Institutional Repository UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta: No conditions. Results ordered -Date Deposited. 2024-03-29T10:04:39ZEPrintshttp://digilib.uin-suka.ac.id/images/sitelogo.pnghttps://digilib.uin-suka.ac.id/2024-03-21T03:13:04Z2024-03-21T03:13:04Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/64427This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/644272024-03-21T03:13:04ZBUDAYA JAWA-ISLAM DAN PERAWATAN LINGKUNGAN (Tantangan Masyarakat Dusun Gunung Kekep Melawan Gerak Kemajuan Zaman)Modernisasi membawa dampak yang sangat luar biasa dalam perkembangan peradaban manusia hari ini. Proses sekularisasi yang diusung menjadikan agama sebagai nilai yang dilepaskan, diganti dengan metode verifikasi lewat empirisme, positivisme, atau rasionalisme, yang kesemuanya itu mendasarkan kebenaran pada segala sesuatu yang material. Karena tidak memiliki pedoman nilai yang utuh, justru teknologi yang diciptakan memberi efek buruk dan kerusakan dalam ekosistem hidup, pun dengan rusaknya hubungan antar manusia maupun dengan lingkungan. Pola-pola seperti ini diserap paling banyak oleh masyarakat perkotaan, dengan ritme ekonomi, politik, serta sosial yang begitu beragam dalam arah gerak pemenuhan kebutuhan hidup. Rupanya, gerak perkembangan tersebut terus sirkular serta menjangkiti daerah yang lebih luas, sehingga banyak dari daerah pedesaan yang mulai terpengaruh, bahkan berubah menjadi perkotaan. Keadaan ini yang dialami oleh masyarakat Dusun Gunung Kekep. Kondisi mereka yang masih begitu tradisional berikut nilai-nilai Jawa-Islam yang dimiliki, terus dihadapkan dengan kemajuan zaman. Sistem keyakinan yang dimiliki hingga membentuk cara pandang terhadap dunia, sejauh ini membuat masyarakat Dusun Gunung Kekep memiliki ekosistem kehidupan yang seimbang, baik hubungan antar sesama maupun hubungan dengan alam semesta. Berangkat dari paradigma Jawa-Islam, mereka terus berupaya melakukan pengutuhan dalam kerangka sangkan paraning dumadi, yang menjadi nilai inti dari setiap ritual dan budaya yang dilakukan. Penelitian ini dilakukan dengan metode observasi lapangan yang diperkuat dengan data dari wawancara dan penelusuran pustaka. Adapun analisis datanya dilakukan dengan menafsirkan berbagai simbol, komparatif, serta menggunakan beragam teori sebagai pisau analisisnya. Hasilnya, pelestarian budaya Jawa-Islam yang dilakukan oleh masyarakat Dusun Gunung Kekep membawa pengutuhan ketaatan kepada Tuhan, membentuk tata aturan adat masyarakat, sekaligus menjadi wadah dalam meregenerasi nilai sehingga keseimbangan hidup dalam sistem keyakinan mereka tetap utuh. Walau demikian, mereka harus bisa memformulasikan nilai-nilai serta mengkontekstualisasikan agar sistem keyakinan yang dipeluk tidaklah hilang sehingga ekosistem kehidupan tetap terjaga.NIM.: 19105020002 Slamet Makhsun2024-02-06T06:34:31Z2024-02-06T06:34:31Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/63483This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/634832024-02-06T06:34:31ZPARIWISATA BERBASIS BUDAYA: TREN DAN GAP DALAM
PENGEMBANGAN WISATA PERKOTAAN DI REJOWINANGUNAlthough urban tourism has transform a concern of the government of Yogyakarta City as a center of civilization and culture, there are still weaknesses in the development of renewal trends in new tourist attractions and gaps that can be optimized and redeveloped as a tourist destination. Research found this phenomenon in the Rejowinangun as a tourist destination consisting of cultural, skills, herbal, culinary, and agro. On the basis of this phenomenon, this study is present to explore the trend of urban tourism development and look for new gaps that can be developed into tourism-based culture (tangible and intangible). This study is conducted through a case study approach, and the researcher has conducted in-depth interviews, field observations, and documentation with eleven informants. Based on the data collected and interpreted, the researcher found several important findings that are divided into two aspects. In the first aspect, the researcher managed to find the trend of urban tourism development in Rejowinangun. Firstly, culture is a cluster that is developing rapidly compared to the other four clusters. Secondly, there is a lack of attention to product branding in the craft cluster. Thirdly, tourism development can encourage the emergence of new businesses for cluster members. In the second aspect, researchers also found that there are gaps that can be developed by urban tourism managers in Rejowinangun. Firstly, branding efforts for craft products have the potential to excel because of their educational value. Secondly, the existence of local micro, small, and medium enterprises (MSMEs) will be better recognized by the public if their management is systematically organized. Therefore, it is important to develop urban tourism by paying attention to the strength of social participation in combining the elements of attractions, accessibility, and amenities of tourist destinations. In reality, the Rejowinangun community has a tendency to develop tourism with cultural value compared to other clusters. Apart from that, there are other findings that the participation aspect of young people is lacking because they are more focused on their own affairs. In this study, the researcher recommends that the local government, in responding to the same issue, add the concept of DMS (Destination Management System) as an integration part in urban tourism development in different locations.NIM.: 20102030047 Fahrina Puji Aulia2024-02-01T06:48:45Z2024-02-01T06:48:45Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/63380This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/633802024-02-01T06:48:45ZRESILIENSI TRADISI DI TENGAH ARUS PERUBAHAN: (STUDI PADA EKSISTENSI TRADISI UNGGAHAN KOMUNITAS BONOKELING BANYUMAS)Tradisi Unggahan dalam Komunitas Bonokeling dilakukan setahun sekali. Tradisi tersebut dilakukan dengan kegiatan intinya berziarah kepada leluhur Komunitas yaitu Kiai Bonokeling. Tradisi Unggahan menjadi icon dari Komunitas Bonokeling karena banyaknya anggota yang hadir untuk mengikutinya pada setiap tahunnya. Antusias dari anggota yang begitu ramai menjadikan komunitas Bonokeling disorot oleh orang dari luar komunitas. Ketertarikan orang-orang menjadikan komunitas menjadi ramai akan kunjungan dan menjadi secara tidak langsung wisata budaya setiap setahun sekali menjelang bulan Ramadan. Komunitas Bonokeling merepresentasikan komunitas-komunitas adat yang tidak hanya menampakan nama komunitas adat ke masyarakat luas tetapi juga mejadi komunitas yang konsisten melestarikan tradisi yang diawariskan oleh leluhurnya.
Penelitian ini hendak menjawab dua hal, yakni (1) bagaimana Bagaimana prosesi dan eksistensi tradisi Unggahan Komunitas Bonokeling, Banyumas;dan (2) Mengapa tradisi Unggahan pada Komuinitas Bonokeling di Kabupaten Banyumas terus eksis di tengah arus perubahan. Penelitian ini melihat praktik Resiliensi Sosial dalam kerangkat teori Wiliiem Neil Adger. Dimana menurut Adger , latarbelakang suatu ketahanan dapat dilihat melalui Coping capacities, Adaptive capacities, dan Transformative capacities. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi non-partisipatoris, kemudian wawancara 8 pengurus dan anggota komunitas serta dokumentasi. Analisis data penelitian dilakukan engan cara (1) Pengumpulan data (2) reduksi data (3) penyajian data secara deskriptif, daftar gambar dan tabel.
Hasil penelitian menunjukan bahwa (1) Bonokeling tetap eksis dengan prosesi Unggahan yang dilaksanakan dari hari kamis-santu dan puncaknya di hari Jum’at yaitu tahap ziarah ke makam Kiai Bonokeling dan peran pemerintah dalam menganyomi komunitas Bonokeling 2) Resiliensi tradisi Unggahan pada Komunitas Bonokeling dapat dilakukan dengan cara reorganisasi, adaptasi dan mobilisasi komunitas yang dilakukan dengan baik oleh komunitas Bonokeling. Reorganisasi yang dilakukan Bonokeling terhubungannya dengan pemerintah Kabupaten secara administrasi, secara adaptasi komunitas Bonokeling mampu beradaptasi dengan kemajuan zaman tanpa terpengaruh untuk lari dan meninggalkan tradisi Unggahan dan mobilisasi yang dilakukan Bonokeling mampu menggerakan atau menstabilkan anggota untuk menghadiri acara tradisi Unggahan setiap tahunnya.NIM.: 19105040089 Rachmat Anggi Dwi Maulana2024-02-01T03:36:08Z2024-02-01T03:36:08Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/63368This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/633682024-02-01T03:36:08ZLIMINALITAS MASYARAKAT DALAM TRADISI KEMATIAN DI DUSUN PRONOSUTAN DESA KEBANG NANGGULAN KULON PROGOPenelitian ini membahas tentang ritual kematian yang dilakukan oleh masyarakat di Dusun Pronosutan. Dusun Pronosutan merupakan salah satu wilayah dengan masyarakat yang memiliki adat istiadat yang masih dilakukan hingga sekarang, salah satunya yaitu ritual kematian. Fokus penelitian ini, membahas ritual kematian dalam perspektif teori Victor Tunner tentang proses liminalitas dalam suatu ritual. Selanjutnya pengaruh industri pariwisata bagi masyarakat Pronosutan, dimana hal itu dapat mempengaruhi adat-istiadat, baik secara langsung atau tidak langsung.
Data penelitian dikumpulkan melalui penelitian lapangan (flied research) dengan metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif analitis. Dalam mengumpulkan data peneliti menggunakan teknik wawancara, observasi dan dokumentasi. Selain itu peneliti, menggunakan perspektif teori simbol ritual Victor Turner tentang proses liminalitas dalam ritual. Terdapat tiga tahapan yang dikemukakan Victor Tuner, yaitu tahap pemisahan (separation), tahapan pertengahan (liminal) dan tahap pengintegrasian kembali (reagregation). Dengan teori tersebut diharapkan dapat menjawab pertanyaan tentang bagaimana proses liminal yang terjadi pada masyarakat dalam ritual kematian serta makna yang ada di dalamnya.
Hasil penelitian yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa melalui teori liminalitas Victor Turner terdapat 3 tahapan yang dilalui masyarakat dan keluarga duka dalam prosesi ritual kematian. Tahap pemisahan ditunjukkan ketika masyarakat meninggalkan aktivitasnya untuk berkumpul di rumah duka, tahap liminal ditunjukkan ketika keluarga dan masyarakat yang bertakziah, berdiam diri pada saat acara tersebut berlangsung dan tahap ketiga ditunjukkan pada keluarga duka atas aktivitas dan perilakunya setelah acara pemakaman selesai. Kemudian, terdapat faktor-faktor dalam pelestarian budaya yang secara garis besar terbagi dalam dua pemaknaan dan pemahaman, yaitu pemaknaan ajaran agama dan pemaknaan ajaran budaya Jawa. Faktor tersebut menciptakan pemahaman yang diyakini oleh masyarakat Pronosutan sebagai masyarakat urban di tengah perkembangan industri wisata.NIM.: 19105040055 Noor Ahmad Afrizal Pertawi2024-02-01T03:32:56Z2024-02-01T03:32:56Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/63367This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/633672024-02-01T03:32:56ZADAPTASI MASYARAKAT WONOKROMO DALAM TRADISI REBO PUNGKASAN PASCA PANDEMI COVID-19Tradisi Rebo Pungkasan merupakan upacara adat yang dilaksanakan masyarakat di Desa Wonokromo, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul sejak tahun 1784. Upacara adat ini bertujuan untuk ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan mengenang jasa Kyai pertama di Wonokromo yaitu Kyai Fakih Usman atau Kyai Welit. Dia dianggap orang yang mempunyai kelebihan ilmu dalam bidang keagamaan dan ketabiban yang dipercayai bisa menyembuhkan penyakit dengan cara disuwuk yaitu dikasih air yang dibacakan ayat Al-Qur’an dan diminumkan kepada orang yang sakit.
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan yang didalamnya terdapat sumber data primer yaitu observasi dan wawancara terhadap lima masyarakat di Desa Wonokromo seperti tokoh agama, Bapak Lurah, Pak Kyai serta pihak-pihak desa yang berhubungan dengan aspek demografi Desa Wonokromo agar memperoleh data dengan akurat. Adapun sumber data sekunder yaitu berasal dari referensi yang diperoleh melalui literatur yang berkaitan dengan Tradisi Rebo Pungkasan. Pengumpulan data tersebut dilakukan dengan cara observasi, wawancara, dan dokumentasi. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori AGIL yang dikemukakan oleh Talcott Parsons.
Hasil dari penelitian ini menemukan bahwa adaptasi masyarakat Wonokromo dalam Tradisi Rebo Pungkasan yang terjadi disebabkan adanya Pandemi Covid-19 saat itu. Karena dengan adanya Pandemi Covid-19 saat itu menyebabkan tradisi Rebo Pungkasan di Wonokromo diberhentikan selama dua tahun yaitu pada tahun 2020 sampai 2021. Sehingga masyarakat Wonokromo harus beradaptasi terhadap lingkungan yang baru. Adapun faktor lain penyebab tradisi diberhentikan yaitu dikarenakan dari pemerintahan juga sudah menganjurkan bahwa selama Pandemi Covid-19 tidak boleh melakukan kegiatan yang bersifat menimbulkan banyak kerumunan. Walaupun dengan keadaan dan kondisi seperti itu masyarakat Wonokromo tetap melakukan kegiatan sehari-hari seperti biasanya dengan menggunakan protokol kesehatan berupa masker dan berjaga jarak antara satu sama lainnya.NIM.:19105040051 Mukhlis Hidayat2024-02-01T02:28:50Z2024-02-01T02:28:50Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/63352This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/633522024-02-01T02:28:50ZSARUNG: DINAMIKA KEAGAMAAN MASYARAKAT DUSUN LAOK GUNUNG DESA SANA DAJAH MADURAPosisi agama dalam kesadaran masyarakat Madura sangatlah penting.
Setiap kegiatan kegamaan seringkali melibatkan penggunaan sarung sebagai bagian dari tradisi.
Metode penelitian yang digunakan dalam studi ini adalah penelitian lapangan (field research). Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dengan warga setempat (tokoh agama, tokoh masyarakat, pemuda), observasi dengan mengamati langsung ke tempat lokasi penelitian, dan dokumentasi. Setelah proses pengumpulan data selesai, dilakukan tahap analisis data yang meliputi penelaahan data secara menyeluruh, reduksi data, penyusunan data dalam satuan-satuan, dan analisis data menggunakan teori Interpretatif simbolik dari Clifford Geertz.
Penelitian ini menunjukkan bahwa selain berfungsi sebagai pakaian penutup aurat yang sempurna, sarung juga memiliki makna religius yang mendalam bagi masyarakat Dusun Laok Gunung.. Sarung dianggap sebagai benda sakral dan suci yang memainkan peran sentral dalam budaya keagamaan masyarakat. Makna yang terkandung dalam sarung bagi masyarakat Dusun Laok Gunung menunjukan betapa pentingnya rasa ketundukan terhadap Tuhan. Sarung menjadi simbol yang mencerminkan nilai-nilai spiritualitas bagi mereka. Sarung membawa perasaan khidmat yang mendalam saat menjalankan ibadah, dan kehadirannya sangatlah berarti dalam merasakan kedekatan dengan Tuhan. Meskipun mood untuk memakai sarung terkadang dipengaruhi oleh kondisi atau situasi tertentu, namun motivasi masyarakat dalam mengenakannya tetap tinggi dan tidak tergoyahkan. Sarung menjadi yang diekspresikan melalui kata“sarong jen e sassa jen makerrong”.NIM.: 19105020009 Moh Ridwanullah M.R2024-01-17T06:38:11Z2024-02-07T02:59:14Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/63019This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/630192024-01-17T06:38:11ZHorizon Ilmu-Ilmu BudayaBuku ini merangkai dan mencoba memahamkan saling keterkaitan elemen-elemen kunci dalam tiga runah ilmu, yaitu Bahasa dan Sastra, Sejarah dan Kebudayaan, serta Ilmu Perpustakaan dan Informasi, Buku ini memberikan pemahaman yang holistik dan mendalam tentang kompleksitas interaksi antar-disiplin ilmu budaya, menciptakan pandangan yang melintasi batasan batasan konvensional. Dengan pendekatan yang jelas dan penelitian yang mendalam, "Horizon Ilmu-Ilmu Budaya tidak hanya menyajikan informasi. tetapi juga membuka diskusi mengenai relevansi dan aplikasi ilmu budaya dalam konteks masyarakat modern. Konseptualisasi buku ini sebagai 'horizon' mencerminkan upaya untuk menggambarkan jangkauan luas ilmu budaya, seperti pandangan yang melintasi cakrawala pengetahuan kita. Konsep "horizon" dalam buku ini merupakan usaha penulis untuk melampaui batas batas konvensional dan mengajak pembaca pada perjalanan intelektual yang luas. Dengan menggambarkan "horizon," penulis tidak hanya menawarkan informasi, tetapi juga membuka jendela pandangan yang membentang jauh, merigundang pembaca untuk merenung tentang keberagaman dan kompleksitas dalam ranah ilmu budaya. Buku ini sangat relevan untuk mahasiswa, peneliti, dan praktisi di berbagai bidang ilmu budaya. Dengan gaya penulisan yang jelas dan menyajikan argumen yang kokoh, buku ini dapat menjadi rujukan yang sangat berharga."- Musthofa [et.al]2023-11-22T03:08:26Z2023-11-22T03:08:26Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/62339This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/623392023-11-22T03:08:26ZUNSUR BUDAYA JAWA DALAM TRADISI SLAMETAN DI GEREJA HATI KUDUS TUHAN YESUS GANJURAN (STUDI INKULTURASI GEREJA TERHADAP BUDAYA LOKAL)Agama dan kebudayaan tidak dapat dilepaskan dalam kehidupan manusia,
karena keduanya memiliki keterkaitan yang erat dan mempengaruhi satu sama
lain. Hal ini disebabkan agama merupakan bagian dari sistem kebudayaan,
dikarenakan kebudayaan suatu masyarakat berkaitkan dengan agama yang
dianutnya. Pengaruh tersebut terlihat bahwa sebuah agama dapat menciptakan
suatu kebudayaan baru dan sebaliknya kebudayaan juga dapat mempengaruhi
agama manusia. Salah satunya tampak pada agama Islam di Jawa, yaitu
terdapatnya unsur akulturasi budaya setempat dengan Islam semisal slametan.
yang merupakan upacara keseharian orang Jawa seperti memperingati hari besar
agama Islam, upacara peralihan dan pertanian.
Upacara slametan sesungguhnya bukan hanya tradisi keagamaan umat
Islam semata, tetapi slametan juga menjadi tradisi keagamaan Gereja Katolik di
Ganjuran, yang merupakan inkulturasi Gereja terhadap budaya Jawa. Untuk
itulah dalam slametan di Gereja Ganjuran menjadi suatu obyek penelitian untuk
mengetahui secara mendalam bagaimana tatacara upacara slametan di Gereja
Ganjuran, alasan upacara slametan dijadikan bagian dari liturgi ekaristi, serta
inkulturasi liturgi ekaristi menjadi upacara slametan, dan apa tujuan di balik
inkulturasi yang terdapat di Gereja Ganjuran.
Penelitian ini menggunakan pendekatan antropologi budaya, pengumpulan
data dengan dokumen setempat, wawancara dengan para aktor, para Imam,
sekertariatan, Dewan Paroki, para Jemaat dan masyarakat Ganjuran. Kemudian
observasi lapangan (pengamatan) dengan datang ke lokasi penelitian secara
langsung.
Hasil dari analisis penelitian ini menemukan sebuah prosesi slametan di
Gereja Ganjuran yang merupakan liturgi ekaristi dengan bernuansa Jawa yang
dipergunakan untuk memperingati hari jadi Gereja. Dalam pelaksanaanya terdapat
suatu kemiripan dengan slametan garebeg Mulud di Kraton Yogyakarta. Proses
slametan di Gereja Ganjuran adalah berupa liturgi ekaristi sebagai inkulturasi
Gereja Katolik dengan budaya Jawa, agar liturgi ekaristi yang berupa slametan
dapat dipahami oleh orang Jawa dikarenakan keduanya terdapat kesamaan pada
makna dan fungsi. Inkulturasi untuk indegenisasi iman Katolik kepada orang Jawa
dengan membentuk slametan sebagai liturgi ekaristi melalui simbol ekspresi
budaya Jawa yang terdapat pada tatacara upacara dan benda- benda persembahan.
Kemudian fungsi tersebut sebagai misi dalam pengembangan ajaran
Katolik di masyarakat Jawa, dengan cara memasukkan iman Katolik berdasarkan
kebudayaan setempat yaitu dengan penyesuaian iman dengan kebudayaan
setempat melalui pengadopsian budaya setempat menjadi ajaran Gereja Katolik
dan keterbukaan ajaran Gereja dengan kepercayaan lokal melalui inkulturasi yang
mencakup segala aspek budaya, agar iman dapat tumbuh secara kualitatif dan
ajaran Gereja Katolik bisa berkembang di tanah Jawa.NIM.: 04521573 Leo Setiawan2023-10-31T02:38:51Z2023-10-31T02:40:29Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/62033This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/620332023-10-31T02:38:51ZRITUS PENYEMBUHAN PENYAKIT MELALUI BALIA TAMPILANGI (STUDI ATAS FILSAFAT HIDUP SUKU KAILI DI KOTA PALU, SULAWESI TENGAH)Tradisi Balia Tampilangi sebagai salah satu local wisdom suku Kaili yang berorientasi pada penyembuhan penyakit yang mengandung unsur mistik. Namun, seiring kemajuan ilmu pengetahuan, perkembangan teknologi, dan pemahaman agama menjadikan tradisi tersebut kontroversial dan termarginalkan, namun masih dipertahankan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji tradisi Balia Tampilangi sebagai filsafat hidup atau cara pandang suku Kaili dalam menyelesaikan masalah atau persoalan-persoalan kehidupan. Sehingga dapat diketahui alasan tradisi tersebut dapat bertahan di zaman modern. Sebab tidak mungkin sebuah kebudayaan dapat bertahan dan terus dijalankan jika tidak memiliki makna dan nilai-nilai yang dianggap baik sehingga masih dijadikan pedoman oleh penganutnya.
Penulisan tesis ini menggunakan pendekatan filosofis. Sumber data terdiri dari data primer (data yang ditemukan di lapangan) dan sekunder (data yang ditemukan dalam tulisan terkait Balia). Teknik pengumpulan data dengan menggunakan triangulasi. Sedangkan Penulisan tesis ini juga menggunakan kerangkan teori semiotik Ferdinand De Saussure dan teori filsafat kebudayaan C.A. van Peursen.
Hasil yang ditemukan dalam penelitian ini adalah, Pertama, mengenai bagaimana potret tradisi adat Balia Tampilangi. Definisi atau pemahaman masyarakat umum mengenai Balia Tampilangi sangat berbeda dengan yang dipahami oleh suku Kaili yang masih mempertahankan dan menjalankan tradisi Balia Tampilangi. Masyarakat umum dan sebagian besar referensi menggambarkan bahwa Balia adalah ritual penyembuhan segala jenis penyakit dengan meminta bantuan kepada mahluk gaib, sehingga tradisi Balia dipandang negatif karena mengarah kepada kemusyrikan. Namun, dari hasil wawancara dengan suku Kaili yang masih menjalankan tradisi Balia dipahami bahwa, Balia merupakan upaya suku Kaili dalam menyembuhkan penyakit yang disebabkan oleh teguran dari roh nenek moyang kepada keturunannya yang dilatarbelakangi oleh beberapa faktor. Suku Kaili tetap meminta kesembuhan kepada Allah, melalui perantara nenek moyang mereka. Kedua, mengenai bagaimana filsafat hidup suku Kaili yang terdapat dalam tradisi Balia Tampilangi. Menurut hasil pengamatan dan analisa peneliti pada data primer dan sekunder, peneliti menarik kesimpulan terkait filsafat hidup suku Kaili sehingga dapat mempengaruhi eksistensi Balia Tampilangi masih dapat bertahan hingga zaman sekarang, yaitu (1) prinsip adat suku Kaili (2) ikatan emosional kepada leluhur (3) menjadi satu-satunya media penyembuhan, dan (4) pengungkapan rasa syukur dan tolak balaNIM.: 20205012015 Hanan Assagaf2023-10-31T02:18:58Z2023-10-31T02:18:58Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/62028This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/620282023-10-31T02:18:58ZPOHUTU MOLALUNGO (ANALISIS ETIKA TERHADAP NILAI-NILAI MORAL UPACARA PEMAKAMAN DI GORONTALO)Nilai-nilai moral yang menjadi salah satu tujuan utama dari pelaksanaan upacara pemakaman Pohutu Molalungo justru kian terkikis dan hilang dari pemahaman masyarakat yang melaksanakannya. Nilai-nilai moral dan ajaran-ajaran kebaikan lainnya sudah bukan lagi bagian yang dianggap esensial dari upacara sehingga tidak lagi dibicarakan. Kemerosotan pemahaman dan pemaknaan ini berimplikasi pada pelaksanaan upacara yang tidak hanya hambar dan kering akan nilai-nilai moral namun pada kemungkinan paling buruk yakni munculnya pemahaman yang mendiskreditkan upacara pemakaman itu sendiri.
Tesis ini bertujuan untuk mengkaji upacara pemakaman Pohutu Molalungo pada masyarakat Gorontalo. Dalam hal ini nilai-nilai moral dan dinamikanya menjadi tujuan dan fokus kajian. Pohutu Molalungo adalah upacara pemakaman yang merupakan sinergi antara agama Islam dan kearifan lokal masyarakat Gorontalo. Nilai-nilai moral yang dimaksud ditelaah melalui pemahaman kolektif dan objektif masyarakat terhadap simbol-simbol yang ada. Simbol yang nampak pada perangkat-perangkat adat dan tindakan-tindakan yang ada saat prosesi upacara berlangsung.
Tesis ini merupakan studi penelitian lapangan. Pengumpulan data dilakukan melalui proses wawancara dan pembacaan terhadap literatur-literatur terkait dengan upacara pemakaman Pohutu Molalungo. Analisis dalam proses penelitian ini mengunakan teori dan konsep etika dari Kees Bertens sebagai alat bedah utamanya dan konsep simbol dari Clifford Geertz sebagai teori pelengkapnya.
Dalam penelitian ini ditemukan bahwa terdapat nilai-nilai moral seperti solidaritas, toleransi, saling menghormati dan ajaran-ajaran kebaikan lainnya dalam upacara pemakaman Pohutu Molalungo. Nilai-nilai moral yang ada adalah pengajaran bertindak dan bertingkahlaku dalam kehidupan bagi masyarakat Gorontalo. Pengetahuan nilai-nilai moral terbentuk oleh dua entitas utama. Islam sebagai agama dengan segala ajaran-ajarannya yang termaktub dalam naskah-naskah suci, dan falsafah alam yang sudah sejak awal ada dan terpatri dalam diri dan sendi-sendi kehidupan masyarakat Gorontalo
Degradasi pengetahuan nilai-nilai moral dalam upacara pemakaman yang terjadi disebabkan oleh pragmatisme masyarakat (karena perubahan zaman) dan Lunturnya sakralitas simbol yang ada dalam upacara pemakaman. Zaman menjadikan masyarakat terbawa gaya hidup yang pragmatis dan hilangnya juga sakralitas simbol (pada perangkat maupun tindakan) sehingga berimplikasi pada lemahnya penghayatan pada nilai-nilai moral yang ada.NIM.: 19205012039 Mohamad Iqbal Paudi2023-10-27T04:24:42Z2023-10-27T04:24:42Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/61941This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/619412023-10-27T04:24:42ZIMPLIKASI KEGIATAN RUTINAN KEAGAMAAN TERHADAP RELIGIUSITAS MASYARAKAT DI DUSUN DUKUH BEJEN KECAMATAN BANTULReligiusitas merupakan kedalaman penghayatan seseorang terhadap keyakinan terhadap keagamaannya dengan cara mematuhi segala perintahnya dan menjauhi segala larangannya dan diaplikasikan atau diekspresikan terhadap kehidupan sehari-hari, seperti melakukan beribadah, berdoa, berperilaku dan bertingkah laku sesuai dengan ajaran yang telah ditentukan dan mempunyai hubungan baik antara Tuhan, manusia dengan lingkungan alam sekitarnya. Religiusitas diartikan sebagai seberapa jauh pengetahuan, seberapa kokoh keyakinan, seberapa pelaksanaan ibadah dan kaidah dan seberapa dalam penghayatan atas agama yang dianutnya.
Dalam melakukan penelitian ini, penulis tidak lepas dari rumusan masalah, yaitu pertama, bagaimana aktivitas kegiatan rutinan keagamaan masyarakat di Dusun Dukuh Bejen Kecamatan Bantul. Kedua, bagaimana implikasi kegiatan rutinan keagamaan masyarakat di Dusun Dukuh Bejen Kecamatan Bantul terhadap religiusitas menurut Glock & Stark. Untuk teknik pengumpulan data menggunakan observasi, wawancara dan dokumentasi. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (Field Research) dengan menggunakan pendekatan psikologi agama khususnya mengenai religiusitas yang ditinjau teori religiusitas dari Glock & Stark lima dimensi religiusitas. Analisis data dilakukan dengan prosedur reduksi data, penyajian data, dan kesimpulan/verifikasi data.
Hasil penelitian ini, pertama, aktivitas masyarakat di Dusun Dukuh Bejen dalam rutinan kegiatan keagamaan diantaranya adalah yasinan, barzanji, mujahadah dan pengajian-pengajian lainnya yang mana adanya dampak berpengaruh kepada perilaku, tindakan dan tingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat. Kedua, dalam religiusitas masyarakat ditinjau menggunakan teori dimensi religiusitas mereka memenuhi semua kriteria dimensi dan mempengaruhi dimensi-dimensi yang lainnya yang mana saling berhubungan dan berdampak juga kepada kehidupan sehari-hari. Contohnya dalam hal dimensi kepercayaan, dan dimensi dimensi praktek, mereka mayoritas mempercayai maupun mengimani Allah dan mengabdikannya dalam bentuk peribadatan. Kedua dimensi tersebut, yang memengaruhi kepada pengalaman maupun kepribadian seseorang dan menentukan sikap kepada kehidupan sehari-hari yang mana menjadi tenang, tentram, berperilaku tolong menolong, dan yang lainnya.NIM.: 19105020011 Muhammad Pria Pambudi Luhur2023-10-27T04:20:47Z2023-10-27T04:20:47Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/61940This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/619402023-10-27T04:20:47ZKEMATANGAN BERAGAMA PEZIARAH NEW GUNUNG KEMUKUS DI SRAGEN JAWA TENGAHNew Gunung Kemukus terdapat di Kabupaten Sragen Jawa Tengah. Mitos tentang hubungan seks antara Pangeran Samudro dan ibu tirinya Raden Ayu Ontrowulan namun belum sempat dilakukan. Pangeran Samudro sebelum beliau wafat berpesan bahwa barangsiapa yang dapat melakukan hubungan seks yang belum sempat beliau lakukan maka hajatnya akan terkabul. Mitos ini telah menyebar luas di masyarakat. Banyak orang berbondong-bondong untuk berziarah ke makam Pangeran Samudro supaya hajatnya terkabul. Untuk itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan mitos dan praktik ritual ngalap berkah yang terdapat di New Gunung Kemukus Sragen Jawa Tengah dan untuk menganalisis bagaimana kematangan beragama para peziarah yang berkunjung ke Gunung Kemukus Sragen Jawa Tengah.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian lapangan dengan menggunakan metode kualitatif serta pendekatan Psikologi Agama. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti yaitu wawancara, observasi, dan dokumentasi. Setelah pengumpulan data selesai kemudian peneliti melakukan reduksi data, menyusun data dan menganalisis data dengan menggunakan teori kematangan beragama dari Walter Housten Clark.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: pertama perkembangan mitos dan praktik ritual ngalap berkah di New Gunung Kemukus menunjukkan adanya perubahan dalam jumlah orang yang mengunjungi New Gunung Kemukus. Perubahan ini dipengaruhi karena penutupan yang sempat dilakukan oleh pemerintah setempat untuk merebranding New Gunung Kemukus menjadi objek wisata ziarah tanpa adanya ritual hubungan seks. Namun dari segi kepercayaan peziarah terhadap ritual hubungan seks masih dilakukan meskipun tidak seramai sebelum tahun 2019. Kedua peneitian ini juga menunjukkan bahwa tingkat kematangan beragama peziarah New Gunung Kemukus masih sangat kurang jika dianalisis menggunakan teori Walter Houston Clark yaitu memiliki pemahaman agama yang terus bertumbuh, selalu bertindak menyesuaikan dengan tuhan, tidak bersifat egosentris tetapi memiliki sensitivitas moral dan lebih peduli terhadap lingkungannya, serta menjadi lebih kritis terhadap ajaran agama da otonom dalam memutuskan tindakan keagamaannya. Hal itu tidak ditunjukkan peziarah New Gunung Kemukus. Terdapat dua dari Sembilan informan yang peneliti temui yang benar-benar murni melakukan ziarah ke makam Pangeran Samudro. Tujuh informan lainnya memiliki macam-macam tujuan. Misalnya meminta kemudahan rezeki, jodoh, keturunan, mencari uang, dan lain sebagainya. Hal tersebut sama sekali tidak termasuk kedalam ciri-ciri kematangan beragama menurut Clark.NIM.: 19105020007 Anggia Friska Damayanti2023-10-27T03:00:07Z2023-10-27T03:00:07Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/61924This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/619242023-10-27T03:00:07ZHUMANISME RELIGIUS DALAM TARIAN ADAT LILLING MASYARAKAT LAMAHOLOT DI DESA LOHAYONG PROVINSI NUSA TENGARA TIMURHubungan antara agama dan budaya muncul begitu Islam tiba di Indonesia. Islam dan budaya lokal saling berakulturasi ketika berinteraksi dengan masyarakat karena karakteristik Islam yang khas. Tarian adat lilling masyarakat Lamaholot di Desa Lohayong merupakan salah satu kekayaan budaya masyarakat Indonesia, yang mengandung nilai-nilai kemanusiaan dan spiritualitas. Saat ini, kehidupan spiritual berbasis prinsip-prinsip agama sangat dibutuhkan oleh manusia modern. Kehidupan yang penuh persaingan dan menuntut manusia menjadi pekerja dengan profesionalitas serta standar yang tinggi di berbagai aspek kehidupan.
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah; Bagaimana sejarah lahirnya tarian adat lilling masyarakat Lamaholot di Desa Lohayong?; Bagaimana nilai-nilai humanisme religius yang terkandung dalam tarian adat lilling masyarakat Lamaholot di Desa Lohayong?. Rumusan masalah tersebut diambil guna memberikan stabilitas dan identitas kepada masyarakat Desa Lohayong, dengan meneliti pandangan hidup suatu masyarakat berbudaya melalui tarian lilling. Selain itu penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan, mensistematiskan dan menganalisis nilai-nilai filosofis dalam tarian lilling, khususnya menganalisis nilai-nilai humanisme religius di dalamnya.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Interpretative Phenomenological Analysis (IPA) sebagai grand tehory, dengan Humanisme Religius sebagai apply theory. IPA digunakan untuk merumuskan pemahaman mendalam tentang pengalaman dan perspektif masyarakat Desa Lohayong terkait tarian adat lilling. Selanjutnya, Humanisme Religius diterapkan sebagai kerangka teoritis untuk menganalisis nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan dan tanggung jawab terhadap lingkungan yang tercermin dalam tarian tersebut. Dengan pendekatan ini peneliti dapat mengidentifikasi makna simbolik dan spiritual tarian adat lilling, serta menghubungkannya dengan pemahaman humanisme religius yang lebih luas.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lahir dan berkembangnya tarian adat lilling masyarakat Lamaholot di Desa Lohayong, memiliki keterkaitan dengan masuknya Islam ke pulau Solor pada abad ke-13 M. Tarian lilling merupakan tarian adat yang lahir dan berkembang di wilayah muslim pesisir Solor Watan Lema (Solor Lima Pantai). Tarian ini tidak hanya menjadi bentuk ekspresi seni dan kebudayaan, tetapi juga menjadi sarana untuk menyampaikan pesan-pesan spiritual dan cerita sejarah. Melalui gerakan dan syair-syair yang dilagukan dalam tarian lilling, masyarakat Desa Lohayong mengajarkan nilai-nilai persatuan, persaudaraan, kekeluargaan dan tanggung jawab terhadap lingkungan. Nilai-nilai tersebut diterapkan dalam kehidupan masyarakat Desa Lohayong sebagai sebuah tradisi seperti, tradisi koda adat; tradisi makan lamak, dan tradisi reuni akbar gelekat lewo gewayantana. Hasil tersebut menunjukkan bahwa tarian lilling memiliki nilai-nilai humanisme religius yang mendalam.NIM.: 19105010047 Muhammad Faridl Al Hasan2023-10-27T02:42:48Z2023-10-27T02:42:48Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/61917This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/619172023-10-27T02:42:48ZSISTEM NILAI BUDAYA DALAM TRADISI LABUHAN SARANGAN (TINJAUAN ANALISIS SEMIOTIK)Tradisi Labuhan Sarangan merupakan salah satu tradisi tahunan yang dilakukan masyarakat Kelurahan Sarangan. Tradisi ini masih dijunjung tinggi dan dipraktikkan oleh masyarakat setempat di Kelurahan Sarangan, Kecamatan Plaosan, Kabupaten Magetan, Provinsi Jawa Timur. Tradisi Labuhan Sarangan ini pada dasarnya merupakan wujud penghormatan dan syukur kepada Allah SWT. Wujud syukur dilakukan dengan pelarungan tumpeng nasi dan tumpeng hasil bumi (hasil panen petani) ke telaga.
Penelitian ini membahas nilai-nilai budaya yang terkandung dalam Tradisi Labuhan Sarangan. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kurangnya pemahaman dan pemaknaan oleh masyarakat sekitar Kelurahan Sarangan, utamanya generasi muda terhadap tradisi Labuhan Sarangan. Jenis penelitian ini disebut kualitatif, dan tidak memerlukan kuantifikasi (tidak terdapat perhitungan didalamnya). Sumber data utama untuk penelitian ini adalah masyarakat Kelurahan Sarangan selama pelaksanaan Tradisi Labuhan Sarangan. Sumber data kedua dalam penelitian ini berasal dari penelitian kepustakaan, artikel, jurnal, skripsi, dan sumber terkait lainnya.
Penelitian ini memanfaatkan jenis data lapangan yang dimaksudkan untuk menangkap fakta-fakta yang ada di masyarakat. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi. Penelitian ini memanfaatkan pendekatan filosofis dengan deskriptif empiris dan normatif, yang hadir dalam Tradisi Labuhan Sarangan. Teori dalam penelitian ini mengacu pada semiotika Roland Barthes, sehingga memungkinkan analisis Tradisi Labuhan Sarangan dapat dilakukan dengan lebih mudah.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah dengan adanya tradisi ini bertujuan sebagai wujud syukur atas segala rezeki, kenikmatan, keberkahan, dan keselamatan dari Allah SWT. Terdapat beberapa nilai-nilai budaya dalam Tradisi Labuhan Sarangan. Dalam tradisi ini nilai-nilai budaya meliputi nilai perilaku, nilai simbol, dan nilai kepercayaan. Selanjutnya terdapat penandaan dalam analisis semiotika Roland Barthes ini yang berawal dari tanda, denotasi, konotasi, dan mitos. Penandaan tersebut termuat dalam prosesi Labuhan Sarangan yang terdapat didalamnya yakni pemandian dan penyembelihan kambing kendit, tumpeng gono bahu, tumpengan kecil, panggang ayam, dan ambengan.NIM.: 19105010003 Wafiq Imamah2023-09-26T01:33:29Z2023-09-26T01:33:29Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/60598This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/605982023-09-26T01:33:29ZPELESTARIAN WAYANG KULIT DI BALAI BUDAYA MINOMARTANIKesenian wayang merupakan seni tradisional yang berkembang di Indonesia terutama di pulau Jawa. Wayang adalah wiracerita yang pada intinya mengisahkan kepahlawanan para tokoh yang berwatak baik menghadapi dan menumpas tokoh yang berwatak jahat. Kitab Mahabarata dan Ramayana dijadikan berbagai lakon wayang yang dipentaskan dalam bentuk wayang kulit. Menurunnya pertunjukan cerita wayang untuk saat ini dikarenakan waktu pertunjukan yang lama, bahasa yang digunakan tidak dimengerti, menganggapnya terlalu kuno. Pementasan wayang saat ini kurang diminati masyarakat, sehingga setiap ada pementasan wayang tidak terlalu menarik perhatian masyarakat. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian ini menggunakan pendekatan antropologi agama. Adapun teori yang digunakan yaitu teori Ralph Linton berupa nilai-nilai tradisi yang telah berakulturasi dan bersentuhan secara langsung. Pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan antropologis, yaitu pendekatan yang digunakan untuk melihat wujud keagamaan dan kebudayaan dalam masyarakat. Pendekatan ini dipakai untuk mengamati dan menelusuri proses. Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data yaitu observasi yakni dengan pengamatan secara langsung, interview yakni mengumpulkan informasi dengan mengajukan pertanyaan, dan dokumentasi yakni dengan menghimpun dokumen pendukung. Dilakukan dengan penelitian lapangan yang bersifat deskriptif analisis, yakni dengan melihat Akulturasi dalam pertunjukan wayang . Teknik analisis data ini dilakukan melalui tahap reduksi data, penyajian terjadi dan terbentuknya suatu sejarah yang melingkupi masyarakat tersebut.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa, tujuan yang dimiliki balai budaya adalah untuk melestarikan agar wayang kulit tidak punah dan sampai generasi berikutnya bisa menikmati kesenian ini. proses pembelajaran yang dilakukan di Balai Budaya Minomartani ini lebih fleksibel, tidak berdasarkan pada kurikulum tertentu. Balai budaya minomartani lebih menekankan materi tentang pedalangan dan gamelan. Seperti yang sudah dijelaskan bahwa Balai Budaya Minomartani mempelajari tentang pengenalan. faktor pendukung yang pertama yaitu adanya dukungan dari sesepuh dusun yang ikut andil dalam membimbing dan melatih anggota dalam persiapan pertunjukan kesenian wayang. Kedua, yaitu rasa suka dan rasa memiliki yang tertanam dalam masing-masing anggota terhadap kesenian wayang juga merupakan faktor pendukung sehingga kesenian itu bisa dilestarikan sebagai acara rutinan. Ketiga, yaitu adanya dukungan dari pemuda dusun Minomartani. Antusias dalam membantu dilestariakannya kesenian Minomartani yang diberikan pemuda dusun Minomartani membuat para anggota semakin percaya diri untuk maju. Adapun faktor penghambat dalam pelestarian wayang adalah kurangnya respon dari pemerintah kabupaten dalam melestarikan budaya wayang kulit yang ada di disa MinomartaniNIM.: 19105020040 Rahul Damar Nalurindera2023-08-16T07:36:24Z2023-08-16T07:36:24Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/60071This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/600712023-08-16T07:36:24ZAKULTURASI BUDAYA DAN RELASI KUASA DALAM SITUS NISAN ISLAM DI ULAK LEBAR LUBUKLINGGAU ABAD XVII MIslamic tombs of Ulak Lebar are the results of cultural acculturation between megalithic tradition heritage and the influence of Islam arriving in Lubuklinggau early 17th century AD. By the arrival of Islam, the people of Lubuklinggau had practiced megalithic tradition heritage of erecting menhirs along with funeral rituals. The acculturation made Palembang Sultanate entangled with power relations through the policies prepared by the ruler of Palembang. The shifting from menhirs function to tombs is an interesting finding of Lubuklinggau people’s culture considering only a few number of studies on it had been carried out. Three main points were discussed in this study, namely the process of Islamization occurring in Lubuklinggau in 17th century AD, the acculturation patterns of megalithic tradition heritage and Islam, and the roles of Palembang Sultanate in the process of Islamic tomb tradition acculturation in Ulak Lebar. Employing anthropological and political approach, this historical research aimed to describe historical and cultural processes occurring in Ulak Lebar Lubuklinggau. The efforts were carried out using historical method with the procedure began from heuristic, source criticism, interpretation of historical facts, and historiography. The study utilized acculturation theory paradigm of John W. Bery and power relations of Michel Foucault. Bery said that cultural integration leading to acculturation process could occur if a cultural group had an interest in preserving its cultural heritage when interacting with another culture, and the predominant group allowed the preservation of culture to continue. Whereas Foucault said that sovereignty was not an institution or a structure. Neither was it a mechanism of domination as a form of power intervention over the others. Sovereignty was a complex process operating through knowledge that normalizes and disciplines the body of the subject. In this dissertation, the writer discovered the facts that the process of 17th century AD Lubuklinggau Islamization started with the enactment of simbur cahaya law in which customary law was applied in combination with Islam teachings and followed by the arrival of Palemabng Sultanate messengers at Lubuklinggau. Upon the arrival of Palembang Sultanate messenger who brought Islam, the people of Ulak Lebar Lubuklinggau warmly welcomed Islam so that integration leading to acculturation of culture occurred. The process could not be separated from the role of Palembang Sultanate with his peaceful Islam dissemination mission normalizing the relations between Ulak Lebar people with the Palembang ruler.NIM.: 18300016008 Yadri Irwansyah2023-07-12T03:22:48Z2023-07-12T03:22:48Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/59819This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/598192023-07-12T03:22:48ZINTERAKSI AGAMA DAN TRADISI LOKAL (Studi Akulturasi dan Apropriasi dalam Bangunan Rumah Ibadah Masjid Agung Rantepao dan Gereja St. Theresia Rantepao di Toraja)The interaction between culture and religion in Toraja brings about social changes in various aspects of life. The cultured Toraja people get a new content of spirituality, while religion gets a new means to introduce the wealth of their faith. As a result of this interaction, the Toraja people are often confronted with clashes between traditions and religious teachings. Issues of culture and religious beliefs are one of the social problems encountered in today’s Toraja society. The pros and cons of using cultural symbols in the implementation of religious ceremonies are always a source of debate. This research examines the forms of religious and cultural interaction expressed in houses of worship in Toraja, namely the Great Mosque of Rantepao and the Church of St. Theresia of Rantepao, as the object of research. The three things that are the main studies are how the acculturation and appropriation of Islam and Catholicism in Toraja is in the house of worship at the Great Mosque and the Church of St. Theresia of Rantepao, what are the differences in the acculturation and appropriation of Islam and Catholicism in the Great Mosque of Rantepao and the Church of St. Theresia of Rantepao, and what are the cultural challenges and opportunities for Islam and Catholicism in Toraja. This research is qualitative research with a descriptive-analytic approach. The author approaches the object of anthropological research by using acculturation theories which view that there is always a mutual influence and adjustment between two cultures that meet. Research data was obtained from participatory observation, interviews, and documentation. This research is intended to find patterns of interaction between religion and culture. The process of interaction of religion and culture of Toraja has succeeded in forming a distinctive religious community in Toraja society, which practice religious teachings well but also uphold the cultural values that exist in society. The Great Mosque of Rantepao and the Church of St. Theresia of Rantepao are a form of acculturation of religious teachings regarding houses of worship and architecture of the Toraja people. The architecture of the Great Mosque of Rantepao and the Church of St. Theresia of Rantepao not only displays and takes into account the serenity and solemnity of the congregation when performing worship but also displays friendliness to the environment that upholds Toraja culture. The mosque and church buildings accommodate various symbols of the Toraja people. This study found that the acculturation process of Islam in the Great Mosque of Rantepao had reached the stage of accommodation and adaptation, while the acculturation process in the Church of St. Theresia of Rantepao came to the integration process. In addition, it was also found that the appropriation of the Great Mosque of Rantepao lies in the use of the longa (the roof of the building) and tongkonan (the traditional ancestral house) decorations, while the appropriation of the Church of St. Theresia of Rantepao can be seen in the use of alang (reed) as tabernacles which are decorated with reed ornaments.NIM.: 1630016019 Anthonius Michael2023-07-12T02:39:53Z2023-07-12T02:39:53Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/59809This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/598092023-07-12T02:39:53ZMAKNA SIMBOL RELIGIUS PADA BATIK MOTIF TAMBAL KARYA ABDUL SYUKURBatik merupakan salah satu karya seni rupa yang didalamnya terkandung
unsur keindahan serta memiliki makna dari setiap motifnya, khususnya pada batik
tradisional. Pada motif batik tradisonal, setiap motifnya memiliki makna yang
terkandung didalamnya. Seiring dengan perkembangan zaman, batik semakin
kehilangan esensi yang terkandung didalam motifnya. Hal ini menyebabkan
terciptanya perspektif dari seni batik dimana batik hanya dipahami dari segi
fashion saja. Berangkat dari permasalahan tersebut, melalui skripsi dengan judul
Makna Simbol Religius Pada Batik Motif Tambal Karya Abdul Syukur ini,
penulis menguraikan makna dari simbol-simbol yang dihadirkan dalam seni batik
motif Tambal yang diproduksi oleh Abdul Syukur melalui studionya yaitu Taman
Lumbini Batik. Motif Tambal merupakan salah satu motif tradisional yang
kemudian dikembangkan oleh Abdul Syukur. Pemikiran Abdul Syukur dalam
berproses kreatif lebih menekankan esensi dari setiap karyanya. Setiap karyanya
mengandung unsur nilai-nilai yang bermuara pada nilai religiusitas.
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan yang dilakukan di Taman
Lumbini Batik yang berlokasi di Bantul dengan dengan mengumpulkan data
menggunakan teknik wawancara, observasi, dan dokumentasi yang kemudian
dianalisis menggunakan teknik analisis data deskriptif kualitatif. Hasil observasi
penelitian ini dianalisis menggunakan teori Susanne K Langer mengenai simbol
diskursif dan simbol presentasional guna memahami pemaknaan simbol pada
batik motif Tambal.
Hasil akhir pada penelitian ini menunjukkan bahwa : pertama, ragam
motif batik Tambal karya Abdul Syukur adalah Tambal Jejeg Ageng, Tambal
Jejeg Alit, Tambal Jejeg Ratu, Tambal Nitil Wajik, dan Tambal Kanoman. Kedua,
makna simbol religius dari batik motif Tambal karya Abdul Syukur perspektif
Susanne K Langer, menghasilkan dua jenis simbol yaitu diskursif dan
presentasional. Simbol diskursif merupakan bentuk yang digunakan secara literal,
dimana didalamnya terkandung berbagai unit bermakna berdasarkan konvensi.
Dalam hal ini, masing-masing motif batik tambal karya Abdul Syukur terkandung
berbagai unit motif yang memiliki makna. Setiap nama motif batik memiliki
makna yang berbeda-beda. Sedangkan simbol presentasional tidak terdiri dari
berbagai unit yang memiliki arti tetap yang digabung berdasarkan aturan tertentu.
Simbol presentasional juga tidak dapat diuraikan menjadi unit-unit yang dapat
berdiri sendiri, akan tetapi merupakan bentuk yang tunggal. Makna dari simbol ini
terdapat pada bentuk keseluruhannya. Batik motif tambal harus dipandang sebagai
suatu simbol yang penuh dan utuh serta dalam bentuk keseluruhan, meskipun
unsur-unsur pembentuk motif tambal yaitu berbagai motif tradisonal itu sendiri
terdiri dari berbagai simbol yang sifatnya lebih khusus.NIM.: 19105020008 Ambar Fani2023-06-22T04:05:10Z2023-06-22T04:05:10Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/59210This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/592102023-06-22T04:05:10ZKEDUDUKAN PEREMPUAN PASCA BERCERAI DALAM BUDAYA GAYOAngka perceraian di Kabupaten Bener Meriah dan di Aceh Tengah pada tahun 2021 meningkat pesat. Akibatnya, sebanyak 308 orang wanita menjadi janda di Kabupaten Bener Meriah dan di Aceh Tengah sebanyak 466 orang. Jika secara umum sosok janda memiliki stigma negatif, namun tidak demikian di masyarakat Gayo. Hal ini terbentuk karena adanya aturan adat yang mengatur perilaku masyarakat dalam merespon kasus perceraian yang terjadi di lingkungannya. Oleh karenanya, peneliti ingin mengetahui lebih jauh tentang bagaimana budaya Gayo memandang pernikahan dan perceraian, bagaimana kedudukan janda dalam budaya Gayo dan alasan para janda di sana tidak berstigma.
Penelitian deskriptif kualitatif ini menggunakan pendekatan konstruksi sosial Peter L. Berger untuk mendeskripsikan konstruksi sosial masyarakat Gayo Lut mengenai respon masyarakat terhadap perceraian dan kedudukan janda di dalam masyarakat. Pengumpulan datanya menggunakan teknik wawancara, observasi, serta dokumentasi. Sebanyak 12 orang Informan yang terlibat dalam penelitian ini yang terdiri dari dua orang masyarakat umum, sepasang suami istri yang telah bercerai, empat orang dari Majelis Adat Gayo, seorang Reje, seorang Imem, dan dua orang Panitera dari Mahkamah Syar’iyah. Pengolahan dan analisis data diawali dengan menggolongkan sejumlah data yang sesuai dengan kebutuhan, kemudian disajikan ke dalam bagian-bagian yang dapat menjawab pertanyaan penelitian. Setelah itu ditariklah kesimpulan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa; 1) budaya Gayo menerapkan dua jenis perkawinan, yaitu kawin ango atau juelen dan kawin angkap. Adapun istilah lainnya yaitu kawin kuso kini yaitu pilihan bagi pasangan suami-istri untuk menetap dan hidup di lingkungan keluarga suami ataupun istri. Selain itu, masyarakat Gayo mengenal dua jenis perceraian (cere), yaitu cere kasih dan cere banci. 2) Adapun kedudukan janda (banan balu) dalam budaya Gayo ini memiliki status, peran, fungsi, hak, kewajiban dan dampak yang berbeda-beda tergantung pada jenis perkawinan yang dahulu dipilih. Dimana hal tersebut memiliki konsekuensi tersendiri. 3) Perempuan pasca bercerai tidak berstigma dikarenakan telah tertanamnya substansi dari sumang dan resam dalam perilaku masyarakat. Selain itu, adanya persamaan dalam perlakuan antara laki-laki dengan perempuan sesuai dengan jenis perkawinan. Aturan adat ini telah dijalani masyarakat Gayo tanpa menyalahi syari’at Islam yang berlaku di Aceh. Dengan kata lain, budaya Gayo memberlakukan prinsip kesetaraan gender.NIM.: 20200011052 Sutya Dewi2023-06-21T06:35:51Z2023-06-21T06:35:51Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/59201This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/592012023-06-21T06:35:51ZKONSTRUKSI DISABILITAS DALAM PERSPEKTIF BUDAYA MASYARAKAT SASAKAkhir-akhir ini fenomena disabilitas telah menjadi isu yang menarik. Pada studi budaya lokal, fenomena disabilitas sering dianggap penting karena dinilai dapat mengekspresikan sebuah kekhasan lokal dari keragaman perspektif tentang penyandang disabilitas yang dikonstruksikan dalam budaya masyarakat. Literatur mengenai studi disabilitas dalam masyarakat Sasak masih sangat kurang, sehingga perlu dikaji lebih mendalam. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan konstruksi disabilitas yang ada dalam perspektif budaya masyarakat Sasak. Penelitian ini merupakan studi lapangan (field research) dengan jenis deskriptif-kualitatif. Subjek penelitian dipilih melalui teknik purposive sampling. Teori antropologi disabilitas yang melibatkan masyarakat berfokus terhadap antropologi budaya dan medis digunakan sebagai theoretical framework, sehingga adanya proses mengulik sebab akibat terjadinya disabilitas dalam masyarakat menjadi sebuah dampak negatif dan positif dalam masyarakat. Masyarakat Sasak yang dimaksud dalam penelitian ini dibatasi masyarakat daerah kota Mataram dan Lombok Barat. Hasil penelitian ini menunjukkan, pertama secara terminologi disabilitas dalam bahasa daerah memiliki ciri khas tersendiri yang mendominasi perspektif negatif yang mempengaruhi terhadap sikap dan pola pikir masyarakat dalam berinteraksi. Kedua, faktor penyebab disabilitas pada masyarakat kebanyakan mendominasi pendekatan tradisional, memiliki keyakinan terhadap mitos-mitos yang diyakini dapat menyebabkan terjadinya disabilitas pada diri seseorang. Ketiga, implikasi dari konstruksi masyarakat Sasak terhadap penyandang disabilitas, yaitu adanya pergeseran dari segi istilah penyebutan penyandang disabilitas. Penerimaan masyarakat Sasak dipengaruhi dari peran sosialisasi pemerintah dan NGO lokal dalam memberikan akomodasi dan aksesibilitas.NIM.: 19200012039 Luk Luk Yata Lalak Muslimin2023-04-05T04:36:39Z2023-04-05T04:36:39Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/57760This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/577602023-04-05T04:36:39ZGlobalisasi Gaya Hidup, Imajinasi Kebangsaan, dan Komodifikasi Agama: Studi atas Komunitas Hijrah di Yogyakarta dan Jember Jawa TimurKeberagamaan komunitas hijrah generasi milenal merupakan menifestasi dari berubahnya keberagamaan, bukan karena mengalami kontekstualisasi, tetapi adanya budaya dan nilai-nilai baru yang mempengaruhi pemahaman mereka terhadap agama. Globalisasi telah memicu terjadinya semangat untuk melakukan redefinisi dan diferensiasi cara beragama. Dinamika keagamaan komunitas hijrah tersebut untuk “mencari kepastian moral, pengayaan spiritual, dan identitas yang saleh”, setelah mengalami goncangan kemantapan identitas keagamaan karena banjir bandang globalisasi. Oleh karena itu, komunitas hijrah di kalangan masyarakat maupun artis patut mendapat pendampinganAhmad SALEHUDIN2023-03-03T06:51:15Z2023-03-03T06:51:15Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/56876This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/568762023-03-03T06:51:15ZNOSTRA AETATE DAN SPIRIT RESIPROSITAS ANTARUMAT BERAGAMA DI KOTA LARANTUKAViewing from sociological aspects, this dissertation traced
everyday life interaction of Larantuka inhabitants whose traditions
and religions are different. The research aimed to perceive the
Catholic’s acceptance of Islam and Protestant followers, to uncover
the Nostra Aetate inspiration for interfaith relations of Catholic,
Islam and Protestant, and to study interfaith reciprocity of Catholic,
Islam and Protestant in Larantuka. The objects of study in this
dissertation were the attitude, behavior and religious-appreciation.
Primary data comprised field-observation results and structured
interviews with informants (i.e. religious figures, government
representatives, women, the young) of various religions. Informants
were determined under particular consideration, i.e. inter-religiondialogue
activist and observer were among others, by purposive
sampling technique. Secondary data, on the other hand, constituted
theme-research-related references.
The researcher studied documents and carried out interviews
with Catholic, Islam and Protestant who live in Larantuka.
Qualitative interpretative method was employed to analyze the data.
The whole data were classified, compared and interpreted. Dialogue
and reciprocity theory was used to analyze interfaith relations of
Catholic, Islam and Protestant. Field observation result showed the
spirit to respect each other and the acknowledgement of the
importance and of the great value of one another.
The study drew three conclusions. First, the people of
Larantuka have basically been opened to accept and welcome
religions beside Catholic. Other people and other religions were
given freedom to practice their belief in Larantuka. Second, though
far from perfection, Nostra Aetate has inspired interfaith
togetherness of Catholic, Islam and Protestant. The Catholic’s rivalry
spirit has turned into a dialogue spirit. Third, the spirit of interfaith
reciprocity of Catholic, Islam and Protestant was implemented in the
form of collaboration, assistance, respect and acknowledgement of
others’ dignity and identity in accordance with the individual’s religion and tradition background. The custom and tradition in
Laranruka, namely the spirit of “Tulun Talin” (to support those in
need or to help each other), proved to encourage the people to accept
and appreciate Nostra Aetate values from which the foundation of
civilization and common-good was built.NIM.: 17300016006 Dominikus Doni Ola2023-03-01T07:24:59Z2023-03-01T07:24:59Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/56775This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/567752023-03-01T07:24:59ZETNOBOTANI TANAMAN KULTURAL BAHAN UPACARA ADAT MASYARAKAT KARANGWUNI KULON PROGO SEBAGAI UPAYA KONSERVASIEtnobotani adalah ilmu yang mempelajari tentang hubungan antara manusia dengan tumbuhan dalam kegiatan pemanfaatannya secra tradisional. Karangwuni merupakan salah satu Desa di Kabupaten Kulon progo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang terdiri dari 6 Dusun,yang masyarakatnya masih memegang erat adat istiadat Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mempelajari konsep pengetahuan masyarakat tentang pentingnya keberadaan spesies yang digunakan sebagai bahan upacara adat dan upaya konservasi spesies, dengan melihat jenis spesies yang digunakan, bagian tanaman yang dimanfaatkan , kegunaan tanaman dan upaya yang dilakukan masyarakat untuk konservasi. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang menggunakan deksriptif dan teknik observasi grounded theory dengan pemilihan informan menggunakan teknik purposive sampling. Pengumpulan data didapatkan dengan cara wawancara yang menggunakan 25 responden. Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa didapatkan 50 spesies tanaman yang tergolong dalam 31 famili. Bagian tanaman yang digunakan antaralain buah sebanyak 28%, daun (27%), bagian bunga (19%) , bagian biji (9%), rimpang (4%), umbi (4%), batang (3%), tunas (2%), tempurung(2%) dan ranting (2%). Jenis upacara adat yang memanfaatkan tanaman di Desa Karangwuni terdapat 3 upacara adat, yaitu upacara adat kelahiran, pernikahan dan kematian. Bentuk upaya konservasi tumbuhan penunjang ritual/upacara yang dilakukan oleh masyarakat di antaranya yaitu penanaman tanaman di pekarngan rumah.NIM.:18106040002 Dila Astikasari2023-02-24T06:09:50Z2023-02-24T06:09:50Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/56510This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/565102023-02-24T06:09:50ZPERUBAHAN SAKRAL KE PROFAN PADA TRADISI REBO WEKASAN DI DESA SUCI MANYAR GRESIKRebo wekasan atau Arba Mustakmir adalah Rabu terakhir di bulan safar, yang dikenal sebagai hari sial dan penuh musibah. Karena pada Rabu terakhir Bulan Safar, Allah menurunkan 320.000 macam bala’ satu malam, maka pada hari itu masyarakat Suci biasanya memperbanyak sholat hajat atau sholat sunnah mutlak, memanjatkan Do’a kepada Allah dan Tasyakuran agar terhindar dari bala’ atau musibah. Dalam perkembangannyan Tradisi Rebo Wekasan mengalami perubahan dari sakral ke profan, perubahannya terjadi mengikuti perkembangan zaman yang semakin modern. Maka dengan ini terdapat dua fokus yang dikaji dalam skripsi ini, yaitu pertama, apa yang mendasari perubahan Tradisi Rebo Wekasan di Desa Suci Manyar Gresik. Kedua, Bagaimana peran penting dari perubahan Rebo Wekasan bagi kehidupan sosial masyarakat di Desa Suci Manyar Gresik.
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan, dengan menggunakan teori Mircea Eliade. Eliade mengemukakan tentang sakral dan profan, sakral adalah wilayah yang supernatural, sesuatu yang ekstraordinasi, tidak mudah dilupakan dan sangat penting. Karena yang sakral adalah tempat dimana segala keteraturan dan kesempurnaan berada, tempat berdiamnya roh para leluhur, dan dewa dewi. Sedangkan yang profan merupakan bidang kehidupan sehari-hari, yaitu hal-hal yang dilakukan secara teratur, acak, dan tidak terlalu penting, yang profan itu mudah hilang dan terlupakan, dan bersifat biasa-biasa saja.
Dari hasil penelitian yang dilakukan peneliti di Desa Suci Manyar Gresik, yang mendasari perubahan tradisi tersebut karena banyaknya pengunjung yang datang setiap tahunnya, untuk mengambil air dan mengikuti kegiatan yang ada dalam Tradisi Rebo Wekasan, seperti ritual dan hiburan pasar malam. Momen tersebut dimanfaatkan untuk meningkatkan perekonomian Desa, karena semakin banyak pedagang yang berjualan di Acara Tradisi Rebo Wekasan, semakin banyak juga pendapatan pemerintah Desa Suci. Tradisi Rebo Wekasan juga sebagai media silaturahmi untuk sanak keluarga masyarakat Desa Suci.NIM.: 17105020033 Muhammad Muwaffiq Sururi2023-02-20T01:46:35Z2023-02-20T01:46:35Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/56400This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/564002023-02-20T01:46:35ZMAHAR EMAS DALAM PERKAWINAN ADAT MASYARAKAT ACEH (STUDI KASUS PADA MASYARAKAT KABUPATEN PIDIE)The dowry in traditional Acehnese marriages is also known as jeunamee or jeulamee in the form of gold, people know it as mayam. per one mayam range from 3 or 3.3 grams of gold depending on the area where the gold is traded. Departing from these differences, the process of determining the amount of dowry in marriage also has differences in each region, a lot of factors are considered by the family before mentioning the size of the dowry that must be prepared by the prospective groom. Apart from family considerations, adat also has a role in the marriage, starting from the selection of a prospective wife to family gatherings at the time of the marriage contract. Departing from these two factors, the author is interested in further research related to the reason gold is used as a dowry in traditional Acehnese marriages, and how the dowry negotiation process is carried out by the family in marriage
This research is a case study or field research, using qualitative research methods using the community as the primary data source. Interviews and author observations were used to collect the necessary data. The theory used in the research is 'urf as a theoretical framework in conveying the problems found in the field. As for the approach used to describe the findings, the author uses a sociological empirical approach.
The author's findings during the study were that gold was the dowry used in traditional Acehnese marriages. The use of gold as a dowry is a custom that has been passed down from generation to generation even though the amount given is only one mayam. Among the factors that cause the use of gold as a dowry is because the people of Aceh are familiar with gold in their lives, gold is also one of the valuable items that can and can be owned by all groups of people, because the selling price of buying gold is relatively stable. During the process of determining the dowry, lineage and education are two factors that the family considers in determining the amount of dowry for their child. Pure gold or 23-carat gold is the choice of the people of Aceh which is used as a dowry. There are pros and cons related to the dowry negotiation process, the pro groups think that negotiations are carried out so that neither party is burdened, although the polite figurative language is used during negotiations. As for the contra group, they think that negotiations can reduce women's status because women are not things that can be negotiated with them. Adat has an equally important role in the implementation of marriage because basically the prevailing custom in society is Islamic law which has been made customary by its predecessors.NIM.: 19203010030 Muhammad Ikhsan, S.H.2023-02-16T01:50:12Z2023-02-16T01:50:12Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/56304This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/563042023-02-16T01:50:12ZPERNIKAHAN NGALOR-NGULON MENURUT TOKOH ADAT DAN TOKOH AGAMA DI DESA LESES KECAMATAN MANISRENGGO KABUPATEN KLATENIslam is a religion of Rahmatan Lil'alamin grace that has a universal and dynamic nature, meaning that it can go hand in hand with the times. Likewise, Indonesia is the largest Muslim country with a diversity of customs and diverse traditions. In Java itself, there are several taboos in the marriage that are obeyed. As happened in Leses village, Klaten Regency, Central Java, in the village there are marriage taboos in the direction of ngalor-ngulon (northwest) from the direction of the prospective bride's house to the prospective bride's house. Meanwhile, in Islam itself, there is no mention of any restrictions on marriage as happened in the village of Lees. Based on these legal differences, the compiler wants to discuss the ban on ngalor-ngulon marriage in Leses Village, Klaten Regency, Central Java according to the views of traditional leaders and local game figures.
This research is included in field research with the Usul Fiqh approach technique. In this study, the compiler used a descriptive-analytical approach, namely by providing an overview of the marriage of ngalor-ngulon which was then analyzed from the problem based on data from variables obtained from the subjects studied. In analyzing the problem, here the compiler uses the sadd Adz-Azariah theory. The primary data sources were obtained by interviewing local traditional figures and documentation obtained from the Quran and Hadith while secondary data from works related to research themes.
The conclusion obtained from the compiler in this study is that the ngalor ngulon wedding is a marriage whose the prospective bride's house is located in the northwest of the future bridegroom's house, There is no difference with marriage in general other than just the factor of the direction of the house of the bride and groom. The next one, namely traditional leaders in Leses Village, prohibits the existence of ngalor ngulon because it is believed that unwanted things will happen. It is then passed on to the child with a slight affix not to go against the words of the parents so as not to be confused. According to religious leaders, they said that the ngalor ngulon wedding was okay to perform because it is not mentioned in the Quran, Hadith, or the Fiqh books that discuss marriage.NIM.: 16360003 Alim Nuriyanto2023-02-09T02:33:49Z2023-02-09T02:33:49Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/56011This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/560112023-02-09T02:33:49ZKONSTRUKSI DISABILITAS DALAM PERSPEKTIF BUDAYA MASYARAKAT SASAKAkhir-akhir ini fenomena disabilitas telah menjadi isu yang menarik. Pada studi budaya lokal, fenomena disabilitas sering dianggap penting karena dinilai dapat mengekspresikan sebuah kekhasan lokal dari keragaman perspektif tentang penyandang disabilitas yang dikonstruksikan dalam budaya masyarakat. Literatur mengenai studi disabilitas dalam masyarakat Sasak masih sangat kurang, sehingga perlu dikaji lebih mendalam. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan konstruksi disabilitas yang ada dalam perspektif budaya masyarakat Sasak. Penelitian ini merupakan studi lapangan (field research) dengan jenis deskriptif-kualitatif. Subjek penelitian dipilih melalui teknik purposive sampling. Teori antropologi disabilitas yang melibatkan masyarakat berfokus terhadap antropologi budaya dan medis digunakan sebagai theoretical framework, sehingga adanya proses mengulik sebab akibat terjadinya disabilitas dalam masyarakat menjadi sebuah dampak negatif dan positif dalam masyarakat. Masyarakat Sasak yang dimaksud dalam penelitian ini dibatasi masyarakat daerah kota Mataram dan Lombok Barat. Hasil penelitian ini menunjukkan, pertama secara terminologi disabilitas dalam bahasa daerah memiliki ciri khas tersendiri yang mendominasi perspektif negatif yang mempengaruhi terhadap sikap dan pola pikir masyarakat dalam berinteraksi. Kedua, faktor penyebab disabilitas pada masyarakat kebanyakan mendominasi pendekatan tradisional, memiliki keyakinan terhadap mitos-mitos yang diyakini dapat menyebabkan terjadinya disabilitas pada diri seseorang. Ketiga, implikasi dari konstruksi masyarakat Sasak terhadap penyandang disabilitas, yaitu adanya pergeseran dari segi istilah penyebutan penyandang disabilitas. Penerimaan masyarakat Sasak dipengaruhi dari peran sosialisasi pemerintah dan NGO lokal dalam memberikan akomodasi dan aksesibilitas.NIM.: 19200012039 Luk Luk Yata Lalak Muslimin2023-01-30T07:53:05Z2023-01-30T07:53:05Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/55730This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/557302023-01-30T07:53:05ZCakrawala Penafsiran Ilmu Ilmu Budaya: penghormatan purna tugas Dr. Hj. Siti Maryam, M.Ag.Buku Bunga Rampai yang berjudul Cakrawala Penafsiran
Ilmu-ilmu Budaya yang berada di tangan pembaca ini adalah sebuah
wujud persembahan dari Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta untuk Ibu Dr. Hj. Siti Maryam, M. Ag. yang
akan memasuki masa purna tugas pada bulan Januari 2023. Buku
Bunga Rampai yang ke-9 ini diterbitkan sebagai penghormatan atas
segala jasa, kontribusi, pengabdian, dan dedikasi yang telah beliau
berikan untuk kemajuan FADIB (khususnya) dan untuk UIN Sunan
Kalijaga (umumnya). Tulisan-tulisan yang tersaji dalam Buku Bunga Rampai ini
terbagi dalam dua bagian. Pertama, tulisan ilmiah dalam ranah ilmuilmu
budaya, yang penulisnya berasal dari dalam FADIB dan beberapa
berasal dari luar FADIB. Ada dua tulisan yang bersifat semi ilmiah,
yaitu tulisan yang bercorak impresif untuk memberikan komentar
atau sambutan atas karya yang ditulis oleh ibu Dr. Hj. Siti Maryam,
M.Ag. Tulisan ilmiah diklasifikasi dalam empat pembagian kajian,
yaitu: 1) kajian sejarah; 2) kajian keal-Qur’anan, bahasa, dan terjemah;
3) kajian sastra; dan 4) kajian perpustakaan. Kedua, tulisan testimoni
dari dosen, kolega, sahabat dan mahasiswa yang berasal dari FADIB
dan luar FADIB yang berisi tentang kesan, pesan, dan puisi.- Yulia Nasrul Latifi, dkk. [editor]- Maharsi, dkk.2022-11-14T06:58:52Z2022-11-14T06:58:52Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/55051This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/550512022-11-14T06:58:52ZMAKNA SIMBOL RITUAL CUPU PANJALA (STUDI TERHADAP MAKNA SIMBOL RITUAL CUPU PANJALA DI GIRISEKAR, PANGGANG, KABUPATEN GUNUNGKIDUL, TAHUN 2011)Penyebaran Islam di Jawa sangatlah kompleks dan bervariasi, dimana budaya Islam dapat menyatu dengan budaya Jawa yang sangat kental akan nilai-nilai tradisinya. Kedudukan diantara dua budaya itulah, yang kemudian dapat melahirkan suatu pola baru, dan bahkan menjukkkan Islam yang cenderung kejawaan, atau yang sering disebut Islam Jawa. Dalam kehidupan keberagamaan, kolaborasi antara Islam dengan budaya Jawa tampak melahirkan suatu kepercayaan-kepercayaan serta berbagai macam upacara-upacara ritual tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa, budaya Jawa banyak sekali ditemukan berbagai macam ritual yang dilakukan sebagai bentuk rasa syukur manusia dalam wilayah pengalaman beragama, yang termanifestasikan kedalam sebuah tindakan ritus. Ritual merupakan salah satu bagian dari kebudayaan yang ada pada masyarakat dalam wilayah tertentu. Dalam suatu tindakan ritual tidak terlepas dari berbagai macam bentuk simbol yang mengandung makna-makna tertentu. Dalam proses pelaksanaan tradisi ritual Cupu Panjala tidak mengalami perubahan, akan tetapi bagaimana tujuan dari masyarakat dalam mengikuti tradisi tersebut telah berubah. Hal ini, tampak pada menurunnya tingkat pemahaman masyarakat terhadap sejarah tradisi adat ritual tersebut, serta nilai-nilai ajaran agama yang terkandung dalam simbol-simbol yang terdapat dalam ritual Cupu Panjala.
Untuk memperoleh data yang obyektif dari pokok permasalahan, dalam hal ini jenis data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah primer dan sekunder. Mengenai teknik pengumpulan data, penulis menggunakan observasi, interview dan dokumentasi. Dalam teknis observasi telah penulis lakukan pada pada tahun 2011, penulis mengamati proses jalannya ritual tersebut. Kemudian setelah data terkumpul, maka tahap selanjutnya penulis mengggunakan analisis deskriptif kualitatif, yaitu mengelompokkan data dalam bagian-bagian tertentu, menelaah dan kemudian dijelaskan dengan kata-kata untuk memperoleh kesimpulan.
Dari hasil penelitian penulis memperoleh kesimpulan bahwa, dalam tradisi Jawa yang berupa bentuk ritual Cupu Panjala di Girisekar, Panggang, Kabupaten Gunungkidul, terdapat pesan yang tersirat dalam rangkaian simbol ritual. Sejarah dari bentuk tradisi adat ritual Cupu Panjala yang berawal dari peran tokoh masyarakat Girisekar dalam memperoleh benda yang disebut Cupu, dalam sejarahnya merupakan sebuah hasil dari pengalaman beragama. Dari bentuk ritual tersebut, beberapa simbol seperti Do’a, Slametan, Cupu, Kain kafan, Tempat Cupu, tampak mengandung makna nilai-nilai ajaran agama sebagai bagian dari keyakinan dan kepercayaan umat Islam.NIM.: 08520028 Ahmad Masnait2022-09-30T02:43:35Z2022-09-30T02:43:35Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/53670This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/536702022-09-30T02:43:35ZPOLA ASUH OTORITER SEMU: PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM, PENDIDIKAN ANAK USIA DINI, DAN BUDAYA JAWA PADA SEMBILAN ORANG TUA MUSLIM JAWA DI YOGYAKARTAIn spite of positive impact in it, authoritarian nursery is
essential to be studied because of its negative effect to children.
The early childhood nursery authoritarianism practice
discovered during the field pre-observation underlay this
research. Nine Javanese Muslim parents were interviewed
during the pre-observation. Authoritarianism occurred when
they teach their children reading, writing, and religious
practice; ask them to do their homework; and teach them to
behave. Parents occasionally lie or frighten their children to
make them do what to do. Looking at the perspective of Islamic
education, early childhood education, and the Javanese
custom, this study aims to uncover what lies behind the
authoritarianism and how it begins.
Life history approach exploring individual experience
and knowledge was employed in this qualitative research. Five
theories (i.e. Baumrind nursery pattern, Piaget cognitive,
theory of ecology Urie Brofenbrenner, Islamic children
education of Al-Ghazali, and serat paliatma on Javanese
custom children nursery) were used to analyze. According to
these five theories, the tendency for authoritarian nursery lies
on the experience received earlier, environment, religion
education being instilled and custom.
The results proved that the nine Javanese Muslim
parents became authoritarian because of parents’ earlier
nursery experience; parents’ expectation for having successful
and religious children; the schools’ demand for their students’
literacy; parents’ envy; mothers’ psychological pressure
vented on yelling and labeling; and parents’ physical and
mental tiredness. From the perspective of Islamic education,
early childhood education and the Javanese custom, the
emergence of authoritarianism is that there has a change on the
understanding of nursery itself. The changes, in Islamic
education and early childhood education perspectives, are
triggered by earlier experience received, good deed
expectation, schools’ and society’s demand, not knowing the
appropriate nursery method, and physical and mental tiredness of parents. From Javanese custom perspective, the changes are
due to parents’ previous nursery experience, previous
community’s way of raising children, parents’ physical and
mental tiredness, and parents’ low education background.
According to Baumrind, the nine Javanese Muslim parents are
not purely authoritarian, but they combine it with different
method which makes it pseudo authoritarianism.NIM.: 17300016077 Dwi Hastuti2022-09-30T01:57:42Z2022-09-30T01:57:42Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/53653This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/536532022-09-30T01:57:42ZKATOLIK, ISLAM, DAN SINAN (ADAT KONVERSI AGAMA SUKU DAYAK MENTUKA, SEKADAU, KALIMANTAN BARAT)The Mentuka Dayak tribe has a distinctive custom of Religious
Conversion that is unlikely to be found in other Dayak tribes in West
Kalimantan. Generally, religious conversion is done religiously
instead of customary. This dissertation discusses Pinah Laman as the
custom of religious conversion from Catholicism to Islam among the
Mentuka Dayak tribe. The people who have conducted Pinah Laman
is known as Sinan. On this basis, this dissertation aims to address the
following research problems: (1) What is the dynamics of the
religious life of the Mentuka Dayak tribe? (2) Why is Pinah Laman
maintained? (3) How does Pinah Laman respond to ethnic identity?
This is an ethnographic research, in which the researcher
conducted participatory observations and in-depth interview with
some traditional administrators and the Sinan people. Researchers
used Focus Group Discussion (FGD) to validate data from the field.
The data were subsequently analyzed using an interpretive
descriptive analysis with triangulation based on ethnographic
research themes and topics.
This dissertation revealed the followings: (1) The dynamics of
religious life of the Mentuka Dayak tribe are represented in the
inculturation between the beliefs of the Mentuka Dayak tribe, Data
Patara, and Catholicism, which makes Catholicism synonymous
with the Mentuka Dayak tribe. The Mentuka Dayak tribe cannot
accept Islam as a religious tribe because they cannot carry out the
ancestral customs of the Mentuka Dayak tribe, especially in terms of
traditional food and drinks. They do not reject Islam but respect the
adherents of Islam very highly. (2) Pinah Laman is maintained for
the following reasons: first, the Mentuka Dayak tribe experienced an
unfavorable experience during the reign of the Sekadau Kingdom.
Second, the Mentuka Dayak tribe does not want their tribe members
to experience past experiences. Third, the Mentuka Dayak people are
afraid of losing their tribal members. Fourth, religion is a sacred
thing and cannot be played with. Fifth, religious conversion customs protects the converts. (3) Pinah Laman is indicated to represent a
post-religious tribal identity, namely: first, it is no longer easy to
carry out the Mentuka Dayak customs. Second, Sinan no longer lives
in the Mentuka Dayak community. Third, the identity as Sinan,
although not currently in use, does not mean that they can still use
the Dayak identity.
The study of the customary religious conversion of the
Mentuka Dayak tribe provides a new portray in cultural studies,
especially those related to customs that have a binding nature on a
person. Customary religious conversion is not considered as an
obligation, but as a necessity that must be implemented. In addition,
custom is a bridge for inter-religious tolerance as well as inter-ethnic
tolerance.NIM.: 1630016017 Felisitas Yuswanto2022-09-12T04:23:15Z2022-09-12T04:23:15Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/52769This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/527692022-09-12T04:23:15ZPENANAMAN BUDAYA RELIGIUS MELALUI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SMP PGRI KASIHAN BANTULPendidikan merupakan upaya untuk mempersiapkan peserta didik agar nantinya mampu hidup ditengah masyarakat, dan mampu mengembangkan, meningkatkan kualitas hidupnya, masyarakat disekitarnya bahkan bangsanya. Maka dari itu Pendidikan seharusnya bukan sekedar teori dalam kelas saja. Budaya religius sendiri merupakan salah satu cara guru, khususnya guru Pendidikan agama islam dalam mengaplikasikan nilai-nilai keagamaan yang sudah diajarkan dalam kelas. Hal ini ditujukan agar pembelajaran agama tidak hanya sebatas teori saja, akan tetapi juga mengena pada segala aspek. Baik itu aspek kognitif, afektif, maupun psikomotorik pada anak didik. Disinilah, peran Pendidikan Agama Islam itu sendiri sangat penting dalam membentuk prilaku (Akhlak) setiap siswa untuk menjadi orang dewasa, mandiri, dan memiliki akhlak yang baik.
Penanaman budaya religius penting dilakukan sejak usia dini secara konsisten dan berkelanjutan, mengingat banyak penyimpangan moral di masyarakat dikarenakan lemahnya sitem pendidikan moral di sekolah. Untuk itu diperlukan suatu pola penanaman nilai-nilai budaya religius yang tepat untuk mengatasi berbagai masalah tersebut di atas. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan konsep Pendidikan agama islam, implementasi Pendidikan agama islam dalam membentuk budaya religius siswa, serta implikasi konsep Pendidikan agama islam dalam menanamkan budaya religius siswa.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti ini focus pada rumusan masalah sebagai berikut: 1) Bagaimana konsep pendidikan Agama Islam di SMP PGRI Kasihan Bantul?, 2) Bagaimana implementasi Pendidikan Agama Islam dalam membentuk Budaya Religius siswa di SMP PGRI Kasihan Bantul?, 3) Bagaiman implikasi Pendidikan Agama Islam untuk membentuk Budaya Religius siswa di SMP PGRI Kasihan Bantul?. Dengan tujuan: 1) Untuk mengetahui konsep pendidikan Agama Islam yang diterapkan guru pendidikan Islam dalam membentuk Budaya Religius siswa di SMP PGRI Kasihan Bantul, 2) untuk menegtahui implementasi Pendidikan agama islam dalam membentuk budaya religius siswa di SMP PGRI Kasihan Bantul, 3) untuk menegetahui implikasi Pendidikan agama islam dalam membentuk budaya religius siswa di SMP PGRI Kasihan Bantul.
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif, dengan Teknik analisis deskripsi kualitatif pula. Dalam proses pengumpulan data, penulis menggunakan metode observasi, wawancara, dan dokumentasi. Dari hasil penelitian penulis menemukan bahwa konsep Pendidikan agama islam di SMP PGRI Kasihan Bantul sudah cukup baik, hal ini terbukti dengan adanya konsep Pendidikan agama islam yang cukup dalam menanamkan budaya religius siswa di sekolah, terbukti juga dengan adanya berbagai macam kegiatan penanaman budaya religius pada siswa seperti sholat dhuha, mengaji Al-Qur’an satu jam pertama sebelum pembelajaran di mulai, sholat dhuhur berjamaah, mengikuti kultum setelah sholat dhuhur, program tahfidz Qur’an yang di ikuti setelah pulang sekolah serta kegitan-kegiatan keagamaan lainnya. Berbagai kegiatan tersebut sudah rutih dilakukan setiap harinya. Selain itu juga diberikan motivasi-motivasi untuk berprilaku baik melalui kultum setelah sholat dhuhur. Dari kegiatan-kegiatan yang sudah dilaksanakan, siswa SMP PGRI Kasihan Bantul, mereka sudah menunjukkan prilaku yang positif.NIM.: 20204011052 Wahyu Nurrohman2022-09-08T05:15:34Z2022-09-08T05:15:34Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/52811This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/528112022-09-08T05:15:34ZPENGARUH HIBRIDISASI BUDAYA TERHADAP IDEOLOGI DAN RITUS BERAGAMA DALAM NOVEL CHICAGO KARYA ALAA AL-ASWANYPenelitian yang berjudul ―Pengaruh Hibridisasi Budaya Terhadap Ideologi dan Ritus Beragama Dalam Novel Chicago Karya Alaa Al-Aswany‖ membahas tentang pengaruh hibridisasi budaya dalam novel ―Chicago” Karya Alaa Al-Aswany. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan dan menganalisis serta mengetahui pengaruh proses hibridisasi budaya dalam ideologi dan ritus beragama terhadap imigran Mesir dalam novel ―Chicago”.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik membaca dan teknik mencatat. Data penelitian berupa kata-kata, frase-frase, klausa, kalimat atau paragraf yang menunjukkan proses pengrauh hibridisasi budaya dalam novel ―Chicago” karya Alaa Al-Aswany.
Hasil analisis data menunjukkan hibridisasi budaya dalam novel ―Chicago” terjadi akibat pengaruh akulturasi budaya, terdapat dua model akulturasi budaya dalam novel ―Chicago” pertama yaitu, asimilasi yaitu keadaan yang membuat para imigran Mesir meninggalkan budaya asal mereka dan menganut budaya baru yaitu budaya lokal Chicago, Amerika. Hal ini terlihat ketika Naji di Chicago yang merasakan pertentangan budaya asalnya, dengan budaya lokal Chicago, Amerika sehingga menjadikannya melakukan prilaku yang bertolak dengan ajaran dan ritus beragamanya. Kedua, akulturasi model separasi, yaitu dimana imigran Mesir melakukan interaksi rendah dengan menyisakan ruang dan mempertahankan budaya asal yaitu, Mesir. Hal tersebut terlihat ketika Prof. Ro‘fat yang sangat memegang teguh budaya lokal, Chicago, Amerika tetapi tidak menghendaki ajaran tersebut terjadi kepada putrinya, Sarah. Yang berdampak pada empat dimensi keberagamaan menurut Stark dan Glock yaitu; dimensi keyakinan, pengamalan, penghayatan, dan praktik ibadah.NIM.: 20201011009 Angga Mustaka Jaya Putra2022-08-03T04:46:32Z2022-08-03T04:46:32Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/52414This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/524142022-08-03T04:46:32ZTOTEMISME PADA MASYARAKAT MODERN (STUDI PANDANGAN MASYARAKAT BALUWARTI SURAKARTA TERHADAP KERBAU BULE)Kebudayaan merupakan ciri khas suatu daerah. Di kota Surakarta memiliki
kebudayaan yaitu kirab pusaka malam 1 Sura, yang mana kirab tersebut
merupakan arak-arakan pusaka keraton dan dipimpin oleh sekelompok kerbau
bule/ kerbau Kyai Slamet. Sebagian besar masyarakat Surakarta masih
menganggap kerbau bule/ kerbau Kyai Slamet sebagai hewan keramat karena
memiliki kekuatan spiritual yang tidak dimiliki oleh hewan lainnya. Kerbau bule/
kerbau Kyai Slamet dipercaya dapat membawa berkah. Fenomena ini membuat
penulis tertarik untuk melakukan penelitian. Berdasarkan uraian diatas maka dapat
dikemukakan rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pandangan
masyarakat di Kelurahan Baluwarti terhadap kebau bule? 2. Factor-fsktor apa saja
yang mempengaruhi masyarakat di Kelurahan Baluwarti mempercayai kebau
bule?
Subyek yang diteliti adalah masyarakat Kelurahan Baluwarti, pengambilan
subyek dengan menggunakan metode Purposive Sampling kriteria 20 tahun keatas
usia, pernah melihat kirab pusaka malam 1 Sura, mengetahui dan percaya nilai
mistis kerbau bule. Jenis penelitian ini bersifat deskriptif, dengan teknik
pengumpulan data secara kualitatif yang ditempuh dengan beberapa metode yaitu
metode observasi, wawancara dan dokumentasi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun masyarakat di
Kelurahan Baluwarti sudah modern, tetapi mereka masih banyak yang menganut
kepercayaan kejawen yaitu totemisme. Sebagian dari mereka masih mempercayai
bahwa kerbau bule/ kerbau Kyai Slamet merupakan hewan pembawa berkah
sehingga tidak boleh dijual, dimakan apalagi dibunuh. Pada waktu malam 1 Sura
masih banyak juga masyarakat yang mengambil kotoran kerbau bule/ kerbau Kyai
Slamet untuk digunakan sebagai jimat, pelaris dagangan, campuran pupuk, dan
lain-lain.
Fenomena mengambil kotoran kerbau bule/ kerbau Kyai Slamet
disebabkan oleh beberapa faktor yaitu adanya keyakinan “apabila mendapat
kotoran tersebut akan mendapatkan keselamatan dan rezeki yang berlimpah”,
pengaruh dari teman atau panutan (orang tua dan masyarakat), persepsi
masyarakat terhadap raja bahwa raja adalah orang yang paling dekat dengan
Tuhan atau Dewa sehingga apapun yang dekat dengan Raja pasti dapat membawa
berkah, termasuk binatang kesayangannya kerbau bule.NIM.: 06520024 Muhammad Sarlito2022-07-14T07:25:25Z2022-07-14T07:25:25Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/52020This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/520202022-07-14T07:25:25ZKEARIFAN SATO SAKAKI DALAM RANDAI: INTERLEGALITAS DALIL HUKUM SYAR‘I DAN PEMAJUAN KEBUDAYAAN NASIONALThis dissertation aims to discuss the formulation of sato sakaki
as a form of cultural wisdom in Randai to represent the interlegality
between the arguments of customary law, Islamic law and Law
Number 5 of 2017 concerning the Cultural Development in Indonesia.
The study focuses on the coexistence of Randai art as the cultural
capital of indigenous people, as 'urf (custom of a given society) in the
perspective of ushul fiqh, and as an object of cultural development by
the state. The topic understudy particularly addresses the followings:
(1) How is the interlegality between the arguments of customary law,
Islamic law, and the state in the realm of Minangkabau legal culture?
(2) To what extent has the state made efforts and interventions in the
development and promotion of Randai arts and culture? (3) How did
the Randai actors and religious authorities respond to the idea of
development by the state as a form of negotiation against the
conception of 'urf' and custom based on Islamic law? (4) What is the
formulation of the wisdom of Sato Sakaki in fostering, preserving,
developing, and utilizing Randai?
The research was conducted using abductive reasoning through
observation, in-depth interviews, combined with discourse analysis on
the existence of Randai. Creswell's Mixed method was also used to
explain the intersection of the structure and identity of the
Minangkabau community in the face of the normative penetration of
ulama and ideas for the promotion of state culture. The explanation
also describes the relationship between agents and actors who are seen
as involved in responding to the interlegal process of promoting
national culture.
This study pinpoints that the principle of wisdom in the
formulation of 'urf also serves as the goal of Islamic law after benefit.
In particular, this study reveals and highlights the followings: (1)
Randai performing arts serves as a realm of interaction, contestation,
identity negotiation, and legal culture for the Minangkabau
community. In this study, this interlegalistic pattern is known as the wisdom of sato sakaki. (2) The state domination is seen through efforts
to relate its power in the realm of legal culture, Islam, and Indonesia
in Minangkabau; (3) the aesthetics of Randai become an articulation
of the wisdom of Minangkabau legal culture in accepting the national
development project of the state which leads to some adjustments in
several artistic aspects of the movement and gender aspects, such as
the involvement of female players; (4) the formulation of local
wisdom of Sato Sakaki is a form of Minangkabau interlegality
represented in Randai. It represents a form of coexistence between
customary law, Islamic law, and the state.
The expected implication of this dissertation is the availability
of a formulation of the wisdom of Sato Sakaki based on the
development, preservation, development, and utilization of Randai
art. This formulation can be used to mainstream the power of 'urf that
thrives in society, both as a philosophical basis for accelerating the
realization of legal wisdom, as a project of recognition, driving force
for the development, and cultural invention in Indonesia.NIM.: 18300016026 Zelfeni Wimra2022-06-23T05:37:20Z2022-06-23T05:37:20Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/51255This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/512552022-06-23T05:37:20ZNILAI PENDIDIKAN MORAL DALAM WAYANG KULIT
DAN RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
(Telaah Video Lakon Semar Mbangun Kahyangan Sanggit Ki Warseno Slenk)Latar belakang penelitian ini adalah banyaknya perilaku menyimpang di setiap lini lapisan masyarakat bangsa Indonesia menunjukkan adanya degradasi moral. Hal ini yang harus segera ditindaklanjuti, karena moralitas akan menentukan nasib bangsa. Banyak nilai-nilai luhur yang dimiliki bangsa Indonesia yang termuat dalam kebudayaan, salah satunya yang termuat dalam wayang kulit. Wayang kulit telah ditetapkan oleh UNESCO pada tanggal 7 November 2003 di Paris, Perancis sebagai A Masterpiece of Oral and Intangible Heritage oh Humanity” (‘Karya-karya agung lisan dan tak benda warisan manusia’). Banyak nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Nilai luhur tersebut sudah teruji keampuhannya dari generasi ke generasi untuk membangun moral bangsa ini. Oleh karena itu, peneliti mencoba mendeskripsikan dan menganalisis wayang kulit lakon Semar Mbangun Kahyangan sanggit Ki Warseno Slenk dan relevansinya dengan pendidikan agama Islam. Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah deskripsi pagelaran wayang kulit lakon Semar Mbangun Kahyangan sanggit Ki Warseno Slenk, apa saja nilai pendidikan moral di dalamnya serta bagaimana relevansinya dengan Pendidikan Agama Islam.
Penelitian ini menggunakan penelitian gabungan yakni penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research). Pengumpulan data dilakukan dengan cara mentranskrip video pewayangan lakon Semar Mbangun Kahyangan sanggit Ki Warseno Slenk. Peneliti juga
melakukan wawancara dengan teknik wawancara semi struktur kepada Ki Warseno Slenk selaku pelaku. Analisis data menggunakan analisis isi (cotent analysis).
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa lakon Semar Mbangun Kahyangan merupakan lakon carangan yang di-sanggit oleh Ki Warseno Slenk, lakon ini di-sanggit mempunyai maksud bahwa seorang Semar akan membangun kejiwaan para kawula dan pepunden-nya. Dalam lakon ini banyak mengandung nilai pendidikan moral, baik yang moral yang terpuji maupun tercela. Moral yang terpuji di antaranya: religius, adil, demokratis, mandiri, peduli sosial, syukur, jujur, dan menghargai orang lain. Adapun moral yang tercela di antaranya: marah (ghaḍab), dengki (ḥasad), sombong (takabbur), dan membunuh. Terdapat relevansi antara nilai pendidikan moral dalam lakon Semar Mbangun Kahyangan sanggit Ki Warseno Slenk dengan pendidikan agama Islam, di antara relevansinya terdapat dalam beberapa komponen pendidikan, yakni tujuan pendidikan, fungsi pendidikan, metode pendidikan.NIM. 16410003 Taufik Hidayat2022-05-18T07:50:50Z2022-05-18T07:50:50Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/50944This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/509442022-05-18T07:50:50ZTRADISI MUNGGAHAN DALAM PERSPEKTIF ETIKA UTILITARIANISME JOHN STUART MILL
(Studi Kasus Masyarakat Dusun Krajan, Desa Wonokromo, Kebumen)Tradisi Munggahan merupakan suatu tradisi lokal keagamaan masyarakat Desa Wonokromo, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Tradisi ini berisi serangkaian acara bersih makam, kenduri, dan sedekah. Sejauh pelaksanaannya, tradisi Munggahan sebagai bentuk tradisi yang melibatkan masyarakat memiliki banyak dampak yang ditimbulkan, penulis mencoba memaparkan nilai-nilai, aspek kebermanfaatan dan permasalahan-permasalahan di dalamnya untuk kemudian dianalisis menggunakan teori Etika Utilitarianisme John Stuart Mill. Sebagai prinsip kebahagiaan terbesar, Etika Utilitarianisme memandang bahwa baik buruknya suatu tindakan tergantung kepada tujuan akhir atau akibat-akibat dari satu tindakan tersebut. Penelitian ini mencoba menjawab pertanyaan mengenai bagaimana tradisi Munggahan di Dusun Krajan, Desa Wonokromo, Kebumen dan bagaimana Etika Utilitarianisme memandang tradisi Munggahan tersebut.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan sumber data primer berupa wawancara dengan para ahli atau tokoh yang mumpuni untuk memberi informasi tentang tradisi Munggahan di Dusun Krajan. Selain itu, penulis menggunakan rujukan utama karya John Stuart Mill yang berjudul “Utilitarianisme: Prinsip Kebahagiaan Terbesar”. Sedangkan sumber data sekunder yang digunakan penulis adalah literatur seperti buku, artikel jurnal, dan skripsi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat dua pandangan masyarakat dusun Krajan terhadap tradisi Munggahan ada yang setuju dan ada yang tidak setuju. Perspektif etika Utilitarianisme John Stuart Mill memandang kesenangan masyarakat yang setuju dalam tradisi Munggahan harus dinilai lebih tinggi dari pada kesenangan mayarakat dusun Krajan yang tidak setuju. Sebab, meskipun diukur dari kuantitas maupun kualitas, tradisi munggahan masih lebih banyak manfaat dan dampak yang lebih besar untuk masyarakat dusun Krajan. Selain itu, yang dituju dari kebahagiaan utilitarianisme John Stuart Mill adalah kenikmatan atau kepuasan yang lebih tinggi yaitu kepuasan rohani. Masyarakat dusun Krajan menganggap bahwa kepuasan rohani bernilai lebih tinggi karena berimbas pada kepuasan hati yang berdampak pada respon atau tindakan positif setiap individu masyarakat di dalam lingkungannya. Pada akhirnya, tradisi munggahan adalah tradisi yang baik dalam pandangan etika Utilitarianisme John Stuart Mill.NIM.: 17105010019 Muhammad Bima Karim Amrullah2022-05-12T02:41:38Z2022-05-12T02:41:38Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/51006This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/510062022-05-12T02:41:38ZTRADISI LONDO IHA (KAWIN LARI) TINJAUAN TEORI SAD AZ- DZARI’AH DAN BUDAYA DOMPU (STUDI KASUS DI KELURAHAN KANDAI DUA KECAMATAN WOJA KABUPATEN DOMPU)Penelitian Yang Berjudul “Tradisi Londo Iha (Kawin Lari) Tinjauan Teori
Sad Aż-Dżarī’ah Dan Budaya Dompu (Studi Kasus Di Kelurahan Kandai Dua
Kecematan Woja Kabupaten Dompu) dilatar belakangi oleh keresahan penulis
dalam memahami londo iha yang pada awalanya merupakan perbuatan yang
dianjurkan dengan alasan kemaslahatan dengan dalil bahwa dalam factor adat
istiadat yang berkembang sampai sekarang pelaku londo iha wajib melibatkan
lembaga adat dan masyaraka dalam bentuk musyawarah dan faktor historis londo
iha ini dianjurkan karna sebagai langkah antisipasi dari tindakan kawin paksa
yang dilakukan oleh tentara jepang dan kasus londo iha yang terjadi dikalangan
masyarakat Dompu khususnya Kelurahan Kandai dua hari ini sudah melenceng
dari faktor sejarah dan ketentuan adat. Adapun rumusan masalah yang diangkat
dalam penelitian ini ialah yang apa faktor yang melatar belakangi tejadinya
pernikahan karna londo iha (kawin lari) dan yang kedua Bagaimana status hukum
perkawinan karna londo iha dalam prespektif teori Sad Aż-Dżarī’ah.
Dalam penelitian ini penyusun fokus membahas status hukum perkawinan
karna londo iha dalam prespektif teori Sad Aż-Dżarī’ah dan analisis Sad Aż-
Dżarī’ah terhadap tingkah laku londo iha. teori Pada penelitian ini penyusun
menggunakan kerangka teori Sad Aż-Dżarī’ah. Penelitian ini menggunakan
penelitian lapangan (field research). Data primer, penyusun mengambil dari
wawancara dengan teknik purposive sampling dari tokoh adat,masyarakat dan
pelaku londo iha. Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu penelitian yang
menggambarkan dan menjelaskan tentang faktor-faktor yang melatar belakangi
terjadinya pernikahan karna londo iha.
Berdasarkan hasil penelitian yang ditemukan oleh penulis faktor yang
melatar belakangi terjadinya pernikahan karna londo iha (kawin lari) antara lain
ialah tidak medapat restu dari orang tua, mahar yang terlalu tinggi, pengaruh
lingkungan dan pergaulan bebas, pengaruh media sosial serta kurangnya perhatian
orang tua terhadap anak dan juga dalam kasus londo iha, merupakan perbuatan
yang melanggar ketentuan dalam adat yang semula dibolehkan akan tetapi yang
terjadi hari ini kebiasan londo iha ini justru lebih mengarah pada pebuatan yang
mudharat atau haram. Sehingga termasud dalam macam-macam Sad Aż-Dżarī’ah
dikarnakan melaukan tindakan yang melanggar ketentuan dalam hukum adat dan
perkawinan islam dengan melakukan pernikahan tampa izin orang tua dan hamil
diluar nikah sehinga dapat disimpulkan pernikahan yang terjadi akibat londo iha
hari ini tidak sah berdasarkan tinjauan teori Sad Aż-Dżarī’ah.NIM.: 16360036 Muhammad iqbal2022-04-27T04:28:29Z2022-04-27T04:28:29Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/50847This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/508472022-04-27T04:28:29ZTRADISI PUAK POI PADA KEHIDUPAN UMAT TIONGHOA DI KLENTENG TJEN LING KIONG YOGYAKARTASetiap manusia memiliki cara khusus untuk menghubungkan dirinya dengan Sang Pencipta. Cara khusus tersebut biasanya dilakukan melalui perantara seperti doa, sembahyang, simbol atau benda tertentu yang disakralkan yang terbungkus dalam suatu ritual maupun tradisi. Tradisi diartikan sebagai suatu kebiasaan atau adat istiadat yang telah diwariskan secara turun-temurun yang mengandung nilai dan makna tertentu. Bagi sebagian besar penganut Tionghoa, terutama umat di Klenteng Tjen Ling Kiong Yogyakarta menggunakan sarana khusus disebut dengan puak poi yang digunakan untuk menghubungkan diri dengan Tuhan/Thian, Dewa-dewi atau pun roh leluhur. Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang makna dan fungsi serta eksistensi tradisi puak poi pada kehidupan umat Tonghoa di Klenteng Tjen Ling Kiong Yogyakarta di tengah perkembangan zaman saat ini.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini ialah penelitian kualitatif dengan jenis penelitian lapangan/ field research. Dalam penelitian ini juga mengunakan sumber-sumber data melalui data primer yang diperoleh secara langsung dari infoman melalui wawacara dan data sekunder yang diperoleh melalui literatur-literatur terkait dengan penelitian. Sedangkan metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini ialah melalui teknik observasi, wawancara dan dokumentasi. Serta pendekatan yang digunakan ialah pendekatan antropologis menggunakan teori Fungsionalisme dari Brownislaw Malinowski untuk mengalisis fungsi tradisi puak poi di Klenteng Tjen Ling Kiong Yogyakarta.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa etnis Tionghoa sangat kental akan tradisi leluhurnya. Etnis Tionghoa percaya bahwa hadirnya para arwah atau leluhur di sekitar mereka akan membawa keberuntungan. Tradisi puak poi ialah salah satu tradisi warisan leluhur yang berasal dari peramalan Tiongkok dan telah digunakan sejak ribuan tahun lalu. Istilah puak poi merujuk pada alat yang digunakan sebagai sarana untuk tanya jawab kepada hal-hal yang sifatnya transenden seperti Tuhan/Thian, Dewa dan Dewi, maupun leluhur. Puak poi dapat dilakukan oleh siapa pun dan diutamakan di laksanakan di Klenteng yang dianggap memiliki kekuatan dan energi lebih besar. Pertanyaan yang diajukan oleh pelaku akan terjawab melalui posisi puak poi setelah dilemparkan. Puak poi tidak dapat dilakukan sembarangan, harus benar dan tepat, sebab itu akan berpengaruh terhadap jawaban yang diperoleh. Melalui teori Fungsionalisme Brownislaw Malinowski, dapat disimpulkan bahwa tradisi puak poi memiliki beberapa fungsi dan peranan penting yang menyangkut kehidupan berikut permasalahan hidup seseorang, sebagai sarana komunikasi batin kepada Tuhan/Thian, Dewa dan Dewi, maupun leluhur, serta menjaga kesimbangan hidup dan alam.NIM.: 18105020021 Yogi Alfiani Putri2022-02-24T02:19:02Z2022-02-24T02:19:02Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/49605This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/496052022-02-24T02:19:02ZDIKE SITUEK DI ACEH: AGAMA, KONTESTASI OTORITAS
DAN PERGESERAN KUASAThis dissertation aims at analyzing the Dike Situek contest
among religious authorities in Aceh. The dispute does not only
occur within the Dayah, but also between ulamas (Islamic
preachers) of dayah and the societies. The study utilizes
anthropological approach to examine what lies behind the Dike
Situek ritual ban phenomenon. Data were collected through
interview, documentation and observation. The dissertation in
particular carried out further analysis on the presence of Abu
Dayah who used all his knowledge and relation with the sovereigns
when constructing the authority in East Aceh and restricting Dike
Situek.
The study discovers that the disagreement among religious
authorities on banning Dike Situek ritual in Aceh is not merely a
matter of religious affair, yet theological and political interests
involve in the dispute. Three issues appear in this restriction. The
first issue concerns theological matter. Dike situk is believed to be
a forbidden salik buta teaching in Aceh for the dike situk elders
used to learn from Abu Peulekung in Nagan Raya despite the
absence of a claim that Abu Peulekung’s teaching is perverted.
Second, the flourishing Dike Situk does not originally grow and
develop from dayah ritual, which implies that it is alumni of dayah,
in particular Dayah Abu Paya Pasi, and of non-dayah or non-Abu
Paya pasi that compete. Besides, a long history has made Dike
Situk Ritual a religious culture that live and grow with the people
of Aceh. Third is about Abu Paya Pasi Authority’s resistance. It is
said that the existence of Dike Situk Ritual in the eastern coast of
Aceh hampers Abu Paya Pasi religious authority’s efforts to spread
their teaching, education, and social and culture to the inhabitants.
As seen in their actions, Abu Paya Pasi recommended and gave
approval to the candidate for Genchik Gampong (Chief of Village)
and Tuha Peut (Board of Gampong) hoping that they would be
their extra hands later on. Abu Paya Pasi holds Muzakarah Ulama
and merely discusses Dike Situk Ritual.
The dissertation gives theoretical contribution to the theory
of religious authority contest. Current facts show that political
interests go beyond those of religion. The notion of religious
theology is intentionally involved to legitimate political interests.NIM.: 1430016007 Abdul Mugni2022-01-24T06:42:45Z2022-01-24T06:42:45Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/48878This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/488782022-01-24T06:42:45ZBATANG GARING: SIMBOL IDENTITAS DAN AGAMA-AGAMA MASYARAKAT DAYAK NGAJU DI KALIMANTAN TENGAHThe fundamental of this research is about symbols and identities. And the
context Dayak Ngaju in Central Kalimantan and the symbol of Batang Garing are seen
as a form of social process in it. The reality of marginalization encourages Dayak
Ngaju people to present cultural symbols, one of them is the Batang Garing symbol.
In addition, the reproduction of Batang Garing is also inseparable from the ecological
problems in it. The ecology crisis in Kalimantan, especially Central Kalimantan, is in
contrast to the meaning of the symbol itself. Dayak Ngaju people are often attached to
their identity as people who are friendly with nature. The cultural symbol of Batang
Garing in its meaning contains sacred values for the Dayak Ngaju people who are
considered to influence their ecological actions. However, what happens is that the gap
between the ecological meaning of the Batang Garing with the reality of the
destruction of nature. It is also shows that the meaning of the symbol is also determined
by the formations of values that are accommodated by interested groups. Ethnicity is
one of the value formations of it.
The discourse of the Ngaju Dayak ethnicity is also confronted with Hindu
Kaharingan, Islam and Christianity. The dynamics of the interaction of the three
religions in the politics of ethnicity that binds the Ngaju Dayak identity. Therefore,
this study also attempts to elaborate on the identity of the Ngaju Dayak people whose
way of thinking and acting is always contextual in responding to social problems,
especially ecological problems in Central Kalimantan. The perspective of social
anthropology is a big idea in providing theoretical ideas for this research. In addition,
power relations show how culture is ultimately more dynamic and fluid. This happens
because power relations tend to build domineering and subordinate relationships.
Regarding the understanding of symbolic reality, based on the sociological theory of
Peter L Berger, it can be said that the Batang Garing symbol is a form of objectification
of the reality of the identity of the Dayak community. And reality becomes possible
because of the objectification. When the existence of Batang Garing is declared by the
subjectivity of past transcendental experiences, it does not mean that the Dayak
community today is unable to construct the subjective intentions of the people in the
past. Berger argues about the eternal power of objectification of Batang Garing. The
method used in this descriptive qualitative research data collection is through
interviews and reviews of written documents.NIM.: 18200010148 Henry Teddy2022-01-19T08:02:49Z2022-01-19T08:02:49Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/48719This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/487192022-01-19T08:02:49ZPROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM DALAM MEMBENTUK BUDAYA RELIGIUS SISWA DAN UPAYA PEMBINAANYA DI SMP PGRI KASIHAN BANTUL YOGYAKARTAThis research is motivated by several problems experienced by educational
institutions, especially Islamic educational institutions. Among the problems
underlying the researchers are, the existence of Islamic education problems that will
have an impact on the decline in Relejis quality, the high number of delinquency,
and the low attitude of courtesy of students in associating with teachers and the
community. This research uses a qualitative approach. Sources of information for
this research are Islamic religious education teachers and school principals and
other sources that can support and add research data. The data collection techniques
are done through interviews, participant observation, and documentation.
First, there is a lack of good communication and coordination between
parents at home and teachers who teach at school, so that parents do not know how
their children's days are at school and what they learn, besides the lack of parental
assistance in providing motivation to children. their children are good at doing each
of their assignments and helping with any material that their children still don't
understand at school. Second, learning methods that do not focus on inproving
moral behavior so that it bicomes an obstacle in echieving the desired learning gols
namely moral or Religius inprovement. Many learning materials are wasted for free
and are not conveyed to students. Therefore the material can be delivered if the use
of the method must be in accordance with the needs of students. And the use of
methods can support the achievement of teaching objectives and learning materials
can be maximally accepted by students. Third, there is a lack of assessment of
student behavior, both spiritual and social in everyday life, both inside and outside
the classroom as a result of learning in order to control the development of attitudes
and facilitate the growth of student behaviThis research is motivated by several problems experienced by educational
institutions, especially Islamic educational institutions. Among the problems
underlying the researchers are, the existence of Islamic education problems that will
have an impact on the decline in Relejis quality, the high number of delinquency,
and the low attitude of courtesy of students in associating with teachers and the
community. This research uses a qualitative approach. Sources of information for
this research are Islamic religious education teachers and school principals and
other sources that can support and add research data. The data collection techniques
are done through interviews, participant observation, and documentation.
First, there is a lack of good communication and coordination between
parents at home and teachers who teach at school, so that parents do not know how
their children's days are at school and what they learn, besides the lack of parental
assistance in providing motivation to children. their children are good at doing each
of their assignments and helping with any material that their children still don't
understand at school. Second, learning methods that do not focus on inproving
moral behavior so that it bicomes an obstacle in echieving the desired learning gols
namely moral or Religius inprovement. Many learning materials are wasted for free
and are not conveyed to students. Therefore the material can be delivered if the use
of the method must be in accordance with the needs of students. And the use of
methods can support the achievement of teaching objectives and learning materials
can be maximally accepted by students. Third, there is a lack of assessment of
student behavior, both spiritual and social in everyday life, both inside and outside
the classroom as a result of learning in order to control the development of attitudes
and facilitate the growth of student behaviNIM.: 19204010069 Ridho Ramadhon2022-01-13T07:46:01Z2022-01-13T07:46:01Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/48023This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/480232022-01-13T07:46:01ZMULTIKULTURALISME DAN BUDAYA TOLERANSI MASYARAKAT
DESA BALUN, KECAMATAN TURI, KABUPATEN LAMONGANDesa Balun merupakan salah satu desa di Kabupaten Lamongan dengan
keragaman agama terdiri dari Agama Islam, Kristen, dan Hindu. Keragaman
agama pada masyarakat Desa Balun merupakan suatu fenomena sosial yang unik,
karena kondisi masyarakat heterogen dengan tiga agama berbeda jarang dijumpai
di Lamongan. Keragaman agama pada masyarakat Desa Balun lantas tidak
menimbulkan konflik, justru di tengah masyarakat dengan pemeluk agama yang
berbeda-beda kehidupan masyarakat terjalin relatif harmonis dan penuh toleransi,
dapat dilihat dari sarana tempat ibadah yang saling berdampingan.
Kerukunan pada masyarakat Desa Balun kemudian dikenal sebagai desa
budaya atau disebut “Desa Pancasila”, karena merepresentasikan masyarakat
multikultural dengan membudayakan toleransi kerukunan antarumat beragama.
Tentunya budaya toleransi tidak muncul dan terbentuk begitu saja, begitu pula
masyarakat multikultural. Berangkat dari uraian tersebut, dapat ditarik rumusan
masalah berikut; bagaimana bentuk multikulturalisme masyarakat Desa Balun?
dan bagaimana proses terbentuknya budaya toleransi masyarakat Desa Balun?
Multikulturalisme sebagai penelusuran pada penelitian ini dilihat melalui
teori masyarakat multikultural perspektif Bhikhu Parekh dan kebudayaan yang
ditangkap sebagai suatu sistem arti atau makna yang terbentuk secara historis
melalui teori konstruksi sosial perspektif Peter L. Berger dan Thomas Luckmann.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif berbasis lapangan (field research),
dengan menggunakan pendekatan sosial budaya sebagai sudut pandang (point of
view) untuk memperoleh analisis-deskriptif. Pengumpulan data dalam penelitian
ini dilakukan berdasarkan pengamatan langsung pada keragaman masyarakat
Desa Balun, meliputi observasi partisipatif, wawancara, dan dokumentasi.
Hasil dari penelitian ini menemukan, bahwa keragaman agama pada
masyarakat Desa Balun relevan dengan bentuk keragaman komunal (communal
diversity), berdasarkan temuan bahwa masing-masing agama pada masyarakat
Desa Balun menjalankan tradisinya yang berbeda dalam satu kebudayaan umum
tanpa menghilangkan identitasnya. Multikulturalisme pada masyarakat Desa
Balun diwujudkan dalam bentuk toleransi yang lebih menekankan kesediaan
untuk menerima perbedaan sebagai kesatuan, tanpa mempersoalkan perbedaan
agama, dan memperlakukannya secara setara.
Toleransi kerukanan antarumat beragama pada masyarakat Desa Balun
terbentuk melalui proses konstruksi, meliputi eksternalisasi, objektivasi, dan
internalisasi. Berdasarkan temuan di lapangan, bahwa sikap toleransi pada
masyarakat Desa Balun merupakan ekternalisasi dari sikap alamiah, kemudian
menjadi tipifikasi dalam aktivitas yang mempertemukan tiga agama pada
kehidupan masyarakat sebagai objektivitasnya, dan diinternalisasikan masyarakat
Desa Balun dalam perilaku, pada giliranya diekspresikan kembali oleh masyarakat
dalam bentuk kebudayaan yang dipelihara, seperti kenduri atau kenduren, festival
Ogoh-ogoh, dan kegiatan-kegiatan keagamaan.NIM.: 1620510073 Khoirul Ulum2022-01-12T01:44:50Z2022-01-12T01:44:50Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/48016This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/480162022-01-12T01:44:50ZPERAN HABIB HASAN BIN THOHA (KRT. SUMODININGRAT)
DALAM MELESTARIKAN TRADISI ISLAM DI KERATON
NGAYOGYAKARTA HADININGRAT PADA MASA SULTAN
HAMENGKU BUWONO II,
1792-1819 MTesis ini mengkaji tentang Peran Habib Hasan bin Thoha (KRT.
Sumodingrat) dalam melestarikan tradisi Islam di Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat pada masa Sultan Hamengku Buwono II 1792-1819 M. Hal ini
dilatarbelakangi adanya gangguan politik dari pihak kolonial Belanda maupun
Inggris, yang menjajah Pulau Jawa terutama di Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat. Pihak kolonial ingin mengubah tradisi yang ada di keraton seperti
saat jamuan upacara grebeg dengan mempersembahkan anggur, sirih, pinang
kepada sultan. Pada saat tradisi grebeg berlangsung, prajurit-prajurit kerajaan
harus mengenakan pakaian kebesaran kerajaan Jawa. Hal tersebut dilakukan
karena pihak kolonial ingin menggantikan pakaian adat keraton menjadi pakaian
khas Eropa. Pada saat itulah muncul tokoh dari kalangan sayyid bernama Habib
Hasan bin Thohaa yang berusaha untuk menjaga tradisi Islam di keraton. Habib
Hasan merupakan menantu dari Sultan Hamengku Buwono II dan menjadi kepala
prajurit pengawal keraton yang berjuang melawan pihak kolonial. Ia mendapatkan
gelar Kanjeng Raden Tumenggung Sumodiningrat, setelah menikah dengan puteri
sulung sultan yaitu Bendoro Mas Ayu Rantam Sari.
Penelitian ini bersifat kualitatif yang bersifat deskriptif analitis,
pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan studi pustaka (library
research) dan studi lapangan (field research). Penelitian ini merupakan kajian
sejarah dengan menggunakan pendekatan budaya. Teori yang digunakan dalam
kajian ini adalah teori inkulturasi, yaitu proses untuk memasukkan nilai-nilai
Islam ke dalam budaya Jawa yang melibatkan suatu kelompok masyarakat
maupun individu, yang masuk ke dalam proses sosisalisasi, asimilasi dan
integrasi.
Hasil penelitian tesis ini menunjukkan bahwa Habib Hasan telah
melestarikan tradisi Islam di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, baik dalam
bidang agama maupun budaya. Inkulturasi dalam bidang agama yang dilakukan
oleh Habib Hasan di antaranya menanamkan nilai-nilai keislaman di keraton,
pembangunan masjid dan pesantren. Masyarakat menjadi lebih mengenal Islam
melalui ajaran syariat maupun tarekat. Pengaruh Habib Hasan dalam hal budaya
yaitu berusaha menjaga dan melestarikan budaya lokal agar tidak dihilangkan oleh
pihak kolonial. Hal lain dari kajian tesis ini adalah peran Habib Hasan di Keraton
Yogyakarta untuk melestarikan budaya lokal, seperti: melestarikan grebeg maulid,
melestarikan dan menyempurnakan Salawat Jawa Tasbih Hadiningrat,
menggunakan Perang Capit Urang sebagai strategi perang, dan juga
pengembangan cerita wayang orang menjadi cerita Jayapusaka, sehingga
menjadikan masyarakat lebih mengenal rasa nasionalisme lewat kisah
pewayangan.NIM.: 1620510010 Siti Fatimah2022-01-03T07:48:58Z2022-01-03T07:48:58Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/47820This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/478202022-01-03T07:48:58ZNILAI-NILAI FILOSOFIS UPACARA ADAT RUWAHAN DAN GREBEG KI AGENG MAKUKUHAN DI KEDU TEMANGGUNG DAN RELEVANSINYA DENGAN PEMBELAJARAN SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAMThis research was carried out because of the lack of understanding of the philosophical values of students towards local culture, so that in SKI learning there needs to be an effort to understand values through classroom learning with an in-depth introduction to local cultural materials. This research was conducted in Makukuhan Hamlet, Kedu Village, Kedu District, Temanggung Regency with the research subjects being the Makukuhan Hamlet and surrounding communities. The object of this research is the implementation of the Ruwahan and Grebeg makukuhan traditional ceremonies.This study uses an ethnographic qualitative method approach with the aim of looking at the procession of each stage and its philosophical values in this Makukuhan ruwahan and grebeg traditional ceremony. The research was conducted using interview, observation and documentation techniques. Data analysis using data triangulation as a conclusion.
The results showed that the Makukuhan community carried out the Ruwahan and Grebeg makukuhan traditional ceremonies with the aim of sending prayers to the ancestral spirits of Islamic religious figures, namely Ki Ageng Makukuhan and the ancestral spirits of the Makukuhan community, then as an expression of gratitude to Allah for all the abundance of rizki, safety that has obtained. The implementation of the Ruwahan and Grebeg makukuhan traditional ceremonies begins with draining the planangan spring, changing the ageman/curtain on the tomb of Ki Ageng Makukuhan then continuing on Friday morning kliwon with tahlil reading with the whole community and eating together which serves various kinds of food such as tumpeng, ingkung, market snacks . Grebeg is held on Sundays by parading mountains of various kinds of vegetables and animal replicas such as buffalo, cows, chickens and others. The symbols used in the Ruwahan and Grebeg traditional ceremonies have philosophical meanings that need to be instilled in the next generation, in order to preserve the Ruwahan and Grebeg Makukuhan traditional ceremonies and become the cultural wealth of the Indonesian nation. There is a connection between the implementation of the Ruwahan and Grebeg Makukuhan traditional ceremonies and learning the History of Islamic Culture at Madrasah Tsanawiyah grade 9.NIM.: 19204010096 Mutamimah2021-11-10T07:41:20Z2021-11-10T07:41:20Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/46342This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/463422021-11-10T07:41:20ZPENGALAMAN KEAGAMAAN PENARI TARI KHADISISWA DI DUSUN SUNGAPAN DUKUH KELURAHAN ARGODADI KECAMATAN SEDAYU BANTUL YOGYAKARTATari Khadisiswa sebagai ekspresi yang bersifat estetis dan bagian yang
tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Dusun Sungapan Dukuh Kelurahan Argodadi. Keindahan tari Khadisiswa tidak hanya keselarasan gerakan-gerakan badan dengan iringan musik, namun keseluruhan dari ekspresi tersebut mengandung makna.Tari ini pun sebagai bentuk pengungkapan yang bersahaja dan sangat tunduk pada kepentingan masyarakat serta religi. Penelitian ini terdapat dua rumusan masalah; bagaimana eksistensi seni tari Khadisiswa di Dusun Sungapan Dukuh Kelurahan Argodadi Kecamatan Sedayu Kabupaten Bantul? Bagaimana eksistensi seni tari Khadisiswa di Dusun Sungapan Dukuh Kelurahan Argodadi Kecamatan Sedayu Kabupaten Bantul? Metode penelitian ini menggunakan penelitian lapangan. Data primer diperoleh langsung melalui wawancara dan observasi di Dusun Sungapan Dukuh, Kelurahan Argodadi. Pada penelitian ini menggunakan kajian dari Joachim Wach terkait pengalaman keagamaan yang meliputi bahwa setiap individu dengan
individu yang lain akan merasakan pengalaman keagamaan yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan aktivitas keagamaan yang dilakukan oleh manusia dalam berhadapan dengan sang pencipta meliputi segi lahiriyah dan bathiniyah. Wach sangat mengutamakan bathiniah untuk menjalin hubungan antara manusia dengan Tuhan. Sehingga manusia akan mengembangkan pola-pola perasaan yang system-sistem pemikiran, sistem kelakuan sosial, dan organisasi-organisasi dengan orang akan berbeda. Tari Khadisiswa merupakan Gerakan yang vertical untuk menjalin hubungan dengan Tuhan.
Hasil dari penelitian ini tentang tari Khadisiswa sebagai sarana upacara,
hiburan, dan pertunjukan. Para penari selalu antusias saat menarikan gerakan demi gerakan seolah olah tarian tersebut menghubungkan batinnya kepada sang pencipta. Agama bukan hanya diartikan sebagai sistem kepercayaan, melainkan agama menjadi sistem berpikir dalam memahami aturan-aturan atau justru kekuasaan tuhan yang dipercaya. Eksistensi dari tari Khadisiswa sangat jelas untuk membudidayakan tradisi dan menjalankan ritual secara bathiniah kepada Tuhan. Menjaga pengalaman beragama sebagai bentuk munajat dan menyembah Tuhan dari sisi Gerakan tari. Peran agama disini sebagai perlintasan untuk mencapai mahligai ke
Esaan Tuhan dengan menari. Setiap gerakan tersebut membawa ajaran umum berupa amar ma‟ruf nahi munkar, suatu ajaran tentang kebaikan dan mencegah tentang kejahatan.NIM.: 14520032 Nurul Afifah2021-11-10T07:40:32Z2021-11-10T07:40:32Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/46335This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/463352021-11-10T07:40:32ZPERILAKU SOSIAL KEAGAMAAN DALAM PERAYAAN PASKAH (STUDI MAKNA DAN PERILAKU SOSIAL KEAGAMAAN DALAM PERAYAAN PASKAH DI GEREJA KRISTEN JAWA KARANGANYAR, KEBUMEN)Perilaku sosial keagamaan merupakan sebuah tindakan sosial yang berlandaskan pada motivasi keagamaan. Berbagai perilaku tindakan yang dilakukan oleh seseorang tidak serta merta dilakukan begitu saja tanpa ada motivasi atau tujuan jelas yang melatarbelakanginya. Dalam kasus penelitian yang dilakukan oleh penulis, pada perayaan Paskah yang dirayakan tiap tahun oleh umat Krsitiani khususnya para jemaat Gereja
Kristen Jawa (GKJ) Karanganyar ini memiliki peranan besar dalam tindakan sosial keagamaan yang mereka terapkan dalam kehidupan sehar-hari. Cara mereka memaknai perayaan Paskah berpengaruh pada perilaku masing-masing jemaat. Berbagai perilaku yang dilakukan oleh jemaat ini bisa dipengaruhi oleh faktor lingkungan sekitar atau bagaimana mereka menghayati serta menafsirkan ajaran-ajaran agamanya. Maka dari itu tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui apa saja makna perayaan Paskah bagi jemaat dan bentuk-bentuk perilaku sosial keagamaan jemaat serta hal-hal apa saja yang mempengaruhi berbagai perilaku atau tindakan sosial yang dilakukan oleh jemaat GKJ Karanganyar.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini merupakan metode penelitian lapangan dengan mengumpukan berbagai sumber data dari mengamati secara langsung proses perayaan Paskah di Gereja Kristen Jawa Karanganyar yang dimulai dari tiga hari sebelum Minggu Paskah. Penulis juga melakukan wawancara kepada beberapa jemaat yang meliputi
pendeta, ketua majelis dan beberapa jemaat dari berbagai golongan usia. Melalui pengamatan langsung serta wawancara terhadap pendeta, ketua majelis dan beberapa jemaat dari berbagai usia didapatkan sumber data yang penulis gunakan untuk dianalisis dengan teori tindakan sosial Max Weber. Dalam teorinya, Max Weber mengatakan bahwa tindakan sosial yang dilakukan oleh seseorang dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu
tindakan rasionalitas instrumental, tindakan rasionalitas nilai, tindakan afektif, dan tindakan tradisional. Masing-masing klasifikasi tersebut menurut Weber dapat mempermudah dan mengetahui secara mendalam karakter dari berbagai tindakan yang dilakukan oleh seseorang maupun kelompok.
Dari hasil penelitian yang penulis lakukan, makna yang diperoleh jemaat GKJ dalam perayaan Paskah ini menjadi motivasi utama yang mendorong segala tindakantindakan sosial. Pada perayaan Paskah jemaat bersungguh-sungguh menghayati berbagai liturgi yang dilakukan. Makna Paskah sebagai kebangkitan Yesus Kristus setelah pengorbanannya disiksa di tiang salib demi umatnya, menyadarkan mereka bahwa manusia harus bangkit dari keterpurukan, meninggalkan hal-hal yang buruk dan berusaha untuk
selalu menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Pada teori Max Weber ada 4 klasifikasi tindakan sosial, yaitu tindakan rasionalitas instrumental, rasionalitas nilai, afektif, dan tradisi. Masing-masing tipe tindakan yang dilakukan para jemaat berbeda-beda dari cara
mereka memahami dan memaknai perayaan Paskah.NIM.: 14520024 Yuliyanti Nur Hasanah2021-11-10T04:31:15Z2021-11-10T04:35:59Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/46541This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/465412021-11-10T04:31:15ZKECERDASAN SPIRITUAL MENURUT MASYARAKAT JAWA (STUDI KASUS TERHADAP MASYARAKAT DESA GUCI, KECAMATAN GODONG, KABUPATEN GROBOGAN)Kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai hidup yang lebih luas. Kecerdasan spiritual sangat penting dan diperlukan dalam pembentukan karakter untuk masyarakat Jawa khususnya masyarakat Desa Guci. Maka dari itu tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pandangan masyarakat Jawa khususnya Desa Guci mengenai kecerdasan spiritual.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode kualitatif, dengan jenis data lapangan. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitik. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penggunaan Teknik wawancara dan dokumentasi. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan psikologi agama. Analisis yang dilakukan dengan mendeskripsikan tentang kecerdasan spiritual menurut masyarakat Jawa yang kemudian dianalisis dengan menggunakan teori kecerdasan spiritual oleh Danah Zohar dan Ian Marshall.
Hasil dari penelitian ini adalah: 1. Ditemukan bahwa pandangan masyarakat Desa Guci mengenai kehidupan yang penuh makna dan nilai adalah ketika masyarakat dapat mengaplikasikan nilai-nilai seperti saling menghargai, saling menolong, dan saling menghormati antar sesama, dapat hidup rukun. 2. Konsep kehidupan masyarakat Desa Guci dan relevansinya dengan kecerdasan spiritual adalah semakin masyarakat melaksanakan hal-hal positif, atau yang tercakup dalam aspek kecerdasan spiritual, maka mereka akan semakin menunjukkan kebaikan di dalam kehidupan. 3. Kecerdasan spiritual yang dipraktekkan oleh masyarakat Desa Guci tergolong baik, hal ini disebabkan oleh faktor emosional, faktor budaya, dan faktor kehidupan sehari-hari.NIM.: 16520010 Diah Nikmatul Chasanah2021-11-09T08:27:25Z2021-11-09T08:27:25Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/46510This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/465102021-11-09T08:27:25ZPERUBAHAN BUDAYA DALAM UPACARA ADAT YAA QOWIYYU DI DESA JATINOM, KECAMATAN JATINOM, KABUPATEN KLATEN TAHUN 1981-2019Upacara adat Yaa Qowiyyu merupakan salah satu budaya lokal masyarakat
Jatinom yang masih dipertahankan dan dilestarikan hingga saat ini. Kehadiran
upacara adat Yaa Qowiyyu tidak dapat dilepaskan dari Kiai Ageng Gribig sebagai
tokoh yang berjasa besar atas terbentuknya wilayah Jatinom dan tersebarnya agama
Islam di wilayah tersebut. Pada mulanya, upacara adat Yaa Qowiyyu digunakan
sebagai sarana dakwah Kiai Ageng Gribig dalam menyebarkan ajaran agama Islam.
Melalui upacara ini, Kiai Ageng Gribig menekankan kepada masyarakat Jatinom
agar gemar melakukan shadaqah terutama pada bulan Safar. Namun demikian,
dalam perkembangan upacara adat Yaa Qowiyyu yang dibingkai dengan nuansa
Jawa-Islam secara tidak langsung telah mewarnai kehidupan masyarakat Jatinom,
baik dalam aspek agama, budaya, sosial dan ekonomi.
Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah perubahan budaya yang
terjadi dalam upacara adat Yaa Qowiyyu. Untuk mendekati permasalahan tersebut,
penelitian ini menggunakan pendekatan antropologi budaya dengan mengacu pada
konsep agama sebagaimana didefinisikan oleh Anthony F. C. Walance, konsep
tradisi dan upacara adat sebagaimana diungkapkan oleh Koentjaraningrat, konsep
strategi kebudayaan yang dikemukakan oleh C. A. Van Peursen, dan konsep
reproduksi kebudayaan yang dikemukakan oleh Irwan Abdullah. Pengumpulan
data dalam penelitian ini menggunakan teknik wawancara dan studi pustaka,
sedangkan dalam analisisnya menggunakan sumber kualitatif dan sumber-sumber
pendukung lainnya. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan metode penelitian sejarah meliputi 4 tahap, yaitu heuristik, verifikasi,
interpretasi, dan historiografi.
Penelitian ini mengungkap bahwa terdapat perubahan fungsi dalam upacara
adat Yaa Qowiyyu, perubahan pola pemikiran masyarakat dari sinkretis ke puritan,
serta perubahan mata pencaharian masyarakat dari tradisionalis-agraris ke
materialis. Adapun perubahan-perubahan tersebut disebabkan oleh faktor agama,
sosial, dan ekonomi.NIM.: 19201020012 Fitri Wulandari2021-10-11T06:47:42Z2021-10-11T06:47:42Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/45249This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/452492021-10-11T06:47:42ZPONDOK PESANTREN KALIOPAK DI KLENGGOTAN, SRIMULYO, BANTUL, YOGYAKARTA (STUDI TENTANG KONTRIBUSI KEAGAMAAN DAN BUDAYA TAHUN 2010- 2019 M)Kajian ini membahas tentang Pondok Pesantren Kaliopak yang berada di Klenggotan, Srimulyo, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Pondok Pesantren Kaliopak dirintis oleh Kiai Jadul Maula bersama dengan Hasan Basri dan santri- santrinya pada tahun 2010. Pesantren Kaliopak merupakan pesantren yang berbasis budaya yang menyelenggarakan berbagai kegiatan kebudayaan. Kegiatan budaya yang dilakukan pesantren merupakan usahanya dalam melestarikan (nguri-uri), mewadahi dan mengembangkan budaya. Selain itu, sejak Sunan Kalijaga kesenian diyakini dapat menjadi alternatif dalam mendakwahkan ajaran agama Islam. Dalam hal ini pesantren berupaya melanjutkan Sunan Kalijaga dan para pendahulu dalam mendakwahkan ajaran Islam melalui seni. Melalui kegiatannya, seperti Sholawat Emprak, Hadrah, ngaji Dewaruci dan lain sebagainya, menjadi kontribusi Pesantren Kaliopak dalam menjembatani antara budaya dan masyarakat luas. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mendeskripsikan Pondok Pesantren Kaliopak mulai dari latar belakang berdirinya sampai dengan kontribusinya. Berdasarkan pokok permasalahan tersebut, penulis membahas dalam tiga rumusan masalah yaitu Bagaimanakah Latar Belakang didirikannya Pondok Pesantren Kaliopak, Apa saja kegiatan Santri di Pondok Pesantren Kaliopak, Apa kontribusi Pondok Pesantren Kaliopak terhadap masyarakat Klenggotan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi dengan teori peran yang diungkapkan oleh Peter Burke dalam menganalisis dan mempelajari sejarah dan kontribusi Pondok Pesantren Kaliopak. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian sejarah, dengan melalui tahapan penelitian yaitu : heuristik (observasi, wawancara, dokumentasi), verifikasi, interpretasi dan historiografi. Jenis penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian lapangan (field research).
Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa Pesantren Kaliopak resmi didirikan pada tahun 2010 yang berawal dari Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) di Klenggotan. Pesantren Kaliopak merupakan pesantren yang berbasis budaya, yang di dalamnya pesantren menyelenggarakan berbagai kegiatan kebudayaan. Mulai dari Sholawat Emprak, Hadrah, ngaji Dewaruci, Event- event Pesantren dan lain sebagainya. Dengan berbagai kegiatan budaya yang dilakukan, pesantren berkontribusi penting baik dalam bidang keagamaan hingga sosial- budaya bagi masyarakat Klenggotan dan masyarakat pada umumnya yang mengikuti kegiatan pesantren. Dalam bidang keagamaan, pesantren berkontribusi dalam menanamkan nilai- nilai Islam pada setiap kegiatan yang dilakukan. Pada bidang sosial- budaya, pesantren berkontribusi dalam melestarikan (nguri-uri), mewadahi dan mengembangkan budaya yang berasal dari masyarakat Klenggotan dan Nusantara.NIM.: 15120075 Ida Nur Faizah2021-10-04T06:45:27Z2021-10-29T06:32:33Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/44877This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/448772021-10-04T06:45:27ZGLOBALISASI BUDAYA MEDIA DAN IDENTITAS : MUSLIMAH K-POP, KESALEHAN BERAGAMA DAN PRAKTIK BUDAYA POPULERPenelitian ini bermkasud mengakaji sosok dan peran aktif muslimah muda
Indonesia dalam menampung budaya populer asal Korea Selatan yaitu Kpop.
Muslimah muda yang mengonsumsi K-pop merupakan subjek sosial
yang penting untuk memahami generasi muda Indonesia yang hidup di
dalam lanskap arus kebudayaan global. Selain itu, subjek ini begitu menarik
karena selain mempraktikan kesalehan relegius mereka juga secara
berusungguh-sungguh terlibat dengan praktik-praktik budaya populer.
Usaha-usaha muslimah muda untuk mendamaikan kesalehan relegius
berlandaskan moral agama dan konsumerisme duniawi dalam praktikpraktik
budaya
populer
merupakan
sebuah
usaha
pencarian
modernitas
baru,
yang
pada
akhirnya
akan
membentuk
ragam
(wajah)
Islam
yang
baru.
Peneltian ini menggunakan metode kualitatif dengan teknik pengumpulan
data dihasilkan dari observasi secara empirik dan wawancara mendalam.
Lokasi observasi penelitian ini dilakukan di Yogyakarta dan terfokus pada
salah satu komunitas penggemar K-pop yaitu BTS A.R.M.Y Jogja. Dalam
skala acara yang besar, kegiatan yang mereka lakukan memiliki peserta
yang hadir kurang lebih sebanyak 300-500 orang. Untuk mendapatkan
gambaran secara lebih dalam, peneliti juga melakukan wawancara. Jumlah
dari partisipan yang di wawancarai sebanyak lima orang, umur mereka
berkisar di antara 21 sampai 27 tahun, dan semuanya merupakan perempuan
dengan latar belakang pendidikan di perguruan tinggi
K-pop bagi muslimah muda bermakna sebagai rangsangan stimulus atau
optimisme hidup yang secara tidak langsung berguna bagi mereka sebagai
refrensi tentang kehidupan masa depan yang baik. Karena hal inilah
kegemaran terhadap K-pop lebih didasarkan pada relevansi pengalaman
sosial audiensya ketimbang ciri inristik dari musik itu sendiri. Terkait
perosalan antara kesalehan beragama dan praktik budaya populer pada
dasarnya muslimah muda ini menerangkan bahwasanya hubungan antara
ketaatan beragama dan ketertarikan terhadap K-pop tersedia sebagai pilihan
ketimbang hal yang hanya bisa dipilih salah satu saja. Dengan sudut
pandang ini mereka juga turut menginterpertasi Islam pada sampai batasbatas
dimana
mereka
dapat
mematuhi
kerangka
agama
secara
normatif
dan
disaat
yang
tetap
berpartisipasi
dalam
budaya
K-pop.
Pada
akhirnya,
usaha
untuk
menegosiasikan
antara
aturan
agama
dan
budaya
K-pop
berfungsi
secara
strategis
untuk
memposisikan
mereka
secara
aman
dan
nyaman
dalam
dunia
keagamaan
dan
tren
budaya
populer
global.NIM.:17202010018 Abdul Wazib2021-09-20T07:50:12Z2021-09-20T07:50:12Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/44591This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/445912021-09-20T07:50:12ZBUDAYA TETESAN: INDIGENISASI DAN LITERASIThe purpose of this paper is to reveal the tetesan culture: indigenization and
literacy of the people of the Yogyakarta Palace and its surroundings. The tetesan culture in women in the Yogyakarta Palace has long been carried out, known as a life cycle ceremony in Javanese culture. Along with the times, people began to leave the tetesan culture due to modernity so that there was a shift in the context of the process. Most people Keraton Yogyakarta and surrounding implement procession tetesan merely meet sound manners amid society. On the other hand, the level of education of women is developing along with discourse developments in Indonesia
is like a feminist discourse that encourages gender mainstreaming. The feminist groups do a reinterpretation of classic texts by the spirit of the women were related to acts of sexual violence. On the side of the power relation Sultan Palace, the representation authority of female palace that the massive entry into traditional structures such as Keraton boosting power relations in the framework of negotiations that female circumcision is done with the symbolic.
This type of research used in this paper is a type of qualitative research,
using a phenomenological design based on the phenomenon that occurs in the Yogyakarta Palace where people leave the tetesan culture. The research location was taken in the Palace Yogyakarta community and its surroundings. While the object and the subject of research in writing this is the society Palace Yogyakarta and culture tetesan in children of women. The research method used in this writing is the method of observation, structured interviews, and documentation. Then, in the writing of this, domain analysis of the data using the reduction of data, presentation of data, and verification. The data validity test in this paper uses thedata credibility test using triangulation.
The use of theory in this writing is Michel Foucault's theory of power relations, a theory based on the social movement of Olson and his followers, a paradigm based on the orientation of the power of knowledge of the authority of the Yogyakarta Palace women in empowering the tetesan culture amid people's lives. Relations power that is a form of reinterpretation authority of women Palace Yogyakarta negotiate with the aspirations of the new that is brought by the discourse of development.
The findings in this paper are the power relation of the female authority in the Yogyakarta Palace which forms new cooperation in re-earthing the tetesan
culture in girls in a symbolic way. This form of cooperation can be seen from the aspects of literacy and indigenization of society which revitalize the culture of tetesan from the downstream sector to the upstream sector.NIM.: 18200010199 Ali Sander2021-09-20T07:04:13Z2021-10-29T06:40:39Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/44607This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/446072021-09-20T07:04:13ZPOLA INTEGRASI ANTARA AGAMA DAN BUDAYA: STUDI ATAS TRADISI PERHITUNGAN PERKAWINAN DI DESA CANDIRENGGO, KEC. AYAH, KAB. KEBUMENPenelitian ini bermaksud untuk mengkaji tentang pola integrasi agama
dan budaya terutama pada tradisi perhitungan pernikahan di desa
Candirenggo kab. Kebumen. Tradisi perhitungan pernikahan digunakan
oleh masyarakat Candirenggo untuk mencari hari baik dilaksanakannya
proses pernikahan baik untuk hari akad maupun resepsi. Tradisi ini masih
banyak dipercaya dan dipraktikkan oleh masyarakat Candirenggo. Akan
tetapi, di era modernitas saat ini terjadi perubahan utamanya kaum muda
dalam mempercayai dan mempraktikkan tradisi tersebut. Hal ini
disebabkan karena ada pertemuan dua budaya berbeda yang terjadi di
kaum muda Candirenggo. Selain tantangan modernitas, tantangan dari
agama juga berpengaruh dalam kepercayaan dan praktik perhitungan
pernikahan. Penelitian ini merumuskan dua permasalahan yang diangkat,
pertama bagaimana tanggapan masyarakat Candirenggo atas tradisi
perhitungan hari baik; Kedua, bagaimana pola integrasi dan konflik
antara agama dan budaya di Candirenggo.
Penelitian ini merupakan studi kualitatif dengan objek penelitian pada
masyarakat Candirenggo Kab. Kebumen. Adapun data penelitian ini ada
dua yaitu data primer yang dicari melalui wawancara dan data sekunder
yang dilakukan melalui literature terkait. Pendekatan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah teori konflik positif Lewis A. Coser dan teori
sistem sosial AGIL (Adapatasi, goal attainment, integrasi, dan latency)
Talcott Persons.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konflik yang terjadi antara
agama dan budaya di Candirenggo merupakan konflik positif. Konflik
tersebut menghasilkan sebuah pola adaptasi yang akomodatif antara
agama dan budaya. Sikap akomodatif yang ada dalam tradisi tersebut
dalam dilihat dari adanya proses pernikahan yang berasal dari Islam dan
menjadi bagian syarat penting dalam pernikahan. Sementara itu, dari sisi
budaya modern juga didialektikan dengan cara mencocokkan hari
pernikahan dengan hari cuti atau libur kerja. Dengan demikian, hubungan
dialektika antara agama, budaya modern, dan budaya lokal merupakan
hubungan yang akomodatif, sehingga budaya dan tradisi lokal
masyarakat Candirenggo tidak tercerabut dari akarnya.NIM.: 16205010079 Wahid Nurrohman2021-09-15T07:10:10Z2021-09-15T07:10:10Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/44397This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/443972021-09-15T07:10:10ZSIPAKALEBBI, SIPAKATAU, SIPAKAINGE ANTAR UMAT BERAGAMA DI KECAMATAN LALABATA KABUPATEN SOPPENGKabupaten Soppeng merupakan salah satu daerah yang ada di Sulawesi
selatan. Soppeng ditilik dari sejarah penamaanya, adalah suatu bekas kota raja
yang pada masa lampau mempunyai wilayah kekuasaan serta pengaruh yang
cukup luas di antara kerajaan-kerajaan lokal lainya di dataran jazirah, Sulawesi
Selatan sebagaimana diungkapkan dalam berbagai catatan kuno orang Bugis yang
disebut lontarak. Kabupaten Soppeng dikenal sebagai salah satu kabupaten yang
senantiasa menjaga kearifan lokal demi tercapainya kehidupan yang harmoni di
tengah perbedaan keyakinan. Salah satu semboyan yang sampai sekarang
senantiasa dijaga yaitu Sipakalebbi, Sipakatau, Sipakainge, saling menghargai,
saling memanusaiakan manusia, dan saling mengingatkan satu sama lain, inilah
salah satu semboyan yang dijaga demi keutuhan antar umat beragama yang ada di
kabupaten Soppeng.
Penelitian ini menggunakan teori local knowledge yang dikemukakan oleh
Clifford Geertz, yaitu, art as a Cultural System, yang sebuah seni terkenal sulit
untuk dibicarakan dan tersusun dari kata-kata yang mengandung seni sastra dan
filososi yang tinggi, untuk membaca dan menganalisa tanda-tanda kebudayaan
dan makna simbolik dari kebudayaan itu diperlukan teori untuk mengkaji lebih
mendalam akan hal itu, Teori ini di gunakan untuk membaca simbol dan konsep
pemikiran yang ada di Bugis-Makassar yaitu Sipakalebbi, Sipakatau, Sipakainge,
yang untuk membaca simbol dan menganalisa di perlukan sebuah teori untuk
mengkaji makna dan kandungan dari semboyan tersebut yaitu Sipakalebbi,
Sipakatau dan Sipakainge dan kaitanya dengan antar umat beragama di
kecamatan lalabata kabupaten Soppeng.
Dari Hasil Penelitian yang dihasilkan dilokasi penelitian, ditemukan
bahwa satu faktor yang menyebabkan Kabupaten Soppeng tidak mengalami
konflik yang bernuansa agama, dikarenakan Raja Soppeng meninggalkan sebuah
warisan untuk digunakan oleh anak cucu dan masyarakat Soppeng sebagai
pedoman hidup dan landasan untuk hidup rukun dan harmonis, ditengah
masyarakat plural, dengan nilai dan makna filosofi yang terkandung di dalam
semboyan Sirui Menre’Tessirui No’ artinya tarik menarik ke atas bukan tarik
menarik kebawah, Malilu Sipakainge Maingeppi Mupaja, artinya khilaf saling
memperingati, ingatkanlah sampai dia benar, maka dari itu masyarakat Soppeng
mempunyai sebuah semboyan yang lansung di turunkan oleh Raja Soppeng pada
saat itu yang sampai sekang masih terus di lestarikan demi terjaganya kerukunan
umat beragama.NIM.: 18205010055 Suhasran2021-07-22T10:38:45Z2021-07-22T10:38:45Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/43028This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/430282021-07-22T10:38:45ZPOLA RELASI MASYARAKAT JAWA DAN DAYAK DALAM TRADISI GAWAI DAYAK KALIMANTAN BARAT: STUDI DI ASRAMA MAHASISWA ROHADI OSMAN YOGYAKARTAPerkembangan zaman yang semakin pesat memberi pengaruh terhadap
perubahan pada masyarakat salah stunya adalah Kebudayaan, salah satu faktor
penyebab perubahan tersebut adalah Pendidikan. Hal tersebut terjadi dalam
Tradisi Gawai Kalimantan Barat. Berbicara mengenai pendidikan masyarakat
Kalimantan Barat di zaman sekarang banyak yang menempuh pendidikan di luar
daerah terutama di pulau Jawa, salah satu kota yang dituju adalah Yogyakarta, hal
tersebut sebagai sebuah upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan dalam diri
mereka. Penelitian ini mengambil dari relasi dari suku Jawa dan Dayak dalam
sebuah tradisi Gawai Dayak ditinjau dari perspektif Mahasiswa Kalimantan Barat
yang berada di Asrama Mahasiswa Rohadi Osman, hal tersebut dikarenakan
bagaiman mahasiswa memberi tanggapan dan menilai perkembangan dan pola
relasi yang ada di zaman sekarang, apakah mengalami perubahan atau tidak.
Denga adanya perbedaan Suku, Agama dan Kebudayaan kedua suku tersebut
bersatu dalam kebudayaan Gawai, berangkat dari perbedaan tersebut peneliti
meneliti bagaimana relasi dari kedua suku tersebut.
Untuk mengetahui bagaimana relasi dalam Gawai Dayak kalimantan
Barat, maka penelitian ini menggunakan hasil dari wawancara, observasi dan
dokumentasi. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang berangkat
menggunakan teori sosiologi dari Talcot Parsons dan menggunakan metode
deskriptif analisis. Deskriptif membahas bagaimana kondisi Kalimantan Barat,
kondisi Asrama Rohadi Osman Yogyakarta, bagaiman Gawai Dayak, asal usul
dan tujuan dari Gawai Dayak, bagaiman proses pelaksanaannya, bagaimana
perkembangan Gawai Dayak. Sedangkan analisisnya bagaimana sebuah teori dari
Talcot Parson dapat diterapkan dalam membangun relasi antara Suku Jawa dan
Dayak menjadi masyarakat yang Harmonis.
Hasil dari penelitian ini pertama, Perkembangan Gawai Dayak menurut
mahasiswa asrama Rohadi Osman Yogyakarta, tidak mengalami perubahan dari
segi ritual yang dilaksanakan, namun dari segi perayaan Gawai Dayak tersebut
mengalami sedikit penambahan-penambahan. Kedua, relasi dalam Gawai Dayak
Kalimantan Barat terjalin dnegan baik, meski ada beberapa hambatan yang
menghalamngi, namun secara keseluruhan sistem yang ada pada Masyarakat
tersebut sudah mampu mengoptimalkan kekuasaannya untuk menjadikan
masyarakat yang sesuai dengan kriteria dari struktural fungsional yang Parsons
katakan.NIM.: 16520037 Mangiyah2021-03-08T21:13:51Z2021-08-09T22:58:41Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/42130This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/421302021-03-08T21:13:51ZQUR'AN, MANUSIA, DAN KEBUDAYAANMeski sebagai Guru Besar Filsafat Islam yang notabene sering bersikap dan berpikir liberal, namun dalam berbagai tulisan yang diproduksi Asy'arie hampir selalu mengutip ayat Karena itu dalam konteks tertentu, ia layak juga disebut sebagai mufassir. Tepatnya mufassir-filosof. Ini mengingatkan saya pada gaya penulisan dan pemikiran Nurcholish Madjid yang dalam buku-bukunya juga selalu mengutip ayat. Hal ini berbeda dengan Gus Dur misalnya, yang justru jarang mengutip ayat, meski in orang pesantren. Karena itu, ketika mengulas manusia dan kebudayaan, Asy'arie selalu mengaitkan dan mencarikan referensinya pada Al-Qur'an. Sebagaimana para sarjana Muslim sebelumnya, Al Qur'an memang dipandang bukan sekedar sebagai sumber epistemologis ajaran Islam, tapi juga sebagai sumber inspirasi terutama untuk menuntun manusia agar menjadi khalifah yang memiliki kualitas profetis, sehingga dapat berperan dan meng arahkan jalannya sejarah kearah yang benar; maju dan beradab. Keterlibatan lebih dalam dan intensif Asy'arie UIN Sunan Kalijaga, setelah sebelumnya lebih banyak di luar" mem berikan petunjuk, sepern juga sering disampaikan dalam berbagai kesempatan, dedikasinya untuk mewujudkan manusia yang unggul dan berinartabar yang m salurkan melalui lembaga pendidikan.- Waryono Abdul Ghafur2021-01-14T03:25:11Z2021-01-14T03:25:11Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/41853This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/418532021-01-14T03:25:11ZMakna Mitos-Mitos Budaya pada Masyarakat Muslim di Desa
Tonggara Kecamatan Kedungbanteng Kabupaten TegalDesa Tonggara kecamatan Kedungbanteng kabupaten Tegal merupakan sebuah wilayah yang mana banyak berkembang adanya mitos. Mitos dianggap sebagai sesuatu kisah atau cerita sakral yang berhubungan dengan even pada waktu primodial, waktu permulaan mengacu pada asal mula segala sesuatu dan dewa-dewa sebagai objeknya. Berkembangnya sebuah mitos yang ada di desa Tonggara ini disebabkan karena adanya suatu sebab di antaranya keterbelakangan
penglihatan, pengetahuan, dan hasrat ingin tahu masyarakat begitu besar, sehingga hanya mitoslah jawaban yang mesti dipercaya. Di dalam pokok pembahasan penulis ini mempunyai sebuah perumusan masalah yaitu apa saja bentuk-bentuk mitos-mitos budaya yang berkembang pada masyarakat muslim di desa Tonggara dan bagaimana makna serta dampak
pengaruh mitos-mitos budaya pada masyarakat muslim di desa Tonggara kecamatan Kedungbanteng kabupaten Tegal. Dan dari perumusan masalah tersebut mempunyai sebuah tujuan adalah penulis mempunyai tujuan yaitu untuk mengetahui bentuk-bentuk mitos-mitos budaya pada masyarakat muslim di desa Tonggara dan mengetahui makna serta dampak mitos-mitos budaya pada masyarakat muslim yang ada di desa Tonggara kecamatan Kedungbanteng kabupaten Tegal.
Penelitian ini adalah penelitian lapangan dengan menggunakan metode pengumpulan data, metode pengumpulan data yang digunakan adalah pengamatan
(Observasi), \Vawancara (Interview), dan Angket serta data di analisis dengan pendekatan fenomenologi dan hermeneutik.
Masyarakat desa Tonggara dahulu mempercayai dan meyakini adanya mitos yang ada di sana. Sampai saat ini masyarakat desa Tonggarajuga masih dan tetap meyakini dan mempercayai mitos tersebut. Walaupun penceritaan mitos
tampak absurd, semena-mena dan tidak masuk diakal, akan tetapi mitos telah mempunyai arti tersendiri bagi masyarakat desa Tonggara. Menurut masyarakat desa Tonggara dengan adanya mitos dapat menjadikan desa tersebut menjadi
mempunyai kebiasaan atau budaya yang harus diterapkan di desa Tonggara. Selain itu pula dengan adanya mitos dapat memberi pengetahuan bahwasannya Allah tidak hanya menciptakan manusia, akan tetapi makhluk lain selain manusia
pun atau makhluk ghaib juga telah diciptakan dan berada di sekitar kita. Sehingga dengan demikian manusia dapat menghayati adanya daya-daya kekuatan ghaib tersebut yang ada pada alam semesta ini.02511005 Anis Destyan Rina Prestiwi2020-12-22T07:05:26Z2020-12-22T07:05:26Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/41657This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/416572020-12-22T07:05:26ZK.H. SYAFI’I: KIAI PEJUANG DARI BUARAN
PEKALONGAN (1931-1982 M)Banyak tokoh ulama Indonesia yang memberikan peranan terhadap masyarakat dan perjuangan kemerdekaan Indonesia, salah satunya adalah K.H. Syafi‟i. Syafi‟i lahir di Pekalongan pada tahun 1908. Ia tumbuh pada masa Indonesia sedang dijajah dan gejolak mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Melalui jiwa patriotnya, ia bersama masyarakat, pasukan Hizbullah dan santrinya berhasil mengusir penjajah dari Pekalongan. Masa penjajahan merupakan masa yang sulit bagi masyarakat khususnya Pekalongan dalam mengakses berbagai kegiatan yang ada. Hal ini menjadi latar belakang K.H. Syafi‟i berkontribusi kepada masyarakat agar mengurangi beban yang dialami. Kontribusi yang di lakukan K.H. Syafi‟i yaitu dalam bidang dakwah menjadi kiai dan rujukan masalah bagi masyarakat. Dalam bidang pendidikan mendirikan pondok pesantren al-Qur‟an pertama di Kecamatan Buaran. Dalam bidang ekonomi menjadi salah satu pendiri Koperasi untuk masyarakat. Di bidang politik memprakarsai pemisahan kabupaten Batang dan kabupaten Pekalongan. Dan perjuangannya dalam mengusir Jepang di Pekalongan.
Untuk melihat biografi dan kontribusi K.H. Syafi‟i di Pekalongan, penelitian ini menggunakan pendekatan sejarah dalam menganalisis latar belakang K.H. Syafi‟i yang mempunyai kontribusi besar terhadap masyarakat di Kecamatan Buaran Kota Pekalongan. Teori yang digunakan adalah peranan sosial yang dikemukakan oleh Peter Burke dan teori kepemimpinan yang dikemukakan oleh Max Weber. Penelitian ini dilakukan melalui empat tahapan yakni heuristik, heuristik diperoleh dari sumber lisan dan sumber tertulis. Kedua verifikasi yakni melakukan kritik terhadap sumber yang ditemukan. Ketiga interpretasi yakni menafsirkan fakta-fakta sejarah yang telah ditemukan. Keempat historiografi yakni penulisan sejarah.
Melalui penelitian ini, peneliti merekonstruksi kembali perjalanan hidup K.H. Syafi‟i sejak kelahirannya pada tahun 1908 hingga meninggalnya pada 1982 tetapi, memfokuskan pada tahun 1931 sebagai awal peranannya terhadap masyarakat Pekalongan. Pembahasannya mencakup keluarganya, pendidikan, kepribadian, karirnya dalam masyarakat, hingga wafatnya. Penelitian ini mengisahkan perjuangan sosok K.H. Syafi‟i dalam bidang sosial keagamaan dengan membangun Pondok Pesantren Al-Qur-an Buaran dan memajukan ekonomi masyarakat Buaran dengan mendirikan sebuah koperasi. Perjuangannya dalam mengusir Jepang di Pekalongan juga dibahas dalam penelitian ini.NIM. 15120006 Elok Tri Novianingrum2020-12-22T06:47:13Z2020-12-22T06:47:13Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/41656This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/416562020-12-22T06:47:13ZMESIR DI BAWAH KEKUASAAN NAPOLEON BONAPARTE TAHUN 1798-1801 MPeriodesasi sejarah Islam ditandai dengan adanya zaman kemajuan, kemunduran serta zaman pembaruan. Pembaruan terdapat di dunia Islam salah satunya di Mesir. Pembaruan di Mesir di awali dengan datangnya Napoleon Bonaparte ke daerah tersebut. Pengaruh Ekspedisi Napoleon Bonaparte membawa perubahan yang signifikan bagi umat Islam di Mesir. Napoleon datang ke Mesir tidak hanya sekedar untuk menjajah, tetapi juga untuk memperkenalkan ilmu pengetahuan kepada umat islam di Mesir. Ide-ide yang dibawa Napoleon Bonaparte telah menjadikan cambuk bagi umat Islam di Mesir khususnya bagi para intelektualnya untuk melakukan pembaruan.
Penelitian ini merupakan penelitian sejarah dengan menggunakan pendekatan sosiologi yaitu pendekatan yang mengkaji tentang hubungan sosial antara individu yang satu dengan yang lainnya atau dengan kelompok. Ilmu sosiologi juga digunakan untuk mengetahui sejauh mana peran dan pengaruh dari suatu institusi terhadap perkembangan komunitas yang mengitarinya. Adapun teori yang digunakan untuk rencana penelitian ini adalah teori peranan sosial. Peranan lebih banyak menunjukkan fungsi, penyesuaian diri, dan sebagai suatu proses. Sehingga seseorang menduduki suatu posisi dalam masyarakat serta menjalankan suatu peranan. Adapun teori ini dikembangkan oleh Erving Goffman yang mengatakan peranan sosial didefinisikan dalam pengertian pola-pola atau norma-norma perilaku yang diharapkan dari orang yang menduduki suatu posisi tertentu dalam struktur sosial. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah yang terdiri dari empat tahapan, yaitu Heuristik (pengumpulan sumber), Verifikasi (kritik sumber), Interpretasi (penafsiran), dan Historiografi (penulisan sejarah). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sebagai kebangkitan Islam yang kedua setelah mengalami masa kemunduran dengan dunia Barat.
Kedatangan Napoleon ke Mesir menjadi sebuah peristiwa penting yang menandai sebagai bangkitnya Islam dari ketertinggalannya dengan Bangsa Barat. Meskipun pendudukannya atas Mesir tidak lama, namun dalam ekspedisinya tersebut meninggalkan sebuah pengaruh yang cukup besar bagi masyarakat Mesir. sekalipun kedatangannya ke Mesir mendapatkan serangan penolakan oleh Utsmani dan kaum Mamluk karena mereka menganggap bahwa Napoleon dan para tentaranya merupakan orang kafir dan tidak akan membrikan dampak yang baik bagi masyarakat Mesir. napoleon mendapatkan serangan dari kaum Mamluk dan Turki Utsmani dengan bantuan tentara Inggris. Napoleon meninggalkan Mesir karena terdapatnya sebuah perjanjian yang bernama perjanjian Arish yang dibuat pada Januari 1800 M, namun Napoleon dan bala tentaranya dapat meninggalkan Mesir pada tahun 1801 M karena merupakan kesepakatan dari sebuah perjanjian tersebut bahwa Prancis harus meninggalkan Mesir pada saat itu juga. Pengaruh yang ditinggalkan Napoleon di Mesir sangat besar meskipun pengaruh itu tidak berdapak secara langsung. Pengaruh tersebut baru dirasakan masyarakat Mesir
pada saat Muhammad Ali berkuasa di Mesir. Sebelum datangnya Napoleon Mesir tdiak mengenal percetakan dan penerbitan, mereka menuliskan sejarah para tokoh terdahulu dengan cara ditulis tangan dan tidak diterbitkan, karena pada saat itu beu terdapat percetakan dan penerbitan. Setalah datangnya Napoleon ke Mesir mereka orang-orang Mesir menjadi mengena percetakan dan penerbitan.NIM. 15120005 Meyka Diyah Ayu Anggraini2020-12-22T06:26:58Z2020-12-22T06:26:58Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/41655This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/416552020-12-22T06:26:58ZMAJELIS TABLIGH PIMPINAN WILAYAH
MUHAMMADIYAH (PWM) DIY: PERKEMBANGAN
DAN KONTRIBUSINYA TERHADAP KEHIDUPAN
SOSIAL KEAGAMAAN MASYARAKAT TAHUN 1995-
2015 MMajelis Tabligh Muhammadiyah merupakan salah satu majelis di
Muhammadiyah yang secara khusus bergerak di bidang dakwah. Majelis
yang diresmikan pada tahun 1924 M ini bertugas untuk menyampaikan
hasil dari Putusan Tarjih kepada masyarakat dan menyerukan ajaran Islam
yang sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah Rasul Saw. Pendirian Majelis
Tabligh melalui proses yang cukup panjang. Bermula pada pertemuanpertemuan
yang diadakan pada acara Pengajian Malam Jum’at tahun 1917
M menjadi titik awal bagi perintisan pembentukan Majelis Tabligh. Majelis
Tabligh dalam kurun waktu menuju milenium II, peran serta dan
perkembangan gerakan dakwahnya terus berusaha untuk menyesuaikan
dengan tantangan zaman.
Penelitian ini berupaya melihat perkembangan dan peran serta
Majelis Tabligh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (MT PWM) terhadap
kondisi sosial keagamaan yang ada di Wilayah. MT menggunakan metode
dakwah kultural, bukan berarti melebur begitu saja dengan budaya
masyarakat yang ada namun, metode dakwah yang ada disesuaikan dengan
kondisi masyarakat yang ada. Gerakan dakwah Islam yang dilakukan oleh
MT PWM DIY melalui Gerakan Jamaah Dakwah Jamaah (GJDJ), Mubalig
Hijrah dan lain-lain menjadi ciri yang membedakan gerakan dakwah
Muhammadiyah dengan gerakan dakwah lainnya. Segala problematika
yang terdapat di masyarakat pada tahun tersebut dapat menjadi gambaran
bagi pemetaan dan pembentukan inovasi baru untuk menyebarkan dakwah
Islam di berbagai kalangan dan zaman.
Penelitian ini menggabungkan antara library research dan field
research dengan menggunakan pendekatan sosiologi dan teori evolusi
sosial universal yang dikemukakan oleh Herbert Spencer dan teori
struktural fungsional Talcott Parsons sebagai alat analisis penelitian ini.
Selain itu, peneliti menggunakan metode sejarah yang meliputi heuristik,
verifikasi, interpretasi, dan historiografi sehingga dapat membantu dalam
mengungkap peristiwa secara kronologis, sistematis, serta sesuai dengan
fakta sejarah.NIM. 14120090 Muslihatu Nurul ‘Iffah2020-12-22T06:21:03Z2020-12-22T06:21:03Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/41654This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/416542020-12-22T06:21:03ZH. MUHAMMAD ARIF ULAMA DAN PANGLIMA PERANG
DARI KLENDER JAKARTA TIMUR
1916-1981 MH. Muhammad Arif dilahirkan di Jakarta pada tahun 1886 dan ayahnya bernama H. Kurdin, sedangkan ibunya bernama Hj. Nyai. Ia mengumpulkan para tokoh, pemuda dan jagoan yang tersebar di Klender dan sekitarnya. Di antara mereka yang ikut bergabung adalah H. Hasbullah (Kakak dari KH. Hasbiyallah) dan KH. Mursyidi. Mereka terlibat dalam pertempuran di beberapa front di kota Jakarta. H. Muhammad Arif sendiri saat itu dijuluki "Panglima Perang dari Klender". Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan peran-peran H. Muhammad Arif sebagai ulama, jawara dan panglima perang selama masa hidupnya.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode sejarah. Metode yang digunakan adalah metode sejarah yang meliputi heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi sehingga diperoleh uraian peristiwa yang kronologis dan sistematis dan sesuai dengan fakta sejarah. Adapun pendekatan yang digunakan adalah pendekatan biografi. Penggunaan pendekatan ini dimaksudkan untuk memahami dan mendalami kepribadian H. Muhammad Arif berdasarkan latar belakang lingkungan sosial kultural dimana tokoh tersebut dibesarkan. Teori yang digunakan adalah teori strategi menurut Tjipto yang diartikan sebagai suatu rencana untuk pembagian dan penggunaan kekuatan militer dan material pada daerah-daerah tertentu untuk mencapai tujuan tertentu.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa H. Muhammad Arif berperan dalam meningkatkan keimanan dan patriotisme di Klender. Setiap malam Jumat ia mengadakan wiridan, yasinan dan tahlilan di rumahnya. Ia memimpin pasukannya untuk melawan penjajah yang ingin menguasai kembali Indonesia. Walaupun ia merupakan rakyat biasa yang tidak memiliki pendidikan formal maupun pendidikan politik, namun dapat memimpin rakyat Klender untuk ikut mempertahankan wilayahnya dan membuat Klender menjadi salah satu tempat pertahananan yang kuat. H. Muhammad Arif menjadi tokoh yang sampai dicari pihak musuh untuk bisa ditangkap, diharapkan akhirnya nanti dapat memadamkan semangat berjuang para pengikutnya.NIM. 14120066 SURYO GUMILAR WICAKSONO2020-11-22T04:36:53Z2020-12-31T15:43:31Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/41306This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/413062020-11-22T04:36:53ZDAMPAK STRATEGI BERTAHAN HIDUP TERHADAP AKTIVITAS KEAGAMAAN RUMAH TANGGA PETANI (Studi Perubahan Sosial di Desa MertapadaBerlangsungnya kegiatan pembangunan dan modernisasi di pedesaan mendorong terjadinya perubahan sosial secara dramatis dan masif Memilih secara dramatis dan masif berarti sebagian besar orang di desa akan mengikuti proses perubahan sosial tersebut seperti berpindah pekerjaan dari sektor pertanian ke sektor lainnya. Akan tetapi di sisi lain, ada sebagian orang di desa yang tetap bertahan pada pekerjaan lamanya, yaitu bertan. Dalam hal ini, sebagian orang tersebut mempunyai strategi tersendiri dalam merespon proses perubahan sosial Dari bagaimana sebagian orang tersebut menangani masalah yang muncul akibat perubahan sosial sampai bagaimana sebagian orang tersebut bertahan dalam kehidupannya sehari-hari, Duantaia yang masih terlihat bertahan terhadap perubahan sosial dan mempunyai strategi tersendiri adalah para rumah tangga petani di Desa Mertapada Wetan, Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Berangkat dari alasan tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami gambaran strateg bertahan hidup (survival strategy) rumah tangga petani terhadap perubahan sosial di Desa Mertapada Wetan serta dampaknya terhadap aktivitas keagamaan. Jenis metode penelitian ini adalah penelitian deskriptif-analitik, yaitu penelitian yang menyajikan gambaran yang lengkap mengenai setting sosial dan hubungan hubungan yang terdapat dalam penelitian. Tehnik pengumpulan data yang dipergunakan pada riset ini adalah tehnik observasi dan wawancara terpimpin. Hasil kajian menemukan gejala sebagai berikut, yaitu petani di Desa Mertapada Wetan mengupayakan strategi dalam bertahan hidup atau menyelesaikan masalah rumah tangga antara lain: (a). Mengoptimalisasi Sumber Daya Manusia (SDM) di dalam satu rumah tangga, (b). Melakukan penghematan terhadap pengeluaran anggaran rumah langga, dan (e). Memanfaatkan jaringan sosial dan keagamaan yang terdapat di Desa Mertapada Wetan. Sedangkan untuk jawaban yang kedua adalah strategi bertahan hidup terhadap aktivitas keagamaan berdampak positif bagi sebagian besar rumah tangga petani di Desa Mertapada Wetan karena para petani dapat mengambil manfaat Yakni, memanfaatkan jaringan yang melakukan aktifitas keagamaan, berupa pengajian berkala, untuk saling tolong-menolong dalam permasalalan rumah tangga.NIM. 00540109 Moh. Eko Tamlikho2020-11-19T15:40:43Z2020-12-31T09:03:20Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/41293This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/412932020-11-19T15:40:43ZKEBUDAYAAN DAN AGAMA DALAM KONTEKS INDONESIA MENURUT MUSA ASY'ARIEJudul penelitian ini adalah Kebudayaan dan Agama Dalam Konteks Indonesia Menurut Musa Asy'aric. Pokok pembahasan dalam penulisan ini terfokus pada bagaimana konsep kebudayaan menurut Musa Asy'arie, serta bagaimana hubungan antara konsep kebudayaan menurut Musa Asy'arie dengan doktrin agama. Adapun tujuan penulisan ini adalah, berusaha mengetahui secara pasti tentang bagaimana konsep kebudayaan menurut Musa Asy'arie, serta hubungan antara kebudayaan dan agama menurut Musa Asy'arie. Sumber data yang digunakan dalam penulisan ini terbagi menjadi dua yakni primer dan sekunder. Data primer yang digunakan adalah tulisan Musa Asy'arie tentang kebudayaan dan agama dalam buku Manusia Pembentuk Kebudayaan Dalam Alquran. Adapun data sekunder adalah tulisan Musa yang terkait dengan tema pembahasan serta buku-buku lain yang relevan dengan penulisan ini. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan ini adalah literatur-research, yakni penulisan yang terfokus pada satu data primer, adapun data sekunder digunakan sebagai pendukung Pendekatan yang digunakan adalah deskriptif-analitis dengan paradigma logis. Objek penelitian ini adalah kebudayaan menurut Musa Asy'arie, adapun teknik yang digunakan dalam pembahasan ini menggunakan metode analisis data dan interpretasi data. Dalam konteks al-Qur'an menurut Musa Asy'arie, kebudayaan merupakan aktifitas manusia yang disebut sebagai amal dalam mewujudkan eksistensi kemanusiaannya. Manusia sebagai pembentuk kebudayaan berperan sebagai khalifah-abd sekaligus insan-basyar, Dalam kebudayaan manusia mempunyai hubungan kreatif etis dengan Tuhan. Agama mengajarkan pada manusia untuk melakukan perbuatan baik, dengan demikian agama memberikan motivasi pada manusia dalam melakukan aktifitasnya, sekaligus sebagai landasan pokok dalam aktifitas budaya. Dengan amal manusia telah membentuk kebudayaan, dalam aktifitas budaya inilah kualitas manusia dapat diuji sebagai khalifah sekaligus sebagai abd. Hubungan kreatif-etis antara manusia dengan Tuhan dalam kebudayaan membentuk ciri khusus pada manusia sebagai teo-antroposentris yang menunjukkan keterikatan teratur antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam, dimana kesemuanya melekat erat pada mekanisme kerja akal. Mekanisme kerja akal merupakan kerjasama aktif antara kerja otak dan hati nurani atau qalbu.NIM. 00520404 Umar Faruq2020-10-06T02:20:37Z2020-10-06T02:20:48Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/38578This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/385782020-10-06T02:20:37ZPERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP
CIPTAAN MOTIF BATIK YANG BELUM TERCATAT
HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL
DI KABUPATEN GUNUNGKIDULABSTRAK
Batik merupakan salah satu kekayaan budaya Indonesia yang
dikenal dan diakui dunia. Di Kabupaten Gunungkidul terdapat salah
satu motif yang terkenal yaitu motif batik Manding. Motif batik
tersebut menggambarkan tentang suatu desa yang ada di Kabupaten
Gunungkidul yaitu Desa Kepek. Namun sampai saat ini motif batik
tersebut belum tercatat dalam Hak Cipta. Mengingat perkembangan
dunia saat ini mengikuti arus globalisasi yang di tandai dengan
kemajuan di bidang teknologi, informasi, komunikasi dan transpotasi
yang mendorong kegiatan ekonomi dan perdagangan yang sebagai
berasal dari produk kekayaan intelektual manusia salah satunya yaitu
karya cipta yang semakin meningkat. Berbagai upaya Pemerintah
Indonesia dilakukan untuk menggalakkan perlindungan Hak
Kekayaan Intelektual salah satunya dengan membenahi aturan
hukum dibidang hak cipta agar dapat mencegah terjadinya
pelanggaran hak cipta. Oleh karena itu perlu adanya upaya dari
Pemerintah dalam rangka perlindungan hukum terhadap ciptaan
motif batik yang belum tercatat di Kabupaten Gunungkidul.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian lapangan (field
research) yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti
secara langsung di lapangan untuk memperoleh data primer. Bahan
primer dari penelitian ini diperoleh langsung dengan cara wawancara
penyusun kepada beberapa narasumber yang terkait dengan objek
penelitian. Penelitian ini memiliki sifat deskripti analitik, yaitu
penelitian yang datanya diperoleh dengan cara mendeskripsikan
masalah melalui pengumpulan, penyusunan, dan penggalian data
kemudian dijelaskan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa motif batik Manding
dapat dikategorikan dalam perlindungan HKI karena motif tersebut
sudah memenuhi unsur-unsur yang dibutuhkan yaitu, adanya
ornamen utama; ornamen isian; dan ornamen pengisi bidang. Adapun
beberapa upaya dan solusi yang dilakukan oleh Pemerintah
khususnya dalam rangka perlindungan motif batik di Kabupaten
Gunungkidul yang belum tercatat yaitu dengan mendirikan suatu
lembaga independen yang bernama Dewan Kerajinan Nasional
(Dekranas) yang ada ditingkat nasional serta Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) yang berada ditingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota. Lembaga tersebut berfungsi sebagai wadah dalam melestarikan, mengembangkan dan untuk memfasilitasi kepada pengrajin untuk perlindungan Hak Kekayaan Intelektual dalam ruang lingkup merek, desain, hak cipta, dan indikasi geografis yang tentunya dalam hal ini yang dilindungi adalah ciptaan motif batik Manding yang dilakukan oleh Dekranasda Kabupaten Gunungkidul. Namun ada beberapa hambatan yang dialami oleh para pencipta/pengrajin batik untuk mencatatkan karya ciptanya antara lain: kurangnya pengetahuan di bidang hak cipta; kurangnya kesadaran hukum; dan kemampuan keuangan. Sehingga perlu adanya perhatian yang lebih lagi dari Pemerintah khusunya dalam bidang hak cipta.15340039 FUAD ARY DWI TANTO2020-09-04T05:56:54Z2020-09-04T05:57:03Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/38343This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/383432020-09-04T05:56:54ZNILAI-NILAI KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER DALAM KISAH PEREMPUAN DALAM AL-QUR’ANABSTRAK
Banyaknya penafsiran yang bias terhadap posisi dan hak-hak perempuan
berimbas kepada pemahaman terhadap posisi perempuan dalam masyarakat.
Pemahaman tersebut termanifestasikan dalam perlakuan sehari-hari yang jauh dari
nilai keadilan dan kesetaraan. Berdasarkan latar belakang tersebut, tesis ini
mencoba menggali nilai-nilai keadilan dan kesetaraan yang terdapat dalam kisahkisah
perempuan dalam Al-Qu‟an. Penelitian ini penulis batasi ke dalam sepuluh
tokoh perempuan, yaitu Hawa, Ibunda Nabi Musa, Istri Abu Lahab, Istri Nabi
Nuh dan Nabi Luth, Khaulah bint Tsa‟labah, Maryam, Ratu Balqis, Siti Asiyah,
dan Zulaikha. Oleh karena itu, penelitian ini memiliki rumusan masalah, 1)
bagaimana kisah-kisah perempuan dalam Al-Qur‟an di deskripsikan, 2)
bagaimana nilai-nilai kesetaraan dan keadilan dalam kisah-kisah perempuan
dalam Al-Qur‟an, 3) bagaimana relevansi nilai-nilai kesetaraan dan keadilan
dalam berbagai aspek kehidupan masa kini.
Untuk menjawab rumusan masalah tersebut, penulis menggunakan teori
gender untuk menganalisanya. Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, yang
data-datamya berasal dari ayat-ayat Al-Qur‟an yang berkaitan dengan tema
tersebut, kitab-kitab tafsir dan berbagai buku yang mendukung, sehingga di akhir
tulisan ini penulis bisa menyimpulkan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan yang
terkandung dan aplikasinya.
Hasil penelitian ini menemukan bahwa dari sepuluh kisah tersebut bisa
dibagi menjadi tiga jenis kisah, yaitu kisah yang mengandung nilai kesetaraan
sebagaimana dalam kisah Hawa, Ratu Balqis, ibunda Nabi Musa, Zulaikha dan
Maryam. Kedua adalah kisah terkait peran seorang perempuan sebagai istri,
bahwa seorang perempuan memiliki hak untuk menentukan pilihan hidup dan
keimanannya, sebagaimana dalam kisah istri Nabi Luth dan Nabi Nuh, istri
Fir‟aun dan istri Abu Lahab. Hubungan darah, kekerabatan ataupun pernikahan
tidak dapat memberikan perubahan tanpa hidayah dari Allah. Terakhir adalah
kisah yang mengandung nilai keadilan, nilai tersebut bisa dilihat dalam kisah
Khaulah bint Tsa‟labah. Dalam kisah tersebut Allah memberikan keadilan dalam
bidang hukum sebaik-baiknya tanpa memandang perbedaan gender. Ketika
suaminya berbuat salah maka harus ada konsekuensi yang diterimanya. Nilai-nilai
tersebut bisa diaplikasikan dalam kehidupan masa kini, seperti dalam aspek rumah
tangga, kesetaraan harus ditegakkan sesuai dengan tugas, hak dan kewajiban
masing-masing, sehingga tidak ada lagi superioritas antara satu anggota keluarga
dengan anggota lainnya. Nilai keadilan juga bisa ditegakkan dalam aspek hukum,
baik hukum agama maupun hukum negara. Diharapkan tidak ada lagi diskriminasi
berdasarkan gender. Dalam aspek karir, perempuan juga memiliki hak-hak yang
sama untuk berkiprah dalam beragai bidang, seperti politik, pendidika dan
ekonomi. Nilai-nilai dari kisah tersebut juga bisa diaplikasikan dalam aspek
kepemimpinan, Ratu Balqis telah menjadi contoh bahwa perempuan juga mampu
menjadi pemimpin yang bijaksana, adil dan cerdas.NIM: 17205010075 Layyinatus Sifa2020-08-19T06:29:54Z2020-08-19T06:30:01Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/38307This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/383072020-08-19T06:29:54ZRELASI MAHASISWA MINORITAS MUSLIM
DAN KALANGAN MAYORITAS KRISTEN
DI UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA YOGYAKARTAvii
ABSTRAK
Latar belakang penelitian ini adalah betapa problematis dan dilematisnya pertemuan antara mayoritas dan minoritas. Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta merupakan kampus yang di dalamnya terdapat mahasiswa dari berbagai kelompok agama termasuk mahasiswa Muslim. Skripsi ini membahas keragaman dan keharmonisan antara mayoritas yang beragama Kristen dan minoritas mahasiswa Muslim baik dalam beragama maupun dalam kehidupan sosial khususnya ketika berada di kampus. Istilah mayoritas dan minoritas sendiri sering dipahami hanya berdasarkan populasi, akan tetapi kedua istilah itu lebih jauh lagi mengandung sebuah makna yang sangat besar yakni apakah ada perbedaan prioritas atau diskriminasi.
Penelitian ini menggunakan pendekatan Sosiologis, pendekatan sosiologis ini digunakan untuk memahami hubungan antara komunitas agama dan kehidupan sosial maupun sebaliknya. Subjek penelitian dalam skripsi ini adalah mahasiswa dan objeknya kampus. Narasumber yang diambil sebagai sampel penelitian ini diambil menggunakan teknik purposive sampling. Purposive sampling yaitu narasumber diambil dari subjek yang mengetahui, memahami, dan mengalami langsung keadaan dan situasi di Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta, yaitu mahasiswa minoritas Muslim dan mayoritas Kristen. Teknik pengumpulan data menggunakan observasi, wawancara dan dokumentasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa respon mayoritas Kristen terhadap keberadaan minoritas mahasiswa Muslim, seperti tidak adanya peraturan yang berbeda, mengizinkan mahasiswa Muslim untuk melaksanakan sholat meskipun perkuliahan tetap dilanjutkan, diberikan ruang khusus ketika komunitas mahasiswa Muslim mengadakan kegiatan, mata kuliah Pendidikan Agama Kristen diubah menjadi pendidikan berbasis multikultural. Adapun relasi antara mayoritas Kristen dan minoritas mahasiswa Muslim yaitu adanya dialog antara komunitas keagamaan dan saling menghargai perbedaan serta bekerjasama dalam kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh komunitas.NIM. 15520032 Muh. Yasir Ibrahim2020-08-19T01:29:32Z2020-08-19T01:29:32Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/40397This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/403972020-08-19T01:29:32ZKARAKTERISTIK ORANG SUNDA DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN BUDAYA LOKALDewasa ini masyarakat Sunda pada umumnya adalah pemeluk agama Islam, meskipun keagamaan mereka tidak terbebas sama sekali dari adat istiadat dan budaya lama.Sebagian besar kehidupan religi dan sosial-budaya yang terpantul dalam perkembangannya sekarang dapat dikatakan sebagai hasil proses akulturasi antara budaya asli dengan budaya asing. Secara historis, pengaruh budaya asing datang pertama kali dari ajaran Hindu dan Budha, yang berkembang pada masa pemerintahan kerajaan Pajajaran antara abad V sampai abad XVI Masehi. Sesudah itu datang pengaruh ajaran Islam di tatar Sunda, yang pengaruh budayanya mulai terlembaga sejak penghujung abad XVI.Sumber-sumber tradisi menyebutkan bahwa penyebaran pengaruh agama Islam di daerah ini seiring dengan pengaruh kerajaan Islam Demak, Cirebon, dan Mataram.Penyebaran Islam lebih luas dapat merambah berbagai lapisan masyarakat, terutama atas aktivitas dakwah Sunan Gunung Jati setelah ia melepaskan jabatan Susuhunan Cirebon kepada putranya Pangeran Pasarean pada tahun 1528. Semenjak itu pula Islam telah mempengaruhi pola budaya penduduk PasundanAbdurrahman Dudung2020-07-08T04:23:41Z2020-07-08T04:23:48Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/38050This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/380502020-07-08T04:23:41ZTHE WESTERN STEREOTYPES TO THE EASTERN IN MUSLIM COUNTRIES AS DEPICTED IN ZERO DARK THIRTY (2012)Zero Dark Thirty (2012) is a film that recounts a long-term journey of the West, particularly America, pursuing Osama bin Laden in the Eastern countries, most of which are populated by Muslim and are assumed to have relation with al-Qaeda. This film portrays the Eastern, specifically Pakistan and Afghanistan, as the countries associated with terrorism. Moreover, Pakistan is also portrayed as an underdeveloped country either in intelligence, in economy, or in technology. This portrayal is clearly different from Kuwait, a country in West Asia, which is portrayed as a more developed country intelligently, economically and technologically. Even so, Kuwait is still under-controlled by America through its money. The West portrays the East in such a way to show that Western identities are superior and civilized. The researcher is interested in analyzing further about this film because it relates to the issue of Orientalism where the West are portrayed to be more powerful, civilized, and advanced. This study uses a qualitative research and applies the theory of orientalism by Edward Said to analyze how the Western culture forms the Eastern identity through the portrayal and stereotypes of the East. This research also uses film theory by Amy Villarejo to strengthen the portrayal of the West and the East. The result of this research shows that the West form their own stereotypes as a superior and civilized nation. Through these negative stereotypes of the East, which are often related to terrorism, the Eastern are also seen as the countries that are underdeveloped either in intelligence, in economy, or in technology.
Keyword: West, East, terrorism, orientalism, superior, civilized
vi
THE WESTERN STEREOTYPES TO THE EASTERN IN MUSLIM COUNTRIES AS DEPICTED IN ZERO DARK THIRTY (2012)
By: Eliyawati
ABSTRAK
Zero Dark Thirty (2012) adalah film yang menceritakan perjalanan panjang Barat khususnya Amerika, untuk menemukan Osama bin laden pemimpin al-Qaeda di negara-negara Timur, yang memiliki mayoritas penduduk muslim yang diasumsikan berkaitan dengan al-Qaeda. Film ini menggambarkan Timur, khususnya Pakistan dan Afganistan sebagai negara yang erat kaitanya dengan terorisme. Selain itu, Pakistan juga digambarkan sebagai negara terbelakang secara kecerdasan, ekonomi, dan teknologi. Penggambaran ini jelas berbeda dengan Kuwait, sebuah Negara di Asia Barat, digambarkan maju secara kecerdasan, ekonomi dan teknologi namun dapat dikontrol Amerika melalui uang yang dimilikinya. Barat menggambarkan timur sedemikian rupa untuk menunjukkan identitas Barat yang berkuasa dan beradab. Peneliti tertarik untuk menganalisis lebih lanjut film ini karena terkait isu Orientalism yang menunjukkan bahwa Barat lebih berkuasa, beradab, dan maju. Penelitian ini adalah penelitian qualitatif yang menggunakan teori orientalisme yang diusung oleh Edward Said untuk melihat cara Barat membentuk identitas berdasarkan penggambaran dan stereotype timur. Penelitian ini juga menggunakan teori film oleh Amy Villarjo untuk memperkuat penggambaran Barat dan Timur secara visual. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Barat membentuk streotip sebagai negara yang unggul dan beradab. Dengan menciptakan stereotip negatif terhadap Timur yang sering dikaitan dengan terorisme dan dinilai sebagai negara yang terbelakang baik secara pemikiran, ekonomi, maupun teknologi.
Keywords: Timur, Barat, terorisme, orientalisme, superior dan beradabNIM. 15150028 ELIYAWATI2020-06-15T06:16:00Z2020-06-15T06:17:13Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/37865This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/378652020-06-15T06:16:00ZPENDIDIKAN AKHLAK DALAM BUDAYA LOKAL “NGASA” PADA MASYARAKAT KAMPUNG BUDAYA JALAWASTU DESA CISEUREUH BREBESABSTRAK WILDANI KUSHUMAH AULIA. Implementasi Pendekatan Saintifik Model Kecakapan Abad 21 Kurikulum 2013 Edidi Revisi 2017 Dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (Pai) Di Sma Negeri 1 Kalasan.Skripsi. Yogyakarta: Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 2019.Latar belakang penelitian ini adalah kecakapan abad 21 merupakan keterampilan yang sesungguhnya ingin dituju dengan kurikulum 2013, bukan sekedar transfer materi saja tetapi juga pembentukan 4C. Jika konsep ini bisa dijalankan dan para siswa Indonesia terbekali dengan keutamaan-keutamaan tersebut, maka permasalahn pendidikan di Indonesia dapat terselesaikan. Namun konsep yang baik tidak mudah diimplementasikan dengan baik. Untuk itu maka penerapan kecakapan abad 21 perubahan dari kurukilum 2013 edisi revisi ini menarik untuk dibahas. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana implementasi kecakapan abad 21 dalam pembelajaran PAI dan hasil dari penerapannya. Penelitian ini merupakan jenis penelitian lapangan (field research) yang pengumpulan datanya dilakukan di lapangan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Metode yang digunakan adalah metode observasi, wawancara, dan dokumentasi. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan analisis deskriptif. Adapun aktivitas dalam analisis data yaitu: reduksi data (data reduction), penyajian data (data display), dan conclusion drawing/verivication. Objek penelitian dalam skripsi ini adalah guru dan siswa kelas VII SMPN 1 Kalasan. Hasil penelitian menunjukkan: 1) Implementasi kecakapan abad 21 di SMP 1 Kalasan dilaksanakan dengan baik. Terlihat dalam: (a) RPP yang disusun guru PAI sudah mencakup hal-hal yang harus ada dalam RPP, yaitu menggunakan pendekatan saintifik dan mengintegrasikannya dengan kecakapan abad 21. Dapat dilihat dari kegiatan inti pembelajaran pencakup 5M, yaitu mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, mengolah informasi, dan mengomunikasikan. Kemudian diintegrasikan dengan kecakapan abad 21 yaitu kecakapan berfikir kritis, kecakapan berkolaborasi, kecakapan berkreasi dan kecakapan berkomunikasi. (b) Pembelajaran mampu memfasilitasi peserta didik untuk menungkan ide-ide baik lisan dan tuisan. Dan proses pembelajaran yang dikembangkanpun berfokus pada sumber daya siswa, strategi dan konteksnya sesuai dengan kehidupan siswa, maka tingkat kerjasama dan komunikasi lebih berkembang, ketrampilan berfikir kritis dan komunikasi lebih meningkat. 2) Hasil Implementasi kecakapan abad 21 dalam pembelajaran PAI adalah peserta didik terfasilits menggunakan kemampuan yang dimilikinya untuk berusaha mengamati dengan baik, melakukan analisa, dan menyelesaikan permasalahan. Peserta didik mampu beradaptasi dalam berbagai peran dan tanggungjawab serta bekerjasama secara produktif dengan yang lain. Dengan menggunakan pembelajaran berbasis proyek, siswa mampu mengembangkan, melaksanakan dan menyampaikan gagasannya secara tulisan dengan mengemukakan ide-ide kreatif secara konseptual.14410133 Wildani Kushumah Auliya2020-06-10T03:32:47Z2020-06-10T03:32:47Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/39484This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/394842020-06-10T03:32:47ZDinamika Kebudayaan dan Problem Kebangsaan : Kado 60 Tahun Musa Asy’arielhamdulillah, segala pujian dan panjat syukur semata
Allah-lah yng berhak memilikinya. Tuhan pemiliki
segala kemuliaan telah melimpahkan keselamatan
dan kesejahteraan kepada para utusan-Nya, kepada umat
manusia yang menyatakan patuh kepadan-Nya secara tulus dan
mewujudkannya dalam komitmen yang kuat pada
pemberdayaan umat manusia dan kemanusiaan.
Buku yang ada di tangan pembaca, sesungguhnya merupakan
suatu bentuk syukur persembahan Prof. Dr. H. Musa
Asy‘arie diusia yang ke-60 tahun di tahun 2011, dengan
mengajak para intelektual dan praktisi yang memiliki kegelisahan
mendalam atas persoalan-persoalan kebudayaan dan
kebangsaan berkontribusi memberikan jawaban-jawaban atas
persoalan-persoalan tersebut yang diekspresikannya dalam
wujud karya. Komitmen tinggi bang Musa (red. nama panggilan
kesayangan para murid dan kolega Beliau) terhadap persoalanpersoalan
tersebut, meliputi persoalan pendidikan, filsafat,
agama, ekonomi, politik, kemiskinan, dan kebudayaan selama
vi
Dinamika Kebudayaan dan Problem Kebangsaan
Kado 60 Tahun Musa Asy’arie
ini mewujud dalam karya nyata sebagai seorang Akademisi,
Pengusaha dan Birokrat.
Percikan-percikan pemikiran dalam buku ini merupakan
rangkaian pemikiran yang terbagi menjadi tiga bagian. Bagian
pertama: Agama, Radikalisme dan problem Kebudayaan,
meliputi kajian agama yang ditulis oleh Abdul Munir Mulkhan
yang membicarakan tentang dialektika agama dan kebudayaan
bagi pembebasan. Kontekstualisasinya dengan pemikiran Musa
Asy‘arie terletak pada semangat dan ruh atas keprihatinannya
pada bangsa. Menurut Musa, sebagaimana dijelaskan dalam
buku Dialektika Agama untuk Pembebasan Spiritual (2002),
menegaskan bahwa sejarah agama pada hakikatnya lahir untuk
pembebasan dari penderitaan, penindasan kekuasaan sang tiran
untuk kedamaian hidup. Agama Islam dan juga agama-agama
yang berpusat pada Ibrahim lainnya (Abrahamic Religions) seperti
Kristen dan Yahudi, bahkan juga Budha, Hindhu dan
Konghucu, semuanya untuk manusia, agar dapat berdiri bebas
di hadapan Tuhannya secara benar, yang diaktualisasikan
dengan taat kepada hukum-Nya, saling menyayangi dengan
sesama, bertindak adil dan menjaga diri, dari perbuatan yang
tidak baik serta perintah taqwa. Semua pesan sentral dari
adanya pembebasan itu, disampaikan secara jelas dalam kitab
suci masing-masing agama, baik Alquran, Injil, Taurat bahkan
juga Wedha dan kitab suci yang lainnya lagi, yang sarat dengan
ajaran ketuhanan, moralitas dari kemanusiaan yang universal.
Musa Asy‘arie meyakini, bahwa “berpikir ibu kandung
perbuatan”. Kaitannya dengan pikiran Haryatmoko tentang
vii
Dinamika Kebudayaan dan Problem Kebangsaan
Kado 60 Tahun Musa Asy’arie
kapitalisme baru memacu radikalisme, Musa menegaskan,
sebagaimana dijelaskan dalam buku Islam, Etos Kerja dan
Pemberdayaan Ekonomi Umat (1997), bahwa ekonomi yang
berkeadilan mampu menutup kantung-kantung konflik pada
masyarakat kalangan bawah khususnya, sehingga penting
kiranya menjadikan etos kerja merupakan semangat bekerja
atau berkarya yang tinggi. Bekerja pada hakikatnya merupakan
proses membangun suatu kepribadian. Melalui bekerja
seseorang membangun pribadinya, untuk memperkokoh peran
kemanusiaannya dalam realitas kehidupan sosial. Dalam tahap
ini bekerja menjadi proses pembebasan dan peneguhan kemanusiaan,
yaitu untuk mengembangkan pribadinya secara
optimal, menjelajahi medan pengembangan kreatif yang tidak
pernah kering, dengan membuka usaha terus-menerus untuk
menciptakan dan memperluas lapangan pekerjaan, sebagai
pancaran kekayaan spiritualitas dari etos kerjanya, dalam
kedalaman penguasaan dirinya yang bermuatan cahaya Ilahi.
Jika seseorang memiliki etos kerja tinggi di dalam mengerjakan
sesuatu, terlebih tidak terjebak dalam arus permainan kapitalisme,
maka radikalisme cenderung kesulitan menemukan polapola
rekruitmen di dalam memanfaatkan titik lemah.
Bagaimanapun, kapitalisme dan radikalisme telah menjadi
kebudayaan tersendiri. Di sini menjadi penting memperhatikan
entitas minoritas masyarakat kita di display di wilayah publik,
agar diketahui pokok permasalahannya. Sebab, menurut
Koeswinarno yang menulis tentang dekonstruksi dan representasi
kebudayaan pada entitas minoritas, bahwa
kebudayaan adalah menafsirkan simbol-simbol yang hidup
viii
Dinamika Kebudayaan dan Problem Kebangsaan
Kado 60 Tahun Musa Asy’arie
dalam masyarakat.
Bagian kedua: Filsafat, Pendidikan dan Kesejahteraan
Rakyat, diawali tulisan St. Sunardi yang mendiskusikan tentang
dua jalan sosialisme dan reformasi moral-intelektual: Gramsci
dan Musollini. Sejatinya, moral-intelektual merupakan suatu
pra-syarat yang mesti diperjuangkan dalam ranah apapun,
terlebih dalam dunia pendidikan. Konteksnya dengan
pemikiran Musa Asy‘arie tentang pendidikan kita anti realitas
(Kompas, 2002), pada hakikatnya, ilmu merupakan obyektivikasi
intelek terhadap realitas yang ditangkap dalam suatu momen
kehidupan tertentu, baik ruang maupun waktu, yang diabstraksikan
melalui logika dan diformulasikan menjadi
rumusan dalil atau teori. Pada tahap ini harus dipahami, realitas
yang ditangkap intelek itu berubah terus, dinamis dan bersifat
terbatas, baik dari sudut waktu, ruang, maupun bidangnya.
Suatu teori bersifat sementara, sebab realitas yang dicerapnya
selalu dalam keadaan berubah, sehingga validitasnya bersifat
sementara pula. Karena itu, yang lebih diperlukan bukan menghapal
teori-teori, tetapi pemahaman yang tepat terhadap realitas
itu sendiri, agar tidak terjadi kecenderungan menghapal teoriteori
tentang realitas, sementara realitasnya sendiri sudah berubah,
sehingga tidak memadai untuk mengatasi realitas yang ada.
Pada umumnya kita masih melihat kenyataan bahwa
dunia pendidikan sekolah kita masih mengajarkan teori-teori
belaka, tanpa memberi kesempatan kreatif untuk bergumul
dan memahami realitas secara intensif. Celakanya, ketika teori
itu diajarkan ternyata sudah tertinggal, karena realitasnya telah
ix
Dinamika Kebudayaan dan Problem Kebangsaan
Kado 60 Tahun Musa Asy’arie
berubah. Akibatnya, ketika mereka menyelesaikan pendidikannya,
mereka sama sekali tidak mengenali realitas yang ada di
sekitarnya. Dalam keadaan demikian, respons mereka terhadap
realitas pasti menjadi kosong, karena hakikat realitas itu tak
pernah masuk dalam alam sadar pikirannya. Tidak heran bila
kita melihat seseorang yang telah menyelesaikan studinya, maka
habislah ilmu yang dihapalkan, sebab ilmunya tidak terkait sama
sekali dengan realitas yang dihadapinya. Mereka hanya
mendapatkan secarik kertas berupa ijazah atau sertifikat tanda
tamat tanpa penguasaan terhadap ilmunya itu sendiri.
Pendidikan kita sebenarnya kurang memberi ilmu sebagai
suatu proses, tetapi hanya ilmu sebagai produk, dengan
memindahkan teori-teori para ilmuwan ke pikiran anak didik
untuk dihafalkan. Masalah, bagaimana ilmuwan itu melahirkan
teori-teorinya, tidak pernah dapat dimengerti secara benar.
Kegalauan intelektual yang mendorong seorang ilmuwan
melakukan pergumulan dengan realitas melalui berbagai pendekatan,
metodologi, dan pengujian untuk dapat mengungkapkan
fakta dan kebenaran di balik suatu realitas, tidak pernah
menggugah kesadaran pikiran anak didik. Kaitan dengan
konteks tersebut di atas, Agus Nuryatno menulis pendidikan
emansipatif-pluralis: mengkaji pemikiran pendidikan Musa
Asy‘arie, yang memiliki spirit dan ruh yang sama sebagai suatu
kegelisahan atas realita dunia pendidikan dewasa ini. Bagian
kedua ini diakhiri tulisan Muhammad tentang tatanan ekonomi
kesejahteraan di Indonesia perspektif Ekonomi Islam.
Berbicara soal ekonomi kesejahteraan, buku berjudul Islam,
Etos Kerja dan Pemberdayaan Ekonomi Umat (1997) menjelaskan
x
Dinamika Kebudayaan dan Problem Kebangsaan
Kado 60 Tahun Musa Asy’arie
bahwa dalam ekonomi Islam dikenal beberapa prinsip, yaitu
pertama, pemilikan yang terbatas dan tidak mutlak. Artinya,
pemilikan harta dan kekayaan oleh setiap individu adalah
pemilikan yang bersifat relatif, terbatas dan sementara
sepanjang kehidupannya di dunia saja, sebab pemilik mutlak
adalah Tuhan sendiri, dan kekayaan yang diperoleh setiap
individu pada dasarnya tidak pernah dapat dilepaskan dari
keterlibatan orang lain di dalamnya, seperti untuk menjadi
pintar, diperlukan proses belajar yang melibatkan orang lain,
yaitu guru dan teman belajar. Untuk menciptakan sesuatu,
diperlukan bantuan orang lain untuk menyediakan sarana yang
diperlukan, seperti peralatan dan teknologi, dan untuk membangun
perusahaan yang maju, diperlukan karyawan yang
kreatif, jujur dan berpengalaman. Kesuksesan yang diraih
seseorang pada dasarnya bukan kesuksesan sendiri saja, sebab
di dalamnya melibatkan banyak orang yang ikut andil dalam
membantu mewujudkan kesuksesan itu, baik secara langsung
ataupun tidak langsung. Kedua, ekonomi Islam adalah ekonomi
yang berbasis pada prinsip keadilan, baik dalam hal pemilikan,
pembagian kuntungan, maupun tanggung jawab sosial. Prinsip
keadilan itu tampak pada penjelasan Alquran surat Al-An’am
ayat 152 yang mengatakan: “Dan sempurnakanlah takaran dan
timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada
seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dan
apabila mereka berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil,
kendatipun dia adalah kerabatmu, dan penuhilah janji Allah
yang diperintahkan Allah kepadamu, agar kamu selalu ingat.”
xi
Dinamika Kebudayaan dan Problem Kebangsaan
Kado 60 Tahun Musa Asy’arie
Bagian Ketiga: Politik dan Problem Kebangsaan, diawali
tulisan Moch. Nur Ichwan tentang rethinking al-Amr bi l-Ma‘ruf
wa n-Nahy ‘an al-Munkar: etika politik dalam bingkai post-Islamisme.
Kontekstualisasinya dengan pikiran Musa Asy’arie dapat
kita temukan dalam buku Dialektika Agama untuk Pembebasan
Spiritual (2002), yang menjelaskan bahwa dalam bahasa Arab,
al-ma’ruf artinya yang sudah dikenal semua orang sebagai hal
yang baik dan semua orang menerimanya, seperti menghormati
orang tua atau gurunya, sedangkan al-munkar adalah sesuatu
yang semua orang menolaknya, seperti menyakiti ibunya atau
anaknya. Tidak pandang agamanya, suku dan ideologi politiknya,
semua akan menolak al-munkar. Dengan kata lain, kebaikan
dan kemungkaran yang ditegaskan al-Qur’an sebagai bagian
dari kemitmen rakyat yang berada di jalan yang benar, yaitu
komitmen untuk mengajak dan melakukan kebaikan, al-ma’ruf
dan mencegah dan menolak kejahatan, al-munkar yang semuanya
itu bersifat universal. Oleh karena itu, ungkapan “suara
rakyat adalah suara Tuhan” harus dipahamim dalam konteks
moralitas. artinya sepanjang rakyat itu berada dalam komitmen
dan koridor moral atau akhlakul-karimah. Sebaliknya jika
rakyat berada di jalan yang tak benar yaitu melawan al-ma’ruf
dan melakukan al-munkar, maka rakyat yang demikian berlawanan
dengan moralitas universal, dan karenanya bukan suara
Tuhan. Dalam tahap ini, maka harus ada kekuatan dari dalam
rakyat itu sendiri yang selalu mengingatkan dan menyadarkan
terhadap nilai-nilai moralitas universal itu, sehingga kekuatan
rakyat dapat diarahkan untuk tujuan-tujuan yang sesuai dengan
moralitas universal itu. Jika tidak, rakyat itu sendiri yang secara
xii
Dinamika Kebudayaan dan Problem Kebangsaan
Kado 60 Tahun Musa Asy’arie
keseluruhan akan rugi dan jatuh.
Berbeda halnya dengan yang terjadi di Timur Tengah,
soal moralitas dan kekuatan rakyat. Menurut tulisan Sidik
jatmika tentang kepepimpinan Arab, ada apa denganmu?
Bahwa penghujung akhir tahun 2011 ini merupakan tahun
buram bagi rakyat Timur Tengah di bawah kepemimpinan
Arab. Lihat saja, bagaimana seorang presiden mempertahankan
kekuasaannya sampai berdarah-darah meski sudah diambil
alih rakyat secara berdarah-darah pula. Lihat Muammar
Khaddafi, Pemimpin Besar Revolusi Rakyat yang telah
memimpin Libya selama 42 tahun (1969-2011) akhirnya tewas
dengan cara tragis setelah ditembak kepala dan kedua kakinya.
Saat ditemukan hidup-hidup oleh pasukan oleh pasukan
pemberontak yang tergabung dalam Dewan Transisi Nasional
(NTC), ia tengah bersembunyi di sebuah lubang di bawah
tanah dan sempat memohon, “Jangan tembak! Jangan
tembak!”. Penembakan terhadap Khaddafi terjadi tidak lama
setelah kejatuhan Sirte ke tangan tentara revolusioner. Nasib
Khaddafi kian tragis, karena jenazahnya pun tidak diperlakukan
dengan layak. Dalam kondisi yang hampir membusuk setelah
hampir sepekan dipamerkan di sebuah pasar di Sirte, akhirnya
jenazah mantan pemimpin Libya Muammar Khaddafy dimakamkan
dalam sebuah upacara sederhana di padang gurun
yang dirahasiakan. Tragedi Khaddafi telah memperpanjang
deretan kisah tragis yang menimpa beberapa pemimpin Arab
pada abad ke-21. Sebelumnya, nasib serupa menimpa Presiden
Tunisia Zine Al-Abidine Ben Ali. Pemimpin yang telah
berkuasa 23 tahun itu, akibat Revolusi Yasmin akhirnya
xiii
Dinamika Kebudayaan dan Problem Kebangsaan
Kado 60 Tahun Musa Asy’arie
melarikan diri ke luar negeri pada tanggal 14 Januari 2010.
Hal serupa juga terjadi pada Presiden Mesir Husni Mubarak.
Setelah kuwalahan menghadapi demonstrasi rakyat selama 18
hari, akhirnya Presiden Mubarak mundur pada tanggal 11
Februari 2011 dan kemudian diadili.
Memahami konteks tulisan tersebut, penting kiranya
melihat tulisan Musa Asy‘arie dalam buku Keluar dari Krisis Multi
Dimensi (2001). Menurutnya, kekuasaan yang menanggung
masalah kemanusiaan berdarah-darah, diakibatkan oleh
banyaknya permasalahan yang melanda negeri. Bagi Musa,
langkah teknis penyelesaiannya adalah memahami masalah dari
multi dimensional. Artinya, melihat dan memahami masalah
dari berbagai sudut pandang. Dengan demikian, maka masalah
dapat diurai dan persoalan pun dapat diselesaikan.
Bagian ini diakhiri tulisan Zuly Qodir tentang kemiskinan
sebagai problem struktural, membangun keberpihakan pada
kaum mustad‘afien. Masalah kemiskinan, Musa Asy‘arie memahami
dari sisi berbeda. Baginya, sesungguhnya masalah
kemiskinan bukanlah masalah ekonomi semata-mata, tapi
bersifat multidimensi, bersentuhan dengan berbagai dimensi
kehidupan manusia, baik sosial, politik, budaya maupun agama.
Oleh karena itu, masalah kemiskinan tak mungkin dapat
diselesaikan hanya dengan menggunakan pendekatan tunggal
(ekonomi), melainkan harus memperhatikan berbagai aspek
lainnya tersebut. Nabi Muhammad saw. dalam sebuah hadisnya
menyatakan, kada al-faqru an-yakuna kufran, hampir-hampir
kemiskinan menjadikan kekufuran. Kiranya hadis ini dapat
xiv
Dinamika Kebudayaan dan Problem Kebangsaan
Kado 60 Tahun Musa Asy’arie
dimaklumi, karena dalam banyak fenomena kehidupan sosial,
kemiskinan sering kali mendorong seseorang untuk melakukan
kejahatan. Seorang pencuri melakukan tindakan pencurian tidak
jarang karena tidak lagi pekerjaan produktif yang tidak dapat
dilakukan, sementara beban hidup yang dia tanggung semakin
berat saja. Pun seorang pelacur, dia melacurkan diri tidak
jarang karena alasan ekonomi, lagi-lagi masalah kemiskinan.
Nabi Muhammad saw., juga menegaskan, yadu al-ulya
khairun min-yadi al-sufla, tangan di atas lebih baik daripada
tangan di bawah. Dengan kata lain memberi lebih baik daripada
meminta. Dalam konteks ekonomi, hadis ini menyiratkan
bahwa untuk dapat memberikan sesuatu, maka ia harus mempunyai
kemampuan dan memiliki sesuatu itu, yang akan
diberikan pada orang lain, baik berupa kekayaan maupun yang
lainnya. Dengan demikian,kekayaan sesungguhnya dapat
dipandang sebagai sesuatu yang lebih baik daripada kemiskinan.
Pada dasarnya, etika berkaitan dengan perbuatan sadar
manusia. Sehingga, pandangan etika itu tidak dapat menggeser
keabsahan pernyataan bahwa kekayaan lebih baik daripada
kemiskinan, karena etika selamanya hanya berkaitan dengan
perbuatan manusia yang dilakukan dengan sadar.
Terima kasih kami sampaikan kepada seluruh Tim-
Kreatif yang telah tulus ikhlas menyukseskan acara mensyukuri
kelahiran Prof. Dr. H. Musa Asy‘arie yang ke-60 tahun,
Padepokan Musa Asy‘arie, para penulis, para guru, dan kolega
serta seluruh relasi yang tak dapat kami sebutkan satu persatu.
Hanya satu kata terucap tulus Jazakallah khairan katsira. Semoga
Allah Swt membalas kebaikan kita semua. Amien.
xv
Dinamika Kebudayaan dan Problem Kebangsaan
Kado 60 Tahun Musa Asy’arie
Semoga kehidupan bang Musa Asy‘arie dan keluarga
senantiasa diberkati Allah swt. Perjalanannya senantiasa diiringi
gemuruh orkestra takbir dan tahmid di alam ‘Arsy. Barakallu
lakum.
Potorono, 14 Desember 2011
Andy Dermawan- ANDY DERMAWAN2020-06-08T05:42:53Z2020-06-08T05:42:53Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/39470This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/394702020-06-08T05:42:53ZUnsur-unsur Budaya Jawa dalam Kitab Tafsir al-Ibriz
Karya KH. Bisri MustofaKajian tentang al-Qur‘an tidak hanya berusaha mengungkapkan makna yang ada di dalamnya, namun juga memiliki kaitan erat dengan realitas yang ada pada masyarakat, salah satunya budaya yang melingkupinya. Dengan adanya kaitan erat ini, dapat membawa pengaruh yang signifikan terhadap penafsiran al-Qur‘an. Pengaruh ini terlihat dari tafsir al-Ibri<z karya KH. Bisri Mustofa. Di dalam kitab tafsir al-Ibri<z banyak mengandung budaya Jawa yang menarik. Ia menafsirkan al-Qur‘an dengan tidak lepas dari kebiasaan masyarakat Jawa, sehingga dalam menjelaskan suatu ayat memiliki bentuk dan cara yang beragam. Unsur-unsur budaya yang ada di dalamnya beragam. Salah satunya yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat, yaitu sistem religi dan upacara keagamaan.
Penelitian ini merupakan penelitian library research. Adapun pengumpulan datanya menggunakan metode kualitatif dengan menganalisis data terkait ayat-ayat yang mengandung budaya Jawa berupa sistem religi dan upacara keagamaan dalam tafsir al-Ibri<z karya KH. Bisri Mustofa serta mengumpulkan data yang relevan pada kitab, buku, jurnal, maupun artikel yang terkait. Sehingga dari sini dapat diperoleh permasalahan apa unsur-unsur budaya Jawa dalam kitab tafsir al-Ibri<z dan apa latar belakang KH. Bisri Mustofa menafsirkan al-Qur‘an dengan memunculkan budaya Jawa.
Dari permasalahan tersebut dapat diperoleh hasil bahwa unsur-unsur budaya Jawa di dalam kitab tafsir al-Ibri<z berupa sistem religi dan upacara keagamaan, diantaranya yang mengandung sistem religi yaitu kepercayaan terhadap mahluk gaib, dan mahluk supranatural, kemudian upacara keagamaan yang dapat ditemukan di dalamnya diantaranya tahlil, selamatan ambengan dan mitoni, serta ziarah kubur. Adapun KH. Bisri Mustofa memunculkan budaya Jawa tersebut dikarenakan ia berasal dari Jawa yang berusaha menafsirkan al-Qur‘an sesuai realitas masyarakat Jawa, selain itu agar mempermudah para audiens yang mendengarkan untuk memahami al-Qur‘an dengan cara yang sederhana.NIM. 16530039 Ari Hidayaturrohmah2020-02-03T01:36:56Z2020-02-03T01:36:56Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/37910This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/379102020-02-03T01:36:56ZMerekonstruksi Teori Pendidikan dalam Budaya JawaMeskipun uraian-uraian dalam buku ini mungkin belum tuntas dan menyeluruh dalam membicarakan bangunan teoritis pendidikan Islam di kalangan masyarakat Jawa, namun setidaknya bisa menjadi pemicu lahirnya kajian-kajian sejenis yang lebih baik dan komprehensif. Satu hal yang perlu dicatat di sini adalah keunikan budaya Jawa dalam bidang pendidikan yang antara lain ditandai dengan munculnya konsep-konsep khas Jawa yang me-
miliki kedalaman makna. Istilah “ngelmu” untuk merujuk pada proses mencari dan menguasai ilmu pengetahuan, ternyata harus bersanding dengan konsep “laku”, yang kemudian melahirkan sebuah “teori” bahwa “ngelmu iku kelakone kanthi laku” yang artinya “mencari ilmu itu tidak akan pernah berhasil jika tidak disertai dengan usaha lahir dan batin. Konsep ini mengandung makna dan bukti empiris yang tak terbantahkan. Hampir bisa dipastikan semua orang yang sukses dalam dunia ilmu pengetahuan pernah mengalami pahit getir dan keprihatinan ketika menuntut ilmu. Justru karena pengalaman yang penuh dengan keprihatinan tersebut maka ilmu yang mereka miliki dapat meresap dalam kalbu dan bermanfaat bagi dirinya maupun orang lain.
Begitu juga dengan aneka ragam metode atau cara yang digunakan oleh orang Jawa dalam mendidik. Ternyata orang Jawa sangat kreatif dalam menciptakan sarana dan cara untuk mendidik putra-putri mereka. Penggunaan tembang dan dolanan sebagai strategi dalam mendidik putra-putri mereka menunjukkan bahwa orang Jawa lebih maju dibandingkan para ahli pendidikan modern. Seperti diketahui bahwa konsep learning by doing
baru muncul sekitar satu abad yang lalu sementara tembang dan dolanan sudah dipraktekkan oleh orang Jawa sejak era wali songo sekitar abad 16 Masehi. Lebih dari itu, orang Jawa memang tidak bisa dilepaskan dari dunia spiritual oleh karena itu sangat wajar jika konsep-konsep pendidikan yang terdapat di kalangan masyarakat Jawa juga penuh warna spiritual. Itulah sebabnya tujuan pendidikan dalam perspektif budaya Jawa tidak hanya sekedar mengantarkan manusia menuju kedewasaan, tetapi lebih dari itu
yakni mengantarkan manusia Jawa memahami filosofi tentang asal usul kehidupan yang tercermin dalam konsep Sangkan-paraning dumadi. Mereka yang telah memahami konsep tersebut diharapkan bisa menjadi manusia paripurna yang mampu “Urip sak jroning mati dan mati sajroning urip”.
Orang Jawa juga terbiasa mengawasi dan mengamati kejadian-kejadian yang ada di alam semesta melalui kegiatan yang disebut niteni yang kemudian melahirkan ilmu titen.
Kegiatan niteni ini sesungguhnya memiliki kesamaan dengan konsep
pengamatan menurut perspektif empirisme-positivistik. Jika di dunia Barat empirisme-positivistik melahirkan banyak ilmu pengetahuan empiri, di Jawa kegiatan niteni melahirkan kebijaksanaan dalam membaca tanda-tanda alam semesta. Disinilah letak persimpangan jalannya. Empirisme melahirkan manusia-manusia rasional, sementara konsep niteni melahirkan manusia-manusia Jawa yang tanggap ing sasmita atau peka terhadap tanda-tanda alam dilihat dari perspektif spiritual.Abdul Munip2019-07-29T02:21:47Z2019-07-29T02:22:55Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/35785This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/357852019-07-29T02:21:47ZNilai budaya egaliter jawa dalam pembagian harta bersama di pengadilan agama bantul yogyakartaLATIFAH SETYAWATIAlimatul Qibtiyah2019-07-26T06:55:14Z2019-07-26T07:33:34Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/36135This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/361352019-07-26T06:55:14ZActivities of Netizens on Social Media
and Religious Spirituality of Indonesian
Millennials in the Era of New MediaRecent studies indicate that the rise of internet-based new media has altered the spiritual and religious
experiences of individuals who are active on the internet (netizens), particularly those belonging to the millennial
generation. This article explores various concepts on the relations between new media, netizens, spirituality, and
religion. Specifically, it discusses and describes the activities of netizens in Indonesia in the era of new media and the
varying tendencies of changes that ensue. This article also explains that religious spirituality in the era of new media in
Indonesia has been marked by hoaxes and hate speech in the religious sector. The variety of hoaxes and hate speech
found in the field of religion have subsequently spread to numerous social media channels. The context of this study will
consequently have implications regarding the reduction of religious authority. Additionally, it may also imply the
diminishing interest of people in spirituality and spiritualists. This is due to the fact that in the current era of new media,
spirituality, and spiritualists can be openly debated, tested, and disputed by netizens from the millennial generation.
Additionally, religious spiritual practices can also be ridiculed, discredited, harassed, and even hated. Within the
millennial generation, in today’s era of new media, religious spirituality has become more raucous and obscure due to
the aggressive nature of netizens’ activities.
Keywords: Netizen, Social Media, Religious Spirituality, Millennial, New Media, Hoax, Hate SpeechISWANDI SYAHPUTRA2019-04-08T04:19:13Z2019-04-08T04:19:13Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/34410This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/344102019-04-08T04:19:13ZKUASA SENSOR TERHADAP SASTRA MESIR
(Pembacaan Diskursus atas Novel Suqu>t} al-‘Ima>m Karya Nawal al-Sa‘da>wi>)Novel “Suqut} al-Ima>m” karya Nawal al-Sa’da>wi> terbit tahun 1987.
Setahun setelah terbit, kelompok Islam militan bereaksi dengan menuduhnya
bid’ah yang kemudian menghalalkan darahnya. Tahun 2004 giliran otoritas al-
Azhar melalui Majma’ al-Buhu>ts al-Isla>miyah melarang novel ini beredar.
Kendati kedua praktik sensor ini terjadi pada masa Mubarak, namun, rentan waktu
dan kelompok berbeda yang melarang membuat kemenarikkan untuk
mengelaborasi diskursus sensor Mesir dalam pelarangan novel tersebut. Latar
belakang ini membuat penulis mengajukan tiga pertanyaan: (1) konstruksi wacana
dalam novel; (2) diskursus praktik sensor terhadap novel; serta (3) kuasa-wacana
dalam praktik sensor tersebut.
Kajian ini merupakan pembacaan diskursus novel “Suqut} al-Ima>m”
menggunakan metode Foucauldian dengan pendekatan analisis wacana kritis.
Penelitian ini dilakukan dengan dua tahap. Langkah pertama melakukan
pembacaan tektual ke dalam novel dengan menggunakan teori naratologi,
kemudian dilanjutkan dengan pembacaan ke luar novel dengan menggunakan
teori arkeologi dan genealogi Foucault.
Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa pembacaan pertama menghasilkan
tiga klasifikasi wacana dalam novel, yaitu wacana tabu dalam ranah politik,
agama serta seksualitas. Sementara, pembacaan arkeologis menunjukkan, bahwa
inklusi dan eksklusi wacana pada masa Mubarak menghasilkan jaringan kuasa
Islamis yang sama-sama mendorong praktik sensor Mesir dilakukan. Kemudian,
pembacaan genealogis menunjukkan bahwa praktik sensor tersebut tidak hanya
dilatari oleh kuasa Islamis dengan tujuan normalisasi wacana, namun juga
memperlihatkan produksi wacana lain seperti jaringan kuasa, lahirnya wacana
perempuan, ambiguitas sensor, politik autentisitas, kuasa patriarkis, serta otosensor
(self-censorship).NIM. 16201010015 Drei Herba Ta’abudi2019-03-21T08:01:31Z2019-03-21T08:01:31Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/33608This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/336082019-03-21T08:01:31ZTALIWANGKE DALAM PENANGGALAN ABOGE DAN
PENGARUHNYA TERHADAP KEBERAGAMAAN MUSLIM DI DESA
BANYUURIP, KEC. PANCUR, KAB. REMBANGSiklus kehidupan masyarakat Jawa penuh dengan nilai-nilai dan norma-norma
kehidupan yang tumbuh secara turun temurun. Nilai dan norma muncul lataran
manusia mencari keseimbangan dalam tatanan kehidupan. Kedua hal tersebut
dibentuk sesuai dengan kebutuhan masyarakat hingga muncul adat-istiadat yang
kemudian mewujud sebagai budaya. Budaya berkembang sesuai dengan nilai dan
norma yang ada tidak mudah dihapuskan. Sebaliknya, kebudayaan ini mengakar
dihati masyarakat dan terus berkembang sesuai dengan zaman. Bagi orang Jawa
Hidup adalah cara untuk memilih baik dan buruk. Budaya lama dipalikasikan dalam
kehidupan lantaran terdapat pesan dan aturan-aturan yang baik untuk menapaki
hidup. Masyarakat Jawa menjadikan budaya sebagai alat untuk mencari keuntungan
dalam melaksanakan pekerjaan tertentu. Ketergantungan masyarakat terhadap budaya
Jawa (pétungan) seakan tidak bisa dihilangkan meskipun ditengah terpaan berbagai
kebudayaan baru. Karena didalamnya terkandung harapan agar segala hajat
dilingkupi keselamatan dan keselamatan, dengan kata lain budaya merupakan bentuk
verbal dari panjatan doa.
Penelitian ini bersifat penelitian lapangan dengan mengambil studi
masyarakat muslim Aboge di desa Banyuurip Kec. Pancur Kab. Rembang.
Sedangkan metode yang dipakai adalah fenomenologi-etnografi yang berupaya
membedah masyarakat muslim Aboge dalam bertindak dan kemudian dicarikan asalusul
pengetahuan dan nilai pembangunnya.
Hasil penelitian ini memperoleh jawaban, pertama selain untuk melestarikan
budaya kepercayaan terhadap hari taliwangke dilandasi oleh rasa percaya kepada halhal
yang bersifat ghaib. Kedua kebudayaan yang berkembang merupakan alat untuk
manembah (mendekatkan diri) kepada Tuhan Yang Esa. Ketiga, budaya juga
merupakan alat untuk menjalankan misi keagamaan (dakwah). Kempat, agar tidak
ada gesekan antara agama dan budaya, keduanya harus saling melengkapi dan
memberi makna. Agama bukanlah wadah yang digunakan untuk menampung budaya
yang telah berkembang, melainkan sebuah zat (benda) yang mampu melebur dan
menyatu dengan adat istiadat setempat. Pada akhirnya penyatuan antara budaya dan
agama membentuk sebuah fenomena baru dengan bentuk yang berbeda (lebih arif dan
penuh makna). Bagaikan dua sisi mata uang, agama dan budaya tidak bisa dipisahkan
antara satu dengan lainnya. Keduanya harus menyatu meskipun memiliki warna yang
berbeda.NIM: 11520020 AFRONJI2019-03-21T06:52:06Z2019-03-21T06:52:06Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/34018This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/340182019-03-21T06:52:06ZPENGELOLAAN PROGRAM JOGJA SEJAHTERA PADA BADAN
AMIL ZAKAT NASIONAL (BAZNAS)
KOTA YOGYAKARTA TAHUN 2017Dalam suatu organisasi, kegiatan pengelolaan program secara ejektif
dan e.flsien sangat berperan penting. Terutama pada program yang sedang
dijalankan. Pengelolaan terhadap program yang di jalankan pada suatu
organisasi secara baik, akan berpengaruh pada beijalanannya program tmtuk
kedepannya. Oleh karena itu, penerapan pengelolaan dalam suatu program
yang dijalankan suatu organjsasi harus dipersiapkan dengan matang, seperti
pengambilan keputusan dan pemberian pertimbangan agar dapat menentukarJ
kualitas dan mengetahui pencapaian tujuan dari organisasi maupun program
yang dijalankan oleh organisasi tersebut.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif Pengumpulan data
menggunakan interview, observasi dan dokumentasi yaitu mencarai data
berupa dokumen dan makalah tentang BAZN AS Kota Yogyakarta.
Hasil dari penelitian yang dilakukan menunjukkan: 1) Pengelolaan
program pada proses input yaitu pengelolaan pada sumber daya yang ada, baik
sumber daya manusia, sumber daya modal dan lainnya. Pada program Jogja
sejahtera proses input dilakukan dengan baik hanya saja ada beberapa sasaran
yang kurang tepat sehingga usahanya banyak yang tidak jalan. 2) perencanaan
program Jogja sejahtera talmn 2017 di buat dengan konsep yang matang dan
dengan persiapan-persiapan yang sangat baik. Dimulai dari konsep persiapan
tim, rekruitment sampai ke pendampingan pada program Jogja sejahtera. 3)
pengorganisasian pada program Jogja sejahtera sudah sangat jelas. Dilihat dari
tugas-tugas tim pelaksana yang menjalankan t~gasnya sesuai dengan job
masing-masing. Ada koordinator sebagai penanggtmg jawab, ada bagian
adrninistrasi yang mengurus semua urusan pemberkasan mustahiq, dan bagian
lapangan yang terjun kelokasi usaha-usaha mustahiq. 4) penggerakan atau
motivating pada program Jogja sejahtera selalu diberikan oleh BAZNAS dalam
bentuk ceramah dengan cara mendatangkan pemateri. Tujuananya agar dapat
menumbuhkan rasa religitts yang tinggi dan kesadaran dalam diri mustahiq. 5)
pembinaan pada program Jogja sejahtera di la.kllkan dengan cara memberi
bimbingan satu minggu sekali pada mustahiq. Dehgan materi yang sesuai
dengan kwikulum yang telah disusun. 6) basil dari evaluasi program Jogja
sejahtera sudah mencapai tahap sukses. Keberhasilan dari program Jogja
sejahtera bisa di lihat dari usaha mustahiq yang beijalan melebiill 50% atau
lebih dari separuh. Pencaian tujuan belum berhasill, yaitu menjadikan mustahiq
sebagai muzakki baru sampai pada tahap rnunfik. 7) Output dari program ini
yaitu usaha mustahiq masih berjalan dengan· baik dan menghasilan mustahiq
yang handal dalam usaha. Mustahiq yang sudal1 betinf'!q dan ada juga mustahiq
yang berkurban.NIM. 15240065 Riska Putri Utami2019-01-10T06:37:32Z2019-01-10T06:37:32Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/32346This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/323462019-01-10T06:37:32ZUsing religion and culture to fight terrorism: lessons from the
Philippine militaryThe Philippine government is recruiting Muslims into the military in an attempt to counter terrorism
through a mixture of religious and security approaches.
The Philippines faces increasing security pressure since the rise of the Maute, a terrorist group
affiliated with IS (Islamic State), in Marawi city. The group in May last year laid siege to Marawi, the
capital of the Muslim majority Lanao del Sur province on Mindanao Island in the southern
Philippines. A fivemonth
armed conflict ensued, displacing thousands. More than 520 members of
the terrorist group and 122 Philippine soldiers were killed.
The Philippine government has declared that the Maute leadership has disintegrated. But it is still
possible that their dormant cells will rally together.
I study terrorism in Southeast Asia and have been looking into Philippine government policy in
countering terrorism. Recruitment of Muslims into the military might be the strategy most likely to
make Muslim communities accept a military presence where most of the population sympathises
with the militantsBayu Mitra Adhyatma Kusuma2019-01-10T06:33:47Z2019-01-10T06:33:47Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/32345This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/323452019-01-10T06:33:47ZMenggunakan agama dan budaya untuk melawan teroris:
belajar dari militer FilipinaMenggunakan agama dan budaya untuk melawan teroris:
belajar dari militer Filipina. Ancaman keamanan Filipina semakin meningkat setelah munculnya Maute,
kelompok teroris yang berafiliasi dengan IS (Islamic State), di Marawi. Kelompok itu
pada Mei tahun lalu mengepung Marawi, ibu kota provinsi Lanao del Sur di Pulau
Mindanao, bagian selatan Filipina yang mayoritas penduduknya muslim. Konflik bersenjata selama lima bulan terjadi di kota tersebut dan membuat ribuan
orang mengungsi. Lebih dari 520 anggota kelompok teroris tewas, sementara dari
pihak tentara Filipina tercatat 122 serdadu terbunuh.
Pemerintah Filipina memang telah menyatakan bahwa kepemimpinan Maute telah
hancur. Tapi, masih sangat mungkin kelompok teroris itu akan menghimpun
kekuatan dan bangkit kembali.Bayu Mitra Adhyatma Kusuma2018-11-08T08:31:02Z2018-11-08T08:31:10Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/30625This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/306252018-11-08T08:31:02ZTIPOLOGI DAN STRATEGI KEPEMIMPINAN NYAI DALAM
MEMELIHARA TRADISI KAJIAN KITAB KUNING DI PESANTREN
MA’HAD ALY NURUL JADID PROBOLINGGO JAWA TIMURViki Amalia. TIPOLOGI DAN STRATEGI KEPEMIMPINAN
NYAI DALAM MEMELIHARA TRADISI KAJIAN KITAB KUNING DI
PESANTREN MA‟HAD ALY NURUL JADID PROBOLINGGO JAWA
TIMUR. Program Studi Manajemen Pendidikan Islam Fakultas Tarbiyah
dan Keguruan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta 2018.
Pondok pesantren merupakan suatu lembaga pendidikan tradisional
yang sangat identik dengan kepemimpinan seorang Kiai dan dengan kajian
kitab kuning di dalamnya. Namun, dewasa ini terdapat pula pondok
pesantren yang diasuh dan dipimpin langsung oleh seorang Nyai. Hal
tersebut menimbulkan semacam “kontradiksi”, jika mengingat kenyataan
bahwa dari materi yang bersumber dari kajian kitab kuning, seringkali
didapati pemahaman bahwasanya derajat perempuan lebih rendah dari lakilaki,
termasuk di antaranya pemahaman bahwa perempuan tidak selayaknya
menjadi pemimpin selama masih ada kaum laki-laki. Salah satu contoh
lembaga yang dipimpin oleh seorang Nyai yaitu Ma‟had „Aly Nurul Jadid,
suatu lembaga setaraf perguruan tinggi yang didirikan di bawah naungan
Pondok Pesantren Nurul Jadid. Tujuan utama didirikannya lembaga ini
adalah untuk memfasilitasi para santri yang ingin memperdalam kajian kitab
kuning. Di dalam penelitian ini, peneliti mengkaji tentang bagaimana
tipologi kepemimpinan nyai di pondok pesantren Ma‟had Aly Nurul Jadid,
serta bagaimana cara nyai memelihara tradisi kajian kitab kuning di pondok
pesantren tersebut.
Penelitian ini bersifat kualitatif dengan pendekatan naturalistik.
Selain dilakukan dengan pengamatan lapangan (Observasi), dokumentasi,
pengumpulan data dalam penelitian ini juga dilakukan dengan wawancara
yang melibatkan beberapa subjek yang terkait, antara lain: KH. Romzi Al-
Amiri Mannan dan Ny. Hj. Nur Lathifah Wafi, serta beberapa musyrif,
pengurus harian dan santriwan/santriwati di Ma‟had „Aly Nurul Jadid
Probolinggo. Validasi data dalam penelitian ini menggunakan triangulasi
sumber. Tehnik analisis data melalui reduksi data, display data dan
pengambilan kesimpulan.
Hasil penelitian ini adalah: (1) Tipe kepemimpinan Nyai Nur Latifah
di Pesantren Ma‟had „Aly Nurul Jadid Probolinggo adalah Demokratis dan
Karismatik; (2) Faktor pendukung dan penghambat kepemimpinan nyai
dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal seperti dukungan majelis
keluarga sebagai faktor pendukung, dan multi peran nyai sebagai faktor
penghambat; (3) Nyai Nur Lathifah menerapkan teori Strategi J.Salusu yaitu
Strategi functional manajemen yang mencakup fungsi manajemen yaitu
implementating, planning, controlling, organizing, staffing, leading,
communicating, motivating, decision making, dan integrating.NIM: 14490056 VIKI AMALIAhttp://digilib.uin-suka.ac.id/30609/1.hassmallThumbnailVersion/cover_issue_199_en_US.jpg2018-11-06T09:03:48Z2018-11-06T09:04:01Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/30609This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/306092018-11-06T09:03:48ZPENDIDIKAN DAMAI:
Upaya Mencegah Budaya Anarkisme PendidikanKekerasan merupakan bentuk hegemonik dalam segala aspek
kehidupan politik, ekonomi, sosial, hukum dan budaya. Hegemoni
dalam pendidikan disebabkan oleh proses dehumanisasi
dari substansi dan metode pembelajaran. Metode pengajaran
yang berlangsung selama ini dilakukan dengan pendekatan
pedagogi atau seorang guru, menjadi figur yang sempurna
(mengetahui tentang banyak hal) dan siswa hanyalah obyek.
Tindakan ini disebut kekerasan pendidikan. Kekerasan ini dapat
merusak kepribadian. Tulisan ini mendiskusikan tentang
upaya mencegah kekerasan yang terjadi dalam pendidikan
melalui pendidikan damai.Muh Syamsuddinhttp://digilib.uin-suka.ac.id/31256/1.hassmallThumbnailVersion/Sampul%20Membangun%20Konsep%20Toleransi%20Beragama.jpg2018-10-24T02:33:14Z2018-11-06T02:39:58Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/31256This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/312562018-10-24T02:33:14ZMembangun Konsep Toleransi BeragamaPenelitian ini tidak bisa berjalan dengan sempurna
tanpa adanya dukungan dari berbagai pihak terutama dari
Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Dirjen Pendidikan
Islam khususnya subdit penelitian Kemenag RI. Begitu
juga dukungan dari instuti tempat penulis bekerja yakni
di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta khususnya di Fakultas
Ilmu Sosial dan Humaniora.. Mustadin2018-01-31T02:38:43Z2018-01-31T02:38:43Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/29222This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/292222018-01-31T02:38:43ZMengambil Hikmah
Perbedaan AgamaEkspektasi buku ini adalah: dengan
membaca sejarah panjang keragaman
iman dan ide di berbagai zaman dan budaya,
arogansi iman yang egosentris bisa
dipupus. Bahwa sedalam apa pun keyakinan
kita, hanyalah salah satu dari
sekian banyak eksperimen menempuh
jalan kebenaran.
Al Makin memotret asal-usul perbedaan
dari tiga sudut pandang: pertanyaan-
pertanyaan abadi umat manusia, kotakota
penting dalam peradaban, dan tradisi
pemikiran. Tiga tema ini ia tarik mundur
ke masa-masa kuno, dan melintang
ke berbagai wilayah dari Timur Tengah
sampai Indonesia.Arif Maftuhin2023-07-18T01:28:34Z2023-07-18T01:30:21Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/6510This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/65102023-07-18T01:28:34ZAKULTURASI ISLAM DAN BUDAYA LOKAL DALAM TRADISI SURAN DI DESA BANYURADEN, KEC. GAMPING, KABUPATEN SLEMANABSTRAK Tradisi Suran adalah salah satu bagian dari upacara adat yang diwariskan secara turun temurun. Tradisi Suran ini diselenggarakan setiap tahun sekali pada tanggal 7 Sura, tepatnya saat tengah malam menjelang tanggal 8 Sura yang berpusat di dusun Modinan. Alasan waktu dan tempat pelaksanaan di dusun Modinan adalah untuk menghormati arwah leluhur yaitu Ki Demang Cakradikrama. Hal yang menarik dari tradisi Suran ini, yaitu adanya akulturasi Islam dan budaya lokal yang digambarkan melalui pelaksanaan ritual tradisi Suran. Poses pelaksanaan itu diawali dengan pembagian kendhi ijo kepada warga masyarakat di sekitar tempat upacara, ziarah (nyekar) yang sebelumnya dilakukan do'a bersama terlebih dahulu,wilujengan dan yang menjadi acara puncaknya adalah pembacaan shalawatan. Pembacaan shalawatan itu dilakuakan sampai menjelang pagi. Pada tengah malam tepatnya pukul 00.00 WIB saat shalawatan mencapai srokal, dilakukan mandi di sumur tempat dahulu pernah dipakai Ki Demang. Upacara mandi ini dimulai dari keturunan Ki Demang dengan anak cucunya, kemudian diikuti oleh seluruh anggota trah dan dilanjutkan dengan warga masyarakat pada umum yang ingin ngalap berkah.
Tradisi Suran menarik untuk diteliti kerena beberapa masalah yang ada di dalamnya. Di antaranya Bagaimana proses akulturasi Islam dan budaya lokal dalam tradisi Suran? Bagaimana bentuk akulturasi Islam dan budaya lokal dalam tradisi Suran? Dan bagaimana respon masyarakat terhadap akulturasi Isalm dan budaya lokal dalam tradisi Suran. Penelitian ini mengambil lokasi di desa Banyuraden, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman. Penelitian ini menggunakan teori akulturasi yang dipelopori oleh J. Powell yaitu bertujuan untuk mengungkap akulturasi antara budaya Islam dan budaya Jawa yang terjadi dalam tradisi Suran. Sedangkan pendekatan yang digunakan dalam peneliti ini adalah pendekatan antropologi dengan analisa kualitatif, karena penelitian ini merupakan penelitian budaya. Dalam pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi, wawancara, dan dokumentasi.
Hasil dari penelitian ini adalah: bahwasanya upacara tradisi ini diadakan untuk menghormati, mendoakan serta mengenang terhadap perjuangan hidup Ki Demang Cakradikrama, yang dipercayai oleh keluarganya maupun masyarakat sekitar sebagai seorang tokoh yang mempunyai kharisma yang tinggi, kesaktian dan berjiwa sosial besar. Rangkaian dalam upacara tradisi ini sebagian merupakan hasil akulturasi antara Islam dan budaya lokal. Semua itu diupayakan agar ajaran Islam bisa berdialog dengan lokalitas yang sudah mendarah daging dengan masyarakat. Berkat keterbukaan masyarakat dalam menerima budaya baru, pada akhirnya kedua kebudayaan yang berbeda itu dapat berkembang secara beriringan tanpa menimbulkan konflik yang serius. Hal ini terbukti dengan adanya tahlilan, shalawatan, dan pembacaan do'a-do'a Islam pada pelaksanaan upacara tradisi Suran. Selain itu, kebudayaan lokal seperti penggunaan sesaji dalam upacarapun masih dipertahankan. divNIM.: 06120031 PONIYEM2012-05-16T05:02:28Z2023-10-27T06:51:55Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/1081This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/10812012-05-16T05:02:28ZPERAN TARI DOLALAK DALAM PENYEBARAN ISLAM DI DESA KALIHARJO KECAMATAN KALIGESING KABUPATEN PURWOREJO (1936-2007)Awal kemunculan tari Dolalak berkaitan dengan penjajahan Belanda di Daerah Purworejo, karena Purworejo dipakai pusat pertahanan serdadu Belanda sehingga didirikan tangsi untuk asrama militer Belanda. Yang tinggal di tangsi bukan hanya orang Belanda saja tetapi juga pemuda-pemuda pribumi dari berbagai daerah. Mereka diwajibkan dan dilatih kemiliteran menjadi prajurit Belanda. Kehidupan didalam asrama yang penuh dengan kedisiplinan dan kekerasan itu membuat mereka bosan sehingga perlu hiburan. Pada waktu istirahat mereka menghibur dirinya dengan berbagai cara, diantaranya menari, menyanyi, pencak silat, kadang ada yang menirukan gerak dansa di dalam tangsi, kemudian di tirukan oleh masyarakat Purworejo dengan nada do-la-la yang orang Jawa menyebutnya quot;dolalak quot;. Hal ini mereka lakukan hanya sekedar menghilangkan kebosanan serta kerinduan akan keluarga dan sanak saudara. Kesenian tari Dolalak merupakan kesenian khas Kabupaten Purworejo, bahkan sebagai identitas Kabupaten Purworejo. Ide ini di prakarsai oleh Rejo Taruno, Duriyat, dan Rono Dimejo pada tahun 1915 di, Trirejo, Loano. Kesenian tari Dolalak pada awalnya di tarikan oleh penari laki-laki., namun dalam perkembangnya, tari Dolalak ditarikan oleh penari perempuan. Hampir disetiap grup kesenian tari Dolalak di Purworejo, semuanya penarinya perempuan, akan tetapi yang masih bertahan penari laki-laki adalah di Desa Kaliharjo, Kaligesing. Kesenian tari Dolalak mempunyai keunikan bahwa tari Dolalak ditemukan beberapa perbedan karakter pembawanya sesuai dengan kelompok usia dan perkembangan jaman.Dalam perkembanganya iringan musik diiringi dengan menggunakan istrumen jedur, terbang, kencer, dan kendang. Syair yang digunakan dalam tari Dolalak berisi tuntunan shalat, mengaji, kerja bakti, dan lain-lain. Pada saat dipentaskan kesenian tari Dolalak di Trirejo, Loano, Cokro Sumarto, Sastro Sumanto, Suprapto, Amat Yusro dan Martoguno tertarik, yang kemudian mendirikan tari Dolalak di Desa Kaliharjo pada tahun 1936. Cokro Sumarto sebagai pendiri kesenian tari Dolalak Di Desa Kaliharjo. Cokro Sumarto sebagai tokoh agama yang taat dan di hormati. Cokro Sumarto mempunyai peran yang penting dalam pemahaman Islam, karena di samping sebagai tokoh agama juga seniman. Cokro Sumarto mempunyai pengaruh dalam hal agama karena dengan didirikannya kesenian tari Dolalak pemahaman Islam semakin meningkat.
Adapun Rumusan Masalah : Bagaimana keberadaan dan perkembangan kesenian tari Dolalak di Desa Kaliharjo? Bagaimana peran kesenian tari Dolalak dalam penyebaran Islam di Desa Kaliharjo? Tujuan dan Kegunaan Penelitian: Untuk mendeskripsikan keberadaan dan perkembangan kesenian tari Dolalak di Desa Kaliharjo, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo dan Untuk mengetahui peran kesenian tari Dolalak dalam penyebaran Islam di Desa Kaliharjo Kaligesing Purworejo. Kegunaan Penelitian: untuk: Mendapatkan informasi sejarah kesenian Islam khususnya tari Dolalak, Memberikan sumbangan dalam rangka melestarikan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia dan budaya daerah pada khususnya, Menambah khasanah ilmu pengetahuan mengenai sejarah budaya kesenian tari tingkat lokal sebagai karya yang menarik, berbobot serta tidak membosankan sehingga diharapkan dapat memperkaya khazanah intelektual khususnya di bidang sejarah.NIM. 03121496 Salimah