Institutional Repository UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta: No conditions. Results ordered -Date Deposited. 2024-03-28T12:18:27ZEPrintshttp://digilib.uin-suka.ac.id/images/sitelogo.pnghttps://digilib.uin-suka.ac.id/2013-02-04T14:59:17Z2015-04-15T02:50:43Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/6843This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/68432013-02-04T14:59:17ZAL-QUR’AN SEBAGAI REALITAS SOSIAL (Kajian Sosiologis Atas Masyarakat Muslim Desa Sukorejo-Trenggalek)Al-Qur’an merupakan keniscayaan bagi muslim sebagai sebuah kitab suci yang menamakan diri sebagai “petunjuk bagi umat manusia” (hudan li al-nas). Tesis ini mengkaji bagaimana pandangan, pemahaman, dan aplikasi masyarakat muslim desa Sukorejo terhadap al-Qur’an. Masyarakat Sukorejo mayoritas
beragama Islam, namun sebagai masyarakat Jawa mereka tidak bisa melepaskan tradisi kejawen sepenuhnya, yang lebih dulu datang ketimbang Islam. Sebagai teks berbahasa Arab, al-Qur’an tidak bisa dipungkiri membawa konsekuensi lahirnya sejumlah penafsiran terhadap ayat-ayatnya, yang terkadang berbeda antara tafsir satu dengan lainnya, bahkan seringkali bertolak belakang sehingga membawa dampak pendakuan yang satu lebih benar dari yang lain. Namun semua tidak lain karena motivasi untuk mencari hal yang terbaik dalam mengkontekstualisasikan isi kandungan al-Qur’an dengan realitas kehidupan yang bergerak dinamis. Dengan alasan tersebut, penulis hendak melakukan kajian untuk melihat budaya qur’ani yang menghinggap pada kehidupan masyarakat desa Sukorejo, yaitu bagaimana the living Qur’an sebagai fenomena keagamaan itu berinteraksi dengan mekanisme kerja kehidupan masyarakat muslim dalam
konteks ekonomi, sosial, politik dan budaya. Penulis menggunakan kerangka teori triad dialektis Peter L. Berger, yaitu eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Dengan kerangka teori ini, penulis berusaha menggambarkan bagaimana realitas kehidupan masyarakat muslim Sukorejo yang memiliki dimensi subyektif dan obyektif. Bahwa manusia tidak hanya dipengaruhi oleh lingkungannya, tetapi juga mempengaruhi lingkungannya. Ada proses dialektis dimana manusia sebagai instrumen yang menciptakan realitas
sosial pada saat yang berlainan dipengaruhi oleh hasil ciptannya, dan demikian seterusnya. Dalam hal ini al-Qur’an yang pada hakekatnya berdiri di luar manusia,
karena proses pemahaman manusia terhadapnya akhirnya lambat laun kandungankandungan di dalamnya memengaruhi manusia yang menafsirkan dan berusaha memahaminya. Sedang di sisi yang lain karena manusia pada hakekatnya adalah makhluk berbudaya, maka dalam upaya memahami dan menafsirkannya pun tidak terlepas dari konteks latar belakang sosial yang melingkupinya. Tafsir yang merupakan proses eksternalisasi dari ayat-ayat al-Qur’an yang dilakukan manusia dengan berbeda latar sosial dan budaya harus diinternalisasi
kembali oleh manusia. Namun sebelum proses internalisasi, tafsir yang pada hakekatnya produk dari manusia itu, banyak menghasilkan kaidah, nilai, atau norma yang otonom dan obyektif, hingga menjadi wujud yang mampu menggiring bahkan memaksa manusia sendiri untuk menyesuaikan diri dengan
kaidah, nilai atau norma yang telah dibuatnya sendiri. Pada fase inilah manusia kembali menginternalisasi produk yang dihasilkannya sendiri menjadi perilakuperilaku sosial, ekonomi, politik dan budaya. Semuanya berjalan secara kontinyu seiring dengan perubahan budaya dan pola pikir manusia dan masyarakat sebagai makhuk sosial dan makhluk yang tidak pernah akan berhenti pada satu titiktertentuNIM. 04213435 Mohamad Dimyati2013-02-11T14:36:12Z2015-04-15T02:51:29Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/6844This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/68442013-02-11T14:36:12ZEKOSOFI ISLAM (Kajian Pemikiran Ekologi Seyyed Hoosein Nasr)Krisis lingkungan yang terjadi saat ini bersumber pada kesalahan fundamentalisfilosofis dalam pemahaman ataucara pandang manusia terhadap dirinya, alam, dan tempat manusia dalam keseluruhan ekosistem. Kesalahan itu menyebabkan
kesalahan pola perilaku manusia, terutama dalam berhubungan dengan alam. Aktivitas produksi dan perilaku konsumtif gila-gilaan melahirkan sikap dan perilaku eksploitatif. Di samping itu, paham materialisme, kapitalisme, dan pragmatisme dengan kendaraan sains dan teknologi telah ikut mempercepat dan memperburuk kerusakan lingkungan. Menurut Seyyed Hossen Nasr ajaran Islam mengenai Tuhan, manusia, alam, dan hubungan antar mereka merupakan panggilan nyaring untuk membangunkan dari mimpi bahaya sains dan ego kemanusiaan dalam menaklukkan alam. Ajaran tersebut dapat membawa umat muslim pada jalan yang benar menuju keharmonisan dengan alam, dan juga dapat membantu
dunia Barat untuk mendapatkan dan mengoleksi kembali tradisinya yang terlupakan mengingat peranan manusia sebagai kreasi Tuhan. Islam mempunyai konsep yang sangat jelas tentang pentingnya konservasi, penyelamatan, dan pelestarian lingkungan. Konsep Islam tentang lingkungan ini sebagian telah diadopsi dan menjadi prinsip ekologi yang dikembangkan oleh para ilmuwan lingkungan. Prinsip-prinsip ekologi tersebut telah pula dituangkan dalam bentuk beberapa kesepakatan dan konvensi dunia yang berkaitan dengan
lingkungan. Konsep ekosofi sebagai teologi lingkungan Islam ini kemudian bisa digunakan sebagai dasar pijakan (moral dan spiritual) dalam upaya penyelamatan ekologi atau bisa disebut sebagai “teologi lingkungan”. Sains dan teknologi saja tidak cukup dalam upaya penyelamatan lingkungan yang sudah sangat parah dan mengancam eksistensi dan fungsi planet bumi ini. Permasalahan lingkungan bukan hanya masalah ekologi semata, tetapi menyangkut teologi. “Teologi” dalam konteks ini adalah cara “menghadirkan” dalam setiap aspek
kegiatan manusia. teologi dapat dimaknai sebagai konsep berpikir dan bertindak yang dihubungkan dengan “Yang Gaib” yang menciptakan sekaligus mengatur manusia dan alam. Jadi, Tuhan, manusia, dan alam, yang ketiganya mempunyai
kesatuan hubungan fungsi dan kedudukan. Jadi, teologi hubungan antara manusia dan alam dengan Tuhan adalah “konsep berpikir dan bertindak tentang lingkungan hidup yang mengintegrasikan aspek fisik (alam termasuk hewan dan tumbuhan), manusia dan Tuhan” Realitas alam ini tidak diciptakan dengan ketidaksengajaan (kebetulan atau main-main) sebagaimana pandangan beberapa saintis barat bahwa
alam adalah semu dan maya. pandangan Islam tentang alam (lingkungan hidup) bersifat menyatu (holistik) dan saling berhubungan yang komponennya adalah Sang Pencipta alam dan makhluk hidup (termasuk manusia). Alam dan manusia
merupakan cermin “wajah-Nya” yang entitasnya mulia yang selalu bertasbih pada-Nya. Tauhid merupakan sumber nilai sekaligus etika utama dalam teologi pengelolaan lingkungan yang kemudian menjadi inti pemikiran Seyyed Hossein
Nasr sebagai dasar keraifan ekologi.NIM. 05212442 Muhammad Ridhwan2013-02-13T14:30:19Z2015-04-15T02:41:56Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/6925This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/69252013-02-13T14:30:19ZGERAKAN PURIFIKASI ISLAM DI SURAKARTA (Studi tentang Al-Islam 1928-1960)Konflik internal umat Islam antara kelompok modernis dan tradisionalis
telah mengancam persatuan umat. Upaya untuk mendamaikan keduanya di
tingkat nasional melalui pertemuan-pertemuan, seperti kongres Al-Islam I di
Cirebon tahun 1922 sampai dengan kongres Al-Islam VI di Surabaya tahun
1926, selalu menemui jalan buntu, bahkan konflik terus meluas dan menjurus
pada konflik fisik di berbagai daerah.
Dalam rangka mengantisipasi meluasnya konflik ke wilayah Surakarta,
beberapa ulama independen bersama sejumlah tokoh ummat Islam menyelenggarakan
Musyawarah Ulama Surakarta yang menghadirkan seluruh
ulama-ulama di wilayah ini dari berbagai kelompok. Musyawarah tersebut
menghasilkan keputusan bahwa ummat Islam di Surakarta tidak perlu ke
Muhammadiyah ataupun NU, cukup menyatakan dirinya sebagai ummat
Islam. Namun keputusan tersebut tidak dipatuhi oleh sebagian besar peserta
musyawarah.
Inkonsistensi ini menginspirasi beberapa ulama independen untuk
meningkatkan kuantitas dan kualitas sosialisasi kesatuan ummat Islam. Untuk
itu pada 27 Ramadhan 1346 H –bertepatan dengan 19 Maret 1928 M– ulamaulama
independen yang terdiri dari K. Imam Ghazali bin Hasan Ustadz, K.
Abdushomad, K. Abdul Manaf dan K. Khurmen Batu, bersepakat untuk
membentuk suatu gerakan yang disebut Jamaah Al-Islam. Pada tahun 1933,
berdasarkan alasan teologis dan sosiologis, gerakan ini berubah menjadi
Perhimpunan Al-Islam.
Sebagai sebuah jalan tengah, Al-Islam memberikan ideologi alternatif
berupa ar-ruju>’ ila al-Qur’a>n wa as-Sunnah. Walaupun semboyan ini sama
dengan organisasi modernis puritan lainnya, namun dalam beberapa hal, lebihlebih
dalam pelaksanaan dakwahnya, Al-Islam berbeda dengan organisasiorganisasi
tersebut. Konsekwensi dari upaya membangun jalan tengah ini
menyebabkan pandangan keagamaan Al-Islam seakan berada di antara kedua
paham keagamaan yang bertentangan tersebut.
Tujuan utama gerakan Al-Islam, yaitu kesatuan ummat Islam (wahdah
al-ummah) –khususnya di Surakarta, tidak dapat tercapai. Namun upaya untuk
membendung meluasnya konflik antara kelompok modernis puritan dan
tradisionalis di Surakarta dapat terwujud. Eksistensi gerakan Al-Islam di
Surakarta sebagai kritik atas keberadaan organisasi-organisasi Islam mampu
memengaruhi model keberagamaan kedua kelompok tersebut, seperti Muhammadiyah
dan NU. Di Surakarta, NU telah hilang kekakuannya dan Muhammadiyah
lebih toleran terhadap praktik-praktik keagamaan di masyarakat.NIM. 04212418 Almuntaqo Zainuddin2013-02-13T14:39:05Z2015-04-15T02:47:55Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/6926This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/69262013-02-13T14:39:05ZKAJIAN ETIKA ISLAM TENTANG LINGKUNGAN HIDUP (Tinjauan Filosofis)Berbagai fenomena kerusakan alam pada tahun-tahun teakhir menunjukkan
bahwa alam sudah tidak nyaman untuk dinaungi. Banjir, tanah longsor, asap (polusi
udara) kebakaran hutan tidak lain merupakan contoh deretan bencana alam yang
mulai marak terjadi. Selain bencana-bencana alam yang tersebut ada bencana yang
sangat mengkhawatirkan umat manusia di dunia. Yakni perubahan iklim dan
pemanasan global atau global warming. Dari semua bentuk bencana alam ini tidak
lepas dari campur tangan dan pengaruh dari manusia itu sendiri. Misalnya saja banjir,
tanah longsor dan kebakarena hutan yang diakibatkan oleh penebangan pepohonan
yang di hutan khususnya. Sedangkan pemanasan global dan perubahan iklim juga
tidak lepas dari pengaruh bangunan-bangunan pencakar langit serta industri.
Penulis tertarik mengangkat judul penelitian mengenai “Etika Islam Terhadap
Lingkungan Hidup (Tinjauan Filosofis)” yang merupakan suatu pandangan baru
bahwa Islam juga memiliki konsep dan tata cara berakhlak (beretika) terhadap
lingkungan hidup. Penulis menggunakan tinjauan secara filosofis karena konsep
Islam selama ini yang hanya berdasarkan wacana—Islam agama sempurna—secara
keilmuan dan prinsip-prinsip serta konsep yang dimiliki mampu
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Penulis menggunakan metode dengan tahapan-tahapan yakni tahapan
pertama, tahapan Heuristik, yaitu kegiatan menemukan dan menghimpun sumbersumber
data. Tahapan kedua yakni deskriptif, di mana data yang telah dikumpulkan
akan dibahasakan kembali secara sistematis dengan teliti dan berdasarkan
perkembangan yang akan diurai secara lengkap dan teratur. Tahapan ketiga, adalah
Interpretatif, yaitu kegiatan menafsirkan setiap pemikiran sambil merekonstruksikan
teks naskah untuk menangkap maksud yang tersirat dalam teks naskah tersebut. Dan
keempat, adalah tahapan Konklusi, yaitu menyimpulkan hasil penelitian berdasarkan
data-data dan interpretasi yang dilakukan. Selain itu, penulis juga menggunakan
metode tafsir yakni metode maudhu’i.
Dari hasil penelitian ini penulis ingin memberikan tesis bahwa Islam memiliki
konsep mengenai etika terhadap lingkungan hidup. Konsep tersebut tersurat dalam
hadits dan al-Qur’an sebagai sumber hukum sehingga dapat dinyatakan bahwa Islam
sangat memperhatikan permasalahan lingkungan. Selain itu, dari awal penulis ingin
mengemukakan bahwa paradigma yang berkembang selama ini tentang alam yang
dipengaruhi oleh antroposentrisme merupakan awal terjadinya kerusakan alam.
Dengan munculnya penelitian ini, tesis kedua yang bisa disampaikan penulis bahwa
paradigma yang berkembang selama ini tentang alam—sebagai lahan sumber daya—
bukan semata-mata untuk diolah dan ekploitasi. Namun lebih terhadap penghormatan,
pemeliharaan dan pemberdayaan. Maka harapan penulis, setidaknya dengan
munculnya penelitian ini mampu mengubah paradigma untuk selalu menyayangi
alam sebagaimana menyayangi makhluk lainnya.NIM. 06212472 B. Hadia Martanti2013-02-13T14:47:16Z2015-04-15T02:48:38Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/6927This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/69272013-02-13T14:47:16ZISLAM PURITAN DALAM PANDANGAN KHALED M. ABOU EL FADLIslam dan umat Islam semestinya menjadi sarana perwujudan rahmat dan
kasih sayang Tuhan bagi semua manusia. Kasih sayang dan moderasi yang
menjadi nilai dasar Islam harus diingat dan dibiakkan dalam hati umat Islam.
Tuhan, melalui teks-teks sucinya, telah menyampaikan pesan-pesan moral agar
penganut Islam tidak merampas wewenang-Nya. Sayangnya, makna-makna yang
mengandung nilai-nilai humanis, toleran, dan demokratis dibalik teks-teks suci
tersebut telah dirampas oleh kelompok yang mengatasnamakan “wakil-wakil
Tuhan atau tentara-tentara Tuhan”. Akibatnya, tindakan kesewenang-wenangan di
balik nama agama masih menjadi persoalan di era kontemporer.
Penelitian ini mencoba mengatasi persoalan tersebut dengan membahas
keberagamaan dan pemahaman kelompok puritan terhadap Islam dari sudut
pandang pemikiran Khaled M. Abou El Fadl. Pembahasan ini dianggap penting
karena mengandung nilai kontribusi pada pemecahan persoalan keberagamaan
kelompok Muslim puritan yang masih mengalami kekosongan otoritas keagamaan
dalam mendefinisikan makna kebenaran Islam.
Pembahasan permasalahan-permasalahan tersebut dilakukan secara
analisis-kritis dan deskriptif-kritis dengan cara menguraikan topik-topik yang
diangkat oleh hermeneut ini. Dalam memahami, menjelaskan,
menginterpretasikan, dan memaknai Islam puritan, penelitian ini menggunakan
pendekatan historis dan hermeneutika negosiatif.
Penelitian ini berhasil memetakan problematika yang dipandang Khaled
sebagai puritan, karena puritanisme terjerembab di dalam pemahaman teks-teks
Ilahi secara literalis-rigid-despotik, yaitu mulai dari masalah rukun Islam, Tuhan
dan tujuan penciptaan, sifat dasar hukum dan moralitas, pendekatan atas sejarah
dan modernitas, demokrasi dan hak asasi, interaksi Muslim-nonmuslim dan
konsep keselamatan, konsep jihad, perang, dan terorisme hingga sifat dasar dan
peran kaum perempuan. Khaled memandang para pembaca teks-teks suci lebur
menjadi satu dengan Pengarang (Author) dan mengklaim sebagai penguasa
kebenaran, sehingga etos, epistemologi, dan ruh moral yang dijunjung hukum
Islam berada di ambang kehancuran. Kelompok puritan berkeyakinan bahwa
mereka berhak untuk menolak dan menyeleksi pelbagai produk hukum yang hadir
di luar hasil fatwa mereka, sembari memaksa fatwa hukum mereka dengan
memberikan alasan bahwa Tuhan telah menghendaki demikian. Khaled
menemukan adanya “kepentingan” di balik tindakan itu, yaitu pertama,
kemungkinan adanya kepentingan penggagas dan pembaca yang disusupkan
melalui teks, dan kedua, munculnya tindakan sewenang-wenang penggagas
terhadap teks, pembaca lain dan audiens. Untuk mengembalikan, menyadarkan,
dan mengingatkan kaum puritan dari kekakuan penafsiran, Khaled memberikan
kritikan agar para pembaca teks-teks suci menghidupkan kembali peran yang
berimbang antara teks, Pengarang, dan pembaca. Selain itu, Khaled dan para
pemikir liberal lainnya, seperti Mohammed Arkoun, Hasan Hanafi, Muhammad
‘Abid al-Jābirī, memberikan solusi agar umat Islam melakukan rekonstruksi
intelektual, yaitu kebebasan (al-Tahrīr; liberation) dan pencerahan (al-Tanwīr;
enlightenment)NIM. 07212501 Irawan2013-02-13T15:40:02Z2015-04-15T02:49:24Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/6934This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/69342013-02-13T15:40:02ZPEMBACAAN AL-QUR’AN DI LINGKUNGAN JAWA TIMUR (Studi Masyarakat Grujugan Bondowoso)Berinteraksi dengan al-Qur’an merupakan salah satu pengalaman yang
berharga bagi seorang Muslim. Pengalaman berinteraksi dengan al-Qur’an dapat
terungkap atau diungkap melalui lisan, tulisan, maupun perbuatan, baik berupa
pemikiran, pengalaman, emosional maupun spiritual. Pengalaman berinteraksi
dengan al-Qur’an menghasilkan pemahaman dan penghayatan terhadap ayat-ayat
al-Qur’an tertentu secara atomistik. Pemahaman dan penghayatan individual yang
diungkapkan dan dikomunikasikan secara verbal maupun dalam bentuk tindakan
tersebut dapat mempengaruhi individu lain sehingga membentuk kesadaran
bersama, dan pada taraf tertentu melahirkan tindakan-tindakan kolektif dan
terorganisasi. Pengalaman bergaul dengan al-Qur’an itu meliputi bermacammacam,
bentuk kegiatan, misalnya membaca al-Qur’an, memahami dan
menafsirkan al-Qur’an..
Seiring perkembangan zaman, kajian mengenai al-Qur’an dan al-Hadis
mengalami pengembangan wilayah kajian, dari kajian teks kepada kajian sosialbudaya,
yang kemudian sering disebut dengan istilah “living al-Qur’an” dan
“living al-hadis”. Dari fenomena tersebut penulis mencoba untuk melakukan
penelitian lebih lanjut mengenai pembacaan al-Qur’an masyarakat Grujugan
Bondowoso, dengan rumusan masalah bagaimana pelaksanaan pembacaan, dan
kemudian apa makna serta tujuan pembacaan al-Qur’an di masyarakat Grujugan
Kabupaten Bondowoso?.
Penelitian ini merupakan field research yang menggunakan metodologi
penelitian kualitatif dengan pengumpulan data melalui; observasi-partisipasi,
interview dan dokumentasi. Analisis yang digunakan adalah deskriptif
interpretatif. Sebagai landasan teori, peneliti menggunakan teori yang digagas
oleh Heddy Shri Ahimsa Putra yang menggunakan beberapa paradigma dalam
mengkaji living Qur’an, Menurutnya, teks dalam kajian Living Qur’an dimaknai
secara metaforis dan merupakan sebuah model. Teks yang sesungguhnya adalah
gejala sosial-budaya itu sendiri, bukan kitab surat atau ayat.
Hasil penelitian di lapangan menunjukkan, pelaksanaan pembacaan al-
Qur’an di masyarakat Grujugan Bondowoso terdapat dalam dua kategori, yaitu
rutinan dan insidental. Pada kategori pertama menyesuaikan kesepakatan yang
telah disepakati sejak awal terbentuk. Diantara kumpulan dan kegiatan adalah (1)
Khatmil Qur’an, baik membaca tanpa melihat mushaf maupun melihat mushaf.
(2) Yasinan (3) Tahlilan. Kategori kedua insidental, yaitu rangkaian pelaksanaan
menyesuaikan permintaan
Makna pembentukan tradisi pembacaan al-Qur’an di masyarakat Grujugan
terdapat tiga makna. Diantaranya; sebagai kitab bacaan mulia, obat hati, dan
sebagai sarana perlindungan dari bahaya siksa di hari akhir.Tiga makna tersebut,
tidak mesti berjalan secara bersamaan, dan terkadang mempunyai makna
bersamaan sekaligus. Sedangkan tujuan pelaksanaan pembacaan terdapat tiga
aspek; (1) spritual, menanamkan nilai-nilai Qur’ani dan pendalaman pengetahuan
ke-Islaman. (2). Ekonomi. Mengurangi angka kemiskinan dengan memberantas
praktek perjudian (3). Sosial, yaitu membentuk solidaritas sosial yang rukun,
damai dan tepo seliro.NIM. 07213514 KHOIRUL ULUM, S.Th.I2013-02-13T15:45:44Z2015-04-15T04:43:32Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/6936This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/69362013-02-13T15:45:44ZMETODOLOGI TAFSIR AL-QUR'AN REVOLUSIONER JAMAL AL-BANNADalam setiap generasi selalu muncul produk-produk penafsiran al-Qur’an
yang mempunyai corak dan karakteristik yang bebeda. Kondisi sosio-kultural
dimana penafsir tinggal dan latar belakang disiplin ilmu yang mereka tekuni
adalah sebuah realitas yang mempengaruhi penafsiran mereka terhadap al-
Qur’an. Di era kontemporer ini, muncul nama Jamal Al-Banna yang menawarkan
metodologi baru dalam penafsiran. Pemikir kelahiran Mesir ini melakukan kritik
terhadap tradisi keilmuan tafsir yang berkembang selama ini. Maka tidak heran
jika berbagai gagasannya selalu kontroversial. Pada sisi lain, metodologi Jamal
ini merupakan cara baca yang tulus dan bersih dari pengaruh-pengaruh
metodologi tafsir dominan di tengah masyarakat Islam. Itu sebabnya, metodologi
tafsir yang dikembangkan selama ini telah dimapankan, oleh Jamal dianggap
sebagai “kelalaian”. Atas dasar itulah Jamal menawarkan sebuah gagasan yang
cemerlang, sehingga banyak masyarakat muslim tertarik untuk mengkaji
pemikirannya. Atas dasar inilah penulis meneliti pemikiran Jamal secara objektif
untuk didialektikakan dengan realitas kekinian, apakah produk pemikiran sang
tokoh relevan diterapkan dalam konteks zaman ini.
Untuk mengetahui lebih jauh pemikiran Jamal, penelitian ini
menggunakan metode kualitatif deskriptif dan pendekatan filosofis-rasonalistik.
Kedua metodologi tersebut mampu mengantarkan penulis mendapatkan
gambaran tentang persepsi, motivasi, aspirasi, strategi sang tokoh tentang bidang
yang digelutinya, serta konstruk pemikiran Jamal seputar metodologi tafsir yang
dibangunnya.
Berdasarkan metode dan pendekatan di atas, ditemukan bahwa metode
penafsiran yang digagas oleh Jama>l ingin menempatkan al-Qur'an bebas dari
berbagai pendekatan yang membatasinya, sehingga disebut sebagai metodologi
tafsir revolusioner. Secara metodologis, al-Qur’an tidak layak terikat dengan
sebuah pendekatan namun menjadi sesuatu yang bebas bersinggungan langsung
dengan realita. Dalam proses penafsiran menurut Jamal terdapat dua siklus yang
harus dipenuhi oleh mufasir. Pertama, seorang mufassir terlebih dahulu
menemukan konsep-konsep yang benar tentang hakikat al-Qur'an, hadis, dan
bagaimana memperlakukannya, "Pra-penafsiran". Kedua, penafsiran harus
mencerminkan adanya interaksi aktif. Artinya, mufassir harus melakukan upaya
pengkajian terhadap ayat-ayat yang akan ditafsiri secara berluang-ulang melalui
penghayatan dan perenungan berdasarkan kemampuan berfikir yang diawasi
langsung oleh kejernihan hati nurani serta hadis nabi yang sudah dibuktikan
validitasnya.
Melalui tawaran metodologi penafsiran yang sistematis-praktis di atas
memudahkan masyarakat muslim memahami al-Qur’an secara komprehensif.
Disamping itu, gagasan ini membuka peluang selebar-lebarnya bagi seluruh
masyarakat muslim untuk ikut serta berpartisipasi dalam upaya penafsiran,
sehingga siapapun berhak mengemukakan pendapatnya dalam mengkaji kitab
suci sesuai dengan kemampuan berfikirnya dalam upaya mencari jawaban dari
peristiwa-peristiwa yang ada di sekelilingnya sesuai dengan tuntutan zaman.NIM. 07213515 M. SU'UD, Lc.2013-02-13T16:30:07Z2015-04-15T04:44:36Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/6944This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/69442013-02-13T16:30:07ZPEMAHAMAN HADIS DALAM TRADISI NAHDLATUL ULAMA (Telaah Terhadap Hasil Bahtsul Masail NU 1926-2004)Membincangkan dan mengkaji teks agama dalam konteks suatu budaya
menjadi sesuatu hal yang menarik. Sebab, di dalamnya akan ditemukan suatu
gambaran bagaimana sebuah teks berinteraksi dengan konteks sosio -geografis
tertentu yang tentu memiliki perbedaan, se hingga teks dapat dipahami dan
dimaknai berbeda oleh orang atau kelompok yang tinggal di Arab dan
kelompok yang tinggal jauh di luar Arab seperti Indonesia.
Salah satu organisasi keagamaan di Indonesia adalah Nahdlatul Ulama
(NU) yang memiliki tradisi ilmi ah berupa bahtsul masail. Dalam kegiatan
bahtsul masail tersebut tidak menutup kemungkinan jika NU telah berinteraksi
dengan teks-teks keagamaan, di dalamnya termasuk teks hadis. Asumsinya,
tidak menutup kemungkinan jika NU mengalami beberapa problematika
hermeneutik ketika memaknai dan memahami hadis Nabi. Di samping itu,
beragamnya latar belakang pemikiran, pengetahuan, dan bahkan perbedaan
pandangan mengenai masalah politik praktis, dan ideologi dari para peserta
bahtsul masail semakin mempengaruhi pola pemahaman NU terhadap hadis
Nabi dalam kegiatan bahtsul masail yang sejak pertama kali digelar pada
Tahun 1926 hingga 2004. Bagaimana sebenarnya NU melakukan pemaknaan
dan pemahaman terhadap teks hadis Nabi adalah problem hermeneutik yang
perlu dikaji lebih serius dan ilmiah. Pertanyaan ini kemudian mengarah kepada
pencarian bentuk mengenai bagaimana karakeristik metode dan pendekatan
yang telah dan belum digunakan NU dalam memahami hadis Nabi. Sebuah
pertanyaan yang melatarbelakangi mengapa penelitian ini dilakukan oleh
penyusun.
Penelitian ini dibatasi hanya pada domain hadis Nabi, yakni hadis -hadis
Nabi yang digunakan NU dalam bahtsul masail tingkat nasional yang
diselenggarakan dalam Kongres atau Muktamar, Konferensi Besar, Rapat
Dewan Partai, maupun Musyawarah Nasional Alim Ulama selama kurun waktu
antara Tahun 1926 sampai 2004. Dengan catatan, selama kurun waktu tersebut
ada enam muktamar, yaitu Muktamar XVII, XVIII, XIX, XXI, XXII dan
XXIV, yang hingga saat ini dokumennya tidak atau belum ditemukan.
Adapun metode penelitian yang ditempuh adalah metode deskriptif
dengan pola pembahasan deskriptif-analitik dengan analisa dan interpretasi
yang akurat. Sementara itu, pendekatan topikal sehingga penelitian ini
diarahkan untuk menggali dan menemukan kecenderu ngan-kecenderungan
pokok yang muncul dalam kajian pemahaman tradisi NU atas teks hadis Nabi.
Agar pembacaan atas pemahaman hadis dalam tradisi NU menjadi utuh, maka
penyusun juga menggunakan pendekatan sosio-historis dan hermeneutik
sebagai sistem penafsiran.
Hasil penelitian menunjukkan: (1) Bahtsul masail dari Tahun 1926 hingga
2004 terdapat 458 masalah yang menjadi pembahasan . Dari sebanyak masalah
itu, penggunaan hadis oleh NU dalam bahtsul masail hanya terdapat 75 hadis,
baik yang dikutip dengan cara menulis sebagian dari teks hadis maupun yang
ditulis atau dikutip secara keseluruhan. Melihat garis-garis besar (khittah
nahdliyah) NU serta perwatakannya ini, maka dapat dikatakan bahwa hadis
dalam tradisi bahtsul masail NU dari tahun 1926 hingga 2004 menempati
kedudukan yang penting dalam NU, namun dalam aplikasinya terdapat
beragam perbedaan dalam tradisi nalar NU. Pertama, kelompok yang
menekankan metode qauliy dan ilha@qiy (mereka adalah elite-struktural NU
yang ditengarai berpikiran konservatif -radikal dan memiliki background
pendidikan pesantren salaf) kedudukan hadis terkesan sebagai sumber sekunder
yang berada di bawah kitab kuning. Sebab bagi kelompok ini hadis harus
dipahami melalui pendapat -pendapat para ulama melalui beberapa kitab yang
mu’tabarah dari kalangan empat madzhab, terutama madzhab Syafi’i.
kelompok ini adalah dominan dalam NU, sehingga tidak aneh jika dari 458
masalah dalam bahtsul masail dari Tahun 1926 hingga 2004, hanya ditemukan
75 masalah yang di dalamnya terdapat keterangan hadis -hadis Nabi. Kedua,
kelompok yang menekankan metode manha@jiy (mereka adalah kelompok yang
memiliki background pendidikan dari Pondok Pesantren dan melanjutkan
pendidikan di Perguruan Tinggi Islam baik di Indonesia maupun di Barat,
kelompok ini adalah kelompok moderat dan cenderung liberal), mendudukan
hadis sebagaimana fungsinya, yakni sebagai sumber kedua bagi ajaran Islam.
(2) Metode pemahaman hadis yang digunakan NU adalah metode
muqa@rin, metode ini yang paling banyak ditempuh NU dalam memahami suatu
hadis, yakni berjumlah 41 kali, sedangkan metode ijma@li menempati urutan
kedua dengan total jumlah 20 kali. Adapun untuk metode tah}lili@ menempati
ututan terakhir dengan jumlah total 13 kali. Metode muqa@rin yang ditempuh
NU dalam memahami suatu hadis Nabi tidak hanya sekedar mencocokkan satu
dua kasus dalam beberapa kitab syarah, atau sekedar تنظیر المسائل بنظائرھا
(menyamakan suatu masalah dengan masalah lain yang mirip), melainkan suatu
bentuk ijtihad meskipun bersifa t muqayyad (terbatas) dan telah melalui proses
berfikir manha@ji yang panjang dan “njlimet”. Metode muqa@rin yang digunakan
NU dalam memahami hadis Nabi dapat dipetakan menjadi dua model, yakni:
pertama, metode muqa@rin dengan cara membandingkan hadis Nabi dengan
hadis nabi, beberapa kitab syarah, kitab fikih, atau kitab -kitab mu’tabar
lainnya. Kedua, adalah dengan cara membandingkan hadis berdasarkan
petunjuk ayat-ayat al-Qur'an, pendapat sahabat, pendapat para ulama, dan
membandingkan dengan hasil muktama r sebelumnya. Adapun pendekatan yang
digunakan NU adalah pendekatan tekstualis . Dari 75 hadis hanya dua hadis
yang dipahami dengan pendekatan kontekstual, yakni: pertama, hadis tentang
Hukum Islam berupa Penyuapan dalam penerimaan PNS. Kedua, hadis tentang
Isu-isu Aktual berupa Memperkerjakan Wanita pada Malam Hari di Luar
Rumah. Dalam muktamar ke -29 Tahun 1994 di Cipasung Tasikmalaya.
(3) Terdapat tiga tipologi pemikiran dan pemahaman NU terhadap hadis
Nabi dalam bahtsul masail 1926-2004, yakni: pertama, tipologi pemikiran
tradisionalis, mereka adalah para elite -struktural NU yang ditengarai berpikiran
konservatif-radikal dan memiliki background pendidikan pesantren salaf .
Karakteristik kelompok ini adalah masih teranamnya idiom -idiom pemikiran
skripturalistik, tesktualistik, dan formalistik dan mendominasi dalam tradisi
bahsul masail NU. Kedua, pemikiran modernis, mereka adalah yang menempuh
pendidikan dari Pondok Pesantren, kemudian melanjutkan pendidikan pada
Perguruan Tinggi Islam di Indone sia dan sebagian ada yang meneruskan
pendidikan pada Perguruan Tinggi Islam di Timur Tengah. Tipologi pemikiran
modernis dalam NU ini memiliki pemahaman pembacaan yang kontekstual
terhadap teks-teks keagamaan. Namun, dalam bahtsul masail pembacaan
kontekstual mereka ini hanya terbatas pada kitab kuning dan belum menyentuh
pada pemahaman yang kontekstual atas teks al -Qur'an dan hadis. Ketiga,
pemikiran liberalis, mereka adalah yang menempuh pendidikan dari Pondok
Pesantren, di Perguruan Tinggi Islam di Indonesia, kemudian melanjutkan
pendidikan di negara Barat . Kelompok ini mencoba menghidupkan kembali
pemikiran dan pemahaman atas teks keagamaan (di dalamnya termasuk
pemahaman atas teks hadis Nabi) secara non-literal, substansial, dan
kontekstual. Namun, usaha mereka menemui jalan buntu karena kuatnya
hegemoni kaum tradisionalis.NIM. 07213519 SHOHIBUL ADIB, S.AG2013-02-13T16:35:50Z2015-04-15T04:45:52Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/6946This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/69462013-02-13T16:35:50ZTEORI KEADILAN, STUDI KOMPARATIF ATAS PEMIKIRAN JOHN RAWLS DAN FAZLUR RAHMANAdalah suatu kemustahilan bahwa dalam kehidupan manusia selalu menghendaki
kebahagiaan dan keinginan untuk medapatkan perlakuan yang adil atau keinginan
memperoleh keadilan dalam setiap usaha dan tindakannya. Sebagai pernsip etis, masalah
keadilan selalu menjadi perdebatan, tidak hanya yang terkait dengan masalah-masalah
hukum tetapi hampir dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Dalam penelitian ini akan
dibahas lebih jauh peroblem keadilan di satu pihak dari pandangan tokoh dengan latar
belakang kehidupan sekulernya dan di pihak lain dengan latar belakang kehidupan yang
sarat dengan nuansa keagamaan Islam. Masalah utama yang akan dibahas dalam
penelitian ini adalah; bagaimana konsep keadilan yang digagas oleh kedua tokoh; John
Rawls dan Fazlur Rahman serta bagaimana persamaan dan perbedaan pemikiran
keduanya, sebagai analisa komparatif dari pendapat kedua tokoh tersebut.
Penelitian ini adalah penelitian filsafat yang fokus utamanaya adalah masalah
etika, moral berangkat dari pemikiran John Rawls dan Fazlur Rahman. Penelitian ini
bersifat Library Research yakni penelitian yang dilakukan berdasarkan data-data primer
yakni karya-karya John Rawls dan Fazlur Rahman, dan sekunder yakni sumber lain yang
berhubungan erat dengan pemikiran kedua tokoh tersebut sesuai dengan objek penelitian
tesis ini. Data-data tersebut yang selanjutnya diolah secara; deskriptif, analitis dan
interpretatif dari konsepsi pemikiran John Rawls dan Fazlur Rahman.NIM. 05212447 Ulumuddin2013-02-13T16:41:04Z2015-04-15T04:46:38Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/6948This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/69482013-02-13T16:41:04ZTEOLOGI TANAH (Studi atas Gagasan Teologis Hassan Hanafi tentang Tanah)Berbagai kasus yang banyak terjadi dan melingkupi tanah inilah yang kemudian mengerakan penulis untuk melakukan penelitian tentang bagaimana cara pandang Islam terhadap tanah, khususnya perspektif teologis dari salah seorang pembaru pemikiran Islam, yaitu Hassan Hanafi. Sebagai seseorang yang selama ini memiliki perhatian serius terhadap isu pembaruan teologi Islam, maka tidak salah ketika Hanafi memberikan pandangannya terhadap persoalan tanah dalam perspektif teologi.
Penelitian ini sengaja menggunakan hermeneutik sebagai model pendekatannya. Dengan hermeneutik penulis bisa melakukan penelusuran atas pandangan Hanafi tentang tanah. Namun, sebelum menentukan hasil dari pembacaan atas perspektif Hanafi tentang tanah, penulis akan melakukan perjalanan sejarah sosial kehidupan Hassan Hanafi. Hal ini penting, sebab siapapun orangnya ketika dia mengemukakan sebuah gagasan tentang apapun, maka pasti akan banyak dipengaruhi oleh sejarah saat pemikirannya terbentuk. Penelusuran sejarah kehidupan dan pemikiran ini menjadi pisau analisa untuk menemukan karakter pandangan Hanafi tentang tanah.
Dari pendekatan tersebut ditemukan bahwa secara normatif-teologis Hanafi memandang kepemilikan dan penguasaan tanah adalah mutlak milik Allah swt. Sebab, bumi dan seisinya ini adalah ciptaan Allah. Hanafi banyak mengacu kepada ayat-ayat Al-Qur’an tentang kekuasaan Allah yang ada di bumi dan langit. Sedangkan secara historis-teologis kepemilikan bagi manusia hanyalah bersifat majazi, manusia hanya berhak memanfaatkan dan menggunakan tanah, itupun dengan syarat harus dimanfaatkan dan digunakan dengan sebaik-baiknya.
Pernyataan keimanan seorang muslim menurut Hanafi harus dibarengi dengan melakukan perbuatan baik. Dalam kasus tanah, ketika seseorang sudah mengakui Allah sebagai Tuhan semesta alam, maka konsekuensinya adalah manusia harus memperlakukan ciptaan Allah dengan sebaik-baiknya, termasuk tanah. Untuk itu, modus-modus produksi yang berhubungan dengan kepentingan umum tidak dapat dimiliki secara pribadi. Semuanya merupakan bagian dari sektor umum, seperti pertanian, industri, dan pertambangan. Segala yang berasal dari bumi, baik dari perut maupun permukaannya, yang merupakan bahan-bahan mentah tidak dapat dimiliki secara pribadi.
Dari konsep teologi tanah yang ditawarkan oleh Hanafi di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan yang gamblang bahwasanya kepemilikan majazi yang diberikan oleh Allah kepada manusia atas tanah adalah untuk dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Allah. Maka dari itu, implikasi teologisnya dalam ranah aplikatif adalah terwujudnya keadilan sosial dalam pemilikan dan pemanfaatan tanah.
Dengan dasar keadilan sosial inilah sebenarnya yang menjadi nafas teologi tanah. Keadilan dan pemerataan dalam akses terhadap tanah akan menjadikan mayarakat lebih makmur dan mengurangi kemiskinan serta keterbelakangan. Dengan begitu, senada dengan yang disuarakan Hanafi dalam kritiknya atas teologi klasik; selama teologi klasik masih enggan untuk menyuarakan kemiskinan dan keterbelakangan, maka dunia Islam tidak akan bisa maju.
Dengan pemerataan terhadap kepemilikan tanah dan jaminan kepastian atas akses terhadap tanah akan membuat banyak masyarakat yang selama ini menggantungkan kehidupannya dari tanah akan mengalami kemajuan perekonomian. Secara otomatis hal ini akan mampu meningkatkan kualitas kehidupan mereka menjadi lebih baik.
Pandangan Hanafi tentang tanah bisa memberikan kontribusi bagi maraknya persoalan tanah di negeri ini. Kepemilikan dan penguasaan tanah yang terjadi selama ini telah keluar dari terma teologisnya. Bagaimana tidak, manusia yang seharusnya hanya boleh memanfaatkan dan menggunakan-itupun dengan syarat digunakan sebaik-baiknya- malah menjadikan tanah sebagai tempat untuk memupuk kekayaan sebanyak-banyaknya dan membuat orang lain sengsara. Jika spirit konsep teologi tanah Hanafi ini mampu diadaptasi oleh pemerintah maupun masyarakat, maka peristiwa–peristiwa seperti hilangnya tanah adat karena HPH (Hak Penguasaan Hutan), pemiskinan kawasan hutan, dan rusaknya ekosistem akibat penambangan akan dapat terkurangi.NIM. 05212450 Zayyin Alfijihad