an secara utuh dan mampu menjawab tantangan zaman. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya naskh dalam arti penghapusan, maka ayat-ayat yang disebut oleh ulama modern sebagai nasikh, sesungguhnya adalah penangguhan sampai dimana ayat-ayat tersebut cocok dan dapat diterapkan pada suatu masa tertentu. ROLLY - NIM.985327512013-01-25T11:03:58Z2013-01-25T11:05:40Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/4979This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/49792013-01-25T11:03:58ZAL QURAN AL KARIM DAN TERJEMAHAN BEBAS BERSAJAK DALAM BAHASA ACEHSedikitnya informasi tentang kajian tafsir yang bernuansa Indonesia yang memiliki ragam-ragam suku dan bahasa daerahnya sehingga banyak dari intelektual tafsir maupun masyarakat luas tidak menyadari bahwa sangat banyak karya penafsiran local selama ini ada tapi tak terdengar. Kajian utama dalam skripsi ini adalah tentang metodologi penafsiran yang digunakan Tgk. H. Mahjiddin Jusuf pada karyanya yang berjudul al Qur'an al Karim dan terjemahan bebas bersajak dalam bahasa Aceh.
Penelitian ini menggunakan literarur kepustakaan sebagai prospektif keilmuan dasar terhadap keilmuan tafsir dengan cara studi kepustakaan (Library Research), dan mewancarai dari pihak yang terkait dalam penelitian guna mendukung dan memperkuat data yang ada. Dalam pengolahan data menggunakan metode deskriptif Analisis, sedangkan dalam mengumpulkan data menggunakan sumber data primer yaitu al Qur'an dan terjemahan bebas bersajak dalam bahasa Aceh karya Tgk.H. Mahjiddin Yusuf, dan data sekunder adalah literatur-literatur yang relevan dalam mendukung kajian penelitian agar terlahir pemahaman-pemahaman yang obyektif dan dipercaya.
Hasil penelitian ini menyatakan bahwa karya Tgk. Mahjiddin Yusuf dilator belakangi oleh ketidakpuasan beliau terhadap karya tafsir yang telah ada belum bisa menjangkau secara keseluruhan lapisan masyarakat Aceh. Didalam penafsirannya beliau menggunakan metode Tafsir Ijmali yang menjelaskan makna al Qur'an secara global. Selanjutnya sistematika penulisan tafsirnya menggunakan tartib mushafi sebagaimana tertib susunan ayat dan surah dalam mushaf al Qur'an. Kemudian karya tafsir al Qur'an al Karim dan terjemahan bebas bersajak dalam bahasa Aceh ini bercorak 'Am (umum) yang menafsirkan makna dengan mengungkapkan kata-kata yang indah secara puitis. Selain itu karya tafsir ini memiliki karakteristik kedaerahan karena penyampaian makna al Qur'an berbentuk sajak sempurna berbahasa Aceh dan menggunakan pendekatan kultur masyarakat Aceh. div KURNIAWAN - NIM. 98532720 2013-01-25T11:08:02Z2015-05-29T08:20:05Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/4940This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/49402013-01-25T11:08:02ZANALISIS HADIS HADIS MISOGINIS DALAM BUKU ARGUMENT KESETARAAN JENDER PERSPEKTIF AL QU'RAN (STUDI ATAS PEMIKIRAN NASARUDDIN UMAR)Permasalahan hadis sahih yang berkaitan dengan perempuan menjadi perhatian para intelektual muslim komtemporer, karena ada beberapa hadis yang dinilai sangat mendiskritkan kedudukan perempuan (misogyny). Nasaruddin Umar sebagai salah satu dari sekian banyak intelek muslim Indonesia yang concern terhadap persoalan perempuan juga telah membahas tentang hadis-hadis misoginis. Dalam bukunya Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al Qur'an, misalnya ia mengemukaakan standar yang dapat digunakan untuk menilai sebuah hadis sehingga hadis tersebut bisa dikatakan misogini atau mengandung pemahaman misoginis.
Penelitian ini adala penelitian perpustakaan (library research), obyek dari penelitian ini adalah hadis-hadis yang terdapat dalam buku Argumen Kesetaraan Jender karya Nasaruddin Umar, karena sebagian besar hadis yang dikutip Nasaruddin diriwayatkan oleh Bukhari, adalah Matn Sahih al Bhuhari masykul bi al Hasyiah al Sindy, sedangkan kitab syark (komentar) yang dijadikan rujukan utama adalah Syarh al Kirmany, Fath al Bary, dan Irsyad asy Syary.
Hasil dari penelitian ini adalah : Hadis Misoginis pada hakikatnya tidak ada, yang ada hanyalah pemahaman hadis yang terkesan misoginis. Pemahaman ini sangat tergantung pada tingkat intelektual, latar belakang pendidikan dan sosio-kultural yang melingkupinya, maka pemahaman inipun menjadi beragam. Pemahaman yang dicoba ditawarkan Nasaruddin terhadap hadis yang masuk dalam standar penilaian misogini adalah pemahaman yang lebih kontekstual dengan melihat kondisi obyektif masyarakat sat itu dimana hadis itu disampaikan. div ALFISYAH - NIM. 95531921 2013-01-31T13:59:53Z2013-01-31T14:04:50Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/4787This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/47872013-01-31T13:59:53ZAPLIKASI METODE PENAFSIRAN SYEKH MUHAMMAD NAWAWI PADA SURAT AL FATIHAHSyekh Muhammad Nawawi (1813-1897) adalah salah satu putra terbaik bangsa yang menorehkan namanya di tingkat internasional. Kitab tafsir Marah Labid adalah karya yang monumental dari tokoh ini, sehingga beliau dijuluki Sayyid amp;#8216;Ulama al-Hijaz. Mengkaji aplikasi metode penafsiran Syekh Nawawi adalah sebuah kajian menarik, mengingat sebuah produk tergantung pada cara kerja yang disusun dan dilaksanakan. Kebanyakan penelitian tokoh ini lebih terfokus pada proses pemunculannya. Padahal pembacaan dari perspektif ini, akan memberikan gambaran lebih utuh dari fenomena seorang Syekh Nawawi.
Tujuan penelitian ini adalah mengkaji metode penafsiran Syekh Nawawi dalam tafsir Marah Labid; menelaah konsistensi aplikasi metode penafsiran Syekh Nawawi dalam penafsiran surat al Fatihah. Penelitian ini memusatkan perhatian pada penelitian kepustakaan yaitu mengkaji buku (kitab) yang ada di perpustakaan yang ada hubungannya dengan poko masalah yang dibahas. Sumber primer penelitian ini adalah kitab tafsir MArah Labid, sedangkan sumner sekunder adalah kitab-kitab tafsir, buku-buku dan artikel lain yang berkaitan denan topic yang sedang dibahas.
Hasil penelitian ini adalah penjelasan dan penafsiran kitab tafsir klasik menjadi metode pertama Syekh Nawawi dalam manafsirkan ayat al Qur'an. Yang menarik adalah beliau merujuk pada kitab tafsir klasik yang sebagian besar adalah bi al-ra'y sedang belaiu sendiri semula ragu untuk memulai penulisan sebuah kitab tafsir disebabkan dua buah hadis nabi yang dianggap sebagian ulama sebagai larangan tafsir bi al-ra'y. Metode kedua, Syekh Nawawi juga menggunaka ra'y dalam penafsiran ayat. Kajian terhadap aplikasi metode penafsiran Syekh Nawawi dalam surat al Fatihah menunjukkan bahwa beliau konsisten dengan bangunan metode yang disusunnya.Kajian ini merupakan antitesa terhadap pendapat bahwa Syekh Nawawi gagal memenuhi tuntutan dari dirinya sendiri bahwa akan muncul penafsiranpenafsiran baru, dalam pengertian Syekh Nawawi : tidak konsisten dengan metode yang dibangunnya. Skripsi ini menunjukkan tidak ada inkonsistensi dengan aplikasi metode penaafsiran oleh Syekh Nawawi./div ABDULLOH FUADI - NIM. 965321322013-02-01T09:55:00Z2013-02-01T10:03:06Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/4986This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/49862013-02-01T09:55:00ZASBAB AN NUZUL DALAM TAFSIR AL AZHAR (STUDI TERHADAP SURAT AN-NISA')Asbab an nuzul merupakan ilmu yang sangat penting dalam menunjukan hubungan dan dialetika antara ayat al Qur'an dengan realitas. Fakta-fakta empiris berkenaan dengan ayat suci menegaskan bahwa ayat-ayat al Qur'an diturunkan secara berangsur-angsur kurang lebih dua puluh tiga tahun. Begitu pula ayat-ayat al Qur'an menegaskan bahwa setiap ayat atau beberapa ayat diturunkan ketika ada suatu khusus yang mengharuskan turun, baik itu berupa peristiwa atau pertanyaan. Bahkan sangat sedikit ayat-ayat yang diturunkan tanpa ada sebab eksternl. Para ulama ulum al Qur'an memandang bahwa sebab-sebab tertentu itulah yang menentukan kerangka realitas yang dapat menjadi media dalam memahami sebuah atau beberapa ayat. Dengan kata lain, para ulama menyadari bahwa kemampuan mufassir untuk memahami makna ayat harus didahului dengan pengetahuannya tentang realitas-realitas yang memproduksi ayat-ayat tersebut. Dalam konteks inilah peneliti merekonstruksi corak pemikiran mufassir Hamka dengan karyanya, tafsir al Azhar dengan mendekatan deskriptif analitis. Lingkup penelitian dibatasi pada tema Asbab an Nuzul dalam tafsir al Azhar , studi terhadap surat an Nisa'.
Penelitian ini menyimpulkan: Asbab an Nuzul dalam pandangan Hamka merupakan jalan yang jelas dan nyata untuk dilakukan. Jika sudah diketahui Asbab an Nuzul tersebut, perlu disadari pula bahwa ayat yang bersangkut berlaku terus-menerus sepanjang berkenaan dengan hal yang sama 'illahnya (sebab). Ayat-ayat yang dilengkapai denganAsbab an Nuzul dalam tafsir al Azhar khususnya surat an Nisa' yang berjumlah 29 ayat dari 176 ayat itu. Hamka dalam memanfaatkannya, ia memiliki ciri khas sendiri, Hamka mengemukakan dengan menyebutkan riwayat-riwayat sekaligus menyebutkan siapa nama-nama parawinya dan kadangkala dengan mengemukakan riwayat-riwayat tapi tidak menyebutkan siapa nama perawinya, dan bahkan kadangkala tidak menyebutkan kedua-duanya. Hamka telah memberi komentar-komentar riwayat-riwayat Asbab an Nuzul mengenai kualitas sebuah periwayatannya, sahih atau dha'if. Jika ada riwayat yang berbeda atau kualitas periwayatan yang berbeda, maka Hamka lengsung mengemukakan pendapat mengenai riwayat Asbab an Nuzul yang dimanfaatkannya. Hamka juga memberi keterangan mengenai konteks historis kronologis meski keterangannya dengan mengambil pendapat orang. Hamka setelah mengemukakan sebab turun ayat (konteks asal mula ayat diturunkan) kemudian menggeneralisasikan dan mengaplikasikan ayat yang berasbab an Nuzul tersebut kedalam situasi yang berbeda. Tujuannya agar suatu nilai dari sebuah kasus dapat ditarik ke dataran generalitas yang setinggi-tingginya. div MUANAN - NIM. 94531785 2013-02-07T12:31:57Z2013-02-07T12:33:12Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/5001This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/50012013-02-07T12:31:57ZFAKHRUDIN AR RAZy DAN TAFSIRNYA (STUDI METODOLOGI TAFSIR MAFATIH AL-GAIB)Dalam jajaran tafsir abad keenam, tafsir Mafatih al Gaib senantiasa memperoleh peringkat utama, karena pengarangnya adalah mutakallim, rasionalis dan isinya mencakup banyak uraian ilmiah. Dalam menafsirkan al Qur'an untuk memahami maknanya secara utuh serta menempatkan bagian-bagian teologis dan etika legal dalam suatu keseluruhan yang padu, ar-Razy menggunakan suatu metode, karena dengan metode ini suatu pandangan dunia al Qur'an dapat dirumuskan dan dipahami.
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui sumber penafsiran ar-Razy dalam tafsir Mafatih al Gaib. Mengetahui metodologi penafsiran ar-Razy dalam penulisan Mafatih al Gaib. Mengetahui karakteristik metodologi penafsiran Fakhruddin ar-Razy. Metode penelitian yang digunakan adalah deskripsi, dengan cara berfikir induktif dan deduktif.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kitab yang disusun sistematika mushafi ini, dalam penafsirannya ayat-ayat al Qur'an berdasarkan pada apa yang ada dalam al Qur'an, sabda Nabi, perkataan Sahabat, Tabi'in dan ijtihadnya sendiri serta mengacu pada beberapa pembahasan yaitu, munasabah, asbab an-nuzul, qira'at, nahwu, dan balagah. Ar-Razy dalam menafsirkan al-Qur'an menggunakan metode tahlily. Karakteristik metodenya adalah bebas mengemukakan pendapat, banyak menggunakan perbedaan qira'at, banyak menggunakan hadis div AMBARWATI - NIM.96532244 2013-02-07T15:30:04Z2013-02-07T15:31:20Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/5004This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/50042013-02-07T15:30:04ZFAWATIH AS SUWAR PRESPEKTIF TAFSIR SHUFI (PANDANGAN AL-ALUSI DALAM RUH AL MA'ANI FI TAFSIR AL QUR'AN AL AZHIM WA SAB'U AL MATSANI)Pembahasan fawatih Suwar terutama mengenai al Huruf al Muqaththa'ah (huruf-huruf terpotong) sampai saat ini masih menjadi bahan kajian yang cukup menarik. Alasan yang berkembang adalah al Qur'an sebagai Huda (petunjuk) bagi manusia, sementara huruf-huruf terpotong yang berada pada 29 surat dari 114 surat dala al Qur'an datang dengan bentuknya yang khas, terpisah mulai dari satu sampai lima huruf tidak membentuk suatu pengertian, ia berdiri sendiri. Adakah Tuhan meletakkan huruf-huruf tersebut tanpa suatu maksud atau makna?
Tujuan penelitian ini adalah untuk lebih memahami tentang Fawatih as-Suwar dengan ragam yang ada. Mengetahui pola ataupun metode yang digunakan dalam tafsir shufi, khususnya Ruh al-Ma'ani fi Tafsir al Qur'an al-'Azhim wa as-Sab'u al-Matsani karya al-Alusi. Penelitian ini merupakan library research, metode analisa data yang digunakan adalah deskriptif dan hermeneutik.
Hasil penelitian ini adalah Fawatih as-Suwar (pembukaan atau permulaan surat-surat al-Qur'an) tidak hanya sebatas pada al-Huruf al Muqaththa'ah(huruf-huruf terpotong) yang terdapat pada 29 surat, melainkan al Qur'an yang 114 surat. Pemahaman para ulama mengenai Fawatih as-Suwar khususnya mengenai Fawatih al_hija'iyyah cukup beragam bentuknya, tergantung sudut pandang yang mereka pergunakan dalam memahaminya. Al-alusi memahami Fawatih as-Suwar dengan uruf-huruf hijaiyah (Fawatih al_hija'iyyah) dari sudut pandang linguistic (lughat, tata bahasa), baik dari segi nahwu (sintaksis) maupun dari segi fonologinya. div DWI PRIYANA - NIM.96532260 2013-02-08T13:39:39Z2013-02-08T13:42:28Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/5061This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/50612013-02-08T13:39:39ZHADIS AHAD MENURUT IBNU TAIMIYAH (TINJAUAN IMPLIKASI DAN KONSEKUENSI PEMIKIRAN)Ulama berbeda pendapat tentang status wurud hadis ahad. Sebagian ulama berpendapat hadis ahad sebagai zanni al wurud, sebagian yang lain berpendapat bahwa hadis ahad adalah qat'i al-wurud. Jumhur ulama berpendapat bahwa wajib beramal dengan hadis ahad dengan terpenuhinya syarat sahih dan hasan. Jumhur beragumentasi melalui ayat al Qur'an, atsar, dan ijma. Ibu Taimiyyah pun melakukan hal yang serupa. Namun konsekuensinya tentang tawatur dan mutawatir menimbulkan kontroversi tentang kedudukan hadis ahad, mursal dan munqat'I yang akhirnya memberi quot;peluang quot; kemungkinan menggunakan hadis daif.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui argument dan prinsip Ibnu Taimiyyah dalam menerima hadis sebagai sumber ajaran Islam. Menyimak dan memahami kehujjahan hadis ahad menurut Ibnu Taimiyyah. Mengenal lebih jauh tentang aplikasi dan oprasionalisasi hadis terhadap praktek keagamaan pada masa Ibnu Taimiyyah. Mengetahui imlikasi dan konsekuensi pemikiran Ibnu Taimiyyah terhadap hadis. Dalam penelitian ini digunakan metode library research dan bersifat deskripsif, eksploratif.
Kesimpulan penelitian ini adalah argument Ibnu Taimiyyah dalam menerima hadis Nabi SAW melalui argument epistemology, empiris, dan penalaran induktif. Syarat kehujjahan hadis ahad menurut Ibnu Taimiyyah adalah terpenuhannya syarat sahih dan ahad. Aplikasi dan operasionalisasi hadis ahad yang sahih meliputi semua aspek, mulai dari masalah aqidah sampai masalah kenegararaan. div ARIEF IMANULLAH - NIM. 94531704 2013-02-08T13:46:48Z2013-02-08T13:48:29Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/5062This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/50622013-02-08T13:46:48ZHADIS MENURUT PEMIKIRAN KASSIM AHMAD DAN G.H.A.JUYNBOLL (STUDI KOMPARATIF)Bagi orang Islam, hadis adalah sumber ajaran Islam disamping al Qur'an. Tanpa menggunakan hadis, syari'at Islam tidak dapat dimengerti secara utuh dan tidak dapat dilaksanakan. Untuk memahami al Qur'an, seringkali diperlukan tinjauan bagaimana kondisi masyarakat ketika ayat turun, bagaimana hubungan antara rentetan peristiwa dengan turunnya ayat tertentu. Diantara sarjana muslim yang menolak hadis adalah Kassim Ahmad yang mengaku dirinya seorang muslim dan mencintai agama Islam. G. H. A. Juynboll, seorang sarjana Barat dari Belanda juga skeptis terhadap keaslian hadis yang bersumber dari Nabi.
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pemikiran Kassim Ahmad dan G.H.A. Juynboll tentang hadis. Mengetahui akar-akar pemikiran Kassim Ahmad dan G.H.A. Juynboll tentang hadis. Mencari implikasi dari pemikiran Kassim Ahmad dan G.H.A. Juynboll tentang hadis. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah library research. Penelitian ini bersifat diskriptif analisis.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah Kassim Ahmad tidak konsisten pada jalan pemikirannya. Disatu sisi dia menolak hadis Nabi secara mutlak, sedang disisi lain dia menerima hadis yang selaras dengan al Qur'an pada batas-batas tertentu. Juynboll menyimpulkan bahwa hadis yang dikatakan otentik bersumber dari Nabi itu sangat sulit untuk dibuktikan kebenarannya dan hadis itu merupakan rekaman dari perkataan dan gambaran dari perilaku yang berasal dari Nabi Muhammad SAW. Latar belakang Kassim Ahmad mengkaji hadis adalah berawal dari tulisan Rashad Khalifa yaitu quot;The Computer Speaker quot;. Sedangkan Juynboll terinspirasi oleh kedua orang gurunya yaitu Iqnaz Goldziher dan Joseph Schacht dan mengembangkan teori common link. Hasil pemikiran Kassim Ahmad dan G.H.A. Juynboll tentang hadis telah memberi implikasi yang besar dalam dunia Islam terutama aqidah, syaria'at dan akhlak umat Islam. div BADRIAH BINTI HAJI AMAT - NIM. 96532309 2013-02-08T13:51:32Z2022-02-15T08:55:21Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/5066This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/50662013-02-08T13:51:32ZHADIS NABI TENTANG LUPA BAGI PENGHAFAL AL QUR'AN (STUDI MA'ANIL HADIS)Dalam menghafal al Qur'an, seseorang tidak melulu menghafalkannya saja, namun lebih dari itu ia dituntut untuk senantiasa menjaga hafalannya agar terhindar dari lupa, karena melupakan ayat amp;#8208;ayat al Qur'an yang telah dihafalkan dapat member dampak tersendiri bagi penghafalnya. Lupa dapat bersifat alamai maupun disengaja. Hadis Nabi Muhammad SAW quot;Sejelek-jelek diantar kalian adalah yang berkata bahwa saya lupa terhadap sebuah ayat. Sungguh, ia sebenarnya dilupakan dan ingatlah al Qur'an. Demi Zat yang diriku dalam tanggungan amp;#8208;NYA, itu merupakan suatu hal paling sulit mengikatnya dari pada unta yang diikat pada talinya quot;. Dilihat dari hadis tentang lupa bagi penghafal al Qur'an diperlukan penjelasan lebih lanjut dan interpretasi terhadap hadis yang lebih tepat untuk dapat memahami dan lebih jauh dapat mengamalkan pesanpesan dari sebuah hadis dengan tepat.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemaknaan/interpretasi para ulama mengenai hadis amp;#8208;hadis tentang lupa bagi penghafal al Qur'an; mengetahui relevansi pemaknaan hadis Nabi apabila dipahami dengan metode pemaknaan hadis. Penelitian ini merupakan library research dengan menggunakan analisis deskriktif. Langkah amp;#8208;langkah yang ditempuh adalah kritik historis, kritik eidetis, dan kritik praktis.
Hasil penelitian ini adalah pemaknaan/interpretasi para ulama terhadap hadis Nabi tentang lupa bagi penghafal al Qur'an masih terkesan tekstual. Pesan yang diambil dari hadis Nabi tersebut adalah adalah adanya perintah untuk menjaga hafalan ayat amp;#8208;ayat al Qur'an karena melupakannya adalah dosa. Relevansi hadis Nabi tentang lupa bagi penghafal al Qur'an apabila dipahami dengan metode pemaknaan hadis dalam realitas konkrit dalam kehidupan saat ini mengandung pesan bahwa pengucapan quot;saya lupa quot; tidak seharusnyalah dipahami secara tekstual dengan mengatakan hal itu adalah makruh. div IBANAH SUHROWARDIYAH SHIAM MUBAROKAH - NIM. 98532593 2013-02-08T14:02:35Z2018-03-02T03:27:19Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/5102This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/51022013-02-08T14:02:35ZHADIS HADIS TENTANG KEKURANGAN AKAL DAN AGAMA BAGI PEREMPUAN (STUDI KRITIK SANAD DAN MATAN DALAM KITAB SAHIH AL BUKHARI DAN SAHIH MUSLIM)Pemilihan tema Hadis-Hadis tentang kekurangan akal dan agama perempuan dalam kajian ini berdasarkan asumsi bahwa banyak hadis yang secara tekstual terkesan mendiskritkan perempuan. Padahal dalam Islam, Nabi Muhammad SAW dipandang sebagai teladan yang baik (uswah hasanah) bagi kaum muslimin. Hadis-hadis tentang perempuan memilki kekurangan akal dan agama ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Imam Muslim, an-Nasa'I, Abu Dawud, Ibnu Majah, at-Tirmidzi, dan Ahmad bin Hambal. Dalam penelitian ini hanya dibatasi pada Hadis-Hadis yang terdapat dalam kitab Sahih al Bukhari dan Sahih Muslim, karena kedua kitab itu paling banyak dijadikan rujukan oleh umat Islam dan dianggap paling sahih dan otoritatif setelah al Qur'an. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas hadis-hadis tentang kekurangan akal dan agama perempuan; mengetahui bagaimana penafsiran dan pemahaman para ulama tradisional dan para feminis muslim terhadap hadis-hadis tersebut; mengetahui bagaimana posisi hadis tersebut diantara teks-teks al Qur'an dan hadis-hadis lain. Jenis riset yang digunakan dalam penelitian ini adalah sepenuhnya riset perpustakaan. Metode analisa data yang digunakan adalah metode deskripsi analistis, metode takhrij al-hadis, metode hermeneutik.
Hasil dari penelitian ini adalah dari segi sanad, kualitas hadis-hadis tentang kekurangan akal dan agama perempuan adalah sahih. Matan hadis tentang kekurangan akal dan agama perempuan ini menimbulkan berbagai penafsiran baik dari kalangan ulama tradisional maupun para feminis muslim. Keberadaan hadis ini jika dihadapkan dengan hadis-hadis dan ayat-ayat al Qur'an nampaknya memerlukan interpretasi ulang. div KHARIROH - NIM. 965322612013-02-08T14:06:20Z2013-02-08T14:09:07Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/4688This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/46882013-02-08T14:06:20ZHADIS-HADIS TENTANG LARANGAN MEMBACA AL-FATIHAH BAGI MAKMUM KETIKA IMAM MEMBACA SECARA JAHR (NYARING) DALAM SALAT BERJAMA'AH (studi kritik Sanad dan Matan)Diskursus mengenai kritik otentisitas hadis senantiasa menjadi obyek yang menarik di kalangan para peneliti hadis, baik dari kalangan muslim sendiri maupun orientalis, phenomena tersebut merupakan konsekuensi logis dari efek kenyataan sejarah bahwa tidaklah seluruh hadis tertulis pada zaman nabi SAW. Demikian juga dengan pemahaman hadis-hadis tentang salat, pada kenyataannya terdapat banyak perbedaan dalam praktek salat sehari-hari dari adanya perbedaan pemahaman teks-teks hadis yang beredar di masyarakat, di antaranya adanya perbedaan tentang di baca tidaknya surat al Fatihah bagi makmum yang mendengar imam membaca al Fatehah dengan nyaring (jahr) di dalam salat berjamaah.
Perbedaan pemahaman mengenai pembacan al Fatihah ini terbagi ke dalam tiga pemahaman yang berbeda, yaitu pemahaman jumhur ulama, pemahaman jumhur Syafi'iyah dan sebagian Zahiriyah, dan pemahaman dari Hanafiyah. Dengan adanya perbedaan pemahaman tersebut menarik untuk dikaji secara mendalam untuk melihat sejauh mana tingkat otentisitas dan validitas dari masing-masing acuan hadis yang dipergunakan, dalam hal ini penulis hanya membatasi periwayatan hadis yang berkenaan dengan hadis-hadis yang melarang makmum membaca al Fatehah di belakang imam yang jahr) dalam salat berjamaah.
Kajian ini dapat disimpulkan bahwa hadis tentang larangan membaca bagi makmun ketika imam membaca secara jahr (nyaring)dilatar belakangi kejadian sewaktu sahabat membaca di belakang Nabi dimana saat itu nabi membaca secara jahr, dan ketika itu nabi merasa sangat terganggu ketika membaca surah dan langsung menegur sahabat yang melakukannya. Dan hadis-hadis yang penulis teliti ini mempunyai nilai kehujjahan yang tinggi karena hadis ini memiliki kualitas sahih, baik sanad maupun matannya. HARIS FAUZI - NIM. 94531718 2013-02-08T14:12:00Z2018-12-17T05:55:49Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/5058This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/50582013-02-08T14:12:00ZHADIS HADIS MUSYKIL TENTANG MENYERBUK POHON KURMA (STUDI KRITIK SANAD DAN MATAN HADIS RIWAYAT MUSLIM)Hadis-hadis tentang menyerbuk pohon Kurma adalah satu dari sekian potret musykil yang berkaitan dengan akidah, rasio dan ilmu pengetahuan yang memerlukan keterangan lebih lanjut. Penjelasannya adalah bahwa menurut al Qur'an, Nabi Muhammad SAW selain dinyatakan sebagai Rasulullah SAW, juga dinyatakan sebagai manusia. Dalam sejarah Nabi Muhammad SAW berperan dalam banyak fungsi, antara laian sebagai Rasulullah SAW, kepala Negara, pemimpin masyarakat, panglima perang, hakim dan pribadi. Ketika berinteraksi denga umatnya sering Rasulullah SAW sering membawa misi wahyu dari Allah SWT, namun pada saat lain terkadang juga muncul sifat-sifat kemanusiaan nabi.
Penelitian ini bertujaun untuk mengetahui nilai validitas hadis musykil riwayat Muslim tentang menyerbuk pohon kurma, sehingga dapat mengambil sikap terhadap kehujjah-an hadis tersebut; mengetahui berbagai macam pendapat para ahli hadis terhadap tiga hadis musykil tentang menyerbuk pohon kurma. Mengetahui berbagai macam teori-teori biologi berkenaan penyerbukan tanaman. Metode dan pendekatan yang di dalam penelitian ini adalah metode takhrij al hadis, pendekatan kritis hadis.
Kesimpulan penelitian ini adalah hadis musykil tentang menyerbuk pohon kurma yang diriwayatkan oleh Imam Muslim adalah shahih baik dari segi sanad dan matan. Sedangkan kebanyakan para ahli hadis menerima ke-hujjah-an hadis musykil tentang menyerbuk pohon kurma. Sedangkan ditinjau dari sgi ilmiah, dalam teori ilmu Botani bahwa pohon kurma adalah pohon yang tidak dapat menghasilkan produksi buah yang lebat tanpa menggunakan system penyerbukan (perkawinan) silang. Metode penjelasan dari hadis-hadis musykil tidak hanya terfokus kepada pemahaman secara tekstual (tersurat) saja, akan tetapi lebih jauh dibutuhkan pemahaman secara kontekstual (tersirat). div AKHMAD ZAMRONI - NIM. 94531805 2013-02-08T14:15:50Z2022-05-25T07:24:02Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/5064This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/50642013-02-08T14:15:50ZHADIS HADIS RIWAYAT FATIMAH AZ ZAHRA DALAM MUSNAD FATIMAH AZ ZAHRAPeranan para sahabiah cukup penting dalam periwayatan hadis, salah satu wanita periwayat hadis yang diakui keilmuan dan kejujurannya oleh Rasulullah SAW adalah Fatimah az-Zahra'. Fatimah az_Zahra' merupakan anak kesayangan dari Muhammad Rasulullah SAW. Banyak hadis yang diriwayatkan oleh para sahabat Nabi yang menunjukkan betapa besar kecintaan dan kasih saying beliau kepada Fatimah az-Zahra', dan Fatimah pun telah meriwayatkan hadis-hadis yang tidak diriwayatkan perawi lain karena kedekatannya dengan Rasulullah SAW.
Penelitian ini bertujuan untuk meneliti kuantitas hadis yang diriwayatkan oleh Fatimah az-Zahra', untuk mengetahui tema-tema yang terkandung dalam hadis yang diriwayatkan oleh Fatimah az-Zahra. Penelitian ini merupakan library research. Dalam menganalisa data penelitian ini menggunakan metode deskriptif dan analisis.
Hasil penelitian ini adalah Fatimah az-Zahra telah meriwayatkan 30 hadis dari jalur sanad yang berbeda yang terdapat dalam berbagai literatur. Berdasarkan pengklasifikasian kandungan hadis yang diriwayatkan Fatimah az-Zahra', didapati 7 tema hadis yang termuat dalam 17 sub tema yang berbeda. Kitab Musnab Fatimah az-Zahra' tidak hanya memuat hadis-hadis yang berhubungan dengannya. Bahkan dalam kitab ini memuat juga perkataan Fatimah dengan para sahabat. div NIM.: 95531890 FATAHILLAH ABRAR2013-02-08T14:19:46Z2013-02-08T14:21:05Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/5111This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/51112013-02-08T14:19:46ZHADIS HADIS TENTANG AZL DALAM KUTUB AL SITTAH (STUDI MA'ANIL HADIS)'Azl merupakan salah satu cara untuk mencegah kehamilan yang saat itu diperbolehkan Rasulullah. Kemudian yang menjadi pemikiran selanjutnya adalah apakah diperbolehkannya 'Azl itu hanya pada waktu dan kondisi masyarakat waktu itu yang belum mengetahui metode lain, atau 'Azl mempunyai makna dan hikmah tersendiri sehingga Rasulullah membolehkannya. Apakah diperbolehkannya hanya khusus bagi orang-orang tertentu yang takut mempunyai keturunan banyak.
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan petunjuk Rasul tentang 'Azl dalam hadis Kutub al-Sittah; menganalisis hadis-hadis yang berkaitan dengan 'Azl dan alat-alat kontrasepsi. Penelitian ini adalah penelitian pustaka yang bersifat deskriptifanalitis.
Kesimpulan penelitian ini adalah petunjuk tentang pelaksanaan 'Azl, secara tersirat telah diajarkan, dan dijelaskan dalam banyak riwayat hadis. Dalam detailnya banyak terjadi perbedaan di kalangan ulama dalam menginterpretasikan. 'Azl sebagai metode kontrasepsi alami diketahui bebas dari unsur-unsur kimiawi dan mekanis, 'Azl juga diketahui tidak mempunyai akibat-akibat biologis (negative) bagi kaum pria maupun wanita. div MAS'UD - NIM. 965321972013-02-08T14:41:32Z2013-02-08T14:43:58Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/4997This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/49972013-02-08T14:41:32ZHADIS HADIS TENTANG BACAAN DUDUK DI ANTARA DUA SUJUD DALAM SALAT (STUDI KRITIK SANAD DAN MATAN HADIS DALAM RIWAYAT ABU DAWUD)Apabila dicermati pelaksanaan salat kita sering mengabaikan tata cara yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW., misalnya doa duduk di antara dua sujud, di mana doa tersebut sangat lazim dilakukan oleh masyarakat khususnya di kalangan pesantren, maka akan kita dapati adanya perbedaan dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW., melalui beberapa hadisnya. Problem dalam hadis tersebut perlu diselesaikan demi menghindari bid'ah dalam melaksanakan ibadah.
Tema atau isi dari riwayat-riwayat tersebut adalah penjelasan mengenai tata cara ibadh (bacaan-bacaan doa duduk di antara dua sujud) yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Sebagaimana diketahui bersama bahwa ibadah harus hanya sesuai dengan contoh yang diajarkan oleh Rasulullah SAW., maka untuk menuju kearah itu tentunya dibutuhkan sebuah penelitian secara khusus terhadap riwayat tersebut, sehingga dapat dikemukakan kejelasan mengenai nilai dan kehujjannya.
Penilaian tersebut adalah penelitian sanad dan matan hadis dengan menggunakan kaedah kesahihan hadis yang dikemukakan oleh para ulama sebagai acuan. Sebagai proses pencarian mengenai keberadaan hadis-hadis, penulis menggunakan metode takhrijul hadis. Untuk meneliti biografi para periwayat menggunakan kitab-kitab rijal al hadis. Dari beberapa riwayat mengenai bacaan duduk di antara dua sujud, penulis memilih Abu Dawud saja dan di pandang mewakili riwayat-riwayat yang lain.
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kedua hadis yaitu melalui jalur Ibn Abbas dan Huzaifah tersebut hasan dan daif sanadnya dan sahih kedua matannya. Dengan demikian hanya riwayat Ibn Abbas saja yang dapat dijadikan hujjah dan diamalkan. Dan diketahui perbedaan antara hadis dengan doa yang diamalkan oleh masyarakat yaitu tambahan kalimat wa'fu 'anni yang berasal dari ulama terdahulu yang diambil (dikutip) dari kitab atau karyanya oleh masyarakat tanpa merujuk pada hadis Nabi SAW. div ALI MASHURI - NIM. 94531687 2013-02-08T14:47:00Z2013-02-08T14:48:01Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/4856This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/48562013-02-08T14:47:00ZHADIS-HADIS TENTANG HADD PEMINUM KHAMR BERULANG-ULANG DALAM SUNAN ABU DAWUD (STUDI KRITIK SANAD DAN MATAN)Memahami sebuah hadis walaupun hadis itu bernilai sahih, namun hanya didasarkan pada satu hadis tersebut bisa menyesatkan. Sebuah hadis disebut bernilai sahih karena sejalan dengan hadis-hadis sahih yang lain yang satu sama laqin adalah merupakan kesatuan integral yang tidak bisa dipisahkan. Adakalanya sebuah hadis sulit untuk dipahami secara tekstual (zahiriyyah), namun tidak berarti bahwa kemudian dikatakan bahwa matan hadis itu da'if atau sebaliknya dengan menerima begitu saja hadis tersebut hadis tersebut secara zahiriyyah walaupun itu sulit diterima. Dengan hanya berpegang kepada pengertian zahiriyyah suatu sunnah (hadis) terkadang justru tidak menereapkan jiwa sunnah itu sendiri ataupun maksud yang sebenarnya, meskipun secara lahiriyyah nampaknya berpegang padanya.
Dalam skripsi ini penulis mengangkat tema hadis-hadis tentang hadd peminum khamr yang berulang-ulang. Karena hadis tersebut adalah tentang hadd tentunya berhubungan dengan masalah jinayat (pidana), yang kalau kita tidak berhati-hati bahkan gegabah dalam memahami hadis tersebut dan mengeluarkan hujjah, akan berimplikasi terhadap nasib bahkan mungkin nyawa manusia. Dalam hadis yang penulis teliti ini secara zahiriyyah sulit untuk dipahami, matan hadis itu menyebutkan bahwa barang siapa minum khamr keempat kali maka bunullah. Untuk memahami makna hadas tersebut , maka langkah pertama dengan meneliti sanad yang memuat sanad yang memuat hadis-hadis tersebut dari kitab hadis yang nilai kesahihannya tertinggi, dalam hal ini ialah kitab Sunan Abu Dawud, langkah kedua adalah meneliti matan dengan dukungan hadis-hadis lain serta pendapat para ulama tentang hadis tersebut. Kemudian penulis mengambil natijah berdasarkan hadis-hadis lain yang menguatkan serta pendapat-pendapat para ulama yang penulis nilai paling argumentative serta dihubungkan dengan konteks keadaan masa sekarang.
Dari berbagai data yang penulis peroleh mengambil natijah bahwa hadd peminum khamr berulang-ulang layaj untuk dibunuh karena sangat relevan dengan kondisi sekarang. Natijah tentang nilai dan kehujjahan dalam hadis ini tentunya tidak bersifat mutlak dan masih sangat perlu untuk diteliti kembali, karena natijah tersebut semata-mata hanyalah pendapat penulis secara pribadi. ZAENAL AHMAD - NIM.94531597 2013-02-08T14:50:59Z2013-02-08T14:52:14Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/5055This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/50552013-02-08T14:50:59ZHADIS HADIS TENTANG ISTIAZAH DARI IBLIS DALAM SALAT (STUDI KRITIK SANAD DAN MATAN HADIS)Untuk mengetahui kualitas suatu hadis dan mendapatkan pemahaman terhadap teks-teks hadis, kritik hadis adalah sebuah kebutuhan primer. Salah satu materi hadis mengisyaratkan tentang peristiwa istiazah yang dilakukan Rasulullah dalam salat. Hadis ini menarik, karena berdasarkan asumsi-asumsi awal, hadis ini mengandung kejanggalan-kejanggalan. Mengapa Rasul yang notabene sebagai uswatun hasanah melakukannya. Kalaupun saat itu beliau dianggap sebagai manusia biasa, mengapa beliau lakukan dihadapan sahabat? Mungkinkah ada hal-hal atau pelajaran yang terkandung didalamnya? Sebelum memvonis hadis ini, perlu kita renungkan bahwa dalam memahami suatu hadis sangat dibutuhkan pendekatan-pendekatan yang sesuai, sehingga kebenaran dan maksud dari hadis tersebut menjadi transparan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk ini adalah untuk mengetahui kualitas sanad dan matan hadis serta relasi antara peristiwa istiazah dari iblis dalam salat dengan kedudukan Rasulullah sebagai Uswatu Hasanah. Jenis penelitian in adalah studi pustaka. Pengumpulan data dilakukan dengan metode literer. Analisis yang digunakan metode deskripsi.
Hasil penelitian ini adalah kualitas sanad-sanad hadis tersebut sahih. Diriwayatkan sebagian besar oleh Bukhari dan Muslim.Dari tolak ukur penelitian matan, hadis ini ditetapkan memiliki matan yang sahih. Peristiwa istiazah adalah bukan merupakan hal yang janggal, karena Nabi mempunyai kemampuan demikian. Hal itu tidak membatalkan salat, karena Nabi ingin menyampaikan pelajaran tentang tata caramenghadapi godaan setan dalam beribadah. div AHMAD SANTOSO NIM 965321962013-02-08T14:54:27Z2018-03-02T04:28:33Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/4803This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/48032013-02-08T14:54:27ZHADIS-HADIS TENTANG KETAATAN ISTRI TERHADAP SUAMI (STUDI KRITIK SANAD DAN MATAN)Kajian skripsi ii adalah studi kritis atas hadis Nabi. Studi ini dipegunakan untuk mengetahui nilai akurasi suatu hadis, baik di lihat dari sanad (rangkaian perawi)maupun dari matan (teks hadis). Dalam hal ini yang menjadi objek penelitian penulis adalah hadis-hadis tentang ketaatan istri terhadap suami yang terdapat dalam Sahih Bukhari.
Pemilihan tema hadis-hadis tentang ketaatan istri terhadap suami berdasarkan asumsi bahwa banyak hadis yang secara tekstual terkesan mendeskritkan perempuan dengan mewajibkannya patuh secara total kepada apa saja yang diinginkan oleh suaminya tanpa memperhatikan aspek kedirian perempuan. Padahal Nabi sebagai uswatun hasanah tidak mungkin memberikan wewenang kepada umatnya untuk tidak berbuat tidak adil, lebih-lebih ketidakadilan suami terhadap istrinya yang telah menyatu dengan melalui institusi perkawinan. Dalam penelitian ini ada tiga hadis yang diteliti yakni hadis tentang larangan bagi istri berpuasa sunat tanpa seizin suaminya, hadis tentang larangan menolak keinginan suami dalam hubungan seksual dan hadis tentang tanggungjawab istri di rumah serta pengasuhan anak-anaknya.
Kerangka kerja yang dipakai oleh penulis untuk meneliti hadis-hadis tersebut adalah penelitian sanad dan matan hadis dengan menggunakan kaidah ke-sahih-an hadis yang dikemukakan oleh para ulama sebagai acuan. Sebagai proses pencaharian mengenai keberadaan hadis-hadis penulis menggunakan metode bi al-lafz dan metode bi al-Maudu'. Untuk meneliti biografi para periwayat, penulis menggunekan kitabkitab rijal al-hadis, serta untuk membantu proses analisa digunakan kitab-kitab ulum al-hadis. Setelah diadakan penelitian terhadap riwayat al-Bukhari, dari segi sanad, hadis-hadis tersebut berkualitas sahih.Pada dasarnya hadis-hadis tersebut mempunyai periwayatan secara makna (riwayah bil makna), namun perbedaan tersebut tidak menyebabkan perbedaan maknanya. Untuk matan hadis nampaknya memerlukan penelitian lebih jauh dengan mempertimbangkan latar belakang kemunculan hadis, aspek psikologis, dan aspek sosial. Materi hadis-hadis dalam penelitian ini setelah dipahami secara kontekstual dapat memberikan pemahaman. Hadis tentang larangan istri berpuasa sunah tanpa seizin suaminya nampaknya dapat dipahami dengan memperhatikan latar belakang diucapkannya hadis tersebut oleh Nabi. Kemudian hadis tentang larangan bagi istri menolak ajakan suami dalam hubungan biologis dapat dipahami dengan adanya pertimbangan aspek psikologi dimana laki-laki tidak dapat mengendalikan nafsu seksualnya. Hadis yang menekankan tanggungjawab istri di rumah serta pengasuhan anak-anak tidaklah bersifat diskriminasi terhadap perempuan karena pihak ibulah yang berkompeten dibandingkan suami. Dari ketiga hadis tersebut di atas berkualitas sahih baik sanad maupun matan, dengan demikian dapat dijadikan hujjah. JAMILAH - NIM.965322022013-02-08T14:58:14Z2022-05-25T06:18:39Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/5068This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/50682013-02-08T14:58:14ZHADIS HADIS TENTANG LARANGAN MENJULURKAN PAKAIAN SAMPAI MELEBIHI MATA KAKI (KAJIAN MA'ANI AL HADIS)Pemaknaan atau pemahaman hadis merupakan problematika tersendiri dalam diskurus hadis. Pemaknaan hadis ditentukan terhadap hadis yang telah jelas validitasnya, minimal hadis-hadis yang dikategorikan hasan. Sebagai contoh bagaimana memahami hadis secara lebih tepat tentang hadis ancaman menjulurkan/mengenakan pakaian sampai melebihi mata kaki, pelakunya diancam masuk neraka. Kalau dipahami secara sekilas dapat dipahami bahwa orang yang menjulurkan pakaiannya sampai melebihi mata kaki tanpa ada motif apapun akan masuk neraka.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna dan maksud dari al Izar dalam hadis tersebut; mengungkap makna-makna hadis sebagai petunjuk Nabi Muhammad SAW kepada umatnya agar relevan dengan hadis itu sendiri maupun keadaan sekarang. Penelitian ini merupakan library research. Dalam penyajian data digunakan metode deskriptif-analitik. Metode pemaknaan hadis dalam penelitian ini menggunakan metodologi kritik histori dan kritik eidetis.
Hasil penelitian ini adalah yang dimaksud lafaz izar dalam hadis-hadis tentang larangan menjulurkan pakaian (izar) sampai melebihi mata kaki adalah lafaz yang mempunyai arti mengelilingi. Sementara Imam Nawawi dalam kitab fath al-Bari juga menjelaskan, alasan pelarangan pakaian di bawah mata kaki digunakan untuk menunjukkan pakaian yang biasa dipamerkan. Untuk memahami hadis lebih mendalam diperlukan pemahaman secara tematik, konstektual, dan ditinjau dari berbagai aspek (aspek histories, sosiologis, sosio histories, antropologis) div NIM.: 97532400 JAWAHIRUL BUKHORI2013-02-08T15:01:46Z2019-02-21T03:22:47Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/4998This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/49982013-02-08T15:01:46ZHADIS HADIS TENTANG PENGARUH DOA TERHADAP TAKDIR ALLOH DALAM KITAB AL JAMI AS SAHIH SUNSN AT TIRMIZI (STUDI ANALISIS PEMAKNAAN HADIS)Dalam memahami kandungan petunjuk hadis yang tampak bertentangan, maka tidak hanya diperlukan matan saja, tetapi juga sanad. Dalam diskursus hadis,pemaknaan hadis merupakan problematika tersendiri. Untuk pemaknaan hadis hanya bisa dilakukan terhadap hadis yang sudah jelas validitasnya, minimal hadis tersebut dikategorikan sebagai hadis hasan. Diharapkan dari pemaknaan kandungan hadis tersebut, muncul bukti-bukti yang jelas bahwa dalam berbagai hadis Nabi SAW, terkandung ajaran Islam yang bersifat universal, temporal, atau lokal. Dengan demikian pemaknaan hadis menjadi kebutuhan yang mendesak, karena banyak wacana-wacana keislaman yang hadir di tengah-tengah masyarakat yang mengambil hadis sebagai literaturnya. Doa dipandang dapat mempengaruhi takdir Allah, sedang segala usaha manusia tampak tidak berguna sama sekali. Hal ini menimbulkan adanya pengingkaran kaum muslimin terhadap ikhtiar atau usaha manusia dan mereka cenderung mengikuti faham jabr (fatalisme).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh doa terhadap ketentuan Allah dalam kitab al-Jami' as-Sahih Sunan at-Tirmizi; mengetahui pemaknaan atau interpretasi para ulama terhadap hadis tentang pengaruh doa terhadap takdir Allah serta aplikasi dari metodologi pemaknaan hadis. Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah kepustakaan (library research). Analisa data yang digunakan adalah metode takhrij.
Hasil penelitian ini adalah kualitas hadis tersebut oleh banyak ulama hadis dinilai sebagai hadis hasan. Sehingga hadis tentang pengaruh doa terhadap takdir Allah bisa dijadikan pegangan atau hujjah dalam studi analisis pemaknaan hadis, karena memenuhi syarat didalamnya. Hadis tentang pengaruh doa terhadap takdir Allah, memberikan interpretasi yang berbeda. Sebagian ulama memaknai hadis secara tekstual dan sebagian lagi memaknai secara kontekstual. div ACHMAD SALMAN HADI - NIM. 94531626 2013-02-08T15:05:37Z2013-02-08T15:06:41Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/5060This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/50602013-02-08T15:05:37ZHADIS HADIS PERSELISIHAN ANTARA MALAIKAT RAHMAT DAN MALAIKAT 'AZAB (STUDI KRITIK SANAD DAN MATAN)Hadis tentang perselesihan malaikat Rahmat dan malaikat 'Azab, belum ada penjelasan tentang timbulnya perselisihan antara malaikat tersebut sehingga menimbulkan suatu pertanyaan dalam benak seseorang. Apakah malaikat bisa berselisih seperti manusia?. Persoalan tersebut sekilas bertentangan dengan penjelasan yang terdapat dalam al Qur'an dan buku-buku lain yang menjelaskan tentang malaikat. Persoalan tersebut sekilas bisa mempengaruhi dan menimbulkan keragu-raguan tentang iman seseorang terhadap malaikat, karena adanya perbuatan yang tidak sepantasnya dilakukan oleh malaikat yaitu terjadinya perselisihan antara dua malaikat tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai validitas sanad dan matan hadis tentang perselisihan antara malaikat Rahmat dan malaikat 'Azab yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim. Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif,histories,dan komparatif.
Hasil penelitian ini adalah validitas hadis-hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim tentang perselisihan antara malaikat Rahmat dan malaikat 'Azab mempunyai kualitas sahih al-sanad. Validitas hadis-hadis tentang perselisihan malaikat Rahmat dan malaikat 'Azab yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim mempunyai kualitas sahih dari segi matan. div ARIEF RACHMAN EFENDY - NIM.94531639 2013-02-08T15:09:03Z2013-02-08T15:10:18Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/5059This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/50592013-02-08T15:09:03ZHADIS HADIS TENTANG SYURA (SEBUAH KAJIAN HERMENEUTIK TERHADAP TEKS HADIS)Para ahli hukum pada umumnya berpegang bahwa syura berlaku baik pada masalah agama maupun permasalahan dunia, jika tidak ditemukan perintah yang jelas dalam al Qur'an dan as-Sunnah. Berbagai permasalahan yang dibahas para ulama mengenai musyawarah mencakup tiga hal: yang dikenai musyawarah, apa saja musyawarah yang dilaksanakan, dan dengan siapa sebaiknya musyawarah dilakukan. Adapun hadis-hadis yang akan dijadikan penelitian melalui kajian hermeneutic adalah hadis-hadis syura yang memiliki redaksi yang berhubungan dengan persoalan pemimpin.
Tujuan penelitian ini adalah mencari makna pada teks-teks hadis syura, sehingga dapat diketahui pengertian syura dalam perspektif hadis. Disamping itu berupaya untuk mengetahui perbedaan secara prinsipil antara konsep syura dan demokrasi. Penelitian ini merupakan penelitian pustaka. Pengolahan data menggunakan metode deskripsi.
Hasil penelitian ini adalah pemaknaan kontekstual dari hadis-hadis syura tentang suseksi pemimpin, yakni adanya kebebasan dalam menentukan cara-cara atau prosedur-prosedur pengangkatan pemimpin sesuai dengan kondisi dan situasi yang melingkupinya, tetapi harus sejalan dengan prinsip-prinsip dasar syura. Syura bukanlah demokrasi dan secara prinsipil keduanya saling berbeda. div AMIN MUSTOLIH - NIM. 945316212013-02-08T15:12:38Z2022-01-31T06:19:57Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/4780This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/47802013-02-08T15:12:38ZHADIS HADIS TENTANG TERHALANGNYA RAHMAT ALLOH SWT PADA RUMAH YANG DIDALAMNYA TERDAPAT GAMBAR ATAU PATUNG (KAJIAN MA'ANI AL HADIS)
Islam adalah agama yang mengkampanyekan konsep anti berhala dan menyatakan perang terhadap penyembahan berhala. Oleh karena itu syariat Islam mengharamkan keberadaan gambar atau patung yang merupakan jembatan pembuka penyembahan terhadap berhala. Didalam sunnah nabi pun ditemukan sejumlah celaan terhadap keberadaan lukisan atau patung beserta pelukis atau pemahatnya. Rasulullah SAW.juga menganjurkan kepada kita untuk menjauhi lukisan atau patung. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Islam mengharamkan lukisan atau patung tersebut melalui pengharaman yang qat'i (tegas). Inilah yang terjadi pada zaman Rasulullah SAW.dahulu yang masyarakatnya masih dikhawatirkan akan terjerumus ke dalam kemusyrikan dengan adanya lukisan atau patung tersebut.
Permasalahannya sekarang apakah hadis-hadis tersebut masih relevan pada masyarakat sekarang ini, yang masyarakatnya tidak lagi menyembah, mengagung-agungkan atau untuk menyerupai Allah SWT. lukisan atau patung tersebut.
Dalam skripsi ini akan mengkaji hadis-hadis tentang terhalangnya rahmat Allah SWT. pada rumah yang didalamnya terdapat lukisan atau patung dan relevansinya hadis-hadis tersebut. Penelitian ini bersifat penelitian perpustakaan (library research) dengan menggunakan metode analisis deskriptif. Dengan menggunakan kajian ma'ani al hadis ini, maka hadis-hadis tentang terhalangnya rahmat Allah SWT. pada rumah yang di dalamnya terdapat lukisan atau patung, jika diterapkan pada kondisi saat ini yang masyarakatnya sudah tidak lagi menyembah, mengagung-agungkan maupun untuk menyerupai ciptaan Allah SWT.,maka hadis tersebut sudah tidak relevan lagi kecuali dalam masyarakat lain yang masih menyembah, mengagung-agungkan maupun menyerupai ciptaan Allah SWR. Gambar atau patung tersebut. Untuk kondisi sekarang yang masyarakatnya banyak menyalahgunakan lukisan atau patung tersebut dengan banyak beredarnya foto-foto yang berbau pornografi,maka hadis tersebut dapat juga diaplikasikan, agar masyarakat terhindar dari dosa-dosa tersebut yang hal ini banyak menimbulkan keresahan masyarakat dan kerusakan moral. AINUR ROFI'AH - NIM. 98532787 2013-02-11T10:00:06Z2013-02-11T10:01:56Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/4783This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/47832013-02-11T10:00:06ZHERMENEUTIKA ALQURAN TENTANG PLURALISME AGAMALahirnya gagasan hermeneutika al Qur'an tentang pluralisme agama yang ditawarkan Farid Esack tidak bisa dilepaskan dari adanya beberapa factor, carut marutnya kondisi social politik Afrika Selatan, makin urutnya peran agama sebagai elemen organic pembebasan dalam konteks kehidupan umat beragama dan adanya gejala stagnasi wacana pemikiran Islam. Dalam konteks ini gagasan pluralism Farid esack merupakan respon kritis terhadap kondisi makro Afrika Selatan yang tengah menghadapi berbagai persoalan soial,politik,ekonomi, budaya dan agama.
Dalam konteks penindasan Afrika Selatan, kehadiran wacana hermeneutika al Qur'an tentang pluralisme agama selain memilik pengaruh dalam kancah pemikiran Islam Afrika Selatan juga mempunyai peran yang sangat signifikan dalam konteks kehidupan social dan politik. Gagasan pluralism Esack dapa dilihat dari dua sisi, pertama : sebagai bentuk kritik atas nalar keagamaan umat Islam, khususnya yang cenderung stagnan, komunal, eksklusif dan khauvinistik. Kedua : sebagai alat ideologis berbentuk model praksis penafsiran untuk merangkul kaum tertindas dari segenap lapisan dan golongan yang tujuan utamanya adalah untuk menentang segala bentuk penindasan yang diterapkan apartheid dalam bidang social, politik dan ekonomi.
Pada akhirnya upaya untuk menjembatani antara persoalan teologis dan praksis politik mengantarkan Faris Esack untuk memilih konteks Afrika Selatan (empiris) sebagai pijakan utama dalam melakukan pembacaan hermeneutis tentang pluralisme agama ini, yakni dengan lebih mengedepankan aspek humanitas dan keadilan di atas argument-argumen lainnya. HADIANSYAH YUDISTIRA - NIM. 985327962013-02-11T11:55:27Z2013-02-11T11:56:47Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/5065This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/50652013-02-11T11:55:27ZHUKUMAN MATI BAGI ORANG MURTAD (STUDI SANAD DAN MATAN HADIS HADIS RIWAYAT AN NASA'I)Semua hadis yang membicarakan tentang orang murtad, hukumannya adalah mati. Berdasarkan hadis ini, ulama fikih klasik (empat imam mazhab) berpendapat bahwa hukuman yang pantas diberikan kepada orang murtad adalah pidana mati, yang sebelumnya telah diminta taubat untuk kembali kepada agama Islam selama tiga hari (jumhur ulama). Kesepakatan ini tidak disepakati oleh para pemikir Islam belakangan, seperti Mahmud Syaltut dan Abdullah Ahmed ab-Na'im. Menurut keduanya, hukuman mati bertentangan itu bertentangan dengan sejumlah ayat al Qur'an yang menghargai hak asasi manusia dalam beragama. Lagi pula al Qur'an hanya menyebutkan bahwa orang murtad hukumannya adalah hilangnya semua amal baiknya di dunia dan di akhirat menjadi penghuni neraka.
Penelitian ini bertujuan untuk meneliti kualitas hadis tentang hukuman mati bagi orang murtad ditinjau dari sanad dan matan dalam upaya mendapatkan validitas dan kehujahan dari hadis yang bersangkutan; menjelaskan lebih lanjut korelasi pemahaman hadis tersebut dengan nilai-nilai ajaran dalam al Qu'an. Penelitian ini merupakan peneitian dengan pendekatan deskriptif analitis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga hadis yang diteliti baik yang melalui jalur sahabat Ibn 'Abbas, 'Abd Allah ibn Mas'ud dan 'aisyah, yang diriwayatkan oleh an-Nasa'I, ditinjau dari segi sanad dan matan adalah sahih. Hadis tersebut tidak serta merta dapat diberlakukan kepada setiap orang murtad. Akan tetapi perlu melihat ringan dan beratnya akibat dari riddah seorang terhadap agama Islam dan kaum muslim. div HAKAM ZAMZANI RUM - NIM. 95531959 2013-02-11T15:08:06Z2013-02-11T15:09:16Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/5101This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/51012013-02-11T15:08:06ZIBNU ABAS DAN PERANANNYA DALAM PERIWAYATAN HADIS: KRITIK PARA ULAMA DAN ORIENTALIS Ibnu 'Abbas, adalah seorang sahabat yang mempunyai peranan yang cukup besar dalam periwayatan hadis dan mempunyai kecerdasan akal, ketinggian ilmu, serta keluhuran budi. Begitu strategisnya posisi Ibnu 'abbas dalam periwayatan hadis, sehingga hal itu menarik bagi sementara orang untuk dipertanyakan kembali posisi tersebut dengan cara melontarkan beberapa kritik kepadanya.
Adapun masalah yang diteliti ialah peranan Ibnu 'Abbas dalam periwayatan hadis dan kritik para tokoh ulama hadis dan orientalis terhadap Ibnu 'Abbas. Metode yang dipakai ialah deskriptif analisis. Pendekatan yang dipakai adalah Ulum al-Hadis yaitu suatu pendekatan yang digunakan dalam ilmu tahamul wa al-Hadis, tarikh arruwah dan jarh wa at-ta'dil.
Adapun hasil dari penelitian ini ialah peran Ibnu 'Abbas dalam periwayatan hadis cukup besar, antara lain : mencari dan menanyakan hadis kepada para sahabat maupun tabi'in, kemudian dikembangkannya dengan penuh keihklasan, menyemarakkan aktivitas ilmiah dan pembuktian hadis. Meriwayatkan hadis sebanyak 1660 hadis dan membendung pemalsuan hadis. Banyak ulama memuji Ibnu 'Abbas, sedangkan kaum orientalis justru menjelek-jelekkan bahwa Ibnu 'Abbas adalah pembohong (tidak bisa dipercaya), dan hadis-hadis yang diriwayatkan kepadanya telah banyak dipalsukan. div KHAMIDAH - NIM. 94531598 2013-02-14T09:07:30Z2013-02-14T09:08:49Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/4797This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/47972013-02-14T09:07:30ZISRA'ILIYAT MENURUT AL BAGHAWI (STUDI ATAS KITAB MA'ALIM AL TANZIL)Isra'iliyat merupakan diskursus tersendiri dalam ilmu tafsir, yang pembahasannya dalam tafsir masih menjadi polemic. Di kalangan ulama pembahasan
tentang isra'iliyat ini masih diperdebatkan keberadaanya dalam penafsiran al Qur'an.Ada ulama yang membolehkannya dan ada yang mengecamnya.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pemikiran al Baghawi terhadap isra'iliyat, disamping itu untuk menjelaskan latar belakang beliau memasukkan isra'iliyat dalam tafsirnya dan menjelaskan corak isra'iliyat yang ada. Penelitian ini
dilakukan dengan cara menganalisa isi kitab Ma'alim al Tansil karya al Baghawi (khusus yang terkait dengan isra'iliyat) dengan menggambarkan isra'iliyat yang ada
dalam tafsirnya dengan berdasarkan informasi tentang isra'iliyat yang terkandung dalam literature lain. Kitab tafsir yang menjadiacuan adalah kitab-kitab tafsir sebelum
masa al Baghawi.
Penelitian ini menggunakan metode deskripsi analitik dengan
menggunakan corak berfikir deduktif dan induktif. Data yang ditemukan adalah isra'iliyat yang ada dalam tafsir al Baghawi banyak menyangkut kisah-kisah dalam al Qur'an. Al Baghawi adalah seorang ahli hadis yang senang terhadap mau'izhah disamping adanya kondisi pada saat itu (kondisi masyarakat dan alam pemikiran yang berkembang) menyebabkan al Baghawi memasukkan isra'iliyat dalam tafsirnya dengan corak tanpa sanad dan komentar sedikitpun. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perbedaan kondisi, perbedaan pola piker dan keilmuan seorang penafsir itu akan berpengaruh terhadap penafsiran (pengungkapan kisah isra'iliyat) nya dalam al Qur'an. Khususnya al Baghawi, pengaruhnya dalam penuturan isra'iliyat, bias berlangsung cukup lama. Hal ini
disebabkan karena al Baghawi merupakan ahli tafsir yang sangat berpengaruh dimasanya. Selain itu, beliau termasuk tokoh yang beraliran Asy'ariyah dalam akidah dan bermadzhab Syafi'I dalam fiqih. Aliran ini merupakan aliran yang mempunyai pengaruh besar di kalangan ulama, termasuk di kalangan ulama Indonesia dewasa ini. HUMAEDI - NIM.965321592013-02-14T13:27:24Z2022-06-30T02:58:07Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/4802This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/48022013-02-14T13:27:24ZKEKUATAN DALAM AL QURAN MENURUT KITAB LISAN AL ARAB, MU'JAM MUFRADATNALFAZ AL QURAN DAN JAMI AL BAYAN AN TA WILI AY AL QURANKekuatan adalah merupakan salah satu nilai yang sangat penting di antara nilai-nilai kehidupan yang sangat banyak jumlahnya. Al Qur'an kalau kita telusuri ayat-ayatnya niscaya kita temukan bahwa al Qur'an merupakan dustur kerja untuk kekuatan-kekuatan dalam seluruh aspek kehidupan spek kehidupan manusia dan itu memerlukan pemahaman yang maksimal.
Terhadap kenyataan ini,Ibn Manzur, al Ragib al Asfahani dan al Tabari mampu memberikan sumbangan yang berarti untuk penafsiran dan pemahaman al Qur'an, termasuk masalah kekuatan. Penyajian dengan penekanan aspek pemahaman kata yang disodorkan Ibn Manzur yang didasarkan atas penggunaan sebuah bahasa dalam masyarakat tertentu dalam hal ini bangsa Arab, dapat memberikan sumbangan bagi pemahaman suatu kosakata penting dari sekian banyak kosa kata al Qur'an. Al Asfahani, meskipun ayat yang di jadikan sampel dalam kitabnya tidak dikemukakan secara utuh, sehingga penjelasannya terkesan efektif, tapi merupakan sumbangan yang besar untuk pemahaman dan penafsiran al Qur'an. Keduanya menjadi pelengkap untuk lebih memahami kitab-kitab tafsir,tafsirnya al Tabari misalnya.Dimana kitab tafsir al Tabari ini merupakan kitab tafsir berdasarkan al riwayah, tapi juga sesekali al Tabari mengemukakan aspek bahasa dalam mengupas makna sebuah ayat meskipun hanya selintas.
Seperti makna kata sultan pada Q.S. Al Rahman , menurut al Asfahani kata ini bukan bermakna kekuatan tapi bermakna hujjah. Semua kata sultan dalam al Qur'an bermakna hujjah. Sementara menurut Ibn Manzur dengan panjang lebar membahas makna kata sultan dari sudut kebahasan, beliau menyimpulkan bahwa kata ini selain bermakna hujjah, juga bermakna kekuasaan seorang raja atau seseoarng yang berkuasa meskipun dia bukan seorang raja. Sedangkan al Tabari mengatakan bahwa makna hujjah sudah mencakup makna mulk,dengan kata lain mulk adalah hujjah juga. JAJANG SOLIH - NIM. 965321512013-02-15T09:30:04Z2013-02-15T09:31:43Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/4807This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/48072013-02-15T09:30:04ZKISAH YUSUF DALAM SURAT YUSUF (STUDI KOMPARATIF ANTARA TAFSIR AL IBRIZ DENGAN TAFSIR AL AZHAR)Diantara sekian banyak kisah dalam al Qur'an, kisah Yusuflah yang terekam dalam satu surat, sebagai standard perilaku yang begitu banyak pesan moral yang terkandung didalamnya dengan perantara adanya penafsiran. Penelitian ini difokuskan pada penafsiran Bisyri Mustafa dalam tafsir al-Ibriz dan Hamka dengan tafsir al-Azhar.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penafsiran Bisyri Mustafa dan Hamka terhadap kisah Yusuf serta mengetahui latar belakang tafsirnya serta metode yang diterapkannya, untuk mengetahui persamaan dan perbedaan penafsiran antara Bisyri Mustafa dan Hamka tentang kisah Yusuf.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam menafsirkan kisah Yusuf ini disamping bersifat dialog dan menggambarkan peristiwa Yusuf, Bisyri Mustafa juga banyak menggunakan redaksi ajakan. Sedangkan Hamka dalam menafsirkan kisah Yusuf banyak mengutip dari berbagai pendapat para mufasir dan juga pemikirannya.Kedua tafsir ini saling melengkapi. Banyak nilai yang terkandung dalam kisah Yusuf ini, seperti pentingnya peran suami dan didikan orang tua terhadap anak untuk kemudian diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Penafsiran Bisyri Mustafa dan Hamka banyak memiliki persamaan pandangan, persamaan ini dimungkinkan karena berpijak pada metode yang sama, yaitu Tahlili. MASRUROH - NIM.98532616 2013-02-18T11:38:11Z2013-02-18T11:39:37Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/4793This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/47932013-02-18T11:38:11ZKONSEP SUNNAH DAN HADIS (STUDI KOMPARATIF PANDANGAN FAZLUR RAHMAN DAN MUHAMMAD SYAHRUR)Munculnya semangat pembaharuan kebangkitan Islam abad XIX berdampak langsung pada terangkatnya perdebatan otoritas religius, Sunnah dan Hadis di kalangan umat Islam. Sebagaimana diketahui, sejak doktrin klasik tentang Sunnah/Hadis telah diterima secara keseluruhan oleh mayoritas umat Islam. Hal ini nampak pada penerimaan mutlak terhadap enam kitab kakonik Hadis (kutub al-sittah), maka praktis umat Islam telah tereduksi daya kritisnya untuk melakukan tinjauan ulang kembali terhadapnya.Mereka berkeyakinan bahwa hadis-hadis yang termuat dalam keenam kitab kakonik tersebut merupakan produk dan rekaman langsung aktifitas Rasulullah SAW dimasanya.
Penelitian ini hanya akan difokuskan pada pandangan dua pemikir Islam kontemporer, yang berusaha untuk memberikan pemahaman dan konseptualisasi yang baru terhadap konsep Sunnah dan Hadis. Sifat dan data dalam penelitian ini ini menyarankan menyarankan perlunya pemakaian metode penelitian deskriptif-analitis. Telaah tentang satuan-satuan data yang semula berserakan dapat melahirkan deskripsi yang sistimatis dari pandangan Fazlur Rahman dan Muhammad Syahrur tentang Sunnah dan Hadis.Sementara melalui analisis dengan metode perbandingan sistematis terhadap kedua model pendekatan historis dari Rahman dan pendekatan linguistik dari Syahrur.
Pembahasan seputar pandangan Fazlur Rahman dan Muhammad Syahrur tentang konsep Sunnah dan Hadis, mengantarkan kita pada beberapa pokok kesimpulan bahwa keduanya mengakui autorisasi Sunnah, dengan mengasumsikan bahwa Sunnah Nabi merupakan sumber poko kedua bagi ajaran Islam. Orientasi yang ingin dicapai oleh keduanya dari kajian mereka terhadap Sunnah dan Hadis adalah keinginan untuk menemukan kembali kembali Islam ideal, yang selama ini telah terkungkung dalam pembahasan yang ahistoris, leteralis, dan atomistis, terutama disebabkan oleh penerimaan Hadis secara tidak kritis. FAHRUR ROZI - NIM. 985327082013-02-18T15:14:15Z2013-02-18T15:15:33Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/4690This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/46902013-02-18T15:14:15ZLAILAT AL QADAR MENURUT PENAFSIRAN M. ABDUH DAN M. QURAISH SHIHAB (PERSPEKTIF SURAT AL QADAR)Lailat al Qadar adalah sebuah nama namun sekaligus fenomena di kalangan umat Islam, ia begitu dinanti dan didamba oleh umat Islam seluruh dunia saat Ramadhan tiba,namun dibalik semuanya itu ternyata Lailat al Qadar itu sendiri adalah misteri bagi mereka, yang hingga kini belum terkuak. Banyak ulama yang member komentar tentang malam yang mulia tersebut dan kesemuanya itu baru sebatas pada Lailat al Qadar adalah malam yang mulia dan keutamannya yang melebihi 1000 bulan sebaimana dalam ayat-ayat surat al qadar itu sendiri. Kemisterian Lailat al Qadar dan wujud yang dapat dirasakan oleh seorang muslim sama sekali belum tersentuh. Adalah M. Abduh dan M. Quraish Shihab kedua tokoh yang sangat brilian mengungkap kesemuanya kedalam argumen-argumen yang menarik, dapat diterima oleh nalar namun tidak meninggalkan cirri-ciri yang dibawa oleh al Qur'an itu sendiri, lugas, menantang, sekaligus butuh kejelian seorang muslim didalam menemukan kerahasiaan di balik teks yang tertulis.
Penelitian ini adalah merupakan penelitian perpustakaan atau library research, yaitu pengumpulkan bahan dari buku-buku, artikel, encyclopedi yang tentunya yang ada relevansinya dengan penelitian ini, maka dalam mengumpulkan data menggunakan metode dokumentasi.
Dari penelitian ini disimpulkan bahwa : M. Abduh membahas secara detail tentang kosa kata dan perbedaan yang ditampilkan oleh masing-masing kata yang ada dalam surat al Qadr, sedangkan M. Quraish Shihab mengawali penafsirannya dengan membahas kosa kata setiap kata/kalimat yang ada di dalam surat al Qadar dan ini hampir dapat dijumpai disepanjang penafsiran Quraish M. ALI MUNIF - NIM. 95531899 2013-02-20T08:42:06Z2013-02-20T08:43:25Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/4685This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/46852013-02-20T08:42:06ZMETODE M. DAWAM RAHARDJO DALAM MEMAHAMI AL QUR'AN (Kajian terhadap Ensiklopedi al Qur'an)Secara factual kesaksian sejarah telah membuktikan bahwa perubahan paradigma pemikiran dan pemahaman terhadap al Qur'an dapat dipahami keabsyahannya. Keniscayaan ini terjadi karena tantangan dan tuntutan yang dihadapi oleh suatu sejarah tertentu berbeda dengan tantangan penggal sejarah yang lain. Hal ini menyebabkan perlunya dialog yang berkesinambungan untuk mencari formulasi yang tepat agar eksistensi al Qur'an tetap appicable dan dan mempunyai peran konsumtif dalam memberikan dan terapi terhadap tantangan zaman.
Salah satu respon kreatif cendikiawan muslim Indonesia terhadap tantangan dunia modern adalah usaha untuk mengadaptasikan pesan-pesan moral al Qur'an dengan tuntutan zaman. Barangkali inilah yang dimaksud dengan penafsiran modern yang salah satu aktornya adalah M. Dawam Raharjo, dimana beliau dalam mengungkap metode pemahaman terhadap al Qur'an dan menpunyai tujuan untuk membantu menutupi kebutuhan umat Islam berkaitan dengan tafsir al Qur'an, agar kaum muslimin dapat meningkatkan penghayatan nilai-nilai Qur'ani.
Pembahasan ini menyimpulkan bahwa corak pemikiran Dawam Raharjo adalah termasuk corak al Ijtima'I, Hali ini dapat dilihat dari cirri utama penafsirannya yang lebih menekankan pada pembahasan istilah-istilah kunci dengan mengembangkan analisisnya dengan cara membawa kata-kata kunci yang dijadikan tema kajiannya ke dalam wilayah historis-sosiologis. AMIR - NIM. 96532241 2013-02-20T08:45:42Z2013-02-20T08:46:56Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/4695This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/46952013-02-20T08:45:42ZMETODE PEMAHAMAN HADIS M. SYUHUDI ISMAILM. Syuhudi Ismail adalah seorang ulama dan intelektual yang cukup besar pengaruhnya di Indonesia di bidang Hadis dan Ulumul Hadis. Salah satu pemikirannya yaitu tentang metode pemahaman terhadap matan hadis dalam bukunya yang berjudul Hadis nabi yang tekstual dan kontekstual : telaah ma'ani al hadis tentang ajaran Islam yang universal,temporal dan local . Menurut beliau bahwa ada matan hadis yang harus dipahami secara tekstual, kontekstual dan ada pula yang harus dipahami secara tekstual dan kontekstual sekaligus. Ini menunjukan bahwa kandungan hadis Nabi itu ada yang bersifat universal,temporal dan local.
Adanya pemahaman hadis yang tekstual dan kontekstual menurut M. Syuhudi memungkinkan suatu hadis yang sanadnya sahih atau hasan tidak dapat serta merta matannya dinyatakan daif atau palsu hanya karena teks hadis tersebut tampak bertentangan. Metode yang ditawarkan oleh M. Syuhudi ini cukup berperan dalam mengantisipasi perkembangan zaman dengan memanfaatkan teori berbagai disiplin ilmu pengetahuan, misalnya sosiologi,psikologi, bahasa dan sejarah. Hal ini dapat dipahami bahwa usaha yang dilakukan oleh M. Syuhudi adalah sebagai upaya membumikan hadis Nabi sebagai sumber pokok ajaran Islam. NURANI - NIM. 96532262 2013-02-20T10:03:37Z2013-02-20T10:04:54Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/4795This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/47952013-02-20T10:03:37ZPANDANGAN HAMKA TENTANG SIRAT MUSTAQIM DALAM TAFSIR AL AZHARAda alasan tertentu mengapa sirat mustaqim ini menarik untuk dikaji. Pertama terdapat banyak perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai maknanya, yaitu persoalan makna sirat mustaqim sebatas pengertian secara material atau pengerian kebahasaan. Kedua, menyangkut proses kesejarahan, keadaan ketika ayat itu turun. Berangkat dari kenyataan inilah kemudian terdapat tuntutan untuk mengetahui makna sesungguhnya yang terkandung dalam sirat mustaqim. Untuk lebih mespesifikkan kajian, penulis merujuk pada tafsir al Azhar.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penafsiran Hamka tentang sirat mustaqim dalam tafsir al Azhar, untuk mengetahui corak penafsiran yang digunakan Hamka. Penelitian ini merupakan penelitian perpustakaan (library research) dengan metode deskriptif analitis. Adapun metode yang digunakan adalah metode tafsir Maudil'i (tematik).
Hasil penelitian ini adalah di dalam al Qur'an, ayat-ayat Sirat mustaqim ditafsirkan lebih secara maknawi. Menurut Hamka garis lurus adalah jarak yang paling dekat diantara dua titik. Titik pertama adalah titik hamba ('abdun) yang kedua adalah titik penghambaab diri (ma'bud). Untuk mencapai kepada Tuhan diperlukan sarana yang akan mempercepat sampai ke tujuan. Corak penafsiran yang digunakan Hamka adalah corak adabi ijtima'i yaitu suatu corak tafsir yang lebih banyak mengarahkan perhatiannya untuk menjelaskan masalah-masalah sosial dan memfungsikan al Qur'an sebagai kitab petunjuk. HALIMATUS SA'DIYAH - NIM.945316032013-02-20T10:08:52Z2013-02-20T10:14:34Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/4805This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/48052013-02-20T10:08:52ZPANDANGAN IBNU QUTAIBAH TENTANG KONTRADIKSI HADIS-HADIS TEOLOGIS DALAM KITAB TA'WILU MUKHTALIFI AL HADISPermasalahan teologi dalam Islam yang perkembangannya banyak dipengaruhi oleh kondisi social, politik dan filsafat ternyata besar pengaruhnya terhadap perkembangan perkembangan ilmu hadis, mulai dari problem pemalsuan hadis,ketidakpercayaan terhadap hadis , sampai pada problem kontradiksi hadis. Sosok Ibnu Qutaibah pada masa Abbasiyah cukup berpengaruh dan disegani oleh kalangan Sunni.Ibnu Qutaibah sangat produktif dan mempunyai loyalitas tinggi terhadap hadis, meskipun corak dan metode pemikirannya bukan tradisionalis/tekstual.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana penafsiran dan solusi yang ditawarkan Ibnu Qutaibah terhadap kontradiksi hadis-hadis teologis yang dipertentangkan oleh ahli kalam. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptifanalitik.
Penelitian menunjukkan bahwa dalam pandangan Ibnu Qutaibah tidak ada pertentangan antara hadis-hadis teologis, jika ada pertentangan maka hanya pada tataran makna zahir (leksikal) nya saja. Ada dua metode yang digunakan Ibnu Qutaibah dalam menyelesaikan kontradiksi hadis teologis, yaitu al-jama'u dan altawaqquf. LUKMAN HAKIM - NIM.98532779 2013-02-20T10:17:12Z2013-02-20T10:18:36Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/4794This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/47942013-02-20T10:17:12ZPANDANGAN MUHAMMAD RASYID RIDHA TERHADAP HADIS HADIS TERBELAHNYA BULAN (Studi kritik atas pemikiran)Hadis tentang terbelahnya bulan dipandang sebagai hadis sahih baik sanad maupun matan oleh ulama hadis. Bukan berarti penelitian kembali terhadap hadis ini berhenti begitu saja (statis). Hal ini dikarenakan seluruh penelitian hadis baik sanad maupun matan hasilnya masih dalam dataran prasangka (diduga) kuat sebagai hadis sahih atau da'if. Hadis-hadis tentang terbelahnya bulan jika dihubungkan dengan mukjizat Nabi Muhammad SAW, merupakan hal luar biasa yang dimiliki oleh Rasulullah SAW. Rasyid Ridha beranggapan bahwa dalam memahami hadis Nabi tersebut harus bersifat rasional dan tidak bertentangan dengan fakta sejarah. Sementara itu ulama salaf cenderung mengakui terjadinya peristiwa terbelahnya bulan sebagai mukjizat, sedangkan Rasyid Ridha menganggap bahwa hadis-hadis terbelahnya bulan terdapat cacat ( amp;#8216;llat)baik dari segi sanad maupun matan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas sanad dan matan hadis tentang terbelahnya bulan pada masa RAsulullah SAW., mengetahui kerangka berfikir Rasyid Ridha sebagai tokoh pembaharu abad ke 20 mengenai hadis-hadis terbelahnya bulan, mengetahui typology Muhammad Rasyid Ridha dalam memahami hadis-hadis Nabi. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research). Sumber utama kajian ini adalah kitab yang memuat tentang pendapat Rasyid Ridha dalam Tafsir AlManar yang memuat pemikiran-pemikiran dan pendapat Rasyid Ridha tentang terbelahnya bulan. Yang kedua adalah buku karangan M. Quraish Shihab yang berjudul Studi Kritik tafsir Al Manar.
Hasil penelitian ini adalah Muhammad Rasyid Ridha berpendapat bahwa hadishadis terbelahnya bulan memiliki 'illat (cacat) baik dari segi sanad maupun matan. Dia menolak pendapat para ulama bahwa terbelahnya bulan merupakan salah satu dari mukjizat Nabi Muhammad SAW. Dengan pemahaman-pemahaman terhadap hadis-hadis terbelahnya bulan tersebut, maka RAsyid Ridha tergolong dalam pemikiran yang quot;modernis-rasionalis quot;. FAIDLIR ROHMAN - NIM.955320262013-02-21T15:45:45Z2013-02-21T15:46:54Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/4788This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/47882013-02-21T15:45:45ZPEMIKIRAN IBNU TAIMIYYAH TENTANG IKHTILAF DALAM TAFSIR AL QURANPenyeragaman teks al Qur'an pada masa Usman tidak disertai uoaya penyeragaman tafsir al Qur'an. Al Qur'an tetap bisa ditafsirkan oleh siapa saja yang memiliki kompetensi. Pada gilirannya dihasilkan akumulasi tafsir yang melimpah.Kemudian muncul permasalahan ketika akumulasi tafsir tersebut terjadi ikhtilaf atau perbedaan pendapat yang sering kali menyebabkan permusuhan dan perselisihan,bahkan konflik fisik. Ironisnya masalah ikhtilaf dalam tafsir hampir luput dari perhatian amp;#8216;ulum Qur'an. Hanya ada sedikit tokoh yang membahasnya, itupun bermuara pada pembahasan Ibnu Taimiyah.
Penelitian ini adalah penelitian fenomenologis yang berupaya memahami pemikiran Ibnu Taimiyah tentang ikhtilaf dalam tafsir secara holistik. Penelitian ini ingin mengetahui tigal yaitu mengenal pendapat Ibnu Taimiyah tentang legalitas ikhtilaf dalam tafsir dan tentang konflik yang ditimbulkannya, mengenai konsistensi Ibnu Taimiyah dengan pendapat itu, dan sumbangan Ibnu Taimiyah terhadap kajian tafsir.
Dari penelitian ini diperoleh jawaban bahwa menurut Ibnu Taimiyah ikhtilaf dalam tafsir adalah legal selama memenuhi dua kualifikasi, yaitu terbebas dari motivasi negatif dan berpijak pada kompetensi ilmiah. Tanpa dua kualifikasi tersebut ikhtilaf sangat rentan terhadap konflik yang justru akan menyebabkan menjadi illegal.Secara umum Ibnu Taimiyah cukup konsisten dengan pendapat di atas, tetapi terkadang dia juga tidak konsisten. Dia memberikan empat kontribusi, yaitu mengenai kategorisasi ikhtilaf dalam tafsir al Qur'an, sebab-sebabnya, solusi untuk meminimalisasi, dan mengenai langkah-langkah dalam mengkajianya. Keempat sumbangan ini memberikan harapan terwujudnya pluralisme dalam tafsir al Qur'an secara sehat dan tertanggungjawab. AHMAD MUBAROK - NIM.98532572 2013-02-22T10:45:40Z2013-02-22T10:49:32Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/4687This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/46872013-02-22T10:45:40ZPENAFSIRAN AL QUR'AN AHMADIYYAH QADIAN (Studi Tentang Metodologi Penafsiran Al Qur'an Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad) Al Qur'an adalah sumber ajaran Islam. Kitab suci itu menempati posisi sentral, bukan saja dalam perkembangan dan pengembangan ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga merupakan inspirator, pemandu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang empat belas abad sejarah pergerakan umat itu. Pemahaman terhadap ayat-ayat al Qur'an melalui penafsiran-penafsirannya mempunyai peranan yang sangat besar bagi maju mundurnya umat, sekaligus penafsiran-penafsiran itu mencerminkan perkembangan serta corak pemikiran mereka.
Terdapat perkembangan bahkan peubahan metodologi tafsir dalam fase-fase kesejarahan tertentu agaknya merupakan sesuatu yang tak terelakan sebagai akibat dari paradigma yang mendasarinya. Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad, dalam hal ini mencoba menghidupkan agama Islam kembali dengan mengadakan suatu revolusi terhadap zamannya melalui penafsiran-penafsirannya yang monumental, dia mencoba merekonstruksi pemahaman ayat-ayat al Qur'an yang enurutnya telah melenceng jauh dari tujuan diturunkannya.
Yang menjadi pokok persoalan pembahasan skripsi ini adalah metodologi penafsiran al Qur'an Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad. Dalam hal ini memfokuskan metodologi ke dalam lima kajin yaitu penafsiran, kaidah-kaidah penafsiran, langkah penafsiran, corak dan metode penafsiran. Dari metodologi yang ditempuh Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad telah membuat
penafsirannya banyak ditentang oleh golongan-golongan dalam Islam lainnya, sebab pilihan dalil-dalil yang digunakan dalam menyelesaian setiap persoalan selalu disesuaikan dengan aliran yang dianutnya, yakni Ahmadiyah.
ZUMROTUN NAFISAH - NIM. 96532078 2013-02-22T11:01:59Z2013-02-22T11:03:07Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/4853This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/48532013-02-22T11:01:59ZPENAFSIRAN AMR MARUF NAHI MUNKAR DALAM TAFSIR AL MANARAmr ma'ruf nahi munkar memiliki fungsi dan kekuatan yang sangat vital bagi eksistensi komunitas manusia terutama umat Islam. Di sebagian masyarakat, Amr ma'ruf nahi munkar hanya sekedar slogan tanpa ada sosialisasi perbuatan yang nyata serta hamper luput dari pengkajian Islam di Indonesia. Obyek penelitian ini adalah tafsir al-Manar.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsep amr ma'ruf nahi munkar yang terdapat dalam tafsir al-Manar dan mengetahui urgensi amr ma'ruf nahi munkar dalam kehidupan manusia serta relevansinya dengan jihad. Penelitian ini bersifat deskriptif. Kegiatan pengolahan data yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi analisa data, membandingkan data yang satu dengan yang lain, dan menarik kesimpulan.
Kesimpulan penelitian ini adalah Amr ma'ruf nahi munkar merupakan pengikat persatuan dan kebersamaan. Ma'ruf adalah segala sesuatu yang kebaikannya atau kemaslahatannya dapat diketahui oleh akal demi kemanfaatan. Munkar adalah segala sesuatu yang sebenarnya kontradiktif dengan akal sehat dan hati nuranipun tidak mau menerimanya. Urgensi amr ma'ruf nahi munkar ini merupakan sebab baiknya umat ini, yaitu Allah prioritaskan dan istimewakan daripada seluruh umat. Relevansi amr ma'ruf nahi munkar dengan jihad, bahwa jihad yang akan dilaksanakan berdasarkan nash al Qur'an dan sunnah yang merupakan tindakan defensive untuk melawan penindasan dan ketidakadilan dalam segala bentuknya. TRI SUPARLIYAH - NIM.985325612013-02-22T11:06:17Z2013-02-22T11:07:30Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/4838This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/48382013-02-22T11:06:17ZPENAFSIRAN DU'A MENURUT AL ALUSI DALAM TAFSIR RUH AL MA'ANI (STUDI TEMATIK TERHADAP TAFSIR RUH AL MA'ANI)Du'a merupakan ritual yang ada dalam agama Islam. Ritual itu menjadi bentuk dialog manakala dilakukan dengan khusu' untuk melepaskan kesepian seorang hamba. Du'a mengalami pergeseran makana sejalan dengan kemajuan alam piker manusia dari gairah mistis menjadi semangat logis. Perubahan ini membawa dampak pada pemaknaan du'a bentuk hubungan structural-vertikal menjadi relasi dialogis antara Tuhan dengan manusia. Pemahaman seperti ini membawa lebih jauh pada cara pandang manusia dari Tuhan yang menakutkan menjadi Tuhan yang maha pengasih dan penyayang. Du'a sebagai energi untuk semangat kembali dalam menghadapi kehidupan yang melelahkan. Pemaknaan du'a menjadi actual karena sejalan dengan perkembangan alam pikiran dan peradaban Islam tanpa mengurangi kebesaran syari'at. Pelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsep do'a dalam al Qur'an menurut penafsiran al-Alusi dalam tafsir Ruh al Ma'ani dan mengetahui metode penafsiran yang digunakan al-Alusi dalam penafsiran ayat-ayat do'a. Jenis penelitian ini adalah kepustakaan murni. Metode analisa data yang digunakan adalah diskripsi analitis. Setelah melakukan penelitian terhadap konsep du'a, peneliti temukan beberapa hal yang sangat penting berkaitan dengan tema du'a dalam ajaran Islam. Du'a yang selama ini diartikan sebagai bentuk permintaan sesuatu kepada Allah SWT merupakan konsep yang tereduksi.
Dalam penelitian ini ditemukan 6 pengertian du'a, yaitu bermakna ibadah, istigasah, permintaan (do'a dalam kontek Indonesia), percakapan, panggilan (seruan0, dan memuji. Dalam tafsirnya al-Alusi menggambarkan kedudukan du'a yang sangat penting dan fenomena perdebatan tatacara du'a dan tawasul. Pembangkitan kesadaran akan suatu makna (pengertian) terhadap du'a khususnya dan ajaran Islam pada umumnya menjadi sesuatu yang sangat penting dan itu menjadi tugas kita sebagai intelektual muslim, pewaris nabi dan pembimbing umat. Metode penafsiran yang digunakan oleh al-Alusi adalah cara penafsiran sufi, cara ulama salaf, dan cara mutakalimin. SOLIKHIN - NIM.98532648 2013-02-27T13:01:24Z2013-02-27T13:03:02Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/4814This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/48142013-02-27T13:01:24ZPLURALISME AGAMA DALAM TAFSIR AL QURAN MODERN (KAJIAN TAFSIR AL MANAAR DAN FI ZILALIL QUR'AN)Pada era globalisasi masa kini, umat beragama dihadapkan pada serangkaian tantanagn baru yang tidak terlalu berbeda dengan apa yang pernah dialami sebelumnya.Pluralisme agama, konflik intern atau antar agama, adalah fenomena nyata. Saat ini, tidak sedikit pertanyaan kritis yang harus ditanggapi oleh umat beragama yang dapat diklasifikasikan rancu dan merisaukan. Hal ini yang kemudian mengkristal menjadi sebuah gagasan-gagasan dialog antaragama. Pentingnya mengangkat Tafsir al Manar dan fi Zilal al Qur'an untuk objek penelitian adalah munculnya dinamisasi pemikiran tafsir al Qur'an yang mengarah pada kekayaan khasanah intelektualitas Islam dalam mensikapi berbagai aspek kehidupan umat Islam yang multi komunitas dan multi interes.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan penegasan dan sikap kongkrit tafsir al Manar dan Fi Zilal al Qur'an tentang pluralisme agama, membuka cakrawala dialogis antara tafsir eksklusif dan inklusif, dan mempertegas sekaligus menggali pesan-pesan al Qur'an dalam konteks pluralisme agama. Jenis penelitian dalam penelitian ini adalah kepustakaan. Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah literer. Penelitian bersifat deskriptif-analitik. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dan kuantitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahawa pluralisme adalah suatu pandangan filsafat yang tidak mereduksi segala sesuatu pada satu prinsip terakhir, melainkan mengakui dan menerima adanya keragaman. Peta paradigma tafsir al Qur'an modern antara kritikus modern muslim dan non muslim berbeda. Dalam tafsir al Manar,Muhammad Abduh mengatakan, pluralisme agama itu benar-benar fenomena realitas dalam kehidupan beragama yang harus dipraktekkan oleh umat manusia secara keseluruhan. Sayib Qutub mengatakan, bahwa kebenaran mutlak itu hanya ada dalam Islam, tidak ada dalam agama-agama selain Islam. MUJTAHIDUR RIDHO - NIM.94531714 2013-02-28T12:36:24Z2013-02-28T12:37:34Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/4810This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/48102013-02-28T12:36:24ZSTUDI KOMPARATIF KITAB JAMI AL BAYAN AN TAWIL AY AL QURAN DAN AL MIZAN FI TAFSIR AL QUR'AN TENTANG IBLIS DALAM AL-QURANAlam gaib merupakan alam yang secara empiric tidak bias dijangkau oleh manusia. Keberadaan alam gaib menjadi sangat mestirius ketika hal tersebut dihubungkan dengan kehidupan nyata (kehidupan yang kasat mata), salah satunya adalah Iblis. Al Qur'an adalah kitab yang diakui sebagai petunjuk yang didalamnya terkandung semua persoalan yang dihadapi manusia. Termasuk didalamnya kisah tentang Iblis, meskipun pad dasarnya hal-hal yang berkaitan dengan yang ghaib merupakan urusan Allah, namun setidaknya Allah memberikan ilmu kepada manusia untuk mencoba memahami keberadaannya.
Dalam skripsi ini dipaparkan ekspoirasi dua tokoh yang secara zaman, ideologi dan karakteristiknya berbeda. Tokoh pertama adalah al Tabari, merupakan mufassir klasik dengan kitab tafsirnya Jami' al Bayan an Ta'wil Ay al Qur'an. Dalam pandangan al Tabari Iblis adalah sesuatu yang ghaib yang muncul pertama kali pada saat perintah sujud kepada adam. Kemunculannya ternyata menimbulkan kontroversi, baik tentang siapa sebenarnya Iblis sampai kepada eksistensi Iblis itu sendri. Al Tabari dengan gaya penafsirannya yang berbentuk ma'tsur, mencoba menafsirkan Iblis sebagai mahluk yang berasal dari Malaikat yang telah membangkang terhadap perintah Allah karena arogansinya yang menganggap dirinya lebih baik dari Adam. Dalam mempertahankan penafsirannya ini al Tabari mengutip beberapa hadis yang berhubungan dengan kisah Iblis tersebut.
Berbeda dengan penafsiran yang diberikan oleh al Tabataba'i, yang merupakan mufassir modern dengan bentuk penafsirannya yang menggunakan nalar (ra'y). dalam kitab tafsirnya al Mizan fi tafsir al Qur'an, mencoba memaparkan penafsirannya, Iblis bukanlah dari golongan Malaikat tapi dari golongan Jin, karena jelas dalam ayat lain dikatakan bahwa Iblis adalah golongan Jin.Meskipun terdapat perbedaan dalam menafsirkan kisah Iblis tersebut, namun terdapat pula persaman diantara keduanya, seperti halnya ketika mereka menafsirkan kata sujud. Kedua mufassir memaknai kata tersebut bukan sebagai penghambaan tetapi sebagai penghormatan. MUHAMAD SODIKIN - NIM. 97532365 2013-02-28T14:08:28Z2013-02-28T14:09:47Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/4785This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/47852013-02-28T14:08:28ZSYAITAN MENURUT AL-TABARI DALAM KITAB TAFSIR JAMI AL BAYAN AN TA WIL AY AL QUR'ANSyaitan merupakan istilah yang tidak asing lagi di kalangan ummat beragama dan yang tidak beragama, bahkan istilah ini sering diungkapkan dalam kehidupan sehari-hari,namun kebanyakan orang masih sering keliru dalam memahaminya. Selain itu syaitan merupakan salah satu konsep penting dalam al Qur'an yang berkaitan dengan hakikat spiritual keberagamaan Islam, yang wujudnya masih diragukan oleh sementara orang atau bahasanya dianggap omong kosong, tetapi fenomena kehadirannya amat nyata bahkan hasil-hasil kerjanya berupa kejahatan dan kebobrokan moral dari hari ke hari bertambah bukan hanya kuantitas tetapi kualitasnya.
Apa dan siapakah syaitan ? bagaimana aktifitas-aktivitasnya dalam upaya menjerumuskan manusia ? bagaimana pula eksistensinya bila dihubungkan dengan keberadaan manusia ?. Penelitian ini ingin mengungkapkan pengertia syaitan, aktivitasnya dan eksistensinya tersebut dari sudut pandang al Tabari yang tertuang dalam kitab tafsir Jami'al Bayan an Ta'wil Ay al Qur'an. Penelitian ini bersifat kepustakaan murni (library research) yang didasarkan pada tafsir Jami' al Bayan an Ta'wil Ay Al Qur'an sebagai sumber data primer, dan buku-buku lain yang terkait sebagai sumber data sekunder. Metode yang digunakan untuk mngolah data menggunakan metode deskriptif analitis, yaitu menggambarkan makna-makna yang diungkapkan oleh al Tabari dalam tafsirnya, kemudian menganalisanya.
Dari penelitian ini di temukan jawaban bahwa pengertian syaitan menurut al Tabari adalah pembangkangan, kejahatan, keburukan yang dilakukan oleh bangsa jin, manusia,binatang, dan segala sesuatu . Atau syaitan adalah karakteristik negatif . Aktivitasaktivitasnya merasuki segala aspek kehidupan manusia dan pada dasarnya aktivitas-aktivitasnya itu mempunyai kekuatan untuk membujuk sehingga manusia terjerumus dalam perbuatan dosa. Namun demikian kekuatannya itu terbatas pada kehendak Allah. Adapun eksistensi syaitan menurutnya adalah karakter alwaswas (bisikan negative atau jahat, baik itu dibisikan oleh syaitan jin atau syaitan manusia). Eksistensinya itu dapat juga berupa setiap perbuatan atau apapun namanya yang mengajak manusia kepada keburukan, bahkan eksistensinya itu ada dalam diri manusia itu sendiri atau identik dengan keakuannya yang negatif. IMRON - NIM. 97532465 2013-02-28T14:12:02Z2013-02-28T14:13:29Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/4779This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/47792013-02-28T14:12:02ZTAFSIR HIBARNA KARYA ISKANDAR IDRIES (KAJIAN TERHADAP METODOLOGI PENAFSIRAN AL QUR'AN)Mencermati konsep dan format yang ada dalam kitab Tafsir Hibarna karya Iskandar Idris , metodenya merujuk pada metode analitis (tahlili) dengan mengambil bentuk bi al ra'y.Hal ini dengan melihat pola pembahasannya, juga banyaknya ide/gagasan yang dimunculkan dalam penafsirannya terhadap ayat-ayat al Qur'an. Adapun kecenderungan penafsirannya (coraknya) dengan melihat berbagai factor yang ada seperti; pemaparan penafsirannya, latar belakang pendidikan, kondisi sosial masyarakat pada saat kitab tersebut ditulis, serta ilmu pengetahuan yang sedang berkembang saat itu, maka sampailah pada titik temu bahwa tafsir Hibarna karya Iskandar Idries ini merujuk pada corak penafsiran Adaby Ijtima'i.
Sedangkan karakteristik yang di miliki kitab Tafsir Hibarna ini selain dengan menggunakan bahasa Indonesia, tafsir ini juga diperkaya dengan peribahasa-peribahasa yang lazim beredar di Indonesia, juga terselipnya bahasa asing selain bahasa Indonesia dan bahasa al Qur'an itu sendiri (bahasa Arab) yang dipakai oleh mufassir dalam mengartikan suatu benda. Bahasa asing tersebut adalah bahasa Belanda, penggunaan bahasa ini dimungkinkan karena mufassir hidup pada masa penjajahan negara tersebut. Dengan demikian karena mufassir hidup pada masa pergolakan (peperangan) merebut kemerdekaan dari tangan penjajah dan ia turut pula didalamnya, maka tafsir inipun tak lepas dari pengaruh tersebut baik fisik maupun psikis. Adapun pengaruh fisik yang ditimbulkan dari kondisi itu adalah terhambatnya penyeleaian penulisan kitab tafsir Hibarna, dan pengaruh psikisnya adalah mufassir banyak menggunakan istilah-istilah yang ada di sekitar peperangan. ADE YULI RUKHPIANTI - NIM. 98532756 2013-02-28T15:33:20Z2016-10-12T00:49:52Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/4857This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/48572013-02-28T15:33:20ZTELAAH TERHADAP HADIS HADIS WARIADalam masyarakat modern saat ini, problem-problem kemanusiaan menjadi sangat kompleks. Perkembangan kebudayaan manusia melalui evolusi (bahkan revolusi), nilai-nilai (values) berjalan secara dialektis dan dinamis menuntut kita untuk lebih kritis terhadap fenomena social yang ada. Fenomena social waria tidak bisa kita tolak keberadaannya dalam kehidupan sehari-hari. Kajian utama dalam penelitian ini adalah tentang bagaimana hadis-hadis Nabi berbicara tentang permasalahan waria. Kajian ini mencakup kajian terhadap kondisi sosio kultur pada masa Nabi SAW dan kondisi pada saat ini yang tentu sangat berbeda.
Penelitian ini menggunakan literature kepustakaan sebagai prospektif keilmuan dasar terhadap keilmuan tafsir dengan study kepustakaan (library Research). Dalam pengolahan data penulis menggunakan pendekatan Hermeneutik Fazlur Rahman yaitu dengan membawa problem waria yang ada pada saat ini kepada masa munculnya hadis untuk mengetahui kondisi sosio histories masa itu. Dari kondisi masa lalu kemudian dibawa kembali pada situasi masa kini.
Hasil penelitian menyatakan bahwa konteks waria telah ada sejak masa Nabi Muhammad SAW, dalam hal ini disebut dengan khunsa dan mukhannasi. Pada waria khunsa telah jelas disebutkan sebagai sebuah kelainan secara fisik, sehingga dapat dikembalikan sesuai dengan kecenderungan fisiknya. Mukhannas adalah orang yang berperilaku sebagaimana lawan jenisnya dimana keberadaan mereka menjadi suatu laknat jika memang secara fisik dan psikis mereka adalah seorang laki-laki atau perempuan normal. Akan menjadi tidak tercela dan tidak dosa jika memang secara kodrati diciptakan sebagai seorang yang kurang sempurna baik secara fisik maupun secara psikis. NIM. 98532683 ZUNLY NADIA2013-03-22T15:27:14Z2013-03-22T15:28:34Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/5137This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/51372013-03-22T15:27:14ZHADIS-HADIS TENTANG MUSTAJABNYA DO'A ORANG TUA, MUSAFIR, DAN ORANG YANG DIDZOLIMI (STUDI MA'AN AL HADIS)Banyak literatur menyebutkan, bahwa doa yang sering dipraktikkan oleh orang Islam terbagi menjadi dua macam, yaitu doa yang diterima (maqbul/mustajab) dan doa yang tidak diterima (ghairu maqbul). Pembagian ini didasarkan pada out put doa yang dipanjatkan oleh pendoa. Akan tetapi, sesungguhnya, out put adalah bagian di luar kemampuan pengetahuan manusia. Maka, yang perlu disadari sedari awal pada saat berdoa, adalah upaya maksimal dalam berdoa. Tentu, pendoa berkeinginan doa yang mereka panjatkan dapat diterima. Kaedah-kaedah yang ditetapkan tentang doa maqbul sendiri sudah dituntunkan oleh syara'. Bila dikategorikan, kaedah tersebut terbagi menjadi tiga bagian, yaitu doa maqbul karena keadaan, doa maqbul karena waktu, dan doa maqbul karena tempat. Pada bagian pertama inilah, menurut hemat penulis, sebagai kategori yang paling unggul ketimbang dua bagian yang lain.
Keadaan yang dimaksud adalah keadaan subyek (pendoa) dan materi doa. Subyek doa merupakan unsur terpenting dari terkabulnya doa. Oleh sebab itu, dalam banyak riwayat disampaikan, bahwa doa para Nabi, Ulama, pemimpin yang baik, guru, orangtua, orang yang dizalimi, dan sebagainya adalah mustajab (dipenuhi oleh Allah). Alasan yang paling rasional tentang hal ini adalah karena mereka dekat dengan Tuhan, sehingga mampu memanjatkan doa dengan ikhlas dan ridha. Di samping itu, materi doa merupakan bagian dari keadaan doa untuk memudahkan terkabulnya doa. Bila materi doa berhubungan dengan maslahat dan amat darurat bagi seseorang, besar kemungkinan doa akan dikabulkan oleh Tuhan. Maka, pada bagian keadaan subyek inilah, peneliti melakukan penelitian. Mengamati bagian ini secara mendalam dan ilmiah penting kiranya untuk dilakukan. Setidaknya, melalui penelitian ini, diketahui bagaimana seharusnya pendoa berdoa. Dan, pada bagian ini, optimalisasi kualitas diri ditempuh, yang mana itu juga bisa menguatkan dimensi keberagamaannya. Upaya untuk membersihkan diri, misal, dengan demikian, menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari seseorang agar doanya terkabul.
Penelitian ini menjadikan hadis sebagai obyek penelitian. Yaitu, hadis tentang musatajabnya doa tiga subyek, orangtua, musafir, dan orang yang didzalimi. Di samping alasan akademis, penelitian ini dilakukan dalam rangka memperkaya pemaknaan terhadap hadis-hadis tentang doa. Tinjauan yang digunakan adalah kritik sanad dan matan. Melalui kajian ini, peneliti pertama kali berusaha mengetahui otentisitas hadis tersebut dari jalur riwayat dan isinya, dan kemudian berlanjut pada penggalian maksud terdalam dari materi hadis tersebut. AHMAD MUHAJIR - NIM. 03531314 2013-03-25T08:35:11Z2013-03-25T08:36:47Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/3929This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/39292013-03-25T08:35:11ZHADIS-HADIS TENTANG PILIHAN “BERBUKA PUASA ATAU BERPUASA”
DALAM PERJALANAN (Studi Ma’anil Hadis)Puasa ramadhan diwajibkan Allah Swt. kepada setiap orang Islam yang sudah memenuhi seluruh persyaratan tersebut antaranya seorang muslim yang berakal, balig, sehat, dan mabit/mukim (menetap di tempat tinggalnya). Meskipun demikian, Allah Swt. selalu memberikan peraturan sesuai dengan kondisi dan kemampuan hamba-Nya. Karena itulah, Allah Swt. juga memberikan keringanan kepada orang-orang yang wajib berpuasa, tetapi tidak memungkinkan untuk berpuasa sebagaimana mestinya. Dalam istilah fiqih, keringanan ini biasa disebut rukhsah (keringanan). Rukhsah (keringanan) tersebut yaitu pilihan berbuka puasa atau berpuasa dalam perjalanan. Sejumlah hadis mengisyaratkan diberikannya rukhsah (keringanan) untuk berbuka puasa dalam bepergian dengan toleran dan mudah, dan sepatutnya diterima rukhsah itu. Juga tidak disyaratkan adanya masyaqot (kesulitan) untuk menerima rukhsah itu. Dalam hal ini berpuasa bagi musafir (berbuka) supaya menggantinya pada hari-hari lain, agar orang yang dalam kesulitan ini nantinya dapat menyempurnakan puasa ramadhan yang ditinggalkanya itu, sehingga tidak terluput dari pahala. Hanya saja ada yang mengkhawatirkan bahwa pendapat semacam ini akan mendorong orang yang menyukai keringanan lantas bersikap seenaknya. Sehingga dikhawatirkan akan ditinggalkan ibadah-ibadah yang wajib hanya karena alasan yang sepele. Hal inilah yang menjadikan para ulama' bersikap ketat dan membuat syarat-syarat tertentu. Adanya batasan-batasan dalam melakukan perjalanan terutama ketika kita dalam keadaan berpuasa, apakah kita melaksanakan puasa atau tidak. Dalam hadis tentang pilihan berbuka atau berpuasa secara makna, hadis ini tidak mewajibkan harus berpuasa dan berbuka. Dan hadis ini tidak adanya taukid (keharusan), akan tetapi di dalam hadis tersebut merupakan hadis pertanyaan dan jawaban atas pertanyaan hadis tersebut.
Adapun penelitian ini merupakan kajian kepustakaan (Library Research), yaitu dengan mengumpulkan data-data primer atau buku utama yang terkait dengan tema yang dikaji, dan data sekunder yang menunjang penelitian ini. Selanjutnya penulis menganalisa hadis-hadis tersebut apakah bertentangan dengan al-Qur'an, akal sehat atau hadis yang lebih sahih. Dalam hal ini juga diambil beberapa pendapat dari beberapa ulama fiqh.
Dari hasil penelitian tentang pilihan berbuka atau berpuasa dalam perjalanan, tidak adanya keharusan meninggalkan atau melaksanakan puasa. Walaupun dalam hadis sendiri tidak ada keharusan berpuasa atau berbuka dalam perjalanan, alangkah baiknya melaksanakan puasa ketika dalam perjalanan. Mengingat transportasi pada zaman sekarang lebih maju dan serba nyaman dibandingkan dengan zaman dahulu. Selain itu juga berpuasa pada hari seperti itu (selain hari ramadhan) akan lebih berat baginya dibanding berpuasa dalam perjalanan pada bulan ramadhan. Dengan demikian puasa lebih baik dibandingkan membatalkan puasa ketika dalam perjalanan, walaupun dalam hadis sendiri tidak ada keharusan berpuasa atau berbuka ketika dalam perjalanan. SYAMSUL FATONI - NIM. 035313322013-03-25T10:04:49Z2013-03-25T10:06:45Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/3926This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/39262013-03-25T10:04:49ZHERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENAFSIRAN AL-QUR’AN (Studi Analisis Terhadap Majalah Islamia)Skripsi ini membahas tentang pandangan kontra terhadap wacana hermeneutika. Permasalahan pokok skripsi ini adalah pertama, Bagaimanakah pandangan majalah Islamia terhadap metode hermeneutika dalam penafsiran? , dan kedua, Bagaimanakah paradigma hermeneutika terutama keterkaitannya dengan penafsiran al-Qur'an? Jawaban dari pertanyaan tersebut selanjutnya mengarah kepada implikasi dan relevansi hermeneutika.
Alasan penulis memilih mengkaji pandangan Majalah Islamia terhadap hermeneutika sebagai metode penafsiran adalah: pertama, majalah Islamia ini cukup representatif, karena selain ia fokus dalam pemikiran-pemikiran keislaman, agaknya ia juga menjadi motor bagi komunitas yang kontra terhadap metode hermeneutika; kedua, wacana hermeneutika al-Qur'an merupakan wacana kontemporer yang masih terus berkembang dan dikaji dalam rangka penyempurnaan amp;#8216;Ulum al-Qur'an dan metodologi tafsir. Penelitian ini menggunakan pendekatan historis filosofis dengan metode deskriptif, kritis, interpretatif, komparatif-sintesis. Adapun operasional metodologis penelitian ini dilakukan melalui tahap-tahap yakni mengumpulkan dan mengklasifikasikan data, kemudian mengolah dan menginterpretasi data.
Hasil penelitian ini adalah: pertama, Secara garis besar, pandangan Islamia secara keseluruhan dalam menelaah hermeneutik adalah 1) hanya melihat hermeneutika secara peyoratif sebagai sesuatu yang bermasalah, tanpa kesediaan melihat secara adil keniscayaan ilmiahnya serta potensi-potensi positifnya. Sikap penolakan Islamia terhadap hermeneutika lebih didasarkan pada alasan worldview dan presupposisi hermeneutika yang diduga problematik, tanpa ada upaya menimbang segi perangkat dasarnya yang bersifat ilmiah dan memungkinkan untuk diadapsi dan diformulasi dalam paradigma Islam; 2) memandang memadainya metode tafsir klasik yang mencerminkan tradisi Islam, sebagai metode ilmiah yang senantiasa relevan dan final, tanpa menimbang realitas perkembangan ilmu pengetahuan manusia untuk kemudian berupaya mengupgrade metode tafsir klasik tersebut dengan temuan pengetahuan modern. Kedua, paradigma hermeneutika memiliki keterkaitan dengan ilmu tafsir, terbukti dengan adanya kesamaan-kesamaan antara keduanya, disertai dengan kelebihan-kelebihan hermeneutika yang tidak dimiliki oleh ilmu tafsir klasik. Persamaan keduanya pada kajian tentang persoalan kebahasaan, dalam hermeneutika dikembangkan lebih lanjut dengan perhatian yang lebih intens kepada fenomena majaz atau metafora. Sedangkan kelebihan hermeneutika adalah memberikan perhatian dan kesadaran kritis terhadap aspek di luar bahasa seperti pikiran dan budaya. Sejumlah gagasan konseptual dalam tradisi hermeneutik seperti keharusan mempertimbangkan konteks sosial pembaca maupun teks, konsep teks itu sendiri, keragaman potensial makna teks, mempertimbangkan tujuan aplikasi penafsiran merupakan kumpulan konsep yang erat kaitannya, bahkan tidak lain merupakan quot;kepanjangan tangan quot; dari istilah-istilah metodologis yang terdapat dalam tradisi kajian 'Ulum al-Qur'an. SUBHAN ASSHIDIQ - NIM. 015306112013-07-25T10:17:05Z2016-07-01T09:24:34Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/3928This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/39282013-07-25T10:17:05ZLAILATUL QADR DALAM TAFSIR KLASIK, PERTENGAHAN DAN MODERN (Studi Komperatif Tafsir J amp;#257;mi' Bay amp;#257;n f amp;#299; Tafs amp;#299;r Al-Qur' amp;#257;n, R amp;#363;h Al-Ma' amp;#257;ni dan Al- Misbah) ABSTRAK Lailat Al-Qadr merupakan satu malam penting yang terjadi pada bulan Ramadhan, yang dalam Al Qur'an digambarkan sebagai malam yang lebih baik dari seribu bulan. Beragam pendapat muncul dikalangan mufassir dalam mengkaji lailat al-Qadr, sehingga menimbulkah beragam pertanyaan tentang bagaimanakah malam al-Qadr itu? Apa terjadi hanya sekali saja pada saat turunnya al-Qur' amp;#257;n (Nuzulul Qur' amp;#257;n)? Atau setiap bulan Ramadhan sepanjang sejarah? Ataukah sepanjang tahun baik Ramadhan ataupun tidak? Dari uraian di atas, peneliti bermaksud membahas lailat al-Qadr tersebut dalam tafsir periode klasik, pertengahan, dan modern/kontemporer melalui kitab tafsir Jami' Bayan fi Tafsir Al-Qur amp;#257;n karya Ibn Jar amp;#299;r Al-Tabar amp;#299;, tafsir Ruh Al-Ma'ani karya Al-Alusi Al-Bagdadi dan Tafsir Al-Misbah karya M. Quraish Shihab.
Penelitian ini menggunakan metode library research yaitu penelitian dengan cara mengkaji dan menelaah sumber-sumber tertulis yang terkait dengan obyek pembahasan dengan menekankan kepada penafsiran dan analisis atas data-data yang tersedia dengan memberikan gambaran secara deskriptis-analistis. Dengan kata lain, pemikiran ketiga tokoh tersebut akan dideskripsikan secara komprehensif (karakteristik, corak serta peristiwa yang melingkupi ketiga mufassir tersebut). Selanjutnya, penyusun akan mencoba membuat perbandingan pemikiran ketiga mufassir tersebut agar mudah dipahami cara melakukan penafsirannya. Temuan dalam penelitian ini memperlihatkan bahwa terdapat perbedaan dalam metode penafsirannya. Sebagaimana at-Tabari denagan metode riwayatnya, beliau banyak menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an dengan hadits-hadits khususnya rawi hadits otoritas awal. Sementara al-Alusi dalam penafsiranya beliau mencoba memadukan riwayat dan ra'yi dalam artian bahwa riwayat dari Nabi atau shahabat atau bahkan tabi,in tentang penafsiran al-Qur' amp;#257;n dan ijtihad dirinya dapat digunakan secara bersama-sama, sepanjang hal itu dapat dipertanggungjawabkan akurasinya. Lain halnya dengan M. Quraish Shihab beliau menggunakan metode ijmali (global) maudu'i (tematik) atau penafsiran ayat-ayat tertentu dengan mengunakan pendekatan-pendekatan modern seperti semantik, analisis gender, semiotik, hermeneutika dan sebagainya.
Dari hasil penafsiran ketiga Mufassir tersebut tentang lailat al-Qadr penulis melihat: Ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa Lailat al-Qadr hanya terjadi sekali itu dan tidak akan ada lagi sesudahnya. Pakar hadits Ibn Hajar menyebutkan alasan mereka itu antara lain sebuah riwayat yang dinisbatkan kepada Nabi saw. yang menyatakan Innah amp;#257; rufi'at (sesungguhnya malam al-Qadr telah terangkat, dalam arti sudah tidak akan datang lagi). Secara eksplisit maupun implisit dari hasil penafsiran ketiga mufassir tersebut mengisyaratkan bahwa lailat al-Qadr terjadi setiap tahun dengan beragam keunikan dan keistimewaan di dalamnya yakni, pada bulan Ramadhan khususnya dimalam-malam ganjil paruh akhir Ramadhan, walaupun masih terdapat perbedaan pendapat tentang tanggal berapa lailat al-Qadr turun. Oleh karena itu bulan Ramadhan adalah bulan yang sangat istimewa dan bertambah keistimewaannya dengan adanya malam al-Qadr yang sangat ditunggu-tunggu oleh umat Islam diseluruh penjuru dunia. SYAFIEQ ULINUHA - NIM. 025311732013-08-20T07:05:51Z2022-03-01T03:45:33Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/3884This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/38842013-08-20T07:05:51ZPENAFSIRAN HAMKA TENTANG SYURA DALAM TAFSIR AL-AZHARSyura atau sering dikenal dengan musyawarah di dalam al-Qur'an dapat ditemukan dalam QS. Ali Imran [3]: 159, dan QS. asy-Syura [42]: 38. Dari penafsiran kedua ayat tersebut, banyak intelektual muslim menjadikannya sebagai landasan bagi teori pemerintahan. Karenanya, sangat beralasan jika kajian terhadap ayat-ayat tersebut dikatakan bukan hal baru dalam kajian Islam, bahkan ayat-ayat tersebut dari dulu hingga kini masih menuai banyak perdebatan. Dewasa ini, istilah syura sering dikaitkan dengan sistem republik, demokrasi, parlementer, perwakilan, senat formatur, dan berbagai konsep yang terkait lainnya dengan sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Penerimaan dan penolakan terhadap syura sebagai padanan dari sistem negara modern menjadi pertarungan wacana dengan argumen yang kaya. Persoalan tentang perlu atau tidak menerima syura sebagai padanan pemerintahan modern membuat kajian ini menjadi menarik dan penting jika kajian ini menggunakan tokoh yang memiliki kualitas sebagai mufasir dan politikus. Hamka adalah sosok pemikir multidisiplin, di dalam dirinya terhimpun kualitas sebagai seorang mufasir, sastrawan, budayawan, pejuang, dan negarawan/politikus. Tafsir al-Azhar ditulis ketika beliau menjadi tahanan pemerintah orde lama. Pada masa situasi politik Indonesia mengalami instabilitas.
Penelitian ini menggunakan pendekatan sosio-historis dengan menggunakan metode deskriptif-analisis. Sementara itu operasional metodologis kajian ini secara garis besar dilakukan melalui lima tahap, yaitu pengumpulan data, klasifikasi data, merestrukturisasi data-data dan kemudian pengelohan dan interpretasi data.
Hasil penelitian ini adalah syura merupakan dasar pemerintahan dalam pembangunan masyarakat dan Negara Islam, walaupun dalam pemikirannya Hamka tidak menyebutkan Negara Islam. Syura merupakan sifat, dan sekaligus dasar sebuah masyarakat muslim, Hamka memandang bahwa aplikasi syura dalam masyarakat harus memperhitungkan konteks, relevan dengan keadaan ruang dan waktu yang ada. Dalam pandangannya, hendaknya syura didasarkan atas pertimbangan maslahat mafsadat. ACHMAD SYAHRUL - NIM. 035313122013-10-02T06:48:55Z2013-10-02T06:50:47Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/4378This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/43782013-10-02T06:48:55ZSUMBER AJARAN TAREKAT NAQSYABANDIYAH KADIRUN YAHYA (Studi Kasus di Surau Saiful Amin Yogyakarta)Salah satu tarekat yang berkembang di Indonesia yang banyak menuai pro dan kontra adalah Tarekat Naqsyabandiyah Kadirun Yahya. Bagi sebagian kalangan tarekat tersebut dianggap menyalahi amp;#8216;tradisi' Islam. Hal ini merupakan suatu kewajaran sebab Tarekat Naqsyabandiyah Kadirun Yahya dalam memahami doktrin Islam yang terkandung dalam teks-teks keagamaan secara umum dan khususnya aturan-aturan pokok seputar amp;#8216;wilayah dalam' dari ajaran-ajaran Islam tersebut menggunakan pendekatan amp;#8216;tidak lazim' yang sama sekali baru dan berbeda dari pemahaman dogmatis yang selama ini berlaku.
Adanya perbedaan penafsiran atas al-Qur'an dan al-Hadits mengakibatkan perpecahan umat muslim yang tak jarang dibarengi dengan klaim pengkafiran (takfir), padahal seorang muslim hendaknya mampu menganalisa berbagai problematika umat dengan pikiran jernih dan tetap berpegang teguh pada kandungan al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah SAW dan mengedepankan sikap persaudaraan (ukhuwah Islamiyah). Untuk mencapai hal tersebut diperlukan berbagai pendekatan dari dari banyak disiplin keilmuan. Berkenaan dengan penelitian ini, penulis mencoba menggunakan seperangkat metodologi yang dikemukakan oleh Clifford Geertz, yakni teori tafsir budaya simbolik dengan pendekatan antropologi budaya. Menurut Geertz penafsiran kebudayaan pada dasarnya merupakan penafsiran terhadap makna-makna simbol. Untuk memahami simbol-simbol, maka perlu menangkap makna-makna yang memerlukan sebuah interpretasi.
Walhasil, penelitian ini menemukan adanya fenomena keagamaan yang sarat dengan khazanah tasawuf (tarekat) yang turun temurun dari generasi ke generasi, yang mana khazanah tersebut tetap berpegang teguh pada al-Qur'an dan al-Hadits. Namun yang lebih menarik adalah pemahaman tasawuf yang terkandung dalam al-Qur'an dan al-Hadits tersebut melalui pendekatan teknologi modern dan ilmu eksakta, selain itu diperoleh pemahaman konsep-konsep dalam tasawuf yang inovatif, sebab pada kenyataanya selama ini tasawuf hanya dipahami secara dogmatis, sehingga terkesan tasawuf menghambat kemajuan dan anti modernisasi. GHUFRON AHMADI - NIM. 015304822013-10-22T07:43:40Z2013-10-22T07:44:23Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/4989This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/49892013-10-22T07:43:40ZKARAKTERISTIK KEDAERAHAN TAFSIR AL MUNIR BAHASA AKSARA LONTARAK BUGIS KARYA AG H DAUD ISMAIL AL SUFFINY ABSTRAK Kajian skrispi ini mengangkat tentang salah satu karya tafsir yang bernuansa lokal yang tentunya mempunyai karakter atau cirri khas tersendiri dari karya tafsir yang sudah ada yaitu membahas karakteristik kedaerahan tafsir al Munir bahasa Aksara Lontarak Bugis karya Ag. H. Daud Islamail al Suffiny. Kajian utamanya adalah mencari karakteristik kaedaerahannya dan bagaimana mufassir mufassir mengakomodir budaya setempat dalam karya tafsirnya, juga sekilas tentang riwayat hidup sang mufassir, sumbangan pemikirannya terhadap masyarakat setempat, sistematika, metode, corak dan bentuk penafsirannya.
Kajian ini menggunakan literature kepustakaan sebagai prospektif keilmuan dasar terhadap tafsir dengan cara studi kepustakaan dan mengadakan wawancara langsung dengan mufassir dan para pihak yang terkait guna mendukung dan memperkuat data yang ada. Dalam pengolahan data menggunakan metode Deskriptif Analitik yakni pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat lalu dianalisis dengan menguraikan data dan sumber yang ada. Kajian ini menggunakan pendekatan antropologis yalni pengolahan data yang di dalamnya mengandung pelukisan mengenai kejadian dan gejala juga kebudayaan masyarakat Sulawesi selatan.
Kajian ini menyimpulkan bahwa karakteristik kedaerahan tafsir al Munir bahasa Bugis yang paling menonjol dapat langsiung terlihat dari penggunaan aksara Lontarak Bugis dalam tafsirnya. Unsur kedaerahan ini sengaja ditampilkan untuk memperkaya khasanah pemahaman al Qur'an melalui bahasa setempat sehingga akrab dengan para pembacanya. Dalam bidang Aqidah berusaha menafsirkan ayat-ayat tentang tauhid dan syirik dengan upaya untuk merubah kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang sudah mengakar seperti system religi dan kepercayaan animism dan dinamisme yang masih dianut sebagian masyarakat Bugis. Dalam bidang hokum berusaha mengangkat persoalan-persoalan yang marak terjadi di kalangan masyarakat Bugis khususnya masalah kewarisan dan khamar. div NIM. 98532771 SAMSUNI