Institutional Repository UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta: No conditions. Results ordered -Date Deposited. 2024-03-29T11:44:02ZEPrintshttp://digilib.uin-suka.ac.id/images/sitelogo.pnghttps://digilib.uin-suka.ac.id/2013-02-11T16:38:25Z2015-04-15T07:16:02Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/6850This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/68502013-02-11T16:38:25ZAL-QUR’AN SUMBER IDEOLOGI PERDAMAIAN (Studi Tematik atas Term Islam, Iman, dan Ihsan)Islam iman, dan ihsan merupakan trilogi konsep keyakinan yang sudah menjadi satu kesatuan yang telah dikenal pada umat yang mengaku ‘pengikut Muhammad’, dan seringkali disandarkan pada hadis Nabi yang mengisahkan Malaikat Jibril datang pada Rasul untuk mengajarkannya. Sehingga trilogi ini
menjadi acuan kesempurnaan dari keberagamaan seseorang. Setiap term dari ketiga konsep tersebut sebenarnya kalau ditinjau dari segi semantiknya, memiliki dua aspek penting, yaitu internalisasi setiap aspek pada diri seseorang sehingga menjadi muslim, mu’min dan muh}sin yang bersandar pada kesadaran bahwa Allah adalah Tuhan satu-satunya yang pantas disembah. Dalam hal ini sering dikenal sebagai aspek teologis (pertanggung jawaban hamba pada Tuhan sebagai
hubungan transendental). Aspek kedua adalah eksternalisasi nilai transendental tersebut dalam tataran sosial humanis, atau disebut sebagai hubungan manusia dengan alam/teologis humanis. Dengan demikian, pada hakikatnya, jika ketiga
konsep ini lebih dimaknai dan dihayati, maka pola keberagamaan sangat bersifat humanis, sosialis, solider, dan toleran. Namun demikian, al-Qur’an yang notabene bukan milik satu golongan, ternyata ‚terpelintir‛ disebabkan banyak
digunakan sebagai alat legitimasi tindakan yang melawan nilai humanis sosialis dari setiap term tersebut, sehingga seringkali muncul kekerasan antaragama maupun antarfaham dalam satu agama. Melihat fenomena semacam ini, penulis
merasa ada yang perlu untuk difahami dari al-Qur’an itu sendiri, dalam hal ini, penulis mencoba berangkat dari trilogi Islam tersebut dengan harapan ketika trilogi ini bisa difahami lebih humanis, maka berbagai kendala kekerasan yang menyebabkan tertutupnya jalan kemajuan peradaban bisa terbuka kembali. Dengan bersumber pada al-Qur’an sebagai kitab rahmat dan kasih sayang, penulis mencoba meneliti apa saja konsep nir kekerasan yang ditawarkan oleh al-Qur’an serta bagaimana perang dijelaskan dalam nilai al-Qur’an. Selain itu, penulis akan mencoba mengaitkannya dengan makna semantik daripada trilogi tersebut dalam al-Qur’an dan kemudian mengambil nilai-nilai universalnya. Oleh sebab itu, untuk menganalisis ketiga term ini, tentunya penulis harus
menggunakan metode tematik, agar mendapatkan suatu kesimpulan yang lebih holistik dan komprehensif, dengan tidak mengabaikan unsur-unsut historis yang melingkupinya jika ada.Setelah melakukan analisis terhadap ketiga term di atas, al-islam, al-iman dan al-ihsan, ternyata aspek yang paling ditekankan dalam al-islam adalah unsur fitrah murni, yaitu penyerahan diri pada Tuhan secara total demi ketauhidan Tuhan. Oleh sebab itu, dalam tatanan al-isla>m, sebenarnya setiap manusia dan agama sama-sama memiliki peluang untuk menjadi al-islam, karena memang ini adalah sebuah naluri alami manusia yang tidak mungkin lepas. Bahkan lebih dari itu, al-islam tidak dikaitkan dengan ibadah formal semata. Kemudian, al-iman ternyata unsur yang tidak bisa lepas dari aspek sosial humanis yang dikenal
dengan amal saleh. Dan perlu diketahui juga, bahwa jika al-iman hanya dimaknai sebagai keyakinan dan kepercayaan, maka orang musyrik Makkah, bahkan Iblis sekalipun percaya pada Allah. Oleh karena itu, aspek yang dibangun dalam alvii
iman bukanlah kepercayaan saja, namun bagaimana keimanan tersebut termanifestasikan dalam pola keberagamaan dan kehidupan, sehingga dalam keimanan ini pulalah segala bentuk ritual keagamaan dibebankan untuk melahirkan etik yang kemudian melahirkan al-ihsan. Dalam pada itu, aspek al ihsan, sejauh pemahaman penulis adalah aspek yang harus dihadirkan dalam kedua aspek al-islam dan al-iman, dengan tujuan untuk lebih baik dan bernilai. Selanjutnya dalam tataran sosial, al-ihsan harus mampu memberikan kebaikan
terhadap orang zalim, mampu memaafkan orang yang bersalah dan lain-lain. Sejauh pengamatan penulis, ada hal yang harus difahami, bahwa ketiga term inimemiliki hubungan yang tidak bisa terpisahkan, namun tidak pula bisa dicampur aduk dengan sembarangan. Permasalahan akan lebih pelik terlihat ketika
menghubungkan antara al-islam dan al-iman. Namun demikian, penulis melihat bahwa ketiga term ini memang memilki ranah masing-masing, namun tetap tidak bisa dipisahkan. Lebih dari itu, bagi penulis, ketiga term ini bukanlah bentuk tingkatan spritual sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibn Taimiyah. Akhirnya, ketika trilogi tersebut dimaknai sesuai kandungan nilai dan tujuannya, maka kekerasan dalam bentuk apapun bisa terkikis dengan sendiriya, sehingga tercipta peradaban yang manusiawi, harmonis, dan penuh dengan kasih sayang.Nim. 09213630 Arif Nuh Safri, S. Th. I2013-02-13T09:57:16Z2015-04-15T07:17:29Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/6880This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/68802013-02-13T09:57:16ZHUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA Studi Komparatif Pemikiran 'Ali 'Abd al-Raziq dan Muhammad 'ImarahTidak bisa dipungkiri bahwa dalam kurun waktu satu dasawarsa ini, umat Islam selalu diposisikan sebagai subordinat bagi kepentingan The Other, baik secara politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Spekulasi yang berkembang adalah bahwa hal tersebut imbas dari dogmatisme ajaran agama yang mempengaruhi pola pikir dan tindakan umat Islam, sehingga agak tertutup terhadap autokritik terhadap dirinya. Solusi yang ditawarkan adalah dengan membuka dan menghidupkan kembali pintu dan ruh ijtihad. 'Ali 'Abd al-Raziq dengan pemikiran-pemikiran politik Islam dan ketatanegaraan “yang menggugat kemapanan” dalam bukunya al-Islam wa Ushul al-Hukm, sesungguhnya telah menjadi salah satu alternatif pilihan bagi pemikiran politik Islam kontemporer. Begitu pula dengan kehadiran Muhammad 'Imarah yang memberikan tanggapan pemikiran atas buku al-Islam wa Ushul al-Hukm karya 'Ali 'Abd al-Raziq, yang secara garis besar ide-ide dan pemikirannya terfokus pada penolakan terhadap sistem khilafah. Dengan menulis sebuah buku Muhammad 'Imarah melakukan beberapa kritikan dan tanggapan tentang pemikiran gurunya tersebut, ia menegaskan bahawa Islam adalah agama dan sekaligus sistem pemerintahan (al-Din wa al-Dawlah). 'Imarah menjelaskan bahwa dalam aliran sekular (Barat),
terdapat pemisah antara agama dengan pemerintahan. Sementara Islam, berpandangan adanya hubungan akidah, syariah, agama
dan pemerintahan (dawlah). Islam bukan risalah spiritual semata-mata. Pemerintahan dalam Islam berlainan sekali dengan pemahaman dalam pemikran Barat. Ada tiga model paradigma dalam memahami hubungan antara agama dan negara. Pertama, Paradigma sekularistik, Paradigma ini memberikan garis disparitas antara agama dan negara. Kedua, Paradigma integralistik, dalam perspektif ini, relasi agama-negara adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Ketiga, Paradigma simbiotik, Menurut pandangan ini, relasi antara agama dan
negara bersifat timbal-balik. Artinya, agama tidak harus diformalkan dalam institusi negara. Penelitian ini mengkomparasikan antara paradigma sekularistik 'Abd al-Raziq dengan paradigma simbiotik ala 'Imarah. Bagi 'Ali 'Abd al-Raziq, Paradigma sekularistik adalah tawaran yang realistis karena tidak ada dalil eksplisit dalam al-Qur’an maupun hadits yang menunjukkan kewajiban mendirikan sebuah negara. Berbeda dengan Muhammad 'Imarah, yang memposisikan hubungan agama dan negara pada hubungan simbiotik, paradigma ini menjadikan agama membutuhkan negara sebagai instrumen dakwah, dan negara membutuhkan agama sebagai sumber dasar. Dan bagi kaum Muslim, jalan keluar dari dilemma ini terlihat ada pada “nafas etik” yang disadari dan coba disamapaikan oleh para pemikir seperti ‘Ali ‘Abd al-Raziq dan Muhammad ‘Imarah. Sehingga bukan “nafas mistik”, melainkan sebuah nalar tajam yang mengungkap dan mengenali jangkar historis dari sebuah etika yang benar-benar universal dalam pesan Islam. Pemikiran inilah yang ingin penelitian ini nantinya dapat mendengar, mengenali, dan – jika mungkin – mengomunikasikannya.NIM. 09212619 Ahmad Abdur Rohman2013-02-13T10:04:27Z2015-04-15T07:18:26Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/6882This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/68822013-02-13T10:04:27ZKONSEP PENDIDIKAN NILAI BUYA HAMKA (STUDI TERHADAP TAFSIR AL-AZHAR)Pendidikan nilai yang lahir sebagai penyeimbang tiga ranah pendidikan, kognitif, psikomotorik dan afektif berusaha memberikan jawaban terhadap stigma negative masyarakat yang mengganggap system peindidikan dewasa ini telah gagal memikul peran sebagai „instrumen‟ untuk mendewasakan manusia. Dengan konstruksi yang dimiliki oleh pendidikan nilai, diharapkan akan lahir manusia-manusia purnawan yang tidak hanya unggul di bidang intelektual, tapi juga unggul di ranah emosional dan spiritual.
Al-Quran sebagai sumber utama ajaran islam, diyakini oleh para pemeluknya memliki petunjuk kehidupan yang sesuai untuk setiap tempat dan waktu dimana ia berada. Ia laksana gudang yang di dalamnya tersimpan mutiara dan permata. Namun tidak setiap orang bisa memasuki gudang tersebut. Salah seorang putra terbaik bangsa, Hamka, telah berupaya memasuki gudang tersebut dan hasilnya melahirkan sebuah karya monumental berupa tafsir al-Azhar. Melalui kitab inilah kita akan melihat bagaimana konsep pendidikan nilai seharusnya diaplikasikan di dunia pendidikan.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research) dimana pengumpulan data dilakukan dengan teknik ala penelitian kepustakaan (berupa pemanfaatan dokumen). Untuk menganalisis data penelitian ini menggunakan metode analisis isi (content analysis) dengan mengaplikasikan metode tafsir tematik dalam penafsiran al-Quran.
Dengan menggunakan metode tafsir tematik atas Tafsir al-Azhar, ditemukan beberapa prinsip pendidikan nilai buya Hamka yang dapat dilihat dalam tiga tema pokok, yaitu makna dan tujuan pendidikan, cara manusia memperoleh nilai, dan metode penyampaian (penanaman) nilai. Makna dan tujuan pendidikan nilai menurut Hamka adalah sebuah upaya yang dilakukan oleh peserta didik untuk membantu peserta didik agar bisa menjadi manusia yang purnawan, artinya manusia yang tidak hanya unggul secara intektual tetapi juga moral. Untuk mencapai tujuan tersebut, manusia melalui akal atau panca indera dan hati atau perasaannya telah memiliki modal besar untuk bisa melakukan hal tersebut. Untuk mendapatkan nilai-nilai tersebut, nilai-nilai harus disampaikan (ditanamkan). Cara penyampaian nilai tersebut menurut hamka adalah melalui pendekatan inculcation approach (penanaman nilai) dengan metode bercerita dan memberikan gambaran akan dampak positif dan negatif dari nilai-nilai tersebut (penguatan positif dan negatif).NIM. 09226005 Ahmad Syarif H2013-02-13T10:14:20Z2015-04-15T07:19:16Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/6883This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/68832013-02-13T10:14:20ZHERMENEUTIKA AL-GHAZALI DAN RICOEUR (Studi Komparatif Teori Makna dan Pemahaman al-Ghazali dan Ricoeur serta Relevansinya terhadap Pengembangan pemahaman Kitab Suci)
Tesis ini merupakan penelitian terhadap teori makna dan pemahaman al-Ghazali dan Ricoeur serta relevansinya terhadap pengembangan pemahaman terhadap Kitab suci. Hal ini bertujuan untuk mengeksplorasi teori makna al-Ghazali dan
Ricoeur, mengungkap teori pemahaman keduanya, dan menguak secara komparatif pemikiran keduanya serta relevansinya bagi pengembangan pemahaman Kitab Suci. Dengan diketahuinya maka akan memberikan manfaat untuk melihat potret utama masing-masing sistem pemikiran dari sudut hermeneutika skriptural keduanya dan awal bagi dialog interreligius antara para pendukung dan pembela tradisi masingmasing (Islam dan Barat) dalam rangka berbagi ide dan pengalaman untuk menyelesaikan kesulitan-kesulitan umum yang tertanam dalam masing-masing
tradisi. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research) yang bersifat deskriptif-evaluasi kritis-sintesis. Maksudnya, setelah memberikan gambaran pemikiran kedua tokoh maka dilanjutkan pada perbandingan untuk kemudian dilakukan sintesa, yaitu setelah memberikan deskripsi dan evaluasi kritis terhadap pemikiran kedua tokoh tersebut, juga dikembangkan suatu pandangan yang lebih utuh
dengan menyintesakan kekuatan-kekuatan pandangan keduanya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan pendekatan komparatif. Hasil penelitian ini adalah: (1) bagi al-Ghazali dan Ricoeur, makna Kitab Suci merupakan sesuatu yang bersifat plural. Setiap orang menemukan dirinya di dalam
Kitab Suci. Jika bagi al-Ghazali al-Qur’an adalah samudra yang luas yang darinya diperoleh segala macam ilmu, maka bagi Ricoeur makna Bibel adalah konstruksi dialektik teks dan pembaca. (2) pemahaman bagi keduanya bukanlah pemahaman
yang diturunkan dari generasi-generasi sebelumnya, melainkan pemahaman yang selalu baru dan oleh karena itu beragam, akan tetapi dengan standard objektif. Di tangan al-Ghazali, objektivitas tersebut didapat dengan logika silogistiknya.
Sedangkan di tangan Ricoeur, objektivitas didapat dari otonomi teks dan penafsiran beragam yang dari situ dilakukan validasi. (3) kitab suci didasarkan pada keyakinan dan oleh karena itu membutuhkan komunitas penerima atau komunitas interpretasinya yang memiliki asumsinya masing-masing. Oleh sebab itu¸ tidak bisa asal “mencaplok teori” untuk membedah bagian tertentu dari Kitab Suci. Sebaliknya, juga adalah lucu menolak mentah-mentah dengan alasan mempertahankan
“kemurnian” atau takut keluar dari koridor sehingga membawa pada penghinaan terhadap Kitab Suci. Akhirnya, penafsiran adalah upaya pemahaman tiada ujung yang menghendaki sikap open minded dan toleran.NIM. 09213629 ARI HENDRI2013-02-13T10:27:22Z2015-04-15T07:29:31Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/6884This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/68842013-02-13T10:27:22ZKRITIK KHALED M. ABOU EL FADL TERHADAP PENAFSIRAN ISLAM PURITAN TENTANG AYAT-AYAT RELASI PEREMPUAN DALAM KELUARGAIslam saat ini mengalami suatu momen transformatif yang tidak kurang dramatisnya dibandingkan dengan gerakan-gerakan reformasi. Misalnya, gerakan yang dalam konteks Islam saat ini, momen transformatif tersebut tidak berkembang atau malah akut. Ada satu celah penting antara sistem keyakinan
kaum moderat yang mengalami reformasi dan keyakinan kaum puritan yang lebih konservatif dan kaku. Terutama pada persoalan penafsiran terhadap kesetaraan gender, persoalan ini menjadi rumit manakala bentuk penafsiran tersebut menjadi semacam alat yang menindas perempuan dalam derajat yang merendahkan. Khaled Abou el Fadl adalah seorang feminis yang berusaha meluruskan penafsiran kaum puritan terhadap kesetaraan gender yang terkesan otoriter. Ia menawarkan beberapa prasyarat yang harus dipenuhi oleh seorang penafsir, sehingga penafsiran yang benar dan jujur dapat terpenuhi. Berangkat dari latar belakang di atas, penyusun bermaksud meneliti pandangan Khaled tentang salah satu kelompok yang menamakan dirinya kaum puritan. Penelitian ini, merupakan jenis kajian kepustakaan yang sifatnya analitis kritis dengan menggunakan pendekatan historis.
Kesimpulan yang diperoleh menunjukkan bahwa kaum puritan dalam menafsirkan al Qur‟an menggunakan pendekatan literalis atau tekstual. Pendekatan ini merupakan pendekatan yang digunakan dalam membaca teks apa adanya, berupa isi pesan tertulis tanpa perlu menyelami pemahaman penafsiran lebih jauh lagi, apalagi sampai pada pentakwilan suatu ayat. Berbeda dengan kaum puritan, Khaled Abou el Fadl dengan metode hermeneutik kontekstual selalu mempertimbangkan bahkan meniscayakan realitas sosial sebagai basis bagi
kemungkinan perubahan hukum. Dengan begitu, teori ini dapat mengantarkan para pembaca teks untuk selalu mengkaji dan menganalisis dengan seksama realita-realita yang menyertai teks tersebut pada satu sisi dan realita-realita yang tengah dihadapi pada sisi yang lain. Keputusan hukum yang diambil pada akhirnya tetap harus mempertimbangkan lima prasyarat yang ia tetapkan, 1. kejujuran; 2. kesungguhan; 3. kemenyeluruhan; 4. rasionalitas; dan 5. pengendalian diri. Sehingga menurut Khaled, kaum puritan telah menyelewengkan penafsiran ayat-ayat tentang relasi perempuan dalam keluarga
dari penafsiran yang sebenarnya.NIM. 09213632 Fitriana Firdausi2013-02-13T10:34:40Z2015-04-15T07:30:17Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/6885This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/68852013-02-13T10:34:40ZINTERAKSI SOSIAL MUSLIM DENGAN NON-MUSLIM PERSPEKTIF HADISDalam bahasan agama, khususnya, Islam, pergaulan atau interaksi sosial pun termasuk sebuah permasalahan yang urgent karena, sebuah interaksi sosial yang baik akan membawa kepada hasil yang baik, dan hal ini pun berlaku
sebaliknya. Banyak diantara umat Islam, yang ketika bersinggungan dengan interaksi sosial di masyarakat hanya memandang bahwa sebuah interaksi sosial yang baik hanyalah dibangun untuk sesama umat Islam saja, sedangkan mereka
yang berada di luar koridor Islam, dipandang sebagai sesuatu yang tidak begitu penting untuk dipergauli dengan sikap yang baik dan santun. Dalam penelitian ini, penulis mengumpulkan hadis-hadis yang relevan dengan permasalahan interaksi sosial, seperti hadis tentang pengucapan salam dan sikap kepada wisatawan. Hadis-hadis tersebut kemudian penulis teliti tingkat keshahihan dan penjelasan akan hadis tersebut. Setelah itu, maka didapatkan bahwa hadis-hadis yang berkaitan dengan interaksi sosial tersebut dapat
dipertanggung jawabkan secara sanad dan matan, serta diketahui bahwa tidak ada anjuran untuk bertindak kasar kepada pihak non-muslim apabila mereka tidak menyakiti dan membahayakan pihak muslim secara terang-terangan. Kemudian
untuk lebih menguatkan hasil penelitian, penulis menambahkan beberapa fakta sejarah yang tidak terkutip sebagai hadis yakni dalam sirah nabawiyah, selain itu dicantumkan pula adanya perjanjian jaminan damai yang telah disepakati antara
Nabi Muhammad SAW dengan petinggi gereja st. catherine.
Dengan demikian, Islam yang dibawa dan disampaikan oleh Muhammad berkesesuaian dengan arti Islam itu sendiri yakni menyelematkan. selain itu, pada hakikatnya Islam memang dibawa bukan untuk menjadi device yang menghukumi semua manusia yang tidak beriman kepadanya, melainkan sebagai ajaran yang membawa kasih sayang bagi seluruh makhluk yang hidup di dunia tanpa terkecuali.NIM. 09213633 Haidi Hajar Widagdo, S.Th.I2013-02-13T11:14:22Z2015-04-15T07:35:50Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/6886This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/68862013-02-13T11:14:22ZOTENTISITAS HADIS DALAM TRADISI FIKIH HANAFIYAHLatar belakang penulisan tesis berawal dari permasalahan berhentinya otensitas pada ulama hadis tanpa mempertimbangkan dimana kelompok mereka berafiliasi, semua orang jika mengatakan kritik hadis maka yang paling sempurna adalah hasil karya al-Bukhari dan Muslim. Padahal asumsi penulis, setiap kelompok yang lahir pada awal Islam mempunyai pendekatan yang berbeda terhadap konsep kenabian, sunnah dan hadis. Penulis membahas Hanafiyyah karena disebut-sebut merupakan kelompok, yang mewakili ahl al-ra'yi, yang berbeda dar ahl al-hadis, yang teorinya banyak dibahas dibangku kuliah akhir-akhir ini.
Melihat masalah diatas, penulis mengajukan tiga rumusan pertanyaan: pertama, Bagaiman pandangan Madzhab Hanafi terhadap hadis secara umum? Kedua, Bagaimana teori otentisitas hasis dalam tradisi hanafiyya? Ketiga, bagaimana implikasi terhadap kajian hadis? ketiga pertanyaan diatas didekati dengan dua kerangka teori; pertama, teori kritik hadis yang mempertimbangkan dua unsur hadis, yaitu kritik matan dan kritik sanad, ini berfungsi uantuk menilai bagaimana ulama hanafiyyah memperhatikan dua unsur hadis tersebut. Kedua, teori distingsi sunnah dan hadis, ini penulis pergunakan untuk melihat sejauh mana tingkat formalitas dua unsur hadis, dalam tradisi hanafiyyah.
Menggunakan kedua kerangka teori di atas penulis menemukan bahwa pertama, kritik hadis hanafiyyah meliputi dua unsur yaitu sanad dan matan. kritik sanad meliputi: muttasil sanad, perawi harus berakal, dabit, adil dan beragama islam. Keunikan ulama Hanafiyyah yang paling mencolok adalah perhatian terhadap akal yang begitu dalam sehingga ini meniscayakan kritik pada makna matan. Sedangkan kritik matan-nya adalah: tidak bertentangan dengan al-Quran, tidak bertentangan dengan hadis mutawatir dan hadis mashur, hadis ahad tidak yang "ta'ummu biha al-balwa", Hadis yang ditinggalkan sahabat dalam perdebatan mereka. Kedua, matan dalam tradisi ulama Hanafiyyah tidak mewajibkan teks yang formal, ulama Hanafiyyah menganggap rukhsah pada periwayatan bi al-ma'na, pada hadis-hadis tertentu. Akibat pandangan Hanafiyyah tentang matan seperti ini, ulama Hanafiyyah tidak mempertimbangkan illat dan syaz dalam kritik matan-nya. Ketiga, sanad juga tidak formal, buktinya mereka mentolelir keadaan mursal dalam sanad.NIM. 09213638 M. Shofiyyudin, S.Th.I2013-02-13T11:22:59Z2015-04-15T07:36:48Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/6887This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/68872013-02-13T11:22:59ZPEMAHAMAN TERHADAP AL-QUR’AN DALAM RUBRIK TAUSIYAH DI MAJLIS TAFSIR AL-QUR’ANPemahaman terhadap al-Qur’an muncul dalam beragam ekspresi. Salah satunya diekspresikan melalui tulisan-tulisan keagamaan dalam sebuah rubrik di media massa. Seperti rubrik bernama Taus{iyah, di dalamnya termuat teks-teks pemahaman terhadap al-Qur’an dengan tema-tema seputar peristiwa aktual di masyarakat. Hal ini merupakan fenomena pemahaman al-Qur’an di tengah masyarakat yang realistis untuk diteliti. Terlebih rubrik Taus{iyah memilih media internet sebagai media yang kini digandrungi publik. Terlebih lagi, rubrik
Taus{iyah lahir dari sebuah lembaga yang menamakan dirinya Majlis Tafsir Al-Qur’an. Sebuah Majlis dengan nama dan tujuan yang berfokus pada kajian al-Qur’an. Oleh sebab itu, mengetahui bagaimana metodologi pemahaman terhadap al-Qur’an yang ditawarkan dalam rubrik tersebut menjadi tujuan dalam penelitian ini. Selain metodologi, wacana yang digemakan dalam teks-teks tersebut tak terkecuali menjadi tujuan penelitian ini. Mengetahui metodologi pemahaman al-Qur’an meniscayakan adanya teori yang dipakai dalam penelitian. Landasan teori dalam penelitian ini adalah teori yang diintrodusir oleh Islah Gusmian dengan alasan teori ini telah digunakan untuk meneliti khazanah tafsir di Indonesia, juga teori ini memberikan pembedaan yang jelas antara teknik penafsiran dengan aspek pemaknaan [hermeneutik]. Sebagai pengayaan teori dalam beberapa bagian, tidak dikesampingkan pula teori yang sudah populer dalam studi tafsir yakni metodologi penafsiran al-Farma@wi@.Berpijak pada teks-teks dalam rubrik Taus{iyah, penelitian ini tergolong penelitian kepustakaan. Metode pengolahan data primer berupa teks-teks yang dipublikasikan dari Januari hingga September 2010 dan data sekunder berupa literatur penunjang dengan menggunakan metode analisis deskriptif, yakni memaparkan apa adanya berdasarkan pemahaman peneliti. Untuk mengetahui wacana dalam teks-teks tersebut, digunakan pendekatan analisis wacana yang mencakup tiga elemen; struktur makro, struktur skematis, yang keduanya dapat diketahui melalui analisis metodologis dengan kerangka teori yang dipakai, dan
struktur mikro melalui interpretasi terhadap pesan teks. Proses analisis dilakukan dengan menguraikan persoalan-persoalan yang didapatkan kemudian memasukkan teks-teks yang diteliti sesuai persoalan tersebut guna didapatkan
pemaparan yang utuh dan sistematis. Hasil yang diperoleh dari penelitian menunjukkan bahwa metodologi pemahaman al-Qur’an dalam rubrik Taus{iyah dilihat dari aspek tehnis penulisan menggunakan sistematika penyajian tematik, bentuk penyajian global, gaya bahasa populer, bentuk penulisan non ilmiah, sifat penulis individu, menggunakan literatur non akademik dengan tanpa keterangan sumber rujukan. Penelusuran
terhadap aspek pemaknaan [hermeneutik] menunjukkan bahwa metode yang dipakai adalah riwayat, nuansa pemahamannya teologis, psikologis dan sosial kemasyarakatan. Pendekatannya adalah tekstual. Secara struktural, teks-teks
tersebut terdiri atas paparan pembuka, isi dan penutup. Konstruksi wacana yang terbangun adalah seputar akhlak, dakwah dan akidah yang ditampilkan dengan model pemahaman literalis skripturalis yang memiliki kelemahan di antaranya
ketidakmampuan model ini dalam menjawab problem yang diketengahkan.NIM. 08213538 Mir’atun Nisa’, S.Th.I2013-02-13T11:31:58Z2015-04-15T07:51:18Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/6889This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/68892013-02-13T11:31:58ZELEMEN-ELEMEN HERMENEUTIKA FAKHRUDDIN AL-RAZI DALAM KITAB MAFATIH AL-GAIB (Studi Surat al-Kausar)Isu relevansi hermeneutika terhadap penafsiran al-Qur’an masih sangat muda dibanding perkembangan tafsir itu sendiri, ternyata sebahagian kalangan menganggap bahwa metode ini sangat layak untuk menjawab isu kontemporer saat ini, karena banyak ilmuan Muslim menilai bahwa ilmu tafsir yang selama ini dijadikan acuan dalam memahami al-Qur’an ternyata memiliki berbagai keterbatasan. Aktifitas dalam ilmu tafsir yang menekankan pemahaman teks semata, tanpa mau mendialogkannya dengan realitas yang tumbuh ketika teks itu
dikeluarkan dan dipahami oleh pembacanya, misalnya, ilmu tafsir tidak menempatkan teks dalam dialektika konteks dan kontekstualisasinya. Teks al-Qur’an akan sulit dipahami oleh berbagai pembaca lintas generasi. Oleh karenanya ilmuan muslim membutuhkan teori hermeneutika tersebut. Dalam penelitian ini penulis mencoba menelaah tafsir abad pertengahan (dalam hal ini tafsir Mafatihal-Gaib karya Fakhruddin al-Razi) penulis mencoba menghadirkan elemen-elemen hermeneutika Fakhruddin al-Razi dalam kitab
Mafatihal-Gaib khususnya dalam Surat al-Kausar. Untuk memecahkan permasalahan yang telah penulis sebutkan dalam
latar belakang penulisan, penulis mencoba merumuskan masalah terlebih dahulu sebagai berikut: Bagaimana Penafsiran Fakhruddin al-Razi terhadap surat al-Kausar Apa elemen-elemen hermeneutika Fakhruddin al-Razi yang teerkandung
dalam kitab Mafatihal-Gaib khususnya dalam Surat al-Kausar Apa relevansi elemen-elemen hermeneutika Fakhruddin al-Razi dalam Mafatihal-Gaib terhadap metode tafsir kekinian?
Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research). Sedangkan metode analisa yang akan dipakai adalah metode analisa-deskriptif, yaitu mendeskripsikan data baik dari sumber primer atau sumber-sumber sekunder kemudian dianalisa secara kritis komprehensif sehingga dapat diperoleh kesimpulan yang memadai. Setelah melakukan analisis, penulis melihat bahwa pada hakekatnya elemen-elemen hermeneutika Fakhruddin al-
Razi bisa ditemukan dalam tafsir Mafatih al-Gaib. Hal ini bisa dilihat dalam penafsirannya yang menggunakan istilah Fawa’id, Lata’if dan isyarah. Disamping itu juga hermeneutika secara umum bisa ditinjau dari aspek asbab al-
Nuzul dan Munasabah nya. Dengan demikian, melalui istilah fawa’id dalam arti lain menurut sejauh pemahaman penulis lebih pada pembahasan surat dari segi term. Artinya, Fakhruddin al-Razi mencoba memahami makna yang terkandung
dari setiap term. Dalam hal ini, Fakhruddin al-Ra>zi> menjelaskan berupa makna gramatikal, makna asli dari sebuah term. Serta lata’if Fakhruddin al-Razi menginginkan bahwa dalam tafsir harus mampu mengambil atau memahami apaapa
yang tersirat dari sebuah teks, atau dengan istilah lain ‘makna di balik teks’ , isyarah atau penulis melihat sebagai makna sebuah term menjadi lebih bersifat universal. Yaitu Fakhruddin al-Razi menafsirkan tidak berhenti pada makna yang berlaku pada saat teks tersebut turun, namun ia mencoba menggalinya lebih, yaitu pada aspek isyarat yang ada dalam teks itu sendiri. Namun tetap bertitik tolak pada teks yang ada.NIM. 09213641 Mustapa, S.Th.I2013-02-13T11:49:58Z2015-04-15T07:26:35Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/6897This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/68972013-02-13T11:49:58ZPERBANDINGAN PREFERENSI ANGGOTA PEREMPUAN TENTANG KINERJA LEMBAGA KEUANGAN MIKRO SYARIAH GEMI DAN BMT DI YOGYAKARTATesis yang saya susun ini meneliti masalah kinerja di lembaga keuangan mikro syariah. Seberapa jauh tingkat kinerja dalam lembaga keuangan syariah tesebut tertuang dalam tesis ini. Untuk mengetahui tingkat kinerja lembaga
keuangan mikro syariah, penyusun membandingkan beberapa lembaga keuangan mikro syariah di Yogyakarta. Lembaga yang penyusun bandingkan ada empat lembaga sebagai sampel penelitian, yaitu lembaga keuangan mikro syariah GEMI,
BMT Artha Amanah, BMT Tamziz, BMT PAS (Projo Artha Sejahtera). Pendekatan metodelogi dalam penelitian ini menggunakan kuantitatif diskriptif. Penelitian ini di rancang untuk mengamati dan menganalisa bagaimana pengaruh pemberdayaan usaha terhadap efektifitas kinerja pembiayaan dalam lembaga keuangan syariah. Kemudian dibandingan dengan lembaga-lembaga keuangan syariah yang lain yang tidak menggunakan pemberdayaan usaha. Pengujian terhadap hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini menggunakan analisis uji beda t (t-test). Uji beda t (t-test) dapat dilakukan jika data berdistribusi normal, dan apabila data tidak berdistribusi normal maka dilakukan dengan analisis uji non parametrik dengan metode uji beda rata-rata Mann-Whitney Test dengan menggunakan program SPSS 13.00 for windows.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, Terjadi peningkatan perkembangan pembiayaan dalam lembaga keuangan mikro syariah GEMI dibandingkan dengan BMT di Yogyakarta. Hal tersebut didukung hasil penelitian yang menunjukkan bahwa sebagian besar anggota GEMI pada kategori sangat
baik, sedangkan anggota BMT menunjukkan sebaliknya, yaitu sebagian besar anggota perempuannya mempunyai pembiayaan pada kategori kurang. Pemberdayaan usaha dalam lembaga keuangan mikro syariah GEMI berpengaruh positif terhadap efektifitas kinerja produk pembiayaan dibandingkan dengan
lembaga BMT yang tidak melakukan pemberdayaan. Kedisiplinan anggota perempuan dalam lembaga keuangan mikro syariah GEMI lebih bertanggung jawab dari pada anggota perempuan di lembaga BMT di Yogyakarta. Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan konstribusi positif dalam dunia keuangan dan perbankan Islam. Penelitian ini juga menunjukan bahwa masyarakat miskin terutama kaum perempuan apabila diberdayakan dapat meningkatkan perekonomian mereka. Kepada pemerintah hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam penentuan kebijakan baik di sektor
ekonomi maupun di sektor perbankan.NIM. 09233547 Budi Kolistiawan2013-02-13T12:05:06Z2015-04-15T08:03:06Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/6898This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/68982013-02-13T12:05:06ZPEMIKIRAN ISLAM PROGRESIF KHALED ABOU EL FADL Kajian atas Gagasan Hak Asasi Manusia, Keadilan Gender dan Pluralisme Agama
Persentuhan dunia Islam dengan modernitas Barat, utamanya dalam hal merespon isu-isu kontemporer telah melahirkan debat panjang yang berpangkal pada satu pertanyaan krusial mengenai “apakah modernitas Barat compatible dengan prinsip
serta ajaran Islam atau tidak?” Sebagian kalangan menilai modernitas Barat tidak sejalan dengan prinsip dan ajaran Islam. Sebagian yang lain menganggap modernitas yang ditawarkan Barat merupakan peluang bagi dunia Islam untuk
bangkit dari kejumudan intelektualitas. Salah satu dari sekian banyak tokoh yang turut serta menyuarakan perlunya reformasi struktural dalam pemikiran Islam adalah Khaled Abou El Fadl, seorang pakar hukum UCLA Amerika Serikat.
Penelitian ini dikerangkakan untuk mengungkap bagaimana corak pemikiran Islam progresif Khaled Abou El Fadl serta mendalami pandangan progresifnya pada persoalan hak asasi manusia, keadilan gender dan pluralisme agama. Demi
mengantarkan penelitian ini sampai pada tujuan tersebut, digunakanlah metode deskriptif-analitis. Sebagai sebuah proyek reformasi keilmuan dan pemikiran, tentu ada konsep keislaman yang tetap (continuity) dan yang berubah (change)
dari gagasan Khaled Abou El Fadl. Guna memetakan apa yang tetap dan yang berubah dari gagasan Khaled Abou El Fadl tersebut, peneliti menggunakan pendekatan historis-filosofis. Dengan mengacu pada tradisi jurisprudensi Islam klasik, Khaled Abou El Fadl berpendapat bahwa apa yang disebut sebagai konsep HAM dalam Islam adalah apa yang oleh para ahli hukum klasik disebut sebagai dharuriyyat al-khamsah (lima kepentingan yang harus dilindungi). Abou El Fadl menegaskan bahwa kelima hal yang harus dilindungi tersebut mencakup hak hidup, hak untuk mengoptimalkan potensi akal, hak untuk beragama, hak untuk berkeluarga atau
berketurunan serta hak atas kepemilikan harta. Terkait dengan persoalan gender, Khaled Abou El Fadl merasa perlu untuk menyoroti fenomena munculnya fatwafatwa dari sejumlah lembaga keagamaan yang cenderung tidak adaptif terhadap
hak-hak perempuan. Dalam analisa Khaled Abou El Fadl, titik pangkal persoalan ketimpangan gender dalam Islam adalah dirujuknya sejumlah hadist yang merendahkan perempuan sebagai sumber hukum (fatwa). Khaled Abou El Fadl menegaskan bahwa hadist-hadist yang secara subtansial bertentangan dengan rasionalitas manusia, sifat-sifat dasar Rasul serta prinsip dasar Islam harus ditangguhkan atau bahkan dibatalkan legalitasnya sebagai sumber hukum. Mengomentari persoalan pluralisme, Khaled Abou El Fadl berpandangan bahwa
salah satu tantangan terberat bagi terejawantahkannya pluralisme agama adalah kenyataan adanya pluralitas jalan keselamatan, di mana setiap agama mengklaim diri sebagai agama yang “menyediakan” jalan keselamatan. Menyikapi kenyataan tersebut, Khaled Abou El Fadl cenderung mendasarkan pendapatnya pada konsep pengakuan Islam atas golongan ahl al-kitāb. Terinspirasi oleh pengakuan Islam
atas Yahudi dan Nasrani, Khaled Abou El Fadl berkeyakinan bahwa jalan keselamatan bukanlah monopoli Islam semata. Lebih lanjut Abou El Fadl menegaskan bahwa jalan keselamatan adalah hak prerogatif Tuhan. Tidak ada seseorang atau satu agama pun yang memiliki otoritas untuk mengklaim dirinya
sebagai manusia atau agama yang dipilih Tuhan untuk “menikmati” jalan keselamatan.NIM. 09212624 NURROCHMAN2013-02-13T12:58:46Z2015-04-15T07:20:03Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/6908This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/69082013-02-13T12:58:46ZTRADISI PENAFSIRAN AL-QUR’AN DI MUHAMMADIYAH Kajian Historis dan MetodologisPerjalanan panjang Muhammadiyah memiliki geliat yang cukup menarikbdalam tradisi penafsiran Al-Qur’an. Geliat itu tidak saja terjadi dalam konteksbkuantitas literatur tafsir Al-Qur’an yang ditulis Muhammadiyah dan parabtokohnya saja, tetapi juga dalam konteks kualitas, yaitu munculnya beragam
tujuan, bentuk, dan prinsip metodologi tafsir yang digunakan denganbmemunculkan analisis historis, antropologis, sosiologis, dan geografis dalam memahami teks Al-Qur’an.
Upaya melacak sejarah penafsiran Al-Qur’an di Muhammadiyah dimulai dengan penelusuran sejarah munculnya kajian Al-Qur’an di Muhammadiyah dan dinamika yang terjadi didalamnya. Setelah itu, tradisi tafsir Al-Qur’an di Muhammadiyah di petakan dalam kerangka periode yang mengacu pada tahun.
Dalam priodesasi ini, diuraikan juga ragam teknis penafsiran yang telah berkembang di Muhammadiyah serta risensi historis secara singkat atas lima buku tafsir yang menjadi objek kajian. Penelitian ini lebih mengarahkan pada konteks penafsiran Al-Qur’an di Muhammadiyah meliputi menulisan tafsir dan hermeneuiknya. Tujuannya adalah: (1) secara metodologis memetakan literatur tafsir Al-Qur’an di
Muhammadiyah; (2) mengungkap dinamika dan perkembangan tafsir Al-Qur’an di Muhammadiyah dengan pernak-pernik ideologi yang ada dibalik penulisan tafsir Al-Qur’an tersebut serta wacana-wacana yang dikembangkan. Dengan arah yang demikian itu, penelitian ini diupayakan dapat menjadi
(1) acuan dan dasar pijak bagi para peneliti yang konsen terhadap kajian tafsir Al-Qur’an di Muhammadiyah. Dan (2) menjadi acuan dalam melihat kontruksi metodologis tafsir Al-Qur’an di Muhammadiyah serta beragam wacana dan ideologi yang dikembangkan didalamnya. Untuk memfokuskan analisis, data penelitian ini mengarah pada lima judul literatur tafsir Al-Qur’an, yaitu: (1) Tafsir Al-Qur’an; Djoez Ke Satoe yang disusun secara kolegial oleh Lajnah yang terdiri dari beberapa ulama vi Muhammadiyah yang diketuai oleh K.R. H. Hadjid diantaranya: K.H. M. Mansoer, K.H. A. Badawi, K.H. Hadikoesoemo, K.H. Farid, H. Aslam dan para ulama lainnya. (2) Kemudian ada Tafsir Al-Bayan oleh Prof. Dr. T.M. Hasbi
Ash-Shiddieqy, (3) Tafsir Al-Azhar oleh Prof. Dr. HAMKA, (4 ) Tafsir Sinar yang disusun menurut nuzul (turunnya) surah Al-Qur’an oleh H. Abdul Malik Ahmad, walaupun baru terbit dua jilid (11 surat) (5) Tafsir Tematik Al-Qur’an tentang Hubungan Sosial Antarumat Beragama yaitu tafsir tematik yang juga disusun secara kolektif oleh Tim yang ditunjuk secara resmi oleh Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Sumbangan yang diberikan penelitian ini adalah memberikan data dan informasi mengenai sejarah dan metodologi penafsiran Al-Qur’an di Muhammadiyah. Lima karya tersebut bagaimanapun telah memperlihatkan
semangat keilmuan yang dibangun Muhammadiyah. Informasi ini tentu dapat dijadikan berbagai pihak khususnya Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah untuk mencari format baru yang paling apresiatif terhadap upaya penafsiran Al-Qur’an dan responsif terhadap perubahan pemikiran dan sosial.NIM. 07213510 Aly Aulia Imron2013-02-13T13:09:39Z2015-04-15T07:33:12Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/6909This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/69092013-02-13T13:09:39ZTEOLOGI BENCANA DALAM PERSPEKTIF QURAISH SHIHABSebagaimana yang telah diuraikan dalam pendahuluan, bahwa penelitian
ini akan diarahkan guna menjawab dua rumusan masalah yang telah penulis
angkat dalam mengkaji penafsiran Quraish Shihab tentang bencana. Yaitu: (1)
Bagaimana penafsiran Quraish Shihab mengenai ayat-ayat tentang bencana?, dan
(2) Bagaimana teologi bencana menurut Quraish Shihab dalam tafsir al-Mishbah?
Berikut ini kesimpulan yang berhasil penulis dapatkan dari penelitian.
1. Penafsiran Quraish Shihab tentang bencana dapat dilakukan melalui beberapa
term yang mengacu pada makna bencana seperti kehancuran, kematian,
kebinasaan, kerusakan, dan lain sebagainya, term-term tersebut adalah
mushi>bah, bala>’, fitnah, az}a>b, fasad, ‘iqa>b, tadmi>r, dan halak. Delapan term
ini dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu: (1) Kerusakan kolektif.
Term-term yang menunjukkan pada kerusakan kolektif adalah fasad, tadmi>r,
dan halak. (a) Kata fasad berarti kerusakan. Adapun kerusakan itu ada dua
macam yaitu kerusakan secara fisik, yakni kerusakan lingkungan atau bumi,
dan ada juga kerusakan secara psikis atau kerusakan moral atau spiritual. (b)
Kata tadmi>r adakalanya berarti kehancuran dan adakalanya juga berarti
kebinasaan. Datangnya suatu kehancuran dan kebinasaan terhadap suatu kaum
tidak terlepas dari kedurhakaan yang telah mereka lakukan. (c) Kata halak,
kata ini digunakan untuk menunjukkan kebinasaan, yang sebagian besar menunjukkan suatu kejadian tentang kehancuran yang sangat besar. (2)
kerusakan secara makna. Term-term yang menunjukkan pada kerusakan
secara makna adalah bala>’, fitnah, az}a>b, dan ‘iqa>b. (a) Term bala>’ pada
mulanya berarti nyata atau nampak. Namun kemudian makna itu berkembang
menjadi ujian yang dapat menampakkan kualitas keimanan seseorang. Ujian
dan cobaan itu ada dua macam, adakalanya berupa sesuatu yang tidak
menyenangkan, seperti bencana. Dan ada juga ujian berupa nikmat. (b) Kata
fitnah, menurut Quraish Shihab kata fitnah dalam al-Qur’an digunakan untuk
menunjukkan pada pengertian cobaan, kekacauan, dan bencana. (c) Kata az}a>b
dalam al-Qur’an menunjukkan pada makna siksa. Menurut Quraish Shihab
siksa atau hukuman itu ada 3 macam, yaitu Pertama, hukuman atau sanksi
yang ditangguhkan di akhirat nanti. Kedua, hukuman atau sanksi yang
dicukupkan di dunia ini. Ketiga, hukuman atau sanksi yang sebagian diberikan
di dunia sebagai muqaddimah, dan sebagian lainnya di berikan di akhirat
kelak. (d) Kata ‘iqa>b, kata digunakan dalam arti kesudahan yang tidak
menyenangkan atau sanksi atas pelanggaran. (3) keburukan atau bahaya yang
menimpa, yang ditunjukkan oleh term mushi>bah. Kata mushi>bah adakalanya
didefinisikan sebagai kehancuran, kegagalan dan juga kekalahan. Adapun
penyebab datangnya mushi>bah adalah dari perbuatan yang telah dilakukan
oleh manusia itu sendiri, yakni dosa dan kemaksiatan.2. Quraish Shihab mendefinisikan bencana alam sebagai adanya
ketidakseimbangan pada lingkungan, yang sesungguhnya telah diciptakan oleh
Allah dalam satu sistem yang sangat serasi sesuai dengan kehidupan manusia,yang mana ketidakseimbangan tersebut telah mengakibatkan sesuatu yang
memenuhi nilai-nilainya, berfungsi dengan baik, dan bermanfaat, menjadi
kehilangan sebagian atau seluruh nilainya sehingga berkurang fungsi dan
manfaatnya, yang mana dampak dari itu semua adalah munculnya kekacauan.
Ada tiga faktor penyebab terjadinya bencana. Pertama, bencana yang murni
atas kehendak dan izin dari Allah. Bencana ini ada tiga macam, yaitu (1)
adakalanya merupakan bentuk hukuman yang dalam al-Qur’an disebutkan
dengan menggunakan mushi>bah, az}a>b, ‘iqa>b, tadmi>r dan fitnah, (2) bencana
sebagai teguran yang ditunjukkan al-Qur’an dengan term fitnah dan juga
mushi>bah, (3) maupun kasih sayang dari Tuhan, yang dalam al-Qur’an
disebutkan dengan menggunakan term bala>’. Kedua, bencana yang terjadi
akibat kontribusi perusakan yang dilakukan oleh manusia, baik perusakan
terhadap alam, maupun perusakan kepada diri manusia itu sendiri, yang dalam
al-Qur’an ditunjukkan dengan term fasad. Dan ketiga, adanya kedhaliman
yang dilakukan oleh manusia, yang ditunjukkan oleh al-Qur’an dengan kata
halak. Kemudian etika dalam menghadapi bencana yaitu dengan
mengucapkan dan menghayati kalimat Inna> lilla>hi wa Inna> ilahi Ra>ji’u>n,
bersabar, bertawakkal kepada Allah, dan belajar dari bencana. Adapun hikmah
dari terjadinya bencana itu diklasifikasikan menjadi 2, yaitu: (1) hikmah yang
bersifat individual, seperti: (a) meningkatkan derajat keimanan seseorang, (b)
mengingatkan dan mendekatkan manusia kepada Tuhannya, (c) Agar manusia
tahu bahwa Allah mencintanya, (d) menyeleksi kualitas keimanan seseorang,yang mana ketidakseimbangan tersebut telah mengakibatkan sesuatu yang
memenuhi nilai-nilainya, berfungsi dengan baik, dan bermanfaat, menjadi
kehilangan sebagian atau seluruh nilainya sehingga berkurang fungsi dan
manfaatnya, yang mana dampak dari itu semua adalah munculnya kekacauan.
Ada tiga faktor penyebab terjadinya bencana. Pertama, bencana yang murni
atas kehendak dan izin dari Allah. Bencana ini ada tiga macam, yaitu (1)
adakalanya merupakan bentuk hukuman yang dalam al-Qur’an disebutkan
dengan menggunakan mushi>bah, az}a>b, ‘iqa>b, tadmi>r dan fitnah, (2) bencana
sebagai teguran yang ditunjukkan al-Qur’an dengan term fitnah dan juga
mushi>bah, (3) maupun kasih sayang dari Tuhan, yang dalam al-Qur’an
disebutkan dengan menggunakan term bala>’. Kedua, bencana yang terjadi
akibat kontribusi perusakan yang dilakukan oleh manusia, baik perusakan
terhadap alam, maupun perusakan kepada diri manusia itu sendiri, yang dalam
al-Qur’an ditunjukkan dengan term fasad. Dan ketiga, adanya kedhaliman
yang dilakukan oleh manusia, yang ditunjukkan oleh al-Qur’an dengan kata
halak. Kemudian etika dalam menghadapi bencana yaitu dengan
mengucapkan dan menghayati kalimat Inna> lilla>hi wa Inna> ilahi Ra>ji’u>n,
bersabar, bertawakkal kepada Allah, dan belajar dari bencana. Adapun hikmah
dari terjadinya bencana itu diklasifikasikan menjadi 2, yaitu: (1) hikmah yang
bersifat individual, seperti: (a) meningkatkan derajat keimanan seseorang, (b)
mengingatkan dan mendekatkan manusia kepada Tuhannya, (c) Agar manusia
tahu bahwa Allah mencintanya, (d) menyeleksi kualitas keimanan seseorang,yang mana ketidakseimbangan tersebut telah mengakibatkan sesuatu yang
memenuhi nilai-nilainya, berfungsi dengan baik, dan bermanfaat, menjadi
kehilangan sebagian atau seluruh nilainya sehingga berkurang fungsi dan
manfaatnya, yang mana dampak dari itu semua adalah munculnya kekacauan.
Ada tiga faktor penyebab terjadinya bencana. Pertama, bencana yang murni
atas kehendak dan izin dari Allah. Bencana ini ada tiga macam, yaitu (1)
adakalanya merupakan bentuk hukuman yang dalam al-Qur’an disebutkan
dengan menggunakan mushi>bah, az}a>b, ‘iqa>b, tadmi>r dan fitnah, (2) bencana
sebagai teguran yang ditunjukkan al-Qur’an dengan term fitnah dan juga
mushi>bah, (3) maupun kasih sayang dari Tuhan, yang dalam al-Qur’an
disebutkan dengan menggunakan term bala>’. Kedua, bencana yang terjadi
akibat kontribusi perusakan yang dilakukan oleh manusia, baik perusakan
terhadap alam, maupun perusakan kepada diri manusia itu sendiri, yang dalam
al-Qur’an ditunjukkan dengan term fasad. Dan ketiga, adanya kedhaliman
yang dilakukan oleh manusia, yang ditunjukkan oleh al-Qur’an dengan kata
halak. Kemudian etika dalam menghadapi bencana yaitu dengan
mengucapkan dan menghayati kalimat Inna> lilla>hi wa Inna> ilahi Ra>ji’u>n,
bersabar, bertawakkal kepada Allah, dan belajar dari bencana. Adapun hikmah
dari terjadinya bencana itu diklasifikasikan menjadi 2, yaitu: (1) hikmah yang
bersifat individual, seperti: (a) meningkatkan derajat keimanan seseorang, (b)
mengingatkan dan mendekatkan manusia kepada Tuhannya, (c) Agar manusia
tahu bahwa Allah mencintanya, (d) menyeleksi kualitas keimanan seseorang,yang mana ketidakseimbangan tersebut telah mengakibatkan sesuatu yang
memenuhi nilai-nilainya, berfungsi dengan baik, dan bermanfaat, menjadi
kehilangan sebagian atau seluruh nilainya sehingga berkurang fungsi dan
manfaatnya, yang mana dampak dari itu semua adalah munculnya kekacauan.
Ada tiga faktor penyebab terjadinya bencana. Pertama, bencana yang murni
atas kehendak dan izin dari Allah. Bencana ini ada tiga macam, yaitu (1)
adakalanya merupakan bentuk hukuman yang dalam al-Qur’an disebutkan
dengan menggunakan mushi>bah, az}a>b, ‘iqa>b, tadmi>r dan fitnah, (2) bencana
sebagai teguran yang ditunjukkan al-Qur’an dengan term fitnah dan juga
mushi>bah, (3) maupun kasih sayang dari Tuhan, yang dalam al-Qur’an
disebutkan dengan menggunakan term bala>’. Kedua, bencana yang terjadi
akibat kontribusi perusakan yang dilakukan oleh manusia, baik perusakan
terhadap alam, maupun perusakan kepada diri manusia itu sendiri, yang dalam
al-Qur’an ditunjukkan dengan term fasad. Dan ketiga, adanya kedhaliman
yang dilakukan oleh manusia, yang ditunjukkan oleh al-Qur’an dengan kata
halak. Kemudian etika dalam menghadapi bencana yaitu dengan
mengucapkan dan menghayati kalimat Inna> lilla>hi wa Inna> ilahi Ra>ji’u>n,
bersabar, bertawakkal kepada Allah, dan belajar dari bencana. Adapun hikmah
dari terjadinya bencana itu diklasifikasikan menjadi 2, yaitu: (1) hikmah yang
bersifat individual, seperti: (a) meningkatkan derajat keimanan seseorang, (b)
mengingatkan dan mendekatkan manusia kepada Tuhannya, (c) Agar manusia
tahu bahwa Allah mencintanya, (d) menyeleksi kualitas keimanan seseorang,yang mana ketidakseimbangan tersebut telah mengakibatkan sesuatu yang
memenuhi nilai-nilainya, berfungsi dengan baik, dan bermanfaat, menjadi
kehilangan sebagian atau seluruh nilainya sehingga berkurang fungsi dan
manfaatnya, yang mana dampak dari itu semua adalah munculnya kekacauan.
Ada tiga faktor penyebab terjadinya bencana. Pertama, bencana yang murni
atas kehendak dan izin dari Allah. Bencana ini ada tiga macam, yaitu (1)
adakalanya merupakan bentuk hukuman yang dalam al-Qur’an disebutkan
dengan menggunakan mushi>bah, az}a>b, ‘iqa>b, tadmi>r dan fitnah, (2) bencana
sebagai teguran yang ditunjukkan al-Qur’an dengan term fitnah dan juga
mushi>bah, (3) maupun kasih sayang dari Tuhan, yang dalam al-Qur’an
disebutkan dengan menggunakan term bala>’. Kedua, bencana yang terjadi
akibat kontribusi perusakan yang dilakukan oleh manusia, baik perusakan
terhadap alam, maupun perusakan kepada diri manusia itu sendiri, yang dalam
al-Qur’an ditunjukkan dengan term fasad. Dan ketiga, adanya kedhaliman
yang dilakukan oleh manusia, yang ditunjukkan oleh al-Qur’an dengan kata
halak. Kemudian etika dalam menghadapi bencana yaitu dengan
mengucapkan dan menghayati kalimat Inna> lilla>hi wa Inna> ilahi Ra>ji’u>n,
bersabar, bertawakkal kepada Allah, dan belajar dari bencana. Adapun hikmah
dari terjadinya bencana itu diklasifikasikan menjadi 2, yaitu: (1) hikmah yang
bersifat individual, seperti: (a) meningkatkan derajat keimanan seseorang, (b)
mengingatkan dan mendekatkan manusia kepada Tuhannya, (c) Agar manusia
tahu bahwa Allah mencintanya, (d) menyeleksi kualitas keimanan seseorang,yang mana ketidakseimbangan tersebut telah mengakibatkan sesuatu yang
memenuhi nilai-nilainya, berfungsi dengan baik, dan bermanfaat, menjadi
kehilangan sebagian atau seluruh nilainya sehingga berkurang fungsi dan
manfaatnya, yang mana dampak dari itu semua adalah munculnya kekacauan.
Ada tiga faktor penyebab terjadinya bencana. Pertama, bencana yang murni
atas kehendak dan izin dari Allah. Bencana ini ada tiga macam, yaitu (1)
adakalanya merupakan bentuk hukuman yang dalam al-Qur’an disebutkan
dengan menggunakan mushi>bah, az}a>b, ‘iqa>b, tadmi>r dan fitnah, (2) bencana
sebagai teguran yang ditunjukkan al-Qur’an dengan term fitnah dan juga
mushi>bah, (3) maupun kasih sayang dari Tuhan, yang dalam al-Qur’an
disebutkan dengan menggunakan term bala>’. Kedua, bencana yang terjadi
akibat kontribusi perusakan yang dilakukan oleh manusia, baik perusakan
terhadap alam, maupun perusakan kepada diri manusia itu sendiri, yang dalam
al-Qur’an ditunjukkan dengan term fasad. Dan ketiga, adanya kedhaliman
yang dilakukan oleh manusia, yang ditunjukkan oleh al-Qur’an dengan kata
halak. Kemudian etika dalam menghadapi bencana yaitu dengan
mengucapkan dan menghayati kalimat Inna> lilla>hi wa Inna> ilahi Ra>ji’u>n,
bersabar, bertawakkal kepada Allah, dan belajar dari bencana. Adapun hikmah
dari terjadinya bencana itu diklasifikasikan menjadi 2, yaitu: (1) hikmah yang
bersifat individual, seperti: (a) meningkatkan derajat keimanan seseorang, (b)
mengingatkan dan mendekatkan manusia kepada Tuhannya, (c) Agar manusia
tahu bahwa Allah mencintanya, (d) menyeleksi kualitas keimanan seseorang,yang mana ketidakseimbangan tersebut telah mengakibatkan sesuatu yang
memenuhi nilai-nilainya, berfungsi dengan baik, dan bermanfaat, menjadi
kehilangan sebagian atau seluruh nilainya sehingga berkurang fungsi dan
manfaatnya, yang mana dampak dari itu semua adalah munculnya kekacauan.
Ada tiga faktor penyebab terjadinya bencana. Pertama, bencana yang murni
atas kehendak dan izin dari Allah. Bencana ini ada tiga macam, yaitu (1)
adakalanya merupakan bentuk hukuman yang dalam al-Qur’an disebutkan
dengan menggunakan mushi>bah, az}a>b, ‘iqa>b, tadmi>r dan fitnah, (2) bencana
sebagai teguran yang ditunjukkan al-Qur’an dengan term fitnah dan juga
mushi>bah, (3) maupun kasih sayang dari Tuhan, yang dalam al-Qur’an
disebutkan dengan menggunakan term bala>’. Kedua, bencana yang terjadi
akibat kontribusi perusakan yang dilakukan oleh manusia, baik perusakan
terhadap alam, maupun perusakan kepada diri manusia itu sendiri, yang dalam
al-Qur’an ditunjukkan dengan term fasad. Dan ketiga, adanya kedhaliman
yang dilakukan oleh manusia, yang ditunjukkan oleh al-Qur’an dengan kata
halak. Kemudian etika dalam menghadapi bencana yaitu dengan
mengucapkan dan menghayati kalimat Inna> lilla>hi wa Inna> ilahi Ra>ji’u>n,
bersabar, bertawakkal kepada Allah, dan belajar dari bencana.NIM. 09213635 Khafidhoh2013-02-13T13:18:46Z2015-04-15T07:58:32Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/6911This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/69112013-02-13T13:18:46ZTIPOLOGI TAFSIR AL-QUR’AN MAZHAB INDONESIAKajian terhadap al-Qur’an selama ini telah dilakukan dari berbagai segi,
terutama dari segi penafsirannya. Dimana setiap penafsiran selalu menunjukkan
perkembangan yang cukup signifikan, bahkan sejak al-Qur’an tersebut di turunkan
hingga sekarang. Setiap karya tafsir dalam khazanah intelktual Islam tidak akan
pernah bisa untuk dilepaskan dari realitas, tujuan, kepentingan, dan tendensi
tertentu. Jika dicermati munculnya dan berkembangnya karya-karya tafsir selama
ini dari generasi kegenarasi tentu memiliki corak, karakteristik dan bahkan
tipologi yang berbeda-beda. Bahkan setiap karya tafsir yang lahir memiliki bias
kepentingan yang berbeda-beda. Banyak faktor yang melatarbelakanginya. Salah
satunya adalah adanya perbedaan situasi sosio–historis dimana sang penafsir
hidup. Tidak terkecuali adalah karya-karya tafsir di Indonesia yang
perkembangan. Dengan kerangka teori yang diarahkan pada pembacaan terhadap
karya tafsir di Indonesia dari dua wilayah: (1) aspek metodologi karya tafsir, dan
(2) aspek tipologi karya tafsir. Dengan dua wilayah tersebut kajian ini berusaha
untuk menyingkap keunikan-keunikan dari segala aspek yang telah terjadi di
dalamnya.
Dalam kajian ini, karya tafsir yang dikaji sebanyak 29 karya. Dari
jumlah tersebut telah ditemukan bahwa semua karya menggunakan metode
tematik (maudhu>’i>). Model tafsir tematik ini kemudian dikelompokkan menjadi
dua bagian, yaitu: model tafsir tematik klasik dan model tafsir tematik modern.
Pertama, dari jumlah 29 karya tafsir yang dikaji 5 diantaranya masuk ke dalam
model tematik klasik; dan kedua, dari jumlah 29 karya tafsir yang dikaji, 24
diantaranya masuk ke dalam model tematik modern. Kemudian dari jumlah 24
karya tafsir yang masuk ke dalam model tamatik modern ini dikelompokkan lagi
ke dalam dua kelompok, yaitu: tafsir tematik modern singular dan tafsir tematik
modern plural. Untuk tematik modern singular telah ditemukan sebanyak 10 karya
sedangkan untuk tafsir tematik modern plural telah ditemukan sebanyak 14 karya.
Sedangkan dari segi tipologi karya tafsir tolok ukur yang digunakan
adalah quasi-obyektifis tradisionalis, subyektivis dan quasi-obyektivis modernis. Dari
analisis yang telah dilakukan terhadap 29 karya tafsir yang dikaji setidaknya ada
17 karya tafsir quasi-obyektifis tradisionalis. Sedangkan untuk pandangan
subyektivis dari karya tafsir yang dikaji, belum ada satupun yang masuk
pandangan subyektivis. Masih banyak para mufasir yang terlalu mensyakralkan
metodologi yang telah mapan dalam ulum al-Qur’an dan tidak berani
menggunakan ilmu bantu baru lainnya yang berkembang sehingga banyak produk
tafsir yang stagnan. Kelompok ini masih hati-hati dan enggan menggunakan
metode kontemporer, seperti hermeneutika. Kelompok inipun memandang
metodologi baru seperti hermeneutika tidak layak dan tidak syah digunakan,
bahkan mengharamkan. Kemudian untuk tiopologi yang ketiga, dari 29 karya
tafsir yang dikaji dalam penelitian ini ada sebanyak 12 karya tafsir masuk
golongan quasi-obyektivis modernis. Produk tafsir seperti tipologi yang ketiga
inilah yang diharapkan mampu memberikan kontribusi dan solusi bagi
problematika kontemporer yang tengah berkembang. Karena prinsip dasar
tipologi ini adalah kontekstualisasi ayat dengan tanpa meninggalkan makna asal
(original meaning) ayat.NIM. 09213637 M. Nurdin Zuhdi, S.Th.I.2013-02-13T13:23:34Z2015-04-15T07:59:31Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/6912This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/69122013-02-13T13:23:34ZPENAFSIRAN AYAT-AYAT MUSIBAH MENURUT HAMKA DAN M. QURAISH SHIHABSecara umum masyarakat mengartikan musibah sebagai suatu kejadian
atau peristiwa menyedihkan yang menimpa manusia dan tidak dikehendaki
datangnya, seperti rasa sakit, bencana alam, dan lain sebagainya yang kesemuanya
menjurus pada satu makna yaitu keburukan. Asumsi tersebut pengertiannya sudah
terumuskan, baik dalam kamus-kamus ataupun dalam ensiklopedi-ensiklopedi
yang ada. Di samping itu diperkuat lagi dengan sebuah hadis nabi riwayat Abu
Dawud yang berbunyi: ”Setiap sesuatu yang menyedihkan orang beriman adalah
musibah”.
Ungkapan di atas menarik untuk dicermati dan diteliti secara obyektif.
Oleh karena itu, dalam penelitian ini penulis mengkaji mengenai apakah
sebenarnya hakikat musibah itu? Mengapa Allah menimpakan musibah kepada
manusia? Bagaimanakah sikap seorang manusia dalam menghadapi musibah yang
menimpanya?
Urgensi dari penelitian ini adalah untuk melihat secara kritis mengenai
makna musibah menurut Hamka dalam karyanya tafsir al-Azhar dan M. Quraish
Shihab dalam karyanya tafsir al-Misbah, kemudian kedua mufassir itu
dikomparasikan, dicari persamaan dan perbedaannya. Dengan demikian, metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif, komparatif, dan analisissintesis,
dengan sifat penelitian kepustakaan (library research) yang didasarkan
pada tafsi>r al-Azha>r dan tafsi>r al-Misba>h sebagai sumber data primer, dan bukubuku
lain yang terkait dengan tema musibah sebagai data sekunder.
Dari penelitian ini ditemukan, bahwa musibah pada hakikatnya segala
peristiwa yang terjadi atas izin Allah dan sudah ditetapkan di lauhul mahfuz yang
diletakkan-Nya pada hukum alam. Esensi manusia di alam ini merupakan bagian
darinya, sehingga manusia tidak dapat melepaskan dari segala peristiwa yang
terjadi di alam jagad raya ini, termasuk musibah. Sering manusia menjadi
penyebab terjadinya musibah baik karena faktor kekufuran, kemunafikan dan
kemaksiatan, dan sekaligus yang menerima akibatnya. Hal ini terjadi karena
manusia tidak memperhatikan dan memperhitungkan hukum alam. Atas dasar ini,
musibah berfungsi sebagai peringatan atas kesalahan yang telah diperbuat oleh
manusia. Namun, di samping musibah berfungsi sebagai peringatan, dan ujian.
Agar seseorang tidak terjerumus ketika tertimpa musibah, maka dalam hal ini
Islam telah memberikan tuntunannya dalam menyikapi musibah, di antaranya:
mengucapkan kalimat istirja’ dan berdoa agar dengan musibah itu Allah memberi
pahala dan menggantinya dengan yang lebih baik, bersabar dan tidak berputus asa
dalam menghadapinya, menerima dengan ridha dan tidak menyesali akan musibah
yang diberikan oleh Allah, tidak mempersulit diri, dan menjadikan musibah yang
menimpa itu sebagai bahan introspeksi diri atau muhasabah.NIM. 07213516 M.TOHIR2013-02-13T13:59:14Z2015-04-15T08:05:28Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/6918This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/69182013-02-13T13:59:14ZKAJIAN HADIS DALAM ORMAS-ORMAS ISLAM DI INDONESIA (Analisa Pemahaman NU dan Muhammadiyah Terhadap Hadis-hadis Misoginis)Hadis dalam proses sejarah tidak pernah terlepas dari kontroversi, terutama
yang berkaitan dengan upaya implementasi dan revitalisasi ajaran-ajaran yang
terkandung di dalamnya. Berbagai disiplin ilmu pengetahuan sangat diperlukan,
karena berperan penting dalam memperoleh pemahaman hadis yang komprehensif.
Hal tersebut tidak saja dalam hubungannya dengan upaya pemahaman petunjuk
ajaran Islam menurut teksnya dan konteksnya, tetapi juga dalam kaitannya dengan
metode pendekatan yang harus digunakan dalam rangka dakwah dan tahap-tahap
penerapan ajaran Islam. Karena zaman semakin selalu berkembang, maka kegiatan
dakwah dan penerapan ajaran Islam yang kontekstual menuntut penggunaan
pendekatan yang sesuai dengan perkembangan keadaan masyarakat.
Sudah menjadi kesepakatan ummat Islam seluruhnya bahwa hadis merupakan
landasan hukum kedua setelah al-Qur’an. Sebagaimana al-Qur’an yang tidak luput
dari perbedaan dalam menafsirkan ayat-ayatnya, begitu pula yang terjadi dengan
pemahaman terhadap hadis Nabi. Hal ini terkait dengan perbedaan latar belakang dan
pengetahuan yang dimiliki masing-masing orang, golongan, atau organisasi
masyarakat (ormas).
Oleh karena itu, penelitian ini bermaksud mengungkap, mendeskripsikan dan
menganalisis pemahaman ormas-ormas Islam di Indonesia, yaitu NU dan
Muhammadiyah terhadap hadis-hadis misoginis dengan pendekatan hermeneutik dan
sosiologis, sehingga dapat diketahui langkah-langkah pemahaman yang digunakan,
tipologi pemahaman hadis mereka, dan implikasi dari pemahaman mereka terhadap
hadis-hadis misoginis di tengah-tengah masyarakat Indonesia.
Setelah dideskripsikan dan dianalisis, dapat diambil kesimpulan bahwa
masing-masing ormas berbeda dalam memahami hadis-hadis misoginis. Ada yang
melakukan reinterpretasi, seperti NU dan Muhammadiyah, sehingga menghasilkan
makna yang baru dan relevan dengan konteks kekinian. Ada yang juga tetap
menggunakan interpretasi ulama terdahulu, seperti NU, sehingga menghasilkan
makna yang ‘kaku’ dan terkesan bias gender. Perbedaaan cara memahami ini
berakibat pada pengelompokan dalam tipologi pemahaman hadis, yaitu kelompok
tekstual-tradisional, kelompok kontekstual-moderat, dan liberal-progresif.
Perbedaan pemahaman yang terjadi di antara ormas-ormas tersebut akhirnya
pun berimplikasi pada perubahan-perubahan sikap dan perilaku masyarakat
Indonesia terhadap relasi antara laki-laki dan perempuan. Ada yang masih
mempertahankan praktik patriarkhi dan diskriminasi, dimana terdapat batasanbatasan
perempuan untuk berkecimpung dalam bidang publik. Ada pula yang
merubah paradigmanya untuk bersikap egalitarianisme, dalam rangka menegakkan
keadilan bagi laki-laki dan perempuan. Bahkan ada pula yang memberikan
kebebasan sepenuhnya kepada perempuan memiliki kesempatan yang sama dengan
laki-laki dalam segala bidang.NIM. 08213562 UMI AFLAHA2013-02-13T14:05:46Z2015-04-15T08:07:46Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/6919This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/69192013-02-13T14:05:46ZKONSEP KEPENGARANGAN HADIS KHALED M. ABOU EL FADL DAN KONTRIBUSINYA TERHADAP STUDI HADISBerbeda dengan al-Qur’an, dikarenakan tidak adanya jaminan dari Allah
Swt. akan keterpeliharaannya dari campur tangan pihak asing, ragam kontroversi
dan kompleksitas di dalamnya, serta tidak relevannya pendekatan nash diterapkan
terhadapnya, maka hadis Nabi dalam teologi Islam dipandang mengalami apa
yang disebut dengan proses kepengarangan. Oleh sebab itu, cukup alasan kiranya
disimpulkan bahwa tema sentral di seputar hadis dari dahulu hingga sekarang
terbuhul pada kata autentisitas.
Adalah Khaled M. Abou El Fadl, seorang pemikir Islam kontemporer
kelahiran Kuwait dan sekarang bermukim di Amerika, yang mencoba
membicarakan masalah autentisitas hadis melalui konsep kepengarangan hadis
yang digagasnya. Penelitian ini diproyeksikan untuk mencari-tahu apa yang
dimaksud Abou El Fadl dengan konsep kepengarangan hadis, bagaimana
bangunan teorinya, serta bagaimana implikasi dan relevansinya dengan studi hadis
khususnya dan studi Islam pada umumnya.
Untuk menjawab pertanyaan di atas, dilakukan penelitian dengan cara
berdialog dengan teks-teks yang dikarang oleh Abou El Fadl. Disebabkan
penelitian ini bersandar pada data-data tertulis (library research), maka metode
penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif. Pendekatan sejarah
pemikiran tokoh dipilih karena penelitian ini merupakan penelitian terhadap
konsep kepengarangan hadis yang digagas oleh Abou El Fadl. Data-data yang
diperoleh kemudian disajikan dalam bentuk deskriptif-analitis dan disusun secara
sistematis.
Setelah diteliti, ditemukan jawaban bahwa menurut Abou El Fadl setiap
hadis yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw. merupakan hasil akhir dari
sebuah proses kepengarangan. Ia hendak menegaskan bahwa banyak pihak luar
selain Nabi Muhammad Saw. yang terlibat dalam proses kemunculan sebuah
hadis dan sebuah riwayat belum tentu Nabi benar-benar berperan dalam proses
kepengarangannya. Untuk mengidentifikasi suara kepengarangan Nabi dalam
suatu riwayat atau dalam sebuah hadis, Abou El Fadl menawarkan empat langkah,
yakni keberatan berbasis rasionalitas pembuktian, logika proporsionalitas, jedaketelitian,
dan keberatan berbasis iman.
Konsep kepengarangan hadis yang ditawarkan Abou El Fadl memiliki
implikasi yang sangat luas karena umat Islam harus mengevaluasi semua
pandangannya terhadap hadis Nabi, para sahabat Nabi, dan literatur hadis.
Sedangkan relevansinya dengan studi hadis khususnya dan studi Islam pada
umumnya terbuhul pada empat item. Pertama, penelitian berangkat dari matan ke
sanad. Kedua, suara kepengarangan Nabi sebagai faktor penentu autentisitas
hadis. Ketiga, mengaitkan autentisitas sebuah hadis dengan dampaknya di tengah
masyarakat. Keempat, dalam menganalisis hadis jangan terpukau pada nama besar
seorang sahabat dan status teks sebagai hadis Nabi. Sebab sahabat Nabi juga
manusia biasa dan teks hadis yang mereka riwayatkan belum tentu benar-benar
berasal dari Nabi.NIM. 08213566 Yusriandi, S.Th.I2013-02-14T10:46:52Z2015-04-15T07:32:07Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/6973This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/69732013-02-14T10:46:52ZSEMANGAT TRANSFORMASI SOSIAL DALAM TAFSIR AL - MISHBAH KARYA M. QURAISH SHIHABAl-Qur’an memperkenalkan dirinya sebagai kitab yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad saw. agar melalui petunjuknya, beliau melakukan perubahan
positif dalam masyarakat. Dalam bahasa al-Qur’annya,”Mengeluarkan manusia dari
kegelapan menuju terang benderang” (QS. Ibra>hi>m [14]:1). Tafsir al-Mishba>h karya
seorang mufasir Indonesia, M. Quraish Shihab, ditulis pada saat Indonesia
mengalami berbagai persoalan bangsa yang cukup kompleks, di antaranya
ditunjukkan dengan terjadinya tiga kali pergantian kepala Negara RI. Semangat
perubahan itu yang berusaha digali dari Tafsir al-Mishba>h dalam tesis ini.
Ada dua rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu: pertama, bagaimana
deskripsi transformasi sosial beserta hal lain yang berkaitan dengannya dalam Tafsir
al-Mishba>h?. Kedua, mengapa Tafsir al-Mishba>h memiliki posisi penting di tengah
dunia penafsiran al-Qur’an di Indonesia, apa semangat zaman yang melatar
belakangi penafsirannya, serta apa relevansi dan kontribusinya?
Untuk menjawab permasalahan di atas, kajian ini menggunakan metode dan
pendekatan interpretasi, deskriptif, historis, dan analisis sintesis yang didasarkan
pada telaah pustaka (library research). Adapun metode pengumpulan datanya adalah
dengan mengumpulkan data ayat-ayat dan tafsirnya yang berkenaan dengan
transformasi sosial dalam Tafsir al-Mishba>h sebagai sumber data primer dan kitab
tafsir, buku-buku, dan pendukung lainnya yang berkaitan dengan tema di atas
sebagai sumber data sekundernya.
Hasil dari kajian ini adalah Tafsir al-Mishba>h merespon persoalan yang ada
di tengah-tengah masyarakat secara arif dan bijaksana dengan penafsiran yang
kontekstual. Dalam setiap penafsirannya, Tafsir al-Mishba>h selalu mengusung
semangat Islam sebagai agama pembawa rahmat dan pembawa perubahan positif
dalam kehidupan modern saat ini. Kehadirannya telah memberikan suasana baru
yang positif terhadap dunia tafsir di Indonesia. Kontribusinya yang terpenting
adalah Tafsir al-Mishba>h telah berhasil menjadi “jembatan” terhadap “interaksi lebih
akrab” umat Islam Indonesia khususnya terhadap kitab sucinya.
Kaitannya dengan perubahan masyarakat, Tafsir al-Mishba>h menjelaskan
salah satu sunnatulla>hnya bahwa Allah tidak akan mengubah nasib/keadaan (lahir)
suatu bangsa, baik menuju positif maupun negatif, selama masyarakatnya tidak
merubah sisi dalam (ma> bianfusihim) mereka sendiri. Tanpa itu tidak ada perubahan.
Nilai yang dianut, ira>dat (tekad yang kuat), dan logika praktis (pemahaman terhadap
sesuatu) adalah yang menentukan kualitas sisi dalam masyarakat. Oleh karenanya,
untuk merubah bangsa Indonesia saat ini menuju masyarakat ideal, maka langkah
pertama yang diambil adalah merubah sisi dalam (mental – pikiran) bangsa ini
melalui pengajaran agama yang benar dan pendidikan yang terarah, yang didukung
oleh keteladan dari para pemimpin dan tokohnya sebagai penyemangat,
penanggungjawab, dan penggerak utama masyarakat. Dengan sisi dalam yang
berkualitas, maka akan melahirkan ide brilian, perencanaan yang matang, dan
aktivitas positif untuk mewujudkan cita-cita bersama menuju masyarakat ideal.NIM : 06.213.480 HAJJIN MABRUR, S.S. 2013-02-14T15:03:44Z2015-04-15T07:20:44Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/7022This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/70222013-02-14T15:03:44ZTAREKAT TIJANIYAH Studi Deskriptif-Sufistik Ajaran Tarekat Tijaniyah dalam Kitab Jawahir al-a’aniKeberadaan tarekat Tijaniyah sebagai bagian dari tarekat sufi belum terlalu
banyak dikaji oleh para pemerhati tarekat. Sejumlah data yang ada mengenai tarekat
Tijanyah menyugukan informasi yang parsial saja sehingga belum mampu
merangkum aspek-aspek penting yang ada di dalamnya. Merujuk pada kitab Jawāhir
al-Ma’āni yang ditulis syaikh Ali al-Harazim sebagai satu-satunya kitab yang
representatif mengulas secara normatif mengenai tarekat Tijaniyah adalah
keniscayaan untuk memperoleh informasi yang komprehensif sekaligus bisa
mengetahui posisi tarekat Tijaniyah dalam spektrum tasawuf Islam secara umum.
Melaui ktab Jawāhir al-Ma’āni diketahui bahwa Tarekat Tijaniyah adalah
tarekat yang lahir di kota Fez Maroko, sedangkan pendirinya adalah Syaikh al-Tijani.
Proses lahirnya tarekat ini dimulai dengan kegigihan Syaikh al-Tijani menimba
berbagai macam ilmu pengetahuan dari sejumlah syaikh di daerah Maroko, Mesir dan
Mekkah. Kecondongannya terhadap tasawuf dimulai sejak usia 21 tahun dengan
banyak menemui guru tasawuf dari daerah Maroko hingga Mekkah. Sehingga pada
suatu saat yaitu pada tahun 1196 H Syaikh al-Tijani secara langsung ditalqin wiridwirid
khusus oleh Rasulullah dalam keadaan terjaga (yaqdlah). Pada saat itulah
secara resmi tarekat Tijaniyah lahir.
Melalui pendekatan sufistik serta kerangka teori yang merujuk pada dua
mainstream tasawuf Islam, yaitu tasawuf sunni dan falsafi maka kemudian dapat
diketahui bawa dalam tarekat Tijaniyah terdapat empat prinsip atau pijakan filosofis
yang mendasari setiap ritual yang ada dalam tarekat Tijaniyah. Pertama adalah, cinta
sebagai pondasi dasar dari setiap ritual yang ada, kemudian kedua kepercayaan
berjumpa dengan Allah (liqa’ ma’a Allah), ketiga hakikat nur Muhammadiyah yang
berarti menempatkan Muhammad sebagai media penghantar pada perjumpaan kepada
Allah serta yang keempat adalah pandangan mengenai kewalian yang kemudian
menempatkan Syaikh al-Tijani sebagai wali khatm wa katm.
Sedangkan pada tataran praktis dalam tarekat Tijaniyah yang berbentuk ritual
pengamalan wirid-wirid merujuk pada apa yang ditlaqinkan oleh Rasulullah yaitu
berupa pengamalan wirid yang berbentuk istighfar, sholawat dan hailalah. Dalam
prakteknya wiridan tersebut dibagi menjadi tiga bentuk, yaitu wirid lazim, wirid
wdhifah serta wirid hailalah. Adapun tarekat Tijaniyah bila ditempatkan dalam
kerangka sunni dan falsafi diketahui bahwa tarekat Tijaniyah secara praktis berpola
pada sunni sementara pada tataran teoritis-metafisis lebih condong pada tasawuf
falsafi.NIM. 09212618 Ach. Tijani 2013-02-14T15:12:13Z2015-04-15T07:24:42Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/7023This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/70232013-02-14T15:12:13ZSINERGITAS ULAMA DAN UMARA DALAM PERSPEKTIF HADIS (Studi Kritis atas Pemikiran al -Suyuti dalam Kitab Ma Rawahu al-Asatin fi Adami al-Maji'i ila al-Salatin)Latar belakang penelitian ini didasarkan atas kegelisahan penulis melihat
semakin banyaknya ulama yang masuk dalam politik dan pemerintahan
berbanding lurus dengan meningkatnya korupsi baik yang dilakukan oleh ulama
itu sendiri ataupun yang lainnya. Hal ini menunjukkan tidak adanya kontrol yang
baik saat ulama sama-sama duduk dalam kursi kekuasaan. Di samping itu ulama
sepertinya kurang memperhatikan lagi etika -etika berpolitik dan kerjasama
(sinergitas) antara ulama dan umara sebagaimana yang telah ditulis dalam
berbagai kitab hadis yang salah satunya ditulis oleh Imam al-Suyuti, yakni Ma
Rawahu al-Asatin fi ‘Adami al-Maji’i ila al-Salatin.
Tujuan penelitian ini yang pertama adalah adalah untuk menemukan
gambaran yang rinci dan jelas terhadap pemahaman hadis al-Suyuti mengenai
sinergitas ulama dan umara. Yang kedua penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pandangan dan kritik para ulama terhadap al-Suyuti mengenai
sinergitas ulama dan umara. Dan yang terakhir penelitian bertujuan untuk
mengetahui peran ulama yang ideal pada abad 21.
Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah jenis penelitian
kepustakaan (library research), dan bukan penelitian lapangan (field research)
atau penelitian laboratorium. Agar fakta dan analisa menjadi tepat, mak a sifat
penelitian ini adalah deskriptif -analitis, bertujuan menggambarkan secara
integral, jelas dan apa adanya tentang gagasan -gagasan yang dituangkan oleh al -
Suyuti serta menganalisis dan mengkomparasikan dengan data -data yang berhasil
dikumpulkan oleh penulis. Analisis ini bertujuan untuk menguji dan mengadakan
kajian yang lebih konkrit tentang data -data yang ada. Data-data yang diperoleh
dari sumber kepustakaan ada dua macam yaitu data primer berupa karya al -
Suyuti Ma Rawahu al-Asatin fi ‘Adami al-Maji’i ila al-Salatin, dan data sekunder
berupa hadis dan pemikiran tokoh lain sebagai perbandingan dan analisis.
Sedangkan teknik analisisnya, penelitian ini menggunakan tiga corak analisis
yaitu, analistis deskriptis, komparatif dan naratif historis.
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa hal yang melatarbelakangi
pemikiran al-Suyuti mengenai sinergitas ulama dan umara, adalah keadaan sosio -
politis ketika al-Suyuti masih hidup, yakni keserakahan dan kezaliman Dinasti
Mamluk pada rakyatnya termasuk kepada al -Suyuti sendiri. Kedua, pemahaman
hadis al-Suyuti mengenai sinergitas ulama dan umara masih menggunakan
pendekatan tekstual dan bercorak fundamental konseptual, sehingga tidak
sepenuhnya dapat diterapkan pada realitas sosi al. Pemahaman hadis ini tentunya
tidak dapat dilepaskan dari sosok a l-Suyuti yang oleh sebagaian ulama dianggap
tasahul fi al-hadis, atau mudah dalam menetapkan kualitas hadis dan juga
menggunakan beberapa hadis d}a’if untuk fadailu al-a’mal. Ketiga, pemahaman
hadis al-Suyuti ditolak oleh sebagian ulama seperti al -Syaukani dengan terbitnya
kitab Raf’u al-Asatin fi Hukmi al-Ittisal bi al-Salatin.NIM. 06213478 AHMAD MUBAROK, S.Th.I 2013-02-14T15:17:50Z2015-04-15T07:25:38Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/7024This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/70242013-02-14T15:17:50ZSTUDI ATAS METODE PEMIKIRAN KALAM ABU MANSUR AL-MATURIDIMaturidi merupakan salah satu tiang teologi Ahlu Sunnah Wal Jama’ah.
Namun eksistensinya kurang mendapat perhatian. Ada beberapa hal yang
menyebabkan ajaran Maturidi seakan tertutup dari pemahaman umat Muslim
Indonesia, salah satunya adalah minimnya karya yang menyinggung dan
membahas ajaran Maturidi secara penuh, apalagi yang membahas mengenai
metode berpikirnya. Padahal, sebagaiman pepatah, al-manhaj ahammu mina alma
ddah, sebab melalui penelusuran metode berfikir, dengan sifatnya yang
fungsional dan fleksibel, seseorang bisa memperoleh bahan pertimbangan untuk
dimanfaatkan dalam pembaharuan dan pengembangan teologi Islam yang lebih
relevan.
Atas dasar alasan-alasan di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji sisi
yang ‘hilang’ tersebut, yakni pemikiran kalam Maturidi dengan lebih difokuskan
lagi pada metode berpikirnya. Penelitian ini murni library research dengan
pengolahan data deskriptif-komparatif. Selama proses penelitian, penelitian ini
menggunakan pendekatan teologis dan kerangka teori yang dicetuskan oleh Ibnu
Rusd.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Maturidi memiliki metode berpikir
yang sangat mengedepankan akal. Maturidi menjadikan akal sebagai salah satu
sumber agama di samping wahyu, menggunakan ta’wi>l dan tafwi>d}, menekankan
kritik sanad pada khabar mutawatir (H}adis dan juga informasi dari orang), dan
memegang prinsip tanzih dan hikmah selama proses berpikir dan istinbat.
Mengenai bentuk dalil yang dia gunakan, Maturidi menggunakan dalil nas,
akal,
dan indrawi. Dalam kategori Ibnu Rusd, Maturidi menggunakan dalil syari’at dan
juga bid’ah. Dari beberapa dalil argumentasi yang digunakan, Maturidi tidak
hanya mengambil dari syari’at atau dari para filosof, namun dia juga
memunculkan dalil argumentasi yang genuine dari olah pikirnya sendiri, misalnya
adalah dalil wujud al-syar fi al-‘alam dan ihwal darurah al-khalq.
Jika dibandingkan dengan Mu’tazilah dan Asy’ari, metode berpikir Maturidi
tidak se-liberal Mu’tazilah dan tidak se-konserfatif Asy’ari. Metode berpikirnya
berada satu tingkat di bawah Mu’tazilah dan dua tingkat di atas Asy’ari.NIM. 09212621 Aly Mashar 2013-02-14T15:24:39Z2015-04-15T07:28:14Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/7025This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/70252013-02-14T15:24:39ZRESPON SARJANA MUSLIM INDONESIA TERHADAP PENAFSIRAN KELOMPOK TERORIS TENTANG AYAT-AYAT JIHAD Studi atas Pandangan Dosen UIN Sunan Kalijaga YogyakartaIbarat tanaman, terorisme di Indonesia telah menjelma sebagai tanaman
yang tumbuh subur. Patah tumbuh, hilang berganti. Setelah Dr. Azhari tertembak
mati, masih ada Noordin M.Top Setelah Noordin M. Top tewas dalam baku
tembak di Solo, kini masih ada “pengantin-pengantin” (calon pelaku pengebom
bunuh diri) lain yang masih menghirup udara bebas. Tidak ada jaminan langkah
mereka terhenti. Sebab itu, semua pihak menghimbau agar pemerintah dan
masyarakat tidak lengah dengan tumbuh-suburnya terorisme.
Terorisme bukan persoalan pelaku. Terorisme lebih terkait pada keyakinan
teologis. Artinya, pelakunya bisa ditangkap, bahkan dibunuh, tetapi keyakinannya
tidak mudah untuk ditaklukan. Sejarah membuktikan, usia keyakinan tersebut
sumur usia agama itu sendiri. Pada zaman Nabi (Muhammad SAW) ada
kelompok-kelompok yang taat beribadah, tetapi gemar melaksanakan aksi
kekerasan, seperti yang dilakukan khawarij. Kini, di zaman modern ini, muncul
Wahabisme yang juga menawarkan ketaatan agama di satu sisi dan kekerasan di
sisi lain.
Memang tidak bisa disalahkan jika kata terorisme dikaitkan dengan
persoalan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), karena akibat terorisme,
banyak kepentingan umat manusia yang dikorbankan, rakyat yang tidak bersalah
dijadikan ongkos kebiadaban, dan kedamaian hidup antar umat manusia jelasjelas
dipetaruhkan. Namun demikian, ada komunitas sosial-keagamaan yang
mengenalkan bentuk implementasi keagamaan sebagai bagian dari srategi
perjuangan. Strategi perjuangan ini dipopulerkan dalam kategori “jihad”.
Meskipun begitu, bukan berarti terorisme tidak termasuk kejahatan,
khususnya jika dikaitkan dengan persoalan dampaknya secara makro. Meskipun
dengan menggunakan kategori “jihad”, tetapi jika manusia yang tidak berdosa
menjadi korban dan kepentingan publik menjadi rusak berantakan serta Negara
dilanda disharmonisasi nasional, maka kategori “jihad” itu patut dipertanyakan.
Kontroversi kian menajam saat kelompok orang yang mengatasnamakan
Islam memutuskan untuk mengambil jalan pintas dengan menebarkan terror dan
ancaman 'bom bunuh diri' jika negeri ini masih menjadi kaki tangan Asing dalam
menyebarluaskan kemaksiatan untuk menghancurkan Islam. Jihad fisabilillah,
yang sebenarnya mengandung ajakan suci untuk menegakkan sesuatu yang
ma'ruf dan menolak yang munkar (amar ma'ruf wa nahyi 'anil munkar),
belakangan distigmakan sebagai 'bahasa teror' yang menakutkan. Hal ini menjadi
kontraproduktif dengan Islam yang selalu mendeklarasikan diri sebagai
Rahmatan lil 'Alamiin.
Pendek kata, syari'at itu kini dihadapkan pada dua tampilan yang seolah
bertolak belakang. Di satu pihak, kata jihad menjadi 'spirit perjuangan' yang
siapapun melakukannya akan beroleh kemuliaan disisi Tuhan (dunia dan
akhirat). Namun, di pihak lain, istilah ini dianggap sebagai ancaman, sekaligus
'tanda bencana' bagi mereka yang kebetulan non-muslim.NIM. 07213513 ERWIN NOTANUBUN, S.Th.I 2013-02-14T15:29:40Z2015-04-15T07:34:21Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/7026This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/70262013-02-14T15:29:40ZPRE-CANONICAL READING OF THE QUR’AN (Studi atas Metode Angelika Neuwirth dalam Analisis Teks al-Qur’an Berbasis Surat dan Intertekstualitas)Tesis ini merupakan penelitian terhadap model pre-canonical reading of the Qur’an
dengan metode analisis teks al-Qur’an berbasis surat dan intertekstualitas yang ditawarkan oleh
Angelika Neuwirth. Alasan penulis memilih pokok bahasan dan tokoh ini adalah: Pertama,
Neuwirth adalah sarjana Barat yang didaku sebagai sarjana paling awal dalam penelitian al-
Qur’an secara akademis sehingga pemikirannya bisa dijadikan sebagai salah satu titik signifikan
untuk memandang pergeseran paradigma kajian al-Qur’an sarjana Barat dari polemis-ideologis
kepada akademis-dialogis yang bermula sejak tahun 1980-an. Kedua, pembacaan al-Qur’an prakanonisasi
memberikan sudut pandang baru terhadap komposisi al-Qur’an dan adanya materimateri
teks lain dalam al-Qur’an yang semula dipandang secara peyoratif oleh para sarjana Barat
awal. Ketiga, pembacaan ini memberikan nuansa yang berbeda kepada kajian berbasis surat
yang sejak abad ke-20 menemukan massifitasnya di kalangan sarjana Muslim. Atas latar
belakang di atas, pertanyaan utama yang ingin dijawab dalam penelitian adalah bagaimana
metode analisis teks al-Qur’an yang ditawarkan Neuwirth. Jawaban dari pertanyaan tersebut
selanjutnya mengarah kepada relevansi tawaran Neuwirth ini bagi kesarjanaan al-Qur’an.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis menggunakan pendekatan historis-filosofis
dengan metode deskriptif-interpretif. Pendekatan pertama penulis gunakan untuk menelusuri
studi berbasis surat dan intertekstualitas dalam sejarah kesarjanaan Muslim dan Barat untuk
kemudian dituangkan dengan metode deskriptif. Data ini kemudian digunakan sebagai kerangka
untuk membaca pemikiran Neuwirth. Pendekatan kedua, dengan metode interpretif, penulis
gunakan untuk menggali gagasan Neuwirth tentang al-Qur’an dan bagaimana dia memberikan
tawaran pembacaan al-Qur’an berangkat dari konsepnya tentang al-Qur’an, termasuk posisinya
di hadapan kecenderungan kajian yang sama dan relevansinya bagi studi al-Qur’an.
Hasil penelitian ini adalah: Pertama, studi berbasis surat berangkat dari kesadaran tentang
komposisi al-Qur’an. Di kalangan sarjana Barat awal, komposisi ini menjadi sasaran kritik al-
Qur’an alih-alih menggunakannya sebagai titik berangkat analisis. Di kalangan sarjana Muslim
dan sarjana Barat belakangan, model kajian berbasis surat ini beragam, ada yang berangkat dari
kesatuan al-Qur’an berada dalam al-Qur’an tarti>b mus}h}a>fi, tarti>b nuzu>li>, atau kajian surat secara
mandiri. Sedangkan, kajian intertekstualitas berangkat dari fakta adanya materi teks lain dalam
al-Qur’an. Sarjana Barat awal memberikan penilaian yang miring terhadap fakta ini –paradigma
borrowing. Belakangan, seiring perkembangan kritisisme sastra dan historis, termasuk di
dalamnya intertekstualitas, fenomena ini tidak lagi dilihat dengan negatif.
Kedua, Konsep al-Qur’an Neuwirth berangkat dari pembedaannya terhadap al-Qur’an prakanonisasi
yakni al-Qur’an yang hidup pada masa Nabi dengan al-Qur’an post-kanonisasi yakni
al-Qur’an yang telah dikodifikasi sebagai mushaf. Kodifikasi, menurutnya, telah menjadikan
karakter al-Qur’an yang pertama mati. Untuk meghidupkan al-Qur’an yang ‘mati’ ini, Neuwirth
memberikan tawaran untuk melakukan pre-canonical reading of the Qur’an dengan melakukan
analisis struktur mikro terhadap surat sebagai unit tuturan yang digunakan oleh Nabi pada masa
lahirnya al-Qur’an. Selanjutnya, Neuwirth mendudukkan al-Qur’an bersama dengan teks-teks
lain yang diasumsikannya mengitari al-Qur’an pada masa kelahirannya yakni teks Yahudi,
Kristen, puisi Arab dan retorika Yunani dan melakukan kajian intertekstualitas terhadapnya.
Tawaran Neuwirth ini, sebagai gabungan dari pendekatan sastra-historis, dalam hemat penulis
telah berhasil menghidupkan al-Qur’an, memberikan warna pada kajian berbasis surat dan
intertekstualitas. Selain itu, dengan pembacaannya ini, Neuwirth telah membantah pandangan
sarjana Barat awal tentang al-Qur’an di atas. Pembacaan pra-kanonisasi ini kemudian bisa
dijadikan sebagai inspirasi untuk melakukan reposisi al-Qur’an dan dialog antar kitab suci.NIM. 09.213636 Lien Iffah Naf'atu Fina, S.Th.I 2013-02-14T15:33:57Z2015-04-15T08:04:13Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/7027This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/70272013-02-14T15:33:57ZTAREKAT QADIRIYAH KHALWATIYAH DI DESA BAGU KECAMATAN PRINGGARATA KABUPATEN LOMBOK TENGAH ( KAJIAN HISTORIS SOSIOLOGIS )Tradisi sufisme tidak bisa dilepaskan dalam kehidupan masyarakat muslim, baik
dikalangan masyarakat perkotaan (Urban sufism) maupun masyarakat pedesaan.
Urban sufism telah menjadi fenomenal ketika dijajakan oleh beberapa tokoh yang
oleh media dianggap sebagai tokoh religius. Fenomenalnya tradisi sufi di
perkotaan tidak melunturkan tradisi sufi yang berkembang di masyarakat
pedesaan. Berkembang dan eksisnya tradisi sufi di kalangan masyarakat pedesaan
tidak terlepas dari istiqomahnya pembinaan yang dilakukan oleh tokoh agama
setempat, tradisi sufi tersebut dilakukan dengan cara tertentu dan memiliki binaan
yang terorganisir yaitu tarekat.
Demikian pula dengan tarekat yang berkembang dan eksis di daerah Lombok,
khususnya Desa Bagu Kecamatan Pringgarata Lombok Tengah terdapat tarekat
yang dibina oleh tokoh kharismatik yaitu Tuan Guru Haji Muhammad Turmudzi
Badaruddin. Tarekat yang dibina adalah Tarekat Qadiriyah Khalwatiyah yang
tidak seperti Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah telah banyak diteliti karena
banyaknya tokoh lokal dan peran tarekat tersebut dalam pengembangan Islam
Lombok.
Oleh karena itu penelitian ini akan mengkaji sejarah serta pengaruh ajaran Tarekat
Qadiriyah Khalwatiyah bagi perilaku keagamaan masyarakat Bagu Lombok
Tengah. Adapun metode yang digunakan dalam menjawab rumusan masalah
tersebut dengan menggunakan metode kualitatif yaitu penelitian yang memiliki
karakteristik data dinyatakan dalam keadaan sewajarnya atau sebagaimana adanya
(natural setting). Penelitian ini bersifat deskriptif-analitik dengan menggunakan
pendekatan historis-sosilogis.
Berdasarkan hasil penelitian dengan metode dan pendekatan di atas, penulis
mendapat gambaran bahwa jaringan awal Tarekat Qadiriyah Khalwatiyah Bagu
yang dikembangkan oleh TGH. Muhammad Turmudzi Badaruddin adalah dua
aliran tarekat dengan silsilah yang berbeda, sedangkan corak paling pokok tarekat
ini istiqomah dalam berzikir ditempat khalwat sesuai dengan ijazah yang diterima
dari guru tarekat sebelumnya. Adapun pengaruh ajaran Tarekat Qadiriyah
Khalwatiyah bagi masyarakat Bagu dapat dilihat dari beberapa indikator yaitu:
pertama, adanya pengajian rutin khusus bagi pengikut tarekat. Kedua,
terpeliharanya silaturrahmi antar jam’ah pengajian baik antara sesama jama’ah
tarekat mapupun antara mursyid dan jama’ah itu sendiri. Ketiga, terpeliharanya
hubungan emosional dikalangan masyarakat hal ini terlihat dari kegiatan perayaan
haul yang mengakomodasi seluruh lapisan masyarakat sehingga melahirkan ikatan
emosional yang lebih kuat.NIM. 09212626 Retno Sirnopati 2013-02-14T15:40:21Z2015-04-15T08:06:30Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/7028This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/70282013-02-14T15:40:21ZREALITA SOSIAL DAN PEMAHAMAN SYARI'AT (Pemahaman Santriwati Nurul Ummah Terhadap Syariat Berjilbab dalam al-Qur'an)Jilbab dewasa ini menjadi wacana yang cukup menyita perhatian beberapa
kalangan, konsep jilbab menjadi begitu kontroversial baik terkait syari'atnya
(wajib dan tidaknya), maupun rumusan bagaimana bentuk jilbab yang memenuhi
standar syar'i. Pada dekade terakhir ini pula, fenomena wanita berjilbab di Tanah
Air menjadi sebuah pemandangan yang umum dan familiar, yang ditunjukkan
dengan meningkatnya jumlah wanita muslimah yang mengenakan jilbab dengan
ekspresi dan mode jilbab yang beragam pula. Apa motivasi mereka mengenakan
jilbab? Dan bagaimana mereka memahami konsep jilbab ditengah hiruk pikuk
perdebatan konsep jilbab? Disinilah urgensi penelitian ini. Penelitian ini
merupakan penelitian lapangan yang mencoba menangkap bagaimana
pengetahuan awal yang diperoleh tentang konsep jilbab terkait syari'atnya,
bagaimana hal tersebut dipahami, lalu dipraktikkan dan dimaknai kembali, serta
apa yang melatarbelakangi lahirnya heterogenitas mode jilbab tersebut. Untuk itu
santriwati Pondok Pesantren Nurul Ummah Kota Gede Yogyakarta menjadi
pilihan peneliti sebagai objek penelitian untuk menguak beberapa hal di atas,
beberapa hal yang ingin dikuak diantaranya. Pertama, Bagaimana santriwati
Nurul Ummah memahami syari'at berjilbab dalam al-Qur'an. Kedua, bagaimana
pengaruh pemahaman tersebut terhadap perilaku dan praktik berjilbab. Ketiga, apa
faktor-faktor yang melatarbelakangi lahirnya ekspresi dan mode jilbab yang
beragam di kalangan santriwati Nurul Ummah.
Teknik pengumpulan data menjadi point penting dalam penelitian ini, ada
tiga cara yang peneliti gunakan dalam pengumpulan data, pertama, observasi,
terkait dengan metode observasi, disini peneliti mencoba mengamati bagaimana
mode jilbab yang berkembang di kalangan santriwati Nurul Ummah. Kedua,
wawancara mendalam, dengan cara menggunakan teknik snow-ball, yakni
penggalian data melalui wawancara mendalam dari satu informan ke informan
lainnya dan seterusnya sampai peneliti tidak menemukan informasi baru lagi,
jenuh, “tidak berkualitas” lagi. Dan terakhir metode dokumentasi yang digunakan
untuk memperoleh data-data yang terkait dengan profil pondok pesantren Nurul
Ummah. Dengan pendekatan sosiologis dan fenomenologis peneliti mencoba
melihat realitas sebagaimana yang tampak dan menggali informasi melalui
ungkapan, perasaan, ide, maksud, pengalaman, pikiran mereka masing-masing.
Dengan teori triad dialektis Peter L. Berger, eksternalisasi, objektivasi,
internalisasi yang disebut Berger sebagai sosiologi pengetahuan, yang peneliti
gunakan dalam melihat proses dialektis pembentukan pengetahuan,
pengembangan pengetahuan dan bagaimana realitas pengetahuan dan pengalaman
yang membentuk pandangan santriwati Nurul Ummah terhadap konsep dan
syari'at jilbab.
Hasil dari temuan lapangan penulis diantaranya, bahwa;Pertama,
pemahaman santriwati Nurul Ummah terhadap jilbab, baik secara konsep maupun
syari'at merupakan sebuah pemahaman yang berangkat dari pengetahuan yang
telah terkonstruk dalam masyarakatnya. Pengetahuan ini berproses dan bertahap,
dari lingkungan keluarga dengan pengetahuan yang sangat dasar 'bahwa jilbab merupakan syari'at'. Pada saat ini, mereka belum begitu sadar dan mengerti, lalu
pengetahuan ini berkembang dalam proses belajar-mengajar dan lingkungan
sosialnya. Melalui proses belajar-mengajar mereka mulai mengetahui dan
mengerti konsep jilbab secara sadar. Pada proses inilah penulis melihat
adanya/terjadinya proses eksternalisasi dalam memperoleh pengetahuan tentang
konsep jilbab. Selanjutnya pengetahuan terus berkembang, sampai pada tahap
mereka mengetahui bagaimana dalil dan ayat tentang jilbab, namun pemahaman
tentang ayat ini bersifat tekstualis-skripturalis, hal ini dikarenakan bahwa 'jilbab
merupakan ketentuan syar'i, yang pengetahuan tentang konsepnya sudah menjadi
pengetahuan jamak dalam masyarakat kita, melalui sosialisai generasi ke generasi
jilbab sudah menjadi faktasitas dan realitas sosial melalui pewacanaannya,
disinilah adanya proses objektivasi. Sehingga keadaan seperti ini membuat
masyarakat kita tidak terlalu peduli untuk menelaah ayat jilbab secara mendalam.
Kedua, karena jilbab sudah menjadi suatu fakta yang terobjektivasikan, maka
santriwati Nurul Ummah dengan proses internalisasi menangkap dan menyerap
pengetahuan dan makna objektif tersebut, namun seiring dengan pengalaman dan
praktik berjilbab mereka juga menemukan dan mengeluarkan maknanya sendiri,
yang berbeda dengan makna objektifnya, walaupun makna subjektif ini tidak bisa
dilepaskan begitu saja dari makna objektifnya. Disinilah pemahaman mereka
terhadap konsep jilbab sangat mempengaruhi praktiknya, salah satu contoh; ketika
mereka memahami lalu memaknai jilbab dapat memberikan rasa 'nyaman dan
aman', hal ini akan mempengaruhi, jilbab seperti apa yang akan mereka kenakan
yang bisa menunjang kenyamanan tersebut. Ketiga, adapun faktor-faktor yang
melatarbelakangi ada dan beragamnya model jilbab di kalangan santriwati Nurul
Ummah diantaranya: a. Produksi jilbab yang besar-besaran karena pengaruh
modernitas, sehingga melahirkan mode jilbab beragam, membuat mereka bebas
memilih sesuai selera, b. Terkait dengan tingkat kenyamanan, jilbab dipilih sesuai
dengan kenyamanan yang diberikan jilbab ketika mengenakannya, c. Terkait
dengan pemahaman, pemahaman tentang konsep jilbab mempengaruhi pemilihan
model jilbab tertentu. Dengan teori resepsi, yang secara umum merupakan teori
respon dan reaksi pembaca terhadap sebuah teks, disini penulis melihat bahwa
fenomena praktik berjilbab di kalangan santriwati Nurul Ummah dan ragam
ekspresi yang ditampilkan, merupakan respon dan penerimaan mereka terhadap
ayat-ayat jilbab, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang secara praktis
pemahaman tersebut juga dipengaruhi oleh kultur, sosial-budaya yang mengitari
kehidupan sosial mereka.NIM. 08213564 Wahyuni Eka Putri, S.Th.I