Institutional Repository UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta: No conditions. Results ordered -Date Deposited. 2024-03-19T06:59:40ZEPrintshttp://digilib.uin-suka.ac.id/images/sitelogo.pnghttps://digilib.uin-suka.ac.id/2023-12-12T02:33:16Z2023-12-12T02:33:16Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/62581This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/625812023-12-12T02:33:16ZPEMAHAMAN KH. M. SYIHABUDDIN MUHSIN TERHADAP HADIS-HADIS TENTANG AL-MUHDASAT DALAM MANSYURAT DINIYYAHPerbedaan pemahaman dalam pemaknaan hadis adalah sesuatu yang tidak
bisa dipungkiri semenjak seribu empat ratus tahun silam hingga detik ini. Di
Indonesia ditunjukkan dengan adanya perbedaan dalam memahami
bid’ah/muḥdaṡ sebagai sesuatu yang tidak berdasar dari Rasul. Silang pendapat
menjadi perseteruan yang sengit hingga menimbulkan pengklaiman satu sama lain
sebagai ahli bid’ah. Ini menuntut untuk dilakukannya pemahaman ulang guna
menanggulangi atau setidaknya mengurangi kesalahpahaman yang terjadi dalam
masalah muḥdaṡ, terutama untuk konteks ke-Indonesiaan.
Sebuah penelitian dilakukan untuk membahas kembali pemahaman
muḥdaṡ versi tokoh lokal yang mampu menjawab beberapa permasalahan.
Permasalahan yang diharapkan terpecahkan dengan penelitian ini adalah
mengenai bagaimana konsep sunnah serta pemahaman hadis muḥdaṡ bila
dikaitkan dengan konteks ke-Indonesia-an, serta bagaimana implikasinya terhadap
tradisi dan ritual yang ada. Dari itu, penulis mengangkat KH. M. Syihābuddīn
Muḥsin sebagai tokoh lokal yang cukup representatif, yang membahas masalah
tersebut secara rinci dalam kitabnya yang bernama Mansyūrāt Dīniyyah.
Dalam menyelesaikan penelitian pustaka ini, penulis menggunakan
metode deskriptif analitik, dengan pendekatan deduktif-interpretatif. Pendekatan
ini mengungkap teori-teori ataupun metode kyai Syihāb dalam memahami hadishadis
muḥdaṡ.
Setelah melalui pengkajian yang cukup panjang, penelitian ini berhasil
mengungkap konsep sunnah versi KH. M. Syihābuddīn Muḥsin, yang cenderung
dominan mengikuti Muḥaddiṡūn dan Uṣūliyyūn yang memaknai sunnah sebagai
sesuatu yang menjelaskan dan menafsirkan al-Qur’an baik dalam bentuk
perkataan, tindakan ataupun ketetapan. Selain itu penelitian ini juga berhasil
merumuskan pemahaman KH. M. Syihābuddin Muḥsin terhadap hadis-hadis
tentang muḥdaṡ dengan pembacaannya terhadap lokalitas ke-Indonesia-an.
Metode itu adalah (1) merujuk kepada syurūḥ al-hadīṡ; (2) perbedaan riwayat bi
al-ma’nā tidak selamanya dipahami sebagai variasi redaksi, akan tetapi dikaji juga
sebagai varian makna; dan (3) mengkompromikan hadis-hadis al-Muḥdaṡāt yang
seakan kotradiktif. Adapun implikasi yang ditimbulkan dari hasil pemahaman
kyai Syihāb terhadap hadis-hadis al-Muḥsaṡāt adalah tradisi ziyārah al-qubūr
dinilai sesat apabila mengandung unsur tabarrukan wa i’ẓāman (keberkahan dan
pengagungan) yang tercermin dari perilaku ittikhād al-qubūr masājid (menjadikan
kuburan sebagai mesjid). Sedangkan implikasinya terhadap ritual keagamaan
ditunjukkan dengan pergeseran hukum tawassul yang asalnya mubah menjadi
haram apabila terdapat unsur wasīṭah (perantara) benda mati dalam pelaksanaan
ibadah kepada Allah swt.NIM.: 07530067 Arif Nursihah2023-12-12T02:14:53Z2023-12-12T02:14:53Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/62579This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/625792023-12-12T02:14:53ZPLURALISME AGAMA DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN
(STUDI KRITIS ATAS PEMIKIRAN ABDUL MOQSITH GHAZALI)Dalam perbincangan masalah keagamaan kontemporer, wacana pluralisme
agama merupakan salah satu tema yang paling hangat diperdebatkan saat ini, ia
mendapatkan perhatian yang cukup besar dan dominan. Ia lahir ditengah klaim
kebenaran (truth-claims) eksklusif dan klaim kebenaran inklusif yang ketiganya
merupakan sikap dalam memandang kenyataan pluralitas agama. Dalam rangka
menghadapi tiga jenis paradigma ini, sejumlah intelektual termasuk Abdul Moqsith
Ghazali menilai bahwa paradigma pluralisme merupakan alternatif yang cukup
memadai untuk diterapkan dalam konteks masyarakat yang plural.
Secara garis besar, skripsi ini berupaya untuk mendeskripsikan, menganalisis
dan kemudian mengkritisi pemikiran Moqsith tentang pluralisme agama yang
tertuang dalam bukunya Argumen Pluralisme Agama; Membangun Toleransi
Berbasis Al-Qur’an, mulai dari pengertian pluralisme agama, pergeseran arti
pluralisme agama, agama dan klaim kebenaran, problem pluralisme agama serta
Islam dan klaim kebenaran agama. Tulisan ini juga memaparkan tentang penafsiran
Moqsith terhadap ayat-ayat yang berbicara tentang pluralisme agama yang penulis
fokuskan pada pembahasan tentang pengakuan dan keselamatan umat non-muslim.
Pada bagian ini, penafsiran Moqsith terhadap ayat al-Qur’an yang membicarakan
tentang tema terkait dan metode tafsir yang digunakan, dideskripsikan, dianalisis dan
dikritik.
Setelah melakukan studi kritis atas pemikiran pluralisme agama Abdul Moqsith
Ghazali dan penafsirannya, dapat disimpulkan bahwa definisi pluralisme agama yang
diutarakan oleh Moqsith, secara teknis dan akademis adalah lebih tepat dan sesuai
dengan yang dimaksudkan oleh para ahlinya. Adapun pengertian yang diutarakan
oleh MUI, dalam hal ini adalah mereka yang menolak, secara teoritis dan akademis
adalah kurang tepat dan tidak sesuai. Paradigma pluralis yang dipaparkan oleh
Moqsith, tidaklah jauh berbeda sebagaimana yang diidealkan oleh para advokat dan
penganjur paham tersebut seperti John Hick, Fritjof Schuon, Sayyed Hossein Nasr,
Nurcholish Madjid, Alwi Shihab dan para tokoh lainnya yang menyatakan bahwa
unsur pokok pluralisme agama adalah munculnya satu kesadaran bahwa agamaagama
yang ada itu berada dalam posisi dan kedudukan yang paralel, yang memiliki
esensi ajaran sama, yang berbeda adalah syari’atnya yang merupakan jalan dan
ekspresi, sementara Tuhan adalah tujuannya.
Metode penafsiran Moqsith, yang katanya menggunakan metode tafsir maud}u’i,
tapi ternyata masih belum memenuhi syarat dan masih banyak kekurangannya. Dalam
memahami suatu permasalahan, ia hanya menggunakan satu dua ayat tanpa melihat
ayat-ayat lainnya yang terkait (munasabah al-ayah) dan sebab/peristiwa atau keadaan
dan kondisi sosio-historis diturunkannya ayat tersebut (asbab al-nuzul) serta hadis
yang berbicara tentang permasalahan tersebut. Ia begitu tekstual dalam memahami
ayat-ayat yang seakan-akan mendukung gagasan pluralisme, sampai-sampai menolak
penafsiran para ulama tafsir.NIM.: 07530072 Asep Setiawan2023-12-12T02:02:59Z2023-12-12T02:02:59Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/62578This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/625782023-12-12T02:02:59ZTAFSIR AL-QUR’AN TENTANG KEIMANAN ABU TALIB (STUDI KOMPARATIF TERHADAP TAFSIR IBN KASIR DAN TAFSIR AL-MIZAN)Keimanan Abu Talib dalam ranah pemikiran Islam masih mempunyai
perdebatan yang sangat panjang, sebagian ulama’ ada yang mengklaim bahwa ia
adalah seorang yang kafir, sedangkan sebagian yang lain ada yang mengklaim bahwa
ia adalah seorang yang beriman. Abu Talib tidak jarang juga dicampur adukkan
dalam permasalahan politik pada saat kekuasaan yang dipegang oleh Mu’awiyah
yang berusaha untuk mendiskreditkan Ali dan keluarganya. Di dalam al-Qur’an
sendiri terdapat banyak ayat yang oleh sebagian Ulama’ dianggap bahwa ayat-ayat
tersebut turun sehubungan dengan keimanan Abu Talib. Sebut saja surat al-Tawbah
ayat 113-114, surat al-Qasas ayat 56, dan surat al-An’am ayat 26.
Penelitian ini ditulis sebagai wujud ketertarikan penulis untuk mengetahui
lebih dalam tentang perihal di atas dengan fokus kajian penafsiran Ibn kasir sebagai
tafsir yang beraliran Sunni dan penafsiran Tabataba’i sebagai tafsir yang beraliran
Syi’ah. Pembahasan skripsi ini menggunakan metode komparatif (muqaran), yaitu
dengan membandingkan penafsiran Ibn kasir dan penafsiran Tabataba’i disertai
dengan penjelasan ayat yang sehubungan dengan keimanan Abu Talib dan
dicantumkan hadis-hadis yang melengkapi pembahasan ini. Penulis ingin mengetahui
sisi-sisi persamaan dan perbedaan antara kedua tokoh mufassir, serta sebab-sebab
terjadinya persamaan dan perbedaan antara kedua tokoh mufassir tersebut dalam
menafsirkan ayat-ayat yang berhubungan dengan keimanan Abu Talib.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa persamaan dari kedua penafsir ini
adalah mereka sama-sama mengatakan bahwa ayat surat al-Taubah 113-114, surat al-
Qasas 56, surat al-An’am 26 diturunkan pada permasalahan tentang beriman atau
tidaknya Abu Talib, yang mana menurut Ibn Kasir, Abu Talib mengingkari keimanan
kepada Allah dan juga Nabi Muhammad saw (keponakannya sendiri) yang membawa
Risalah Allah. Ibn Kasir secara tegas mengatakan bahwa ayat-ayat tersebut turun
memang ditujukan kepada Abu Talib (paman Nabi), yang menceritakan tentang
penolakan Abu Talib untuk mengucapkan dua kalimat syahadat pada penghujung
hayatnya. Begitu juga dengan Tabata ba’i yang mengatakan bahwa Abu Talib mati
dalam keadaan tidak beriman. Sedangkan letak perbedaan di antara keuduanya
terdapat dalam surat al-An’am Ibn Kasir mengatakan ayat tersebut turun berkenaan
dengan Abu Ta lib yang membela Rasul untuk menjalankan dakwahnya. Tabata ba’i
berbeda dengan Ibn Kasir dalam penjelasan riwayahnya yaitu tafsir ‘Iyasi dan tafsir
Qumi, ia mengatakan dari jalur Ahl Bait bahwa Abu Talib adalah seorang yang
beriman berdasarkan bukti-bukti dan ucapan-ucapannya. Sehingga dari hasil
penelitian ini, setelah melakukan pengecekan terhadap para perawi-perawi hadis
(sanad hadis) dan juga matannya serta pengecekan dari referensi-referensi yang ada,
penulis menyimpulkan bahwa Abu Talib adalah seorang yang beriman. Secara
esensial kedua penafsiran tersebut sama, perbedaan yang paling menonjol hanyalah
terletak pada aliran yang mereka anut, Ibn kasir sebagai penafsir yang beraliran
Sunni, Tabataba’i sebagai penafsir yang beraliran Syi’ah.NIM.: 07530066 Diyan Yusri2023-12-12T01:54:39Z2023-12-12T01:54:39Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/62576This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/625762023-12-12T01:54:39ZTAFSIR AYAT – AYAT PERBUDAKAN MENURUT SAYYID QUTB DALAM KITAB FI ZILAL AL-QUR’ANPerbudakan adalah suatu sistem yang terdapat dalam segolongan orang
yang dirampas kebebasan dan kemerdekaan hidupnya untuk bekerja guna
kepentingan golongan manusia yang lain. Di dalam beberapa ayat Al-Qur’an
perbudakan telah dibahas secara jelas. Hal ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an
memiliki perhatian khusus terhadap wacana perbudakan yang telah muncul sejak
peradaban manusia lahir. Secara substansi praktik perbudakan eksploitasi
terhadap manusia masih terjadi hingga sekarang, hanya saja dari zaman ke zaman
bentuk perbudakannya selalu berubah sesuai dengan kondisinya.
Di dalam penelitian skripsi ini, penulis mengkaji penafsiran Sayyid Qutb
dalam kitab Tafsir Fī Zilāl al-Qurān terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang di
dalamnya membahas perbudakan. Hal ini bertujuan menjelaskan pandangan
Sayyid Qutb dalam menafsirkan ayat-ayat perbudakan yang terdapat di dalam
ayat-ayat Al-Qur’an, untuk melihat relevansi dan faktor-faktor permasalahannya
terhadap praktik perbudakan di masa sebelum ayat-ayat perbudakan dalam Al
Qur’an diwahyukan, sesudah diwahyukan hingga di zaman sekarang.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif-analitik,
bertujuan mendeskripsikan dan menganalisis penafsiran Sayyid Qutb. Dengan
pendekatan historis yang menekankan pentingnya memahami kondisi-kondisi
aktual ketika Al-Qur’an diturunkan. Dengan kata lain memahami penafsiran
Sayyid Qutb dalam kitab Tafsir Fī Zilāl al-Qurān terhadap ayat-ayat perbudakan
di dalam Al-Qur’an dengan konteks kesejarahan, lalu diterapkan pada situasi
masa kini kemudian membandingkan fenomena kondisi sosial kemasyarakatan
yang ada di setiap zamannya untuk menganalisa faktor masalah dan
penyelesaiannya sebagai sebuah penyimpulan akhir dari penelitian ini.
Hasil penelitian ini disimpulkan bahwa: Pertama, dalam Tafsir Fī Zilāl
al-Qurān perbudakan dipahami sebagai salah permasalahan sosial namun sangat
kental berlaku di dalam masyarakat jauh sebelum Al-Qur’an diturunkan. Kedua
menurut peneliti, penafsiran Sayyid Qutb mengungkap sebab utama dari
perbudakan dikarenakan peperangan yang terjadi di masa lampau. Ketiga, Bahwa
Islam memberikan kedudukan budak sama dengan manusia lainnya dan
memperlakukan budak sebagaimana manusia lainnya. Bagaimana sesungguhnya
pandangan al-Qur’an terhadap permasalahan hamba abdi, dan dari sini diketahui
bahwa Islam memang mengakui hamba abdi. Hamba abdi disamping diberi
tanggung jawab juga diberi hak-hak tertentu, sehingga martabatnya sebagai
manusia terangkat kembali. Keempat, Islam agama yang sangat ingin menghapus
perbudakan, dengan berbagai macam cara dan metode. Yaitu salah satunya
dengan memperlebar jalan keluar bagi budak itu sendiri untuk bebas dari jeratan
perbudakan dan menuju kemerdekaan. Al-Qur'an tidak membebaskan hamba abdi
secara spontan, tapi secara berangsur-angsur. Kelima, Bahwa rekonstruksi sosial
dan rekonstruksi teologi sangat diperlukan untuk mengikis perbudakan yang
terjadi di masa kini.NIM.: 05530043 Farid Hasan2023-12-12T01:47:22Z2023-12-12T01:47:22Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/62574This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/625742023-12-12T01:47:22ZPENAFSIRAN PARA ULAMA TERHADAP AYAT-AYAT LUPA DI DALAM AL-QUR’ANManusia dalam bahasa arab disebut dengan al-Insan, yang berasal dari
lafadz insiyan dari lafadz nisyan yang berarti lupa atau lalai. Lupa adalah
merupakan sifat dasar manusia, entah karena lupa yang disengaja, lupa karena
lemahnya kecerdasan atau mungkin karena imbas dari kecelakaan. Al-Qur'ān
mengungkapkan kelalaian ini sebagai lupa yang banyak terjadi pada manusia,
sehingga manusia melupakan Rabb-nya yang menciptakan dan memberikannya
kenikmatan yang sedemikian banyak.
Lupa itu sendiri dibagi menjadi dua, yaitu lupa yang dapat ditoleransi dan
lupa yang tidak dapat ditoleransi. Lupa atau lalai yang dapat ditoleransi adalah
lupa yang tidak disengaja, atau lupa yang dikarenakan banyaknya informasi yang
diterima sehingga menyebabkan lupa, sedangkan lupa yang tidak mendapat
toleransi adalah jenis lupa yang memang disengaja untuk dilupakan, atau karena
keteledoran dan kurangnya perhatian akan hal tersebut. Untuk itu penelitian ini,
penulis mencoba menelusuri bagaimana para mufassir menafsirkan lafadz-lafazd
lupa yang ada di dalam al-Qur'ān beserta sebab dan cara mengatasinya.
Di dalam al-Qur'ān lafadz yang dartikan lupa ada tiga, yaitu nasiya, ghafala, dan
sahā. Ketiga lafadz ini mempunyai definisi yang berbeda-beda, nasiya diartikan suatu
keadaan yang berada diluar kesanggupan manusia, dan merupakan suatu kelalaian yang
sudah pernah dilakukan. Ghafala diartikan, lupa yang terjadi pada diri sendiri sebab
sedikinya perhatian atau lengah terhadap hal tersebut. Sedangkan saha, berarti suatu
kesalahan yang dilakukan sebab lalai. Pada dasarnya ketiga lafadz ini memiliki makna
dasar yang sama, akan tetapi apabila ditelaah lebih mendalam akan ditemukan sedikit
perbedaan diantara ketiganya.
Ada banyak sekali penyebab lupa, adakalanya memang karena kemampuan
memori otaknya yang lemah, karena sedikitnya perhatian (menyepelekan)
terhadap hal yang dilupakan tersebut, atau karena terlena dengan urusan yang
tidak penting dan menuruti hawa nafsunya. Dan adakalanya lupa yang disebabkan
karena terbenturnya kepala yang sedemikian keras sehingga menyebabkan lupa,
dan ada pula yang disebabkan karena usia yang sudah lanjut, yang mana
kemampuan mencamkan dalam ingatan sudah melemah. Cara mengatasinya juga
bermacam-macam, yaitu dengan cara mengingatkan atau mengenalkan kembali,
dengan mengurangi makan makanan yang berlemak, memperpanjang sujud dan
puasa, dan dengan cara menulis hal-hal yang penting yang semestinya tidak
dilupakan.
Pada dasarnya lafadz nasiya, ghafal, dan saha tersebut mempunyai arti
yang sama yaitu lupa, akan tetapi kebiasaan orang arab dalam menggunakan
ketiga lafadz tersebut dengan pengertian yang berbeda-beda.NIM.: 05530034 Fikrotus Salimah2023-12-12T01:43:17Z2023-12-12T01:43:17Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/62573This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/625732023-12-12T01:43:17ZKARAKTERISTIK KEDAERAHAN AYAT SUCI LENYEPANEUN KARYA MOH. E. HASIMKitab tafsir Ayat Suci Lenyepaneun merupakan kitab tafsir lokal dari daerah
Sunda. Dikarang oleh salah seorang sastrawan Sunda, Mohammad Eumon Hasim.
Sebagaimana kajian-kajian yang telah ada sebelumnya, kajian tafsir lokal
biasanya memiliki karakter atau ciri khas yang berbeda satu sama lainnya. Hal ini
disebabkan oleh banyak keterpengaruhan penafsir dengan lingkungan, sosial
budaya yang mengitarinya. Inilah yang menjadi alasan mengapa penulis
melakukan kajian tafsir lokal yang berada di daerah Sunda. selain itu, kitab ini
menjadi rujukan pada pengajian oleh sebagian besar jamaah mesjid di daerah
Sunda. Skripsi ini berjudul Karakteristik Kedaerahan Ayat Suci Lenyepaneun
Karya Moh. E. Hasim.
Kajian utama dalam skripsi ini adalah mencari karakteristik kedaerahannya
dan bagaimana mufassir mengakomodir budaya setempat melalui karya tafsirnya
tersebut. Di samping kajian utama, penelitian ini juga mengemukakan sekilas
tentang riwayat hidup sang mufassir, seluk beluk tafsir Ayat Suci Lenyepaneun,
metode, sistematika serta corak penafsiran yang digunakan.
Dari hasil penelitian ini dapat dinyatakan bahwa latar belakang penulisan
tafsir Ayat Suci Lenyepaneun ini adalah keinginan penulis tafsir untuk merubah
cara pandang masyarakt Sunda yang mana mereka beranggapan bahwa al-Qur’an
cukup dibaca saja tanpa perlu memahami makna yang terkandung di dalamnya.
Dalam penafsirannya menggunakan metode Ijmali yang menjelaskan al-Qur’an
secara global. Selanjutnya, sistematika penulisan tafsirnya menggunakan
tartib/susunan mus}h}af Us}ma>ni, dan termasuk tafsir utuh 30 juz dan bercorak alādab
ijtimā’ī yakni dengan menjelaskan petunjuk ayat-ayat yang berkaitan
langsung dengan kehidupan masyarakat.
Penggunaan bahasa Sunda dalam tafsirnya ini sudah menjelaskan akan
karakteristik kedaerahan yang dimiliki pada tafsir ini. Selain pada penggunaan
bahasa, karakterisitik kedaerahan Ayat Suci Lenyepaneun karya Moh. E. Hasim
ini secara khusus tampak pada materi penafsirannya.
Adapun upaya Moh. E. Hasim dalam mengakomodir budaya lokal Sunda
saat itu, misalnya dalam bidang aqidah, mufassir berupaya untuk merubah
kebiasaan –kebiasaan masyarakat yang sudah ada dan mengakar kuat seperti
sistem religi dan kepercayaan animisme dan dinamisme yang masih dianut oleh
sebagian masyrakat Sunda. Dalam bidang hukum, mufassir berusaha mengangkat
persoalan-persoalan yang marak terjadi di kalangan masyarakat pada umumnya,
serta masyarakat Sunda sebagai lingkungan yang mengitari penulis pada
umumnya, seperti masalah kewarisan dan khamar. Karakateristik kedaerahannya
tampak ketika menafsirkan tentang ayat yang berbicara tentang kewarisan,
mufassir berusaha menjelaskan bahwa ia sangat menentang keras pembagian
yang tidak sesuai dengan QS. al-Nisā:11. Kemudian dalam masalah khamar,
tampak ketika menafsirkan khamar bukan lagi sebagai arak, akan tetapi khamar
adalah segala sesuatu yang dapat memabukkan. mufassir menyebutkan madat,
ganja, narkotika sebagai khamar zaman sekarang. Dilihat dari penafsirannya,
dapat disimpulkan bahwa Moh. E. Hasim menolak keras adat istiadat yang tidak
sesuai dengan syari’at IslamNIM.: 07530076 Gianti2023-12-12T01:39:39Z2023-12-12T01:39:39Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/62572This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/625722023-12-12T01:39:39ZMUSHAF AL-QUR’AN RASM USMANI MENURUT MAFTUH BASTHUL BIRRISkripsi ini berjudul Mushaf Al-Qur’an Rasm Usmani Menurut Maftuh
Basthul Birri. Pengambilan judul ini dilatarbelakangi fenomena ditemukannya
beberapa versi penulisan al-Qur’an dalam berbagai mushaf yang beredar di
masyarakat Indonesia, baik dari segi kerangka tulisan maupun tanda bacanya.
Fenomena ini cukup memberikan kegelisahan terhadap seorang tokoh pengkaji al-
Qur’an yakni Maftuh Basthul Birri. Beliau mengeluarkan pendapat yang cukup
membangkitkan kegelisahan para pengkaji al-Qur’an tentang tulisan/rasm pada
mushaf-mushaf yang beredar di masyarakat Indonesia yang menurut beliau tidak
sesuai dengan kaidah penulisan rasm Usmani. Hal ini menimbulkan pertanyaan
mengenai standar apa yang beliau gunakan dalam menilai sebuah mushaf berrasm
Usmani serta bagaimana penilaian beliau atas mushaf-mushaf yang beredar
di Indonesia.
Peneliti menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan model kajian
tokoh untuk mengetahui suatu pemahaman seorang tokoh. Pengumpulan data
dilakukan dengan metode dokumentasi dan wawancara. Kemudian data diolah
dengan diatur, diurutkan dan dikategorikan sehingga dapat ditemukan dan
dirumuskan jawabannya.
Setelah melaui penelitian diketahui bahwa pada dasarnya konsep Maftuh
Basthul Birri tidak berbeda dengan pendapat mayoritas ulama’. Beliau adalah
penganut pendapat bahwa tulisan al-Qur’an adalah tauqifi dan wajib hukumnya
mengikuti kaidah penulisannya. Standar beliau dalam mentashih mushaf adalah
standar baku dalam menjaga keotentikan al-Qur’an. Artinya tidak melenceng dari
kaidah-kaidah para ulama’ ahli rasm. Mungkin yang sedikit berbeda adalah beliau
menambahkan standar tanda baca yang mendampingi kerangka dasar tulisan al-
Qur’an.
Dari analisis beliau terhadap mushaf-mushaf yang beredar di Indonesia,
beliau menilai masih banyak mushaf yang tidak sesuai dengan standar. Mushaf
yang memenuhi standar hanyalah mushaf-mushaf Mesir dan yang mengkiblat
(memiliki surat tashih dari Mesir). Sedangkan mushaf-mushaf yang terbitan
Indonesia semuanya belum sesuai standar kecuali mushaf Yanbu’ Kudus yang
masih diterbitkan untuk kalangan sendiri.NIM.: 05530061 Imalatus Sa’adah2023-12-11T04:51:10Z2023-12-11T04:51:10Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/62569This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/625692023-12-11T04:51:10ZPENAFSIRAN KATA JAHALLAH
DAN BERBAGAI MACAM BENTUKNYA DALAM AL-QUR’AN
MENURUT AL-MARAGGI, SAYYID QUTHB DAN QURAISH SHIHABSkripsi ini berjudul “Penafsiran jahalah dan berbagai bentuknya dalam al-
Qur’an menurut Al-Maragi, Sayyid Quthb dan Quraish Shihab”. Topik ini
penulis angkat karena dalam perjalanan kehidupan manusia kebodohan
merupakan salah satu permasalahan manusia yang harus dihadapi. Kebodohan
senantiasa bermuara pada kerusakan pola kehidupan di dalam masyarakat dalam
segala aspek, seperti dalam beribadah menjadikan tertolaknya amal, dalam
keyakinan dapat menjadikan musyrik dan dalam hukum dapat membawa pada hal
yang haram. Kebodohan dalam bahasa arab disebut dengan jahalah, tersebut
didalam al-Qur’an sebanyak 4 kali, dan dengan bentuk perubahannya sebanyak
20 kali. Diantara sekian banyak mufassir, penulis memilih Al-Maragi, Sayyid
Quthb dan Quraish Shihab, karena ketiga mufassir mempunyai kelebihan masingmasing.
Al-Maragi dengan ma’na ijmali dan ma’na tahlili. Kemudian Sayyid
Quthb dengan keindahan bahasanya. Dan Quraish Shihab dengan penafsirannya
yang disesuaikan dengan konteks kekinian, khususnya Indonesia.
Permasalahan yang ingin ditemukan jawabannya melaui penelitian ini
adalah apa makna kata jahalah dan bentuk perubahannya yang terdapat dalam al-
Qur’an menurut Al-Maragi, Sayyid Quthb dan Quraish Shihab?. Dan apakah ada
perbedaan pemanknaan diantara mereka, peneliti menggunakan metode
penafsiran maud}ui (tematik), yaitu upaya memahami al-Qur’an dengan
memfokuskan pada tema yang telah ditetapkan, serta menggunakan metode
analisis perbandingan, untuk mengetahui perbedaan-perbedaan pemaknaan
diantara ketiga mufassir.
Dari penelitian ini, maka diperoleh kesimpulan bahwa, jahalah menurut
ketiga mufassir secara umum adalah perbuatan dosa atau perbuatan jahat yang
dilakukan manusia secara sengaja atau tidak karena didorong oleh hawa nafsu,
syahwat, kepentingan diri sendiri, maupun kesombongannya ataupun sikap
penolakan. Yang pertama menurut Al-Maragi jahalah yang terekam dalam al-
Qur’an lebih banyak dilakukan seseorang dengan sengaja karena sikap
penentangan atau penolakan terhadap suatu kebenaran. Yang kedua menurut
Sayyid Quthb jahalah lebih banyak dilakukan seseorang karena mendahulukan
kepentingan pribadi atau mempertahankan sifat angkuhnya. Adapun yang ketiga
menurut Quraish Shihab jahalah itu dilakukan seseorang karena kecerobohannya,
yakni dia telah mengetahui bahwa yang dilakukannya itu salah, akan tetapi dia
tetap melakukannya.NIM.: 06530001 Imarotul Ulya2023-12-11T04:23:50Z2023-12-11T04:23:50Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/62560This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/625602023-12-11T04:23:50ZTRANSFORMASI SEMANTIK FRASE KARIM, WAFA', SYAJA'AH, SIDDIQ, DAN SABR DALAM ETIKA ARAB JAHILIYAH PERSPEKTIF AL-QUR’ANDalam catatan sejarah Arab pra-Islam, komunitas Arab memiliki tingkat kemajuan yang pesat dalam perekonomian, hubungan dengan dunia internasional, dan—terutama—dalam aspek kebahasaannya. Tradisi sastra, prosa, dan puisi sudah menjadi tradisi Arab pra-Islam. Hal ini mengindikasikan sebelum al-Qur'an turun, bangsa Arab sudah memiliki kemampuan tinggi dalam bidang bahasa. Al-Qur'an yang secara definitif adalah kitab yang diturunkan oleh Allah melalui Muhammad dengan menggunakan bahasa Arab yang makna dan lafaz-nya dari Allah. Pandangan teologis ini tentu tidak mengesampingkan kenyataan bahwa teknik penyampaiannya berkaitan erat dengan kesepakatan-kesepakatan (baca: bahasa konvensional) masyarakat pemakai bahasanya (baca: Arab) dan hampir semua kosakata yang terdapat pada Al-Qur'an telah digunakan dalam bentuk dan weltanschauung tertentu oleh bangsa Arab pra-Islam. Etika jahiliyah adalah sistem nilai yang dianut kuat oleh masyarakat Arab pra Islam. Dalam kajian ini, tentunya memfokuskan pada perubahan beberapa makna etika yang telah terformulasi dalam bahasa masyarakat Jahiliyah seiring kehadiran Islam dengan kitab sucinya al-Qur’an yang juga mengunakan bahasa Arab. Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini memfokuskan pada persoalan "Bagaimana transformasi semantik dalam etika Arab Jahiliyah dalam frase karim, syaja’ah, siddiq dan sabr perspektif al-Qur'an? Penelitian ini merupakan penelitian pustaka yang mengambil sumbernya dari beberapa frase karim, wafa', syaja'ah, siddiq, dan sabr dalam al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan semantik. Berdasarkan pada pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa kata-kata seperti karim, wafa', syaja'ah, siddiq, dan sabr adalah beberapa permisalan atau contoh terjadinya transformasi semantik dalam proses penyebaran awal Islam kurun awal. Islam membiarkan penggunaan bahasa yang telah dipakai masyarakat Arab Jahiliyah kemudian diangkat dan disempurnakan melalui Kitab Suci al-Qur'an. Kenyataan tersebut dapat memberikan inspirasi bagi Islam modern. Isolasi terhadap lalu lalangnya peradaban dunia, adalah sikap yang tidak bijak. Al-Qur'an telah mencotohkan bagaimana dialog terhadap segala peradaban tanpa kehilangan esensinya. Dengan demikian, jika diperhatikan paparan kelima frase karim, wafa', syaja'ah, siddiq, dan sabr, dari aspek semantik frase-frase tersebut menurut al-Qur'an mempunyai makna-makna sebagai berikut: 1) Karim bermakna kedermawanan yang menunjukan nilai-nilai kebajikan penting, tanpa dibarengi dengan pemborosan; 2) Syaja'ah, bermakna keberanian yang dilandasi oleh disiplin luhur berdasarkan agama yang benar; keberanian di jalan Allah; 3) Wafa', bermakna menepati janji. Kesetiaan dan kepercayaan merupakan suatu ciri nilai paling tinggi dan paling nyata; 4) Siddiq, bermakna berkata benar lawan dari berbohong. Hal ini akan menjadi sangat penting bila dikembalikan kepada masalah kejujuran berkenaan dengan persoalan yang membicarakan hubungan religius antara Tuhan dan manusia dan 5) Sabr, bermakna memiliki ketabahan dan kekuatan jiwa dalam menghadapi kesengsaraan, penderitaan dan kesulitan dalam kehidupan.NIM.: 03531305 Muhammad Iskandar Zulka _2023-12-11T04:17:24Z2023-12-11T04:17:24Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/62559This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/625592023-12-11T04:17:24ZAL MANHAJ AL-TARIKH FI AL-QIRA'AT AL-NAS AL-QUR'ANI 'INDA KHAFIL ABDUL KARIM; DIRASAT WASFIYYAT TAHLILIYYATPenelitian ini m engkaji m etodologi sejarah (al-m anhaj al-tarikhi) m enurut
Khalil Abdul Karim dalam m engkaji teks al-Qur’an.Perm asalahan pokok yang akan
dijawab adalah; pertam a, bagaim ana m etodologi sejarah Khalil Abdul Karim dalam
m em aham i al-Qur’an? dan kedua, bagaim ana aplikasi m etodologi sejarah Khalil
Abdul Karim dalam m em aham i al-Qur’an dan ketiga,bagaim ana im plikasi m etologi
sejarah Khalil Abdul Karim dalam diskursus studi al-Qur’an?.Tem a ini penting
untuk dibahas karena, pertam a hubungan al-Qur’an dengan sejarah sem arak dikaji
dalam dunia akadem ik baik di dunia Islam m aupun diBarat.Kedua, fakta bahwa al-
Qur’an secara keseluruhan adalah turun dalam bingkai sejarah sehingga ia tidak bisa
dipaham i dengan m elupakan aspek kesejarahannya. Dipilihnya Khalil Abdul Karim
dalam penelitian ini karena, pertam a, Ia adalah tokoh yang m engkaji sejarah Islam
di era perdana term asuk kajian al-Qur’an dengan kritis. Kedua, Ia berpandangan
bahwa al-Qur’an itu turun karena faktor pengaruh m asyarakatnya, sehingga
turunnya al-Qur’an itu untuk m erespon kejadian dan peristiwa yang ada di waktu
turunnya.
Penelitian ini dilakukan dengan m enggunakan pendekatan hisrtorisherm
eneutis. Pendekatan historis digunakan untuk m engetahui perkem bangan
pem ikiran Khalil Abdul Karim dan im plikasi pem ikirannya dalam studi al-Qur’an.
Adapun pendekatan herm eneutis digunakan untuk m engetahui struktur dasar
m etodologi sejarahnya dalam m em aham i al-Qur’an.
Hasil penelitian ini berupa: pertam a, m etodologi sejarah Khalil Abdul Karim
dibangun dari m etodologi sejarah yang dipakai oleh ulam a’-ulam a’ terdahulu yakni
sabab al-nuzul dan naskh. Nam un tidak berhenti di sana, Khalil Abdul Karim
m em bangun m etodologinya dengan sejarah sosial, politik, dan peradaban yang ada
di saat m unculnya teks al-Qur’an. Khalil Abdul Karim m elihat bahwa sem ua ayat
al-Qur’an m em liki sabab al-nuzul, sehingga Khalil tidak m enerim a kaidah al-‘ibrat
bi ‘um um al-lafzlabi khusus al-sabab dalam m em aham i al-Qur’an m elainkan ia
m enggunakan kaidah al-‘ibrat bi khusus al-sabab la bi ‘um um al-lafz.Adapun naskh
m enurut Khalil Abdul Karim adalah hukum yang m uncul dalam waktu tertentu,
kem udian seiring dengan perubahan keadaan nam pak bahwa hukum tersebut jika
diteruskan akan m enjum pai sebuah kesulitan sehingga datanglah teks baru yang
m enggantinya dan dengan hukum baru yang m em bawa solusi.
Kedua, dalam dataran aplikasi, Khalil Abdul Karim konsisten dalam
m engaplikasikan m etodologinya karena ia m enggunakan sabab al-nuzuldan naskh,
nam un ia sedikit tidak m em berikan porsi yang lebih dalam m engaplikasikan m etode
naskh.
Ketiga, m etodologi Khalil Abdul Karim ini berim plikasi pada,
m enem patkan teks al-Qur’an sebagai teks historis dan dialektis. Kedua,
m em bedakan m ushaf ‘usm anidan al-Qur’an yang dihafal dan dijaga oleh para
sahabat dalam hafalannya.Ketiga, berbeda dari m ainstream yang berkem bang di
kalangan ulam a’ bahwa al-Qur’an sebagian turun tanpa sebab (ibtida’an) dan
sebagian lainnya turun karena sebab tertentu, nam un Khalil Abdul Karim m elihat
bahwa al-Qur’an sem uanya turun karena seNIM.: 07530064 Muhammad Makmun2023-12-11T04:08:31Z2023-12-11T04:08:31Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/62558This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/625582023-12-11T04:08:31ZAMR DAN NAHY DALAM SURAT AL-BAQARAH STUDI ATAS TAFSIR MA’ANNI AL-QUR’ANN KARYA AL-FARA’Salah satu media interaksi antara Allah SWT. dengan hamba-Nya ialah al-
Qur'an. Dalam berinteraksi tersebut digunakan sebuah alat yang dikenal dengan
bahasa. Salah satu bentuk kebahasaan yang ada dalam al-Qur’an adalah berupa
kata-kata perintah (amr) dan larangan (nahi). Kedua kaidah kebahasaan ini, dalam
sejarahnya telah mendapat perhatian tersendiri di mata para intelektual, khususnya
mereka yang bergelut dalam bidang Ulum al-Qur’an dan Usul al-Fiqh. Oleh
karena itulah mengapa kemudian ditemukan pengetahuan yang beragam terkait
dengan amr dan nahi ini. Salah satunya adalah sebagaimana yang terdapat dalam
kitab tafsir Ma’ani al-Qur’an karya al-Farra’.
Seperti diketahui, al-Farra’ merupakan seorang pakar gramatika bahasa
Arab yang cukup mumpuni. Dia telah menulis banyak karya akademik dalam
bidang linguistik, yang Ma’ani al-Qur’an adalah salah satu di antaranya. Dalam
kitab tafsir ini, aroma linguistiknya sangat terasa sekali. Sampai-sampai ketika
membaca kitab ini seakan-akan sedang membaca kitab tentang nahwu atau saraf,
bukan sebuah “kitab tafsir”. Inilah yang kemudian mengapa penulis merasa
tertarik untuk mengaji dan sekaligus mengkaji kitab ini, terutama dalam persoalan
amr dan nahi. Lebih spesifiknya lagi adalah perspektif al-Farra’ terhadap amr dan
nahi yang terdapat dalam surat al-Baqarah.
Masalah pokok yang coba dijawab dalam penelitian ini adalah: 1)
Bagaimanakah pandangan al-Farra’ dalam tafsir Ma’ani al-Qur’an terhadap amr
dan nahi?; 2) Bagaimanakah pemaknaan atau penafsiran al-Farra’ terhadap kata
amr dan nahi dalam surat al-Baqarah pada tafsir Ma’ani al-Qur’an?. Untuk
menjawab ke dua rumusan masalah ini, penulis menggunakan metode kualitatif
dan pendekatan deskriptif analitis.
Setelah melakukan penelitian, penulis sampai pada kesimpulan bahwa
dalam tafsir Ma’ani al-Qur’an, al-Farra’memiliki perspektif yang sedikit berbeda
dengan para ulama’ mayoritas, terutama yang sezaman, dalam memandang ayatayat
amr dan nahi. Dia tidak memposisikan lafad-lafad amr dan nahi dalam
kerangka yang perlu dikaji dari aspek bentuk redaksi kalimatnya dan kategori
serta ragam makna yang ditimbulkannya, sebagaimana yang telah dilakukan para
ulama’ mayoritas. Namun al-Farra’ lebih tertarik untuk melihat ayat-ayat amr dan
nahi dari perspektif kebahasaannya (baca: problem i’rab-nya) yang dimungkinkan
akan berpengaruh terhadap pemaknaan al-Qur’an. Akibat dari desainnya inilah
mengapa kemudian al-Farra’ hanya menerangkan sebagian kecil dari unit tertentu
dalam sebuah lafad amr dan nahi, apakah itu menyangkut qiraah, atau pun juga
pemberian vocal (harakah,). Seperti apakah sebuah lafad harus dibaca jazm atau
nasab, atau pun yang lainnya.NIM.: 05530039 Muhtadin2023-12-11T03:54:50Z2023-12-11T03:54:50Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/62554This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/625542023-12-11T03:54:50ZAL-QIRA’AT AL-SYAZZAH WA TAUJIHUHA MIN LUGAH AL-‘ARAB (TELA’AH ATAS KARYA ABD AL-FATTAH AL-QADI)Seharusnya keberadaan qira’at Syazzah ini tidaklah menjadi ‘momok’ yang
menakutkan bagi qira’at mutawatirah karena menurut al-Qadi qira’at Syazzah juga
dapat digunakan sebagai hujjah dalam mengambil dan menetapkan hukum syari’at
dengan bukti-bukti yang kuat. Selain itu, ia juga minimal dapat digunakan sebagai
suatu mazhab atau qaul sahabi yang dapat berfungsi sebagai bayan tafsir dari qira’at
masyhurah dan penjelasan mengenai dirinya.
Di tempat lain, dalam konteks studi ilmu qira’at, penulis melihat bahwa qira’at
syaz khususnya masih sangat jarang dilirik sebagai landasan hukum bagi pengkaji
Islamic Studies. Hal ini kemudian berimplikasi pada munculnya kesan bahwa qira’at
ini sebagai bacaan yang tertolak begitu saja tanpa melihat ulang secara mendalam
tentang kajian ini.
Berangkat dari fakta di atas, maka pokok penelitian skripsi ini difokuskan pada
kajian Qira’at al-Qur’an untuk menjawab pertanyaan yang diajukan dalam rumusan
masalah sebagai berikut: pertama, Bagaimana konsep qira’at syazzah menurut Abd
al-Fattah al-Qadi? dan kedua, Apa implikasi dari konsep yang diterapkan oleh Abd
al-Fattah al-Qadi terhadap istinbat hukum? Untuk menjawab fenomena tersebut,
metode yang diajukan adalah metode Deskriptif-Historis. Hal ini dimaksudkan
untuk mengetahui latar belakang dan konsep/kriteria syaz menurut kitab Al-Qira’at
asy-Syazzah wa Taujihuha min Lugah al-‘Arab.
Berdasarkan metodologi tersebut, maka terungkaplah bahwa latar belakang
munculnya kitab Al-Qira’at asy-Syazzah wa Taujihuha min Lugah al-‘Arab adalah
sebagai respon al-Qadi terhadap kebutuhan mahasiswa tingkat satu diperkuliahan
qira’at Mesir. Qira’at syazzah adalah setiap qira’at yang tidak memiliki rukun yang
tiga yakni, mutawatir, sesuai dengan rasm mushaf Usmani, dan sesuai dengan kaidah
tata bahasa ‘Arab, atau kurang salah satu dari syarat-syarat tersebut. Oleh
karenanya, qira’at yang tidak memenuhi tiga rukun di atas disebut qira’at syazzah
dan bacaan tersebut tidak dinamakan al-Qur’an.
Al-Qadi memang tidak memberikan konsep secara luas tentang pengertian
qira’at syazzah itu sendiri. Namun, ia hanya mengutip pendapat-pendapat ulama
tentang qira’at syazzah tersebut meskipun tidak secara spesifik. Namun demikian
akan tampak bahwa ia sependapat dengan ulama-ulama ahli tafsir dan ahi qira’at
yang lain. Selain itu, akan terlihat juga bahwa ia sendiri sepakat dinamakannya
qira’at syazzah adalah jika tidak memenuhi salah satu dari tiga kriteria yang ada,
yakni mutawatir, dimana dapat dipastikan mutawatir suatu bacaan jika sesuai
dengan kaidah bahasa ‘Arab dan sesuai dengan salah satu mushaf usmani. Artinya, ia
adalah mutawatir yang menjadi pokok utama dari kaidah-kaidah. Sesuai dengan
salah satu mushaf usmani, yakni kesesuaian qira’at dengan tulisan pada salah satu
mushaf yang ditulis oleh lajnah Usman bin Affan pada saat itu. Serta sesuai dengan
kaidah bahasa ‘Arab yakni qira’at itu sesuai dengan salah satu segi susunan kalimat
bahasa ‘Arab, baik itu afsah atau sekedar fasih saja.NIM.: 07530032 Ridhoul Wahidi2023-12-11T03:48:50Z2023-12-11T03:48:50Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/62553This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/625532023-12-11T03:48:50ZPENGGUNAAN QIRA’AT DALAM PENAFSIRAN AYAT-AYAT TEOLOGIS (STUDI ATAS KITAB AL-KASYSYAF ‘AN ḤAQQA’IQ AL-TANZIL WA ‘UYŪN AL-‘AQAWIL FI WUJŪH AL-TA’WIL )Jumhur ulama’ sepakat bahwa perbedaan qirā’at yang berkaitan dengan
substansi lafaẓ kadangkala menimbulkan perbedaan makna, sementara perbedaan
qirā’at yang berkaitan dengan lahjat atau dialek kebahasaan, tidak menimbulkan
adanya perbedaan makna. Paling tidak, hal inilah yang membuat para mufassir
klasik semisal Ibnu Kaṡīr, al-Ṭabari, al-Qurṭubī, Abū Ḥayyān dan juga al-
Zamakhsyarī menggunakan qira’at dalam menafsirkan al-Qur’ān sebagai ‘alat
bantu’ atau sebagai pisau analisis dalam memberikan pemahaman dan penafsiran
ayat-ayat al-Qur’ān. Kitab tafsir Al-Kasysyāf ‘An Ḥaqqā’iq Al-Tanzīl Wa al-
‘Uyūn Al-‘Aqāwīl Fī Wujūh Al-Ta’wīl karya al-Zamakhsyarī ini merupakan
sebuah kitab tafsir yang mengungkap rahasia balāgah al-Qur’ān dan menyingkap
segi i’jaznya. Al-Zamakhsyarī dalam tafsirnya ini kerapkali menguraikan suatu
kalimat dalam ayat-ayat al-Qur’ān dari segi kebahasaan, begitu juga dalam
mengakumulasi qirā’at-qirā’at yang ada.
Kajian dalam skripsi ini difokuskan pada penggunaan dan pengaruh qirā’at
dalam penafsiran ayat-ayat teologis saja, hal ini dirasa perlu selain al-Zamakhsyarī
sebagai orang ternama di kalangan mu’tzilah yang tentu memiliki otoritas dalam
perannya sebagai ‘pendekar’ kaum mu’tazilah, juga dimana masalah teologi atau
ilmu kalam merupakan area perdebatan yang panjang dan bahkan tidak akan dapat
terselesaikan antara dua kelompok besar dalam Islam; Sunni dan Mu’tazilah.
Adapaun metode yang digunakan untuk menganalisa data adalah deskriptif;
penelitian yang menuturkan, menganalisis, mengklasifikasikan serta meliputi
analisis dan interpretasi data. Sedangkan pendekatan historis digunakan untuk
melihat kembali latar belakang penulis kitab, al-Zamakhsyarī. Pendekatan ini juga
akan membantu untuk menganalisa sejarah pertumbuhan dan perkembangan dari
qirā’at. Hal ini terutama untuk mengetahui konstruk pemikiran al-Zamakhsyarī,
terutama mengenai sikapnya dalam menggunakan suatu qirā’at dalam
menafsirkan al-Qur’ān.
Al-Zamakhsyarī dalam menggunakan qirā’at untuk menafsirkan al-Qur’ān
terkadang memperhatikan kwalitas qirā’at yang ia kutip namun juga ditemukan
dalam beberapa tempat ia mengabaikan sisi kwaliatas tersebut. Hal ini dapat
dipahami bahwa dalam pemilihan qirā’at tersebut al-Zamakhsyari lebih memilih
jenis qirā’at yang lebih menunjang pada penafsirannya. Penulis di sini
berkesimpulan dalam menafsirkan ayat-ayar teologi, di banyak tempat al-
Zamakhsyarī mencantumkan qirā’at di luar imam yang disepakati umat Islam
pada umumnya seperti qirā’at sab’ah ,‘Asyrah dan Arba’a ‘Asyrah. Kemudian
Qirā’at dalam penafsiran al-Zamakhsyarī terhadap ayat teologis menurut penulis
memiliki dua fungsi yakni Pertama; sebagai tambahan informasi semata; dalam
pencantumannya tanpa adanya analisis lebih jauh terhadap perubahan makna yang
ada. Kedua; sebagai alternatif pemaknaan al-Qur’ān, dalam artian sudah pada
tahap analisa kebahasaan dan lebih memberikan pembahasan pada perubahan
makna yang terjadi. Namun demikian usaha yang dilakukan al-Zamakhsyarī
dalam mencari kedalaman dan keluasan makna ayat-ayat al-Qur’ān lewat
karyanya ini perlu mendapat apresiasi paling tidak membantu pengembangan
studi Islam khususnya dalam bidang Ulūm al-Qur’ān dan Tafsirnya.NIM.: 07530069 Salimudin2023-12-11T03:43:47Z2023-12-11T03:43:47Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/62552This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/625522023-12-11T03:43:47ZKONSEP I‘JAZ AL-TILAWAH DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMAKNAAN AL-QUR’AN (TELAAH ATAS KITAB I‘JAZ RASM AL-QUR’AN WA I‘JAZ AL-TILAWAH KARYA MUHAMMAD SYAMLUL)Membaca al-Qur’an (tilawah) adalah kegiatan yang tidak bisa disamakan
dengan membaca teks-teks Arab lain. Dalam membaca al-Qur’an terdapat adabadab
yang harus dipatuhi. Mulai kesopanan berpakaian, tempat, keadaan seorang
pembaca sendiri harus dalam keadaan suci dan sebagainya. Dari segi cara
membaca sendiri tata caranya diatur dalam ilmu tajwid. Karena istimewanya
pembacaan al-Qur’an inilah sehingga bacaannya pun merupakan mukjizat.
Namun, aspek tilawah ini jarang sekali mendapat perhatian dari para pengkaji.
Syamlul, seorang Ulama Mesir, dalam karyanya I‘jaz Rasm al-Qur’an wa
I‘jaz al-Tilawah mencoba menjelaskan letak konkrit mukjizat tilawah dengan
menggunakan pendekatan tajwid. Beliau menjadikan bacaan riwayah Imam H{afs
‘An ‘A
s
im sebagai bahan penelitiannya dalam menentukan konsep mukjizat
tilawah. Penelitian ini fokus pada permasalahan konsep mukjizat tilawah Syamlul
serta implikasinya terhadap pemaknaan al-Qur’an. Selain itu juga
mempertanyakan kontribusi Syamlul dalam kajian al-Qur’an.
Metode yang digunakan adalah deskriptif analitik, yakni dengan menguraikan
pemikiran Syamlul mengenai mukjizat tilawah disertai dengan interpretasi dan
analisis yang dikuatkan dengan dalil ‘aqli dan naqli (jika ada). Serta dengan
menggunakan cara berpikir deduktif-induktif, yang menempatkan kesimpulan
kajian Syamlul sebagai teori yang bersifat umum, kemudian dipelajari dan diteliti
kembali contoh-contoh ayat yang dipaparkan Syamlul dan selanjutnya ditarik
kesimpulan berdasarkan penelitian tersebut.
Dengan metode dan cara berpikir tersebut, hasil kajian tidak hanya sebatas
pemaparan pemikiran Syamlul saja, akan tetapi berupa penguat bahkan krtitik
terhadap konsep mukjizat tilawah yang digagas oleh Syamlul. Demikian juga,
kajian ini mampu menstruktur ulang konsep mukjizat tilawah Syamlul sehingga
menjadi lebih mudah untuk dibaca dan dipahami.
Penelitian Syamlul merupakan hal yang benar-benar baru, karena tidak
ditemukan penelitian yang serupa sebelumnya. Namun, hasil penelitian Syamlul
juga perlu dipertanyakan jika diterapkan pada qira’ah Imam-imam selain Imam
H{
afs. Konsep Syamlul mengenai mukjizat tilawah terfokus pada bunyi ujaran,
atau biasa disebut dengan kajian fonologi yaitu dengan memfungsikan bunyi yang
terujar didalam kalimat untuk mengeluarkan makna yang dimaksud. Dengan kata
lain, ada hubungan semantik antara bunyi suara dengan makna yang sangat
berpengaruh terhadap pemaknaan kalimat. Jelasnya, Syamlul memfungsikan
hukum-hukum tilawah seperti madd, izhar, idgam, dan hukum-hukum lainnya
dalam memaknai ayat-ayat al-Qur’an.NIM.: 07530079 Siti Jubaedah2023-12-08T02:24:28Z2023-12-08T02:24:28Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/62541This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/625412023-12-08T02:24:28ZTRADISI RIYADOH AL-QUR’AN SANTRI PONDOK PESANTREN SUNAN PANDANARAN DI KOMPLEK DAR Al-RIYADAH LI HAMALAH AL-QUR’AN DI DESA PASEBAN, KECAMATAN BAYAT, KABUPATEN KLATEN, JAWA TENGAHviii
ABSTRAK
Dalam bahasa Arab,
riyadah semula berarti memecahkan dan mendidik seekor
kuda yang masih muda. Sampai sekarang masih dipakai dalam bahasa Arab dalam
pengertian latihan fisik dan atletik. Sedangkan kaum sufi menerapkan kata tersebut
dalam arti latihan spiritual yang dikerjakan guna mempersiapkan jiwa untuk
menerima pencerahan. Secara istilah,
riyadah berarti disiplin asketis atau latihan
kezuhudan.
Di Jawa Tengah, tepatnya di Desa Paseban, Kecamatan Bayat, Kabupaten
Klaten terdapat sebuah komplek bernama
Dar al-Riyadah li Hamalah al-Qur’an —
salah satu cabang komplek Pondok Pesantren Sunan Pandanaran— yang mempunyai
tradisi
riyadah al-Qur’an.
Skripsi ini berangkat dari keinginan penulis untuk mengetahui persepsi dan
dampak dari pelaksanaan
riyadah al-Qur’an, baik dampak psikologis maupun
sosiologis. Di samping itu juga dilatar belakangi oleh kegelisahan penulis akan
minimnya kajian-kajian al-Qur’an yang membahas dari sisi ritual. Padahal Praktik
ritual tersebut sangat dianggap penting oleh umat muslim diberbagai daerah di dunia
ini.
Riyadah al-Qur’an adalah sebuah ritual pembacaan al-Qur’an dengan hafalan
secara keseluruhan (30 Juz)—dibaca secara individual, uniknya pembacaan tersebut
dikhatamkan dalam waktu satu hari dan dilakukan terus menerus selama empat puluh
satu hari bagi santri putra—kecuali jika ada uzur, seperti sakit—dan lebih dari empat
puluh hari bagi santri putrid karena ada uzur syar’i, disertai dengan puasa.
Penelitian ini adalah penelitian lapangan dengan menggunakan metode
pengumpulan data, yaitu dengan metode interview, metode observasi dan metode
dokumentasi. Data yang telah terkumpul kemudian dianalisis dengan menggunakan
teknik deskriptif dengan menggunakan pendekatan psikologis untuk mengetahui
tingkat keagamaan yang dihayati, dipahami, dan diamalkan seseorang.
Setelah penulis melakukan penelitian, penulis temukan beberapa hal yang
menarik dari tradisi
riyadah al-Qur’an ini. Yaitu sebagai sarana latihan spiritual.
Apalagi disertai dengan berpuasa yang dapat mengekang hawa nafsu dan mensucikan
diri baik lahiriyah maupun batiniyah.
Riyadah al-Qur’an juga dilakukan di tempat
yang khusus, yaitu di
Dar al-Riyadah li Hamalah al-Qur’an.
Selain itu diadakannya
riyadah al-Qur’an mempunyai tujuan, yaitu untuk
melancarkan bacaan al-Qur’an, untuk ber-
taqarrub kepada Allah melalui al-Qur’an,
dan untuk melatih
prihatin agar kelak di masyarakat dapat merasakan empati
terhadap kehidupan orang yang tidak mampu.NIM.: 06530038 Ahmad Nurkholis2023-12-08T02:17:09Z2023-12-08T02:18:10Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/62542This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/625422023-12-08T02:17:09ZPENAFSIRAN AMANAH MENURUT HAMKA, M. QURAISH
SHIHAB, DAN DEPAGxiv
ABSTRAK
Penelitian ini berjudul Penafsiran Amānah Menurut Hamka, M. Quraish
Shihab, dan DEPAG. Tema amānah dipilih berdasarkan keinginan peneliti untuk
memahami amanah secara lebih mendalam. Di samping itu juga dilatarbelakangi oleh
semakin maraknya kasus-kasus penyalahgunaan kepemimpinan sehingga berakibat
munculnya kejahatan seperti, korupsi, suap, ingkar janji, kekerasan dalam rumah
tangga, dan lain sebagainya. Untuk mengetahui penafsiran amanah yang relevan
dengan konteks keindonesiaan saat ini, peneliti mengambil sumber penafsiran dari
Hamka, M. Quraish Shihab, dan DEPAG. Dan juga mengingat mereka adalah para
tokoh mufassir yang berasal dan hidup di Indonesia dan memahami situasi dan
kondisi yang ada di Indonesia.
Berangkat dari latar belakang di atas, maka penelitian ini difokuskan pada
pertanyaan yang diajukan dalam rumusan masalah sebagai berikut: pertama,
bagaimana inti penafsiran amanah menurut Hamka, M. Quraish Shihab, dan
DEPAG? Dan kedua, apa relevansi penafsiran amanah menurut Hamka, M. Quraish
Shihab, dan DEPAG dalam konteks kasus yang terjadi di Indonesia saat ini?
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode tafsir. Langkah
operasional dalam penelitian ini yaitu: menghimpun sejumlah ayat yang dikaji,
melacak dan mengumpulkan pendapat-pendapat para mufassir dalam menafsirkan
ayat-ayat amanah, kemudian menganalisa. Adapun sumber primer dari penelitian ini
adalah kitab tafsir Al-Azhar, Al-Mishbāh, dan Al-Qur’an dn Tafsirnya (edisi yang
disempurnkan).
Hasil dari penelitian ini adalah: pertama, Hamka tidak menafsirkan
amā
nah
secara eksplisit, tetapi beliau menafsirkan
amā
nah berdasarkan konteks Al-Qur’an
dengan memberikan contoh- contoh perilaku
amā
nah, seperti menepati janji, hutang
piutang, pinjaman, menjaga rahasia, dan lain sebagainya. Sedangkan M. Quraish
Shihab secara eksplisit dalam menafsirkan
amā
nah berdasarkan asal makna kata yang
dirujuk. Seperti contoh Q.S. Al-Nisā’ [4] ayat 58 dan Q.S. Al-Mu’minūn [23] ayat 8,
yaitu
amā
nah adalah sesuatu yang diserahkan kepada pihak lain untuk dipelihara dan
dikembalikan bila tiba saatnya atau bila diminta oleh pemiliknya. Sedangkan
penafsiran DEPAG lebih cenderung memaknai
amā
nah berdasarkan makna istilah,
seperti penafsiran Q.S. Al-Nisā’ [4] ayat 58 dan Q.S. Al-Anfāl [8] ayat 27,
amā
nah
adalah sesuatu yang dipercayakan kepada seseorang untuk dilaksanakan dengan
sebaik-baiknya. Kedua, amānah merupakan bentuk relevansi yang menghubungkan
manusia dengan Tuhannya, manusia dengan sesamanya, manusia dengan dirinya, dan
manusia dengan lingkungannya. Menurut peneliti, oleh karena amānah merupakan
tugas kewajiban dan tanggung jawab yang harus dilaksanakan, maka yang
melaksanakan amānah akan mendapat imbalan, sebaliknya yang melanggar amānah
akan mendapat sanksi. Amānah mampu diterapkan dalam segala bidang, baik dalam
konteks agama, pemerintahan ataupun bermasyarakatNIM.: 06530009 Arif Firdausi Nur Romadlon2023-12-08T02:13:28Z2023-12-08T02:13:28Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/62544This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/625442023-12-08T02:13:28ZPERIWAYATAN HADIS ”DHA’IF” AL-BUKHARI (KAJIAN METODOLOGIS TERHADAP KITAB HADIS AL-ADAB AL-MUFRAD)Suatu hal yang menarik ketika pemilik kitab kumpulan hadis terbaik, yaitu al-Bukhari dengan masterpiecenya al-Jami’ al-Sahih, seorang yang hafizdan memegang status tertinggi dalam dunia periwayatan hadis ‘am ir al-m u’m inin fi al-hadis’\ meriwayatkan hadis dhaif yang jumlahnya cukup banyak serta dijadikan sebagai dalil atau hujjah dalam suatu kitab. Berawal dari hal tersebut, penelitian ini berusaha untuk: 1) untuk mengetahui metodologi yang digunakan al-Bukhari dalam meriwayatkan hadis dha’if terutama dalam kitab al-Adab al-Mufrad; 2) untuk mengetahui faktor apa saja yang menyebabkan al-Bukhari meriwayatkan hadis dha’if sebagai dalil beragama; serta 3) untuk mengetahui bagaimana relevansi metodologi periwayatan tersebut terhadap kualitas riwayat al-Bukhari secara umum.
Penelitian ini merupakan penelitian literer yang memfokuskan pada studi kitab al-Adab al-Mufrad sebagai objek utama dalam mencari cara kerja al-Bukhari dalam meriwayatkan hadis dha’if. Cara kerja yang dimaksud adalah kriteria atau norma yang dipegang al-Bukhari dalam meriwayatkan hadis tersebut sesuai dalam kitab al-Adab al-Mufrad. Kitab ini dipilih menjadi objek kajian dengan alasan telah ditemukan tahqiq secara empirik oleh ulama, Nasir al-Din al-Albani, terutama dalam mentad’ifkan riwayat yang berada di dalamnya secara komplit.
Berdasarkan telaah data dokumentasi riwayat dha’ifal-Bukhari yang terdapat dalam kitab al-Adab al-Mufrad, terdapat beberapa poin penting yang mengantarkan penelliti pada kesimpulan akhir, yaitu unsur-unsur adoptif yang terdapat dalam riwayat dha’if al-Bukhari. Unsur tersebut meliputi unsur internal yang terdiri dari Internal-Formulatif dan Internal-Relasional serta unsur eksternal. Penelaahan data tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa al-Bukhari memiliki beberapa metode dalam periwayatan hadis dhaif, yaitu 1) hadis tersebut bukan hadis m audu’,2) isi materi riwayat selaras dengan riwayat shahih, 3) al-Bukhari cenderung kepada kualitas isi hadis ketika meriwayatkan hadis dha’if, dan 4) al-Bukhari lebih memilih riwayat bersanad daripada pendapat yang berdasarkan akal atau logika meski dha’ifNIM.: 07530019 Alwi Bani Rakhman2023-11-29T03:54:50Z2023-11-29T03:54:50Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/62310This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/623102023-11-29T03:54:50ZSTUDI ATAS KITAB AL-SUNNAH MASDARAN LI AL-MA’RIFAH WA AL-HADARAH KARYA YUSUF AL-QARADHAWISkripsi ini membahas studi atas kitab al-Sunnah Mas}daran li al-Ma’rifah wa
al-Had}a>rah karya Yusuf al-Qaradhawi. Permasalahan pokok yang akan dijawab
adalah, pertama, bagaimana deskripsi kitab tersebut yang meliputi latar belakang
penulisan, sistematika penulisan, serta metode penulisan?, kedua, apakah asumsiasumsi
dasar dan bagaimana konstruksi pemahaman hadis al-Qaradhawi dalam kitab
tersebut?, ketiga, bagaimana implikasi pemikiran al-Qaradhawi mengenai sunnah
sebagai sumber ilmu pengetahuan dan peradaban?.
Alasan memilih kitab ini sebagai objek penelitian adalah, pertama, metode
penulisan dalam kitab ini yang beragam. Kedua, kitab ini telah diterjemahkan oleh
sedikitnya tiga penerbit. Ketiga, al-Qaradhawi adalah penulis kitab yang saat ini
menduduki jabatan sebagai ketua persatuan ulama muslim internasional sehingga bisa
dikatakan beliau sangat berwawasan luas dan memiliki pengaruh yang sangat besar
dalam perkembangan dunia Islam saat ini.
Penelitian ini menggunakan pendekatan historis, untuk meneliti latar belakang
pengarang dari segi sosial budaya yang melingkupinya dimana turut memengaruhi
penyusunan kitab. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan pendekatan deskriptifanalisis,
untuk memaparkan pemahaman dan membedah kitab.
Hasil dari penelitian ini adalah, deskripsi atas kitab tersebut yang meliputi
latar belakang penulisan, sistematika, dan metode penulisan. Dari latar belakang
penulisan, kitab ini berangkat dari dua sebab, pertama, kitab ini ditulis dalam rangka
penguakan kembali sunnah sebagai sumber ilmu pengetahuan dan peradaban yang
mana persoalan tersebut sudah ada dalam pemikiran Islam. Kedua, adanya
permintaan dari Lembaga Pemikiran Islam Internasional, Washington kepada al-
Qaradhawi untuk mengkaji masalah ini. Dari segi sistematika penulisan, kitab ini
disusun dengan menyebutkan bagian hadis keseluruhannya dan juga terkadang hanya
menyebutkan sebagiannya serta hadis dalam kitab ini juga dicantumkan sumber kitab
hadis yang dijadikan rujukan. Selain itu, kitab ini disusun berdasarkan permasalahan
fiqih, yang menerangkan persoalan-persoalan sunnah dalam masyarakat yang
berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan peradaban. Metode penulisan yang
digunakan dalam kitab ini menggunakan metode tanya jawab, eksplanasi serta kuotasi
(kutipan).
Adapun asumsi-asumsi dasar al-Qaradhawi dalam kitab ini adalah, pertama,
selain perkara-perkara yang merupakan tasyri’, di dalam sunnah itu terdapat perkaraperkara
yang bukan merupakan tasyri’. Kedua, sumber ilmu pengetahuan bagi umat
Islam adalah wahyu ilahi, akal dan panca indera. Ketiga, selain sebagai sumber kedua
(setelah al-Qur’an) bagi fiqih dan hukum Islam, sunnah juga merupakan dakwah,
petunjuk, dan sumber ilmu pengetahuan keagamaan, kemanusiaan, dan sosial bagi
seorang muslim. Keempat, Pada dasarnya sunnah –khususnya yang berupa perkataan
–mengandung khabar dan insya’ seperti halnya al-Qur’an. Kelima, peradaban bagi
Islam yaitu suatu peradaban yang menggabungkan unsur spiritual dengan material,
menyeimbangkan antara akal dan hati, menyatukan ilmu dan iman, dan meningkatkan
moral seiring dengan peningkatan material. Sedangkan konstruksi teoritis
pemahaman hadis dalam kitab ini adalah, pertama, memahami aspek bahasa. Kedua,
mengorelasikan hadis yang terkait dengan nash al-Qur’an. Ketiga, memaknai teks
dengan menyarikan ide dasar. Keempat, memahami konteks sosio historis. Kelima,
memahami hadis dengan membandingkan pendapat ulama-ulama sebelumnya.
Sedangkan implikasi pemikiran al-Qaradhawi mengenai sunnah sebagai
sumber ilmu pengetahuan dan peradaban meliputi banyak segi, pertama, sunnah dan
pengetahuan tentang alam ghaib, bahwa meyakini adanya Allah swt. merupakan
langkah awal untuk memercayai adanya hal-hal yang ghaib lainnya. Kedua, sunnah
dan ilmu-ilmu kemanusiaan, bahwa setiap manusia memiliki kelebihan masingmasing
di dalam setiap bidang. Ketiga, Sunnah dan pendidikan, bahwa manusia yang
menyadari akan pentingnya pendidikan, maka ia akan diterima dengan baik oleh
masyarakat di mana ia berada. Keempat, Sunnah dan ilmu kesehatan, bahwa ketika
kesehatan badan dan kekuatan jiwa ini dimiliki oleh seorang muslim, maka dipastikan
ia akan menjadi manusia yang dikehendaki Allah swt., yaitu manusia yang dapat
membela agama dan memakmurkan bumi. Kelima, Sunnah dan ekonomi, memberi
pelajaran bagi para pengusaha untuk senantiasa berusaha di dalam memanfaatkan apa
saja yang halal dalam menghasilkan penghasilan dan berusaha untuk menghasilkan
produk terbaik. Keenam, Sunnah dan sains, bahwa sunnah Rasulullah saw. sangat
menentang pengetahuan yang hanya berdasarkan pada khayalan dan khurafat, serta
menentang ilmu yang hanya berdasarkan dugaan tanpa pembuktian ilmiah. Selain itu
membuat perencanaan dalam hidup akan membuat hidup lebih teratur. Ketujuh,
Sunnah dan fiqih peradaban, bahwa peradaban yang baik akan terjadi ketika manusia
menjalankan tugas sesuai dengan bidang keahliannya masing-masing. Kedelapan,
Fiqih ilmu pengetahuan, bahwa dialog bukan hanya bisa dilakukan terhadap orangorang
yang tidak sependapat, akan tetapi ketika berdialog dengan orang-orang yang
sependapat maka cukup berdialog dengan menggunakan gaya bahasa yang baik.
Kesembilan, Fiqih kehidupan, bahwa hal yang mesti dilakukan dalam hidup adalah
memanfaatkan dengan sebaik-baiknya umur yang diberikan Allah swt. Kesepuluh,
Fiqih realitas, bahwa seseorang yang mengetahui relitas yang ada di sekitarnya
dengan baik, maka jalan untuk mendapatkan kebahagiaan bagi orang tersebut sangat
besar sebanding dengan pengetahuan realitas yang ia ketahui. Kesebelas, Fiqih
maksud dan tujuan syari’ah, bahwa dengan mengetahui maksud dan tujuan syari’ah
dari hukum-hukum Allah swt., maka akan mewujudkan kemashlahatan hidup
manusia di dunia dan akhirat. Keduabelas, Fiqih prinsip-prinsip syari’ah yang mulia,
bahwa segala sesuatu yang diciptakan Allah memiliki tujuan tertentu dan tolak ukur
keberhasilan ciptaan tersebut adalah terletak pada keberhasilannya dalam
menjalankan tujuan-tujuan diciptakannya. Ketigabelas, Sunnah dan perilaku beradab,
bahwa tolak ukur bermaknanya pemahaman budaya (beradab) itu adalah ketika
pemahaman itu dapat direalisasikan dalam perilaku hidup.NIM.: 07530015 Syahrul Syarif2023-11-22T03:38:52Z2023-11-22T03:38:52Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/62348This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/623482023-11-22T03:38:52ZPEMAHAMAN SYAIKH MUHAMMAD ARSYAD AL-BANJARI TENTANG AYAT-AYAT TAUHID DALAM RISALAH TUḤFAT AL-RAGIBINSkripsi ini berjudul “Pemahaman Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari
Tentang Ayat-ayat Tauhid dalam Risālah Tuḥfat al-Rāgibīn.” Tuḥfat al-Rāgibīn
adalah sebuah risālah yang membahas tentang hal-hal yang kontekstual dalam
masalah tauhid yang dikaitkan dengan kondisi masyarakat di daerah Kalimantan
Selatan. Risālah ini ditulis Syaikh Arsyad al-Banjari pada tahun 1188 H/ 1774 M
dengan judul lengkapnya Tuḥfat al-Rāgibīn fi Bayāni Haqīqat al-Mu’minīn wa
Mā Yufsiduhu min Riddat al-Murtaddīn. Risālah ini ditulis atas pemintaan Sultan
Tahmidullah II yang kala itu mulai merasa resah dengan banyaknya
penyimpangan ajaran agama Islam yang dilakukan oleh rakyatnya.
Pokok kajian skripsi ini adalah tentang bagaimana pemahaman Syaikh
Arsyad al-Banjari terhadap ayat-ayat tauhid yang beliau cantumkan dalam risālah
Tuḥfat al-Rāgibīn dan apa yang menjadi latar belakang penulisan risālah ini.
Penelitian risālah Tuḥfat al-Rāgibīn ini merupakan penelitian literatur
kepustakaan. Pengelolaan data menggunakan metode deskriptif-analitik, yaitu
penelusuran fakta dengan interpretasi yang tepat lalu dianalisa dengan
menguraikan data dan sumber yang ada untuk memaparkan pemahaman Syaikh
Arsyad al-Banjari terhadap ayat-ayat tauhid dalam risālah Tuḥfat al-Rāgibīn.
Pemahaman Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari tentang ayat-ayat
tauhid dalam Risālah Tuḥfat al-Rāgibīn dapat dilihat melalui penjelasan beliau
tentang ayat-ayat tersebut, yakni nampak sejalan dengan pemikiran aliran Ahl al-
Sunnah wa al-Jamā’ah. Beliau mengemukakan pendapat dari beberapa ulama
yang berasal dari berbagai aliran (seperti, Asy’ariyah, Maturidiyah dan Salafiyah)
untuk menjelaskan ayat-ayat tauhid dalam risālah ini. Hal ini menunjukkan
bahwa beliau memiliki pandangan yang luas tentang makna Ahl al-Sunnah wa al-
Jamā’ah. Beliau mendefinisikan Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah sebagai jalan yang
ditunjukkan oleh Nabi SAW dan diikuti oleh para sahabatnya, tabi’in dan para
ulama selanjutnya hingga akhir zaman.NIM.: 07530010 Hikmah Ayu Reviani2023-11-22T03:32:42Z2023-11-22T03:32:42Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/62345This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/623452023-11-22T03:32:42ZMENYUSUI BAYI DALAM AL-QUR’AN (KAJIAN PSIKOLOGI)Agama Islam merupakan agama yang sempurna. Kesempurnaan itu
terbukti dengan adanya ajaran yang tertuang di dalam kitab suci Al-Qur’a>n. Di
antara ajaran tersebut adalah suatu konsep tentang menyusui seorang bayi oleh
ibunya. Pemberian air susu seorang ibu kepada bayinya atau yang lebih dikenal
dengan istilah menyusui merupakan suatu perbuatan yang sesuai dengan tuntunan
dan ajaran yang dianjurkan oleh Allah swt. di dalam Al-Qur’a>n. Hal ini beralasan
sebab perbuatan tersebut berkaitan erat dengan kajian psikologi seorang anak di
kemudian harinya.
Dari kajian singkat di atas, penulis mempunyai tujuan dalam
penelitiannya untuk mendiskripsikan maksud dari menyusui bayi di dalam Al-
Qur’a>n serta perkembangan bayi di dalamnya dengan telaah dari konsepsi Islam.
Dalam melaksanakan kajian ini, peneliti menggunakan studi kepustakaan
(library research) dengan pendekatan metode tafsir tematik untuk mendapatkan
seluruh informasi dengan menggunakan teknik pengumpulan data dari berbagai
himpunan ayat di dalam Al-Qur’a>n yang memuat tema penyusuan bayi secara
tematik dengan focus pada urutan waktu serta latar belakang turunnya ayat-ayat
(asbab an-nuzul) tersebut dengan memahami korelasi antar ayat di dalam surat
masing-masing.
Dari kajian yang sederhana ini dapat ditarik beberapa kesimpulan,
diantaranya adalah bahwa Islam telah memberikan konsep tentang penyusuan bayi
di mana hal tersebut merupakan kewajiban seorang ibu kepada bayinya yang tidak
dapat ditolak tanpa alasan baik menurut agama, medis, maupun hak. Apabila ibu
berhalangan untuk menyusui, maka diperbolehkan untuk mencari ibu pengganti
dengan memberi upah yang pantas. Di antara akibat dari penyusuan adalah bahwa
agama Islam memberikan status fiqih bagi ibu susuan dan anak susuannya sebagai
di antara orang yang haram untuk dinikahi. Sedangkan lama waktu menyusui
seorang bayi adalah maksimal dua tahun penuh, tidak boleh lebih tapi boleh
kurang. Adapun jika berdasarkan pada musyawarah antara ayah dan ibu dinilai
besar manfaatnya, maka hal tersebut boleh dilakukan dan tidaklah berdosa bagi
keduanya. Konsepsi penyusuan anak dalam Islam, merupakan ajaran yang sangat
mendukung perkembangan bayi normal. Air susu seorang ibu memiliki berbagai
kandungan zat gizi yang sempurna sebagai pengimbang dan juga sebagai
kekebalan dalam tubuh bayinya. Dalam prosesnya pun, penyusuan dapat
menciptakan suasana psikologis yang sangat dibutuhkan bayi, yakni berupa cinta
kasih melalui sentuhan dan dekapan di mana kondisi fisik, psikis, dan lingkungan
seorang ibu sangat mempengaruhi keberhasilan menyusui karena dua tahun awal
merupakan masa kritis dan bahaya bagi seorang bayi,NIM.: 06530026 Indah Rahmatiningrum2023-11-22T03:28:57Z2023-11-22T03:28:57Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/62344This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/623442023-11-22T03:28:57ZTHE MU‘AWWIDHATAN I IN THE CODEX OF IBN MAS'UD (A CRITICAL STUDY OF THE IDEAS OF M. M. AL-AZAMI)Muslims believe that the Qur’an we have with us today, which was
revealed to the Prophet Muhammad, was collected both in the form of a
book and learnt by heart by many companions of the Prophet during his
own life time and then transferred verbally as well as in the written form to
the next generations. This generation to generation transmission is so
overwhelming and all-embracing that the transmitted text has been
rendered safe and secure from any alteration. Nevertheless, some
Orientalists believe there are many contradictory narrations about the
collection of the Qur’an. Because of those contradictory narrations they
conclude that the Qur’an is fabricated and is not original.
Many Orientalists do pay their attention to the codex of a sahaba
named ‘Abdulla>h bin Mas’u>d. Arthur Jeffery, an Australian-American
orientalist said in his work that ‘Abdulla>h bin Mas‘u>d, according to some
narrations, did not write the last two surahs of the Qur’an which we use to
call them the Mu‘awwidhata>ni. Muslim scholars from the background of
the Islamic Studies were very much bothered by the fact that many of the
Orientalists gave the wrong presentation of Islam from their study. This
was due to the fact that the Orientalists were trying to express Islam within
their own understanding which might not be compatible with the dualism
of Islam world view.
An Indian Muslim scholar, Muhammad Mustafa al-Azami who does
not really like the Western Orientalists has answered their accusations
regarding the codex of Ibn Mas‘u>d. He said all those narrations that tell us
about Ibn Mas’u>d omitted the Mu‘awwidhata>ni are lies. There is no need
for Muslims to believe in such narrations. Al-Azami as a na>sir al-sunnah
said that hadith is the second source of Islam after Qur’an, and rejecting
the hadith is not possible for Muslims. Then how can someone say that
when they know the narrations are true. He tried so hard to prove that there
is no contradictory in the history of the collection of the Qur’an, but in the
end he chose to reject the true narrations and it just shows his
inconsistency in his views. Finally we can say that al-Azami is one of
Muslim scholars who tried to answer Orientalists’ doubts but he failed
because there is muslim scholarly bias in his explanations.NIM.: 07530078 Jauharotul Masruroh2023-11-22T03:12:02Z2023-11-22T03:12:02Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/62340This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/623402023-11-22T03:12:02ZHADIS TENTANG MANFAAT MEMAKAI CELAK (STUDI MA’ANI AL-HADIS)Pemaknaan hadis merupakan usaha untuk memahami matan hadis dengan
mempertimbangkan faktor-faktor yang berkaitan dengannya. Maka di sini perlu
adanya pengkajian yang mendalam untuk dapat menangkap makna dan tujuan
yang terkandung di dalamnya, agar mendapatkan pemahaman yang tepat serta
dapat menghubungkan dengan permasalahan-permasalahan yang terjadi di masa
sekarang. Dengan demikian diharapkan dapat memperoleh pemahaman yang şālih
li kulli zamān wa makān. Sebagai salah satu contohnya adalah bagaimana
memahami hadis tentang celak. Celak selama ini dianggap sebagai perias mata
saja. Tapi ternyata celak dapat dijadikan sebagai obat untuk menjaga kesehatan
mata. Hal tersebut didasarkan pada kebiasan Nabi dalam memakai celak ketika
menjelang tidur. Dalam hal bercelak, para ulama dulu dan sekarang berbeda
pendapat. Kalau dulu, mereka mencoba untuk mengikuti kesehariannya dengan
keseharian Nabi sebab itu merupakan sunnah Nabi. Namun sekarang, para ulama
enggan untuk memakai celak walaupun mereka mengetahui dalil dan manfaat
yang terkandung di dalamnya. Kemudian dari sini dapat dirumuskan beberapa
permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini. Yakni: Pertama,
bagaimana pemaknaan hadis tentang manfaat memakai celak? Kedua, bagaimana
relevansi hadis tentang manfaat memakai celak tersebut apabila dihadirkan dalam
realita kehidupan saat ini? Sebagaimana rumusan masalah tersebut, diharapkan
dapat memperoleh pemaknaan yang tepat terhadap hadis.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode yang ditawarkan oleh
Indal Abror untuk menjawab rumusan masalah di atas. Adapun langkahlangkahnya
yaitu: Pertama, menentukan tema. Kedua, kritik hadis yang dilakukan
dalam dua tahap yaitu tahap takhrij hadis dan menentukan kualitas hadis. Ketiga,
pemaknaan hadis meliputi analisis matan (kajian kebahasaan, kajian tematikkomprehensif
dan kajian konfirmasi dengan dalil al-Qur’an), analisis realita
historis (asbāb al-wurūd dan fungsi Nabi), selanjutnya melakukan penyimpulan.
Keempat, melakukan kontekstualisasi. Kemudian data yang telah ditemukan
selanjutnya di analisis sesuai dengan indikasi-indikasi yang melingkupinya.
Adapun hasil penelitian dari kajian ini adalah: Pertama, celak merupakan
alat kecantikan yang digunakan untuk membuat garis tegas pada mata baik itu
digunakan di atas mata maupun di bawah mata. Jika mengacu kepada beberapa
riwayat yang ada, celak yang dianjurkan oleh Nabi SAW adalah celak itsmid.
Karena celak itsmid merupakan celak yang paling baik yang didatangkan dari
Asfahan dan kandungan dari celak itsmid yang memiliki manfaat yang bergunan
bagi pemakainya. Misalnya untuk kesehatan (menguatkan syaraf dan otot-otot
mata), untuk pengobatan dan untuk kecantikan (dikhususkan untuk perempuan).
Kedua, secara kontekstual hadis tentang celak masih relevan apabila
diterapkan pada konteks kekinian baik itu oleh laki-laki maupun perempuan.
Namun realitanya, banyak ulama dan cendekiawan yang menganggapnya hina
apabila celak digunakan oleh laki-laki. Karena itu menyerupai perempuan. Namun
yang harus digaris bawahi dalam memakai celak adalah niat sipemakainya.
Apabila dengan niat untuk mendapatkan manfaatnya itu boleh-boleh saja. Akan
tetapi apabila dengan niat untuk berhias maka itu diharamkan bagi laki-laki.NIM.: 07530022 Khoerunnajah2023-11-22T02:59:25Z2023-11-22T02:59:25Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/62338This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/623382023-11-22T02:59:25ZHISTORICITY OF INTERPRETATION OF THE QUR’AN (A STUDY ON FARID ESACK’S THOUGHT AND ITS IMPLICATION ON SEEING THE RELIGIOUS OTHERS)Modern Muslim thinkers who try to find the answer of problems faced by
contemporary Muslim society believed that previous scholars have failed to fulfill
the need of understanding the whole idea and the spirit of the Qur’an; a thing that
they call “Qur’anic moral messages” that is shâlih li kulli zamân wa makân. Farid
Esack, a South African Muslim whose context is Apartheid regime, is also fullyaware
of this need. He emphasizes that every interpreter has his or her own
history, which become his or her basis in interpreting a text. Social transformation
is not fully controlled by the sacred texts, but rather due to the conditions and the
social challenges. Thus, the focus of this research are: What are the principal
concepts of historicity of interpretation of the Qur’an according to Farid Esack?
What is the implication of his concept to his thought about “the religious others”?
What are the strengths and the weaknesses of his concept?
This is a qualitative research using descriptive-analytical method. The
primary source is Esack’s famous book, Qur’an, Liberation and Pluralism: An
Islamic Perspective of Interreligious Solidarity against Oppression, while the
secondary sources includes his books The Qur’an: A Short Introduction, On Being
A Muslim: Finding A Religious Path in the World Today and other relevant data.
Method of analysis includes historical continuity, taxonomic analysis and
interpretation, while the approach used in this research is historical-philosophical
approach.
The process of interpretation must be started with the awareness to the
context surrounding the interpreter his or herself. This is what we call “historicity
awareness”. In addition to understand the context of him or herself, the interpreter
also has to understand the historicity of the texts he or she interprets. That is why
the study of asbâb al-nuzûl and naskh is important. Just by considering the Qur’an
as God’s revelation that is active and progressive, one can produce a progressive
interpretation. This is formulated in a model of reception hermeneutics, which is
communicating the idea of the universal text with the partial, ongoing process and
discursive world. It necessitates dialectical relationship between text, context and
the interpreter. Thus, Esack produced a new, different and more inclusive
interpretation. This is reflected in how he interprets Îmân, Islâm and Kufr, as his
starting point for understanding how the Qur’an’s view to other religious
communities. Esack’s interpretation implies several things, as follows: (1)
Deabsolutism of truth; the Qur'an recognizes the existence of pious people outside
Islam and informs the universal, inclusive divine perspective that responds to the
sincerity and commitment of all His people. (2) Relativism of understanding, it
affirms that every truth and belief contains a possibility to be repaired, corrected
and formulated in a dynamic and critical way. (3) The possibility of interfaith
solidarity. Nevertheless, Esack’s thought, especially his liberation hermeneutics
will always change in reacting every symptom of social change that happens. This
means that his thought is rather inconsistent in other situation. There are things
would be permanent and there are things would always change in his
hermeneutics.NIM.: 07530056 Lina Halimah2023-11-22T02:52:05Z2023-11-22T02:52:05Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/62337This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/623372023-11-22T02:52:05ZAL-TAFSIR AL-WASIT KARYA WAHBAH AL-ZUHAILI (TINJAUAN EPISTEMOLOGI)Secara mendasar, ketertarikan penulis untuk meneliti epistemologi penafsiran
Wahbah dalam kitab al-Tafsir al-Wasit}, setidaknya, dilatarbelakangi oleh dua alasan:
Pertama, penulis merasa tergelitik dengan pengkategorian Wahbah tentang karya-karya
tafsirnya sekaligus tertarik untuk mengkaji lebih jauh epistemologi dalam al-Tafsir al-
Wasit}. Kedua, setelah meneliti epistemologi penafsiran Wahbah dalam al-Tafsir al-
Wasit}, penulis hendak membuktikan konsistensi dari pernyataan Wahbah sebagaimana
dikutip oleh al-Iyazi, “banyak orang yang menyudutkan bahwa tafsir klasik tidak
mampu memberikan solusi terhadap problem kontemporer, sedangkan mufasir
kontemporer banyak melakukan interpretasi terhadap ayat al-Qur’an dengan dalih
pembaharuan. Oleh karena itu, tafsir klasik harus dikemas dengan gaya bahasa
kontemporer dan metode yang konsisten sesuai dengan ilmu pengetahuan modern tanpa
ada penyimpangan interpretasi”. Selain juga karena alasan kebaruan dari al-Tafsir al-
Wasit} itu sendiri yang memang belum banyak dijamah. Skripsi ini difokuskan pada
kajian epistemologi yang digunakan Wahbah dalam penafsirannnya, di mana hal tersebut
perlu diketahui sebagai jalan untuk mengetahui penilaian terhadap sebuah karya tafsir.
Aspek-aspek tersebut antara lain: sumber penafsiran, metode penafsiran serta validitas
penafsiran. Adapun rumusan masalah yang penulis ajukan dalam penelitian ini meliputi:
Bagaimana bangunan epistemologi yang digunakan Wahbah dalam al-Tafsir al-Wasit}?
Dan Apa kelebihan serta kekurangan penafsiran Wahbah dalam al-Tafsir al-Wasit}?
Dalam penelitian ini, penulis mengacu pada data kualitatif yang termasuk dalam
jenis data kepustakaan (library research). Adapun teknik pengumpulan data, penulis
lakukan dengan dokumentasi, klasifikasi dan analisis dari masing-masing sub-bab
pembahasan. Sedangkan dalam menganalisis data yang terkumpul, penulis menggunakan
metode deskriptif-analisis dengan pendekatan historis-filosofis. Penulis sampai pada
kesimpulan sebagai berikut:
Pertama, dalam melakukan penafsiran, Wahbah menggunakan sumber penafsiran
dari al-Qur’an, hadis, aqwal s}ah}abah, pendapat ulama atau mufasir serta ijtihad beliau
sendiri dan menghindari kisah israiliyat sebagai sumber penafsirannya. Kemudian
metode yag digunakan dalam tafsir tersebut adalah metode tah}lili dan semi tematik.
Sementara terkait validitas penafsiran, penulis menilai penafsiran yang dilakukan
Wahbah benar menurut teori koherensi, korespondensi, dan pragmatis. Pertama, secara
koherensi, Wahbah konsisten menerapkan langkah-langkah metodologi dalam setiap
penafsirannya; kedua, secara korespondensi, sesuai dengan realitas di lapangan yang
menunjukkan bahwa penafsiran Wahbah tetap mengacu pada karya tafsir klasik namun
dikemas dengan gaya bahasa kontemporer dan metode yang konsisten; dan ketiga,
secara pragmatis, produk penafsiran Wahbah berfungsi untuk menjawab persoalanpersoalan
yang muncul di kalangan masyarakat ketika itu, dan tidak menutup
kemungkinan juga berfungsi untuk pembaca secara umum.
Kedua, Sistematika penulisan yang digunakan Wahbah dengan mengacu kepada
tartib mus}h}afi, menghindari cerita israiliyat dan pembahasannya yang luas dan
terperinci, telah menjadikan kitab tafsirnya menjadi sistematis dan kaya akan informasi.
Selain itu, latar belakang Wahbah sebagai seorang pakar Us}ul Fiqh juga tidak lantas
membuatnya terjebak dalam fanatisme mazhab ketika menafsirkan ayat-ayat ah}kam.
Sayangnya, penyajian yang diberikan terkesan menjadi parsial atau terpisah-pisah
karena mengikuti tartib mus}h}afi tapi menggunakan metode semi tematik. Banyaknya
tema yang disajikan juga akan membuat pembaca kesulitan dalam mencari tema yang
diinginkan.NIM.: 06530015 M. Sabilur Rohman2023-11-22T02:10:55Z2023-11-22T02:10:55Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/62329This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/623292023-11-22T02:10:55ZBANI ISRAEL PADA MASA MUSA DALAM TAFSIR FI ZILAL AL-QUR’AN KARYA SAYYID QUTBKisah Bani Israel pada masa Musa merupakan salah satu kisah yang cukup
banyak diceritakan dalam Al-Qur’an. Surat-surat Makkiyah maupun Madaniyyah
sama-sama memberikan porsi yang cukup banyak dalam memaparkan ceritacerita
Bani Israel pada masa tersebut. Hal ini menunjukkan adanya banyak
pelajaran yang terkandung di dalamnya, selain juga karena episode Bani Israel
pada masa Musa merupakan episode yang cukup penting dan berpengaruh pada
kehidupan mereka secara luas. Kehidupan Bani Israel pada masa tersebut bisa
dipetakan menjadi tiga episode, yakni Bani Israel ketika berada di Mesir, pada
masa Eksodus, dan setelah Eksodus.
Skripsi ini berupaya mengetahui pandangan Al-Qur’an terhadap Bani Israel pada
masa Musa dalam hal genealogi, karakter, sikap, serta perilaku Bani Israel kepada
Musa dan sebaliknya yang termuat dalam tafsir Fi Z}ila>l al-Qur’a>n karya Sayyid
Qutb. Selain itu, skripsi ini juga berupaya mengetahui beberapa hal lain yang
terkait dengan kehidupan Bani Israel pada masa Musa, yakni latar belakang serta
kelengkapan setting Eksodus Bani Israel dan status sebuah negeri yang
diperintahkan agar dimasuki Bani Israel.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif-analitis.
Berbagai data yang diperoleh, baik dari Al-Qur’an, tafsir Fi Z}ila>l al-Qur’a>n,
maupun sumber-sumber lain yang memaparkan kisah Bani Israel pada masa Musa
disajikan kemudian dianalisis untuk bisa menjawab beberapa persoalan yang
terkait dengan Bani Israel pada masa Musa.
Berbagai pengolahan dan analisis data dalam penelitian ini menghasilkan
beberapa hal berikut. Pertama, Bani Israel berarti keturunan Israel (Ya’qub) yang
menginduk pada kedua belas anak Ya’qub. Kedua, Bani Israel pada masa Musa
mengalami evolusi dalam hal sikap dan perilaku mereka, khususnya perilaku yang
‘menyesuaikan’ dengan tiga periode waktu yang mereka lalui. Namun demikian
secara umum, Bani Israel diidentikkan dengan kaum yang suka melakukan
pelanggaran dan pembangkangan perintah. Ketiga, sikap Musa yang mengayomi
dan melindungi Bani Israel bertolakbelakang dengan sikap Bani Israel yang sering
berperilaku tidak sopan kepada Musa. Keempat, peristiwa Eksodus berangkat dari
perintah Allah kepada Musa yang dilatarbelakangi oleh keadaan Mesir yang tidak
kondusif bagi Bani Israel. Peristiwa ini terjadi pada sekitar seperempat akhir abad
ke-13 SM. Kelima, Tidak ada ayat yang Al-Qur’an yang menunjukkan bahwa
negeri yang diperintahkan untuk dimasuki Bani Israel adalah negeri yang
dijanjikan. Namun demikian dalam beberapa penafsirannya, Qutb mengemukakan
bahwa negeri yang diperintahkan agar dimasuki Bani Israel tersebut adalah negeri
yang dijanjikan kepada mereka.NIM.: 07530003 Masyithah Mardhatillah2023-11-22T02:08:06Z2023-11-22T02:08:06Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/62333This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/623332023-11-22T02:08:06ZKISAH DALAM AL-QUR'AN : TELA’AH ATAS SURAT AL-QASAS (MENURUT AL-MARAGHI & HAMKA)Diantara hal yang menarik dari al-Qur'an adalah bahwa al-Qur'an memuat
beberapa cerita / kisah kaum-kaum terdahulu, hingga jauh kehulu sejarah peradaban
ummat manusia yang tak mungkin buku sejarah manapun mampu mengcover secara
akurat, memang begitulah al-Qur’an dengan berbagai metodenya dalam
menyampaikan dan mengekspresikan misi moralnya, ada yang berbentuk jelas
perintahnya ada yang berbetuk samar seperti dalam kemasan kisah-kisah atau cerita
sebagai teladan, pelajaran, peringatan. Itulah kemu’jizatan al-Qur'an yang sudah
Allah sendiri menjamin kebenarannya.
Sepertiga isi al-Qur'an adalah tentang kisah-kisah dan sebagian kisah di
dalam al-Qur'an ada yang secara khusus dinamakan surat al-Qas}a>s} yaitu kisah-kisah
atau cerita-cerita, di dalamnya terdapat kandungan pesan berharga dan secara
khusus juga kisah tersebut mengandung nilai yang sangat penting karena
menyangkut persoalan Aqidah atau ketauhidan
Untuk memfokuskan kajian di atas ada beberapa masalah pokok yang perlu
ditemukan jawabannya dalam penelitian ini, yaitu apa saja kisah yang terdapat di
dalam surat al-Qas}a>s} atau kapan kisah itu diceritakan, dan bagaimana karakteristik
kisah yang terdapat di dalam surat ini. Kenapa kisah tersebut diceritakan kaitannya
dengan kronologi kisahnya, dan apa pula hikmah yang terkandung di dalamnya
Untuk menjawab pertanyaan diatas maka penyusun menggunakan metode
deskriptif-analitis, yaitu berupaya memberikan keterangan dan gambaran yang
sejelas-jelasnya secara sitematis, analis, dan obyektif tentang kisah-kisah yang
terkandung dalam surat al-Qas}a>s} tersebut berdasarkan penafsiran al-Maraghi dan
Hamka, serta hikmah yang terkandung di dalamnya.
Maka dengan metode tersebut, harapan penyusun dapat memberikan
pengetahuan baru bahwa kisah-kisah dalam surat al-Qas}a>s} yaitu kisah Musa a.s. dan
Fir'aun beserta Qarun mengandung makna dan hikmah tersendiri secara khusus pula.
Bagaimana perjalanan seorang nabi atau penyampai risalah keimanan atau
ketauhidan mendapatkan tantangan yang membutuhkan kesabaran, ketabahan,
ketegaran hati untuk menghadapi kekejaman kaumnya sendiri. Seperti itulah kunci
seorang da’i.NIM.: 04531715 Moh. Hisyam2023-11-22T02:04:42Z2023-11-22T02:04:42Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/62332This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/623322023-11-22T02:04:42ZHADIS-HADIS TENTANG BEKAM SEBAGAI PENGOBATAN YANG MUJARAB (STUDI MA’ANI AL-HADIS)Sebagai sebuah negara yang kaya sumber daya alam, ternyata bangsa Indonesia masih
belum bisa mensejahterakan seluruh lapisan rakyat Indonesia, hal ini terbukti dengan masih
banyaknya rakyat Indonesia yang masih berada di bawah garis kemiskinan. Hal ini juga
berimbas dengan sulitnya mereka untuk mendapatkan akses pengobatan yang jauh dari layak. Di
tengah-tengah kesulitan yang sedang menimpa sebagian besar rakyat Indonesia, ada sebuah kabar
gembira, bahwa ada pengobatan metode bekam yang sudah sejak zaman Nabi telah disarankan
untuk digunakan, karena ia adalah pengobatan yang terbaik pada saat itu. Dalam upaya
memperkenalkan pengobatan bekam, mereka mempergunakan dalil-nalil naqli,yakni hadis Nabi
Muhammad SAW. Hadis-hadis ini juga digunakan untuk meyakinkan orang-orang tentang
keutamaan bekam dan keutamaan bagi mereka yang melaksanakannya.
Berangkat dari fakta di atas, maka pokok penelitian skripsi ini difokuskan pada
kajian ma’ani al-hadis, sebagai usaha untuk menjawab pertanyaan yang diajukan pada
rumusan masalah, sebagai berikut: Bagaimanakah memaknai atau interpretasi terhadap
hadis bekam, apakah hadis tersebut bisa dipahami secara tekstual atau kontekstual, dan
apakah kandungan hadis tersebut bersifat universal, temporal atau local?, Bagaimana
relevansi hadis tersebut jika dihadirkan dalam realitas kongkrit kehidupan ini
Dalam penelitian ini,penulis mengunakan teori ma’ani al-hadis yang
dikembangkan oleh Indal Abror, yang memakai empat langkah kerja. Dari penelitian ini
dihasilkan kesimpulan, pertama, bahwa pemaknaan hadis tersebut sama sekali tidak
mengikat kita untuk senantiasa mengikuti praktek bekam tersebut, karena hadis yang
berisi sarana dan prasarana bisa saja berubah dengan menyesuaikan kepada waktu,
tempat dan kondisi. Dengan demikian, hadis tentang keutaman bekam bisa bermakna
kontekstual. Karena pada kesempatan yang lain ternyata Nabi juga memberikan beberapa
alternatif pengobatan bagi sahabat. Kedua, meskipun pengobatan ini telah kuno tetapi
dengan melihat berbagai penelitian yang telah dilakukan di negara-negara Arab, maka
tidak menutup kemungkinan bahwa informasi dalam hadis tersebut bisa kita kita
praktekkan dalam kehidupan modern ini.NIM.: 07530016 Mohammad Farah Ubaidillah2023-11-22T01:59:54Z2023-11-22T01:59:54Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/62330This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/623302023-11-22T01:59:54ZA STUDY ON NASR HAMID ABU ZAYD’S QUR’ANIC PRINCIPLE OF GENDER EQUALITYSince Classical fikih literatures cannot solve contemporary problems of
women in Islam, some feminist scholars, including Nas}r H{āmid Abū Zayd,
struggle to solve them because they realize that religious interpretation is one of
many factors that lead women in many countries to be still subordinated.
Nevertheless, Abū Zayd’s ideas could not be accepted by Egypt’s authoritative
scholars. He was exiled from his homeland. This research is to elaborate Abū
Zayd’s Thoughts on “Liberating Women” and Qur’anic Principles of Gender
Equality, analyze them in the light of feminism’s discourse and reveal their
implications in Islamic laws. It will also discuss Abū Zayd’s interpretation on
women’s inheritance as it represents the use of the principle, its implications and
relevance to the Muslim-Indonesian’s current context.
This library research uses descriptive-analytical method. Abū Zayd’s
Dawā’ir al-Khauf: Qirā’ah Fī Khit}āb al-Mar’ah becomes the primary source of
this thesis while works which related to Abū Zayd’s biography and exegetical
theory written by him, such as Isykālīyāt al-Qur’ān wa ‘Alīyāt al-Tafsīr, Naqd
al-Khithāb al-Dīnī, Mafhūm al-Nas}, and al-Imām al-Shāfi’ī wa Ta’sīs al-
Idiyūjīyāt al-Wasat}īyah become the secondary source. The Method of collecting
data is documentation while the data are analysed by reduction, taxonomic
analyses and interpretation.
This research concludes that Abū Zayd‘s project of “liberating women” is
begun by his efforts to convince Muslims that in Islamic world, discriminations
against women from both the conservative and moderate scholars still exist. To
solve that problem and reform Islam, Muslims must develop the discourse of
renaissance (Khit}āb al-Nahd}ah) which sees that Western advancement can be
adopted if it brings advantages. Abū Zayd built his feminist exegesis on two
important points: differentiation between dialogical context and legislative context
and determining Qur’anic principle of gender equality. al-Nah}l: 97, al-Nisā’: 124,
Ghāfir: 40, A<lu ‘Imrān: 195 and al-Tawbah: 71-72 are considered by him as the
basic verses of the Qur’an which assert that since male and female were created
by God from the same entity, and have same obligation and right as creatures of
God, they are supposed to be equal in all religious laws. This research found that
the asserted equality in each verse is determined historically. It means that it is
related to the objective conditions in the time when it is revealed. Abū Zayd’s
Qur’anic principle of gender equality changes several laws, such as (1) women’s
witness, (2) sacrificing animal (‘aqīqah), (3) women’s leadership, (4) and
women’s portion in inheritance. Abū Zayd sees that the main content of al-Nisā:
7-8 is legitimating female’s share and not the 2:1 formula. Its significence (almagzā)
is the legalized principle of balance (tawāzun) between male and female.
This interpretation results he necessity of formulating general guidence for
person who will divide the inherited wealth and the obligation to all of couple
married to develop a concept of partnership in their relation with multiple
female-male roles. Abū Zayd’s interpretation on verses of women’s inheritance is
relevant to be applied in Muslim-Indonesian’s current context because
Indonesian women are still in less-employment.NIM.: 07530060 Mu’ammar Zayn Qadafy2023-11-22T01:45:44Z2023-11-22T01:45:44Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/62326This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/623262023-11-22T01:45:44ZIGNAZ GOLDZIHER’S AND NABIA ABBOTT’S THOUGHTS ON ISNAD AL-HADITHEvery hadith consist of two parts, namely the chain of transmitters and the
content (matn). Hence, there are two aspects that become the object of research in
hadith. The first is critisism of sanad (naqd al-sanad) and the second is critisism of
matn (naqd al-matn). There are two orientalists who studied on hadith, particularly
on isnad al-hadith. They are Ignaz Goldziher and Nabia Abbott. Ignaz Goldziher was
the first scholar to study the hadith in a systematic historical and critical study.
Study on hadith in Europe culminated in the work of Ignaz Goldziher, whose work
became the most important critique of hadith in the nineteenth century, and Ignaz
Goldziher made great impact on the discourse of hadith in West. Goldziher doubted
the authenticity of hadith. He doubted the transmission of hadith. Nabia Abbott is
one of orientalists who countered Goldziher’s theory on hadith. She believed that
hadith is authentic. Some questions become the focus of this research are: what are
the main of Ignaz Goldziher’s and Nabia Abbott’s Thoughts on isnad al-hadith?
What are the fundamental similarities and differences between Ignaz Goldziher’s
and Nabia Abbott’s thoughts on isnad al-hadith? What are the strengths and
weaknesses of their thoughts?
This is a qualitative research using descriptive-comparative method. The
data were collected from Muslim Studies wroted by Ignaz Goldziher and Studies in
Arabic Literary Papyri II; Qur’anic Commentary and Tradition wrote by Nabia
Abbott as a primary data, such as The Development of Exigesis in Early Islam: The
Authenticity of Muslim Literature from the Formative Period and The Origins of
Muhammadan Jurisprudence. and other relevant sources as secondary data. Method
of analysis used content analysis with comparative approach.
Ignaz goldziher believes that the transmission of hadith existed since the
Prophet’s period, but political conflict among Muslim society makes him doubt on
the authenticity of hadith. Goldziher also argued that the hadith found in later
collections have no references to earlier written collections and use oral transmission
isnads, not written sources. According to Goldziher, Muslim critics has been
focussing on isnad, and not the contents. Nabia Abbott tried to reject Goldziher’s
view by focusing on a detailed study of literary papyri. She argued that the hadith
literatures existed among Muslims in the first century. According to Abbott, the
isnad system began in the life time of the Prophet and was used by Companions in
transmitting the traditions of the Prophet. The critical method on hadith does not
focused only on the isnad, but also the matn. Collection of hadith was developed by
Muhammad’s family and Companions during his life’s time. Nabia Abbott uses
isnad family and non-family, and explosive isnad’s theories to support her argument.NIM.: 07530065 Muhammad Badruz Zaman2023-11-22T01:39:21Z2023-11-22T01:39:21Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/62324This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/623242023-11-22T01:39:21ZREFORMISTS’ THOUGHT ON THE SUNNA (A COMPARATIVE STUDY ON MOENAWWAR CHALIL’S AND FAZLUR RAHMAN’S PRINCIPLES OF THE SUNNA)It is interesting to discuss about reformist as an advocate of reform and
reinterpreting religious norms and sources, including the Sunna. The reformists’
ideology had been inviting internal conflicts in Indonesian Muslim context
bacause of the resistance from traditionalists. The significance of this research is
to analyze the reformists’s thoughts to find the best method on understanding
the Sunna. Researcher investigates three research questions including the main
thoughts of Moenawwar Chalil’s and Fazlur Rahman’s on Sunna principles, the
similiarities and differences, and the strengths and weaknesses of their thoughts.
From this research question, the reformist’s thought on Sunna principles will be
found.
This is library research which will explain about reformists’ thoughts on
Sunna. The primary sources for this reasearch are Kembali Kepada Al-Qur’an
dan As-Sunnah (Back to the Qur’an and Sunna), and Islamic Methodology in
History. The secondary sources include Modern reformist Thought In The
Muslim World, Paham Keagamaan Kaum Reformis: Studi Kasus Pemikiran
Moenawar Chalil (Religious Understanding of Reformists: Study of Moenawwar
Chalil’s Thought). The Method of collecting of data is documentation , while the
technique of data analyses are historical continuity, taxonomic analyses,
interpretation and comparation.This research uses hermeneutical approach. This
hermeneutical approach is inspired by Hasan Hanafi which focus on three steps:
historical consciousnesss (al-Shu’u>r al-Ta>rikhi>) that determines the originality
the text and certainty, eidetic consciousness (al-Shu’u>r al-Naz{ari>) which will
show the meaning of the texts, and practical consciousness (al-Shu’u>r al-‘Amali>)
as a basic theory for practical applications. Hassan Hanafi’s theory is used to
classify reformists’ thought.
Research shows that Chalil’s historical criticism is dominated by Islamic
jurisprudence perspectives. His reform ideas are addressed to redesign the legal
characters based on Sunna. Chalil believes that Sunna and its mission to advance
Islam can be achieved by conserving the essences of Sunna. In the other hand,
Fazlur Rahman believes that the prophetic Sunna must be interpreted in line with
modernity without neglecting the historical factors. Chalil and Rahman do not
focus on sanad criticism. They try to put Sunna in the highest position and
applicable in the Muslim societies. Chalil and Rahman are different on their
method to understand the Sunna. Practically, Chalil is successful in producing
fiqh al-Nabawi> althought without integrating modern sciences. He understands
Sunna based on textual approach method by letting texts explains each other.
This is Chalil’s weakness when compared to Rahman who contextualizes the
Sunna rationally using interdisciplinary approaches. With this method Rahman
tries to find the ideal-moral of Sunna.NIM.: 07530068 Muhammad Julkarnain2023-11-22T01:35:41Z2023-11-22T01:35:41Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/62323This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/623232023-11-22T01:35:41ZKISAH ASHAB AL-KAHFI DALAM AL-QUR’AN PERSPEKTIF MUHAMMAD MUTAWALLI ALSYA’RA WI DALAM KITAB TAFSIR AL-SYA’RAWISkripsi ini memabahas tentang kisah ashab al-kahfi dalam al-Qur’an
perspektif Mutawalli al-Sya’rawi dalam kitab Tafsir al-Sya’rawi. Permasalahan
utama yang hendak dijawab adalah; pertama, bagaimana penafsiran al-Sya’rawi
tentang kisah ashab al-kahfi? Dan kedua, apa keunikan penafsiran al-Sya’rawi
ini? Alasan peneliti memilih kisah ashab al-kahfi perspektif al-Sya’rawi sebagai
objek penelitian disebabkan dua hal; pertama, karena kajian tentang kisah ashab
al-kahfi tidak terlepas dari keberadaannya yang masih menyimpan ribuan tanda
tanya. Misteri-misteri yang terkandung di dalamnya selalu mengundang rasa
ingin tahu bagi orang yang merenungkannya. Kedua, bahwa al-Sya’rawi adalah
salah seorang mufassir yang memiliki perhatian yang cukup besar perihal
kemukjizatan al-Qur’an, terutama tentang kisah-kisah di dalam al-Qur’an.
Sehingga akan menarik kemudian bila kisah ashab al-kahfi dilihat dalam
kacamata seorang yang mempunyai kensentrasi di dalamnya.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan historis dengan
metode deskriptif-analitik. Model ini mencoba menggambarkan pemikiran
seseorang dengan segala aspek yang melatarinya. Adapun cara untuk menerapkan
metode ini melalui beberapa tahap yang berupa; pengumpulan dan klasifikasi
data, kemudian mengolah dan menganalisis data tersebut.
Dalam pada itu, hasil penelitian ini adalah; pertama, dalam pandangan al-
Sya’rawi kisah di dalam al-Qur’an harus dipahami sebagai realitas sejarah.
Demikian pula halnya dengan kisah ashab al-kahfi yang merupakan salah satu
kisah yang mewarnai al-Qur’an. Kisah ini mengandung mukjizat-mukjizat yang
irrasioal (tidak masuk akal), terutama ketika didengar oleh masyarakat Arab
ketika al-Qur’an diturunkan. Namun al-Sya’rawi memiliki perspektif bahwa al-
Qur’an adalah kitab suci yang rasional, terutama di masa perkembangan ilmu
pengetahuan ini (baca: modern). Kaitannya dengan kisah ashab al-kahfi, ia
banyak memberikan pandangan-pandangan berupa renungan yang dapat diterima
oleh akal sehat.
Kedua, bahwa al-Sya’rawi tidak menolak adanya dialektika al-Qur’an
dengan ilmu-ilmu pengetahuan modern. Namun, ia menolak bila kemudian al-
Qur’an kehilangan semangat utamanya, yakni menjadi hidayah bagi umat
manusia. Karenanya, berkaitan dengan kisah ashab al-kahfi, beliau seringkali
mengutarakan pemikiran-pemikiran yang berupaya untuk menjelaskannya secara
rasional dan mengiringinya dengan renungan-renungan yang mendalam. Dengan
bahasa yang sederhana dan lugas, ia menjelaskan mengapa misteri-misteri yang
terkandung di dalam kisah ini terjadi dan bagaimana seharusnya dipahami dalam
konteks kekinian (baca: modern). Sehingga al-Qur’an menjadi hidayah bagi
setiap umat sepanjang zaman (al-Qur’an salihun likulli zaman wa makanNIM.: 07530001 Mumtaz Ibnu Yasa’2023-11-22T01:26:12Z2023-11-22T01:26:12Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/62321This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/623212023-11-22T01:26:12ZPEWAHYUAN AL-QUR’AN MENURUT HISYAM JU’AIT DALAM BUKU FI AL-SIRAH AL-NABAWIYYAH 1: AL-WAHY WA AL-QUR’AN WA AL-NUBUWWAHAda beberapa faktor penting dalam wacana ‘ulum al-Qur’an untuk selalu
diperhatikan dalam mengkaji wahyu; (1) kajian tentang wahyu menjadi pijakan
dasar bagi tema-tema ‘ulum al-Qur’an yang lain, (2) dengan kajian ini dapat
menangkal dan menghapus keraguan orang-orang yang ingkar terhadap wahyu
baik yang dilakukan oleh orang-orang Jahiliyah ataupun orang modern, (3)
beberapa tahapan dan “cara-cara pewahyuan” masih membuka pemikiran dan
penafsiran yang interpretatif dan spekulatif.
Hisyam Ju’ait, seorang sejarawan muslim, dalam bukunya Fī al-Sirah al-
Nabawiyyah I: al-Wahy wa al-Qur’an wa al-Nubuwwah, mencoba menawarkan
pemikiran dan metode baru dalam memahami pewahyuan al-Qur’an. Ia menelaah
tentang wahyu dengan menggunakan pendekatan historis dan metode rasional.
Dari masalah tersebut, penulis mencoba merumuskan masalah, yaitu apa
yang melatarbelakangi pemahaman Hisyam Ju’ait tentang pewahyuan al-Qur’an
dalam buku Fī al-Sirah al-Nabawiyyah I: al-Wahy wa al-Qur’an wa al-
Nubuwwah?, dan bagaimana pewahyuan al-Qur’an menurut Hisyam Ju’ait?, serta
apa kontribusi pemikirannya terhadap kajian ‘ulum al-Qur’an?.
Penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian kepustakaan (library
research) dan sumber data primer adalah buku Fī al-Sīrah al-Nabawiyyah I: al-
Wahy wa al-Qur’ān wa al-Nubuwwah. Maka untuk menjawab permasalahan
tersebut, digunakan metode deskriptif-analisis. Data-data yang diperoleh
kemudian diuraikaikan secara sistematis dan dianalisis, yaitu memaparkan
penjelasan secara mendalam berdasarkan data-data yang sudah diklasifikasikan.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa penurunan wahyu kepada
Nabi Muhammad saw. datang setelah terjadinya peristiwa penampakan (tajalli)
sosok metafisik dengan bertumpu pada QS. al-Takwir ayat 19-25 dan QS. al-
Najm ayat 1-18. Hal ini dikarenakan kedua surah tersebut menjelaskan dengan
detail pristiwa yang terjadi pada saat pewahyuan pertama di gua Hira, dan
pertemuan dengan Allah saat mi'raj. Singkatnya, penurunan wahyu menurut Ju’ait
sama halnya dengan pemahaman kebanyakan ulama lain. Penurunan wahyu ada
dua, yaitu (1) tanpa perantara, yaitu dengan kata-kata langsung dan pengilhaman
makna ke dalam hati serta melalui mimpi. (2) melalui perantara, yaitu ‘utusan
yang mulia (QS. al-Takwir)’ atau ‘sosok yang kuat (QS. al-Najm)’, Ju’ait
menyebutnya dengan ‘al-syakhsu al-mawara’i’ (sosok metafisik) yang kuat.
Adapun kontribusi pemikiran Hisyam Ju’ait terhadap kajian ‘ulum al-
Qur’an, yaitu memberikan metodologi baru dalam memahami sejarah pewahyuan
al-Qur’an yaitu metode aqlani tafahhumi seperti dalam memahami sosok
metafisik yang kuat ‘Jibril’. Jibril diambil dari bahasa Ibrani yaitu “Jibr”
(kekuatan) dan “Il” (Tuhan). Jadi, Jibril merupakan kekuatan Tuhan. dan
mengeksplorasi konsep wahyu dengan menekankan aspek rasional (aqli) terhadap
berbagai ayat al-Qur’an. Hal ini tidak berarti meninggalkan petunjuk al-Qur’an
dan hadis melainkan justru berangkat darinya Ju’ait mencoba merangkai berbagai
petunjuk menjadi satu kesatuan yang rasional dan sistematisNIM.: 07530075 Nazmiah2023-11-22T01:17:40Z2023-11-22T01:17:40Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/62319This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/623192023-11-22T01:17:40ZSYIFA DALAM TAFSIR AL-AZHAR, DEPARTEMEN AGAMA DAN AL-MISHBAHFokus dari penelitian ini syifā dalam Tafsir Al-Azhar, Departemen Agama
dan Al-Mishbāh. Tema syifā dipilih didasari keinginan peneliti untuk mengetahui
dan memahami syifā secara mendalam. Di samping itu juga dilatarbelaangi oleh
masalah-masalah kemanusiaan yang muncul dengan berbagai macam, terutama
masalah-masalah yang berkaitan dengan psikologi manusia. Para pakar
berpendapat bahwa kesan sains dan teknologi terhadap hal ihwal yang
menyangkut masalah psikologi manusia dapat meningkatkan statistik penderita
kemurungan, kegelisahan, fobia, tekanan dan sebagainya. Banyak orang
mengalami ketidakstabilan emosi spiritual dan psikologi, sehingga tingkat
penderita penyakit mental dan pelaku yang terkait dengan bunuh diri meningkat.
Mengingat peliknya persoalan-persoalan yang kerap dihadapi manusia tanpa
memandang bulu baik di kalangan kaum tua, remaja dan anak-anak maka
pendidikan yang merupakan sebagai sarana memanusiakan manusia yakni
manusia yang berkembang dan berakhlakul karimah masih belum bisa membuat
manusia dapat menyelesaikan masalah hidupnya dengan baik. Untuk mengetahui
penafsiran syifā yang relevan dengan konteks ke-Indonesiaan saat ini, peneliti
mengambil sumber penfasiran dari Hamka, DEPAG dan M. Quraish Shihab.
Mengingat mereka adalah para tokoh mufassir yang berasal dan hidup di
Indonesia dan memahami situasi dan kondisi yang ada di Indonesia.
Berangkat dari latar belakang di atas, maka penelitian ini difokuskan pada
pertanyaan yang diajukan dalam rumusan masalah sebagai berikut: pertama,
bagaimana inti penafsiran penafsian syifā menurut ketiga tafsir tersebut? Dan
kedua, apa relevansi penafsiran ketiga tafsir trsebut tentang syifā dengan konteks
kekinian?
Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif-analitik
bertujuan mendeskripsikan dan menganalisis penafsiran Hamka, DEPAG dan
Quraish Shihab. Dengan pendekatan historis yang menekankan pentingnya
memahami Al-Qur’an dengan konteks kesejarahan, lalu diterapkan pada situasi
masa kini kemudian membawa fenomena-fenomena sosial ke dalam naungan Al-
Qur’an.
Penelitian ini: pertama, menurut ketiga Tafsir syifā dipahami sebagai obat
QS. Yunus [10] ayat 57, QS. An Nahl [16] ayat 69, QS. Al Isra [17] ayat 82 dan QS.
Fushshilat [41] ayat 44, melegakan hati QS. At Taubah [9] ayat 14 dan
menyembuhkan QS. As Syu’ara [26] ayat 80. Kedua menurut peneliti, penafsiran
Hamka, DEPAG dan Quraish Shihab tentang syifā dapat diambil relevansinya
dengan konteks sekarang, Al-Qur’an sebagai obat, penawar atau penyembuh bagi
apa yang terdapat dalam dada, Madu yang di dalamnya terdapat obat penyembuh
bagi manusia dan Allah yang mempunyai kehendak dan penentu menyembuhkan
ketika sesorang sakit. Pentingnya Al-Qur’an digunakan sebagai obat dengan artian
petunjuk sebagai jalan untuk memperoleh kesembuhan sekaligus penawar dan
pencegah datangnya penyakit serta pencegah bertambahnya penyakit dengan
menghilangkan penyakit yang sudah menjangkit.NIM.: 06530052 Rohman2023-11-22T01:14:33Z2023-11-22T01:14:33Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/62318This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/623182023-11-22T01:14:33ZQASAAS AL-ANBIYA DALAM Q.S HUDD DAN RELEVANSINYA TERHADAP KEHIDUPAN MASA KINI (STUDI KOMPARATIF TAFSIR FI ZIILALL AL-QURANN KARYA SAYYID QUTBB DAN TAFSIR AL-AZHAR KARYA HAMKA)Setiap kisah yang diceritakan dalam al-Qur’an tidak hanya menjadi bahan
renungan untuk manusia, tetapi juga berperan sebagai pemberi contoh melalui objek
pelaku dalam tiap kisah tersebut. Kisah para nabi yang notabene adalah para utusan
Allah yang diturunkan pada masing-masing kaumnya yang diceritakan dalam Surat
Hud ini patut untuk diteladani sebagai kisah orang shaleh yang menjadi kekasih
Allah. Begitu pula untuk golongan orang-orang yang mendustai para utusan
tersebut. Dari mereka, manusia bisa berkaca untuk tidak kembali melakukan
kesalahan mereka di masa silam dengan melihat perbuatan apa yang telah dilakukan
oleh mereka pada saat itu.
Pada dasarnya, kisah yang ada dalam al-Qur’an sepenuhnya merupakan
mediator untuk menyampaikan pesan Tuhan yang ada di dalamnya. Karenanya,
penelitian ini diarahkan untuk mengungkap pesan yang ada di balik kisah para Nabinabi
yang diceritakan dalam surat Hud. Mengingat bahwa pada surat Hud lah kisah
para nabi utusan ini diceritakan lebih lengkap daripada surat lainnya. Untuk
melakukan pembacaan pada kisah-kisah tersebut, penulis mengacu pada dua tokoh
yakni Sayyid Qut}b dan Hamka, dengan rumusan masalah yang akan dipecahkan
yaitu, bagaimana pandangan kedua tokoh tersebut tentang Qas}as} al-Anbiya’ dalam
surat Hud serta bagaimana relevansinya terhadap kehidupan masa kini. Dipilihnya
kedua tokoh ini sebagai obyek penelitian didasarkan pertimbangan yaitu karya
keduanya yang termasuk ke dalam tafsir bercorak adabi ijtima’i. Corak seperti ini
dinilai tepat untuk melihat bagaimana relevansi Qas}as} al-Anbiya’ terhadap
kehidupan masa kini. Maka dari itu penelitian ini sangat urgen untuk melihat sisi
perbedaan dan persamaan keduanya ketika menafsirkan Qas}as} al-Anbiya’ dalam
surat Hud sesuai dengan setting sosial masing-masing mufassir untuk kemudian
dilihat bagaimana relevansinya terhadap kehidupan saat ini. Metode yang penulis
pakai dalam penelitian ini adalah analisis komparatif. Selanjutnya, hasil penelitian
ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi khazanah keilmuan
Islam, terutama di bidang kajian tafsir al-Qur’an.
Setelah penulis melakukan deskripsi dan analisis terhadap penafsiran
keduanya atas Qas}as} al-Anbiya’, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa tema
sentral yang disampaikan dalam Qas}as} al-Anbiya’ menurut kedua mufassir ini
adalah ketundukan terhadap Allah sebagai satu-satunya pencipta alam semesta ini.
Hal ini bertujuan untuk melepaskan manusia dari belenggu kekuasaan yang bukan
berasal dari Allah. Dan dari kisah yang dipaparkan al-Qur’an mengenai Qas}as} al-
Anbiya’, manusia dapat mengambil nilai moralnya yaitu hendaknya manusia
mengindahkan seruan dan ajaran yang dibawa para rasul untuk kemudian diterapkan
dalam kehidupannya. Hal ini bertujuan untuk membentengi manusia dari
terulangnya kisah pahit yang terjadi pada kaum yang telah diceritakan dalam surat
Hud ini.NIM.: 07530080 Sa’adatul Abadiyah2023-11-17T08:45:41Z2023-11-17T08:45:41Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/62271This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/622712023-11-17T08:45:41ZKIAMAT DAN TANDA-TANDANYA DALAM ALQUR’AN (STUDI TAFSIR TEMATIK )Kiamat merupakan perkara ghaib yang hanya diketahui Allah kapan
terjadinya. Rahasia datangnya kiamat ini tidak dapat diketahui oleh makhluk
Allah, bahkan Rasulullah yang merupakan utusan dan kepercayaan-Nya pun tidak
mengetahui kabar datangnya kiamat. Tetapi dengan rahmat-Nya, Allah telah
menjadikan kiamat memiliki tanda-tanda yang mendahuluinya, sekaligus hal ini
sebagai bukti kenabian Muhammad SAW sehingga keimanan akan kerasulannya
semakin kuat. Firman Allah mengenai kiamat serta tanda-tanda sangat banyak,
maka kewajiban untuk mengkaji dan mendalami makna dari setiap firman Allah
merupakan suatu keniscayaan, bukan dengan percaya pada ramalan-ramalan
mengenai datangnya kiamat.
Dari latar belakang di atas, maka kajian utama skripsi ini adalah untuk
mengetahui bagaimana kata kiamat serta seluk beluknya dalam al-Qur’an.
Penelitian ini dapat dikategorikan ke dalam jenis penelitian kepustakaan (Library
Research), serta menggunakan metode deskriptif-analitik. Dalam hal ini, penulis
berusaha menggambarkan obyek penelitian yaitu kajian atas ayat-ayat al-qiya>mah
dalam al-Qur’an kemudian menganalisis dengan pendekatan tafsir tematik.
Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa istilah kiamat menempati
posisi penting dalam al-Qur’an. Hal ini terlihat dari pemberian nama-nama surat
yang jika dibandingkan dengan konteks-konteks lainnya, hanya konteks qiya>mat
saja yang disebutkan dalam sepuluh surat, yaitu: al-Wa>qi’ah, al-Ha>qah, al-
Qi>yamah, al-Naba’ (berita besar), al-Takwir (menggulung), al-Infitha>r (terbelah),
al-Gha>syiah (peristiwa yang dahsyat), al-Zilzalah (kegoncangan), an-Naziat, dan
al-Qa>ri’ah. Di samping surat-surat ini, ada beberapa surat yang tidak secara
langsung bermakna hari kiamat, tetapi sebagian besar isinya mengenai hari
kiamat, seperti surat Yasin. Sedangkan kata kiamat dengan segala bentuknya
terulang sebanyak 73 kali.
Dari data yang diperoleh, kiamat memiliki nama lain sebanyak 19 nama
termasuk kiamat itu sendiri, dalam al-Qur’an kiamat serta nama-nama lainnya
terdapat dalam 251 ayat. dan tanda-tanda yang mengiringi hari kiamat baik yang
sosiologis maupun yang teologis, dari 19 nama kiamat tersebut berindikasi tandatanda
kiamat. hikmah dibalik dirahasiakannya kiamat oleh Allah adalah bahwa
agar kita selalu mendekatkan diri kepada allah, menjalankan semua yang
diperintahkannya serta menjauhi semua yang dilarang oleh AllahNIM.: 07530083 Dewi Chodijah2023-11-17T08:43:25Z2023-11-17T08:43:25Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/62266This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/622662023-11-17T08:43:25ZKONSEP HARTA FA’I DALAM PERSPEKTIF HADIS (STUDI MA’ANI AL-HADIS)Secara epistemologis, hadis diyakini oleh seluruh umat Islam sebagi bayan
bagi ayat-ayat al-Qur’an, atau secara mandiri hadis dapat juga dipandang sebagai
ketetapan suatu hukum yang belum ditetapkan oleh al-Qur’an. Oleh karnanya umat
Islam sepakat akan pentingnya peranan hadis dalam berbagi disiplin keilmuan Islam
seperti tafsir, fiqh, teologi, akhlaq, dan lain sebaginya. Al-Qur’an maupun hadis telah
terbentuk di masa Rasulullah saw, dengan demikian tidak dapat dimodifikasi dengan
penambahan atau pengurangan. Sementara kehidupan yang dijalani dan dihadapi
umat pasca Rasulullah mengalami perkembngan dalam segala bidang. Pengkajian
ulang dan pengembangan pemikiran terhadap hadis dapat dilakukan dengan
pemaknaan kembali terhadap hadis. Hal ini menjadi kebutuhan mendesak ketika
wacana-wacana keislaman banyak mengutip literature-literatur hadis, yang pada
gilirannya mempengaruhi pola pikir dan tingkah laku umat Islam itu sendiri.
Dan di antara presentasi yang muncul dan memerlukan penjelasan agar dapat di
pahami serta dapat di ketemukan konsep yang sesuai dengan kandungan dari hadis
tersebut adalah salah satunya hadis tentang harta fa’i. Hal ini menuntut penyesuaian
dengan dan dari hadis itu sendiri. Penyesuaian ini dilakukan dengan mengkaji ulang
hadis-hadis tersebut demi mendapatkan pemahaman yang benar sesuai dengan
tuntunan Rasulullah saw sendiri, dan tentunya s}alih} likulli zaman wa makan.
Berangkat dari fakta di atas. Maka pokok penelitian skripsi ini difokuskan pada
kajian ma’ani al-h}ad}is untuk menjawab pertanyaan yang diajukan dalam rumusan
masalah sebagi berikut: pertama Bagimanakah konsep yang terkandung di dalam
hadis Nabi tentang harta fa’i tersebut? Dan kedua Bagimanakah kontekstualisasi
hadis tersebut dalam kehidupan saat ini, berdasarkan metode ma’anil hadis?
Dalam penelitian ini, penulis mencoba metodologi yang telah di pelajari di
dalam perkuliahan bersama Bpk. Drs Indal Abror. M.Ag selaku dosen pada mata
kuliah ma’anil hadis, yang kesemuanya itu di rangkum kedalam dua tahap kerangka
kerja, yaitu: kritik hadis, dan pemaknaan hadis, serta selanjutnya data yang sudah ada
dianalisis dan dilakukan interpretasi sesuai dengan masing-masing sub-bab
pembahasan.
Hasil penelitian dari kajian ini adalah: pertama, bahwa harta fa’i merupakan
harta milik Allah dan Rasul-Nya yang diambil dari orang kafir tanpa adanya
peperangan dan salah satu pos pendapatan Baitul Mal dalam Daulah Khilafah serta
harta fa’i di belanjakan untuk mewujudkan kemaslahatan kaum Muslim Dan tidak
ada hubungannya dengan aktivitas diluar Islam seperti teror dll. Kedua, Jika
kemudian nilai-nilai ajaran yang terkandung dalam hadis tentang harta fa’i tersebut
kita kontekstualisasikan pada sebuah kasus yang pernah terjadi di Indonesia yakni
persamaan harta fa’i dengan perampokan yang berdalih sebagai jihad, maka alasan
itu tidak bisa di benarkan karena harus berpatokan kepada syarat-syarat yang telah
ditetapkan oleh para ulama. Oleh karna itu perampokan yang berdalih sebagi harta
fa’i tidak dapat dibenarakan kebenaranya. Dan tentunya menyalahi syariat-syariat
yang telah ada di dalam ajaran Islam.NIM.: 07530021 Didin Wahyudin2023-05-10T02:32:55Z2023-05-10T02:32:55Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/58451This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/584512023-05-10T02:32:55ZFITNAH DALAM AL-QUR’AN (TELAAH PENAFSIRAN SAYYID QUTB DALAM KITAB TAFSIR FI ZILAL AL-QUR’AN)Fitnah merupakan istilah keseharian yang seringkali diucapkan, namun
pada umumnya fitnah hanya dipahami sebatas suatu perkataan bohong(tanpa dasar
kebenaran) dengan maksud menjelekkan orang lain seperti menodai nama baik,
kehormatan dan lain-lain. Dengan pengertian tersebut, dan sangat tidak tepat
ketika memaknai ayat dalam QS al-Baqaroh[2]: 217 yang seharusnya dimaknai
dengan syirik atau kufur dan lain sebagainya . bahkan, Seseorang yang tergila-gila
mencari dunia juga disebut sebagai terfitnah oleh dunia. harta serta anak
keturunan, kufur, membakar kurang dianggap masuk dalam kategori fitnah. Oleh
karna itu, permasalahan ini menarik untuk dicermati dan diteliti secara objektif.
Dalam kerangka itu pula, dalam penelitian ini penulis mengkaji penafsiran fitnah
perspektif Sayyid Qutb dan relevansi penafsiran tersebut apabila dikaitkan dengan
konteks kekinian.
Penelitian ini bersifat kepustakaan murni (library research) yang
didasarkan pada Tafsi<r Fi< zi} la>l al-Qur’a>n sebagai sumber data primer, dan bukubuku
lain yang terkait dengan masalah fitnah sebagai sumber skunder.
Signifikansi penelitian ini adalah untuk melihat dan memahami secara kritis
mengenai fitnah dalam tinjauan Sayyid Qut}b dan relevansinyaterhadap konteks
kekinian.
Dalam menafsirkan fitnah, Sayyid Qut}b telah memunculkan pengertian
yang lebih luas dan mendalam. Fitnah tidak dititikberatkan pada perkataan
bohong (tanpa dasar kebenaran). Fitnah tidak hanya bermakna ujian atau cobaan
saja, makna lain juga ia telusuri berdasarkan konteks ayat sehingga melahirkan
pengertian yang lain, seperti syirik, kufur, dosa, adzab, membakar,keimanan,
nikmat, penindasan,penganiayaan, kesesatan, kerusakan, kekacauan,
menggelincirkan, majnun (kurang akal). Dari sini dapatlah diketahui makna
fitnah dalam bahasa Indonesia tidak terdapat dalam bahasa al-Qur’an.NIM.: 07530085 Ahmad Fadhliansyah2023-05-10T02:28:48Z2023-05-10T02:28:48Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/58450This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/584502023-05-10T02:28:48ZA “NEW” INTERPRETATION OF SEEMINGLY SYNONYMOUS QUR’ANIC WORDS (A STUDY OF BINT AL-SHATI’S AL-TAFSIR AL-BAYANI)Kajian mengenai masalah sinonimi adalah kajian klasik yang masih
berlanjut hingga sekarang. Bint al-Sya>t}i’ merupakan salah satu mufassir yang
ikut membahas masalah tersebut. Sebagai salah satu mufassir modern serta
mufassir yang lahir belakangan yang mengkaji masalah ini, ia diharapkan mampu
memberi makna yang “baru” atas lafaz}-lafaz} al-Qur’an yang dianggap sinonim.
Posisinya sebagai penolak, menuntutnya untuk dapat menunjukkan metode serta
analisis yang ia gunakan dalam menolak eksistensi sinonimi dalam al-Qur’an.
Berangkat dari hal tersebut, skripsi ini mengkaji metode serta analisis yang ia
gunakan dalam memberi interpretasi “baru” atas makna kata-kata al-Qur’an yang
tampak sinonim. Selain itu skripsi ini juga menganalisis faktor apakah yang
mempengaruhinya dalam memberi makna baru atas lafaz}-lafaz} tersebut.
Untuk mencapai tujuan tersebut, skripsi ini menggunakan salah satu
metode interpretasi (hermeneutika) Hans-Georg Gadamer yakni Asimilasi
Horizon (Horizontverschmelzung). Metode ini bertujuan menggabungkan
horizon/cakrawala penulis serta yang dimiliki oleh teks. Namun demikian, pesan
yang terdapat dalam teks akan lebih diutamakan. Sedangkan analisis yang
digunakan adalah analisis semantik. Dan untuk menganalisa data yang telah ada,
maka digunakan analisis explanatori yang bertujuan mensistematisir pemikiran
Bint al-Sya>t}i’ mengenai ketidak-sinoniman lafaz}-lafaz} dalam al-Qur’an.
Hasil dari penelitian ini mengugkapkan bahwa penafsiran “baru” atas
kata-kata yang tampak sinonim tersebut terdapat dalam sejumlah kata seperti allahw,
al-la‘ib dan al-musygilah. Dia membuktikan bahwa ketiga kata tersebut
tidak bersinonim. Hal ini ditegaskannya dengan memberikan perbedaan yang
tajam diantara ketiganya, dimana beberapa ulama seperti Abu> Hila>l al-‘Askari>
tidak melakukan pembedaan seperti yang dilakukan Bint al-Sya>t}i>’. Analisisnya
terhadap kata qa>la dan yaqu>lu>na merupakan salah satu penemuan yang penting
dimana beliau juga menganggapnya sebagai dua kata yang tidak sinonim. Hal ini
disebabkan keduanya diucapakan pada masa yang berbeda. Adapun faktor
pendukung dalam memberikan interpretasi “baru”-nya yaitu analisis semantiknya
yang terdiri dari tiga komponen: 1) metode substitusi, 2) mempertemukan kata
tersebut dengan antonimnya, dan 3) menatanya dalam satu jajaran. Selain itu ia
juga menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman dalam analisisnya, serta posisinya
sebagai seorang sastrawan yang memandang penggunaan kata-kata yang
dianggap sinonim tersebut dilihat dari keindahan makna yang ditimbulkan oleh
kata tersebutNIM.: 07530071 M. Syihab.2023-05-10T02:24:44Z2023-05-10T02:24:44Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/58449This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/584492023-05-10T02:24:44ZAl-QARAFI’S THOUGHT ON THE POSITIONS OF MUHAMMAD AND ITS IMPACT ON HIS UNDERSTANDING OF HADITHKajian mengenai keteladan terhadap sosok muh}ammad merupakan sebuah
kajian klasik yang masih berlanjut hingga sekarang. Banyak individu maupun
kelompok yang berusaha menjadi no satu sebagai seorang pembela sunna-sunna
Nabi SAW., dan tidak jarang mereka mengkafirkan sesamanya hanya karena
tidak melaksanakan sunna sebagaimana yang mereka fahami. Menurut Yusu>f al-
Qard}awi>, umat Islam dapat dikategorikan dalam dua kelompok; pertama, mereka
yang berusaha mengaplikasikan sebuah hal yang datang dari Nabi, yakni
memahami hadith sebagaimana makna literalnya., kedua, mereka yang tidak
memahami hadith sebagaimana makna literalnya, khususnya yang berkaitan
dengan urusan politik, muamalah dan lain sebagainya. Al-Qara>fi> merupakan
seorang ulama klasik yang berusaha menengahi perdebatan antar keduanya,
dimana, beliau memilah-milah posisi Nabi Muh}ammad, dimana, menurutnya
pengkategorian tersebut memiliki pengaruh dalam memakanai sebuah hadith.
Dengan latar belakang tersebut penulis tertarik untuk meneliti, seberapa jauh al-
Qara>fi> mengelaborasi kepribadian Muh}ammad dan seberapa besar pengaruh
pemilahan posisi Nabi dalam memaknai h}adith.
Penelitian ini merupakan sebuah penelitian yang bersifat “library
research” yang menggunakan metode deskriptif-interpretatif. Dan menggunakan
pendekatan historis-sosiologis, pendekatan ini diharapkan mampu mengetahui
sejauh mana pengaruh yang diterima oleh al-Qara>fi>, khususnya pemikirannya
tentang seorang figur Muh}ammad (hadith).
Dalam bukunya, al-Ih}ka>m, al-Furu>q dan Sharh} Tanqi>h al-Fus}u>l al-Qara>fi>
membagi posisi Muh}ammad kedalam 3 kategori, yaitu : pertama, Muh}ammad
sebagai seorang Mufti>. Menurutnya, jika h}adith yang muncul dalam kapasitas
(posisi) Muh}ammad sebagai seorang Mufti>, maka umat muslim harus mengikuti
ajaran tersebut. Karena ajarannya merupakan ajaran yang bersifat universal.
H{adith-h}adith yang termasuk dalam kategori ini, adalah : S{alawa>t, Zaka>t, al-
‘Uqu>d, al-Biya>‘a>t, al-Hiba>t, Iqa>mati al-Mana>sik, and etc. Menurut al-Qara>fi>,
posisi Nabi sebagai seorang mufti> mempunyai ciri khusus, yaitu berisi tentang
h}adith-h}adith perintah atau amalan (al-Iba>da al-mah}d}a>). Kedua, posisi Nabi
sebagai seorang pemimipin (Ima>m). Jika h}adith muncul dalam posisi Nabi
sebagai seorang pemimpin, maka hadith tersebut tidak bisa diamalkan tanpa ada
izin dari sang ima>m (pemimpin). H{adith-h}adith yang termasuk dalam kategori
ini, adalah : Qismati al-Gona>’im, Tafriqi Amwa>li Bait al-Ma>l, Iqa>mat al-H{udud,
Tarti>b al-Juyu>sy, Qita>l al-Bugo>h, Tauzi‘I al-Iqt}a>‘A<t fi al-Qura> wa al-Ma‘a>din,
and etc. Ketiga, Nabi sebagai seorang h}akim. Jika h}adith muncul dalam posisi
Nabi sebagai seorang h}akim, maka h}adith tersebut tidak bisa diamalkan dalam
kehidupan sehari-hari tanpa ada persetujuan dari sang h}akim. H{adith-h}adith yang
termasuk dalam kategori ini, adalah : ’Ilza>mu ’Ada>’u al-Duyu>n, Tasli>m al-Sila>‘,
Naqdi al-’A’Imma>ni, Faskhi al-’ankih}ah, and etc. Dari pembagian posisi Nabi
Muh}ammad yang dilakukan oleh al-Qara>fi>, tampak beliau ingin menegaskan
bahwa ajaran Islam ada yang bersifat universal, temporal dan lokalistik.NIM.: 07530070 Imam Shafi’i2023-05-10T02:14:09Z2023-05-10T02:14:09Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/58448This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/584482023-05-10T02:14:09ZMUHAMMAD IBN IDRIS AL-SHAFI‘I’S THOUGHT ON HADITH CRITICISM (A STUDY ON HIS METHOD AND ITS APPLICATION)Talking about the prominent figures who had major effect in the Islamic
world, we cannot ignore al-Shafi‘i. There is no doubt that his school of thought
(madhhab) itself was one of the four Islamic legal schools that have many
followers in the world. However, as a figure who lived in the second century of
Hijariyah, in fact, al-Shafi‘i was known as a jurist (faqih), whereas he actually had
also big attention to the study of hadith. The title nas}ir al-sunnah (the protector of
the Sunnah) which was given to him is the evidence that he indeed had great
concern on the study of hadith. According to the prior-research, al-Shafi’i
reported a hadith with the weak transmission (d}a‘if). It seems contrary in view
that al-Shafi‘i formulated the principles of transmission in his works. There are
several other hadiths which were reported by al-Shafi‘i and seem to have problem
with their status. Looking at the contrary phenomena, this research must
necessarily be done to deal with such problem reasonably. Here, some questions
will be asked that how is al-Shafi‘i’s thought on hadith criticism and his method
of selection of hadith? And how is the application of al-Shafi‘i’s method on hadith
criticism?
This study is completely a library research using the primary references
related to al-Shafi’i and his thought especially on hadith. Then the secondary
sources related to all aspects in this research like sharh} (cementation) books, rijal
(narrators) books and so on. Some soft-wares are also used here to facilitate the
searching of data. The kind of this research is descriptive with the historical
approach. Then, the pattern of research which is used here is deductive-inductivecomparative
method.
Concisely, his method can be divided into six conditions; (1) each reporter
should be trustworthy in his religion, (2) he should be known to be truthful in his
narrating, (3) he should be a good memorizer or a good preserver of his book, (4)
he should agree with the narrations of the huffaz}, (5) he should not be a mudallis,
(6) the one who is above him (in the isnad) should be of the same character until
the hadith goes back uninterrupted to the Prophet or any authority below him.
These six conditions are similar with the five major conditions which are used by
the hadith scholars until now; Ittis}al al-Sanad (Continuity of The Chain of
Transmitters), ‘Adalah (Integrity), D{abt} (Accuracy), Gayr al-Shadhdh
(Conformity),‘Adam al-‘Illah (Absence of Hidden Defect).
However, after investigating and analyzing some information related to al-
Shafi‘i’s method on hadith criticism, there are some improper things on al-
Shafi‘i’s transmission of hadiths. There are, at least, 734 weak hadiths, like
mursal, munqat}i‘, mu‘d}al, mudallas, matruk, even munkar. It means, if his
Musnad contains 1800 hadiths, 40,77% are considered weak. Although al-Shafi‘i
discussed these kinds of weak hadith in al-Risalah, he seemingly did not apply
totally his method in his transmission of hadith. Moreover, there were weak
hadiths that al-Shafi‘i used to support his opinion.NIM.: 07530058 Mus’idul Millah2023-05-10T02:09:04Z2023-05-10T02:09:04Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/58447This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/584472023-05-10T02:09:04ZNILAI-NILAI KEWIRAUSAHAAN DALAM AL-QUR’AN (KAJIAN TEMATIK ATAS BEBERAPA TAFSIR)Pada saat ini, beberapa kejayaan islam yang dulu pernah ada seakan pudar dan
tertutupi oleh ketertinggalan dari peradaban global. Khususnya perekonomian Islam
mengalami keterpurukan yang ditandai dengan kemiskinan yang meraja lela. “Kembali
pada al-Qur’an dan al-Sunnah.” Sebuah keyakinan yang peneliti percayai bahwa di
dalam al-Qur’an terdapat berbagai prinsip dasar dan berbagai disipin ilmu. Termasuk di
dalamnya persoalan muamalah yang terkait dengan perekonomian dan bisnis. Dan jika
umat muslim memegang teguh nilai-nilai dan etika yang ada dalam al-Qur’an dan al-
Hadis sebagai dua wasiat yang rasul tinggalkan setelah wafatnya, bukan tidak mungkin
mereka bisa mendapatkan kembali kejayaan tersebut. Pertanyaannya adalah, apakah
benar ada kesalahan dalam pemahaman ayat-ayat yang menjanjikan tentang kehidupan
setelah mati? Sehingga membuat umat muslim tidak mempunyai motivasi untuk bangkit
dalam hal perekonomian.
Dalam penelitian ini penulis menghubungkan perekonomian dengan prinsip
kewirausahaan. Dan memfokuskan penelitian pada wilayah prinsip dan nilai-nilai
kewirausahaan tersebut, sebagai konsepsi dasar untuk membangun perekonomian umat.
Sedang pokok penelitiannya adalah bagaimana al-Qur’an menggambarkan
kewirausahaan tersebut? Sampai dimana al-Qur’an memerintahkan umat manusia untuk
bekerja dan berusaha? Lalu apa yang menjadi tujuan sebenarnya seseorang berwirausaha.
Dan adakah etika dan nilai-nilai yang terkandung dalam isyarat dan perintah bekerja dan
berusaha tersebut.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode tematik dengan pendekatan
Historis-fenomenologis untuk menjawab rumusan masalah diatas. Dan langkah praktis
penelitian ini adalah dengan metode deskriptif-analisis. Dengan melewati proses
dokumentasi dan klasifikasi. Data yang ada selanjutnya dianalisis dan dilakukan
intrepretasi sesuai dengan sub-bab pembahsan.
Hasil penelitian ini adalah, bahwa dalam ayat-ayat yang peneliti dapatkan dalam
pengklasifikasian semunya memberikan kebebasan kepada umat manusia untuk bekerja
dan mencari karunia Allah, tanpa harus ada keraguan dalam hati mereka. Dan Allah
menjamin derajat yang lebih tinggi bagi mereka yang bekerja dengan baik dan
mengelompokkan mereka dengan para nabi, shiddiqin, dan syuhada. Dan tujuan hakiki
seseorang mencari harta adalah untuk dibelanjakan kembali di jalan Allah dengan ibadah
dan memberikan manfaat kepada orang-orang, dan lingkungan sekitarnya, karena
manusia adalah khalifah di muka bumi ini yang tugasnya adalah sebagai pemakmurNIM.: 07530051 Iwan Parta2023-05-10T02:05:18Z2023-05-10T02:05:18Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/58446This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/584462023-05-10T02:05:18ZHADIS-HADIS TENTANG RAJAM SEBAGAI SANKSI PERZINAAN (STUDI MA’ANI AL-HADIS)Bangsa Indonesia adalah bangsa yang jumlah penduduknya sangat besar,
mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Namun banyaknya penduduk
Islam ternyata tidak sebanding lurus dengan perilaku sebagian penduduknya. Hal
ini karena, semakin banyaknya penduduk Indonesia yang jatuh kepada praktek
perzinaan. Ditengah realita saat ini, muncul beberapa ormas, yang mencoba
mempraktekkan hukuman bagi pelaku zina, seperti yang dipraktekkan oleh Nabi
Muhammad, karena hukuman ini terbukti bisa mencegah banyaknya praktek
perzinaan.
Berangkat dari fakta di atas, maka pokok penelitian skripsi ini difokuskan
pada kajian ma’a>ni al-hadi>s}, sebagai usaha untuk menjawab pertanyaan yang
diajukan pada rumusan masalah, sebagai berikut: Bagaimana memaknai atau
menginterpretasi terhadap hadis tentang hukuman bagi pelaku zina, apakah hadis
tersebut bisa dipahami secara tekstual atau kontekstual, dan apakah kandungan
hadis tersebut bersifat universal, temporal atau lokal? Bagaimana kontekstualisasi
hadis tersebut jika dihadirkan dalam realitas kongkrit kehidupan saat ini.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teori ma’a>ni al-hadi>s} yang
dikembangkan oleh Indal Abror, yang memakai empat langkah kerja untuk
memperoleh pemaknaan yang tepat terhadap hadis. yaitu: Pertama, menentukan
tema. Kedua, kritik hadis yang dilakukan dalam dua tahap yaitu, tahap takhrij
hadis dan menentukan kualitas hadis. Ketiga, pemaknaan hadis yang meliputi
analisis matan (kajian kebahasaan, kajian tematikkomprehensif dan kajian
konfirmasi dengan dalil al-Qur’an), analisis realita historis (asbāb al-wurūd dan
fungsi Nabi), selanjutnya melakukan penyimpulan. Keempat, melakukan
kontekstualisasi. Kemudian data yang telah ditemukan selanjutnya di analisis
sesuai dengan indikasi-indikasi yang melingkupinya.
Dari penelitian ini dapat disimpulkan pertama, Nabi memang sangat tegas
dalam menerapkan hukuman bagi pelaku zina, sehingga Nabi tidak memberikan
toleransi, kecuali hanya berupa penundaan hukuman. Sementara untuk substansi
hukuman tidak mengalami perubahan, bagi yang sudah nikah hukumannya
dirajam, sementara untuk yang belum nikah, maka dipukul sebanyak seratus kali
dan diasingkan selama satu tahun. Kedua, untuk konteks Indonesia, menerapkan
hukuman bagi pelaku zina sebagaimana pada masa Nabi adalah sesuatu yang
sangat riskan, selain akan membentur HAM, juga akan banyak mendapat
tantangan dari berbagai kelompok masyarakat. Salah satu contoh yang dapat
diterapkan adalah maksimalisasi peran lokalisasi sebagai tempat rehabilitasi
(pembinaan moral, pembelajaran kreatifitas, kesenian dan kerajinan), bukan
tempat transaksi perzinaan yang selama ini diterapkan di Indonesia. Sehingga
yang diterapkan bukan teks hadis, akan tetapi ideal moral dari hadis tersebut.NIM.: 07530050 Sya’roji Sy2023-05-10T01:50:38Z2023-05-10T01:50:38Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/58444This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/584442023-05-10T01:50:38ZRESEPSI ESTETIK MASYARAKAT MUSLIM TERHADAP AL-QUR'AN (STUDI TENTANG PENGGUNAAN RINGTONE AYAT-AYAT AL-QUR’AN DI KALANGAN MAHASISWA YOGYAKARTA)Dalam praktiknya, ayat-ayat al-Qur`an di mata kaum Muslimin merupakan
sesuatu yang “multi-fungsi”. Di samping sebagai bacaan yang mempunyai nilai
ibadah, ayat-ayat Al-Qur’an juga sebagai teks yang berpengaruh bagi aspek-aspek
yang terkait dengan estetika. Ayat-ayat Al-Qur’an mampu mengundang reaksi
serta membangkitkan energi kejiwaan pembaca dan pendengar untuk memberikan
respon yang sangat beragam. Termasuk di sini adalah penggunaan ringtone ayatayat
Al-Qur’an yang marak diperaktikkan masyarakat akhir-akhir ini. Meskipun
menuai banyak kontroversi, penggunaan ringtone ayat-ayat Al-Qur’an masih tetap
saja marak dipraktekkan oleh sejumlah masyarakat Muslim. Fenomena ini
menjadi kian menarik karena menjadi upaya bagaimana masyarakat Muslim
bergaul dengan kitabnya. Berangkat dari fakta di atas, maka pokok penelitian
skripsi ini difokuskan pada kajian living Qur’an untuk menjawab pertanyaan yang
diajukan dalam rumusan masalah sebagai berikut : pertama, Apa latar belakang
resepsi mahasiswa Muslim Yogyakarta terhadap penggunaan ayat-ayat Al-Qur’an
sebagai ringtone? Ayat-ayat apa saja yang banyak digunakan sebagai ringtone?
Serta apa penyebab resepsi estetis sering menimbulkan kontroversi dalam
kehidupan masyarakat?
Untuk menjawab rumusan masalah tersebut, penulis menggunakan
pendekatan fenomenologis dan metode penelitian kualitatif yang didukung dengan
studi kepustakaan. Adapun metode pengumpulan data adalah dengan observasi,
wawancara dan dokumentasi. Sedangkan studi kepustakaan dengan analisis isi
digunakan untuk mendapatkan data-data kepustakaan tentang tema tersebut.
Hasil penelitian dari kajian ini adalah: Pertama, Latar belakang
Penggunaan ayat-ayat Al-Qur’an sebagai ringtone dengan alasan yang variatif,
yaitu sebagai berikut. (1) Mempermudah menghafal ayat-ayat Al-Qur’an. (2)
Memberikan kesan religius. (3) Memiliki pengalaman pribadi terkait ayat yang
digunakan sebagai ringtone. (4) Menyukai jenis irama bacaan (5)Terdapat
kesamaan atau kemiripan kata pada ayat dengan nama seseorang. (6) Merasa
senang menggunakannya. Kedua, adapun ayat-ayat yang digunakan para
mahasiswa sebagai ringtone pada umumnya adalah ayat-ayat yang pendek dan
memiliki kesan tersendiri bagi pendengar atau pengguna, ataupun menyesuaikan
pada maksud dan tujuannya sehingga dipilih sebagai ringtone. Ketiga, Penulis
menyimpulkan bahwa penyebab timbulnya kontroversi ditengah-tengah
masyarakat terkait resepsi estetis masyarakat terhadap Al-Qur’an dikarenakan
sampai sekarang kita belum memiliki konsep yang mapan dan applicable dalam
bidang ini, baik secara filosofis (estetika atau filsafat seni Islam, yang
merumuskan batasan nilai keindahan sesuai ajaran Islam), teoritis (sejarah,
struktur dan klasifikasi: apakah ada seni Islam ataukah hanya ada seni Muslim),
praktis (kajian tentang teknik-teknik perbidang) maupun apresiatif (kritik seni
yang mengkaji perkembangan seni Islam dalam hubungannya dengan
perkembangan masyarakat Muslim).NIM.: 07530049 Aswak2023-05-10T01:44:30Z2023-05-10T01:44:30Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/58443This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/584432023-05-10T01:44:30ZMENGUAP DALAM HADIS (STUDI MA'ANI AL-HADIS)Menguap merupakan kegiatan alamiah yang wajar dialami oleh siapapun,
kapanpun dan dimanapun tanpa memandang usia, ras, agama, waktu, maupun jenis
kelamin. Menguap adalah gerakan refleks memasukkan udara nafas penuh-penuh ke
dalam paru-paru. Pemacunya adalah berkurangnya kadar oksigen darah yang masuk
ke dalam otak. Orang yang menguap membutuhkan waktu sekitar enam detik dan
melibatkan mulut, paru-paru, diafragma dan otak. Dalam prakteknya di masyarakat,
menguap merupakan efek dari kelelahan, rasa bosan dan rasa kantuk. Orang yang
menguap disunahkan untuk mengucapkan ta’awuz�, tujuannya agar terhindar dari
setan. Namun jika dikembalikan pada hadis Nabi, tidak ditemukan hadis Nabi yang
membahas mengenai anjuran mengucapkan ta’awuz� setelah menguap. Meski
demikian, banyak ditemukan hadis-hadis tentang menguap yang membahas tentang
perintah yang harus dilakukan ketika menguap.
Berangkat dari permasalahan tersebut, penulis mengangkat permasalahan
tentang menguap ke dalam penelitian ini. Bagaimana hadis berbicara tentang
menguap. Dalam hal ini pemaknaan terhadap hadis tentang menguap. Selanjutnya,
bagaimana relevansi hadis tentang menguap dengan konteks kekinian. Dalam hal ini
akan dikontekskan dengan kesehatan dan norma sosial dalam masyarakat.
Dari beberapa permasalahan tersebut di atas, penulis menerapkan Ilmu �������
al-� �
��s� sebagai metode penelitian serta ilmu kesehatan dan norma sosial dalam
masyarakat sebagai alat bantu analisa. Hal ini diharapkan dapat membantu
mempermudah dalam memahami makna yang terkandung di dalam hadis.
Selanjutnya, langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: pertama,
metode historis yang terdiri dari kajian otentisitas terhadap sanad dan matan hadis.
Kedua, metode hermeneutika yang meliputi pemahaman dari aspek bahasa,
pemahaman dari aspek historisitas hadis, korelasi terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan
hadis yang setema, penyarian ide serta analisis terhadap hadis dengan bantuan ilmu
kesehatan dan sosial kemasyarakatan.
Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa menguap merupakan kegiatan
alamiah yang terjadi pada siapapun, dimanapun dan kapanpun tanpa memandang
usia, suku, ras, agama maupun tempat tinggal. Oleh karena menguap merupakan
sesuatu yang alamiah dan tidak dapat dicegah, maka yang perlu diperhatikan adalah
bagaimana menyikapi menguap ketika hal tersebut terjadi pada diri sendiri. Ketika
menguap sedang menyerang diri sendiri, sudah sebaiknya untuk memperhatikan
adab-adab yang harus dilakukan ketika menguap, sebagaimana terdapat dalam makna
tersirat teks hadis tentang menguap. Hal ini dimaksudkan agar ketika menguap, kita
tetap melakukan perbuatan baik sesuai dengan hadis Nabi dan memperoleh manfaat
dari menguap.NIM.: 07530045 Ludzfia Addintami2023-05-10T01:40:37Z2023-05-10T01:40:37Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/58442This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/584422023-05-10T01:40:37ZAL-NASIKH WA AL-MANSUKH DALAM TAFSIR KLASIK (TELAAH KITAB AL-TAFSIR AL-KABIR KARYA MUQATIL BIN SULAIMAN)Ilmu al-nasikh wa al-mansukh senantiasa banyak diperbincangkan dan
banyak mengandung polemik baik dikalangan ulama tradisional maupun
kontemporer. Hal ini sangat wajar mengingat tema ini merupakan salah satu teori
penting dalam rangka memahami dan menafsirkan al-Qur’an, sebagaimana yang
pernah diungkapkan oleh Jalal al-Din al-S}uyut}i mengutip pendapat para imam.
“Tidak diperbolehkan bagi seseorang menafsirkan kitab Allah kecuali setelah ia
mengetahui hal ih}wal al-nasikh wa al-mansukh”.
Letak urgensi dari al-nasikh wa al-mansukh sendiri berkaitan erat dengan
pentingnya memperhatikan prinsip penahapan (graduasi) turunnya wahyu dan
penetapan status masih berlaku atau tidaknya suatu hukum. Selain itu al-nasikh
wa al-mansukh juga mempunyai manfaat dan fungsi yang besar bagi para ulama
agar pengetahuan tentang hukum tidak menjadi kabur.
Begitu pentingnya ilmu ini sehingga pembahasannya selalu ada dalam
setiap kajian ilmu-ilmu tafsir, bahkan tidak sedikit ulama menulis kitab yang
secara khusus membahas al-nasikh wa al-mansukh. Diantaranya adalah kitab
yang ditulis oleh Muqatil bin Sulaiman, salah seorang ulama besar masa atba‘ alta
bi‘in (generasi ketiga kaum muslimin) dengan judul al-Nasikh wa al-Mansukh.
Namun sayangnya kitab ini tidak atau belum sampai kepada masa sekarang.
Skripsi ini membahas pemikiran al-nasikh wa al-mansukh dari Muqatil
bin Sulaiman yang merupakan penulis kitab al-Tafsir al-Kabir, salah satu kitab
tafsir klasik yang menafsirkan seluruh al-Qur’an yang sampai pada masa
sekarang. Permasalahan pokok yang dijawab adalah; pertama, bagaimanakah alna
sikh wa al-mansukh dalam pandangan Muqatil bin Sulaiman? Dan kedua, ayat
mana saja yang diduga terkena konsep al-nasikh wa al-mansukh dalam al-Tafsir
al-Kabir?. Alasan peneliti memilih al-nasikh wa al-mansukh dalam al-Tafsir al-
Kabir sebagai objek penelitian karena; pertama, al-nasikh wa al-mansukh
merupakan salah satu teori penting dalam rangka memahami dan menafsirkan al-
Qur’an. Kedua, Muqatil tercatat sejarah pernah menghasilkan sebuah karya
dalam bidang ini namun sayangnya tidak sampai kepada masa sekarang.
Penelitian ini dikategorikan dalam penelitian kepustakaan (library
research) dan bukan penelitian lapangan dikarenakan sumber-sumber datanya,
baik yang berkaitan langsung maupun tidak langsung bersumber dari bahanbahan
tertulis berupa buku-buku dan lainnya. Dalam proses pelaksanaannya,
sumber-sumber diklasifikasikan dalam dua kategori, yaitu sumber primer yakni
kitab al-Tafsir al-Kabir dan sumber sekunder yakni tulisan-tulisan lain yang
berkaitan dengan bahasan utama.
Sedangkan hasil dari penelitian ini berupa; pertama, pemikiran Muqatil
tentang al-nasikh wa al-mansukh yang ternyata tidak jauh bebeda dengan ulamaulama
lain pada masanya, yakni sangat mudah dalam menentukan naskh. Kedua,
dikarenakan mudahnya dalam menentukan naksh mengakibatkan banyaknya
ayat-ayat al-Qur’an yang di-naskh, misalnya banyak ayat perintah untuk bersabar
serta menahan diri pada periode Makkah disaat kaum Muslimin lemah yang
dianggap di-naskh oleh perintah perang (ayat al-saif) pada periode Madinah.NIM.: 07530043 Dede Fadillah2023-05-10T01:37:08Z2023-05-10T01:37:08Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/58441This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/584412023-05-10T01:37:08ZAL-QUR’AN DAN PENGENTASAN KEMISKINAN (KAJIAN TAFSIR TEMATIK)Berdasarkan fakta empirik tentang masalah kemiskinan di dunia, negara Islam
atau negara yang mayoritas penduduknya muslim mendapat banyak sorotan.
penelitian yang dilakukan oleh Dr. Nabil Subhi Ath-Thawil menemukan bahwa 30
dari 36 negara termiskin di Asia dan Afrika sebagian besar penduduknya beragama
Islam. Maka tidak heran jika Islam sering kali dikaitkan dengan hal-hal negatif
seperti kemiskinan, kebodohan, dan kemelaratan. Dari sinilah penulis tertarik untuk
mengkaji bagaimana Al-Qur’an sebagai sumber ajaran agama Islam merespon
masalah kemiskinan. Diawali dengan pembahasan makna faqir dan miskin dalam al-
Qur’an, kemudian dilanjutkan dengan latar belakang munculnya masalah kemiskinan
dalam pandangan al-Qur’an dan terakhir solusi yang ditawarkan oleh al-Qur’an.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif-analitis dan langkah-langkah
penafsiran tematik yang digagas oleh ‘Abd al-H{ayy al-Farmawi terhadap ayat-ayat
al-Qur’an dan sabda Nabi Muhammad yang berbicara mengenai kemiskinan,
ditambah lagi pandangan ulama tafsir tentang ayat-ayat tersebut. Sumber peneltian ini
diambil dari ayat-ayat al-Qur’an sebagai sumber primer dan hadis-hadis Nabi, kitab
tafsir, serta karya para ulama dan cendekiawan lain yang berkaitan dengan tema
pembahasan sebagai sumber sekunder.
Dari penelitian ini, diketahui bahwa lafadz faqir dan miskin memiliki
persamaan dan perbedaan, persamaannya bahwa kedua lafadz tersebut menunjukkan
kepada golongan yang kekurangan dan tidak mampu mencukupi kebutuhan hidupnya
sehingga membutuhkan bantuan dari orang lain, sedangkan perbedaannya terletak
pada potensi yang dimiliki oleh masing-masing pihak (faqir dan miskin), dengan
berbagai analisa terhadap ayat-ayat al-Qur’an penulis menyimpulkan bahwa orangorang
miskin memiliki potensi yang lebih lemah dibandingkan dengan orang faqir di
dalam mencukupi kehidupannya. Kemudian al-Qur’an di dalam menggambarkan
latar belakang munculnya masalah kemiskinan lebih ditujukan kepada kesalahan
manusia itu sendiri (human error). Tentang sikap hidup yang tertanam dalam diri
mereka seperti malas dan bekerja tidak sungguh-sungguh, boros dan berlebih-lebihan,
kikir dan enggan berbagi dengan sesama, serakah di dalam mencari harta sehingga
memunculkan kerusakan di muka bumi, serta adanya sistem dan struktur yang
dibangun pada suatu masyarakat yang jauh dari nilai-nilai keadilan dan penuh dengan
diskriminasi dan eksploitasi. Sedangkan untuk solusi al-Qur’an menempuh tiga jalur.
Pertama, ditujukan kepada personal umat Islam di dalam memberikan panduan
tentang sikap hidup dan tingkah laku yang seharusnya ditanamkan. Kedua, ditujukan
kepada personal umat Islam umumnya, dan khususnya kepada masyarakat untuk
membiasakan diri berbagi dan memberikan pemberian kepada orang-orang yang
membutuhkan. Ketiga, ditujukan kepada para pemimpin atau penguasa untuk
menegakkan keadilan dan membangun struktur sosial yang bebas dari eksploitasi,
penindasan, dan konsentrasi kekayaan pada segelintir orang.NIM.: 07530038 Lukman Hakim2023-05-10T01:33:19Z2023-05-10T01:33:19Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/58440This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/584402023-05-10T01:33:19ZHADIS-HADIS RUKYAH AL-HILAL UNTUK MENENTUKAN AWAL BULAN (STUDI MA’ANI AL-HADIS)Banyak anggapan yang muncul di masyarakat terkait dengan adanya
perbedaan yang terjadi di dalam memulai ibadah puasa dan mengawali hari raya
Idul Fitri di Indonesia. Perbedaan yang ada disebabkan karena perbedaan dalam
menggunakan metode, di satu sisi ada yang menggunakan rukyah dan disisi lain
ada yang menggunakan hisab. Dalam hal pemakaian metode hisab, yg sering di
alamatkan kepada Muhammadiyah dan di pihak yang lain, terdapat NU yang
menjadi representasi dari pelaksanaan rukyah. Disamping itu Indonesia sering
terjadi kasus dua hari raya Idhul Fitri di Indonesia. Menurut seorang Doktor dalam
bidang ilmu falak, yaitu Susiknan Azhari, hal tersebut terjadi tahun 1405 H/1985
M, 1412 H/1992 M, 1413 H/1993 M, 1414 H/1994 M, dan 1418 H/1998 M. dan
kendala tersebut yang sampai saat ini masih dihadapi oleh masyarakat Indonesia.
Berangkat dari fakta di atas, maka pokok penelitian skripsi ini difokuskan
pada kajian ma’a>ni> al-hadi>s untuk menjawab pertanyaan yang diajukan dalam
rumusan maslah sebagai berikut: pertama; bagaimana pemahaman terhadap hadishadis
tentang rukyah al-hilal?, kedua; bagaimana kontekstualisasi dari pemahaman
hadis-hadis tentang rukyah al-hilal dalam realitas kehidupan masyarakat Paciran
Kabupaten Lamongan?
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode tematik dengan
menggunakan pendekatan historis-hermeneutis untuk menjawab rumusan masalah
diatas. Adapun langkah oprasional penelitian ini dilakukan dengan mengacu
kepada bangunan metodologi hermeneutika hadis yang dikembangkan oleh
Musahadi HAM yang di break down kedalam tiga tahap kerangka kerja, yaitu:
kritik historis, kritik eiditis, dan kritik praksis dengan melewati tahap dokumentasi,
klasifikasi dan rekonstruksi data. Data yang ada selanjutnya di analisis dan
dilakukan interpretasi sesuai dengan masing-masing sub-sub pembahasan.
Hasil penelitian dari kajian ini adalah: pertama, Dalam menginterpretasikan
hadis harus menjelaskan kandungan matan hadis terlebih dahulu, yakni lokal,
temporal dan universal. Adapun hadis yang pertama yang diriwayatkan oleh Imam
Al-Bukhari itu memberikan pemahaman bahwa untuk menetukan awal bulan
haruslah dengan rukyah, bukan dengan hisab, namun jika bulan tertutup awan,
harus menyempurnakan bilangan bulan menjadi 30 hari. Sedangkan hadis kedua
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, memberikan pemahaman bahwa, jika bulan
tidak dapat dirukyah yakni tertutup awan, maka alternatif selain menyempurnakan
adalah menggunakan perhitungan atau ketentuan yang pasti, hal ini melalui hisab.
Kedua; Di masyarakat Paciran Kabupaten Lamongan Jawa Timur penentuan awal
bulan merupakan kegiatan rutinitas setiap tahun. Adapun masyarakat Paciran
dalam memaknai hadis tersebut masih lebih percaya melihat hilal dengan kasat
mata yang dibantu menggunakan alat bantu modern, yaitu teropong. Dan juga
karena tempatnya yang dekat dengan laut utara maka mereka lebih memilih medan
laut sebagai tempat untuk melihat hilal.NIM.: 07530031 Muslihatul Awwaliyah2023-05-10T01:29:25Z2023-05-10T01:29:25Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/58439This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/584392023-05-10T01:29:25ZMETODE TAFSIR SASTRA AL-QUR’AN (TELAAH ATAS PENDEKATAN KRITIK SASTRA AMIN AL-KHULI)Al-Qur’an, sebagai kumpulan tanda-tanda linguistik yang harus dipecahkan,
mendorong beberapa Sarjana Muslim kontemporer menggunakan pendekatan susastra
dalam studi al-Qur’an. Trend pendekatan susastra dalam menafsirkan al-Qur’an
merupakan kelanjutan dari studi al-Qur’an yang telah banyak dilakukan para mufassir
masa klasik, bahkan benih-benihnya telah ada sejak masa Nabi s.a.w, dan sahabat.
Studi al-Qur’an dengan pendekatan susastra modern telah melahirkan karangka dan
paradigma baru dalam metodologi tafsir, sehingga lebih memberikan pemahaman
tentang pesan-pesan al-Qur’an secara komprehensif dengan tetap tidak kehilangan
segala fungsinya yang trans-historis dan trans-kultural.
Para sarjana sebelum Muhammad Abduh melihat al-Qur’an dari sisi
dogmatis-teologis. Sehingga memunculkan corak-corak tafsir ideologis yang amat
sectarian dan cenderung eksklusif untuk secara lapang dapat menerima gagasan di
luar dirinya. Sebagai akibatnya, penafsiran al-Qur’an lebih berupa latihan intelektual
bidang tertentu seperti Kalam, Sufisme, Fiqh, Gramatika Arab atau Sejarah bahkan
cabang Sains. Penafsiran semacam ini memberikan kesimpulan al-Qur’an hanyalah
alat justifikasi bagi konsentrasi tertentu mufassir-nya.NIM.: 07530027 Yudiana2023-05-10T01:19:42Z2023-05-10T01:22:54Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/58438This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/584382023-05-10T01:19:42ZMAKNA KATA MAWADDAH DAN DERIVASINYA DALAM TAFSIR JAMI 'AL-BAYAN AN TA’WILAY AL-QUR’AN KARYA IBN JARR AL-TABARIABSTRAK
Kata mawaddah dan derivasinya cukup banyak disebutkan dalam al-
Our'an. Hal itu menandakan bahwa kata tersebut cukup penting dan
dipertimbangkan dalam kosakata al-Our'an. Di samping itu, pembaca yang tidak
berhati-hati dalam memaknai kata 355: -5x -5, menganggap bahwa Ketiga kata
tersebut (dalam dua bentuk, masdar dan fi 'il) bermakna sama, yaitu kasih sayang
dalam aspek rumah tangga atau hubungan antara laki-laki dan perempuan. Jika itu
terjadi, maka terdapat kekeliruan yang cukup besar karena antara kedua bentukan
kata tersebut memiliki makna yang berbeda. Hal itulah yang melatarbelakangi
penulis untuk mengangkat tema tentang Makna Kata Mawaddah dan Derivasinya
dalam Tafsir Jami" Al-Bayan 'an Ta'wil Ay Al-Our'an Karya Ibn Jarir al-Tabari.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif-analitis. Semua
data yang diperoleh, disajikan kemudian dianalisis untuk dapat menjawab
beberapa permasalahan yang diangkat.
Persoalan yang ingin diungkap dalam tulisan ini di antaranya adalah
Bagaimanakah para pakar bahasa Arab dan juga Al- Tabari ketika memaknai
kedua bentukan kata tersebut? Apakah mereka menyamakannya? Kemudian,
makna kasih sayang yang terkandung dalam kata 325: (bentuk masdar) itu bersifat
umum atau hanya terbatas pada aspek pernikahan (rumah tangga) saja? Jika
makna itu bersifat umum, maka hal itu menyangkut aspek apa saja?. Lalu, adakah
ayat yang membahas tentang kasih sayang antara umat mukmin dengan bekas
musuhnya? Jika ada, mungkinkah perasaan sayang itu terjadi? Bila mungkin,
kapan? Selanjutnya, adakah sesuatu yang unik dalam ayat-ayat yang mengandung
kata 2x 33 (bentuk fi'il) yang membuat penelitian ini layak untuk dilakukan? Jika
memang ada, apa sajakah keunikan itu?
Hasil penelitian ini di antaranya: Pertama, para pakar bahasa Arab dan
juga Al- Tabari membedakan kedua bentukan kata tersebut, di mana kata 2x 5
(bentuk fi il) bermakna harapan/ keinginan. Sedangkan kata 3:5: (dalam bentuk
masdar) bermakna kasih sayang. Kedua, ternyata makna kasih sayang yang
terkandung dalam kata 35: tidak hanya terbatas pada aspek pernikahan saja,
namun juga aspek persahabatan, hubungan antar sesama umat beragama, dan juga
aspek Sosial. Ketiga, di antara ayat-ayat yang mengandung kata 3:5: (dalam
bentuk masdar), ternyata ada satu ayat (OS. Al-Mumtahanah: 7) yang membahas
tentang hubungan kasih sayang antara umat mukmin dengan bekas musuhnya.
Kasih sayang antara keduanya ini mungkin terjadi jika pihak yang dulunya
merupakan musuh mukmin, bertaubat dan masuk Islam. Keempat, Pada tujuh
belas ayat yang mengandung kata 3x 35 (bentuk /i'il) ditemukan beberapa
keunikan, di antaranya adalah ayat-ayat yang di dalamnya terdapat kata 33 (dalam
bentuk /i'il madi) semuanya menceritakan tentang harapan negatif musuh-musuh
Islam terhadap umat mukmin. Kemudian pada akhir tiga ayat yang mengandung
derivasi kata mawaddah dalam bentuk fi 'il madr untuk orang ketiga tunggal, baik
54 maupun X5, baik secara tersurat maupun tersirat, memiliki makna bahwa
Allah tidak tinggal diam dengan sikap orang-orang kafir terhadap umat mukmin.NIM.: 07530023 Faizah Permata Ayu2023-05-10T01:16:04Z2023-05-10T01:16:04Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/58437This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/584372023-05-10T01:16:04ZMENJILATI JARI SETELAH MAKAN (STUDI MA’ANI AL-HADIS)Pemaknaan hadis merupakan usaha untuk memahami matan hadis dengan
mempertimbangkan faktor-faktor yang berkaitan dengannya. Oleh karena itu,
diperlukan pengkajian yang mendalam untuk memperoleh ideal moral yang
terkandung di dalamnya, agar mendapatkan pemahaman yang tepat serta dapat
dikontekstualisasikan dan diaplikasikan dengan keadaan masyarakat saat ini yang
memiliki permasalahan yang complex di setiap sisi kehidupannya.
Sebuah kebudayaan yang dimiliki suatu masyarakat akan berbeda dengan
masyarakat yang lainnya, karena setiap masyarakat akan membentuk
kebudayaannya sendiri untuk mengatur agar suatu komunitas masyarakat dapat
mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, menentukan sikapnya jika
berhubungan dengan orang lain. Sebuah kebudayaan dari suatu masyarakat tidak
akan bisa dipaksa untuk diaplikasikan ataupun diikuti oleh yang lainnya.
Salah satu bentuk kebudayaan yang ada di tengah-tengah masyarakat ialah
bagaimana tata cara suatu masyarakat mengkonsumsi makanan. Atas dasar inilah
penulis mencoba mengangkat tema mengenai hadis menjilati jari setelah makan.
Di sini penulis menggunakan teori Ma'dai aldi: yang dikembangkan oleh
Indal Abror, yang melalui empat langkah penelitian. Dari penelitian yang
dilakukan. menghasilkan beberapa kesimpulan, pertama, bala pemaknaan hadis
mengenai menjilati jari setelah makan tidak bisa dimaknai secara tekstual
melainkan secara kontekstual, karena hadis yang memiliki sarana dan prasarana
bisa saja berubah sesuai dengan waktu, tempat serta kondisi masyarakat saat itu.
“Kedua, perintah Nabi untuk menjilati jari adalah sebagai tanda raza syukur ata:
Bikmat yang telah diberikan Allah, serta di dalam makanan itu mempunyai suatu
berkah yang tiada satupun yang mengetahui dimana letak keberkahan itu.
Sehingga. baik makan menggunakan tangan ataupun peralatan makan seperti
sendok dan garpu. makanan yang tersisa mesti dihabiskan, karena sisa dari
makanan yang tidak dihabiskan akan di makan oleh syaitan.NIM.: 07530020 Rahmat Hidayatullah2023-05-10T01:09:40Z2023-05-10T01:09:40Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/58436This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/584362023-05-10T01:09:40ZTRANSFORMASI NILAI-NILAI HADIS ZUHUD (STUDI KOMPARASI ATAS PEMAHAMAN IMAM AL-GHAZZALI DAN MUHAAMMAD AL-GHAZZALI))Hadis dan al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam, memiliki perbedaan.
Salah satu perbedaannya, al-Qur’an memiliki sifat qat’I al-wurud sedangkan
hadis bersifat zanni al-wurud. Oeh karena itu, kajian mengenai shahih atau
tidaknya hadis sampai sekarang tetap memiliki porsi tersendiri dalam kajian ilmu
hadis. Di era modern ini kajian hadis mengalami perkembangan yang signifikan,
para ulama’ pun banyak perbedaan dalam berbagai hal lebih-lebih antara ulama’
klasik dan ulama’ modern yang keduanya berbeda zaman. Begitu juga dengan
permasalahan zuhud, yang sampai saat ini menjadi perdebatan dikalangan
ulama’. Sebagian ulama’ berpendapat bahwa perilaku zuhud sangat ditekankan
dalam kehidupan, namun disisi lain ada sebagian ulama’ yang berpendapat bahwa
perilaku zuhud tidak relevan untuk kehidupan saat ini.
Skripsi ini membahas TRANSFORMASI NILAI-NILAI HADIS
ZUHUD (Studi Komparasi atas Pemahaman Imam al-Ghazali dan Muhammad
al-Ghazali). Permasalahan pokok yang akan dijawab adalah, pertama,
Bagaimana pemahaman Imam al-Ghazali dan Muhammad Al-Ghazali terhadap
hadis zuhud?, kedua, Bagaimana perbedaan dan persamaan pandangan kedua
tokoh tersebut terhadap hadis zuhud?.
Alasan memilih judul tentang hadis zuhud adalah, terdapat pemahaman
yang berbeda antara ulama klasik dan ulama’ modern dalam memahami hadis
zuhud yang banyak dilakukan oleh banyak kalangan ulama’ yang ternyata
menganddung transformasi dalam memahami zuhud. Dalam skripsi ini Penulis
mencoba mengkaji dua tokoh besar, yakni Imam al-Ghazali sebagai ulama’ klasik
dan Muhammad al-Ghazali sebagai ulama’ modern. Alasan mengapa memilih
dua tokoh tersebuat sebagai objek kajian adalah, pertama, metodologi hadis
kedua tokoh tersebut yang berbeda, kedua, terdapat pemahaman yang berbeda
antara kedua tokoh tersebut dalam memahami zuhud.
Penelitian ini bersifat deskripsi-komparatif. Penelitian ini berusaha
memaparkan atau memberi gambaran pemikiran Imam al-Ghazali dan
Muhammad al-Ghazali tentang hadis zuhud, kemudian dibandingkan antara
pemikiran keduanya.
Hasil dari penelitian tersebut adalah terletak dari perbandingan
pemahaman dari kedua tokoh tersebut. Perbedaan dan persamaan ini terlihat
diantara keduanya pada aspek, perbedaan zaman dan culture, materi hadis, titik
pijakan dan pemahaman keduanya tentang hadis (metodologi pemahaman hadis).
Imam al-Ghazali adalah salah satu ulama’ klasik yang sangat menekankan
kehidupan zuhud, banyak hadis yang dikutip beliau dibeberapa karyanya demi
untuk memberikan pemahaman tentang pentingnya perilaku zuhud, dengan
berpendapat, bahwa zuhud adalah perilaku umat muslim yang dapat lebih
mendekatkan kepada Allah dan mengurangi rasa haus akan kehidupan dunia yang
menyebabkan melupakan tuhan-Nya.
Pendapat Imam al-Ghazali ternyata berbeda dengan pendapat Muhammad
al-Ghazali, yang dikenal sebagai ulama’ modern. Muhammad al-Ghazali kurang
sepakat dengan hadis-hadis yang banyak dikutip oleh Imam al-Ghazali dan
viii
ulama’ salaf yang lain, yang banyak menganjurkan perilaku zuhud. Menurut
Muhammad al-Ghazali, hadis-hadis zuhud yang banyak dikutip oleh ulama’ salaf
bertentangan dengan sanad dan matan hadis yang lebih sahih.NIM.: 07530007 Ali Farhan2023-05-10T01:05:18Z2023-05-10T01:05:18Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/58435This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/584352023-05-10T01:05:18ZKONSEP ETIKA DALAM TAFSIR MAFATIH AL-GHAIB
KARYA FAKHRUDDIN AR-RAZI: PERSPEKTIF IMMANUEL KANTSecara praktis, filsafat etika merupakan kajian keilmuan mengenai watak
(tabi’ah) atau tingkah laku lahiriah manusia yang timbul dari bathiniahnya.
Dalam beberapa literatur dan sumber-sumber otoritatif, yang merupakan produk
dari diskursus keilmuan Islam tentang akhlak atau etika sangatlah banyak, mulai
dari yang berdasarkan kepada pemikiran-pemikiran filsafat Yunani dan tradisi
parepatetik Islam, etika yang berdasarkan otoritas wahyu, sampai sintesa dari
kedua corak tersebut. Kesemuanya tiada lain adalah untuk melanjutkan misi
utama ( الغاية القصوة ) ke-Nabian dalam memperbaiki moral umat.
Oleh karenanya, hampir keseluruhan dari cendikiawan muslim dalam
membahas soal etika, tak lepas dari pembahasannya mengenai pribadi Nabi
Muhammad. Sebab Ia-lah Nabi utusan Tuhan untuk memperbaiki moral ummat,
sebagai figur sekaligus sosok ideal paling sempurna yang mencapai derajat insan
kamil. Ar-Razi adalah sosok mufassir yang menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an
mengenai pribadi Muhammad dengan pendekatan yang cendrung lebih rasional.
Ia seorang mufassir yang menganggap keagungan akhlak Nabi merupakan watak
(tabi’ah) yang memang menjadi nikmat Tuhan untuknya.
Immanuel Kant dianggap sebagai bapak etika - kendati istilah tersebut
tidak benar-benar dapat dikatakan berasal darinya. Diawali dengan pernyataan
bahwa satu-satunya hal baik yang tak terbatasi dan tanpa pengecualian adalah
“kehendak baik”. Sejauh orang berkehendak baik maka orang itu baik, penilaian
bahwa seseorang itu baik sama sekali tidak tergantung pada hal-hal diluar dirinya,
tak ada yang baik dalam dirinya sendiri kecuali kehendak baik. Wujud dari
kehendak baik yang dimiliki seseorang adalah bahwa ia mau menjalankan
Kewajiban. Itulah tindakan moralis dalam konsepsi Kant.
Sosok keidealan Muhammad diakui bersamaan dengan turunnya agama
yang Tuhan amanahkan kepadanya. Persoalannya adalah apakah memang benar
bahwa Nabi berbudi luhur karena watak dan kepribadiannya yang agung, atau
karena agama samawi yang ia bawa yang menjadi penyebab keagungan beliau?
Dilatarbelakangi persoalan tersebut, dengan menggunakan metode analisis
pustaka dan pendekatan deskriptif analitik, penelitian ini mencoba melakukan
pengamatan lebih lanjut tentang bagaimana keagungan budi Muhammad sebagai
sosok panutan. Bagaimana moral sang Nabi agung Muhammad dipandang dengan
menggunakan kacamata Immanuel Kant?
Ar-Razi menganggap bahwa keagungannya bukan semata-mata karena
agama agung yang Ia bawa, melainkan memang keperibadian Muhammad yang
benar-benar agung. Dalam tindakan Muhammad, ia tak terpengaruh oleh apapun
kecuali kehendak baik itu sendiri. Muhammad mampu keluar dari demensi unsur
keterpaksaan. Dan Kant menganggap lepas dari keterpakasaan merupakan syarat
utama tindakan seseorang bisa dikategorikan sebagai tindakan yang memiliki nilai
moral tinggi. Pada titik inilah pertemuan dua pemikiran antara ar-Razi, sebagai
filsuf islam, dan Immanuel Kant, sebagai sosok filsuf barat, yang sangat khas,
dimana konsep keduanya diketengahkan dalam perpaduan yang harmonis, justeru
dengan prinsip-prinsil moralitas yang sangat fundamentalNIM.: 07530006 Fawaid Abrari2023-05-09T04:31:16Z2023-05-09T04:31:16Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/58424This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/584242023-05-09T04:31:16ZKISAH NABI YUSUF DALAM AL-QUR’AN (STUDI KOMPARATIF TAFSIR FI ZILAL AL-QUR’AN KARYA SAYYID QUTUB DAN TAFSIR AL-QUR’AN AL-‘AZIM KARYA IBNU KASIR)Salah satu komponen terpenting dalam wahyu al-Qur’an adalah kisah,
karena kisah memuat sebagian besar yang disebutkan dalam al-Qur’an, seperti
halnya kisah Nabi Yusuf dalam al-Qur’an. Nabi Yusuf adalah salah satu Nabi
yang dalam kisahnya hanya berada dalam satu surat dan nama beliau dijadikan
nama surat dalam kisahnya. Kisah Nabi Yusuf ini memuat beberapa episode
dalam setiap perkara dan kejadian yang sangat mendebarkan. Banyak kejadian
dalam setiap episode-episode, terkadang cobaan dan ujian berupa kepedihan dan
yang lainnya cobaan dan ujian berupa kesenangan. Selain itu, peristiwa hidup
yang dialami Nabi Yusuf setelah adanya mimpi yang dialaminya ketika masih
kecil serta cobaan dan ujian Nabi Yusuf ketika bersama Zulaikha menguakkan
banyak pendapat dan banyak tafsiran yang berkembang dalam dunia pemikir
Islam. Berangkat dari hal di atas, penulis ingin meneliti inti penafsiran ayat-ayat
kisah Nabi Yusuf serta memberikan persamaan dan perbedaan antara penafsiran
Sayyid Qutub yang bercorak haraki , ideologis dan praktis sedangkan Ibnu Kasi\r>
bercorak tafsir bil ma’sur.
Penelitian ini bersifat kepustakaan murni (library research) yang
didasarkan pada Tafsir Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n karya Sayyid Qutub dan Tafsi>r al-
Qur’an> al-‘ Azi}>m karya Ibnu Kas\ir> sebagai sumber data primer dan buku-buku
lain yang terkait sebagai sumber sekunder. Metode yang digunakan untuk
mengolah data dalam penelitian ini adalah menggunakan metode komparatif
(muqorron) untuk menganalisis data yang berbeda agar diketahui persamaan dan
perbedaan dalam kisah Nabi Yusuf ini.
Dari penelitian ini ditemukan jawaban, bahwa Sayyid Qutub dalam
menafsirkan kisah Nabi Yusuf tidak menggunakan riwayat namun lebih banyak
memberikan penekanan pada keimanan dan dakwah sedangkan Ibnu Kasi\r>
merujuk kepada para imam sebagaimana metode penafsiran yang dianut oleh
kelompok Syi’ah. Selain itu dalam menafsirkan ayat-ayat mengenai kisah Nabi
Yusuf, kedua penafsir di atas memiliki banyak persamaan dalam menafsirkan
ayat-ayat yang dituju, namun dari banyaknya persamaan tersebut terdapat
perbedaan dalam penyampaian dan pengungkapan dalam menafsirkan ayat-ayat
mengenai kisah Nabi Yusuf.NIM.: 07530005 Amilatul ‘Azmi2023-05-09T04:27:34Z2023-05-09T04:27:34Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/58423This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/584232023-05-09T04:27:34ZAL-NISYAN, AL-SAHWU DAN AL-GAFLAH
KAJIAN SEMANTIK AL-QUR’ANTulisan ini berawal dari permasalahan yang disebut sebagai problem
semantik, sebuah problem yang senantiasa melekat pada al-Qur’an sebagai
sebuah teks linguistik. Semantik merupakan jalan masuk yang mau tidak mau
harus dilalui seseorang dalam rangka memahami kandungan al-Qur’an. Dari
sudut semantik, kata-kata dalam al-Qur’an dapat menjadi problem serius dan
tidak jarang menimbulkan perbedaan pendapat yang akhirnya menyebabkan
terjadinya sekat-sekat dalam kehidupan sosial dan keagamaan yang sebenarnya
tidak perlu terjadi.
Pertanyaan yang coba dijawab dari penelitian ini adalah; (1) apa makna
al-nisya>n, al-sahwu dan al-gaflah dalam al-Qur’an ditinjau dari sudut semantik
linguistik?, (2) bagaimana persamaan dan perbedaan semantik dari ketiga
masing-masing kata ini dalam penggunaan dalam al-Qur’an?. Untuk menjawab
kedua pertanyaan tersebut, penelitian ini sepenuhnya memanfaatkan kepustakaan
(library research) dengan menggunakan pendekatan semantik linguistik, yakni
mencari asal usul makna kata baik dengan bantuan syiir Jahili atau kitab-kitab
tafsir atau kamus-kamus yang menjelaskan ketiga kata tersebut.
Terkait dengan studi semantik leksikal, al-nisya>n, al-sahwu dan al-gaflah
dalam pembahasannya dibagi ke dalam bentuk analisis, ‘medan-medan’ dan
‘sanding kata’ (fields dan collocation). Ketiga kata ini dapat dikelompokkan
sesuai dengan medan maknanya meskipun pembedaan medan makna tidak sama
untuk setiap bahasa. Pengelompokan tipe kata-kata ini dilakukan berdasar
kesamaan objek, kesamaan ciri atau sifat yang dimiliki oleh benda, hal, peristiwa,
atau aktivitas lainnya. Untuk memperjelas ketiga kata ini, ditampilkan struktur
medan semantiknya dalam al-Qur’an dilihat dari hubungan makna dengan katakata
pendampingnya secara paradigmatik.
Hasil kajian ini, penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut: pertama,
a). Makna al-nisya>n dalam al-Qur’an adalah tertinggalnya manusia mengingat
sesuatu yang diamanatkan kepadanya’, baik karena lemah hatinya maupun
karena lupa yang tidak disengaja, gaflah (lalai) atau disengaja sehingga hilang
ingatan di hatinya. b). Makna al-sahwu dalam al-Qur’an di antaranya; kesalahan
yang diakibatkan dari kelalaian yang sifatnya lama dan disengaja sehingga
mengakibatkan disiksa dan Allah mencelanya. c). Makna al-gaflah dalam al-
Qur’an yaitu mencegah dari berhenti memikirkan hal-hal yang benar’. Kedua, a).
Persamaan dan perbedaan semantik al-nisya>n dan al-sahwu; persamaannya adalah
unsur makna kedua kata ini lebih cenderung peyorasi dan sama-sama berdasar
kehendak, maksud, dan kebutuhan. Sedangkan perbedaannya adalah al-nisya>n
menunjukkan lalai yang bersifat temporal, sedangkan al-sahwu lalai yang bersifat
lama. b). Persamaan dan perbedaan semantik al-sahwu dan al-gaflah;
persamaannya adalah sama menunjukkan lalai yang lama. Sedangkan
perbedaannya adalah al-sahwu digunakan untuk mensifati lalai pada sesuatu yang
yang tidak ada wujudnya, sedangkan al-gaflah sebaliknya.NIM.: 07530004 Nurul Kholish2023-05-09T04:17:50Z2023-05-09T04:17:50Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/58420This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/584202023-05-09T04:17:50ZKONSEP AL-‘ADL(KEADILAN) DALAM AL-QUR’AN
STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN M. QURAISH SHIHAB DAN M. DAWAM RAHARDJO
DALAM BUKU WAWASAN AL-QUR’AN DAN INSEKLOPEDI AL-QUR’ANAl-adl dalam bahasa arab adalah merupakan bentuk masdar dari kata kerja
‘adala – ya‘dilu – ‘adlan – wa ‘udûlan – wa ‘adâlatan ( – عَدَلَ – يَعْدِلُ – عَدْلاً – وَعُدُوْلاً
وَعَداَلَةً ) . Kata kerja ini berakar pada huruf-huruf ‘ain ( عَيْن ), dâl ( دَال ), dan lâm ( ,(لاَم
yang makna pokoknya adalah ‘al-istiwâ’’ ( اَلْاِسْتِوَاء = keadaan lurus) dan ‘al-i‘wijâj’
اَلْاِعْوِجَاج) = keadaan menyimpang). Jadi rangkaian huruf-huruf tersebut mengandung
makna yang ber-tolak belakang, yakni ‘lurus’ atau ‘sama’ dan ‘bengkok’ atau
‘berbeda’. Dari makna pertama, kata ‘adl berarti ‘menetapkan hukum dengan benar’..
Jadi, seorang yang ‘adl adalah berjalan lurus dan sikapnya selalu menggunakan
ukuran yang sama, bukan ukuran ganda. ‘Persamaan’ itulah yang merupakan makna
asal kata ‘adl, yang menjadikan pelakunya “tidak berpihak” kepada salah seorang
yang berselisih, dan pada dasarnya pula seorang yang ‘adl “berpihak kepada yang
benar” karena baik yang benar maupun yang salah sama-sama harus mem peroleh
haknya. Dengan demikian, ia melakukan sesuatu yang patut dan tidak sewenangwenang.
Indonesia biarpun dikatakan masih menjadi negara berkembang,namun dalam
konteks sosial masyarakat saat ini dapat dikatakan perhatian masyarakat terhadap halhal
yang bersifal ilmiah atau sains lebih digemari oleh masyarakat, dari pada hal-hal
yang berdimensi religi. Sehingga nilai-nilai keilahian yang bersifat transendental
mengalami kemunduran, karena tidak dibarengi dengan nilai-nilai spiritual.. Kajian
tentang al-adl adalah merupakan satu langkah pemahaman terhadap masyarakat
modern saat ini, dimana nilai-nilai keadilan harus ditegakkan. sehingga dengan
tercapainya keadilan pada suatu tatanan masyarakat, dapat tercapainya kesejahteraan
dan kemakmuran pada masyarakat itu sendiri. Quraish Shihab dan Dawam Rahardjo
adalah merupakan tokoh mufasir kontemporer yang cukup banyak mengkaji tematema
sosial modern khususnya tentang al-adl ( keadillan). Keduanya sama-sama
menuangkan karya tafsirnya terkait dengan hal tersebut, akan tetapi keduanya
melakukan pendekatan yang berbeda dalam menafsirkan al-adl. Disinilah pentingnya
penulis melakukan penelitian tentang penafsiran al-adl menurut Quraish Shihab dan
Dawam Rahardjo dalam buku Wawasan Al-Qur’an dan Ensiklopdi Al-Qur’an.
Adapun data sekunder penulis ambil dari berbagai artikel, buku, ataupun naskah yang
terkait dengan al-adl.
Setelah penulis melakukan penelitian, peneliti menemukan sejumlah ayat
yang ditafsirkan berikut kontribusi atau relevansi yang dapat diambil dari penafsiran
ke-dua tokoh tersebut, diantaranya : Q.S Al-Infithar (82):7 , mereka menafsirkan aladl
pada ayat tersebut adalah sesuatu yang seimbang, kemudian Q.S Al-Maidah (5):
8, pada ayat ini kedua tokoh menafsirkan al-adl adalah sesuatu yang dekat dengan
ketakwaan. Kontribusi atau relevansi dari penafsiran kedua tokoh tersebut paling
tidak yaitu memberikan pemahaman nilai-nilai keadilan lebih mendalam,khususnya
pada kondisi sosial saat ini.NIM.: 06530035 Mohammad Ismail2023-05-09T04:13:51Z2023-05-09T04:13:51Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/58419This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/584192023-05-09T04:13:51ZKITAB TAFSIR AL-QUR’AN AL-AZHIM LI AN-NISA’ KARYA SYAIKH
IMAD ZAKI AL-BARUDI (TELAAH METODE PENAFSIRAN)Latar belakang penulisan ini ialah kaum wanita mampu memahami hak-hak
dan hukum-hukum yang ada di dalam al-Qur’an. Sebagaimana yang telah
disandarkan kepada kaum perempuan yang sesuai dengan ajaran-ajaran agama dan al-
Qur’an. Kitab ini akan menjadi pandangan praktis di kalangan perempuan untuk
meniti kehidupan dengan cara yang benar dan sesuai dengan aturan al-Qur’an.
Hukum-hukum yang memandu dalam buku ini akan membuat kalangan perempuan
menapak tilas hidayat al-Qur’an dengan praktis dan pasti. Buku ini akan memberikan
makna penting bagi usaha memahami lebih dalam hukum-hukum yang
bersinggungan dengan masalah kewanitaan.
Dalam Tafsi>r al-Qur’a>n al-Aẓhi>m li an-Nisa>’ teks ayat-ayat al-Qur’an
ditampilkan secara berurut, dalam satu surat yang akan ditafsirkan ditulis dengan
lengkap dan diiringi dengan terjemahannya di bawah ayat-ayat al-Qur’an. Akan tetapi
di sini bukan seluruh ayat ditafsirkan tetapi yang masih ada sangkut pautnya yang ada
di dalam tema yang mengenai tentang hukum-hukum wanita yang ada di dalam surat
tersebut. Meski dalam satu tema dan bukan seluruh surat ditulis langsung, di sini
urutan ayat al-Qur’annya yang akan ditafsirkan berurutan dari mulai ayat yang kecil
hingga ayat yang besar, misalnya ayat-ayat dalam surat ath-Thalaq yang diawali
dengan ayat 1; 2; 4;dan 6. Langkah selanjutnya ayat yang akan ditafsirkan ditulis
kembali dengan tulisan Arab dan kemudian dilengkapi dengan terjemahannya
kemudian ayat tersebut diuraikan secara seksama.
Penelitian ini menggunakan kajian pustaka (Library Reseach), yaitu penelitian
yang obyek utamanya adalah buku-buku dan literatur-literatur lainnya yang berkaitan
dengan kajian Tafsi>r al-Qur’a>n al-Aẓhi>m li an-Nisa>’. Secara garis besar sumbersumber
data dibagi kepada dua sumber, yaitu: Tafsi>r al-Qur’a>n al-Aẓhi>m li an-Nisa>’
sebagai sumber primer dan karya lain yang bersangkutan tentang kitab tersebut
termasuk buku Fiqih. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan metode
deskriptif analitis, yaitu memaparkan data yang ada secara obyektif, yang kemudian
dianalisa secara mendalam dan sistematis, dengan melakukan kegiatan mengurai atau
memisah-misahkan suatu pengertian yang ada hubungannya dengan topik.
Adapun beberapa kesimpulan dari penelitian ini, yaitu: Tafsi>r al-Qur’a>n al-
Aẓhi>m li an-Nisa>’ menggunakan metode tahlili atau analitis dengan bentuk Ra’yu
(Pemikiran). Artinya, penjelasan makna ayat-ayat al-Qur’an dilakukan dengan bahasa
yang lugas dan tidak berbelit-belit, namun dapat mengambil inti pesan dari makna
yang terkandung dalam suatu ayat. Penyajiannya runtun dalam menyusun suatu surat.
Sistematika penulisan tersebut dilakukan karena memang untuk membuat tafsir yang
tidak rumit namun aplikatif. Tafsi>r al-Qur’a>n al-Aẓhi>m li an-Nisa>’ ditujukan bukan
hanya untuk masyarakat akademik, tetapi juga untuk masyarakat umumNIM.: 06530022 Erna Fitria Susanti2023-05-09T04:06:21Z2023-05-09T04:06:21Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/58418This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/584182023-05-09T04:06:21ZTERM DI‘AFAN (LEMAH) DALAM SURAT AN-NISA’ AYAT 9 (STUDY TEMATIK KITAB TAFSIR AL-MANAR KARYA RASYID RIDA)Semangat globalisasi yang menjadi tanda bagi dunia modern dalam
beberapa hal terbukti membawa pengaruh negatif bagi kehidupan manusia.
Sistem ekonomi kapitalis yang meniscayakan kekayaan hanya dimonopoli oleh
kalangan pemodal semakin memepertajam kesenjangan sosial. Sementara itu
nilai-nilai kehidupan yang serba individualis dan hedonis memaksa orang yang
lemah semakin lemah bahkan terkesan harus meninggalkan anak keturunan yang
lemah.
Penelitian ini berangkat dari kegelisahan peneliti terhadap fenomena
sosial dimana nilai-nilai kemanusiaan sudah mulai luntur dan diganti dengan
nilai-nilai mata uang. Adanya praktik kekerasan terhadap anak-anak,
mengesampingkan hak-hak anak dan kurangnya keperdulian terhadap anak yatim
jelas tidak sesuai dengan semangat al-Qur’a>n surat an-Nisa>’ ayat 9 yang
memerintahkan kepada manusia untuk takut seandainya meninggalkan generasi
penerus yang lemah.
Penelitian ini merupakan penelitian tematik terhadap term d{i‘a>fa>n
(lemah) dalam tafsir al-Mana>r karya Rasyi>d Rid{a> dan Muhammad Abduh.
Karena cara berfikir seseorang, baik tokoh apapun itu pasti terpengaruh oleh
keadaan lingkungan di sekitarnya, dalam penelitian ini peneliti menggunakan
pendekatan sosio-historis untuk mengetahui seting sosial politik baik ketika al-
Qur’a>n itu diturunkan maupun ketika ayat tersebut ditafsirkan oleh Abduh dan
Rasyi>d Rid{a>. Dari hasil penelusuran peneliti lafadz d{i‘a>fa>n hanya disebut satu
kali dalam QS.an-Nisa> ayat 9. Secara umum dari bentuk derivasi katanya (yang
berasal dari huruf d{,‘ dan f ) terdapat 5 Ayat dengan term yang berbicara tentang
lemah dalam konteks perang, 3 Ayat dengan term yang berbicara tentang lemah
dalam konteks Kisah kaum terdahulu, 1 Ayat dengan term yang berbicara
tentang lemah dalam konteks keringanan hukum bagi kebutuhan biologis
manusia dan 2 Ayat yang term yang berbicara tentang lemah dalam konteks
anak-anak, warisan dan wasiat.
Setelah melakukan penelitian terhadap term d{i‘a>fa>n (lemah) yang ada
dalam tafsir al-Mana>r, peneliti berusaha mengaitkan hasilnya dengan konteks ke
Indonesiaan. Dari hasil penelitian yang didapat, secara umum efek dari
globalisasi dengan tradisi western sudah masuk kehampir seluruh lapisan
masyarakat Indonesia. Upaya untuk menanggulangi hal tersebut agar masa depan
anak sebagai generasi penerus tetap cerah pada dasarnya sudah ada, hanya belum
berjalan dengan maksimal. Adanya undang-undang tentang perlindungan anak,
berbagai yayasan yang sanggup menampung anak yatim serta beasiswa tidak
mampu adalah indicator kearah penyelesaian masalah tersebut yang sejalan
dengan semangat surat an-Nisa>’ ayat 9. Jika setiap warga Negara Indonesia sadar
akan hukum serta memberikan apa yang sudah menjadi haknya anak, baik secara
individu (orang tua) maupun secara kolektif (Yayasan) sebagai wali dari anak,
maka anak yatim dari keluarga yang lemah sekalipun bisa menjalani kehidupan
tanpa meminta-minta. Dengan begitu generasi yang akan datang akan menjadi
generasi yang terbaik.NIM.: 06530007 Kukuh Budiman2023-05-09T03:52:33Z2023-05-09T03:52:33Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/58408This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/584082023-05-09T03:52:33ZKISAH NABI MUSA DENGAN SAMIRI DALAM AL-QUR’AN (STUDI KOMPARASI PENAFSIRAN AL-ALUSI DAN SAYYID QUTB)Fokus dari penelitian ini adalah penafsiran al-Alu>si> dan Sayyid Qut}b terhadap
Surat Taha ayat 85 sampai 98 yang terkandung kisah Nabi Musa dengan Samiri,
penelitian ini mengambil langsung penafsiran dalam kitab Tafsir Ru>h al-Ma’a>niy dan
kitab Tafsir Fī Z{ila>l al-Qur’ān. Tema ini dipilih mengingat semakin berkembangnya
pemahaman dan kompleksnya definisi tentang penafsiran mengenai kisah-kisah
dalam al-Qur’an. Dalam perkembangannya, istilah kisah-kisah dalam al-Qur’an
seringkali dipakai sebagai simbol historis yang menceritakan kejadian di masa
lampau, kemudian beralih kepada pemahaman bahwa kisah tersebut bukan hanya
merepresentasikan sejarah melainkan juga menampilkan seni, sastra dan moralitas
dalam al-Qur’an. Penafsiran al-Alu>si> dan Sayyid Qut}b lewat kitab Tafsir Ru>h al-
Ma’a>niy dan kitab Tafsir Fī Z{ila>l al-Qur’ān ini penting diteliti karena termasuk dua
kitab tafsir fenomenal yang ditulis secara elegan, keduanya memiliki perbedaan
karakter dan corak tafsir dari kedua kitab tafsir, hal inilah yang membuat peneliti
memilih kedua kitab Tafsir teresebut.
Penelitian ini dilakukan dengan metode deskriptif-analitis yaitu dengan
mendeskripsikan dan menganalisis penafsiran al-Alu>si> dan Sayyid Qut}b atas kisah
Nabi Musa dengan Samiri dalam al-Qur’an surat Taha ayat 85 sampai 98, untuk
kemudian dikomparasikan. Dengan pendekatan historis-sosiologis, yaitu dengan
menelusuri sejarah pertumbuhan dan pola pemikiran serta konteks sosial-budaya yang
mempengaruhinya. Adapun jenis penelitian ini adalah penelitian perpustakaan,
dengan menekankan pada kitab tafsir milik al-Alu>si> Ru>h al-Ma’a>niy dan kitab tafsir
mliki Sayyid Qut}b yaitu Fī Z{ila>l al-Qur’ān.
Penelitian ini: pertama, meneliti masing-masing penafsiran al-Alu>si> dan
Sayyid Qut}b dalam Tafsir Ru>h al-Ma’a>niy dan kitab Tafsir Fī Z{ila>l al-Qur’ān.
Hingga kemudian didapat sebuah fokus mendalam mengenai tokoh yang ada di dalam
kisah Nabi Musa dengan Samiri, kemudian dibagi menjadi identitas, penokohan, serta
karakter masing-masing tokoh dalam kisah tersebut. Terdapat tiga tokoh yang
memainkan perannya dalam kisah ini. Nabi Musa dan Harun yang berperan sebagai
Utusan Allah, Samiri sebagai tokoh utama dalam menyesatkan umat dengan
menggunakan patung anak sapi atau lembu yang kemudian dipahami oleh Bani Israil
sebagai tuhan yang berhak disembah, dan Bani Israil sebagi kaum atau umat.
Kedua, menurut peneliti, penafsiran al-Alu>si> dan Sayyid Qut}b tentang kisah
Nabi Musa dengan Samiri dapat diambil relevansinya dengan konteks sekarang,
contohnya, media yang digunakan Samiri ternyata memiliki sebuah kemampuan unik
yang dapat membuat seseorang bertindak dan berkeyakinan sesuai yang diinginkan.
Hal ini terlihat sesuai dengan penafsiran al-Alu>si> dan Sayyid Qut}b ketika
menjelaskan berbagai sifat dan karakter Samiri beserta patung ciptaannya.NIM.: 06530003 Nur Edi Prabha Susila Yahya2023-05-09T02:59:00Z2023-05-09T02:59:00Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/58402This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/584022023-05-09T02:59:00ZKISAH IBRAHIM DALAM AL-QUR’AN (PERSPEKTIF TEORI MAKKI-MADANI)Penelitian ini mengambil tema kisah Ibrahim dalam al-Qur’an. Tema ini
diambil dengan pertimbangan bahwa Ibrahim merupakan salah satu nabi yang
namanya disebutkan berulang-ulang dalam al-Qur’an. Ibrahim mempunyai millah
yang ideal untuk diikuti. Muhammad diperintahkan secara tegas untuk mengikuti
millah tersebut (Q.S. al-Nah}l: 123). Jejak-jejak Ibrahim masih terlihat secara nyata
sampai sekarang seperti Ka’bah dan maqa>m Ibrahim. Tradisi-tradisi yang diwariskan
juga masih dilakukan oleh orang-orang Islam seperti khitan, kurban dan ibadah haji.
Dengan metode tematik, penelitian ini ingin melihat bagaimana al-Qur’an
mendeskripsikan tokoh Ibrahim serta peristiwa-peristiwa yang dialaminya. Penelitian
ini tidak ditujukan untuk merekontruksi sejarah Ibrahim karena al-Qur’an bukanlah
buku sejarah. Kisah-kisah dalam al-Qur’an, termasuk kisah Ibrahim, diturunkan
seiring dengan situasi dan kondisi yang melatar belakanginya. Oleh karena itu, kisah
tersebut dilihat dengan sudut pandang makki>-madani> supaya terlihat kesesuaian
antara kisah Ibrahim yang diceritakan dengan situasi-kondisi Mekah maupun
Madinah. Dari sudut pandang tersebut, akan dapat dipahami tujuan kisah Ibrahim
diceritakan.
Al-Qur’an menampilkan karakter-karakter yang terpuji untuk Ibrahim
sebagai tokoh yang layak untuk diteladani. Karakter-karakter yang ditampilkan
bersesuaian dengan peristiwa-peristiwa yang diceritakan oleh al-Qur’an. Sebagai
media untuk menyampaikan ajaran-ajaran keagamaan, dakwah Ibrahim diceritakan
pada periode Mekah. Dakwah ini mengajak kepada monoteisme dan mengkritik
tindakan kaumnya yang menyembah berhala-berhala. Penceritaaan dakwah ini
kepada penduduk Mekah yang juga melakukan penyembahan kepada berhala-berhala
sama artinya dengan mengajak mereka kepada monoteisme dan mengkritik tindakan
mereka. Berbeda dengan situasi dan kondisi masyarakat Madinah yang sudah
menganut agama, yaitu Yahudi dan Nasrani. Kisah Ibrahim periode Madinah
diceritakan sebagai bantahan-bantahan atas klaim-klaim mereka terhadap Ibrahim
dan yang berkaitan dengannya.NIM.: 05530062 Zainuddin2023-05-09T02:45:13Z2023-05-09T02:45:13Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/58401This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/584012023-05-09T02:45:13ZKONSEP OTORITAS MANUSIA DALAM AL-QUR’AN (TELAAH MAKNA SURAT AR-RA’D AYAT 11 MENURUT PERSPEKTIF JAUDAT SAID DAN MUHAMMAD QURAISH SHIHAB)Penelitian yang diarahkan untuk mengungkap makna yang terkandung pada surat
Ar-Ra’d ayat 11 ini dilakukan dengan upaya pembacaan dan pemahaman pada penafsiran
ayat dengan acuan utama pada pemikiran dua tokoh, yakni Jaudat Said dan M. Quraish
Shihab, dengan berbagai rumusan masalah yang harus dipecahkan, bagaimana pandangan
kedua tokoh mengenai otoritas manusia mengatur kehidupannya? Bagaimana keterkaitan
pemahaman antara takdir dan otoritas serta kewenangan manusia menentukan nasibnya?
Maka dari itu hasil penelitian ini sangat urgen untuk melihat sisi perbedaan dan persamaan
keduanya dalam menafsirkan ayat-ayat motifatif dalam al-Qur’an.
Penjelasan akan otoritas manusia dalam mengatur kehidupannya yang terdapat
dalam ayat al-Qur’an khususnya pada surat Ar-Ra’d ayat 11 ini mengandung dua unsur
pokok yang sangat penting, yakni unsur teologi dan unsur moral atau sosial. Kedua unsur
tersebut merupakan materi dakwah al-Qur’an untuk menunjukkan betapa Allah Swt
memberi kewenangan kepada manusia untuk menjadi khalifah Allah di muka bumi. Dari
materi al-Qur’an tersebut diharapkan manusia memiliki semangat untuk memperbaiki dan
mengarahkan kondisi kehidupannya menuju takdir yang lebih baik.
Mengingat akan mandat sebagai khalifah Tuhan di muka bumi manusia diberi
kemampuan untuk mengolah takdirnya, terutama melalui perangkat ilmu pengetahuan
untuk memahami hukum sebab-akibat yang telah ditakdirkan Tuhan pada setiap ciptaaan-
Nya. Dalam pembicaraan sehari-hari kata “takdir” cenderung dipahami sebagai kepastian
yang mesti disikapi dengan kepasrahan, tidak perlu dinalar secara kritis. Namun, kalau kita
membaca Al-Quran, banyak ditemukan ayat-ayat yang kalau dicermati maknanya
menunjuk pada berlakunya hukum alam yang mengandung hukum kausalitas, (sebabakibat)
yang menjadikan manusia hidup dengan pengaruh sebab perbuatannya.
Penulis memahami dari hasil olah perpaduan antara pemikiran para tokoh bahwa
makna yang terkandung pada ayat ini memberikan pemahaman secara tekstual manusia
mempunyai kewenangan untuk merubah jalan hidupnya, manusia diberikan daya
kemampuan (istit}a‘ah) dan kehendak (masyi’ah) atau keinginan (iradah) yang Allah Swt
berikan kepada manusia untuk memilih jalan hidupnya masing-masing. Kemudian
mengingat teks ayat yang menggunakan lafadz Qowm yang artinya sebuah kaum atau
masyarakat, Jaudat Said menyimpulkan bahwa perubahan itu merupakan perubahan sosial
dan atau perubahan yang lebih mengarah pada hal duniawi, sehingga searah dengan
pemahaman M. Quraish Shihab bahwa dapat disimpulkan manusia secara kolektif bisa
melakukan perubahan besar, semua itu dikarenakan manusia sebagai makhluk sosial yang
bisa bersatu padu saling membahu dan dianugerahi kemampuan (otoritas) untuk mengelola
kehidupannya.
Selanjutnya, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang
cukup berarti bagi khazanah keilmuan Islam, terutama di bidang kajian tafsir al-Qur’an.
Setelah penulis melakukan deskripsi dan analisis terhadap penafsiran Jaudat Said dan M.
Quraish Shihab tentang otoritas manusia mengatur jalan hidupnya, maka penulis
mendapatkan kesimpulan bahwa pesan teologis yang dimaksudkan adalah bahwa manusia .
Adapun nilai sosialnya adalah untuk saling menjaga dan mengingatkan akan pentingnya
instropeksi diri dan saling mendorong antara sesama untuk melakukan perbaikan soNIM.: 05530049 Miftahul Arifin Hasan2023-05-09T02:41:59Z2023-05-09T02:41:59Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/58400This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/584002023-05-09T02:41:59ZPAKAIAN MENURUT IBNU HAJAR AL-ASQALANI DALAM KITAB FATH Al-BARIABSTRAK
Masalah pakaian adalah masalah sederhana namun sangat urgen dalam kaitannya dengan kehidupan bersosialisasi. Pada kenyataanya, masyarakat muslim khususnya Indonesia mempunyai kebiasaan berpakaian yang tanpa memperdulikan apakah pakaian tersebut sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Islam atau tidak. Dan tanpa memperdulikan unsur pahala dengan ia mengenakannya. Banyak juga yang sudah berpakaian sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Islam yakni menutup auratnya. Namun, karena begitu banyak model dan gaya pakaian yang ada pada saat ini sehingga mereka tidak memperhatikan apakah pakaian – pakaian tersebut sudah sesuai dengan apa yang digunakan Nabi Saw atau tidak. Masyarakat muslim saat ini cenderung lebih mengutakan mode dalam berpakaian, tanpa memperdulikan sunah-sunah Nabi dengan menggunakan pakaian seperti apa yang digunakan Beliau.
Banyak sekali hadis-hadis Nabi yang membicarakan tentang pakaian. Baik itu berupa perkataan Nabi tentangnya, cara berpakaian Nabi sendiri atau cara berpakaian para sahabat yang di lihat oleh Nabi. Hadis-hadis tersebut saat ini sudah terkodifikasikan dalam kitab-kitab hadis semisal kitab Sahi}<h} al-Bukhar>i <dan Sahi}<h Muslim. Akan tetapi, hadis-hadis tersebut hanya memuat redaksinya saja tanpa adanya penjelasan. Padahal hadis-hadis tersebut tentunya hadir tidak dalam ruang hampa. Hadis-hadis tersebut dilatarbelakangi oleh situasi dan kondisi masyarkatnya. Oleh karena itu, dibutuhkan penjelasan terhadap hadis-hadis tersebut. Dalam literature Islam, penjelasan terhadap hadis disebut dengan syarh }al-Ha}di>s|. Penjelasan terhadap hadis pada saat ini juga telah terkodifikasi dalam kitab-kitab syarh }al-Ha}di semisal kitab Fath} al-Ba<ri<. Oleh karena itu penelitian ini menitik beratkan pada tema hadis-hadis tentang pakaian dengan menggunakan penjelasan Ibnu H}ajar al-Asqala>ni < dalam kitab Fath} al-Ba<ri<. Pemilihan kitab Fath} al-Ba<ri< sebagai sumber utama penelitian dikarenakan dalam kitab tersebut dijelaskan tentang pakaian secara menyeluruh.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode kepustakaan murni (library research). Teknik pengumpulan data diperoleh dari dan melalui data primer dan data sekunder. Data primer, didapatkan dari kitab Fath} al-Ba<ri<, sedangkan data sekunder penulis dapatkan dari buku-buku yang berkaitan dengan tema yang penulis ambil. Untuk menganalisis data penulis mempergunakan metode khusus yaitu, diskriptif- analisis. Dalam segi pendekatan, penulis menggunakan pendekatan histori.
Hasil yang diperoleh dalam skripsi ini adalah bahwa pakaian yang di sukai Nabi Saw dalam kitab Fath} al-Ba<ri< adalah pakaian yang tidak menunjukan unsur kesombongan dan tidak berlebihan dalam menggunakannya, seperti: jubah, gamis, burdah dan hibara, sorban dan pakaian putih. Namun pakaian ini bukan merupakan pakaian yang di wajibkan bagi umat islam, ini hanya merupakan pakaian yang mengandung unsur pahala (sunnah). Adapun pakaian yang dilarang oleh Nabi Saw dalam kitab Fath} al-Ba<ri< adalah memanjangkan pakaian, sutra bagi laki-laki dan pakaian merah atau pakaian yang di beri za’faran.NIM.: 05530040 Shufiyyah Anwari2023-05-09T02:36:05Z2023-05-09T02:36:05Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/58399This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/583992023-05-09T02:36:05ZSABAR DAN SHALAT MENURUT PEMIKIRAN AL-ALUSI DALAM TAFSIR RUH AL MA’ANISudah menjadi sunnatulla>h bahwa manusia hidup di dunia ini senantiasa
diwarnai dengan masalah-masalah (problematika) kehidupan yang silih berganti.
Dalam menghadapi berbagai masalah yang datang, seseorang diharapkan bisa
bersabar. Ajaran tentang sabar sangat ditekankan di dalam al-Qur’an. Hal ini
dapat dilihat dari frekuensi penyebutan kata ini yang cukup tinggi. Kata s}abr
dengan berbagai perubahan bentuknya (derivasi) disebut sebanyak 103 kali di
dalam al-Qur’an yang tersebar pada 93 ayat dan 45 surat. Kata sabar ataupun
kata lain yang seakar dengannya digandengkan dengan beberapa perkara yang
juga sangat penting menurut al-Qur’an, Di antaranya adalah pengkaitan sabar
dengan shalat. Ada banyak sekali perintah untuk menegakkan shalat di dalam Al-
Quran. Paling tidak tercatat ada 12 perintah dalam Al-Quran.
Sabar secara etimologi berarti menahan. Adapun secara teriminologi para
ahli mengartikan sabar dengan berbagai macam pengertian. salah satunya
diungkapkan oleh al-Maragi. sabar adalah ketabahan hati dalam menanggung
berbagai macam kesulitan sebagai upaya mencegah perbuatan-perbuatan yang
tidak disukai dan dalam rangka melaksanakan ibadah, serta ketabahan dalam
menjauhi perbuatan-perbuatan maksiat. Sedangkan shalat secara harfiah berarti
doa. Shalat merupakan ibadah yang istimewa dalam agama Islam, baik dilihat
dari perintah yang diterima oleh nabi Muhammad secara langsung dari Tuhan
maupun dimensi-dimensi yang lain. Ada banyak sekali perintah untuk
menegakkan shalat di dalam Al-Quran. Mayoritas perintah tersebut diungkapkan
dengan kata iqa>mah. Kata ini khusus disebutkan sebagai tanda bahwa yang
dimaksud dengan mengerjakan shalat adalah dengan memenuhi semua hak dan
syarat shalat, tidak hanya melakukan gerakan-gerakannya saja.
Penelitian ini bersifat kepustakaan murni (library research) yang
didasarkan pada Tafsir Ru>h al-Ma’a>ni> sebagai sumber data primer. Oleh karena
penelitian ini bersifat kepustakaan maka teknik dokumentasi dalam penelitian ini
memuat keterangan dan analisis terhadap penafsiran sabar dan shalat menurut al-
Alu>si>.
Dari penelitian ini ditemukan jawaban bahwa menurut al-Alusi sabar dan
shalat dapat dipraktekkan sebagai jalan keluar untuk menghadapi berbagai
tantangan dan kesulitan manusia. Sabar sebagai perlawanan terhadap hawa nafsu
yang dapat menghalangi hubungan manusia dengan Tuhan sehingga doanya
dapat dikabulkan. Sedangkan shalat digunakan untuk mencapai sesuatu yang
diinginkan oleh manusia. karena di dalamnya terdapat berbagai macam ritual
ibadah yang dapat mendekatkan diri kepada Allah sehingga dapat mengantarkan
kepada keberhasilan apa yang dicari dan didambakanNIM.: 05530035 Robiah al-Adawiyah2023-05-09T01:58:17Z2023-05-09T01:58:17Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/58391This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/583912023-05-09T01:58:17ZKOMPARASI PENAFSIRAN SURAT AL MA’UN KH. BISRI MUSTHOFA DAN NUR KHALIK RIDWANSemakin bertambahnya usia bumi semakin bertambah pula penghuni yang
menetap di bumi ini. Berbagai penelitian terhadap planet-planet yang layak huni
semakin digalakkan oleh para ilmuwan masa kini. Di saat penelitian tentang
planet-planet di luar bumi yang layak huni, di bumi sendiri semakin dipenuhi
oleh umat manusia yang ada, pertambahan penduduk di masing-masing negara,
membuat sumber pencaharian untuk memenuhi kebutuhan hidup semakin
menipis. Secara matematis tentunya hal demikian membuat banyaknya persoalan
yang akan timbul dikemudian hari, salah satunya adalah ketahanan pangan,
sumber-sumber pencaharian yang semakin sempit mengakibatkan banyaknya
pengangguran, pengangguran tentunya akan berimplikasi pada kehidupan
manusia. Kelaparan yang akan menyebabkan kematian adalah salah satu dari
dampak tersebut. Kematian yang menyisakan sanak famili terindikasi banyaknya
anak-anak yang ditinggalkan, perebutan lahan pangan, tentu membuka ruang
untuk terjadinya perang demi mempertahankan kehidupan. Peperanganpeperangan
yang terjadi tentu akan menyisakan persoalan-persoalan seperti
kematian, kelaparan, kemiskinan dan lain sebagainya.
Keinginan untuk hidup layak tentu menjadi tujuan dasar dari setiap insan,
negara (pemerintah) yang tidak sanggup lagi menampung keluh kesah warganya
berimplikasi pada pentingnya keyakinan (agama) dalam menyelesaikan persoalan
tersebut. Hal inilah yang nantinya agama dituntut untuk mampu mengataasi
persoalan, agama dituntut untuk menafsir ulang teks-teks keagamaannya demi
terjaganya umat. Ulama-ulama dan cendekiawan dituntut harus mampu
menenangkan umatnya, tentunya dengan kajian-kajian teks Qur’an yang ada,
hadirnya beberapa tokoh seperti KH. Bisri Musthofa dan Nur Khalik Ridwan
memberikan titik terang tersendiri dalam menafsir teks-teks Qur’an tersebut, al
Mā’ūn dengan susunan ayat yang sangat mengagumkan adalah pijakkan dasar
dalam mengelola kemiskinan tersebut.
Pada penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode kualitatif
yang selanjutnya dianalisa dengan metode deskriptif analitis. Khusus dalam
penelitian biografi metode penelitian historis yang banyak digunakan.
Hasil dari penelitian ini adalah penafsiran tentang surat al Mā’ūn yang
dihadirkan oleh KH. Bisri Musthofa dan Nur Khalik Ridwan sekalipun keduanya
banyak mengutip dari kitab-kitab lain, namun tentunya disesuaikan kondisi
tempat dan zaman. Kehidupan antara manusia dengan penciptanya (dimensi
teologis) dan manusia dengan manusia (dimensi sosiologis), adalah persoalan
yang terkandung pada surat al Mā’ūn tersebut. Kedua tokoh dalam menafsirkan
surat tersebut, sesuai yang peneliti baca, kaitannya dengan pokok-pokok
persoalan yang terkandung pada surat al Ma’un, Nur Khalik Ridwan lebih luas
dalam menafsirkan ayat-ayat pada surat al Ma’un tersebut. Akan tetapi bukan
persoalan luas ataupun tidak luas pada penelitian ini, peneliti lebih menyoroti apa
yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam menolong sesamanya.NIM.: 04531769 Miftakhul Ulum2023-05-09T01:55:06Z2023-05-09T01:55:06Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/58390This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/583902023-05-09T01:55:06ZKAJIAN TERHADAP TRADISI SHALAWAT JAM’IYYAH AHBABU AL-MUSTAFA KABUPATEN KUDUS (STUDI LIVING HADIS)Living Hadis masih merupakan “lahan basah” untuk dijadikan sebagai
obyek penelitian keagamaan. Berangkat dari berbagai fenomena yang
berhubungan dengan masalah teologis yang berdampak pada masalah sosiologis,
penulis mempunyai sebuah target penelitian fenomena yang menarik, salah
satunya adalah tradisi “sholawatan”.
Dalam penelitian ini,penulis menggunakan dasar ayat al-Qur’an (surat al-
Ahzab : 21) sebagai landasan utama dan kecintaan penulis pada nabi agung
Muhammad Saw.
Tradisi “sholawatan” menjadi sebuah fenomena yang mempunyai
implikasi yang luar biasa pada berbagai aspek kehidupan, implikasi yang
berkembang dan riil yang terjadi di masyarakat membangkitkan interes penulis
untuk meneliti lebih jauh tentang tradisi sholawatan. Demikian pula keberadaan
jam’iyyah sholawat ahbabul musthofa kabupaten Kudus yang membawa
pengaruh yang signifikan terhadap masyarakat.
Pendekatan sosiologis yang digunakan menjadi salah satu pisau analisis
yang akan dikembangkan oleh penulis untuk menyibak dan menguak lebih jauh
implikasi-implikasi yang dihasilkan dari tradisi tersebut. Fenomena tradisi yang
berangkat dari sebuah individual hingga merambah komunal bahkan
institusional, mulai dari kalangan Habaib, kiai hingga pejabat dan rakyat jelata
jelas bukan implikasi yang bersifat temporal dan minus signifikansi.
Tradisi sholawatan yang berkembang menjadi sebuah wadah dan sarana
dari berbagai individu untuk meningkatkan diri secara spiritual, stabilitas
berbagai aspek meliputi tingkat sosial komunal, serta dedikasi tinggi pada
tingkat institusional. Tak pelak lagi tradisi ini menjadi sebuah “Oase” dalam
padang sahara kehidupan yang kompleks di zaman modernisasi.NIM.: 04531740 Sholeh Ilham2023-05-09T01:51:48Z2023-05-09T01:51:48Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/58389This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/583892023-05-09T01:51:48ZKECERDASAN SPIRITUAL DALAM AL-QURAN (TELAAH TERHADAP SURAT LUQMAN AYAT 12- 19)Al-Qur’an adalah pedoman hidup (way of life) bagi umat manusia untuk
menggapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Sebagai kitab pedoman
(guidebook), al-Qur’an tidak hanya mencakup nilai-nilai hukum (syari’ah), teologis
(akidah), moralitas (akhlak), tetapi juga cerita-cerita teladan, sejarah dan
sebagainya. Salah satunya adalah cerita Luqman Hakim, ahli hikmah yang
diabadikan Allah dan dipilih sebagai nama surah tersendiri dalam al-Qur’an, yaitu
surah Luqman. Perbedaan penafsiran di kalangan ulama tentang sosok Luqman dan
nasihatnya membuat penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut. Hal ini karena
kecerdasan spiritual, emosional dan intelektual secara integral adalah fondasi utama
lahirnya insa>n ka>mil (the perfect man).
Penelitian ini sengaja tidak membatasi pada kajian tafsir-tafsir tertentu,
baik tafsi>r bi al-ma’s\u>r maupun tafsi>r bi ar-ra’y, guna mendapatkan pemahaman dan
penafsiran yang lebih komprehensif dan integral. Dalam hal ini, penulis mengkaji
nasihat Luqman yang terdapat dalam surah Luqman ayat 12–19 melalui pendekatan
tafsir yang diintegrasikan dengan ilmu psikologi. Karena itu, term-term seperti
spiritual, emosional dan intelektual tidak luput dari pembahasan penelitian ini. Di
samping itu, penelitian ini juga mencari korelasi makna antara tiga kecerdasan di
atas, sebagaimana digariskan Luqman pada anaknya. Jadi, inti penelitian ini adalah
mengungkap nilai-nilai kecerdasan spiritual yang merupakan esensi kecerdasan
manusia dalam konteks psikologi qur’ni dan tafsi>r tarbawi >.
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research). Dalam
hal ini, beberapa kitab tafsir digunakan sebagai pendekatan dengan metode analisis
tafsi>r maud}u’i muqa>rin (tafsir tematik-komparatif) yang diintegrasikan dengan
disiplin keilmuan psikologi. Untuk itu, penulis terlebih dahulu memaparkan urgensi
kecerdasan spiritual dan korelasinya dengan dua kecerdasan lainnya, emosional dan
intelektual. Kemudian dijelaskan tentang konstruksi surah Luqman, mulai dari
pengertian hikmah, asba>b nuzu>l dan kandungan materi nasihatnya. Selanjutnya
dipaparkan pula secara lebih rinci nilai-nilai spiritual tersebut dalam perspektif tafsir
secara komparatif. Untuk menghasilkan penelitian yang relatif optimal secara
akademik, penulis merasa perlu menggunakan pendekatan muna>sabah al-ayat bi alayat
secara tematik.
Kesimpulan dalam penelitian ini bahwa antara nilai-nilai kecerdasan
spiritualitas tauhi>diyah, spiritualitas syar’iyah dan spiritualitas khuluqiyah
merupakan entitas yang berbeda, tetapi tidak bisa difahami secara parsial, karena
bersifat holistik. Ketiganya bersifat hirarkis, artinya harus ada prioritas dalam
pendidikan keagamaan, mulai dari disiplin keimanan, keislaman dan keihsanan.
Dengan kata lain, bahwa antara iman, islam dan ihsan mempunyai korelasi dan
konsekwensi satu sama lain. Menurut para ahli tafsir, nilai spiritualitas tauhidiyah
merupakan fondasi dari spiritualitas syar’iyah. Sedangkan spiritualitas khuluqiyah
adalah konsekwensi yang dihasilkan dari sinergisitas dua aspek kecerdasan
spiritualitas sebelumnya, tauhidiyah dan syar’iyahNIM.: 04531734 Witriyatul Jauhariyah2023-05-09T01:48:29Z2023-05-09T01:48:29Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/58388This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/583882023-05-09T01:48:29ZHIKMAH MENURUT AL-QURTUBI DALAM TAFSIR AL-JAMI’ LI AHKAM AL-QUR’ANKandungan al-Qur’an mencakup berbagai aspek kehidupan umat manusia,
walaupun terkadang tidak disajikan secara mendetail dan sistematis layaknya
sebuah karya ilmiah.. Nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur’an bersifat
universal, sehingga ia selalu aktual dan kandungan maknanya tidak akan pernah
habis digali melalui tinta-tinta penelitian oleh para pemerhatinya
Diantara pesan-pesan al-Qur’an yang dipandang penting dan signifikan
untuk dibahas adalah lafal hikmah yang sering diartikan dengan sikap yang bijak
atau bijaksana. Lafal hikmah secara umum dipahami sebagai pengetahuan tentang
berbagai akibat yang timbul dari sebuah perbuatan. Hikmah diartikan juga dengan
kesaktian (kekuatan gaib) sebagaimana yang terdapat di dalam Kamus Besar
Indonesia. Namun bila dikaitkan dengan pengertian lafal hikmah yang tertuang
dalam al-Qur’ān, pengertian tersebut tidaklah tepat makna. Sebagaimana
penyampaian al-Qur’ān untuk mengajak umat manusia mengikuti prinsip-prinsip
ajaran yang benar dengan cara hikmah
Berangkat dari sinilah kemudian penulis tertarik untuk mengangkat tema
tentang “hikmah”. Adapun penulis memilih kitab al-Qurt}ubī adalah tafsir ini
meskipun cenderung bercorak fikih (yang muncul dari mazhab Maliki), al-Qurt}ubī
dalam menafsirkan al-Qur’an tidak membatasi diri pada ayat-ayat hukum saja,
akan tetapi bila dalam sebuah ayat tidak menyangkut persoalan hukum tertentu ia
tetap akan menguraikannya secara mendetail. Hal yang menarik dari tafsir ini
adalah ungkapan beliau ‘Syarat saya dalam kitab ini adalah menyandarkan semua
perkataan kepada orang-orang yang mengatakannya dan berbagai hadis kepada
pengarangnya, karena dikatakan bahwa diantara barokah ilmu adalah
menyandarkan perkataan kepada orang yang mengatakannya”.
Masalah pokok yang akan dijawab dalam skripsi ini adalah: Bagaimana
penafsiran lafal “hikmah” dalam kitab tafsīr al-Jāmi’ li Ah{kām al-Qur’ān, dan
Apa karakteristik penafsiran lafal “hikmah” menurut al-Qurt}ubī?.
Untuk menganalisa lafal “hikmah” dalam kitab tafsīr al-Jāmi’ li Ah{kām al-
Qur’ān ini, penulis menggunakan metode deskriptif-analisis, yaitu penyelidikan
yang menuturkan, menganalisis dan mengklasifikasi pemikiran al-Qurt}ubī dalam
karya tafsirnya. Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library
research).
Dalam menafsirkan al-Qur’ān, al-Qurt}ubī menggunakan metode Tah{līlī
dalam kitab tafsirnya. Untuk kasus ayat yang tidak bermuatan hukum, beliau
cenderung singkat dan tegas dalam menafsirkannya, khususnya pada lafal hikmah
yang penulis teliti. Al-Qurt}ubī dalam menafsirkan lafal hikmah memiliki
karakteristik yang unik, terutama dalam hal pengutipan pendapat ulama dengan
menyebut sumbernya sebagai alat untuk menjelaskan makna-makna yang
berkaitan dengan lafal hikmah. Banyaknya sumber yang diambil ketika
menafsirkan lafal hikmah, menjadikan hasil penelitian ini mudah dilakukan.
Akhirnya, dari penelitian ini, penulis dapat menyimpulkan bahwa hasil
penelitian terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan lafal hikmah dalam
kitab tafsīr al-Jāmi’ li Ah{kām al-Qur’ān, adalah meliputi makna al-Qur’ān,
Sunnah, Kenabian, Fikih, Ilmu, Hukum, Injil, Wara’, Takwa, Adil, Bijaksana,
Taat, Mengikat perkataan dan perbuatan, Kebenaran, dan yang terakhir adalah
Menjauhkan diri dari kebodohan.NIM.: 04531632 Hikhmatul Malikah2023-05-08T08:44:28Z2023-05-08T08:44:28Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/58387This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/583872023-05-08T08:44:28ZTAFSIR SUFI SYAIKH ABD Al-QADIR AL-JAILANI
DALAM KITAB AL-GUNYAH LI TALIBI TARIQI AL-HAQQ
AZZA WA JALLAdiakibatkan latarbelakang keilmuan sang mufassir. Hingga kini, dikenal berbagai
jenis corak tafsir: al-tafsi>r al-lughagwi (sastra bahasa) al-tafsi>r al-falsafi wa alkalami
(filsafat dan teologi) al-tafsi>r al-‘ilmi (penafsiran ilmiah) al-tafsi>r al-fiqhi
(fiqh), al-tafsi>r al-shu>fi (tasawuf) al-tafsi>r al-Ada>bi al-ijtima>’i (sosial
kemasyarakatan) hingga di era kontemporer dikenal tafsir bercorak gender. Tafsir
bercorak sufi merupakan salah satu corak tafsir yang memiliki kekhasan tersendiri.
Selain menggunakan pendekatan esoterik, perjalanan tafsir ini diwarnai pro-kontra
yang cendrung sengit, bahkan berujung pengkafiran.
Di antara tokoh tasawuf yang memiliki pengaruh besar dalam dunia
Islam adalah Syaikh Abd al-Qa>dir al-Jaila>ni>. Sayangnya khalayak masih
menganggapnya sebagai tokoh tasawuf semata, padahal jika ditelusuri lebih al- al-
Jaila>ni> memiliki penafsiran al-Qur’an yang termaktub dalam kitabnya al-Gunyah li
T}a>libi T}ari>qi al-H}aqq. Berdasarkan pertimbangan inilah penfsiran al-Jaila>ni> dalam
kitab Al-Gunyah dipilih menjadi objek penelitian. Penelitian ini berusaha
menjawab pertanyaan sebagai berikut: Bagaimana metode penafsiran al-Jaila>ni>
dalam kitab al-Gunyah ? Dan bagaimana karakteristik penafsirannya?
Jenis penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif. Kajian dalam
penelitian ini lebih bersifat deskriptif-analitis. Penelitian ini merupakan penelitian
kepustakaan dengan mengkaji sumber data utama salah satu bagian dari kitab al-
Gunyah yaitu bagian majelis tafsir dengan judul al-‘Itia>z|{u bi Mawa>idz{i al-Qur’a>n
wa al-Fa>az{u al-Nubuwiyah. Di mana sebelumnya dideskripsikan, data-data yang
berupa berbagai hal yang melingkupi al-Jaila>ni> hingga penafsiran al-Qur`an dalam
kitab al-Gunyah. Sedangkan untuk menganalisis data dilakukan melalui teknik
deduktif-induktif.
Hasil penelitian menunjukan metode penafsiran yang dipakai oleh al-
Jaila>ni> adalah tafsir maudhu>’i, di mana ia menentukan ayat ayat yang menjadi
pokok pembahasannya ta’awuz}, basmallah, taubat dan takwa kemudian
membahasnya dalam beberapa pasal-pasal. Sedangkan karakteristik dapat dilihat
dari beberapa hal yakni bentuk, corak, gaya bahasa, kecendrungan mazhab
penafsiran dan lain-lain. Bentuk penafsiran al-Jaila>ni> adalah tafsir bi al-Ma’tsu>r
dan tafsir bi al-Isyari. Hal tersebut tampak dari digunakanya riwayat-riwayat
sebagai rujukan sekaligus mengunggkap hakikat makna dari teks al-Qur’an yang
ditafsirkan dengan jalan riyadah amaliyah baik lahir maupun batin. Corak sufistik
dari penafsiran al-Jaila>ni> setidaknya dapat dilihat dari dua hal yakni: pemilihan
tema penafsiran dan isi dari penafsiran itu sendiri. Kekhasan penafsiran sufistiknya
terletak sebagaimana aliran tasawuf yang dipilih yakni tariqat suluq, oleh
karenanya penafsiran terdapat aspek praktik atau amaliyah dari tafsir ayat. Gaya
bahasa yang dipakai oleh al-Jaila>ni> di satu sisi menggunakan bahasa jelas dan
lugas namun di sisi lain al-Jaila>ni> juga menggunakan bahasa sastra. Kecendrungan
madzhab yang dipakainya adalah Ahl-Sunnah{ wa al-Jama’ah tampak dalam
sumber rujukan penafsiran sufinya yang mengunakan hadis-hadis yang popular di
madzhab tersebut.NIM.: 04531604 Muhammad. Awaludin2023-05-08T08:34:24Z2023-05-08T08:34:24Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/58386This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/583862023-05-08T08:34:24ZPENAFSIRAN KHATAM AL-NABIYYIN MENURUT AHMADIYAH QADIAN (STUDI TERHADAP AL-TAFSIR AL-SAGIR KARYA MIRZA BASYIRUDDIN MAHMUD AHMAD)Kemunculan berbagai perbedaan dalam menafsirkan al-Qur’an khususnya di
kalangan organisasi-organisasi serta yayasan-yayasan keagamaan pada dasarnya merupakan
suatu yang realistis, karena hal tersebut tidak dapat dihindari apalagi sebuah penafsiran
jelas-jelas dipengaruhi oleh karakteristik perubahan sosial-budaya masyarakat. Ahmadiyah
merupakan salah satu organisasi keagamaan yang besar, perjuangan serta karyanya sudah
banyak dinikmati segenap masyarakat. Ahmadiyah Qadian muncul dan mulai berkembang
di atas pijakan utama dengan menentang kaidah umum yang menyatakan bahwa
sesungguhnya Nabi Muhammad SAW adalah nabi penutup dari para nabi dan rasul. Kaidah
ini telah menjadi suatu hal yang sifatnya mendasar, atau satu di antara sekian banyak hal
yang diterima (oleh akal) pada masa kerasulan. Akan tetapi, persepsi terhadap segala
sesuatu akan berubah ketika waktu dan sesuatu itu saling berjauhan. Oleh karena itu,
sesuatu yang tadinya merupakan sebuah ketetapan pada masanya, akhirnya berubah
menjadi sesuatu yang dapat diperdebatkan pada masa-masa yang lain, atau setidaknya
sesuatu yang pasti itu dapat diteliti kembali.
Pada penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian kepustakaan (Library
Research), yaitu dengan menelaah semua sumber data, baik sumber data primer maupun
sumber data sekunder. Metode yang digunakan adalah metode tematik (Mawdhū’iy).
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, ditemukan beberapa hal yang
berkaitan dengan masalah yang diteliti, yaitu: Pertama, ayat yang digunakan Mirza
Basyiruddin dalam penafsirannya tentang khātam al-nabiyyīn adalah surat al-Ahzab (33)
ayat 41 (memakai al-Qur’an dan terjemahannya serta tafsir singkat karya Malik Ghulam
Farid yang biasa digunakan dalam jama’ah Ahmadiyah Qadian). Mirza Basyiruddin
memaknai kata khātam al-nabiyyīn berarti materai para nabi; yang terbaik dan paling
sempurna dari antara nabi-nabi; hiasan dan perhiasan nabi-nabi. Arti kedua ialah nabi
terakhir. Ahmadiyah meyakini seyakin-yakinnya bahwa Yang Mulia Nabi Muhammad
Rasulullah adalah khātam al-nabiyyīn. Namun dalam pemahamannya Ahmadiyah lebih
memilih pemahaman Siti Aisyah r.a, istri suci Yang Mulia Rasulullah saw, yang
menjelaskan bahwa Nabi Muhammad adalah khātam al-nabiyyīn namun bukan berarti pintu
kenabian dalam bentuk dan jenis apa pun sudah tertutup setelah kewafatan beliau. Kedua,
adanya perbedaan konsep wahyu dan kenabian antara Mirza Basyiruddin dengan yang
dipahami umat Islam pada umumnya. Menurut Mirza Basyiruddin, pintu wahyu masih tetap
terbuka dan selama dosa-dosa dan kejahatan-kejahatan tetap ada dan tetap merusak akhlak
dan ruhani manusia, maka Allah SWT perlu pula mengutus dokter-dokter (nabi-nabi) untuk
mengobati penyakit-penyakit itu. Ketiga, implikasi konsep khātam al-nabiyyīn dalam
kenabian yaitu bahwa kenabian atau kerasulan Mirza Ghulam Ahmad a.s itu adalah
kenabian ghairu tasyri’i (kenabian tanpa syari’at) dan ghairu mustaqil (tidak berdiri
sendiri), tapi terkait kepada Nabi Muhammad SAW.NIM.: 04531571 Siti Nurbaya2022-05-31T07:51:13Z2022-05-31T07:51:13Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/51155This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/511552022-05-31T07:51:13ZHADIS-HADIS TENTANG MEMELIHARA JENGGOT
(Studi Ma’ani al-Hadis)Pemaknaan suatu hadits selalu tidak lepas dengan sanad dan matan yang
didukung dengan faktor-faktor yang berkaitan dengannya. Oleh karena itu perlu adanya
penelitian yang mendalam agar mendapat makna dan tujuan yang terkandung di
dalamnya. Dan juga agar mendapatkan pemahaman yang tepat serta dapat
menghubungkan permasalahan-permasalahan yang terjadi pada zaman sekarang. Seperti
dalam kehidupan saat ini fenomena yang marak sekali di kalangan umat Islam, seperti
halnya fenomena bank syari’ah,muslimah berjilbab dan yang tidak kalah lagi yaitu bagi
kaum laki-laki berjenggot. Dalam skrisi ini akan dibahas tentang bagaimana memahami
hadits tentang memelihara jenggot. Pemeliharaan jenggot ini banyak menjadi perhatian
dan kajian masyarakat dan banyak dipraktekkan oleh masyarakat muslim dan menjadi
suatu hal yang kontroversi sebagaimana pendapat yang berkembang dalam menanggapi
“jenggotisasi” tersebut. Pada masa Nabi Muhammad SAW, memelihara jenggot
dianjurkan. Salah satu alasannya adalah itu bisa membedakan umat muslim dengan umat
lainnya. Tapi anjuran itu seharusnya dilihat dari konteks tempat dan zamannya. Jenggot
memang hanya sekedar jenggot, tetapi di dalam Islam, memelihara jenggot adalah salah
satu cara menunjukkan kecintaan dan ketaqwaan dengan mengikuti sunnah Rasulullah
bukan pula sebagai identitas Islam yang sedang marak di kalangan masyarakat saat ini.
Kemudian di sini dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang akan di bahas dalam
penelitian ini. Yakni: Pertama, bagaimana pemaknaan hadits-hadits Nabi tentang perihal
memelihara jenggot? Kedua, bagaimana kontekstualisasi hadits-hadits tentang
memelihara jenggot tersebut dengan realitas saat ini, apabila dipahami dengan metode
ma’anil hadits? Sebagaimana rumusan masalah tersebut, diharapkan dapat memperoleh
pemaknaan yang tepat terhadap hadits.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode yang ditawarkan oleh
Musahadi Ham untuk menjawab rumusan di atas. Adapun langkah-langkahnya yaitu:
Pertama, menggunakan kritik historis yang dilakukan dalam tiga tahap yaitu tahap takhrij
hadits, i’tibar sanad dan meneliti sanad. Kedua, kritik eiditis yang dilakukan dalam tiga
tahap yaitu analisis isi dilakukan melalui kajian kebahasaan/linguistik, kajian tematik
komprehensif dan kajian konfirmasi dengan dalil al-Qur’an, analisis realitas historis
(asbab al-wurud dan fungsi Nabi), selanjutnya analisis generalisasi/penyimpulan. Ketiga,
kritik praksis ini dilakukan dari proses generalisasi kemudian diproyeksikan ke dalam
realitas kehidupan kekinian. Keempat, melakukan kontekstualisasi. Kemudian data yang
telah ditemukan selanjutnya di analisis sesuai dengan indikasi-indikasi yang
melingkupinya.
Adapun hasil dari kajian ini adalah: Pertama, memelihara jenggot merupakan
anjuran dengan alasan untuk membedakan antara orang muslim dan non muslim. Akan
tetapi hal itu harus dilihat dari tempat dan zamannya. Kedua, memelihara jenggot
merupakan sunnah ghairu tasyri’iyyah karena merupakan hal yang tersebut
menggambarkan pada Raulullah SAW sebagai manusia biasa.NIM.: 07530018 Barokatul Fitriyah2013-02-11T10:14:22Z2013-02-11T10:16:25Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/5201This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/52012013-02-11T10:14:22ZHADIS TENTANG PERLINDUNGAN ANAK KECIL DI AWAL MALAM (Telaah Ma’ani al-Hadis)Dalam Islam, anak adalah amanat yang dititipkan Allah kepada makhluk-Nya. Kecintaan yang besar dalam diri orang tua terhadap anak mereka melebihi yang lain, merupakan salah satu bekal yang ditanamkan, sebagai fitrah, agar orang tua sanggup untuk mengemban tugas tersebut sebaik mungkin. Nabi Muhammad saw. adalah salah satu sosok orang tua yang amat tampak kepedulian dan kecintaannya kepada anak-anak. Kalau membaca hadis-hadis yang berkaitan dengan anak, tampak di sana, pancaran kasih dan sayangnya yang besar itu tercermin. Seperti kala Nabi menegur salah satu sahabatnya yang mengambil kasar anaknya dari gendongan Nabi yang tahu-tahu kencing, mempercepat shalatnya ketika mendengar tangisan anak kecil, atau memperlama sujudnya ketika salah satu cucunya menaiki punggungnya saat shalat.
Berangkat dari hadis-hadis tersebut itu, skripsi ma'ani al-hadis bertemakan anak ini penulis bahas. Secara garis besar, hadis tersebut menerangkan bahwa apabila telah datang awal malam maka anak kecil dicegah ke luar sampai waktu isya' menjelang, atau sampai awal kegelapan itu berlalu. Sebab pada waktu-waktu tersebut itu, banyak setan berkeliaran. Nah karena alasannya setan itulah, maka sering kali hadis ini dimaknai sebagai pemberitaan gaib semata. Sementara pesan moral yang dikandungnya akhirnya tak tersentuh. Akibatnya, hadis tersebut terkesan tak mendatangkan suatu manfaat bagi kehidupan umat Islam. Kecuali menimbulkan ketakutan pada kegelapan, khususnya bagi anak-anak. Bahkan menakut-nakuti anak dengan setan, oleh sebagian orang tua, dijadikan sebagai metode mendidik, yang untuk saat ini, sudah dinilai tidak baik bagi perkembangan dan pertumbuhan anak. Setelah mengkaji hadis tersebut melalui proses pemahaman hadis tawaran Musahadi HAM., yakni melalui kajian kebahasaan, realitas historis dan kajian praksis dengan terlebih dahulu menentukan bahwa hadis yang dikaji itu sahih atau paling tidak hasan, maka setelah melewati itu semua, didapatkan suatu kesimpulan bahwa, pesan moral dari hadis tersebut adalah bukan menitik beratkan pada pemberitaan hal gaib, dunia jin, melainkan tentang penjagaan dan perlindungan terhadap harta dan jiwa dalam keluarga. Termasuk keselamatan fisik dan jiwa anak. Juga anjuran untuk menciptakan suasana religius di malam hari. Selanjutnya, apabila hadis tersebut dikontekstualisasikan pada realitas kekinian, yakni pada masyarakat modern Indonesia saat ini, maka perlindungan itu harus disesuaikan pada tiga aspek situasi: keamanan, kesehatan (fisik dan psikis) dan pendidikan anak. Ketiganya harus menyertai anak ketika berada di luar dan di dalam rumah. Untuk keamanan, maka yang perlu diperhatikan adalah bahaya seperti dari binatang dan penculikan. Untuk kesehatan, seperti dari kuman, virus, bakteri dan pertimbangan temperatur suhu iklim tropis Indonesia. Sementara untuk pendidikannya, dengan cara menghiasi malam dengan suasana religius, seperti mengajarkan anak tentang agama sesuai kemampuannya, atau mengisi waktu dengan kegiatan keagamaan, seperti mengaji, dan lain-lain. Tentu hal itu harus diiringi dengan metode pendidikan yang baik dan benar. M. HAJIR MUTAWAKKIL - NIM. 04531602 2013-02-11T14:33:37Z2013-02-11T14:35:24Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/5215This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/52152013-02-11T14:33:37ZDAKWAH DIALOGIS NABI IBRAHIM DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’ANDakwah merupakan sesuatu yang sangat esensial dalam ajaran Islam. Hal ini mengingat ajaran Islam disebarluaskan dan diperkenalkan kepada umat manusia melalui aktifitas dakwah. Seorang di antara yang melakukan hal ini adalah Nabi Ibrahim. Di dalam aktifitas dakwahnya Ibrahim selalu mendahulukan cara dialog ketimbang cara kekerasan. Hal ini di antaranya bisa dilihat pada al-Quran QS. al-Syu'ara:70-102. Surat ini merekam dengan baik dialog antara Nabi Ibrahim dan ayah, plus kaumnya. Sekalipun sang ayah tetap pada keyakinannya semula, Ibrahim tak memaksakan kehendak bahkan mendoakan keselamatan ayahandanya di akhirat kelak. Begitu juga, ketika Nabi Ibrahim diperintahkan untuk mengorbankan anaknya, ia berdialog dengan sang anak. Ia meminta pendapat sang anak sekiranya penyembelihan atas dirinya positif diselenggarakan. Apa yang telah ditunjukkan Ibrahim di atas, menurut hemat penulis sangat menarik untuk dikaji. Karena, dakwah dialogis Ibrahim ini merupakan salah satu dakwah yang paling sukses, dan juga kemudian diikuti oleh para nabi sesudahnya, seperti Nabi Muhammad.
Namun, untuk memperspesifikkan kajian ini penulis akan memfokuskan pada dua rumusan masalah, yaitu: 1) Bagaimanakah bentuk dan metode dakwah dialogis Nabi Ibrahim yang terdapat dalam al-Qur'an?; 2) Bagaimanakah relevansi metode dakwah Ibrahim tersebut dengan konteks kekinian, terutama di Indonesia?. Untuk menjawab kedua pertanyaan tersebut, penelitian ini sepenuhnya memanfaatkan kepustakaan (library research) dengan menggunakan metode tematik, yakni dengan mengumpulkan ayat-ayat al-Qur'an yang berkaitan dengan kisah dakwah Ibrahim dan menganalisisnya. Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan historis-sosiologis. Pendekatan historis dimaksudkan untuk mengemukakan asal usul, objek yang diteliti, perkembangan, fungsi, pengaruh dan hubungannya dengan kondisi sekitar. Sedangkan pendekatan sosiologis digunakan untuk mengetahui kondisi sosio-kultur Ibrahim dan masyarakatnya.
Kemudian, dari proses penelitian ini diketemukan jawaban bahwa di dalam berdakwah Ibrahim secara konsisten selalu mendahulukan cara dialog ketimbang cara kekerasan. Setidaknya terdapat empat bentuk atau macam dakwah dialogis yang biasa dilakukan Ibrahim, yaitu pertama, dialog perihal teologis; kedua, dialog perihal kosmologis; ketiga, dialog perihal sosial; dan keempat, dialog perihal eskatologis. Sebagai upaya mensukseskan misi dakwah dialogisnya ini, Ibrahim senantiasa menyampaikannya dengan cara penuh komunikatif dan disertai dengan alasan yang argumentatif. Bahasa tutur yang lemah lembut disertai dengan alasan rasional yang sulit dibantah adalah ciri khasnya. Karena kehebatan cara berdakwahnya itulah kemudian Ibrahim harus menerima konsekuensi berupa di usirnya ia dari tanah kelahirannya. Dan metode dialogis Ibrahim ini masih cukup relevan di masa sekarang. Menguatnya cara-cara kekerasan dalam berdakwah dari beberapa Ormas Islam, yang pada akhirnya hanya memperburuk citra Islam, adalah bukti bahwa cara-cara dialog, sebagaimana yang dilakukan Ibrahim, dalam menyampaikan ajaran Islam begitu sangat diperlukan. MIFTAKHUL HUDA - NIM. 05530050 2013-02-14T10:46:42Z2013-02-14T10:48:09Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/5206This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/52062013-02-14T10:46:42ZISTIQAMAH DALAM AL-QUR’AN DAN PENGARUHNYA TERHADAP KESEHATAN
MENTALPenelitian ini berjudul istiqamah dalam Al-Qur'an dan pengaruhnya terhadap kesehatan mental. Istiqamah termasuk di antara sekian banyak akhlak utama dan mulia yang mendapat perhatian di dalam al-Qur'an, penyebutan kata istiqamah terulang sebanyak 9 kali yang tersebar di 8 surat. Ini menunjukkan pentingnya istiqamah agar diaplikasikan didalam kehidupan sehari-hari karena Allah SWT menjanjikan surga bagi yang berhasil melaksanakannya.
Penelitian ini berusaha menampilkan penafsiran istiqamah dan pengaruhnya terhadap kesehatan mental atau dengan kata lain untuk mengetahui konsep istiqamah yang baik dan benar sebagai usaha atau jalan menuju mental yang sehat. Penelitian ini merupakan kajian kepustakaan yang bersifat deskriptifanalisis yang proses kerjanya meliputi penyusunan data dan penafsiran data atau menguraikan secara sistematis mengenai sebuah konsep atau antar konsep, dan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan psikologi islami.Istiqamah merupakan sebuah petunjuk setelah beriman. Istiqamah ini mempunyai beberapa arti yakni: teguh pendirian, tegak lurus, taat, patuh, ikhlas beramal dan melaksanakan kewajiban. Secara istilah istiqamah dapat berarti suatu sikap yang menetapi jalan yang lurus yang tidak menyimpang ke kanan dan ke kiri, menetapi sikap yang pertengahan yang tidak kurang atau lebih baik dari segi aqidah, akhlak, amal, dan muamalah. Kesehatan mental adalah terjemahan dari mental hygiene, istilah mental hygiene berasal dari kata mental dan hygeia. Hygeia adalah nama dewi kesehatan Yunani, dan hygiene ilmu kesehatan. Sedangkan mental (dari kata latin mens, mentis) yang berarti jiwa, nyawa, roh, dan semangat. Menurut istilah kesehatan mental adalah terwujudnya keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi kejiwaan dan terciptanya penyusuaian diri antara manusia dengan dirinya dan lingkungannya berlandaskan keimanan dan ketaqwaan serta bertujuan untuk mencapai hidup yang bermakna dan bahagia didunia dan akhirat.
Dalam kajian ini penulis memaparkan bagaimana implikasi istiqamah dalam kehidupan manusia serta pengaruhnya terhadap kesehatan mental. Istiqamah menjadikan seseorang memiliki pendirian yang teguh, baik dalam agama maupun dalam hal lainnya. Setiap orang yang memiliki sikap istiqamah akan selalu berbuat kebaikan tanpa rasa ragu dan bimbang. Istiqamah adalah pengendali bagi orang yang beriman agar melaksanakan aturan atau perintah di mana saja dia berada. Sedangkan pengaruhnya istiqamah bagi kesehatan mental yaitu bahwa sikap istiqamah merupakan salah satu karakteristik (kriteria) mental yang sehat, sehingga orang istiqamah merupakan orang yang sehat mentalnya. MAISAROH - NIM. 05530044 2013-02-14T14:53:59Z2021-11-05T09:31:08Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/5792This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/57922013-02-14T14:53:59ZKATA AL SYAJAR DALAM AL QUR'AN STUDI PENAFSIRAN AL TABARI DALAM KITAB AL JAMI' AL BAYAN 'AN TAWIL AY AL QUR'ANal-Qur'an adalah kitab suci umat Islam yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW dengan perantara malaikat Jibril. al-Qur'an memiliki berbagai fungsi, di antaranya adalah sebagai mauizah, syifa' al-Qalb, hudan, rahman, dan furqan. yang sangat berguna bagi manusia sebagai makhluk-Nya.
Dalam memahami pesan atau kandungan al-Qur'an dibutuhkan ilmu yang mengarah kepada pemahaman terhadap al-Qur'an sendiri. Adapun orang yang mencoba memahami akan kandungan makna al-Qur'an, kita menyebutnya dengan mufasir dan hasil pemahaman itu dapat tertuangkan dalam sebuah karya tulis yang disebut dengan tafsir. Adapun salah satu kitab tafsir yang ada adalah al-Jami' al-Bayan 'an Tawil Ay al-Qur'an karya al-Tabari yang mana kitab tafsir tersebut menggunakan metode tahlili yang memuat sumber bi al-ma'sur dan bi al-ra'yu.
Allah menciptakan berbagai jenis makhluk yang ada di bumi, di antara salah satu ciptaan-Nya adalah pohon. Pohon merupakan salah satu dari jenis tanaman yang banyak macamnya. Ada yang berukuran kecil dan ada yang berukuran besar, ada yang berbuah dan ada yang tidak berbuah. Ada yang bercabang dan ada yang tidak bercabang. Dalam bahasa Arab pohon diartikan dengan al-syajar. Yang mana memiliki pengertian yang berbeda-beda secara maknanya, dalam hal ini, penulis mengkaji maknanya secara hakiki yaitu sebagai sesuatu yang tumbuh dan berkembang yang mempunyai batang yang bercabang dan secara majazi yaitu memahami makna al-syajar yang diartikan bukan sebagai pohon yang berkayu tetapi bisa sebagai perumpamaan.
Untuk menganalisa kata al-syajar dalam tafsir al-Tabari ini, penulis menggunakan metode deskrptif-analisis, yaitu penyelidikan yang menuturkan, menganalisis dan mengklasifikasi pemikiran al-Tabari dalam karya tafsirnya.
Adapun langkah yang diambil penulis adalah: pertama, menjelaskan gambaran tentang pohon secara umum dan yang terdapat dalam al-Qur'an, mengumpulkan kata al-syajar (pohon) dengan berbagai padanannya yang terdapat dalam 26 ayat, menjelaskan biografi dan karya al-Tabari. Kedua, menganalisis kata syajara dan derivasinya menurut penafsiran al-Tabari dalam Jami' al-Bayan 'an Tawil Ay al-Qur'an dan mencari makna kata pohon tersebut menurut versi al-Tabari.
Akhirnya, dari penelitian ini, penulis dapat menyimpulkan bahwa kata al-syajar (pohon) dalam kitab al-Tabari berarti pohon yang bentuknya tegak dan berdiri di atas bumi atau tanah sehingga berkembang. Sementara korelasi antara al-syajar dengan al-nabat, memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah bahwa keduanya sama-sama tumbuh di atas bumi dan sama-sama pula dapat menghasilkan buah dan dedaunan. Sedangkan perbedaannya adalah kalau kata al-syajar lebih khusus daripada kata al-nabat, karena kata al-nabat memiliki cangkupan makna yang umum dan luas, sedangkan kata al-syajar memiliki kekhususan sehingga menyebut salah satu jenis pohon, maka pohon itulah yang dimaksud. ALI MUKTI - NIM. 045315932013-02-15T11:44:37Z2013-02-15T11:46:12Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/5208This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/52082013-02-15T11:44:37ZKONSEP KEPEMIMPINAN PEREMPUAN (Studi Komparasi atas Penafsiran Nasaruddin Umar dan KH. Husein Muhammad)Tidak bisa disangkal, doktrin agama seringkali dijadikan untuk membenarkan tindakan tidak adil, sesuatu yang baku dan tidak bisa ditafsirkan, sehingga posisi marginal perempuan dalam agama dianggap takdir yang tidak dapat diubah. Selain agama, budaya juga mempengaruhi terbentuknya struktur dan sosial politik yang timpang di masyarakat, yang kemudian berdampak pada perempuan dianggap incapable dalam memimpin. Disinilah peran proaktif Nasaruddin Umar dan KH. Husein Muhammad sebagai seorang ilmuwan tafsir dan aktifis pemberdayaan perempuan yang berusaha merekonstruksi wacana kepemimpinan perempuan dari akarnya dalam perspektif gender dan menawarkan alternatif penafsiran serta pemahaman yang kontekstual terhadap teks yang bias gender dalam kasus kepemimpinan perempuan Oleh karena itu, penulis berusaha menemukan bagaimana metode penafsiran, pemahaman, dan konsep yang Nasaruddin Umar dan KH. Husein Muhammad terhadap kasus kepemimpinan perempuan, serta apa relevansi dan kontribusi penafsiran mereka.
Penelitian ini dilakukan dengan metode deskriptif-analitis yaitu dengan mendeskripsikan dan menganalisis pembacaan kedua tokoh terhadap kepemimpinan perempuan, setelah itu kemudian di komparasikan. Dengan pendekatan historis-sosiologis, yaitu dengan menelusuri sejarah pertumbuhan dan pola pemikiran serta konteks sosial-budaya yang mempengaruhinya. Adapun jenis penelitian ini adalah penelitian perpustakaan, dengan menekankan pada bukunya Nasaruddin Umar yaitu Argumen Kesetaraan Jender; Perspektif al-Qur'an, dan buku KH. Husein Muhammad yaitu Fiqih Perempuan; Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender.
Nasaruddin Umar melihat bahwa setiap kata dalam al-Qur'an tidak hanya mempunyai makna literal. Dengan pendekatan hermeneutika, semantik, dan ilmu-ilmu sosial, ia mendapati ketika pengungkapan laki-laki dan perempuan dari segi biologis maka al-Qur'an menggunakan al-zakr dan al-unsa. Sementara dari segi beban sosial seringkali menggunakan istilah al-rajul/al-rijal dan al-mar'ah alnisa'. Perbedaan-perbedaan laki-laki dan perempuan tidaklah menjadi justification dan menolak kepemimpinan perempuan. Maka bisa saja seseorang yang secara biologis dikategorikan sebagai perempuan, tetapi dari sudut gender dapar berperan sebagai laki-laki atau sebagai perempuan. Dengan kapasitas intelektual yang dimiliki, suatu keniscayaan bagi perempuan menjadi pemimpin. Dengan demikian konsep dan manifestasi dari relasi gender lebih dinamis.
Sedangkan KH. Husein Muhammad dengan pendekatan kontekstual substansial dan bercorak fiqih, ia menilai bahwa surat an-nisa' : 34 tesebut suatu yang menunjukkan yang partikular, dan dilihat aspek kausalitasnya, dalam artian harus dipahami dengan kontekstual dan sosiologis. Dengan demikian maka terbuka kemungkinan bagi terjadinya proses perubahan, hal ini di dukung oleh keadaan, dimana potensi intelektual dan didukung oleh potensi moral serta spiritual dapat dimiliki oleh setiap individu tanpa melihat jenis kelamin. Hal ini berdampak pada peluang besar dan kebolehannya perempuan menjadi pemimpin dalam berbagai sektor. Sehingga al-Qur'an yang menjadi rujukan Islam tetap salih li kulli zaman wa al-makan. ZULFIKRI - NIM. 06530006 2013-02-15T11:47:00Z2013-02-15T11:48:44Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/5787This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/57872013-02-15T11:47:00ZKONSEP PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP (Studi Komparatif Penafsiran Ibnu Kasir dan Bisyri Mustafa)Krisis lingkungan global yang kita alami dewasa ini sebenarnya bersumber pada kesalahan mendasar dalam pemahaman atau cara pandang manusia tentang dirinya, alam, dan tempat manusia dalam keseluruhan ekosistem. Paham antroposentrisme memandang bahwa manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta, menganggap diri dan kepentingannya paling menentukan dalam tatanan ekosistem, alam dan lingkungan dianggap obyek untuk dieksploitasi semaksimal mungkin demi kepentingan manusia tanpa perlu memikirkan dampak dan akibatnya. Pada gilirannya hal ini menyebabkan kesalahan pola perilaku manusia yang bersumber dari kesalahan cara pandang tersebut. Manusia keliru memandang alam dan keliru menempatkan diri dalam konteks alam seluruhnya. Inilah awal dari semua bencana lingkungan hidup yang kita alami sekarang ini.
Penelitian ini bersifat deskriptif-komparatif, menggali penafsiran Ibnu Kasir dan Bisyri Mustafa dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an yang bekaitan tentang konsep pelestarian lingkungan hidup dalam kitab Mukhtasar Tafsir Ibnu Kasir dan al-Ibriz li ma'rifati tafsir al-Qur'an al-'Aziz kemudian memaparkan dan memperbandingkan. Pendekatan yang dipakai normatif historis, dengan menganalisa penafsiran keduanya terhadap ayat dan menggali latar belakang penyusunannya.
Secara substansial penafsiran Ibnu Kasir dan Bisyri Mustafa tidak jauh berbeda signifikansi isinya dalam menafsirkan ayat-ayat yang penulis anggap representatif mewakili akan menjawab konsep pelestarian lingkungan hidup yang relevan menjawab problem dasar kerusakan lingkungan tersebut. Telah terkategorisasi dalam (a) eksistensi alam dan makhluk hidup yang terdiri dari; penciptaan dan kepemilikan alam surat 25:2, 10:34, dan13:2-4, sama-sama sebagai makhluk Tuhan surat 6:38, dan 17:44, anugerah alam surat 15:19-22, 50:7-11, 7:10, dan 55:10, dan air dan hujan surat 6:99, (b) realitas manusia yang merusak alam karena perbuatan dan hawa nafsunya surat 30:41 dan23:71, dan (c) tanggung jawab manusia terhadap lingkungan baik itu sebagai khalifah beserta tugasnya surat 2:30, 6:16, dan 27:62, dan anjuran melestarikan lingkungan dengan berbagai larangan untuk merusaknya surat 2:11-12, 28:77, 7:56, 26:151-152, dan 11:116-117 Secara metodologis, penafsiran kedua mufasir, yakni Ibnu Kasir dan Bisyri Mustafa ada perbedaan dan persamaan dalam munyusun dan menguraikan makna ayat al-Qur'an dikarenakan latar belakang yang berbeda.
Dalam metodologi penafsiran Ibnu Kasir dan Bisyri Mustafa dalam menafsirkan menggunakan sistematika musha fi. Sedangkan untuk metode dan corak penafsiran Ibnu Kasir lebih condong pada metode tahlili bercorak bil ma'sur terkadang ada kandungan semi maudlu'i karena dalam penafsirannya disisipi ayat-ayat yang membahas tema yang sama dalam menjelaskannya. Bisyri Mustafa lebih cenderung pada metode ijmali yang bercorak bil ma'sur. Bisa dikatakan kitab tafsir Ibnu Kasir cakupannya lebih luas dan tajam analisanya dengan dikuatkan dari sisi historis berupa hadis, asar, israiliyyat, dan berbagai pendapat ulama karena keilmuan Ibnu Kasir amat luas dalam berbagai keilmuan agama. Sedangkan Bisyri Mustafa dalam Ibriz-nya penjelasannya begitu ringan dan jelas agar supaya mudah dicerna hingga oleh orang awam sekalipun terutama masyarakat Jawa, jadi sangat wajar bahasa yang dipergunakan adalah bahasa Jawa.
Penafsiran Ibnu Kasir dan Bisyri Mustafa terhadap ayat-ayat yang berkaitan dengan pelestarian hidup ini mendukung sebuah usaha yang dilakukan bersama untuk selalu melestarikan keserasian dan keharmonisan kehidupan manusia dengan lingkungan sekitarnya, khususnya pernyataan bahwa alam semesta adalah ciptaan dan milik Allah yang diperuntukkan bagi manusia demi keberlangsungan hidupnya. Manusia memiliki potensi yang sangat besar untuk melakukan kerusakan terhadap lingkungan sekitarnya, akan tetapi hal tersebut dapat diantisipasi dengan menyadarkan posisi dan tugas utama mereka, yakni sebagai sesama makhluk Allah dan sekaligus khalifah-Nya. Ada amanah untuk mengatur keharmonisan, keserasian, keberlangsungan hidup dan keberadaan makhluk Tuhan lainnya di alam semesta ini yang pada hakikatnya bermanfaat bagi manusia itu sendiri. ABD. WAKHID MU'IZUDIN - NIM. 035314422013-02-18T10:13:02Z2013-02-18T10:14:48Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/5791This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/57912013-02-18T10:13:02ZMAKNA AL-DIN DALAM AL-QUR’AN (Studi Tematik Atas Tafsir Ibn Katsir)Berbicara masalah agama berarti berbicara tentang masa lalu, sekarang, dan akan datang. Atau dengan kata lain, agama merupakan salah sau faktor penentu sejarah peradaban manusia. Isu tentang agama akan terus dan selalu hangat untuk dibicarakan, mengingat manusia tidak bisa dipisahkan dari agama. Henri Bergson mengatakan quot;there has never been a society without religion quot; (tidak ada masyarakat tanpa agama). Hal ini diperjelas lagi oleh Raymond Firth yang menyatakan bahwa quot;Religion is universal in human societies quot;, agama adalah universal dalam masyarakat manusia.
Berangkat dari sinilah kemudian penulis tertarik untuk mengangkat tema al-din (agama) dalam al-Qur'an. Hal ini karena ayat al-Qur'an cukup intens berbicara tentang agama dan pengertian agama sendiri juga tidak mudah untuk dipahami. Oleh karena itu, untuk memahaminya perlu merujuk pada penafsiran para ulama yang berkompeten di bidangnya. Dalam hal ini kitab tafsir Ibnu Kasir penulis jadikan sebagai objek penelitian. Alasan penulis mengangkat penafsiran Ibnu Kasir tentang al-din (agama) adalah sebagai berikut; beliau adalah seorang Mufassir yang berkompeten dalam ilmu Tafsir, Ibnu Kasir sangat kental dengan tradisi salaf yang cenderung berkampanye terhadap kaum muslimin untuk kembali pada al-Qur'an dan Hadis sebagaimana yang dilakukan oleh generasi Sahabat. Selain itu Kitab Tafsir Ibnu Kasir sudah merakyat, beredar ke semua kalangan umat Islam dengan berbagai macam latar belakang organisasi.
Masalah pokok yang dijawab dalam skripsi ini adalah: Apa makna al-din, bagaimana metode dan corak penafsiran Ibnu Kasir, bagaimana hasil penafsiran Ibnu Kasir tentang al-din, serta bagaimana relevansi penafsiran Ibnu Kasir terhadap permasalahan kekinian? Untuk menjawab rumusan masalah tersebut, penulis menggunakan metode tematik dan pendekatan deskriptif analitis.
Setelah melakukan penelitian, penulis sampai pada kesimpulan bahwa Kitab tafsir Ibn Kasir merupakan salah satu kitab tafsir dengan corak dan orientasi tafsir bi al-ma'sur atau tafsir bi al-riwayah yang menggunakan metode tahlili. Dalam kitab ini dijelaskan bahwa pada dasarnya kata al-din memiliki berbagai macam makna. Ibn Kasir menyebutkan bahwa kata al-din tidak hanya bermakna agama, tetapi juga bermakana Hari pembalasan, hari kiamat, ketaatan, berbuat baik, agama, syari'at atau jalan yang ditempuh, kebenaran, Islam, berpegang teguh, tauhid, segala perbuatan baik dan bermanfaat bagi dunia dan akhirat, segala sesuatu yang diturukan oleh Allah, hal, ketulusan dan keikhlasan, hukuman, segala bentuk ibadah yang dilakukan pada Allah, kebiasaan, pengaturan, perhitungan, kesalehan, millah, istiqamah dan keadilan. Pemaknaan yang komprehensif ini kiranya masih layak untuk dijadikan rujukan pada saat ini, hanya saja membutuhkan usaha analisis yang lebih mendalam lagi. AHMAD NURHAMID - NIM. 035314152013-02-19T12:39:02Z2013-02-19T12:40:31Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/5211This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/52112013-02-19T12:39:02ZMELACAK PENGARUH PEMIKIRAN FAZLUR RAHMAN TERHADAP METODOLOGI PENAFSIRAN AL-QUR'AN YANG DIGAGAS ABDULLAH SAEEDPemikiran Fazlur Rahman telah memberikan pengaruh besar terhadap pemikiran-pemikiran sesudahnya, terutama dalam kajian metodologi tafsir al-Qur'an. Salah satu pemikiran yang sangat terpengaruh oleh ide-ide yang digagas Fazlur Rahman adalah pemikiran Abdullah Saeed, terutama metode tafsir yang ditawarkannya dalam berbagai karyanya. Persoalan pokok yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah: pertama,bagaimana metodologi penafsiran al-Qur'an Fazlur Rahman dan Abdullah Saeed ? dan kedua, bagaimana bentuk pengaruh metodologi penafsiran al-Qur'an Fazlur Rahman terhadap metodologi penafsiran al-Qur'an yang digagas oleh Abdullah Saeed?.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui metodologi penafsiran al-Qur'an Fazlur Rahman dan metodologi penafsiran al-Quran Abdullah Saeed dan untuk mengetahui atau mengidentifikasi bentuk keterpengaruhan Abdullah Saeed atas metodologi penafsiran Fazlur Rahman serta untuk mengetahui, meskipun Abdullah Saeed terpengaruh oleh Fazlur Rahman bukan berarti secara keseluruhan ia menjiplak pemikiran Fazlur Rahman, apa yang dikembangkan dan disempurnakan oleh Abdullah Saeed dari ide-ide yang ditawarkan oleh Fazlur Rahman.
Objek material penelitian ini adalah pemikiran metodologi penafsiran al-Qur'an Fazlur Rahman dan Abdullah Saeed, sedangkan objek formalnya adalah bentuk keterpengaruhan metodologi penafsiran al-Qur'an Abdullah Saeed oleh metodologi penafsiran al-Qur'an Fazlur Rahman. Metode utama yang digunakan adalah korelasi. Data-datanya diambil dari kepustakaan. Kerangka teori yang digunakan adalah teori-teori pokok hermeneutika Gadamer, yaitu: (1) Teori Kesadaran Keterpengaruhan oleh Sejarah; (2) Teori Prapemahaman; (3) Teori Penggabungan/Asimilasi Horison; dan (4) Teori Penerapan/Aplikasi.
Hasil penelitian dapat dijelaskan sebagai berikut: Pertama, metode penafsiran al-Qur'an Fazlur Rahman adalah proses penafsiran al-Qur'an yang bermuara pada suatu gerakan ganda (double movement); dari situasi kontemporer menuju era al-Qur'an diturunkan, lalu kembali lagi ke masa sekarang dan metode penafsiran al-Qur'an Abdullah Saeed adalah proses penafsiran al-Qur'an yang bermuara pada metode kontekstual, yang cara kerjanya sama dengan metode double movement-nya Fazlur Rahman. Kedua, Ada beberapa indikasi dan bentuk keterpengaruhan Saeed atas ide-ide Rahman: (1) Saeed pernah menulis sebuah artikel yang membahas tentang kerangka penafsiran al-Qur'an yang ditawarkan oleh Rahman; (2) adanya kemiripan pandangan tentang dunia al-Qur'an; (3) adanya kemiripan dalam model interpretasi al-Qur'an, yakni teori gerakan ganda (double movement)-nya Rahman dan kontekstual (contextual)-nya Saeed; (4)adanya pernyataan-pernyataan yang diberikan Saeed dalam karya-karyanya bahwa inovasi metodologi penafsiran yang dikenalkan oleh Rahman telah memberikan kontribusi penting dan sangat berkaitan dengan pembahasan yang dia tawarkan dalam metode penafsirannya terhadap konten ethico-legal al-Qur'an. Sedangkan Sumbangan Saeed yang paling berarti bagi metode penafsiran al-Qur'an Rahman adalah rumusan hirarki nilai-nilainya, yaitu: (1) nilai-nilai yang bersifat wajib (obligatory values); (2) nilai-nilai fundamental (fundamental values); (3) nilai-nilai proteksional (protectional values); (4) nilai-nilai implementasional (implementational values); (5) nilai-nilai instruksional (instructional values). SUHERMAN - NIM. 03531485 2013-02-19T12:41:22Z2013-02-19T12:43:05Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/5198This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/51982013-02-19T12:41:22ZMEMBAHAS KITAB HADIS RISĀLAH AHL AL-SUNNAH WA AL-JAMĀ΄AH
(KARYA K. H. M. HASYIM ASY’ARI)Skripsi ini berjudul Membahas Kitab Hadis Risalah Ahl al-Sunnah wa al Jama'ah karya K.H.M. Hasyim Asy'ari. Alasan peneliti memilih kajian kitab tersebut karena tiga hal; pertama, ia merupakan anak zaman yang lahir pada saat konstelasi (pertarungan) politik keagamaan di Indonesia sedang hangat-hangatnya. Di mana antara kaum modernis dan kaum tradisionalis sedang terjadi perang wacana. Pembaharuan demi pembaharuan akan terus bergulir dan tentu akan menghadirkan wacana atau pemikiran yang baru, oleh karena itu pemikiran K.H.M. Hasyim Asy'ari yang tertuang dalam kitab Risalah Ahl al-Sunnah wa al-jama'ah masih digunakan untuk menjawab isu-isu yang terus bergulir sampai saat ini. Kedua, perlunya penelitian kitab Risalah Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah karena dengan meneliti kitab Risalah tersebut, maka akan memperoleh pengetahuan yang lebih rinci dan memberikan gambaran yang utuh tentang sebuah kitab hadis, mulai dari aspek metode, corak dan kandungan, oleh karena itu dengan meneliti kitab Risalah tersebut diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu hadis pada khususnya dan studi keIslaman maupun sosial pada umumnya. Ketiga, kitab Risalah Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah, merupakan buah karya dari salah satu founding fathers NU yang memiliki peranan urgen dalam tubuh NU hingga saat ini.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan historis, dimaksudkan untuk meneliti latar belakang pengarang mulai dari segi sosial budaya yang melingkupi K.H.M Hasyim Asy'ari yang mempengaruhi penyusunan kitab. Penelitian ini merupakan penelitian diskriptif-analisis, penelitian ini digunakan untuk memaparkan pemahaman dan membedah kitab ini, mulai dari latar belakang penyusunan, deskripsi (sistematika, metode, corak dan kandungan)dan arti penting penyusunan kitab Risalah Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah dan kualitas hadis-hadisnya.
Penelitian yang dicapai adalah; pertama, latar belakang penyusunan kitab Risalah Ahl al-Sunnah wa al Jamaah, dipengaruhi oleh sejarah, aspek politik, sosial dan budaya yang melingkarinya, sehingga dari hasil analisisis kesejarahan bisa dipastikan bahwa tempo penulisannya adalah antara tahun 1920-1930-an. Kedua, Kitab Risalah Ahl al Sunnah wa al Jama'ah ini disusun dengan sistematis, memakai sistematika penyusunan kitab model sahih dan sunan, metode penyusunan kitab Risalah, adalah dengan dua cara, yaitu; Metode yang digunakan untuk mengutip hadis dan metode untuk memperjelas pembahasan hadis, seperti pemahaman yang merujuk pada pendapat Imam empat mazhab. Ketiga, pembaharuan yang akan terus bergulir pasti akan menghadirkan wacana atau pemikiran yang baru. Oleh karena itu pemikiran K.H.M. Hasyim Asy'ari masih digunakan untuk menjawab isu-isu yang terus bergulir, sehingga semua yang ditulis K.H.M. Hasyim Asy'ari tersebut tetap menjadi pemikiran yang tidak basi hingga sekarang. LUTFIYANI - NIM. 06530040 2013-03-13T13:54:02Z2021-10-07T08:23:33Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/5799This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/57992013-03-13T13:54:02ZPENAFSIRAN AYAT-AYAT AL-QUR`AN TENTANG KEADILAN SOSIAL DAN
KEADILAN EKONOMI (Dalam Nilai-nilai Dasar Perjuangan HMI)
Al-Qur'an membicarakan permasalahan ekonomi karena pentingnya persoalan itu bagi kehidupan manusia. Cita-cita di bidang ekonomi amat jelas dalam kitab suci. Salah satu aspek terpenting dari keadilan adalah keadilan ekonomi yang merupakan konsekwensi logis dari konsep persaudaraan Islam. Pemikiran keislaman-keindonesiaan HMI tentang keadilan sosial dan keadilan ekonomi dituangkan dalam NDP. Penafsiran tentang keadilan social dan ekonomi dalam NDP penting diteliti karena HMI berperan penting dalam proses perjuangan pembangunan bangsa dan konsep keadilan social dan ekonomi yang dirumuskan turut memberi warna dalam wacana Islam di Indonesia. Fokus dari penelitian adalah bagaimana penafsiran ayat-ayat al-Qur'an tentang keadilan social dan keadilan ekonomi yang terdapat pada NDPdan relevansinya.
Penelitian ini merupakan penelitian pustaka. Sumber data yang pakai adalah sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer adalah buku pedoman dasar HMI yaitu Nilai-nilai Dasar Perjuangan dan buku-buku tentang HMI yang membahas tentang keadilan social dan keadilan ekonomi yang ditulis oleh tokoh-tokoh HMI. Sedangkan data sekunder dari skripsi ini adalah buku-buku yang menulis tentang keadilan social dan keadilan ekonomi yang bukan di tulis oleh tokoh-tokoh HMI. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dokumentasi. Sedangkan teknik analisis data menggunakan deskriptif analisis.
Pengertian keadilan berkisar pada makna perimbangan atau keadaan seimbang atau tidak ekstrim, persamaan atau tidak adanya diskriminasi dalam bentuk apapun dan pemberian hak kepada siapa saja yang berhak atau penempatan sesuatu pada tempat yang semestinya. Al-Qur'an sangat menekankan persamaan manusia (egalitarianism) dan menghindari dari segala kepincangan sosial yang berpangkal dari kepincangan ekonomi, seperti eksploitasi, keserakahan, kosentrasi harta pada segelintir orang dan lain-lain. Konsep keadilan social-ekonomi dalam prespektif Islam didasarkan pada ajaran persaudaraan yang melampaui batas-batas geografis. Keadilan sosial merupakan nilai dan cita-cita, yaitu bagaimana melaksanakan keadilan tersebut. Keadilan ekonomi muncul menjadi masalah masyarakat yang penting pada saat sistem produksi dan sistem distribusi yang berdasarkan kekuatan-kekuatan pasar, mulai merasuk ke dalam sistem politik, seperti yang terjadi di Indonesia saat ini. Dengan kata lain, keadilan menjadi masalah politik di mana Negara atau pemerintah dihimbau untuk campur tangan, karena kekuatan-kekuatan pasar bebas mulai menunjukkan kekuasaan dan dominasi yang quot;mengatur quot; hubungan produksi dan distribusi di antara pelaku-pelakunya menuju arah ketidakadilan ekonomi. BHINAWAN - NIM. 065300412013-03-18T08:51:45Z2013-03-18T08:53:22Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/5794This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/57942013-03-18T08:51:45ZPENAFSIRAN MUHAMMAD ALI AL-SAYIS DAN MUHAMMAD ALI AL-SABUNI TENTANG AD’IYA’DALAM TAFSIR AYAT AL-AHKAM QS. AL-AHZAB [33] : 4-5Adopsi adalah istilah yang disalin dari bahasa asing yang berarti mengangkat anak. Adopsi merupakan fenomena yang sering terjadi dalam kehidupan masyarakat. Pelaksanaan adopsi didorong oleh berbagai kebutuhan. Seseorang mengangkat anak karena tidak dapat mempunyai anak kandung sendiri, menambah jumlah keluarga, atau karena jiwa sosialnya yang tinggi. Adopsi menjadi solusi untuk mengatasi hal-hal tersebut. Adopsi merupakan permasalahan hukum yang menyangkut banyak hal. Hukum yang mengatur adopsi dimaksudkan untuk menjaga agar kedua belah pihak, yaitu orang yang mengangkat dan orang yang diangkat, tidak dirugikan. Adopsi dalam al-Qur'an dikenal dengan istilah Ad'iya'. Di dalam al-Qur'an dijumpai dua ayat yang menjelaskan tentang adopsi yaitu QS. al-Ahzab [33]: 4-5. Fokus dari penelitian ini adalah penafsiran dua tokoh yakni Muhammad Ali al-Sayis dan Muhammad Ali al-Sabuni, dan membandingkan keduanya untuk mencari persamaan dan perbedaan baik dari aspek metodologi maupun substansi penafsirannya.
Penelitian ini adalah penelitian pustaka dengan sumber primer kitab Tafsir Ayat al-Ahkam dan sumber primer kitab Rawai' al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam Min al-Qur'an. Metode yang digunakan dalam mengumpulkan data adalah dokumentasi. Metode deskriptif-komparatif digunakan untuk menganalisis data, yaitu dengan menguraikan secara sistematis penafsiran kedua tokoh tersebut tentang konsep ad'iya' (adopsi) pada QS al-Ahzab [33]: 4-5, dan kemudian mengkomparasikannya sehingga ditemukan persamaan dan perbedaan metodologi dan substansi penafsiran.
Berdasarkan penelitian, penafsiran Muhammad Ali al-Sayis dan Muhammad Ali al-Sabuni memiliki kesamaan dalam memahami QS al-Ahzab [33]: 4-5. Keduanya menafsirkan adiyya' sebagai sebuah tradisi jahiliyah yang kemudian dihapuskan setelah datangnya syara'. Keduanya juga menyebutkan bahwa adopsi yang menganggap anak sebagai anaknya sendiri atau sekedar memanggil yang tidak sesuai dengan nasabnya tidak dibenarkan dan dianggap berdosa. Keduanya menganjurkan untuk menggunakan panggilan ya akhi / ya ukhti atau ya maulaya terhadap orang yang diangkat jika belum diketahui nasabnya. Metode yang digunakan keduanya juga sama yaitu metode tahlili yang mencakup banyak aspek. Kesamaan baik dari substansi maupun metodologi yang digunakan ini menurut penulis karena dipengaruhi latar belakang keilmuan yang sama, yakni ahli dalam bidang fikih, sehingga corak penafsirannya pun cenderung tidak ada perbedaan. ATIK MASRIFAH - NIM. 065300672013-03-18T11:33:59Z2013-03-18T11:36:53Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/5758This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/57582013-03-18T11:33:59ZBINATANG DALAM AL-QUR'AN (KAJIAN TAFSIR MAWDLU'IY)Al-Qur'an merupakan kitab yang membahas tentang banyak hal, dan tema mengenai binatang adalah salah satu yang terdapat dalam al-Qur'an. Ada di antara nama surat dalam al-Qur'an yang menggunakan nama binatang. Al-Qur'an juga menyebutkan beberapa kisah mengenai binatang, manfaat binatang yang sangat berguna bagi kelangsungan hidup manusia. Selain itu, al-Qur'an menyebutkan beberapa binatang dalam bentuk yang berbeda-beda seperti sumpah, perumpamaan, mukjizat, adzab dan lain-lain. Dari semua penyebutan binatang dalam al-Qur'an tentu ada pelajaran yang bisa kita peroleh. Penelitian ini adalah untuk mengetahui binatang apa saja yang disebutkan dalam al-Qur'an.
Pada penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian kepustakaan atau library research, yaitu dengan menelaah semua sumber data, baik sumber data primer maupun sumber data sekunder. Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode tematik (Mawdhu'iy).
Hasil penelitian terhadap ayat-ayat al-Qur'an yang berkaitan dengan tema yang dibahas, yaitu mengenai binatang, ditemukan ada beberapa binatang yang disebutkan dalam al-Qur'an, yaitu: keledai, singa (qaswarah), gajah, ikan (hut), kuda, bighal, anjing, binatang ternak (al-an'am), unta, kambing, sapi, burung (thair), ababil, salwa, hudhud, gagak, belalang, kutu (qummal), katak, rayap, lebah (nahl), semut, laba-laba ('ankabut), ular, serigala (dzi'b), babi, kera, nyamuk (baudhah), lalat (dzubab). Al-Qur'an juga menyebutkan manfaat yang bisa diperoleh dari binatang, diantaranya adalah: dari binatang yang dihalalkan ada yang dijadikan sebagai makanan dan ada yang menghasilkan minuman, ada pula yang dijadikan pakaian dan perhiasan, yang dijadikan sebagai alat bantu dalam bidang transportasi, dan yang dijadikan bahan pembuat alat rumah tangga. Dari semua penyebutan binatang dalam al-Qur'an itu, ada beberapa pelajaran yang bisa diperoleh binatang diantaranya adalah banyak sekali penemuan-penemuan yang terinspirasi dari binatang, lahirnya disiplin-disiplin ilmu yang membahas binatang secara spesifik, belajarlah tentang hal-hal yang baik dan berguna walaupun kepada binatang. DANI HIDAYAT - NIM. 045316982013-07-22T10:29:14Z2013-07-22T10:32:22Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/5213This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/52132013-07-22T10:29:14ZPENIUPAN RUH PADA JANIN Studi Komparasi antara Tafsir Ruh al Ma'ani Karya al Alusi dan al Jawahir fi Tafsir al Qur'an al Karim Karya Tantawi Jauhari ABSTRAK Manusia merupakan ciptaan Allah SWT yang paling sempurna dibandingkan dengan ciptaan-ciptaan yang lainnya. Proses penciptaannya-pun berbeda dengan proses penciptaan makhluk yang lain. Dalam menciptakan manusia, Allah SWT menjelaskan melalui firman-Nya dalam al-Qur'an bahwa penciptaan manusia mempunyai tiga fase/tahap penciptaan. Fase-fase tersebut antara lain: berawal dari tanah, kemudian tahap penyempurnaan dan yang terakhir adalah peniupan ruh. Dari ketiga fase tersebut, fase yang terakhir merupakan fase yang paling penting. Karena dengan adanya ruh yang ditiupkan kedalam ciptaan yang berupa janin tersebut membuat manusia dapat hidup, bergerak dan merasakan kehidupan itu sendiri.
Di dalam al-Qur'an terkandung ayat-ayat yang menjelaskan tentang kauniyah (kealaman), termasuk peniupan ruh yang menjadi salah satu proses penciptaan manusia. Namun terkadang penjelasan yang ada bersifat universal, sehingga untuk memahami ayat-ayat tersebut dibutuhkan pemahaman dan intelektualitas yang tinggi dari pengkaji itu sendiri atau para mufasir terdahulu. Untuk itu dalam penelitian ini, penulis mencoba menelusuri bagaimana penafsiran mufasir tentang peniupan ruh dengan membatasi pembahasan dari dua sudut pandang kitab tafsir. Kemudian mengkomparasikan kedua sudut pandang tersebut.
Kitab tafsir yang penulis pakai dalam meneliti skripsi ini adalah Ruh al-Ma'ani karya al-Alusi (L. 14 Sya'ban 1217 H/ 1802 M, W. 25 Zulhijjah 1270 H/1865 M) dan tafsir al-Jawahir fi Tafsir al-Qur'an al-Karim karya Tantawi Jauhari L.1287 H/ 1870 M), kedua tafsir tersebut hidup dalam kurun waktu yang berbeda. Namun tidak banyak perbedaan penafsiran yang dikemukakan di dalamnya. Kedua tafsir tersebut, menggunakan metode dan sumber yang sama, yaitu metode tahlili yang bersumber pada hadis (ma'sur) dan akal (ra'y). Namun corak yang digunakan berbeda, Ruh al-Ma'ani yang dikenal sebagai tafsir klasik menggunakan corak sufi-isyari. Sedangkan tafsir al-Jawahir fi Tafsir al-Qur'an al-Karim termasuk tafsir modern yang bercorak 'ilmi. Dalam tafsir Ruh al-Ma'ani dan al-Jawahir fi Tafsir al-Qur'an al-Karim, ruh memiliki beberapa makna. Namun ketika ruh tersebut digabungkan dengan konteks ayat yang menjelaskan tentang peniupan ruh, kedua mufasir sepakat mengartikannya sebagai sesuatu yang memberikan kehidupan kepada ciptaan atau janin. Di dalam kedua tafsir yang penulis kaji, walaupun berbeda kurun waktu dan corak penafsirannya, tidak membuat penafsiran yang dikemukakan berbeda pula, terutama tentang peniupan ruh. Keduanya mempunyai banyak persamaan. Persamaan tersebut adalah bahwa peniupan ruh yang dimaksud dalam al-Qur'an mempunyai arti majazi, bukan hakiki. Karena peniupan ruh tersebut merupakan tamsil (perumpamaan) bagi teralirnya kehidupan bagi ciptaan atau janin. Peniupan ruh dalam al-Qur'an diklasifikasikan menjadi dua, yaitu peniupan ruh pada penciptaan Adam AS dan peniupan ruh pada keturunan Adam AS, yang digambarkan dalam kisah Maryam AS ketika mengandung janinnya. sedangkan perbedaannya hanya terletak pada perbedaan corak penafsiran dan ayat yang ditafsirkan saja. div NIM. 05530032 ILAYYA ZIDTA RIYYA2013-07-23T10:16:19Z2013-07-23T10:17:31Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/5209This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/52092013-07-23T10:16:19ZPLURALISME AGAMA DALAM AL QUR'AN (Studi Penafsiran Gamal al Banna atas Ayat-ayat Pluralisme Agama) ABSTRAK Berbicara pluralisme berarti juga harus memahami kebebasan beragama, karena masalah ini merupakan problem universal. Secara historis, meskipun pluralisme telah muncul sejak awal sejarah manusia, problem kebebasan beragama menjadi semakin rumit setelah masyarakat-masyarakat di mana negara dan agama di satu sisi dan agama-agama di sisi lain terus mengalami ketegangan dalam konteks negara-bangsa. Bagi Gamal al-Banna setiap orang yang menelaah al-Qur'an dan merenungi ayat-ayatnya akan menemukan bahwa secara afirmatif al-Qur'an menjelaskan keesaan Allah dan pluralitas selain Dia. Bahkan al-Qur'an sendiri merupakan referensi yang paling otentik bagi pluralisme. Buktinya, gaya bahasa al-Qur'an yang istimewa membuat setiap kata ayat yang digunakan memiliki kemungkinan makna yang beragam dan memberikan penafsiran yang tidak tunggal. Dan itu menjadi mungkin karena al-Qur'an diturunkan tidak hanya untuk kaum muslimin saja, akan tetapi untuk semua manusia sekalian alam. Oleh karena itu, penelitian ini memfokuskan pada Bagaimana penafsiran Gamal al-Banna terhadap ayat-ayat pluralisme agama ? Dan Bagaimana aktualisasi pemikiran pluralisme agama Gamal al-Banna dalam kehidupan modern sekarang ini. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan yang mengambil sumbernya dari salah seorang tokoh pluralisme yakni Gamal al-Banna dengan menggunakan pendekatan tematik.
Berdasarkan pada pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat diketahui bahwa 1) Mengetahui penafsiran Gamal al-Banna tentang ayat-ayat pluralisme agama berlandaskan pada prinsip-prinsip yakni pluralitas merupakan takdir tuhan; pengakuan hak eksistensi agama di luar Islam; titik temu dan kontinuitas agama-agama; Nabi dan Rasul, tidak ada paksaan dalam agama; menjunjung nilai-nilai kemanusiaan (HAM); dan tiga prinsip esensi agama, yakni keimanan kepada Tuhan, Hari Akhirat dan berbuat baik. 2) Dalam menghadapi dan menanggapi kenyataan adanya berbagai agama yang demikian pluralisitik di era modern ini, sebagaimana yang dimaksud Gamal al-Banna, agaknya setiap umat beragama tidaklah monolitik. Mereka cenderung menempuh cara dan tanggapan yang berbeda-beda, yang jika dikategorisasikan terbelah menjadi dua kelompok yang saling berhadap-hadapan, yakni kelompok yang menolak pluralisme (eksklusifis) dan kelompok yang menerima. Kelompok yang menolak secara mutlak gagasan pluralisme agama. Mereka biasanya disebut sebagai kelompok. Bagi kelompok kedua ini cukup jelas bahwa yang membedakan ajaran masing-masing adalah dimensi-dimensi yang bersifat teknis-operasional bukan yang substansial-esensial, seperti tentang mekanisme atau tata cara ritus peribadatan dan sebagainya.
Untuk pemecahan atas segala sikap destruktif ini, para ahli yang peduli terhadap kerukunan antaragama berupaya menciptakan dialog antarumat beragama, meninggalkan era monolog untuk beranjak kepada era dialog. Ada dua komitmen penting yang harus dipegang oleh pelaku dialog, toleransi, dan pluralisme. div ZAKARIA AKHMAD - NIM. 04531771 2013-07-24T11:32:41Z2013-07-24T11:33:14Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/5802This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/58022013-07-24T11:32:41ZTRADISI MEMBACA SURAT AL-JINN SEBELUM MENEMPATI RUMAH BARU PADA MASYARAKAT MARGASARI KECAMATAN SIDAREJA KABUPATEN CILACAP ABSTRAK Setiap daerah memiliki kebudayaan sendiri-sendiri dan berbeda satu sama lain. Demikian juga dengan Desa Margasari Kecamatan Sidareja Kabupaten Cilacap. Ia mempunyai kebudayaan sendiri di mana di dalam sistem atau metode budayanya digunakan ayat-ayat al-Qur'an sebagai sarana untuk mencapai tujuannya. Salah satu kebudayaan itu adalah berupa upacara keagamaan yang biasa disebut dengan tradisi membaca surat al-Jinn sebelum menempati rumah baru yang berada di Desa Margasari Kecamatan Sidareja. Kegiatan ini sudah menjadi rutinitas dan dilaksanakan secara turun-temurun setiap ada rumah baru yang akan ditinggali. Hal ini dilakukan sebagai wujud rasa syukur kepada Allah SWT dan sekaligus untuk memohon perlindungan dan keselamatan kepada-Nya agar terhindar dari segala macam marabahaya.
Penelitian ini adalah sebuah penelitian kualitatif, yaitu penyajian data dengan perspektif emic, yaitu data yang dipaparkan sesuai dengan cara pandang subyek penelitian. Maka data penelitian ini diungkapkan berdasarkan ungkapan bahasa dan cara berpikir, sesuai dengan subyek penelitian. Sedang sifat dari penelitian ini adalah deskriptif yaitu memaparkan secara sistematis fakta-fakta dan karakteristik obyek penelitian secara faktual dan akurat. Dalam penelitian ini, metode pokok yang penulis gunakan untuk mengumpulkan data adalah metode observasi, interview /wawancara dan dokumentasi sebagai penguat data. Kemudian rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pemahaman masyarakat muslim Margasari terhadap surat al-Jinn?, bagaimana tata cara pembacaan surat al-Jinn sebelum menempati rumah baru pada masyarakat Margasari? dan apa faktor yang mendorong masyarakat Margasari melaksanakan pembacaan surat al-Jinn sebelum menempati rumah baru?.
Hasil dari penelitian ini mencakup tiga hal yaitu: Pertama, surat al-Jinn yang dipahami oleh masyarakat Margasari adalah selain sebagai surat yang bisa dibaca dalam kehidupan sehari-hari karena merupakan Kalam Allah yang suci juga diyakini oleh masyarakat Margasari bagi yang membacanya akan terhindar dari gangguan makhluk gaib (jin, setan). Kedua, tata cara pembacaan surat al-Jinn pada masyarakat Margasari yang diselenggarakan setiap akan menempati rumah atau gedung-gedung baru, dilakukan setelah melakukan sholat maghrib atau setelah sholat isya dan menghadirkan minimal 45 orang. Dimulai dengan mengirim bacaan surat al-Fatihah kepada Nabi Muhammad SAW, para sahabat, Tabi'in dan juga arwah para leluhur diteruskan dengan membaca surat al-Jinn sebanyak 40 kali secara bersamaan, setelah surat al-Jinn selesai dibaca dilanjutkan dengan membaca ayat kursy sebanyak 40 kali, tahlil dan diakhiri dengan membaca do'a bersama-sama. Ketiga, faktor pendorong dibacakannya surat al-Jinn setiap akan menempati rumah atau gedung-gedung baru pada masyarakat Margasari ada tiga hal yaitu pertama: surat al-Jinn dan keselamatan, kedua: surat al-Jinn dan barokah dan ketiga: surat al-Jinn sebagai pengusir Jin. FATHUROHIM - NIM. 06530019 2013-10-01T04:36:16Z2013-10-01T04:37:47Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/5757This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/57572013-10-01T04:36:16ZQABILAH DAN SYU’UB DALAM AL-QUR’AN (Studi Tafsir Tematik)Kecendrungan manusia untuk berinteraksi dan berkumpul dengan kelompok, suku dan golongan merupakan gajala alamiah. Hal itu tidak lepas dari watak dasar manusia sebagai zoon politikon, mahluk yang membutuhkan bantuan atau tenaga orang lain. Bentuk interaksi dan berkumpul manusia diawali dari hubungan kekeluarga dan kekerabatan, lalu menyebar membentuk marga (clan), suku dan bangsa yang sangat beragam. Namun kecendrungan tersebut dapat menimbulkan sifat fanatisme dan cliem kebenaran, dengan menenjukkan superioritas terhadap suku dan bangsa lain dan mengangap suku lain salah. Sikap inilah yang menjadi dampak pada hubungan antar manusia, agama, suku dan bangsa menjadi tidak harmonis dan menyatu dalam keragaman. Skripsi ini ditujukan untuk mengadakan kajian yang lebih mendalam terhadap makna yang terkandung di balik teks al-Qur'an tentang konsep qabilah dan syu'ub, sehingga dapat diketahui dengan jelas makna yang terkandung di dalamnya.
Adapun pembahasan al-Qur'an tentang qabilah dan syu'ub secara rinci terumus dalam pertanyaan berikut: Apa makna kata qabilah dan syu'ub dalam al-Qur'an? Apa faktor penunjang terwujudnya qabilah dan syu'ub dan implikasinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?
Penelitian mangacu pada konsep qabilah dan syu'ub dalam al-Qur'an yang berangkat melalui metode dan pendekatan tematik (mawdu'i). Adapun penelitian pustaka (library research) yaitu penelitian yang cara kerjanya menggunakan data dan informasi dari berbagai macam materi dan literatur, yang berusaha mengumpulkan seluruh data primer dan sekunder. Data primer pada penelitian adalah al-Qur'an dan juga kitab-kitab tafsir. Sedangkan data sekunder adalah literatur yang berkaitan dengan pembahasan masalah qabilah dan syu'ub secara umum. Analisa yang digunakan adalah internal teks dan eksternal teks. Internal teks dengan menganalisis ayat al-Qur'an sesuai dengan makna bahasanya. Dan eksternal teks dengan menggunakan seting historis dan sosiologis di balik ayatdan kronologis turunnya (asbab an-nuzul).
Pemahaman terhadap al-Qur'an tentang qabilah dan syu'ub menunjukkan pengertian sempit dan luas. Pengertian sempitnya adalah hubungan kekerabatan yang dibangun berdasarkan jalur ayah atau bapak. Pengertian luasnya adalah kabilah yang berasosiasi dan berkelompok yang memiliki pandangan yang sama tentang kehidupan dan biasanya mendiami satu daerah dan pemerintahan. Dalam terminologi modern, kata tersebut diartikan suku-suku dan bangsa-bangsa. Kandungan kata syu'ub dengan arti bangsa masih belum didapatkan pada masa turunnya ayat tersebut. Namun dalam perkembangan makna dan secara teoritis paham kebangsaan yang muncul kemudian, mempunyai hubungan makna yang sama dengan syu'ub, maka dalam terminologi modern dapat diartikan bangsa.
Dalam ayat al-Qur'an dijelaskan kedudukan manusia adalah bersaudara dari keturunan Adam dan Hawa, dan berbeda dalam bahasa, warna kulit, suku dan bangsa untuk saling mengenal dan memahami keragaman. Keragaman bukan dimaksudkan untuk mencari kelemahan dan kekurangan di antara masing-masing. Namun keragaman diposisikan dalam wadah kesatuan dan persatuan (bhineka tuggal ika) dan dalam posisi sederajat (egaliter). Nilai kualitas seseorang ditentukan dari tingkat ketakwaan kepada Allah. ABDURRAHMAN WAHID - NIM. 035313772013-10-02T07:20:49Z2013-10-02T07:22:32Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/5761This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/57612013-10-02T07:20:49ZTAFSIR EKONOMI MUHAMMAD ‘ABID AL-JABIRI (Telaah Tafsir Surat Quraisy dalam Kitab Fahm al-Qur’an al-Hakim: al-Tafsir al-Wadih Hasba Tartib al-Nuzul)Apa yang menjadi fokus penelitian skripsi ini adalah hubungan antara semangat ekonomi suku Quraisy dan sistem kekerabatan yang melatar belakanginya. Persoalan ini sebenarnya telah lama menarik minat kalangan sarjana dan intelektual yang memiliki perhatian terhadap Islam secara umum. Sayangnya karya-karya yang dihasilkan sebagiannya masih konsentris, dan terbatas pada tataran pendapat. Sementara lokalitas yang terus bergerak, hanyalah unsur tambahan yang distorsif dan terbatas jangkauannya. Karena itu persoalan tersebut masih menjadi problem yang membutuhkan kajian lebih lanjut. Lebih-lebih jika melihat pertumbuhan ekonomi yang terjadi belakangan, Nampaknya hal ini mengindikasikan perlunya mengkaji ulang untuk menemukan semangat ekonomi yang berkeadilan. Melalui perspektif dan gagasan Muhammad 'Abid al-Jabiri, studi ini sendiri menganalisis dan mempertemukan serakan-serakan pendapat tentang ekonomi suku Quraisy demi menemukan semangat ekonomi yang ada didalamnya.
Permasalahan pokok yang dijawab adalah; pertama,bagaimana pemikiran al-Jabiri tentang ekonomi suku Quraisy? dan kedua, bagaimana kontekstualisasi dari apa yang ditawarkan oleh al-Jabiri dalam mengkaji ekonomi suku Quraisy?. Hal tersebut bukan tanpa alasan, melainkan; pertama, kajian tersebut tidak bisa dilepaskan dari kajian sejarah, tradisi, dan kebudayaan bangsa Arab, secara khusus, dan dataran Timur Tengah, secara umum. Dalam hal ini, kapasitas al-Jabiri sebagai sosok intelektual dalam kajian-kajian tersebut sudah tidak dapat diragukan lagi. Kedua, al-Jabiri meminjam tiga kunci penjelasan mendasar yang digunakan Ibnu Khaldun dalam menganalisis gerak sejarah masyarakat Arab-Islam. Dua diantaranya, yaitu konsep fanatisme kelompok (al-'Asyabiyyah al-Qabiliyyah) dan dakwah keagamaan (ad-Da'wah ad-Diniyyah). Sementara kunci ketiga, yaitu faktor ekonomi, hadir sebagai faktor penjelas yang berdiri sendiri, dan dianggap sebagai faktor determinan dalam penjelasan hubungan dalam masyarakat.
Skripsi ini merupakan penelitian kepustakaan (Library Research) dengan metode hermenutika-historis, yaitu berusaha memahami data-data yang berhubungan dengan Muhammad 'Abid al-Jabiri berdasarkan konteks yang melatarinya dengan interpretasi yang tepat. Data-data tersebut tidak hanya digunakan untuk menggambarkan pemikiran Muhammad 'Abid al-Jabiri, tetapi sebagai pijakan awal dalam merumuskan konsepsi ekonomi yang lebih sesuai dengan heterogenitas masyarakat Indonesia. Karena itu penelitian ini, juga berisi sedikit uraian mengenai dinamika serta konflik kultural di Arab.
Hasil penelitian ini berupa; pertama, dalam pandangan al-Jabiri, secara implisit Ibn Khaldun telah menyebut quot;cara produksi yang khas dalam masyarakat Arab quot;; sistem perekonomian yang bergantung pada suasana peperangan, atau dengan cara menabung surplus produksi melalui kekuasaan. Kedua, dalam kerangka besar konstruksinya, metodologi yang digunakan oleh al-Jabiri menekankan pada pendekatan sejarah sehingga, kondisi sosiologis turunnya al-Qur'an untuk mendapatkan pemahaman yang utuh dan objektif terus bergerak. Hal ini pula yang diistilahkan oleh al-Jabiri dengan membaca al-Qur'an dengan sirah, dan membaca sirah dengan al-Qur'an (qira'ah al-Qur'an bi alsirah wa qira'ah al-sirah bi al-Qur'an). JAKFAR SHODIK - NIM. 035313982015-01-27T00:50:18Z2023-11-06T07:16:57Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/6480This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/64802015-01-27T00:50:18ZTAFSIR AL-MANAR ON INTERFAITH MARRIAGE (A DESCRIPTIVE ANALYTICAL STUDY OF RASYID RIDA'S INTERPRETATION)Many cases of interfaith marriage occurred in Indonesia. Among factors that caused it are
complexity of races, cultures, ethnics, and religions in Indonesia. Each of these factors interacts
between one another in everyday life of a community and indeed one kind of interactions is
marriage. On the basis of the fact that the majority of Indonesian, however, is Muslim so it must be
re-studied about Qur’anic verse of interfaith marriage. This thesis discusses about interfaith
marriage through Rasyid Ridā’s perspective. His interpretation is always be utilized by many people
to absolutely permit interfaith marriage. It is so interesting for being main object in the research. The
reason for it is his Tafsir discusses more about socio-cultural problem. Certainly interfaith marriage
constitutes a socio-cultural problem that must be solved. Some questions that are explored in this
study are: Who are included into non-Muslim category according to Rasyīd Ridā’s thoughts about
interfaith marriage context? What is the meaning of people of the Book in his understanding and
why he did conclude that? What is Rasyīd Ridā’s fundamental idea about interfaith marriage based
on his understanding of Qur’anic verses? Why did he think that? What is the relevance of his
thought in Indonesian context?
This research is a qualitative research with descriptive-analysis method. The research data
were collected from Tafsīr al-Manār written by Rasyid Ridā as a source of primary data, and other
relevant sources as secondary data. As for the method of analysis, this study uses the method of
content analysis with philosophical hermeneutics approach.
Non-Muslim category in the case of interfaith marriage includes Unbelievers, Polytheists,
and People of the Book. Ridā agrees with the definition of majority about Unbelievers and
Polytheists, but he believes that the People of the Book consist of Jews, Christians, Magians and
Sabians, Hindu, Buddhism, Kong Hu Cu in the China, and Shinto. Ridā uses the criteria as to have
the holy book and or follow one of the known Prophets, from Abrahamic religion or no in
determining one religio-communal includes people of the Book category. He took the argument
from Q 4: وَرُسُلًا قَدْ قَصَصْنَاهُمْ عَلَيْكَ مِنْ قَبْلُ وَرُسُلًا لَمْ نَقْصُصْهُمْ عَلَيْكَ , 164 . It is suitable with his method of
interpretation which interprets the verse with other verse. In other side, his thought seemed to be
based on the context of his era where its community is so pluralist and consists of many people who
believe many religions. His life experience certainly gave the impact on his interpretation.
Ridā wants to emphasize his fundamental idea into two points. First, what should be done
before marriage is choosing the companion from the religion, how he/she must be chastity before
marriage, not unbelievers or fornicators, how his/her obedient to their religious doctrine, etc.
Second, Ridā wants to describe the image of ideal household which is being same belief in the
household for building the harmonious family. Although he stated that it has possibility to do
interfaith marriage, but it is only the last choice because the same belief and faith between husband
and wife itself cannot guarantee the unity of household, let alone the different belief and faith as
many cases of interfaith marriage in Egypt had shown.
In Indonesian context, Ridā’s concept about People of the Book must be responded in
relation to the social condition of Indonesian people who are pluralistic society. Then, interfaith
marriage that happened in Indonesia as impact of pluralistic society should be managed by
Indonesian Law but in the fact, it is not admitted yet. Based on Ridā’s thought, interfaith marriage is
actually legal theologically but when it is prohibited, certainly it is influenced by many external
factors considering objective condition of the community. After all, Ridā handed back the decision
to do interfaith marriage or to the actors. When the actors decide to do interfaith marriage, they
should realize the impact from positive to negative things beforehand.NIM.: 07530074 Wardatun Nadhiroh2023-11-06T07:08:29Z2023-11-06T07:11:10Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/6478This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/64782023-11-06T07:08:29ZSIMAAN AL-QUR'AN DALAM TRADISI RASULAN (STUDI LIVING QUR'AN DI DESA JATIMULYO, DLINGO, BANTUL, YOGYAKARTA)ABSTRAK Al-Qur'an merupakan kitab suci umat Muslim yang sangat besar pengaruhnya dalam jiwa dan perilaku manusia. Karena kesucian dan keagungan al-Qur'an, masyarakat Muslim memperlakukannya sebagai kitab suci dan meresepsi dengan banyak hal yang berkaitan dengannya. Berkenaan dengan resepsi masyarakat Muslim terhadap al-Qur'an, dalam penelitian ini akan dipaparkan salah satu sampel mengenai bagaimana cara pandang masyarakat Islam di tiga pedusunan di Desa Jatimulyo, Yogyakarta yakni Dusun Rejosari, Dodogan dan Kedungdayak dalam mengaktualisasikan ayat-ayat al-Qur'an pada sebuah rutinitas kegiatan yang disebut dengan simaan al-Qur'an. Faktanya, simaan al-Qur'an di tiga pedusunan tersebut telah menjadi sebuah tradisi yang diselenggarakan dalam perayaan adat tradisi rasulan yang bukan merupakan tradisi dalam Islam. Pada awalnya, tradisi rasulan adalah sebagai sesuatu perayaan masyarakat yang khas dalam pertanian oleh sebagian orang Jawa yang jauh dengan nuansa ke-Islam-an. Karakter utama dari tradisi rasulan ini adalah upacara budaya Jawa yang di dalam prosesinya harus menyajikan berbagai macam ubarampe, diantaranya berbagai macam hasil bumi dan tumpeng robyong. Sejak periode tertentu, tradisi tersebut berubah menjadi tradisi yang sedikit demi sedikit dimasuki dengan sesuatu yang bernuansa Islam, yakni dengan masuknya simaan al-Qur'an.
Dari uraian di atas, peneliti merumuskan beberapa permasalahan yang menjadi inti dari penelitian ini, antara lain; Apa bentuk Islamisasi terhadap tradisi rasulan yang merupakan resepsi masyarakat tiga pedusunan di Desa Jatimulyo terhadap al-Qur'an ?, kapan simaan al-Qur'an menjadi bagian dalam tradisi rasulan serta bagaimana kondisi keberagamaan di Desa Jatimulyo ?, dan mengapa simaan al-Qur'an menjadi bagian integral dalam tradisi rasulan?. Berangkat dari beberapa permasalahan tersebut, peneliti akan berusaha mencari jawabannya dengan menggunakan jenis penelitian lapangan (field research) yang bersifat deskriptif-analitik dan dengan teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara, dokumentasi serta teknik pengolahan data dilakukan dengan metode induksi dan deduksi. Adapun pendekatan yang digunakan adalah pendekatan fenomenologi, yaitu mencari makna dibalik fenomena secara lebih luas.
Dari penelitian ini dapat diketahui bahwa bentuk Islamisasi terhadap tradisi rasulan yang merupakan resepsi masyarakat tiga pedusunan di Desa Jatimulyo terhadap al-Qur'an adalah munculnya kegiatan simaan al-Qur'an. Resepsi adalah penerimaan atau penyambutan dari pembaca. Kegiatan ini dimulai sejak tahun 2005 pada saat kondisi keberagamaan di tiga pedusunan mayoritas beragama Islam. Simaan al-Qur'an menjadi bagian integral dalam tradisi rasulan, karena aktivitas ini merupakan salah satu bentuk apresiasi Islam di sana terhadap kebudayaan yang dilestarikan dan simaan al-Qur'an ini dirasa mempunyai banyak manfaat bagi kehidupan masyarakatnya. Hal ini merupakan bentuk akomodasi dari Islam terhadap budaya sekaligus resepsi dari budaya Jawa terhadap Islam. divNIM.: 07530063 Zulfa 'Afifah2023-11-06T07:17:42Z2023-11-06T07:19:20Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/6481This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/64812023-11-06T07:17:42ZTERJEMAHAN DALAM TAFSIR AL BAYAN KARYA HASBI ASH SHIDDIEQY (STUDI GRAMATIKA PADA PREPOSISI DARIPADA)ABSTRAK Terjemahan al-Qur'an menjadi suatu hal yang penting untuk diteliti karena, melalui terjemahanlah umat Islam Indonesia mampu memahami makna dari al-Qur'an. Namun, ketika terjemahan tidak sesuai dengan aturan (misalnya dalam proses penerjemahan hanya fokus pada bahasa sumber) hal ini menjadi permasalahan, terlebih jika kesalahan terjemahan berpengaruh terhadap pemaknaan. Inilah salah satu urgensi yang membuat peneliti tertarik untuk mengkaji permasalahan ini. Dalam proses pemilihan objek dari sekian banyak karya tafsir, peneliti bertumpu pada asumsi bahwa karya tafsir generasi pertama dan kedua lebih memungkinkan terjadi ketidaksesuaian dengan gramatika yang sudah dibakukan dibandingkan dengan generasi 1990-an maupun setelahnya. Hal ini diperkuat oleh alasan bahwa pada generasi awal dan kedua, tata bahasa baku bahasa Indonesia belum dibuat. Oleh karena itu, karya-karya tafsir generasi terakhir (periode 1990-an dan setelahnya) tidak dijadikan sebagai objek penelitian. Adapun terpilihnya Tafsir al-Bayan sebagai objek penelitian lebih terkait pada kredibilitas Hasbi Ash Shiddieqy yang tekun dalam mendalami ilmu tafsir. Di sisi lain beliau adalah salah satu tokoh yang sangat peduli terhadap masyarakat dalam upaya memahami al-Qur'an. Hal ini terlihat dari berberapa karya yang beliau tulis, salah satunya adalah Tafsir al-Bayan. Kemudian, alasan dipilihnya masalah preposisi daripada karena dua hal: pertama, banyaknya penggunaan preposisi daripada yang tidak sesuai dengn gramatika yang sudah dibakukan dalam Tafsir al-Bayan. Kedua, adanya keterpengaruhan preposisi daripada terhadap makna terjemahan sebagaimana dijelaskan pada contoh di atas, dan hal inilah yang membedakan antara penelitian ini dengan penelitian pada Fakultas Adab.
Dari penjelasan latar belakang di atas, permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut: pertama, Apa sebab ketidaksesuaian penggunaan preposisi daripada dalam Tafsir al-Bayan dengan gramatika yang dibakukan. Kedua, bagaimana pengaruh masalah gramatika (penggunaan preposisi daripada dalam Tafsir al-Bayan yang tidak sesuai dengan gramatika yang dibakukan) terhadap makna terjemahan al-Qur'an. Beberapa metode yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini sebagai berikut:pertama, penelitian ini termasuk jenis penelitian pustaka (library research, yaitu penelitian yang terfokus pada pengumpulan data dan penelitian buku amp;#8208;buku kepustakaan serta karya amp;#8208;karya dalam bentuk lain. Kedua, dilihat dari sudut pandang waktu, penelitian ini menggunakan jangkauan waktu secara diakronis yang melibatkan dua waktu atau lebih secara komparatif (misalnya satu bahasa tertentu dibandingkan dengan bahasa pada abad yang satu dengan yang sekarang), serta menyelidiki perbandingan bahasa dengan bahasa yang lain. Dengan demikian penelitian bahasa secara diakronis adalah penelitian bahasa yang mengamati fenomena evolutifnya suatu bahasa. Ketiga, data primer diantaranya: Tafsir al amp;#8208;Bayan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, kamus bahasa Arab, dan lain amp;#8208;lain. Data Sekunder, diantaranya: Buku karya az amp;#8208;Zarqani, buku karya Manna' al amp;#8208;Qattan, buku Kajian Bahasa, buku Gramatika Bahasa Indonesia, buku Tata Bentuk Bahasa Indonesia, buku Analisis Kalimat, buku yang membahas tentang Kalimat Efektif, Terjemahan Depag, Tafsir Depag dan lain amp;#8208;lain. Keempat, dalam proses pengambilan data,penelitian ini menggunakan teknik sampling. Teknik Analisis Data yaitu setelah pengumpulan data dilakukan, maka tahap selanjutnya adalah mengolah data tersebut sehingga penelitian menjadi sistematis dan terarah. Data Induktif, yakni data dikaji melalui proses yang berlangsung dari fakta (data)ke teori, dan tidak sebaliknya dari teori ke data. divNIM.: 06530051 Wahidun