Institutional Repository UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta: No conditions. Results ordered -Date Deposited. 2024-03-29T11:49:32ZEPrintshttp://digilib.uin-suka.ac.id/images/sitelogo.pnghttps://digilib.uin-suka.ac.id/2018-12-21T01:34:55Z2018-12-21T01:34:55Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/31951This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/319512018-12-21T01:34:55ZCULTURAL SYMBOL DAN POLITIK IDENTITAS ELIT
DALAM PEMBANGUNAN KOTA SAMPITCultural symbol atau simbolisasi nilai-nilai tertentu dari suatu budaya
merupakan tema yang menarik untuk dikaji, apalagi jika dilakukan oleh elit daerah
sebagai bentuk politik identitas. Terlebih lagi apabila dilakukan di daerah
sepertiSampit yang daerahnya mempunyai tingkat heterogenitas yang cukup tinggi
dengan banyaknya suku, agama dan bahasa. Dengan memainkan cultural symbol
tersebut, Bupati Sampit memunculkan dominasi simbol-simbol Islam, yang
menariknya justru menjadikan hal itu sebagai modal popularitasnya sebagai Bupati,
terbukti dengan terpilihnya kembali menjadi Bupati Sampit dalam dua periode.
Oleh karena itu, problematika yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah:
cultural symbol apa saja yang menjadi politik identitas dalam pembangunan
Sampit? Kemudian nilai-nilai apa saja yang mengobsesi tindakan tersebut? Dan
bagaimana proses cultural symbol itu sebagai politik identitas dalam pembangunan
Sampit
Untuk memperoleh jawaban dari permasalahan tersebut, penulis
menggunakan teori interaksionisme simbolik dengan pendekatan sosiologi politik
yang mana titik tekan kajian ini adalah pada aktor yang bermain dalam tataran
simbol. Adapun metode yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah metode
kualitatif. Yaitu suatu metode yag sumber penelitiannya dikumpulkan melalui
kajian pustaka dan lapangan.
Hasil dari penelitian tersebut membuktikan bahwa : Pertama, Bupati
Sampit Supian Hadi dalam menjalankan kebijakannya menampilkan
simbol-simbol Islam yang termanifestasikan dalam pembangunan infrastruktur
daerah seperti: Pembangunan Kaligrafi asmaul Husna di beberapa jalan protokol,
Pembangunan Islamic centre, Kubah di setiap kantor Dinas, nuansa Islam di
bundaran Belanga (Perdamaian), dan Taman Kota Sampit. Kedua, Nilai-nilai
yang mengobsesi kebijakan cultural symbol tersebut adalah nilai-nilai agama, nilai
seni dan kepentingan politik. Nilai-nilai tersebut adalah bentuk dan ekspresi
bupati dalamberagama Islam dan implementasi dari artikulasi kognitif sebagai
seorang muslim yang sudah terarahkan oleh pemahaman dan pengetahuan terhadap
agama dan juga sebagai simbol etika seorang muslim, yang juga dimiliki oleh
mayoritas masyarakat Sampit. Hal ini memang tidak terlepas dari kepentingan
politik dalam membangun politik identitas bupati Sampit, yaitu agar menarik
simpati masyarakat Sampit sebagai modal untuk melanggengkan pemerintahannya,
mengingat bupati ini terpilih kembali dan memerintah selama dua periode.Ketiga
cultural symbol ini memberikan pengaruh dan dampak bukan hanya sebagai
penambah popularitas bupati Sampit, namun juga untuk pembangunan sampit yaitu
sebagai pembuka perubahan, sebagai identitas dan sebagai pembangunan.
Kata kunci : Cultural Symbol, Politik IdentitasNIM: 1420310089 Thau’am Ma’rufah2018-12-20T09:02:28Z2018-12-20T09:02:28Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/31949This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/319492018-12-20T09:02:28ZPOSISI KYAI NU DALAM DINAMIKA POLITIK PADA
PEMILIHAN KEPALA DAERAH KABUPATEN KENDAL
TAHUN 2015Kyai atau pengasuh pondok pesantren merupakan elemen yang sangat
esensial bagi seluruh bidang kehidupan. karena karisma dan kewibawaannya,
kebanyakan masyarakat pada umumnya yang berkembang di Jawa menjadikan
Kyai sebagai figur yang sangat berpengaruh, sehingga sosok ini sangat disegani
oleh masyarakat, hal tersebut menjadikan Kyai dengan mudah mendapatkan ruang
untuk terlibat dalam panggung politik di daerah.
Penelitian ini mengungkap tentang dinamika dan pergolakan yang terjadi
pada pemilihan kepala daerah kabupaten Kendal tahun 2015 serta tindakantindakan
yang dilakukan oleh sebagian Kyai terhadap kemenangan pasangan
Mirna-Masrur, dimana Kyai dalam struktur sosial memiliki kekuatan untuk
mempengaruhi pilihan masyarakat. Penulis mencoba mencermati fakta-fakta yang
terjadi dengan logika strukturasi Anthony Gidden, dimana Kyai sebagai aktor
politik berperan sebagai agen di dalam masyarakat melalui kegiatan-kegiatan
kultural turut memberi peran yang sangat signifikan, dan juga Kyai sebagai elit
yang dalam struktur politik, budaya, agama dan sosial kemasyarakatan (NU)
mempunyai kekuatan mempengaruhi masyarakat terhadap kemenangan pasangan
Mirna-Masrur.
Hasil penelitian menemukan bahwa: pertama, Di dalam struktur
masyarakat yang religius, Kyai adalah salah satu elit politik yang dengan modal
kharisma, ditopang kemampuannya melakukan dominasi politik di Kendal
menjadi aktor yang sangat berpengaruh di dalam dinamika politik terutama di
tingkat daerah, dengan ikut terlibat secara langsung di dalam praktek politik,
posisinya dalam struktur masyarakat, baik dalam sosial, politik, budaya dan
agama, juga ikut terlibat secara tidak langsung di dalam praktek politik dengan
cara memberikan pengetahuan dan pengarahan politik yang dimasukan dalam materi
pengajian-pengajian maupun melalui jam’iyyah-jam’iyyah yang ada di kalangan
masyarakat. Kedua, Tindakan-tindakan dilakukan dengan cara membentuk Forum
Komunikasi Ulama‟ Kendal sebagai alat koordinasi perannya kepada kyai-kyai
langgar di pelosok desa untuk mengkapanyekan pasangan yang didukung,
kemudian melaui forum tersebut mensosialisasikan suksesi kepemimpinan
terhadap Bupati sebelumnya kepada masyarakat dengan dengan memberikan
alternatif pemimpin yang lebih mempunyai moral yang baik. Dan menjalin
kontrak politik dengan pasangan Mirna-masrur, Ketiga, Kyai sebagai elit agama
(agen) merupakan pemimpin yang tidak hanya membawahi bidang agama dan
sosial, akan tetapi juga sangat berpengaruh terhadap proses politik, maka figurnya
menjadi sangat penting di tengah-tengah masyarakat dalam membangun
kehidupan sosial yang lebih produktif dengan tetap berani menunjukkan nilainilai
kebenaran yang berlandaskan agama. Kyai sebagai tokoh agama dalam
berbagai bidang ditempatkan pada posisi yang sentral, hal ini menjadi ilustrasi
tentang pandangan positif yang melekat pada Kyai sebagai pengemban perubahan.
Kata kuci : Kyai, Agency, Struktural, PerubahanNIM: 1420310071 ZAHRUL MAULIDI2018-12-20T09:02:20Z2018-12-20T09:02:20Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/31948This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/319482018-12-20T09:02:20ZKEWENANGAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA (MPU)
DALAM PENENTUAN KEBIJAKAN PENERAPAN SYARI’AT ISLAM
DI KABUPATEN ACEH TENGGARAEsksistensi ulama tidak dapat dilepaskan dari kehidupan masyarakat Aceh, terutama
kaitannya dengan syariat Islam yang menjadi identitas daerah tersebut. Namun, setelah
Indonesia merdeka peranan itu berkurang, terutama dalam penentuan kebijakan publik.
Sempat meredup paska Indonesia merdeka, perjuangan penerapan syariat Islam mendapatkan
momentumnya pada tahun 1999 yang sekaligus adanya pengakuan peran para ulama dalam
pengambilan kebijakan daerah di Aceh. Formalisasi peran ulama itu kemudian terwujud
secara kelembagaan bernama Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) yang oleh Qanun No.
2 Tahun 2009 dibagi menjadi dua, yakni MPU Aceh dan MPU Kabupaten/Kota.
Dalam usia yang akan memasuki dua dekade paska UU No. 44 Tahun 1999, penelitian ini
hendak melihat penentuan kewenangan dan peran seperti apa yang telah dilakukan oleh MPU
Aceh Tenggara dalam pembentukan kebijakan dan penerapan syariat Islam. Hal tersebut
dirumuskan dalam dua masalah pokok penelitian ini, yaitu: Pertama, bagaimana kewenangan
Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) dalam menentukan kebijakan tentang syariat Islam
di Aceh Tenggara? Kedua, Bagaimana peran Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) dalam
penerapan syariat Islam di Aceh Tenggara?
Untuk menjawab masalah tersebut, peneliti menggunakan pendekatan yuridis-empiris karena
akan melihat secara detail kewenangan MPU Aceh Tenggara berdasarkan peraturan yang
berlaku, dan lalu mengkonfirmasi penerapannya ke ranah empiris (lapangan). Oleh karenanya,
data yang digunakan peneliti utamanya adalah data primer yang dikumpulkan melalui jalur
observasi dan wawancara. Selain itu, data primer tersebut didukung pula dengan bahan jadi
yang dikumpulkan melalui jalur dokumentasi.
Hasil penelitian ini menunjukkan: Pertama, kewenangan yang dimiliki MPU Aceh Tenggara
merujuk sepenuhnya kepada ketentuan Pasal 5 ayat (2) Qanun Aceh No. 2 Tahun 2009, yakni:
1. Melaksanakan dan mengamankan fatwa yang dikeluarkan oleh MPU; dan 2. memberikan
pertimbangan dan masukan kepada pemerintah kabupaten yang meliputi bidang
pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan serta tatanan ekonomi yang Islami. Lebih
lanjut, Pasal 5 ayat (2) tersebut perlu disandingkan dengan Pasal 6 ayat (2) yang mengatur
tentang tugas-tugas MPU kabupaten/kota.
Kedua, peran MPU dalam penerapan syariat Islam (dalam arti luas) di Aceh Tenggara
terwujud dalam berbagai kegiatan yang dapat dibagi menjadi tiga kelompok. Kesatu, peran
MPU Aceh Tenggara dalam penerapan syariat Islam. Peran ini dilakukan melalui jalur
kerjasama institusional dengan Pemerintahan Daerah dan instansi vertikal lainnya di
Kabupaten Aceh Tenggara serta sejumlah organisasi Islam di daerah tersebut. Kedua, peran
MPU Aceh Tenggara dalam pengawasan penerapan syariat Islam, yang merupakan kelanjutan
dari kebijakan yang telah mendapat saran dan rekomendasi dari MPU Aceh Tenggara. Ketiga,
peran MPU Aceh Tenggara dalam penguatan pemahaman masyarakat terhadap syariat Islam.
Peran ini, oleh MPU Aceh Tenggara, diwujudkan dalam kegiatan seperti safari dakwah,
muzakarah ulama dan pendidikan kader ulama.
Kata kunci: Ulama, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), Syariat IslamNIM: 1320311105 Hady Warman