Institutional Repository UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta: No conditions. Results ordered -Date Deposited. 2024-03-29T07:50:49ZEPrintshttp://digilib.uin-suka.ac.id/images/sitelogo.pnghttps://digilib.uin-suka.ac.id/2024-02-15T02:05:25Z2024-02-15T02:05:25Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/63718This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/637182024-02-15T02:05:25ZMODERNISASI VIS-A-VIS PURIFIKASI: KAJIAN TAFSIR ANTARA AMIN AL-KHULI (1895-1966) DAN MUHAMMAD HUSAIN AL-ZAHABI (1915-1977)Tradisi dan modernitas memicu perd
ebatan variatif dan kont radiktif berkenaan
proyeksi Islam ke depan, sehingga kontestasi pemikiran dalam berbagai bidang,
khus usnya al Qur'a n dan t afsir tidak terhindarkan. Amīn al Khūlī 1895 1966) dan
Muḥammad Ḥusain al Żahabī (1915 1977) memformulasikan pemikirannya di
bawah la nskap perjumpaan dan benturan dua unsur ini. Kedatangan modernitas al
Khūlī sambut dengan mereformasi konstruksi te oritis tentang al Qur'an dengan
melabelinya sebagai Kitab Arab Terbesar ( kitāb al --'arabiyyah al akbar ); konsep
paling dasar sebelum memosisik an al Qur'an sebagai kitab suci. Di lain pihak ,
gempuran modernitas menstimula s i al Żahabī untuk mere vivalisasi tra disi, y aitu
Sunni dan memurnikannya dari sekte non Sunni , baik dari klasik maupun dari
modern. Meski kedua belah piha k bersekte Sunni, namun konsep keduanya
mengenai al Qur'an dan tafsir cukup berseberangan . Dalam rangka menjawab
alasan di ba lik pertentang an pand angan tersebut, tesis ini mengagendakan dua
rumusan masalah. Pertama, apa yang melatarbelakangi dua gagasan ya ng
kontradiktif ini, ant ara reformasi dengan pembacaan non teologis sastrawi dan
purifikasi dengan pembacaan berbasis teologi ? Kedua, sebag ai kons ekuensi dari
pelacakan genealogis, maka bagaimana konstruksi teoritis kedua belah pihak
tentang al Qur'an dan tafsir? Untuk menjawab d ua pertanyaan ini, penulis
mengadopsi empat unsur analisis wacana kritis, sehingga menghasilkan
kesim pulan berikut. Pertam a, al Khūlī mengenyam pendidikan di lingkungan
yang sarat dengan spirit modernis Muḥammad 'Abduh (1849 1905)1905), petualangan
intelektual ke beberapa negara Eropa, afiliasinya dengan kampus yang membuka
diri pada kaum orientalis dan secara umum intensit as perjump aan secara
intelektual dengan wacana modernitas mendorongnya memformulasikan
pembacaan sastrawi terhadap al Qur'an. Sebaliknya, al Żahabī menghabiskan
seluruh pendidikannya di al Azhar, lembaga yang memelihara Sunni sebagai
represen tasi Islam sek aligus tam eng perlawanan terhadap modernitas. Melalui
lembaga ini, al Żahabī tidak hanya menetang modernitas, namun meluas kepada
sekte yang non Sunni. Kedua, al Khūlī menargetkan hady al Qur'ān , yaitu pesan
Tuhan yang menyentuh langsung kema nusiaan. Untuk itu, al K hūlī merumuskan
metodologi tafsir sastrawi dalam rangka mengalternasi tafsir tafsir yang sejauh ini
bernada sektarian dan ideologis . Sebagai solusinya, target metodologi itu ialah
dimensi psikis sosiologis al Qur'an, baik terhadap a udien pertaman ya di data ran
Arab abad 7 M maupun sebagai proyeksi untuk audien di masa kini. Sebaliknya,
al Żahabī menargetkan tafsir yang berbasis riwayat shahih dan meminimalisir
penggunaan nalar kecuali dari sumber sumber Sunni.NIM.: 21200011119 Aldi Hidayat, S.Ag2024-02-15T01:50:10Z2024-02-15T01:50:10Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/63713This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/637132024-02-15T01:50:10ZHERMENEUTIKA POLITIK SYI‘AH RUHOLLAH MUSAVI KHOMEINI: MANUVER TEKS AL-QUR’AN KE PRAKSIS REVOLUSI ISLAM IRANRuhollah Musavi Khomeini merupakan figur revolusioner yang multidimensi. Pergumulannya dengan berbagai diskursus keilmuan, historisitas kenabian serta realitas politik pada masanya, memiliki pengaruh signifikan dalam pembentukan dirinya. Diawali dengan tradisi keulamaan, wacana Khomeini terbatas pada isu-isu normatif hingga melahirkan karakter pasif terhadap isu-isu keduniawian. Namun, seiring dengan terbentuknya kesadaran politis dalam dirinya, ia kemudian lebih terbuka dengan isu-isu politik yang melitarinya. Hal ini menandakan satu transisi dari fase quietist ke politik praksis, sebagai akibat dari adanya dua ketegangan, yakni antara horizon Khomeini yang kental akan nalar puritanisme filosofis dan propaganda politik di Iran. Dari sini kemudian terjadi kemeleburan, sehingga lahirlah Khomeini yang baru dengan nalar pragmatisme sosio-politis, yakni memerangi rezim sekuler (rezim Reza Shah) untuk menciptakan pemerintahan yang ia kehendaki (pemerintahan Islam). Ihwal ini termanifestasikan dalam konstruksi hermeneutika Al-Qur’an, di mana terjadi proses sirkular dari dua fase hidup yang berbeda tersebut. Berangkat dari fenomena tersebut, tesis ini akan menjawab beberapa pertanyaan akademis terkait alasan Khomeini yang notabene merupakan figur keagamaan terlibat dalam dunia politik, konstruksi hermeneutika Al-Qur’an dari tokoh dwifungsi (keagamaan dan politikus) dan interpretasi Khomeini yang mencerminkan tranformasi dari teks ke aksi.
Teori Paul Ricoeur, from text to action menjadi pemandu sekaligus mitra berpikir untuk mengulas lebih jauh terkait konstruksi hermeneutika Khomeini. Selain itu, hermeneutical arc dihadirkan secara khusus untuk memandu dalam mengidentifikasi adanya proses sirkular dalam hermeneutika Khomeini. Pada akhirnya, tesis ini sampai pada kesimpulan bahwa keterlibatan Khomeini ke dunia perpolitikan di Iran berkelindan erat dengan realitas politik yang ia hadapi dan dengan horizonalitas teologi Syi‘ah yang mengambil bentuk monoteistik. Ihwal ini memberi dampak pada konstruksi hermeneutika Khomeini yang mengalami perluasan dan perkembangan dari fase quietist ke fase politik praksis, satu hal yang menandakan terdapat pola sirkular dalam hermeneutikanya. Pada fase quietist, rumusan hermeneutika Khomeini bernuansa ‘irfani, hasil apropriasi horizon yang kental dengan diskursus keilmuan sufi terhadap teks. Namun, pada fase politik praksis, hermeneutika Khomeini bernuansa praksis, satu konsekuensi logis dari respons yang ia berikan terhadap konteks politik pada masanya, yakni kediktatoran rezim Reza Shah. Kendati demikian, secara implisit, hermeneutika politik Khomeini merupakan keberlanjutan dari peristiwa hermeneutis yang sifatnya perluasan dan perkembangan dari hermeneutika sufistiknya. Hermeneutika politik Khomeini terepresentasikan dalam penafsirannya terkait supremasi pemerintahan Islam di atas pemerintahan sekuler melalui penalarannya terhadap term ulū al-amr dan amānāt yang berpancang pada konsep tauhid dan pemerintahan ṭāghūt (sekuler) pada QS. al-Nisā’ [4]: 59.NIM.: 21200011029 Rika Leli Dewi Khusaila Rosalnia2024-01-26T07:16:52Z2024-01-26T07:17:02Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/63270This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/632702024-01-26T07:16:52ZHORIZON BARU HERMENEUTIKA ISLAM Studi Pemikiran Hermeneutika Filosofis Mohammad Mojtahed ShabestariTesis ini merupakan penelitian terhadap pengembangan gagasan hermeneutika Islam dengan memusatkan kajian pada wacana hermeneutika filosofis yang ditawarkan oleh Mohammad Mojtahed Shabestari. Ada dua alasan utama yang melatari pilihan penulis terkait pokok bahasan dan tokoh ini. Pertama, Shabestari adalah sarjana Muslim yang dipandang sebagai sosok pemikir hermeneutika yang bergumul secara intens dengan, dan dipengaruhi oleh, literatur-literatur hermeneutika modern sehingga gagasan-gagasannya dapat dijadikan sebagai salah satu titik tolak untuk memahami pergeseran paradigma hermeneutika dalam tradisi intelektual Islam dari yang sebelumnya bersifat reduktif-pragmatis menuju akademis-apropriatif. Kedua, gagasan hermeneutika filosofis yang dicanangkan oleh Shabestari belum mendapat perhatian yang proporsional oleh para peneliti pemikirannya, mengingat bahwa sebagian besar sarjana masih mengasosiasikan pemikiran hermeneutika Shabestari secara sempit dengan wacana hermeneutika Al-Qur’an. Berangkat dari latar belakang ini, pertanyaan yang ingin penulis jawab dalam tesis ini adalah bagaimana rumusan teori hermeneutika filosofis yang ditawarkan oleh Shabestari dan bagaimana ia mengaplikasikan teori tersebut tatkala bergumul dengan horizon modernitas. Dalam rangka menjawab pertanyaan di atas, penulis mengelaborasi wacana hermeneutika filosofis yang dicanangkan oleh Hans-Georg Gadamer dan memanfaatkan metode deskriptif-interpretatif dalam mengelola data-data penelitian. Dalam penelitian ini, teori hermeneutika filosofis kemudian penulis jadikan sebagai rekan dialog untuk mengonstruksi gagasan hermeneutika Islam Shabestari, melacak horizonalitas pemikirannya, sekaligus menemukan keunikan berikut otentisitasnya. Setelah merumuskan dan mendeskripsikan gagasan hermeneutika Islam Shabestari, penulis kemudian memanfaatkan metode interpretatif untuk mendiskusikan bagaimana Shabestari berinteraksi dengan wacana-wacana yang berkembang di era modern berdasarkan hermeneutika filosofis. Adapun argument utama yang penulis kembangkan dalam tesis ini adalah bahwa gagasan hermeneutika filosofis Shabestari dilatari oleh, dan dimungkinkan melalui, tradisi intelektual Islam Syi’ah di satu sisi, dan pada sisi lain dipengaruhi oleh diskursus filsafat kontinental, terutama wacana hermeneutika modern. Argumen selanjutnya, penulis menemukan bahwa teori hermeneutika filosofis Shabestari dapat mengajukan suatu perspektif baru terkait konsep pemahaman, makna, serta teks dan tekstualitas Al-Qur’an bagi tradisi intelektual Islam sekaligus dapat menjadi basis bagi pengembangan diskursus hermeneutika Islam. Penelitian ini kemudian menghasilkan tiga kesimpulan utama. Pertama, setelah mendiskusikan perkembangan perbincangan hermeneutika di kalangan pemikir Muslim, penulis menemukan adanya penyempitan diskursif dan keterbatasan epistemologis dari dalam perbincangan tersebut, mengingat bahwa wacana hermeneutika hanya ditujukan untuk menafsirkan teks-teks keagamaan. Dalam tulisan-tulisan pemikir Muslim, teori hermeneutika modern yang berkembang dalam tradisi filsafat Barat hanya dielaborasi secara praktis-pragmatis untuk mengonservasi sakralitas teks suci yang diyakini senantiasa relevan dalam segala situasi dan kondisi. Tren semacam ini tidak hanya mereduksi wacana hermeneutika menjadi perangkat metodologis semata, namun juga mempersempit jangkauan diskursifnya. Kedua, mengambil jarak dari tren ini, Shabestari kemudian menyadari perlunya suatu upaya apropriasi yang proporsional terhadap wacana hermeneutika filosofis. Ia kemudian menawarkan teori hermeneutika filosofis yang dapat menjangkaui kompleksitas fenomena pemahaman dan interpretasi dan mendeskripsikannya secara lebih memadai. Tawaran teoretis demikian yang kemudian dapat dijadikan sebagai basis bagi pengembangan wacana hermeneutika Islam. Ketiga, sentralitas dan signifikansi konsep horizonalitas pemahaman manusia dalam gagasan Shabestari, di mana fenomena memahami senantiasa berada di dalam horizon spesifik. Hal ini tidak hanya mengantarkannya pada hipotesis radikal mengenai Al-Qur’an sebagai perkataan Nabi Muhammad, namun juga membantunya dalam melancarkan proses asimilasi terhadap diskursus-diskursus yang berkembang di era modern. Dari sini, penulis juga menemukan bahwa dialektika Shabestari dengan berbagai aparatus diskursif modernitas mencerminkan suatu proses asimilasi dialogis yang tetap berupaya mendekati aparatus-aparatus diskursif tersebut secara fenomenologis sekaligus menghindari pemaksaan pra-pemahamannya sebagai seorang Muslim.NIM.: 21200011064 Fakhri Afif, S.H.2024-01-26T06:56:21Z2024-02-05T06:15:03Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/63269This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/632692024-01-26T06:56:21ZINTERTEKSTUALITAS AL-QUR’AN Formasi Diskursif, Fragmentasi Epistemologis, dan Signifikansi MetodologisThe notion of “intertextuality” that was born from the intellectual tradition of 1960s French literary criticism has never been understood singularly to its successor, especially in regard to hermeneutics and scriptural reasoning. Starting with Richard Hays in Biblical Studies and Reuven Firestone in Qur’ānic studies, intertextuality has became a “critical theory” for performing historical back-projection of texts, which is considered effective in determining origins and influences of earlier religious and cultural traditions to the Qur’ān. By positioning “Qur’ānic intertextuality” as an academic discourse disputed in the scholarship of scriptural studies and interreligious relations, this MA thesis analyzes the development and mobilization of the discourses of the Qur’ānic intertextuality within the framework of Foucauldian archaeology of knowledge and M. Amin Abdullah’s notion of interdisciplinary Islamic studies. The research is based on following questions: First, how is the base of formation, fragmentation, and mobilization of the Qur’ānic intertextuality as an interdisciplinary discourse in studying the Qur'ān and interreligious relations; Second, how is the character-istics of the four trajectories of discourses of Qur’ānic intertextuality and its implications are reviewed from the framework of interdisciplinary Islam studies. Reseearch data refers to a collection of publications studying the texts of the Qur'ān and comparative scriptures from 1990 to 2022 which uses the notion of intertextuality or Kristevan hermeneutics. Some important findings are; First, although the idiom was born from poststructu-ralism framework as a phenomenon of text permutation and productivity, "intertextuality" turned into a theory and methodology of text criticism in 1985 through the discourse of scriptural intertextuality, tannāṣṣ al-Qur'ān, and extratextuality. The shifts from post-structuralism to others such as traditionalism, structuralism, and neo-traditionalism are based on the construction of politics, knowledge, and theology in the Arab Muslim and Euro-American worlds in the last six decades. Second, Kristeva's readers reconstructed intertextuality into a terminology in source criticism, critique of authorship, and textual allusion studies. Academic discourses that adopt the nomenclature of intertextuality in Qur'ānic studies are categorized into four groups; First, "Kristevan intertextuality" which talks about how Kristeva's concept of textuality is adopted in the reading of religious texts; Second, "Scriptural Intertextuality" which deconstructs Kristeva's thought into methods and theories of textual criticism; 3) "Tannāṣṣ al-Qur'ān" which maintains the aspect of faith of God's existence in the scripture as Primum Movens while adopting poststructuralism; 4) "Qur'ānic extra-textuality" which looks at the relationship between the Qur'ān and surrounding texts (dirāsat mā hawla al-Qur'ān). Overall, the epistemological fractures in the discourse of Qur'ānic intertextuality contribute to the development of the study of the Qur'ān, tafsīr, history of Islam, inter-scriptural relations, and modern Arabic literature. The adoption of critical idioms such as intertextuality in Islamic studies has also led to objective-scientism, deconstructive-autocriticism, and interdisciplinary studies of scripture.NIM.: 21200011090 Egi Tanadi2023-10-18T01:33:05Z2023-10-18T01:33:05Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/61376This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/613762023-10-18T01:33:05ZNALAR ESOTERIK TRADISI PUASA DALAIL AL-QUR’ANThis study aims to understand how the dialogue between text
and context occurs in the process of creating the Dalāil al-
Qur‘an fasting tradition. In addition, another starting point is
to investigate how religious awareness is formed through the
practice of the fasting tradition. This study uses a qualitative
descriptive analysis method with the application of
philosophical hermeneutic theory.
Generally, in the previous research examines the impact of
the Dalāil al-Qur‘an fasting practice on the perpetrator's
personality. The differences with this study is the exposure of
the creator's horizon relationship with contemporary readers
who are far apart so that each has a different reception. Apart
from that, the dialectic of the text and context in the historical
trajectory shows that this practice runs dynamically. The
emergence of this tradition cannot be separated from the
influence of the history of KH Ahmad Basyir's life in the
past. Through this practice, he wisely builds a family and
educates his students with the religious, ethical and moral
values of life that he has acquired throughout his life. In
addition, there is a shift in meaning in the practice of fasting
Dalāil al-Qur‘an. If earlier this fast was practiced in the
context of educating and forming the mentality of the
students, now the motive for its implementation has changed, such as positioning the Dalāil al-Qur‘an fasting as a method
of memorizing, as well as its implementation due to
environmental influences.
Dalāil al-Qur‘an fasting remains relevant to practice today.
This practice show that it is still alive in the lives of people
based on culture and history. Through this practice, KH
Ahmad Basyir with a salaf scholars have made a major
contribution in forming religious awareness for the
perpetrators. Meanwhile, there is a dynamic response
between acceptance and rejection. Places that have similar
principles with KH Ahmad Basyir tend to accept and vice
versa. However, this practice still finds space in today's
life.The practice of fasting Dalāil al-Qur‘an is a dialectical
representation between text and context which gave birth to a
cultural movement within Islam. This practice is not just a
ritual action, but also an endeavor in forming religious
awareness and inculcating ethical and moral life for its
followers so that it remains relevant to be applied in the
current context.NIM.: 19200010126 Muhammad Afnan Abdillah2023-05-04T08:08:34Z2024-03-07T22:51:56Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/58304This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/583042023-05-04T08:08:34ZBibel Sebagai Sumber Tafsir: Telaah Tafsir The Message of The
QuranIsrailiyyat adalah salah satu sumber penafsiran yang banyak dikutip pada tafsir kalsik
dengan corak al-Ma’tsur, namun eksistensinya tidak berhenti hanya pada tafsir klasik.
perdebatan israiliyyat juga berlangsung hingga abad ke-20 ini karena pada dasarnya
isra>iliyya>t bersifat polemik. Pergeseran penafsiran modern terlihat ketika para mufasir
modern secara eksplisit menggunakan Bibel sebagai rujukan penafsiran walaupun pada
abad I dan abad II Hijriyah sumber Yahudi mulai bersinggungan dengan masyarakat
muslim Hal ini dipengaruhi oleh dasar keilmuan yang dimiliki, pengaruh lingkungan,
pengaruh dari latar belakang keilmuan, serta konstruksi teks-teks yang berbeda pada
masing-masing penafsir, mengingat sebuah teks yang lahir pasti memiliki hubungan
dengan teks yang lain atau dikenal dengan intertekstualitas. Kitab tafsir The Message
of the Quran karya Muhammad Asad adalah terjemah tafsir yaitu terjemah al-Qur’an
dengan menggunakan bahasa Inggris dan menggunakan Bibel dalam penafsirannya.
Asad bukanlah orang pertama yeng merumuskan penggunaan Bibel dalam sebuah
penafsiran, sebelumnya Al-Biqa'i telah melakukan hal tersebut terlebih dahulu
berpandangan bahwa menggunakan kutipan Injil adalah bentuk pengakuan terhadap
keberadaan al-Kutub al-Qadimah disusul dengan Rasyid Ridha. Setelah Muhammad
Asad muncul Mustansir Mir berpendapat bahwa al-Qur’an dan Injil memiliki isi pesan
yang sama. Maka dari itu tujuan dari penelitian ini melacak historisitas Bibel sebagai
sumber tafsir, menelaah latar belakang penggunaan rujukan bibel dan aplikasinya.
Penelitian ini menggunakan metode analisis isi dan menggunakan teori
intertekstualitas, setidaknya dengan pelacakan hipogram pada interkstualitas
ditemukan kesimpulan bahwa latar belakang pengutipan Bibel adalah keakraban
dengan kitab-kitab Yahudi, keterpengaruhan pemikiran Abduh, penyesuaian
audien/reader dan usaha Culture Bridging. Asad juga menempatkan keotentikan dan
kebenaran pada al-Qur’an pada setiap model intertekstualitasnya yaitu baik rujukan,
Komparasi penjelasan dan kritik.NIM.: 20200012050 Sikha Amalia Sandia Pitaloka S.Ag2023-05-04T06:57:10Z2024-03-07T22:50:39Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/58299This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/582992023-05-04T06:57:10ZQira ‘ah Mubadalah:
Telaah Terhadap Hermeneutika Feminis
Faqihuddin Abdul KodirDiskursus perihal isu perempuan saat ini berpijak pada urgensi alternatif
penafsiran baru agar teks mampu menjawab problematika konteks saat ini melalui
sudut pandang yang lebih sensitif gender. Namun teks seringkali disoroti sebatas
pada literal pemaknaan, sehingga belum mampu mengatasi dikotomi penafsiran
terhadap ayat-ayat gender. Hal itu menunjukkan bahwa perlu adanya sebuah
metodologi baru untuk menghadirkan sebuah perspektif yang dapat menengahi
dominansi dan hegemoni penafsiran atas teks. Faqihuddin Abdul Kodir hadir
sebagai tokoh feminis laki-laki yang membawa angin segar dengan pendekatan
resiprokal atau qira‘ah mubadalah. Di satu sisi Faqihuddin Abdul Kodir tidak
terlepas dari pra-pemahaman ia sebagai seorang laki-laki muslim. Di sisi lain,
qira‘ah mubadalah tidak terlepas dari konteks kelahirannya yang bergumul dalam
konteks relasi laki-laki dan perempuan saat ini. Melalui problematika di atas maka
terdapat tiga rumusan masalah, pertama bagaimana pemikiran Faqihuddin Abdul
Kodir? Bagaimana kerangka qira‘ah mubadalah sebagai basis hermeneutika
feminis dan bagaimana penafsiran ayat tentang relasi gender dalam perspektif
qira‘ah mubadalah?
Metode dan pendekatan penelitian ini menggunakan hermeneutika yang
berupaya menganalisis kerangka metodologi qira‘ah mubadalah dan aplikasinya
terhadap ayat-ayat gender dengan menggunakan pijakan teori pra-pemahaman dan
peleburan horizon dari Hans-Georg Gadamer. Kajian pustaka penelitian ini
berupaya menelusuri sumber-sumber baik melalui teks maupun media yang
berkaitan dengan konteks penelitian baik hermeneutika feminis dan qira‘ah
mubadalah.
Melalui metodologi penelitian di atas didapatkan kesimpulan sebagai garis
besar penelitian ini. Pertama, pemikiran feminis Faqihuddin Abdul Kodir
dipengaruhi oleh lingkungan sosio-kultural pesantren dan persinggungan dengan
aktivis gender, serta pergulatan intelektual dalam interpretasi teks gender dalam
keilmuwan Islam, terutama dalam konstruksi fikih dan penafsiran Al-Qur’an dan
hadis. Kedua, qira’ah mubadalah menggunakan gagasan dalam Al-Qur’an dan
hadis sebagai basis metodologi dan inspirasi. Kehadiran perspektif mubadalah
merupakan bentuk respon emansipasi Faqihuddin Abdul Kodir melalui gagasan
pembacaan yang berkeadilan gender dalam tradisi Islam, yakni ushul fikih dan
maqashid asy-syariah. Ketiga, aplikasi Qira’ah mubadalah terhadap teks berupaya
menggali makna Al-Qur’an yang lahir dalam konteks yang statis untuk kembali
dikontekstualisasikan melalui sudut pandang yang berkeadilan gender dalam
menghadapi kompleksitas persoalan saat ini seperti dalam konsep penciptaan,
nusyuz dan stigma perempuan sebagai sumber fitnah.NIM.: 20200012090 Rofiatul Windariana2023-04-09T10:32:28Z2023-04-09T10:32:28Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/57820This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/578202023-04-09T10:32:28ZBersahabat dengan Makna Melalui Hermeneutika-- Ilyas Supena- Habib [Editor]2023-03-28T07:03:03Z2023-03-28T07:03:03Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/57432This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/574322023-03-28T07:03:03ZSCRIPTURE and its READERS: Hermeneutics today-- SYAFA'ATUN ALMIRZANAH2023-03-28T06:20:52Z2023-03-28T06:21:39Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/57425This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/574252023-03-28T06:20:52ZHermeneutika Ibnu Arabi dan Konsepsinya mengenai Kebaragaman Agama-- SYAFAATUN ALMIRZANAH2023-03-03T07:15:01Z2023-03-03T07:15:01Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/56882This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/568822023-03-03T07:15:01ZKRONOLOGI SEJARAH DALAM PENDEKATAN KONTEKSTUAL ABDULLAH SAEEDPendekatan kontekstual dari Abdullah Saeed adalah suatu metode dalam studi teks atas al-Qur’an yang menekankan pentingnya pemahaman terhadap konteks historis dan budaya dimana teks dan ajaran Islam dikembangkan, dengan cara ini diharapkan dapat memahami makna dan signifikansi dari teks Islam tersebut dengan lebih baik. Saeed menyatakan bahwa pendekatan ini diperlukan untuk menghindari interpretasi teks yang tidak sesuai dengan konteks aslinya, dan dapat menyebabkan kesalah-pahaman atau bahkan penyalahgunaan teks. Selain itu, pendekatan kontekstual Saeed juga menekankan keragaman pemikiran dalam literatur tafsir, serta mendorong pengujian kritis terhadap interpretasi dari para tekstualis.
Keunggulan pendekatan kontekstual ialah menghindari interpretasi yang tidak sesuai dengan konteks asli dari teks, serta meningkatkan pemahaman yang lebih komprehensif tentang keragaman pemikiran tafsir al-Qur’an. Oleh karena itu, penting untuk melakukan validasi yang cermat terhadap interpretasi yang dilakukan oleh individu yang mengaplikasikan pendekatan kontekstual. Sebab, interpretasi yang dilakukan individu dapat dipengaruhi oleh subjektivitasnya yang tidak sesuai dengan makna asli dari teks al-Qur’an.
Untuk menekan subjektivitas penafsir kontekstualis, tesis ini mengusulkan pendalaman konteks historis al-Qur’an dengan kronologi wahyu. Munirul Ikhwan menjelaskan bahwa ‘kronologi wahyu merupakan rentetan kejadian turunnya wahyu sesuai sejarah karir Nabi bersamaan dengan konteks sosio-kultural al-Qur’an’. Sehingga dengan kerangka teori kronologi wahyu pada pendekatan kontekstual, dapat secara spesifik menentukan makna signifikansi historis dari teks al-Qur’an.
Setelah mengaplikasikan kronologi wahyu dalam rekonstruksi historis masa pewahyuan atas ayat ethico-legal yaitu ayat qis}a>s} dan rajam. Ditemukan implikasi bahwa seorang kontekstualis harus menggali informasi pada: 1) Sirah Nabawiyyah, 2) Ayat al-qur’an secara tematik dan al-hadis al-mubayyan, dan 4) Perkiraan waktu spesifik turunnya ayat. Pendalaman kronologi wahyu pada rekonstruksi konteks historis menjadi sangat penting. Sebab teks ditempatkan dalam konteks historis yang tepat
xii
sesuai dengan perkembangan karir dakwah Nabi saw. selama periode waktu tertentu yang spesifik, sehingga makna wacana dari teks dapat dipahami, dan dapat dilakukan relevansi nilainya sesuai dengan gagasan dari al-Qur’an.NIM.: 18200010226 Achmad Mujib Romadlon, S.Ag2023-02-14T00:59:07Z2023-02-14T00:59:07Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/56170This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/561702023-02-14T00:59:07ZRESTORATIVE JUSTICE DALAM AYAT-AYAT AL-QUR’AN TENTANG PEMIDANAAN: APLIKASI HERMENEUTIKA MAʻNA-CUM-MAGZAThis research focuses on reinterpreting criminal verses of the
Qur’an. The emergence of the stigma of Islamic criminal law that
does not respect human rights in the form of death penalty,
amputation, stoning, and whipping is inseparable from the existence
of a quasi-objectivist-conservative typology on interpretation which
interprets the Qur'an legally-literally. On the other hand, there is also
a typology of subjectivist which does not take into account the
existence of the authentic meaning of the text (original meaning), the
existence of hadith, the historical context of the revelation of the
verse (asbāb an-nuzūl), and the history of the Prophet. In addition,
several interpretations of contextualist figures have not emphasized
the principle of restorative justice in the criminal verses of the
Qur'an. For this reason, this study focuses on answering three
problems. First, why is it necessary to reinterpret the criminal verses
of the Qur'an? Second, how is the reinterpretation of criminal verses
with maʻnā-cum-magzā hermeneutics? Third, how is the relevance
between the principles of restorative justice with the reinterpretation
of criminal verses of the Qur’an?
This can be classified as research based on a constructivist
paradigm because it seeks to build a paradigm of Qur’anic
interpretation and develop an interpretation of criminal verses of the
Qur’an. This research uses a theoretical framework including maʻnācum-
magzā hermeneutics, restorative justice, and verses of criminal
law in Islam. This study also uses qualitative data. It can be called a
literature study by examining books, journals, articles, archives, and
other data related to the formulation of the problem understudy. The
related data will be grouped and processed by using a descriptiveinterpretative
method.
This study concludes with the following points. First, the
criminal verses still need further reinterpretation because the context
at the time of revelation was different from the present context.
These verses cannot be taken literally or statically. Interpretation
must be developed contextually and dynamically according to the development of the dynamics of human life. The static interpretation
is a quasi-objectivist-conservative interpretation that puts forward a
legal orientation without considering the universal ethical vision of
the Qur'an. On the other hand, the quasi-subjectivist typology
negates the existence of the original meaning of the text. Therefore,
an interpretation that maintains the relationship between the
elements of the text, context, and contextualization is an alternative
to reinterpreting the criminal verses of the Qur'an. Second, by using
the maʻnā-cum-magzā hermeneutics, the principles of restorative
justice contained in the Qur’anic verses about murder, abuse, and
theft can be explored. The principles of restorative justice extracted
from the criminal verses of the Qur'an are the main basis for solving
criminal cases. Third, the relevance of the principles of restorative
justice can be seen from the analysis of the five keywords (‘ufiya,
maʻrūf, iḥsān, aṣlaḥa, and taṣaddaqa) and considering the historical
context of punishment from time to time. ‘Ufiya as an apology is the
first key element in resolving cases with restorative justice and is the
first step in the process of healing and empowerment for victims. The
principle of moral learning (moralizing) is reflected in maʻrūf, iḥsān,
and taṣaddaqa from the victim's side by not asking for their rights or
asking for just a portion. Meanwhile, iḥsān is carried out by the actor
by giving more than the obligations he must fulfill. The principle of
improving interpersonal relations (reparation and transformation) is
contained in the keyword aṣlaḥa. To make this happen, the
settlement of cases is carried out by reaching out to all parties
involved by restoring normal conditions between victims,
perpetrators, and the community environment. The completion of
criminal acts through restorative justice can be considered a solution
to the settlement of criminal cases.NIM.: 18300016034 Ghufron Hamzah2023-02-14T00:59:01Z2023-02-14T00:59:01Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/56168This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/561682023-02-14T00:59:01ZRESEPSI AL-QUR’AN SEBAGAI PENGOBATAN RUQYAH : FORMULASI, MAKNA, DAN TRANSMISI RUQYAH JRA DI INDONESIAPenelitian ini mengkaji tentang resepsi Al-Qur’an sebuah komunitas
Jam’iyyah Ruqyah Aswaja (JRA) yang mewujud sebagai kegiatan pengobatan
Islam berdasarkan formulasi bacaan tertentu. Kajian ini bertujuan untuk
mengungkap makna dari praktik-praktik pembacaan Al-Qur’an JRA dan strategi
yang dilakukan JRA untuk menunjang kemajuannya.
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif berbasis studi lapangan (field
research) dengan metode deskriptif analisis dan menggunakan pendekatan
fenomenologi. Dalam mencapai tujuan ini, peneliti berperan sebagai insider
melakukan observasi partisipatif, wawancara semi-terstruktur kepada pendiri
JRA, pengurus pusat JRA, praktisi pusat, praktisi lokal dan beberapa kliennya yang
secara keseluruhan berjumlah 8 informan serta dokumentasi.
Dengan menggunakan teori analisis resepsi sastra, penelitian ini
menemukan bahwa praktik pembacaan Al-Qur’an dalam praktik ruqyah JRA
sebagai upaya penyembuhan penyakit, upaya dakwah Islam ahl al-sunnah wa aljama>’
ah, dan sebagai bentuk kontestasi dengan otoritas ruqyah secara khusus
maupun otoritas Islam secara umum yang berlainan aqidah. Beberapa upaya yang
dilakukan JRA untuk mentransmisikan formulasinya sehingga dapat meng-
Indonesia adalah melakukan pelatihan praktisi, upaya diplomatik dengan identitas
payungnya yakni NU, politik identitas, dan pemanfaatan media sosial.NIM.: 18200010209 Nahrul Pintoko Aji, S.Pd.2023-02-14T00:58:53Z2023-02-14T00:58:53Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/56165This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/561652023-02-14T00:58:53ZPENAFSIRAN IDEOLOGIS SAYYID QUTB PERSPEKTIF HERMENEUTIKA KRITIS JURGEN HABERMASDi era dewasa sekarang, kajian mengenai Sayyid Qutb merupakan topik yang cukup banyak diminati dengan berbagai perspektif. Hal ini tidak terlepas dari sejarah pribadi Qutb dan sosio-kultur yang mengitarinya. Selain seorang sastrawan dan mufassir, ia juga seorang ideolog gerakan Islam. Dengan latar belakang seperti itu, teks Alquran tidak jarang dijadikan sarana perlawanan yang politis dalam rangka membangun ideologinya. Titik kulminasinya, Qutb tidak hanya memperlakukan teks Alquran yang ditafsirkannya sebagai kepentingan untuk membebaskan proses dakwah Islam, tetapi dijadikan alat untuk mengabsahkan jihad dan menegakkan syariat Islam secara menyeluruh (kāffah).
Penelitian ini bertujuan mengetahui dan mengungkap penafsiran ideologis Sayyid Qutb dalam menafsirkan QS. [2]: 256, QS. [2]: 190, QS. [5]: 44, QS. [2]: 208. Fokus penelitian ini berusaha menjawab tiga persoalan. Pertama, faktor yang melatarbelakangi penafsiran Qutb kenapa ideologis. Kedua, sejauh mana hermeneutika kritis mampu menyingkap penafsiran ideologis Qutb. Ketiga, bagaimana cara membendung ideologisasi terhadap teks Alquran. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research) yang bersifat kualitatif dengan metode deksriptif-analitis di mana penyajian datanya berupa data-data tertulis. Adapun secara teoritis, penulis menggunakan hermeneutika kritis yang digagas Jurgen Habermas. Dengan teori ini, penulis berupaya menganalisis pergeseran pemikiran Qutb, faktor yang menyebabkan penafsiran Qutb ideologis dan memberikan kritik terhadap implikasi penafsiran dan pemikiran ideologisnya.
Temuan dari penelitian ini memperlihatkan, Sayyid Qutb memahami QS [2]: 256 secara ambigu: pada satu sisi ia mendukung kebebasan beragama, pada sisi yang lain ia menolak adanya kebebasab di dalam penentuan sistem atau tatanan masyarakat. Karena Qutb berkeyakinan bahwa pemilihan atas keyakinan masing-masing harus setelah adanya jihad sistemik QS [2]: 190: menegakkan syariat Islam. Qutb juga memberi penekanan bahwa kebebasan beragama itu hanya dapat terealisasi di dalam Islam ketika diterapkan sebagai undang-undang kehidupan. Di samping itu, penafsirannya terhadap QS. [2]: 208 juga sarat ideologis. Qutb mendikotomisasi yang menurutnya hanya ada dua arah, memasuki Islam secara kāffah (menyeluruh) atau mengikuti sistem jahiliah yang berdampak pada kekafiran QS [5]: 44. Dari ayat-ayat yang disajikan, mencirikan karakteristik penafsiran Qutb yang tidak bebas dari kepentingan. Ditambah, Qutb mengabaikan aspek historisitas (asbāb al-nuzūl) saat kedua ayat itu diturunkan sehingga penafsirannya dengan demikian, di samping ideologis juga ahistoris.NIM.: 18200010173 Fiqih Kurniawan2023-01-10T02:45:36Z2023-01-10T02:45:36Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/55515This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/555152023-01-10T02:45:36ZLEBIH DEKAT DENGAN MA’NĀ-CUM-MAGHZĀ SAHIRON SYAMSUDDINGagasan pendekatan ma'na-cum-maghza merupakan upaya untuk mencapai keseimbangan hermeneutik (balanced hermeneutics) yang tidak ditemukan dalam gagasan-gagasan sebelumnya. Keseimbangan hermeneutik dicapai dengan memberikan porsi yang sama antara makna asal literal (al-ma'na al-asli) dengan pesan utama (al- maghza) di balik makna literal. Proses pencarian makna asal literal (al-ma'na at-tarikhi) dilakukan secara bersama dengan pencarian signifikansi fenomenal historis (al-magza at-tärikhi) melalui empat komponen analisis; analisis linguistik, analisis intratekstual, analisis intertekstual, dan analisis konteks historis. Empat komponen analisis tersebut saling bersinergi untuk menentukan makna asli dan signifikansi historis yang menghasilkan makna saat ayat dipahami pada masa pewahyuan (al-maghza at- tarikhi) dan menjadi dasar penemuan makna baru yang menyesuaikan dengan pesan utama fenomenal dinamis (al-maahza al-mutaharrik al-mu'asir).- Saifuddin Zuhri Qudsy [ et. al.]2022-11-16T08:11:00Z2022-11-16T08:11:00Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/55118This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/551182022-11-16T08:11:00ZREINTERPRETASI LAILAT AL-QADAR
(ANALISIS APLIKATIF TEORI HERMENEUTIKA JORGE J.E GRACIA)Dalam Islam, sejak lama, fenomena lailat al-Qadr telah menjadi primadona di antara waktu peribadatan lain. Adapun diskusi ilmiah mengenai lailat al-Qadr belum mampu memberikan jawaban yang komprehensif mengenai hakikat dan waktu lailat al-Qadr. Skripsi ini ditulis untuk menjawab dua pertanyaan mendasar tersebut. Dipilihnya hermeneutika Jorge J.E Gracia sebagai pisau analisis adalah karena ia memiliki tawaran metodologis berupa konsep tentang perkembangan interpretasi tekstual (development of textual interpretation). Secara lebih khusus, skripsi ini mengambil mekanisme penafsiran teks yang ditawarkan oleh Gracia, meliputi: fungsi historis, fungsi pembentukan makna, dan fungsi implikatif. Selain itu, memadu-padankan teori Hermeneutika Gracia dengan disiplin ilmu tafsir yang telah mapan akan mampu menjadi sebuah kolaborasi ilmiah yang komprehensif.
Skripsi ini merupakan penelitian kepustakaan deskriptif-analisis. Sumber utamanya adalah al-Qur’an dan kitab-kitab hadis mengenai lailat al-Qadr, juga buku hermeneutika Gracia, A Theory of Textuality. Adapun sumber sekundernya adalah kitab-kitab Turats para ulama’ yang mencakup tema terkait serta karya-karya klasik maupun kontemporer yang berkaitan.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa pada tingkatan historical function, Lailat al-Qadr telah melampaui banyak fase dan telah dipahami dengan cara yang beragam oleh para penafsir. Dari fungsi ini, dapat ditemukan urgensi penafsiran baru yang lebih sesuai dengan perkembangan keilmuan dan keadaan masyarakat kontemporer. Pada tingkatan meaning function, ditemukan beberapa hal penting mengenai hakikat lailat al-Qadr, yaitu: (1) Lailat al-Qadr merujuk pada waktu malam tertentu; (2) tidak tepat jika keutamaan lailat al-Qadr yang “lebih baik dari seribu bulan” diartikan secara matematis (3) tolok ukur keutamaan seseorang yang mendapatkan lailat al-Qadr adalah semakin baiknya kualitas hidupnya, baik dari sisi semangat keagamaan maupun sosial. Adapun mengenai waktu lailat al-Qadr: (1) Keberadaan lailat al-Qadr yang dirahasiakan waktunya merupakan bagian dari kebijaksanaan Allah agar manusia tidak mengandalkan lailat al-Qadr saja. (2) Waktu-waktu yang disebutkan dalam riwayat-riwayat hadis tidak bisa dikompromikan dengan melakukan hitungan matematis. (3) Keberadaan lailat al-Qadr di bulan Ramadhan memang merupakan sebuah peristiwa sejarah, tetapi itu bukanlah sebuah kebetulan, melainkan kejadian penting yang direncanakan oleh Allah. Diletakkannya lailat al-Qadr pada bulan Ramadhan memiliki hikmah untuk memotivasi umat Islam agar tidak merasa berat dalam menjalankan puasa pada bulan Ramadhan. (4) Waktu lailat al-Qadr bagi masing-masing orang adalah tidak sama. Bisa jadi, bagi seorang muslim lailat al-Qadr terjadi di awal bulan Ramadhan ataupun di akhir, sesuai dengan usaha spiritual masing-masing. Dalam fungsi implikatif, disimpulkan bahwa masyarakat kita telah sampai pada pemahaman yang benar, ketika mereka memiliki keinginan yang kuat untuk menyemarakkan malam lailat al-Qadr dengan beragam kegiatan keagamaan. Namun yang mungkin belum banyak disadari oleh kebanyakan masyarakat kita adalah posisi lailat al-Qadr sebagai malam klimaks dari sebuah kontemplasi spiritual.NIM.: 08530053 Yunita2022-11-16T07:32:55Z2022-11-16T07:32:55Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/55112This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/551122022-11-16T07:32:55ZBID’AH VERSI HASYIM ASY’ARI DALAM KITAB RISALAH AHLU AL-SUNNAH WA AL-JAMA’AH (SEBUAH APLIKASI TEORI HERMENEUTIKA HANS-GEORG GADAMER)Skripsi ini berjudul “Bid’ah Versi Hasyim Asy’ari dalam Kitab Risalah Ahlu
Al-sunnah Wa al-jama’ah, Sebuah Aplikasi Teori Hermeneutika Hans-George
Gadamer”. Topik ini penulis angkat, pertama karena ketertarikan penulis terhadap
Hasyim Asy’ari. Tokoh pendiri salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia,
yang juga merupakan ulama, politikus, serta pejuang yang sangat berpengaruh bagi
banyak kalangan. Salah satu pemikirannya yang menarik adalah tentang tema bid’ah
yang menjadi acuan bagi masyarakat NU serta menjadi satu identitas khas muslim
tradisional yang tertuang dalam satu karyanya, Risalah Ahlu Al-sunnah Wa aljama’
ah. Maka, Penulis fokus pada pemikiran Hasyim Asy’ari tentang bid’ah serta
latar-latar belakang yang menjadi motif dari pemikirannya.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif-analitik dan pendekatan dari
teorii hermeneutika yang digagas oleh Hans-George Gadamer. Teori yang disebut
wirkungsgeschichtliches: Historically effected consciousness atau kesadaran
keterpengaruhan oleh sejarah. Isi dari Teori ini, bahwa pemahaman seorang penafsir
atau pemikiran dari seseorang dipengaruhi oleh situasi hermeneutik atau pengalaman
hermeneutis tertentu yang melingkupinya, baik itu berupa tradisi, kultur maupun
pengalaman hidup. Melalui teori ini, penulis ingin mengungkap dan menelusuri
pengalaman-pengalaman hermeneutik di belakang Hasyim Asy’ari yang berperan
dibalik pemikirannya tentang bid’ah.
Kesimpulan yang penulis dapatkan dalam penelitian ini, antara lain bid’ah
dalam perspektif Hasyim Asy’ari dalam kitabnya Risalah Ahlu Al-sunnah, adalah
pembaruan-pembaruan perkara agama yang seakan-akan merupakan bagian dari
agama, baik dari sisi bentuk maupun Haqiqah-nya. Ia membagi menjadi 3, bid’ah
s}arih (jelas), Id}afiyah (bid’ah yang disandarkan), dan bid’ah Khilafiyah. Adapun dari
segi hukumnya dibagi menjadi 5, antara lain bid’ah wajib, sunnah, haram, mandub,
dan makruh. Dengan menggunakan teori wirkungsgeschichtliches terhadap pemikiran
Hasyim Asy’ari, penulis mendapatkan bahwa beberapa faktor history dari sekian
pengalaman hermeneutik Hasyim yang menjadi affective Histori dari pemikirannya di
antaranya adalah beberapa faktor makro dan mikro, seperti kondisi wacana
internasional yang terjadi di Mekkah setelah menangnya Raja Sa’ud, maraknya
gerakan pembaharu di tanah air, kondisi sosial masyarakat di tempat ia tumbuh, karir
intelektual di pesantren-pesantren salaf, atau timur tengah, yang secara langsung dan
tidak mewarnai laju pemikirannya yang bercorak tradisionalis dan sufistik. Karyanya
Risalah Ahlu Al-sunnah tidak hanya menjadi sebuah karya tulisan yang semata
berorientasi keilmuan dan keagamaan, melainkan juga sarat dengan muatan ideologis
dan kepentingan tertentu, serta menjadi pengidentifikasian dan pembelaan diri
sebagai muslim tradisionalis dari suara-suara yang bergejolak dari luar.
Skripsi ini berjudul “Bid’ah Versi Hasyim Asy’ari dalam Kitab Risalah Ahlu
Al-sunnah Wa al-jama’ah, Sebuah Aplikasi Teori Hermeneutika Hans-George
Gadamer”. Topik ini penulis angkat, pertama karena ketertarikan penulis terhadap
Hasyim Asy’ari. Tokoh pendiri salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia,
yang juga merupakan ulama, politikus, serta pejuang yang sangat berpengaruh bagi
banyak kalangan. Salah satu pemikirannya yang menarik adalah tentang tema bid’ah
yang menjadi acuan bagi masyarakat NU serta menjadi satu identitas khas muslim
tradisional yang tertuang dalam satu karyanya, Risalah Ahlu Al-sunnah Wa aljama’
ah. Maka, Penulis fokus pada pemikiran Hasyim Asy’ari tentang bid’ah serta
latar-latar belakang yang menjadi motif dari pemikirannya.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif-analitik dan pendekatan dari
teorii hermeneutika yang digagas oleh Hans-George Gadamer. Teori yang disebut
wirkungsgeschichtliches: Historically effected consciousness atau kesadaran
keterpengaruhan oleh sejarah. Isi dari Teori ini, bahwa pemahaman seorang penafsir
atau pemikiran dari seseorang dipengaruhi oleh situasi hermeneutik atau pengalaman
hermeneutis tertentu yang melingkupinya, baik itu berupa tradisi, kultur maupun
pengalaman hidup. Melalui teori ini, penulis ingin mengungkap dan menelusuri
pengalaman-pengalaman hermeneutik di belakang Hasyim Asy’ari yang berperan
dibalik pemikirannya tentang bid’ah.
Kesimpulan yang penulis dapatkan dalam penelitian ini, antara lain bid’ah
dalam perspektif Hasyim Asy’ari dalam kitabnya Risalah Ahlu Al-sunnah, adalah
pembaruan-pembaruan perkara agama yang seakan-akan merupakan bagian dari
agama, baik dari sisi bentuk maupun Haqiqah-nya. Ia membagi menjadi 3, bid’ah
s}arih (jelas), Id}afiyah (bid’ah yang disandarkan), dan bid’ah Khilafiyah. Adapun dari
segi hukumnya dibagi menjadi 5, antara lain bid’ah wajib, sunnah, haram, mandub,
dan makruh. Dengan menggunakan teori wirkungsgeschichtliches terhadap pemikiran
Hasyim Asy’ari, penulis mendapatkan bahwa beberapa faktor history dari sekian
pengalaman hermeneutik Hasyim yang menjadi affective Histori dari pemikirannya di
antaranya adalah beberapa faktor makro dan mikro, seperti kondisi wacana
internasional yang terjadi di Mekkah setelah menangnya Raja Sa’ud, maraknya
gerakan pembaharu di tanah air, kondisi sosial masyarakat di tempat ia tumbuh, karir
intelektual di pesantren-pesantren salaf, atau timur tengah, yang secara langsung dan
tidak mewarnai laju pemikirannya yang bercorak tradisionalis dan sufistik. Karyanya
Risalah Ahlu Al-sunnah tidak hanya menjadi sebuah karya tulisan yang semata
berorientasi keilmuan dan keagamaan, melainkan juga sarat dengan muatan ideologis
dan kepentingan tertentu, serta menjadi pengidentifikasian dan pembelaan diri
sebagai muslim tradisionalis dari suara-suara yang bergejolak dari luar.NIM.: 08530049 Siti Rofi’ah2022-11-16T07:29:42Z2022-11-16T07:29:42Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/55111This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/551112022-11-16T07:29:42ZHERMENEUTIKA AL-QUR’AN ABDULLAHI AHMED AN-NA’IMDalam diskursus kajian al-Qur‟ān, hermeneutika merupakan wacana yang debatable hingga sekarang. Satu pihak menolak pendekatan hermeneutika untuk al-Qur‟ān karena berasal dari luar Islam, pihak yang lain menerima karena dianggap hal positif.
Oleh karena itu, penulis tertarik untuk meneliti konsep hermeneutika yang ditawarkan oleh Abdullahi Ahmed an-Na‟im, seorang pakar hukum Islam dan juga hubungan internasional, yang awalnya menyarankan sebuah negara syari‟ah dengan syari‟ah dengan hasil interpretasi ulang atas sumbernya, dan kemudian menyarankan negara sekuler dengan maksud memurnikan ketaatan beragama, bukan ketaatan berdasarkan perintah negara. Berdasarkan pemikiran-pemikirannya, ia sering dilibatkan dalam masalah hak asasi manusia, hubungan lintas agama, budaya dan juga hubungan internasional, sehingga menurut penulis sangat menarik untuk dilakukan penelitian terhadap konsep hermeneutikanya atas al-Qur‟ān, karena pemahaman terhadap al-Qur‟ān mampu mempengaruhi segala pemikiran manusia.
Metode yang digunakan penulis dalam menganalisis data adalah dengan metode deskriptif-analisis, dengan pendekatan historis dan juga filosofis, yakni filsafat ilmu. Pendekatan historis dimaksudkan untuk meneliti biografi (sifat-sifat, watak, pengaruh lingkungan maupun pengaruh pemikiran dan ide dari subjek penelitian masa hidupnya). Sedangkan pendekatan filsafat ilmu bertujuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai hakikat suatu ilmu, antara lain: objek apa yang ditelaah ilmu, bagaimana memperoleh ilmu, dan untuk apa ilmu digunakan.
Dari hasil penelitian yang dilakukan dengan metode tersebut, didapatkan bahwa hermeneutika yang diusulkan an-Na‟im cenderung pada upaya menghapus diskriminasi, penghargaan terhadap hak asasi manusia dan persamaan derajat. Langkah yang ia lakukan ialah memberikan kebebasan kepada pembaca untuk memaknai ayat sesuai dengan kondisi mereka sendiri, namun tidak berarti arbitrer dan relatif, karena valid atau tidaknya sebuah usulan interpretasi adalah berdasarkan penilaian masyarakat melalui perdebatan dan pertimbangan. Dengan ungkapan lain, author (penafsir) dalam memahami dan menafsirkan text harus mau dan bersedia untuk mendengarkan, mempertimbangkan dan menerima masukan, pendapat ataupun kritikan dari reader.
Sumbangan keilmuan yang didapatkan dari penelitian ini yakni, menunjukkan bahwa hermeneutika itu beragam dan bahwa hermeneutika dapat dijadikan sebagai salah satu cara untuk menyelesaikan masalah yang ada di masyarakat.NIM.: 08530047 Riyadlul Badi'ah2022-09-30T01:13:46Z2022-09-30T01:13:46Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/53645This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/536452022-09-30T01:13:46ZHERMENEUTIKA SOSIO-SUFISTIK DALAM TAFSIR FAID AR-RAHMAN FI TARJUMANI TAFSIRI KALAMI AL-MALIKI AD-DAYYAN KARYA KIAI SHOLEH DARATThis is a study of the socio-sufistic hermeneutics of Kiai Sholeh Darat
in his commentary book Faidl al-Rahma>n fi> Tarjuma>ni Tafsi>ri Kala>mi
Al-Maliki Al-Dayya>n. Thus far, studies on the interpretation of Kiai
Sholeh Darat did not reveal much about the issue of socio-sufistic
hermeneutics since both dimensions, the sufistic and the social, are
only addressed in their respective “field”. The Sufistic dimension is
mainly studied in terms of the “intangible aspect” region, while the
social dimension is treated as the “tangible” aspect. In fact, as seen
from an integral perspective of the space harmony, the study of sociosufistic
hermeneutics makes a significant academic contribution to the
development of contemporary commentary studies. Socio-sufistic
hermeneutics serves as an alternatively new perspective to organize
human behavior both physically and mentally. This research is not
only intended to complement previous research, but also to look at the
Sufistic dimension integrated with the social dimension and
constructed with the discourse on the interpretation of the Qur’an.
This study used a qualitative method with a hermeneutical approach
to Gadamer’s theory, covering the influence of historical awareness,
pre-understanding, horizon assimilation, and application. This theory
was applied as a tool (istimda>d) in reading the interpretation of Kiai
Sholeh Darat in Faidl al-Rahma>n. This study resulted in the finding
that every interpretation is inseparable from the surrounding
hermeneutical awareness. In this context, it was found that Kiai Sholeh
Darat also had hermeneutical awareness in interpreting the text of the
Qur’an, particularly awareness of language limitations, awareness of
reader competence, geographical-sociological awareness, and
awareness of the esoteric and exoteric meanings of the text.
Another important finding from this research is that Kiai Sholeh
Darat’s interpretation of the verses of the Qur’an adapts to the
surrounding realities. Kiai Sholeh Darat was well aware that not all
readers of the Qur’an are authoritative readers. Most of them fall into
the category of ordinary people who are nationless and speak Arabic. This context incurred the concept of “localization” of text
interpretation as a bridge of understanding for them. Upon
transmitting and transforming the meaning of the Qur’an to the public,
Kiai Sholeh Darat chose the anti-mainstream option by writing an
interpretation in Javanese and Arabic Pegon script. As a matter of fact,
it was notable that Kiai Sholeh Darat’s hermeneutics tended to side
with the perspective ordinary people and sympathize with
marginalized social groups (mustad}’afi>n). Most of Kiai Sholeh
Darat’s interpretations also arise from assumptions formed by his
educational background, a combination between Nusantara and
Arabic education, the list of his book reference books, his network of
masya>yikh (scholars), interactions with the community, and other
relevant factors. Hence, the style of the Kiai Sholeh Darat’s
commentary books mainly touched the outer and inner dimensions,
Nusantara and Arabic, and socio-sufistic aspects. In fact, Al-Ghazali’s
thoughts greatly influenced Kiai Sholeh Darat’s socio-sufistic
hermeneutics, thereby he was widely known as al-Ghaza>li> al-s}agi>r
(little Ghazali).
Kiai Sholeh Darat’s interpretation not only seeks to reveal the meaning
and value in the Qur’an, but also serves as a social critique. Kiai
Sholeh Darat’s interpretations are highly relevant in the life of the
nation today, particularly amidst the community facing a
multidimensional crisis, both in terms of the crisis of social wisdom
and moral crisis. The interpretation of Kiai Sholeh Darat that
harmoniously combines between outward and inner interpretations, as
well as social and Sufism, becomes one of the alternative discourses
that can be trans-internalized to the public in solving various problems
solving at stake.NIM.: 1530016047 Abdul Wahab2022-09-28T04:20:10Z2022-09-28T04:20:10Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/53574This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/535742022-09-28T04:20:10ZORTODOKSI TAFSIR KELEMBAGAAN: MEMBACA PERDEBATAN HERMENEUTIKA AL-QUR’AN DI MUHAMMADIYAHPenelitian ini menjelaskan perdebatan studi kritis al-Qur’an (hermeneutika) di
kalangan Muhammadiyah dan menemukan formasi ortodoksi melalui perdebatan
yang terjadi. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan
metode deskriptif analisis untuk menganalisis data. Pendekatan yang digunakan
adalah pendekatan wacana ortodoksi. Pendekatan ini digunakan untuk melihat
formasi ortodoksi Muhammadiyah melalui perdebatan yang terjadi. Sumber data
primer dalam penelitian ini adalah karya atau dokumen yang dibuat oleh orangorang
yang menjadi saksi sejarah dalam peristiwa yang diteliti. Data sekunder
dalam penelitian ini adalah karya-karya pemikir terdahulu tentang perdebatan
hermeneutika atau karya-karya tentang studi kemuhammadiyahan.
Tesis ini menjawab tiga permasalahan, mengapa perdebatan hermeneutika terjadi
di lingkungan Muhammadiyah padahal pencetusnya adalah orang
Muhammadiyah? Bagaimana argumen pro-kontra hermeneutika di kalangan
Muhammadiyah? Bagaimana formasi ortodoksi tafsir kelembagaan
Muhammadiyah melalui perdebatan yang terjadi?
Penelitian ini menemukan, pertama bahwa hermeneutika ditawarkan sebagai
sebuah solusi atas stagnasi paham keagamaan yang dialami Muhammadiyah.
Namun penerapan hermeneutika mengalami kritikan dan penolakan sebab dianggap
telah melanggar batas-batas ortodoksi kelembagaan Muhammadiyah. Kedua,
Perdebatan pun terjadi, kontestasi dalam memperoleh hegemoni pembenaran
dilakukan oleh masing-masing kubu melalui argumentasi yang dibangun. Kubu pro
mempertanyakan relevansi tradisi keilmuan penafsiran klasik, lalu hermeneutika
ditawarkan sebagai sebuah solusi, dan kubu pro menganggap bahwa hermeneutika
sejatinya telah eksis dalam tradisi penafsiran klasik. Di sisi lain kubu kontra
berargumen bahwa tradisi keilmuan penafsiran klasik sejatinya telah dibangun
dengan sangat kokoh, hermeneutika adalah produk barat dan jika diterapkan kepada
al-Qur’an maka akan merusak tradisi keilmuan tafsir dan menodai kesucian dan
keotentikan al-Qur’an. Ketiga, ditinjau dari pembahasan sebelumnya, ortodoksi
dalam tafsir kelembagaan Muhammadiyah dibagun atas tiga hal, yakni pergeseran
wacana keagamaan yang berkembang, peran ototritas, dan paham keagamaan di
Muhammadiyah. ketiga formasi ini berhubungan antara satu dengan yang lain
dalam bentuk spiral dan bersifat dinamisNIM.: 20200011121 Imam Fauzan2022-09-28T04:05:35Z2022-09-28T04:05:35Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/53569This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/535692022-09-28T04:05:35ZISLAMISASI SAINS DAN ILMUWAN: STUDI TENTANG QUR’AN KARIM DAN TERJEMAHAN ARTINYAPenelitian ini membahas tentang terjemah al-Qur’an versi Universitas Islam
Indonesia (UII) yaitu Qur’an Karim dan Terjemahan Artinya (QKTA). Fokus
pembacaan pada penelitian ini adalah menyangkut masalah kepentingan dan
motivasi-motivasi yang mendorong pihak UII menerjemahkan al-Qur’an serta
bagaimana identitas kelompok dikomunikasikan dan direfleksikan melalui literatur
tersebut. Bertolak dari penelitian terdahulu, studi ini bertujuan untuk melacak narasi
islamisasi sains dan ilmuwan yang terefleksikan melalui karya terjemah al-Qur’an.
Beberapa pertanyaan yang dijawab oleh penelitian ini adalah bagaimana terjemah
al-Qur’an oleh UII muncul dan berkembang? Mengapa UII ikut andil
menerjemahkan al-Qur’an? Bagaimana paradigma islamisasi sains dan ilmuwan
terefleksikan melalui karya terjemah al-Qur’an?
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan menggabungkan
penelitian teoritis dan empiris. Sumber dalam penelitian ini dikumpulkan
berdasarkan kajian bibliografis dan kerja lapangan. Sumber primer dari kajian ini
adalah Qur’an Karim dan Terjemahan Artinya (QKTA) yang diterbitkan oleh UII
dengan dua edisi, tahun 1997 dan 2005. Selain itu, penulis juga melakukan
wawancara dengan orang-orang yang dianggap relevan dalam proses penggalian
data.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sejak tahun ajaran 1990/1991 UII
mewajibkan seluruh mahasiswanya memiliki terjemah al-Qur’an dari Depag.
Namun, perkembangan selanjutnya, di tahun ajaran 1997/1998 UII memutuskan
menerjemahkan dan mencetaknya secara mandiri. Terjemah al-Qur’an ini ditujukan
sebagai penegasan identitas keislaman UII untuk membedakan diri dari universitasuniversitas
non-agama maupun universitas-universitas Islam lainnya. Tujuan ini
dikemas dalam satu gagasan baru, yaitu “mencetak sarjana Ulil Albab”. Mereka
adalah sarjana-sarjana yang tidak hanya brilian tetapi juga Islami dan qur’ani. Hal
ini wajar dilakukan mengingat, UII merupakan yayasan Islam tetapi ilmu-ilmu yang
dikelola di dalamnya kebanyakan ilmu-ilmu non-agama atau “sekuler”, bukan
ilmu-ilmu keislaman sebagaimana kampus-kampus Islam pada umumnya. Hasilnya
adalah bisa dilihat dari narasi-narasi terjemah yang menggunakan pendekatanpendekatan
sains modern seperti, dalam QS. al-Qiyamah ayat 3-4 dihubungkan
dengan kecanggihan sidik jari manusia, keharaman makan daging babi
dihubungkan dengan kesehatan. Usaha-usahanya dalam menghubungan ayat-ayat
al-Qur’an dengan sains modern ini, penulis istilahkan dengan islamisasi sains.
Selain itu, terjemah al-Qur’an oleh UII juga dijadikan referensi penting atau bahan
kajian pokok yang digunakan dalam program-program khusus yang dilaksanakan
di luar kelas, baik untuk kalangan mahasiswa, dosen-dosen, maupun karyawan.
Adanya Program-program khusus ini, penulis istilahkan dengan islamisasi
ilmuwan.NIM.: 20200011111 Fitriatus Shalihah, S.Ag2022-09-28T03:46:19Z2022-09-28T03:46:19Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/53555This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/535552022-09-28T03:46:19ZORTODOKSI TAFSIR SALAFI ONLINE DI INDONESIA: AJARAN TAUHID DAN AL-WALA’ WA AL-BARA’Tesis ini mencoba membidik bagaimana gagasan ortodoksi tafsir salafi online di Indonesia. Melihat eksistensi tafsir online dan pengaruhnya yang secara masif bagi masyarkat Muslim di Indonesia. Peneliti juga berasumsi bahwa adanya tafsir being online dipandang secara aksesbilitasnya menjadikannya mudah untuk dikonsumsi oleh masyarakat Muslim Indonesia. Sementara, dalam perkembangan tafsir salafi sendiri memiliki polemik yang sampai sekarang masih menjadi perbincangan hangat di kalangan pengkaji tafsir. Seperti tentang penolakannya terhadap penggunaan takwil dan intensitasnya dalam menggunakan metode tradisional. Dengan demikian tesis ini juga bertujuan untuk mengkaji secara historis bagaimana perkembangan tafsir salafi sehingga masuk di Indonesia dan menjadi warna serta corak penafsiran yang beredar di berbagai media online.
Hasil penelitian menyebutkan bahwa masuknya tafsir salafi di Indonesia tidak terlepas dari beberapa tokoh salafi Indonesia yang mengenyam pendidikan di Saudi dan Madinah. Seperti Firanda, Jawaz, Basalamah dan lain-lain. Mereka kemudian pulang membawa tafsir salafi dan dieksplorasi ke dalam beberapa karyanya, serta di media online seperti Website Muslim.or.id, pengikutsunnah.or.id. Berikutnya di beberapa channel Youtube, seprti Masjid Mujahidin TV, Al-Iman TV, dan Rodja TV, kemudian media group Facebook seperti ―Sahabat Sunnah‖ dan situs jual beli online seperti Yuidstore.com.
Hermeneutik tafsir salafi yang dibawa ke Indonesia sangat kental dengan model tafsir tekstual, metode al-Qur‟ān bil Qur‟ān, dan yang paling kentara adalah tentang anti takwil. Di mana semua itu merupakan ciri khas dari model tafsir salafi Timur Tengah seperti karya tafsir al-Sinqiṭi, dan As-Sa‘di. Tesis ini berargumentasi bahwa orotodoksi ajaran salafi online terbentuk atas tiga hal. Pertama; dilihat dari hasil penafsiran para tokoh salafi online yang selalu menyandarkan ajarannya kepada tokoh yang dianggap otoritatif. Kedua; dilihat dari intensitas dai salafi online dalam menformulasikan ajaran tauhid dan al-walā‟ wa al-barā‟ sebagai landasan tuduhan kesesatan golongan Muslim lain. dan ketiga; dilihat dari peran kelembagaan yang menaungi dai salafi dalam membentuk relasi kuasa di tengah masyarakat.NIM.: 20200011097 M. Sultan Latif Rahmatulloh2022-09-28T01:34:52Z2022-09-28T01:34:52Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/53532This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/535322022-09-28T01:34:52ZTAFSIR LISAN ONLINE KAJIAN TERHADAP PENGAJIAN TAFSIR AL-QUR’AN BUYA SYAKUR DI YOUTUBETesis ini mengkaji tentang tafsir lisan online dengan studi kasus pengajian tafsir al-Qur’an Buya Syakur di YouTube. Dalam pengajian ini Buya Syakur menjadikan tafsir Fi Zhilalil Qur’an karya Sayyid Quthb sebagai landasan, namun dalam praktik penafsirannya justru berbeda dengan tafsir yang dirujuknya. Pertanyaan utama dalam penelitian ini ialah siapa Buya Syakur dan mengapa ia ikut andil dalam merayakan tradisi lisan melalui pengajian tafsirnya di YouTube?, kemudian bagaimana proses produksi makna yang dilakukan Buya Syakur?, serta bagaimana audiens virtual meresepi tafsirnya?. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan teknik deskriptif-analitik dan dengan teknik pengumpulan data melalui netnografi, wawancara dan dokumentasi. Temuan dari penelitian ini menunjukan bahwa Buya Syakur menggunakan YouTube sebagai panggung tafsirnya disamping karena adanya pandemi Covid 19 di Indonesia pada awal 2020, ialah karena YouTube sebagai media yang demokratis dan populer di kalangan masyarakat. Melalui channel YouTubenya, Buya Syakur telah berhasil menawarakan cara baru ngaji tafsir dengan mekanisme yang dapat dinikmati masyarakat virtual. Maka di titik inilah Buya Syakur menemukan momentumnya sebagai penafsir online. Penelitian ini juga menemukan bahwa digunakannya tafsir Fi Zhilalil Qur’an dalam pengajian tersebut tak lain ialah untuk mengkritik pemahaman kelompok Islamis yang direpresentasikan oleh Sayyid Quthb. Islamisme di mata Buya Syakur dipandang sebagai ancaman serius dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan beragama. Maka dalam proses produksi makna Buya Syakur melakukan dekonstruksi terhadap tafsir islamis, dan menawarkan makna baru yang lebih kontekstual, dimana tujuannya ialah untuk mendatangkan nilai maslahat dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian, makna yang dihasilkan Buya Syakur berbeda dengan tafsir yang dirujuknya. Akhirnya tesis ini menegaskan bahwa betapa YouTube telah berhasil membuat siapapun menjadi berhak untuk berpartisipasi dalam di ruang penafsiran al-Qur’an. Dalam konteks ini Buya Syakur dengan misi dekonstruktifnya, mampu menyebarkan gagasan-gagasan progresifnya dengan lebih akseleratif sebab disampaikan secara lisan dan dimediasi oleh YouTube.NIM.: 20200011037 Yani Yuliani, S.Ag2022-03-14T04:29:18Z2022-08-15T04:15:46Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/50006This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/500062022-03-14T04:29:18ZTA’ARUF DALAM Q.S. AL-HUJURAT (49):13 (STUDI ANALISIS HERMENEUTIKA MA‘NA-CUM-MAGHZA)The discourse in this study is an interpretation of Q.S. Al-Ḥujurat (49):13 which
is analyzed using the theory of ma'na-cum-maghza hermeneutics. The problems
that occur in today's era, direct the understanding of Q.S. Al-Ḥujurat (49):13 as
evidence of the taruf processes leading to marriage. However, when a verse is
used as a proposition, it must have a strong argument. So far the explanation
from Q.S. Al-Ḥujurat (49):13 is still limited to relying on previous
interpretations, and has not been able to answer the current problem. So the Q.S.
study Al-Hujurat (49):13 needs to be studied again, to avoid imitation and blind
imitation of his understanding. Therefore, the author uses the theory of
hermeneutical interpretation of ma'na-cum-maghza, to further examine the
meaning of the words in Q.S. Al-Ḥujurat (49):13. The aim of this study is to
investigate the meaning value contained in Q.S. Al-Ḥujurat (49):13. The
methodology used in this study is Library Research with the theory of
interpretation using ma'na-cum-maghza hermeneutics approach theory. The
results of this study are in the explanation about the word ta'arofu has a meaning
of knowing each other, namely getting to know each other to between nations,
because the word syu'ub means a nation. The main message contained in this
verse is regarding to the values of multicultural education and the values of
Pancasila, exactly the third principle. Also regarding to a tolerance and
awareness of social solidarity, and it has a linkage between intercultural and
international communication, as well as the creation in different conditions that
calls for individuals to know each other. From this explanation, it can also be
seen how the existence of the word ta'aruf in Q.S. Al-Ḥujurat (49): 13 with a
contemporary context, which can be seen in terms of its implications and
relevance. First, this study has implications for the public's mindset on
understanding the word ta'aruf, which claims Q.S. Al-Ḥujurat (49): 13 as a proof
for the ta'aruf procession in the realm of marriage that occurs in Indonesia. This
study also has implications for the field of contemporary commentary studies in
the form of contributions to contemporary interpretations. Second, the relevance
of this research is divided into three parts; (1) in the realm of Islamic studies, (2)
in the realm of all components of the life of each individual or group, and (3) in
the realm of human-to-human communication.NIM.: 19205032068 Umi Wasilatul Firdausiyah S.Ag2022-03-08T08:02:41Z2022-03-08T08:02:41Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/49896This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/498962022-03-08T08:02:41ZSEJARAH TEKS AL-QURAN TELAAH ATAS PEMIKIRAN JOHN BURTONKenyataan bahwa sumber-sumber Muslim yang ditulis oleh kalangan tradisionalis terkait dengan kodifikasi al-Qur’an belakangan ini diklaim oleh kesarjanaan Barat kontemporer menyisakan persoalan mendasar. Persoalan itu muncul dikarenakan sumber-sumber itu ditulis belakangan jauh setelah peristiwa itu terjadi. Sehingga sumber informasi itu perlu dipertanyakan tingkat keakurasiannya karena tidak mempresentasikan fakta yang sebenarnya terjadi.
Sejarah teks al-Qur’an merupakan wilayah kajian yang sangat dinamis, bahkan bisa dikatakan paling kontensius dan penuh perdebatan. Hemat penulis, tema paling kontroversial dalam studi Islam di Barat saat ini ialah asal-usul dan sejarah teks al-Qur’an. Beragam pendekatan dan tesis beradu argumen. Salah satu pemikir yang berkontribusi terhadap sejarah teks al-Qur’an yaitu John Burton sosok pemikir yang kontroversial.
John Burton mengusulkan pandangan yang berbeda secara diametris; al-Qur’an dikodifikasi sewaktu Nabi hidup, bukan pada masa Abu Bakr atau ‘USmani, sebagaimana dipresentasikan dalam tradisi Islam. Burton mengadopsi teori Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht tentang hadits, ia menilai riwayat tentang pengumpulan al-Qur’an mulai dari masa Nabi, yang dilakukan para sahabatnya, hingga ke masa Utsman- dengan berbagai varian bacaannya – merupakan rekayasa para ahli fikih belakangan untuk mendukung teori nasikh-mansukh mereka dengan menyembunyikan kenyataan bahwa teks final al-Qur’an tidak dihasilkan oleh USmani, melainkan oleh Nabi sendiri.
Tesis Burton dinilai melanggar kredo umum sarjana muslim, bahwa pembakuan muṣḥaf ‘USmani itu terjadi oleh Nabi sendiri. Lebih jauh, apa yang diungkapkan oleh John Burton dan juga para sarjana Barat pengkaji Alquran dianggap sebagai bagian dari misi orientalisme klasik yang giat menghidupkan keraguan dan kebimbangan terhadap keshahihan muṣḥaf ‘USmani. Penelitian ini bermaksud menelaah dan mengungkap tesis Burton dengan metode deskriptip-analisis dan analisis-filosofis. Dengan metode ini, pandangan Burton dideskripsikan, dianalisis sedemikian rupa sehingga diketahui objektivitas dan sikap fairness Burton dalam memperlakukan data historis dan konklusi akhirnya.
Teori Burton, setelah diteliti ternyata memiliki kelemahan fundamental, ia terlalu berlebihan dan tidak berdiri di atas argumen yang kokoh. Pada sisi lain temuan-temuan manuskrip awal al-Qur’ān, terutama manuskrip awal al-Qur’an, terutama manuskrip pra-‘USmani di San’a, Yaman telah meruntuhkan gagasan tentang pengumpulan al-Qur’an yang dilakukan sendiri oleh Nabi. Labih jauh, kemungkinan Nabi mengumpulkan muṣḥaf diragukan, karena kalaulah peristiwa itu terjadi, maka tidak terdapat alasan yang mengharuskan peristiwa yang sama pada masa Abu Bakr dan ‘USmani.NIM.: 17205010061 Miftahuuddin2022-02-16T08:50:54Z2022-02-16T08:50:54Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/49032This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/490322022-02-16T08:50:54ZHOMOSEKSUALITAS MENURUT AL-QUR’AN PENAFSIRAN ATAS AYAT-AYAT KISAH KAUM NABI LUTH (APLIKASI TEORI PENAFSIRAN HERMENEUTIKA JORGE J.E. GRACIA)Homoseksual adalah penyimpangan seksual yang pernah dilakukan oleh kaum Nabi Luth. Homoseksual kembali ramai diperbincangkan masyarakat Indonesia, setelah banyak di antara kaum homoseksual yang menginginkan pemerintah melegalkan orientasi seksual mereka. Namun muncul juga problem lain yakni adanya perilaku diskriminasi terhadap kaum homoseksual dengan dengan menggunakan ayat-ayat tentang kisah kaum Nabi Luth. Dari sini tampak seakan hukum Islam menindas kaum homoseksual tanpa memberikan kesempatan kaum homoseksual untuk menyuarakan keluh kesah mereka. Problem inilah yang seharusnya diluruskan, Islam bukanlah menindas, mendiskriminasi, maupun menghakimi. Namun memberikan arahan menuju seksualitas yang benar sesuai dengan tujuan disyariatkannya.
Pendekatan Hermeneutika Jorge J.E. Gracia menjadi pilihan penulis untuk menggali pesan Al-Qur‟an terkait tentang ayat-ayat kisah kaum Nabi Luth. Dengan menggunakan pendekatan ini ditemukan hasil. Pertama, dari fungsi historis dijelaskan bahwa masyarakat arab pernah melakukan praktik homoseksual. Kedua, fungsi pengembangan makna, ditemukan bahwa setelah dilihat dari kajian historis makna yang dihasilkan adalah kewajiban menyalurkan syahwat sesuai dengan Sunnatullah. Ketiga, fungsi implikasi ditemukan bahwa ayat ini sangat relevan dengan keilmuan kesehatan, psikologi dan sosiologi. Dalam ranah kesehatan dijelaskan bahwa dampak dari praktik homoseksual adalah munculnya penyakit HIV/AIDS, yakni penyakit yang belum ditemukan pengobatannya. Sedangkan dalam keilmuan psikologis diketahui bahwa homoseksual memberikan efek gangguan saraf otak dan depresi mental, kemudian dalam lingkup sosiologi, pelaku homoseksual akan merasa dikucilkan, karena memiliki orientasi seksual yang berbeda dari masyarakat pada umumnya. Secara keseluruhan ayat-ayat tentang kisah kaum Nabi Luth merupakan perintah untuk menyalurkan dorongan syhawat sesuai dengan hukum sunnatullah. Dari 3 teori fungsi interpretasi yang ditawarkan oleh Gracia, penulis tidak memihak pada salah satu interpretasi, namun peneliti hanya memaparkan hasil penelitian dan diharapkan penelitian dapat memberikan wawasan penafsiran terhadap al-Qur‟an, terutama ayat yang berkaitan dengan homoseksual.NIM.: 14530073 Sofiyyatun Nafi'ah2022-02-14T08:57:47Z2022-02-14T08:57:47Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/49040This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/490402022-02-14T08:57:47ZPENAFSIRAN YA’JUJ DAN MA’JUJ DALAM AN ISLAMIC VIEW OF
GOG AND MAGOG IN THE MODERN WORLD KARYA IMRAN N.
HOSEINJika dirujuk ke al-Qur’an, Ya’juj dan Ma’juj hanya disebut 2 (dua) kali, yakni dalam QS. Al-Kahfi: 94 dan QS. Al-Anbiya’: 96. Meski begitu, substansi dari penyebutan itu adalah Ya’juj dan Ma’juj menjadi satu di antara tanda-tanda besar semakin dekatnya hari kiamat, selain bahwa mereka dikabarkan pernah melakukan kerusakan di muka bumi. Anehnya, dewasa ini, kajian tentang Ya’juj dan Ma’juj bisa dibilang minim, bahkan cenderung terabaikan. Hal ini menjadikan Ya’juj dan Ma’juj penting untuk dijadikan sasaran objek kajian.
Rangkaian peristiwa dalam beberapa dekade ini oleh Imran N. Hosein dinilai mempunyai benang merah dengan sifat dan sikap Ya’juj dan Ma’juj yang merusak. Persoalannya adalah, benarkah Ya’juj dan Ma’juj telah keluar? Jika sudah, lalu apa hubungannya dengan serangkaian peristiwa di era modern ini?
Penelitian ini akan mengungkap bagaimana penafsiran Imran N. Hosein tentang Ya’juj dan Ma’juj dan hubungannya dengan tatanan dunia modern. Adapun untuk menguji validitas penafsirannya, penulis menggunakan prinsip dasar hermeneutika filosofis Hans-Georg Gadamer. Penggunaan prinsip dasar ini akan membantu menjawab pertanyaan, bagaimana penafsiran Imran N. Hosein bisa menjadi mungkin dan bagaimana penafsiran tersebut memungkinkan untuk diterima sebagai sebuah produk penafsiran.
Imran N. Hosein menafsirkan bahwa Ya’juj dan Ma’juj telah lama keluar. Mereka kini menjadi bagian dari aliansi Inggris-Amerika-Israel di satu sisi (Ya’juj) dan Rusia modern di sisi yang lain (Ma’juj). Produk penafsiran ini tidak bisa dilepaskan dari metodologi yang ia gunakan, di mana ia memadukan antara pengetahuan empiris, rasional, dan intuitif. Meski begitu, berdasarkan penelitian yang penulis lakukan, ada tendensi bahwa penafsiran Imran N. Hosein bercorak sufistik. Sedangkan kategori penafsirannya adalah non-ilmiah, sebab ada inkonsistensi dalam penggunaan metodologi penafsiran yang ia gunakan. Selain itu, ada pra-pemahaman Imran N. Hosein yang mendorongnya untuk menyimpulkan bahwa ada keterkaitan antara keluarnya Ya’juj dan Ma’juj dengan tatanan dunia modern yang menurutnya korup dan tidak bertuhan.NIM.: 15530005 Sirajuddin Bariqi2022-02-02T04:28:07Z2022-02-02T04:28:07Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/49064This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/490642022-02-02T04:28:07ZNASIONALISME DAN CITIZENSHIP DALAM TAFSIR NUSANTARA: STUDI TEMATIK-KOMPARATIF KITAB TAFSIR AL-AZHAR DAN AL-MISHBAHPenelitian ini menjelaskan penafsiran ayat-ayat nasionalisme dan citizenship dalam
Tafsir Al-Azhar dan Al-Mishbah. Penelitian ini dirancang dengan metode kualitatif
dan termasuk dalam penelitian pustaka atau library research. Sumber data primer
penelitian ini adalah penafsiran Hamka terhadap ayat-ayat nasionalisme dan
citizenship dalam Tafsir Al-Azhar dan penafsiran Shihab terhadap ayat-ayat
nasionalisme dan citizenship dalam Tafsir Al-Mishbah. Adapun sumber data
sekundernya adalah literatur lainnya, baik berupa jurnal ilmiah, buku, dan lain
sebagainya yang masih berkaitan dengan kajian yang penulis lakukan. Analisis
yang digunakan peneliti adalah dengan reduksi data, display data, dan penarikan
kesimpulan. Dari penelitian yang dilakukan dapat diketahui bahwa, pertama, bagi
Hamka, ayat-ayat nasionalisme dalam Alquran memuat beberapa nilai prinsipil.
Nilai-nilai tersebut antara lain: rasa tanggung jawab, pluralisme, gotong-royong,
dan amanah. Adapun Shihab, menafsirkan nilai-nilai nasionalisme yang terdapat
dalam Alquran antara lain: mencintai negara, kesadaran akan adanya otoritas
pemimpin, persamaan dan kesatuan bangsa, menjaga stabilitas keamanan,
musyawarah, menghargai perbedaan, dan adanya kepastian hukum. Kedua , terkait
ayat-ayat citizenship (kewarganegaraan) dalam tatanan nation state—yakni
pemimpin non-muslim, QS. Al-Maidah: 51 dan kebebasan beragama, QS. Al-
Baqarah: 256, Hamka secara tegas menolak kepemimpinan—kepala daerah
maupun negara, oleh mereka yang beragama di luar Islam. Sedangkan Shihab
menerima kepemimpinan non-muslim. Adapun terkait kebebasan beragama,
Hamka dan Shihab menegaskan akan ketidakbolehan pemaksaan agama terhadap
orang lain., Dalam menafsirkan ayat-ayat citizenship —tema kebebasan beragama,
Hamka dan Shihab terjebak pada cara berpikir inward looking (melihat ke dalam)
yang pada tataran selanjutnya seolah menegaskan akan adanya kontruk mental
konservatisme dalam tatanan negara-bangsa Indonesia.NIM.: 19200010166 Akhmad Roja Badrus Zaman2022-01-24T04:41:50Z2022-01-24T04:41:50Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/48864This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/488642022-01-24T04:41:50ZTELAAH HERMENEUTIKA NIRKEKERASAN JAWDAT SAIDThis study seeks to answer three important questions in Jawdat Said's
thinking, namely, firstly the concept of nonviolence, secondly the development of
hermeneutics of nonviolence, thirdly the Qur'anic texts on nonviolence which are
interpreted aim to examine interpretations. According to Jawdat Said, the concept
of nonviolence is to fight violence, injustice and oppression not by physical
violence, whose main goal is peace. In developing non-violent hermeneutics, Said
uses several basic principles of interpretation, such as the principles of contextual,
rational and non-violent interpretation, the three basic principles in his
interpretation that make Said's interpretation in accordance with the need to answer
conflict issues related to Islam. Furthermore, the Qur'anic texts that form the basis
for Said's non-violence are Surah Al-Maidah verses 27-31, Al-Baqarah verse 256
and Surah Ar-Ra'd verse 11.
To find out the rationale and interpretation, this research uses a
hermeneutical approach using the theory of Jorge J.E. Gracia about interpretation.
With this approach, the structure of Said's thought in developing and interpreting
the Qur'anic texts would be uncovered. Said's interpretation is influenced by various
figures, situations and conditions so that this leads to a complex approach to the
Qur’an. In addition, the interpretation focuses more on the problem of humanism
or issues related to humanity. These things make Said's thinking different from that
of other contemporary scholars. In the principles used by Said also seem different
from others, he is able to separate the areas of the mind and soul, according to which
the audience is rarely aware of and highlighted these two aspects, even though both
are important things in shaping an action.
Furthermore, through this research, it is hoped that Muslims will be able to
get to know Jawdat Said, his works and thoughts, and make him a representation of
mufassir in responding to contemporary conflict issues. In addition, the public is
expected to know the focus of Said's study and to understand peaceful Islam through
his hermeneutics of non-violence.NIM.: 18200010027 Averosian Sophia Madany2022-01-24T04:34:27Z2022-01-24T04:34:27Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/48861This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/488612022-01-24T04:34:27ZTRANSENDENTALISME DALAM TAFSIR SUFI (STUDI TAFSIR AL-QURʾAN AL-ʿAZIM KARYA IBN ABDULLAH SAHL AL-TUSTARI)The foundation of Sufi interpretation is the subjective experience of the interpreter.
Talking about subjective experience, talking about an area that is quite complicated to
reach and explain. As a result, reading in this area will always be interesting to study.
This study tries to further examine the Sufistic Tafsir by Sahl al-Tustari concerning the
concept of transcendentalism. There is very little transcendentalism in academic studies,
especially in the study of Sufi interpretation, because it focuses more on aspects of
philosophy and Sufism. Therefore, God is the axis of everything that happens in the
universe, including humans themselves. There are two discussions of transcendence
represented by philosophical studies, for example Mulla Sadra with the concept of alhikmah
al-muta'aliyah, Ali Syaria'ti with the concept of Rausyan fikr, Iqbal with the
concept of khudi (human existentialism) and finally in the study of Sufism represented by
Ibn 'Arabi and al-Jilli with Insan Kamil, Suhrawardi with al-hikmah al-Isyraqiyah. Then
this research wants to explore the transcendental construction in the interpretation of the
Qur'an 'Azim as a form of Sufi experience in treading the spiritual path to God and what
makes it different from other Sufi experiences.
This research includes library research with the object of study is the Sufi interpretation
of Sahl al-Tustari as the main source. This type of research is a study of a character and
the method applied in this thesis research is the descriptive analysis method, which is to
explain and analyze each verse used in understanding the verse related to humans as
God's creatures. The approach used is Hans-George Gadamer's hermeneutics by giving a
historical reading, literalist then giving rise to a new contextual meaning.
The result found in this thesis research is that transcendence is an expression of
consciousness that causes humans to act according to what God has ordered. In this
context, the researcher understands that humans in the context of al-Tustari's
interpretation have an important note, namely the first about the creation of Adam from
Nur Muhammad, both humans have two souls, one leads to the enjoyment of the world,
the second leads to the spiritual aspect and to achieve happiness in life. The third is the
purpose of human life as God's vicegerent by remembering the names of God in order to
gain spiritual power in the form of achieving sincerity in worshiping God so that he can
meet (liqauhu) and witness Him (musayahada).NIM.: 17200010087 M. Ulil Abshor2022-01-07T06:22:01Z2022-01-07T06:22:01Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/47989This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/479892022-01-07T06:22:01ZKONSEP PERANG DALAM AL-QURAN (ANALISIS HERMENEUTIKA JORGE J. E. GRACIA TERHADAP PENAFSIRAN ULAMA PADA QS. AL-TAUBAH (9): 1-6)Tulisan ini mengkaji Q.S. al-Taubah (9): 1-6 menggunakan teori hermeneutika Jorge J.E Gracia. Ayat ini sering digunakan sebagai justifikasi terhadap kekerasan atas nama agama karena memerintahkan perang total melawan orang-orang musyrik. Sebagai ayat yang terdapat dalam surah yang terakhir diturunkan (al-Taubah), menurut sebagian ulama, QS. 9:5 menghapus ayat-ayat sebelumnya yang mendorong perdamaian dan pengampunan. Namun, ada juga ulama yang menyanggah penghapusan tersebut. Permasalahan ini sangat penting untuk dibahas karena mempunyai implikasi yang signifikan terhadap dasar hubungan antara Muslim dengan non-Muslim apakah perang atau damai. Oleh karena itu, pembahasan yang komprehensif diperlukan untuk mengungkap makna di balik ayat tersebut.
Metode yang digunakan untuk memahaminya adalah hermeneutika Gracia yang meniscayakan adanya pembacaan tekstual dan non-tekstual. Pembacaan tekstual dapat dilakukan melalui penjelasan terhadap tiga fungsi yakni historis, makna, dan implikasi, sedangkan non-tekstual dapat melibatkan pendekatan sejarah, politik, psikologi, dan lainnya. Teori Gracia sesuai dengan ilmu tafsir seperti fungsi historis yang menempati posisi penting dalam mengungkap sejarah teks sepadan dengan asbab al-nuzul. Akan tetapi, sisi historis saja tidak cukup untuk menggali maksud teks. Oleh karenanya, diperlukan fungsi makna dan implikasi untuk menguji kesesuaian teks dengan realitas kontemporer, sehingga melahirkan penafsiran kontekstual.
Faktanya, QS. 9:1-6 diwahyukan untuk merespons situasi tertentu yang dihadapi oleh umat Muslim saat itu. Sebelumnya, ada tahapan makna jihad sampai akhirnya “ayat perang” diturunkan. Perintah untuk berperang dimulai setelah Nabi saw hijrah ke Madinah. Sementara, ketika di Mekah, umat Muslim diharuskan untuk bersabar terhadap cobaan dan berjihad dengan menggunakan al-Quran. Jihad dalam arti perang pun bersifat defensif, kecuali yang dinyatakan dalam QS. 9:5 yang memuat jihad ofensif. Perang ofensif harus diterapkan ketika melihat tidak ada peluang untuk hidup bersama secara damai dan kaum muslimin mengalami kekerasan.
Analisis fungsi historis ayat ini berkaitan dengan perjanjian Hudaibiyah yang dilanggar oleh kaum musyrikin Quraish Mekah, sehingga situasi kembali ke dalam peperangan. Sementara, fungsi maknanya adalah perang sebagai jalan terakhir untuk mengatasi kekacauan demi meraih kedamaian dan kebebasan berekspresi. Dengan demikian, menjaga perdamaian antar manusia walaupun berbeda etnis, budaya, dan agama adalah keharusan. Selanjutnya, fungsi implikasinya dalam konteks keindonesiaan, ayat ini memberikan himbauan untuk setia terhadap Pancasila. Penolakan terhadap Pancasila berarti melanggar perjanjian yang telah disepakati. Pembacaan non-Tekstual terhadap kondisi geografis dan budaya Arab mempengaruhi karakter orang-orang Arab untuk melakukan peperangan demi kehormatan dan mempertahankan sumber daya alam.NIM.: 17205010047 Ulummudin2021-12-06T04:08:40Z2021-12-09T06:44:33Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/47524This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/475242021-12-06T04:08:40ZTEORI KEBERMAKSUDAN DALAM TERJEMAHAN AL-QUR'AN
(STUDI AYAT ALEGORI DALAM THE MESSAGE OF THE QURAN KARYA
MUHAMMAD ASAD)Translation of the Al-Qur’an has become a contestation to explore the meaning of
the Qur’an more concisely. However, despite its brevity, there is a rather complex
polemic. Based on the Skopos Theory (meaningful translation), the author here
discusses about the Al Qur’an translation released by Muhammad Asad titled “The
Message of the Quran”. The core problem raised in this study is to identify the
translation hermeneutics which brought to the surface by Asad in terms of the
intention theory; as well as examining his translation result of allegoric verses
(mutasyābihāt), which consist of three subcategories: anthropomorphism,
muqaṭṭa’āt, and supernaturalism. Both of these problems were explored using a
descriptive-qualitative method which generated several findings. First,
hermeneutically, Asad puts rationality as the aim that underlies each movement of
translations. Asad supports his aim with several points of purpose, such as context,
extra quranic nasakh, emphasizing the integration concept of the verses, along with
mainstreaming the ibrah over the historicity of the Qur’an. Second, specifically in
three themes of allegorical verses: anthropomorphism, muqaṭṭa’āt, and
supernaturalism (gaib), Asad still stands faithful to the rationality concept.
However in this topic, the validity of Asad’s rationality is being tested, considering
the limitation of human’s reasoning, whereas revelation does not. Responding this
dilemma, Asad preferred to conclude his arguments turned around, that the true
truth of Al-Qur’an’s meaning lays on God’s hands. This is a rationality according
to Muhammad Asad. Lastly, theoretical reflection of this research is a paradigm
shifting of translation from equivalency to purposive, which is very relevant when
translating scriptures.NIM: 18200010076 Muhamad Zulfar Rohman2021-12-06T01:12:11Z2021-12-06T01:12:11Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/47505This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/475052021-12-06T01:12:11ZHermeneutika Al-Qur’an Emha Ainun Nadjib Dalam DaurEmha Ainun Nadjib atau yang lebih akrab disapa Cak Nun secara rutin dalam kurun waktu dua tahun (2016-2018) menulis “Daur” yang merupakan sebutan yang disematkan Cak Nun tersebut yang berarti lingkaran atau bulatan. Saat menulis daur sering kali mengutip ayat-ayat Al-Qur‟an dan beliau juga menafsirkan ayat-ayat tersebut. Daur sendiri terbagi menjadi dua jilid. Jilid satu ditulis Cak Nun pada Februari hingga Desember 2016 dengan jumlah 309 Daur. Sedangkan Daur jilid dua ditulis Februari hingga Maret 2018 dengan jumlah 319 daur. Antara satu Daur dengan Daur yang lainnya saling berkaitan. Namun, ada perbedaan pola penulisan Daur. Dalam Daur jilid satu Cak Nun mengutip ayat dan menafsirkannya secara tersirat sedangkan di daur kedua ketika menuliskan Daur Cak Nun selalu menutup tulisan Daur itu dengan mengutip ayat. Daur jilid dua dipublikasikan di website www.caknun.com Belakangan,Daur jilid satu akhirnya dibukukan.
Saat ini metode penafsiran Al-Qur‟an sangatlah beragam salah satunya adalah menafsirkan Al-Qur‟an dengan metode Hermeneutika. Hermeneutika bermakna menjelaskan. Kata hermeneutika diambil dari nama seseorang yang bernama Hermes yang bertugas untuk menjadi menerjemahkan dan menjelaskan misi ketuhanan kepada manusia. Dalam perkembangannya hermeneutika dipakai untuk menafsirkan Al-Qur‟an.
Dari latar belakang diatas muncullah pertanyaan bagaimana penafsiran ayat-ayat Al-Qur‟an dalam Daur? Lalu bagaimana model hermeneutika Emha Ainun Nadjib? Hasil dari penelitian ini adalah ada perbedaan pola penulisan Daur yang dilakukan oleh Emha Ainun Nadjib. Dalam Daur jilid satu dan dua dari satu Daur dengan Daur yang lain saling berkaitan, bedanya ketika menulis Daur jilid satu Emha Ainun Nadjib menafsirkan ayat-ayat Al-Qur‟an secara tersirat. Sedangkan dalam Daur jilid dua Emha Ainun Nadjib selalu menuliskan ayat-ayat Al-Qur‟an yang beliau tafsirkan dalam Daur yang beliau tulis setelah tulisan Daur berakhir. Model hermeneutika Emha Ainun Nadjib adalah masuk dalam aliran obyektivis cum subyektivis.NIM:1620010039 Meta Puspitasari2021-11-24T03:29:19Z2021-11-24T03:29:19Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/47120This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/471202021-11-24T03:29:19ZHERMENEUTIKA FEMINIS ASGHAR ALI ENGINEER & FAQIHUDDINPenelitian ini menjelaskan tentang Hermeneutika Feminis Asghar Ali Engineer
dan Faqihuddin Abdul Kodir. Penelitian ini menggunakan penelitian pustaka
(library research) dengan pendekatan Hermeneutika Gadamer historically effected
consciousness dan Fusion of Horizon. Objek penelitian ini adalah hermeneutika
pembebasan (Islam dan Teologi Pembebasan) Asghar Ali Engineer dan
heremenutika resiprokal (qiro’ah mubadalah) Faqihuddin Abdul Kodir. Sumber
sekundernya adalah buku-buku tafsir, feminis, sejarah dan penelitian tentang
hermenutika pembebasan dan hermeneutika resiprokal.
Tesis ini menjawab tiga permasalahan, mengapa Asghar Ali Engineer dan
Faqihuddin Abdul Kodir mengembangkan teks-teks suci keagamaan?, bagaimana
aplikasi hermeneutika Asghar Ali Engineer dan Faqihuddin Abdul Kodir terhadap
ayat-ayat gender?, bagaimana persamaan dan perbedaan hermeneneutika feminis
Asghar Ali Engineer dan Faqihuddin Abdul Kodir?
Penelitian ini menemukan, pertama bahwa Engineer dan Faqih melihat adanya
permasalahan kehidupan terhadap sebagian perempuan muslim terkait status,
posisi, tubuh, bahkan pemikirannya yang masih diperdebatkan, hal ini tidak lepas
dari konteks penafsiran sebagian ulama’ klasik yang memposisikan perempuan
sebagai kelas kedua. Untuk menghadapi permasalahan ini Engineer
mengembangkan suatu metode dalam menafsirkan al-Qur’an yakni hermeneutika
pembebasan dan Faqih hermeneutika resiprokal (qiro’ah mubadalah). Kedua,
aplikasi hermeneutika feminis terhadap ayat poligami surat an-Nisaa’[4]: 3,
Engineer condong kepada usaha memberatkan kebolehan poligami, sedangkan
Faqih cenderung tidak membolehkan poligami melihat dampak negatif yang akan
terjadi. Selanjutnya hermeneutika feminis terhadap isu perceraian, pandangan
Engineer dalam QS. Al-Baqoroh [2]: 237 dan 229 suami dan istri diperbolehkan
untuk mengajukan cerai, sedangkan dalam pandangan Faqih dengan mengacu
kepada QS. an-Nisaa’ [4]: 130 istri berhak mengajukan cerai apabila seorang
suami melakukan nusyuz (durhaka). Ketiga, Engineer dan Faqih memiliki visi
yang sama terkait prinsip umum kesetaraan gender dalam Islam dengan mengacu
kepada QS. Al-Hujurat [49]:13 dan sejarah Nabi Muhammad membawa misi
peradaban Islam. Sedangkan perbedaanya terletak dalam langkah metodik yang
digunakan kedua tokoh tersebut dalam menginterpretasikan al-Qur’an, Engineer
dalam heremenutika pembebasannya menggunakan tiga langkah metodik,
pertama, mengacu pada metode independen, kedua, menolak Ideologi patriakhi,
ketiga, Klasifikasi ayat dan hadis feminis. Sedangkan Faqih menggunakan
hermeneutika resiprokal (qiroa’ah mubadalah) dengan tiga langkah metodik,
pertama, al-mabadi’, Kedua al-qawa’id. Ketiga, al-juz’iyyat.NIM.: 19200010076 Fatia Inast Tsuroya2021-11-24T02:10:06Z2021-11-24T02:10:06Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/47108This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/471082021-11-24T02:10:06ZHERMENEUTIKA FEMINIS: KAJIAN AYAT-AYAT GENDER DALAM AL-QUR’AN (STUDI KOMPARATIF ANTARA AMINA WADUD DAN KHALED M. ABOU EL FADL)Fenomena ketimpangan gender dalam masyarakat muslim, masih ada dan cukup signifikan. Isu ketimpangan gender ini terjadi di berbagai aspek, baik pemikiran dan pemahaman, maupun aspek perilaku sosial. Meskipun isu tentang gender bukanlah isu yang baru, namun isu ini terus berkembang dan semakin aktual seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan meningkatnya cendikiawan muslim dari kalangan perempuan. Para akademisi muslim yang menaruh perhatiannya pada kajian seputar gender mulai tertarik untuk melakukan reinterpretasi ayat-ayat gender dalam al-Qur’an. Dalam al-Qur’an ada ayat-ayat tentang hubungan laki-laki dan perempuan, tetapi konsep yang merumuskan pembacanya. Persoalan penafsiran teks al-Qur’an yang bias gender tersebut telah mendorong Amina Wadud dan Khaled M. Abou El Fadl untuk menyelami dan mendalami lebih lanjut bagaimana sesungguhnya mekanisme penafsiran pemahaman, perumusan, pemilihan, pengambilan kesimpulan dan pengambilan keputusan yang dilakukan seseorang, keluarga, kelompok, organisasi dan institusi keagamaan dengan menawarkan metode baru.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, dengan menggunakan metode kepustakaan (library research). Dengan menggunakan teori hermeneutika Gadamer, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis interpretasi Amina Wadud dan Khaled M. Abou El Fadl atas ayat-ayat gender dalam al-Qur’an. Teori-teori yang digunakan adalah: Historycally Effected Consciousness (Keterpengaruhan oleh Sejarah), Pre-Understanding (Prapemahaman), Fusion of Horizon (Penggabungan/Asimilasi Horison), dan Awendung; application (Penerapan/Aplikasi).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, baik Amina Wadud dan Khaled M. Abou El Fadl, keduanya berangkat dari kegelisahan yang sama dalam melihat kondisi perempuan yang terkucilkan. Amina Wadud bahkan mengalami bentuk-bentuk diskriminasi secara langsung. Keduanya juga memiliki fokus yang sama, yaitu reinterpretasi penafsiran teks-teks ajaran Islam bercorak teologis-feminis dan tidak menfokuskan diri pada perkembangan gerakan feminisme. Lebih lanjut, Amina Wadud dan Khaled M. Abou El Fadl mereka berdua sama-sama ingin mengungkap prinsip normative teks al-Qur’an terkait keadilan gender. Adapun perbedaan antara keduanya dapat dilihat dari tiga hal, yakni: (1) Dari segi pendekatan Khaled menggunakan pendekatan hermeneutika negosiatif. Sedangkan Wadud menggunakan pendekatan hermeneutika tauhid yang banyak terpengaruhi Fazlur Rahman. (2) Wadud lebih banyak berbicara tentang kritik penafsiran al-Qur’an yang bias gender, sedangkan Khaled selain berbicara tentang penafsiran teks al-Qur’an yang bias gender dan kritik hadis-hadis misoginis serta banyak mengkritik fatwa-fatwa keagamaan bias gender. (3) Perbedaannya secara khusus, hermeneutika Wadud sangat menekankan pentingnya dimasukkannya pengalaman perempuan ke dalam penafsiran. Sedangkan dalam hermeneutika Khaled lebih menekankan pada proses negosiasi antara tiga elemen yaitu teks, penulis, dan pembaca.NIM.: 19200010017 Muhamad Turmuzi, S.Pd2021-11-23T02:32:03Z2021-11-23T02:32:03Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/47022This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/470222021-11-23T02:32:03ZMENINJAU ULANG BENTUK EJEKAN KELOMPOK MUNAFIK DALAM QS. 9: 64-66 (STUDI HERMENEUTIS MENGGUNAKAN PENDEKATAN MA’NA-CUM-MAGHZA)This research is motivated by two things. It was initiated by the trend of
blasphemy cases in Indonesia which led to massive demonstrations from several
urban muslims, from the case of Ahok, Sukmawati, Coki-Muslim. From this
phenomenon, several articles appeared on online pages, one of which was from
nahimunkar.com which talked about the prohibition of forgiving religious
blasphemers based on the Qs. 9: 64-66. Even at a certain point these blasphemers
may be sentenced to death, because their actions are considered as an infidelity.
Therefore, this study seeks to reinterpret Qs. 9: 64-66 through the theory of ma'na>-
cum-maghza>, an approach introduced by Sahiron Syamsuddin, that seeks to
capture the significance of Qur’anic verse through two things, literal and historical
macro-micro consciousness. This research is classified as a qualitative-library
research which is excavated based on authentic classical-modern Islamic sources
and other important additional sources. The results of this study indicate that the
application of Qs. 9: 64-66 as legal jurisprudence for blasphemers is considered
inappropriate, because the verse does not address this area. The verse talks about
the forms of persecution and hate speech of hypocritical groups to marginalize the
existence of Prophet Muhammad and his followers. As for the spirit of Qs. 9: 64-
66 is moral support for victims of bullying and a curse for perpetrators of bullying
and hate speech.NIM.: 17200010132 Irwan Ahmad Akbar2021-11-23T01:55:10Z2021-11-23T01:55:10Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/47020This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/470202021-11-23T01:55:10ZTAFSIR LISAN DAN SENSASI KEAGAMAAN MUSLIM URBAN: STUDI TENTANG PENGAJIAN TAFSIR SYATORI ABDUR RAUFTafsir lisan merupakan keterangan atau penjelasan tentang isi kandungan ayat-ayat Al-
Qur’an yang disampaikan secara langsung bertemunya penutur dengan pendengar agar maksud
dari isi Al Quran mudah dipahami oleh masyarakat lainnya. Seperti halnya yang dilakukan dalam
pengajian tafsir lisan Syatori Abdur Rauf di Masjid Nurul Ashri Deresan. Masjid yang berada di
Yogyakarta dekat dengan kampus besar ini cukup ramai oleh jemaat. Beberapa alasan salah
satunya karena biografi Syatori.
Syatori merupakan seorang pendakwah kelahiran Cirebon. Ia dikenal sebagai seorang
tahfiz Al-Qur’an dan pernah menjadi santri di pondok pesantren Pandanaran Yogyakarta. Syatori
merupakan pengurus dari pondok pesantren Darus Shalihat yang berada di Pogung Dalangan
Yogyakarta, santrinya merupakan kalangan mahasiswi UGM, UNY serta UII. Syatori merupakan
pembina jemaat haji dan umroh di Ygyakarta. Otoritas Syatori berdasarkan penelitian terbentuk
karena adanya kharisma yang kuat dari dalam dirinya. Selain seorang tahfiz Qur’an, pembina
jemaat haji dan umroh, pengasuh pondok pesantren Syatori juga menjadi teladan dengan tingkah
laku yang ia terapkan dalam kehidupannya, ia mampu mengarahkan orang lain yang didasarkan
atas kepercayaan atau ideologi yang dimilikinya. Unsur kharismatik ini lebih dikedepankan agar
orang merasa yakin dan percaya seperti halnya jemaat Syatoi percaya akan kemampuan dalam
menafsirkan,keahlian dalam memahami berbahasa Arab, kebijakan atau pemahaman lebih baik
dan mampu membawa jemaat kajian menyelami sisi dalam Al-Qur’an secara mudah.
Syatori menggunakan media lisan untuk menyampaikan penafsirannya hal itu
dikarenakan waktu yang singkat karena kegiatan yang padat seperti mengajar dan berkecimbung di
dalam masyarakat. Tafsir lisan dirasa lebih hidup dan mudah bagi masyarakat menyelami sisi
dalam Al-Qur’an. Syatori menggunakan dua metoe yaitu tafsir secara beruntut dalam satu surat
dan tafsir berdasarkan tema kajian yang di angkat selain itu ia juga menggunakan tadabbur dalam
memberikan penafsirannya.
Penafsiran Syatori sangat menarik hal itu bisa kita lihat begitu antusias dan banyaknya
jemaat kajian. Hal menarik yang ada karena melihat di Yogyakarta merupakan daerah perkotaan
atau urban yang kehidupannya sangat sibuk namun mereka menyempatkan waktu untuk mengikuti
kajian spiritualitas di dalam nya mengkaji tafsir Al-Qur’an yang menggali kedalaman Al-Qur’an
mencapai ketenangan jiwa, jiwa mutmainnah berdasarkan Al Quran serta ada proses doa dan
dzikir hingga mencapai tujuan akhir seseorang setelah mengikuti mistik spiritual adalah
terciptannya kesalehan ritual dan sosial.NIM.: 17200010116 Umi Latifah2021-10-25T07:38:53Z2021-10-25T07:38:53Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/45898This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/458982021-10-25T07:38:53ZMIMESIS DAN KULTUR TAFSIR AL-QUR’AN: KONTEKS, STRUKTUR DAN TRADISIONALITAS DALAM TAFSIR AYAT-AYAT SOSIAL KITAB MAFATIH AL-GHAIBPenelitian ini berporos pada pengaplikasian teori hermeneutika dalam kajian
tafsir Al-Qur’an. Adapun teori hermeneutika yang digunakan adalah tiga alur
mimesis yang digagas oleh Paul Ricoeur dalam Time and Narrative. Karya
tafsir yang dikaji dalam penelitian adalah Mafātiḥ al-Gaib karangan Fakhr al-
Din al-Rāzī. Signifikansi penggunaan teori mimesis1 adalah untuk
menghidupkan kembali diskursus sosial yang tersamarkan oleh rentang waktu
dalam satu konteks tertentu. Konteks dalam penelitian ini tidak difungsikan
sebagai alat untuk memahami teks, lebih dari itu ia adalah bagian integral dari
teks dengan diskursus yang telah mati. Dalam kasus al-Rāzī diskursus sosial
yang muncul yakni relasi erat antara ulama dan penguasa di samping beberapa
intrik politik yang tajam hingga menewaskannya. Berkacamatakan mimesis2
respons al-Rāzī terhadap elit menjadi lebih terang terbaca di dalam tafsirnya
dengan gambaran diskursus tersebut. Terdapat alur retorika yang sengaja
disusun bagi kalangan elit dan khususnya penguasa dalam tafsirnya sebagai
gambaran normatif akan kepemimpinan ideal dengan narasi persuasif. Di titik
ini al-Rāzī menyebut bahwa ulama adalah umara’ al-umara’, dengan narasi ini
secara tidak langsung ia memosisikan dirinya sendiri sebagai amīr al-umara’.
Narasi tafsir al-Rāzī selain ditujukan untuk umum dalam beberapa ayat yang
terkait dengan diskursus ulama-penguasa terlihat audiens yang dituju adalah elit
negara serta penguasa. Mimesis3 mengantar penulis pada penelusuran akan
tradisi tafsir Al-Qur’an dilingkaran istana. Di titik ini penulis mencoba untuk
membandingkan al-Rāzī dengan mufasir lain yang memiliki ikatan dengan
penguasa yakni al-Ṭabari dan Ibn Kaṡīr. Perbandingan antara ketiganya menjadi
demarkasi, bahwa pemikiran dan keberanian al-Rāzī melahirkan karya tafsir
dengan penyuaraan lantang pada keadilan dan kesetaraan kepada penguasa.NIM.: 17200010112 Muhammad Fathur Rozaq, S. Ag.2021-10-25T06:48:41Z2021-10-29T02:30:01Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/45882This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/458822021-10-25T06:48:41ZRU`YATULLAH MENURUT AL-BAIDAWI
DALAM ANWAR AT-TANZIL WA ASRAR AT-TA`WIL
(TINJAUAN TEORI NAZM ‘ABD AL-QAHIR AL-JURJANI)Tesis ini membahas penafsiran al-Baiḍāwī terkait ayat-ayat ruˋyatullāh
dilihat dari teori naẓm al-Jurjānī. Tulisan ini berangkat dari persoalan
kecenderungan takwil dalam pembacaan ayat-ayat yang mengandung pembahasan
topik teologi, atau yang membiarkan ayat-ayat tersebut berbunyi secara literal.
Setelah dirunut, cara pemaknaan terhadap ayat-ayat ruˋyatullāh ini, atau secara
umum ayat yang menyinggung topik teologi, secara tidak langsung juga memiliki
kaitan dengan cara pandang masing-masing terhadap i’jāz al-Qur’an dan posisi
lafal-makna dalam teks. Penelitian ini memberi sumbangan pada kajian seputar
ruˋyatullāh dan kedudukan makna. Peneliti menggunakan metode deskriptif
analitis terhadap data-data tentang latar (setting) historis dan pemikiran al-Baiḍāwī
serta al-Jurjānī, untuk dilihat peran dan hubungan gagasan keduanya, baik secara
teori maupun praktik.
Kesimpulan tesis ini menunjukkan bahwa, pertama, al-Baiḍāwī dalam
menafsirkan ayat-ayat ruˋyatullāh tidak terpaku dengan makna literal ayat. Al-
Baiḍāwī memerhatikan hubungan lafal-lafal ayat dalam memilih makna,
sebagaimana yang ditekankan oleh al-Jurjānī ketika ia berbicara mengenai naẓm
dan makna. Kedua, meskipun penafsiran al-Baiḍāwī kental dengan nuansa teologi,
tetapi ia dapat dikatakan tidak memaksakan pemaknaan atas ayat hingga keluar jauh
dari kesan makna literal. Ia memerhatikan hubungan tiap indikator dalam
memahami ayat, sebagaimana al-Jurjānī yang melihat peran keterkaitan
antarindikator dalam naẓm pada proses memahami teks. Ketiga, perhatian al-
Baiḍāwī pada kaidah bahasa atau ma’ānī an-naḥw juga menjadi media untuk
mengakomodasi pembacaannya atas ayat yang secara literal menolak ru`yatullāh.
Baginya, meskipun ada ayat yang secara literal tampak menegaskan kemustahilan
ru`yatullāh, tetapi ada potensi makna yang lebih dalam, bila kedudukan lafal-
makna serta kaidah bahasa diperhatikan dalam proses memahami ayat, sehingga
pembacaan yang menerima ru`yatullāh bisa masuk pada ayat tersebut. Hal ini tidak
bisa dilepaskan dari pengaruh keyakinan Asy’ariyah, mazhab yang didukung al-
Baiḍāwī dan al-Jurjānī, terkait i’jāz dan eksistensi kalām nafsī yang mendahului
kalam lafẓīNIM.: 18200010082 M. Kamalul Fikri2021-10-23T04:35:10Z2021-10-23T04:35:10Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/45797This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/457972021-10-23T04:35:10ZHermeneutika Sufistik dalam Literatur Tarekat
(Kajian atas Manuskrip Pengajian Tarekat Syattariyah Minangkabau)Sufistic style in human interaction with the Qur'an is the result of the interaction of
Sufism itself with the verses of the Qur'an. In the plural, the commentators interpret it
based on reason obtained through their respective spiritual experiences. In the
classical theories of Sufistic interpretation, there are two classifications which occupy
a tendentious position in the eyes of commentators: falsafi-nazhari and sufi-isyari.
Both are considered to be comprehensive enough to map the entire stretch of Sufism
in the realm of interpretation. The tarekat as orders of Sufism, through their spiritual
activities also cannot escape from interacting with the Qur'an which requires a
perspective and understanding of the Qur'an. In this study, the author tries to look
further at a way of understanding the Qur'anic verses in a mystic way by one of the
quite developed tarekat groups in Minangkabau (West Sumatra Province, Indonesia),
namely the Syattariyah order. Through the text written by one of the tarekat teaching
scholars, the author saw how they understood the verses they used in the teachings of
the tarekat. The aim is to explore the Sufistic interpretation of the Qur'anic verses in
the Pengajian Tarekat Syattariyah manuscripts, and also discover patterns and
methodologies of Al-Qur’an interpretation in the Pengajian Tarekat Syattariyah
manuscripts, and make additional contributions to the literature discussing Sufism
discourse. the Islamic world in general, and in Indonesia in particular. This research
is a library research with qualitative methods. The questions raised in this study are
(1) How is the Sufi hermeneutic of the Qur'anic verses offered in the Pengajian Tarekat
Syattariyah manuscripts? (2) What is the pattern and method of the interpretation of
the Qur'an in the Pengajian Tarekat Syattariyah manuscripts? Through a descriptiveanalysis
approach, the questions produce findings that some of the methods available
in Sufi interpretation theory are apparently not comprehensive enough to look at all
human interactions with the Qur'an in a Sufi way. Finally, the term hermeneutics
which is felt to be broader because it accommodates all types and styles of interaction
of people with text, manages to contain it. In this case, the interpretandum in Gracia
hermeneutic theory becomes relevant because the interaction of the Sufis with the
Qur'an does not always begin with the Qur'an. Sometimes they start from their
spiritual journey, then meet with the verses of the Qur’an, and make the results of the
trip as a comparator to the text of the verse, as if it is another interpretation of the
verse found. As a result the authors chose to call it "Sufistic hermeneutics", because it
could be used as a new offer rather than having to linger in two Sufistic interpretation
models that do not contain it. Then, note that interpretation of the Al-Qur’an in the
Pengajian Tarekat Syattariyah manuscripts, the verses are interpreted in
metaphorical way. Understanding which is in the real form which has also been
proven by modern science even though it is metaphorized into mental form, verses of
human reproduction for example. The influence of the teachings in what they called
the Pengajian Tubuh was felt in its elaboration of the Qur'anic verses.NIM: 18200010096 Shafwatul Bary2021-10-22T08:02:33Z2021-10-22T08:06:49Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/45257This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/452572021-10-22T08:02:33ZAYAT-AYAT GENDER DAN ORTODOKSI PENAFSIRAN DALAM KARYA TERJEMAH AL-QUR’AN (STUDI TERHADAP AL-QUR’ANUL KARIM TARJAMAH TAFSIRIYAH KARYA MUHAMMAD THALIB)This research will focus on the discussion of Muhammad Thalib’s translation, Al-Qur’anul Karim Tarjamah Tafsiriyah, regarding verses on gender, in order to find an overview of Thalib's thoughts regarding issues on behalf of women in hiswork translation. In addition, this paper will also reveal the construction of women in his work, and reveal suspicion of interpretive orthodoxy in this work by using the standards of orthodoxy construction according to Handerson, namely Primacy, true transmission, Unity, catholicity and the middle way.
Based on the results of the author's research, that in his translation of several gender verses, Muhammad Thalib tends to reduce the meaning of the verse. In addition, he also displays the translation of the verse by ignoring the context of the use of words in the target language (Indonesian). In the explanation of his translation, Thalib also tends to copy the explanation of the interpretation he refers to - either partially or completely - in his translation. In his work, women are reflected as a subordinate people. Such a form of translation can be misused as an argument to further confine women to male power, especially in carrying out their roles in both family or social life. Based on his translation, Thalib's work has an orthodox tendency in his interpretation of verses, especially verses on gender.NIM.: 1620010035 Chusnul Chotimah Bimbo2021-10-06T04:35:39Z2021-10-29T06:26:09Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/45029This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/450292021-10-06T04:35:39ZKONSEP HIERARKI NILAI DI DALAM AL-QUR’AN MENURUT ABDULLAH SAEED (SEBUAH KAJIAN HERMENEUTIKA FILOSOFIS HANS-GEORG GADAMER)The concept of the Hierarchy of Values is said to be one of the original findings of
Abdullah Saeed, who is a thinker in the field of Al-Qur'an exegesis who continues
the thoughts of contextual interpretation initiated by his predecessors, such as Nasr
Hamid Abu Zayd, Fazlur Rahman and other figures. Thus, although the concept of
the Hierarchy of Values is considered as an original finding of Abdullah Saeed, the
author considers that there is a contribution to the thoughts of his predecessors in
building this idea. To see this in detail, the author tries to research it using the
Philosophical Hermeneutics theory initiated by Hans-Georg Gadamer, which in
this case the author uses the theory of Historically Effected Consciousness and
Fusion of Horizons theory (assimilation/merging of horizons), specifically to see
the influence of history and knowledge horizon and text horizon in shaping the idea
of this Hierarchy of Values concept. The concept of the Hierarchy of Values itself
is an important part of Abdullah Saeed's exchange idea which he calls the
Contextual Approach in Al-Qur'an Interpretation. In this concept Abdullah Saeed
compiled five levels of ethico-legal verses which are considered important, and to
see which verses are universal and which are bound to context. The five levels of
Valuess are: (1) Obligatory Values, (2) Fundamental Values, (3) Protectional
Values, (4) Implementational Values, (5) Instructional Valuess. The initial three
levels in this Values level are considered by Saeed to be universal levels of the
verses, while the last two levels are closely related to context. So that the last two
Values are the most possible to be interpreted contextually and differently from the
previous period. In the analysis of Philosophical Hermeneutics that the author uses,
at least the context of Saeed's life, which is mostly spent in Australia, is an important
part of shaping his thinking. Then, in building this idea, Abdullah Saeed himself
said that at least he used 3 things in concocting the concept of the Hierarchy of
Values: First, the 'proto-contextualist' which is in the exegesis of 'Umar bin
Khattab; Second, the thoughts of the initiators of the maqashid syari'ah concept;
Third, the Values-based approach to interpretation initiated by Fazlur Rahman.
These three things are combined with the concept of 'right action' in the Qur'an
which Saeed considers the essence of the verses of ethico-legal. From that meeting,
the concept of the Hierarchy of Values finally emerged.NIM.: 18200010067 Andi Tri Saputra2021-09-20T07:33:52Z2021-09-20T07:33:52Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/44616This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/446162021-09-20T07:33:52ZTOLERANSI BERAGAMA PERSPEKTIF MUFASSIR JAWA: TELAAH PENAFSIRAN KYAI BISRI MUSTOFA DALAM TAFSIR AL-IBRĪZDiskusi terkait tema toleransi beragama senantiasa menarik dan
menjadi perhatian banyak kalangan, termasuk di dalamnya para peneliti
dan agamawan. Pada konteks yang sama, kitab-kitab suci umat
beragama termasuk juga al-Qur’an menarasikan pentingnya membangun
toleransi beragama. Al-Qur’an dalam penuturannya masih bersifat global,
sehingga dibutuhkan tafsir sebagai produk interpretasi guna menjelaskan
lebih detil maksud yang terkandung di dalamnya. Namun, teks-teks
tafsir yang ada masih didominasi pengaruh nalar Arab yang terkesan
kaku, dari aspek ini menarik untuk melihat bagaimana pembacaan
Kyai Bisri Mustofa sebagai seorang mufassir yang lahir dan berkembang
dalam kultur jawa terhadap ayat-ayat bertema toleransi beragama dalam
tafsir al-Ibrīz.
Penelitian ini merupakan kajian kepustakaan (library research)
yang menjadikan teks tafsir al-Ibrīz karya Kyai Bisri Mustofa sebagai
sumber primer dan kitab-kitab bertema toleransi sebagai sumber
sekunder. Metode pembahasan dalam penelitian ini tergolong
deskriptif-analitis dengan menggunakan analisa teori hermeneutika
Hans-Georg Gadamer.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konstruksi toleransi
beragama dalam tafsir al-Ibrīz, bersumber dan terbentuk akibat
terjadinya dialektika antara teks-teks keagamaan (intertekstual)
dengan kultur masyarakat Jawa, khususnya pesisir (ekstratekstual).
Dialektika ini terus berproses dan membentuk pola penafsiran tafsir alIbrīz.
Dalam
proses
ini
pula
terklasifikasi
dua
model
sikap
keberagaman,
pertama
sikap ekslusif-aktif yakni sikap keberagamaan yang cenderung
menganggap bahwa hanya agama yang dianut sajalah yang benar namun
juga menganjurkan pemeluknya untuk menjaga hubungan baik,
kerukunan, saling menjaga satu sama lain, serta berbuat kebaikan dengan
pemeluk agama lain. Umumnya terjadi dalam ayat yang membahas halhal
mu’amalah/duniawi, seperti makanan. Kedua, ekslusif-pasif, yakni
menganggap bahwa hanya agama yang dianut saja yang benar tanpa perlu
adanya tindakan bekerjasama, Umumnya berbicara tentang aqidah, seperti
siksa neraka bagi orang kafir.NIM.: 17200010131 Mokhamad Choirul Hudha2021-09-20T07:30:44Z2021-09-20T07:30:44Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/44614This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/446142021-09-20T07:30:44ZKONSTRUKSI HERMENEUTIKA ISLAM KONTRADIKSI: STUDI TERHADAP PEMIKIRAN SHAHAB AHMEDInterpretation of Islam is an important activity in religious studies, especially
Islamic studies. Studies of the meaning of Islam show the importance of this
object. Several studies in the field of Islamic interpretation only focus on
prescriptive concepts when interpreting Islam. This prescriptive meaning is more
focused on interpreting Islam through text only. Shahab Ahmed considers that
such a concept tends to marginalize and even ignore historical facts and
phenomena of Islam that are, for example, contradictions. There are many facts
and phenomena that appear to be widespread contradictions in Muslim life which
were neglected when Islam was interpreted only based on prescriptive. Shahab
Ahmed's Islamic hermeneutic meaning summarizes and accommodates, not only
different facts, but also contradictory facts. Because the concept of Islamic
hermeneutics has so far focused on prescriptive discourse, contradictory facts are
ignored. In fact, these facts and phenomena could potentially have Islamic
meaning. This thesis explores Shahab Ahmed's modus operandi in interpreting
Islam widely to different facts and even contradictions using the concept of
hermeneutical interrelation through the Wahyu Shahab Ahmed Matrix to
formulate the concept of three parts of the Matrix of Revelation, namely Pre-Text,
Text and Con-Text. In the end, this thesis will also try to understand and analyze
how praxis is in interpreting Islam. The results of this study indicate that the
concept of Islamic hermeneutics with hermeneutical engagement through Matrix
of Revelation of Shahab Ahmed is able to reach and include Islamic historical
facts and phenomena even those that are contradixy.NIM.: 17200010125 Ismail2021-09-08T17:27:08Z2021-09-08T17:27:08Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/44070This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/440702021-09-08T17:27:08ZTAFSĪR TADABBURĪ: RESISTENSI DAN ESTETIKA KITAB AL-MU‘ĪN
‘ALĀ TADABBUR AL-KITĀB AL-MUBĪN KARYA MAJD MAKKĪTesis ini bertujuan untuk mengkaji pendekatan baru tafsir Al-Qur’an yang
menggunakan term tadabbur—istilah dan kaidahnya—sebagai alternatif lain
dalam menafsirkan Al-Qur’an yang diistilahkan dengan tafsīr tadabburī.
Berangkat dari asumsi bahwa penafsiran terhadap Al-Qur’an tidak lepas dari
pengaruh latar belakang historis penafsirnya, kajian ini mengungkap aspek
resistensi dan estetika dalam kitab al-Mu‘īn ‘alā Tadabbur al-Kitāb al-Mubīn oleh
Majd Makkī yang erat kaitannya dengan isu revolusi Suriah dan identitas. Tesis
ini berkontribusi dalam kajian mengenai resepsi estetis Al-Qur’an, terutama yang
berkaitan dengan bagaimana identitas mufassir dapat mempengaruhi wacana tafsir
Al-Qur’an dalam ranah metodologis, ideologis (politik), dan akademis. Penelitian
ini menggunakan metode kuantitatif dengan menganalisis-kritis wacana
penafsiran dalam kitab al-Mu‘īn dan aktifitas penafsir dalam media-media online,
serta wawancara langsung dengan Majd Makkī melalui pesan tertulis. Kajian ini
menemukan bahwa wacana tafsir yang dimunculkan Majd Makkī dalam rangka
untuk merespon persoalan otoritarianisme pemerintah Suriah dengan narasi-narasi
demokratis dan pluralistis. Hal ini dilakukan sebagai langkah strategis untuk
mempertahankan eksistensinya dan mendapatkan dukungan internasional dalam
agenda perlawanan terselubung (hidden transcript). Sebagai sosok akademisi
Muslim, ia juga memanfaatkan tadabbur sebagai pengembangan ilmu Al-Qur’an
dan tafsirnya. Ini didasarkan pada upayanya dalam memunculkan aspek estetika
Al-Qur’an (i‘jāz Qur’ānī) melalui pembacaan tadabburNIM: 19200013014 Abu Sufyan2021-09-08T14:39:21Z2021-09-08T14:39:21Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/44065This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/440652021-09-08T14:39:21ZHERMENEUTIKA INKLUSIF:
Epistemologi Tafsir Ayat-Ayat Disabilitas Wahbah ZuhailiDisabilitas merupakan topik yang cukup hangat dan populer di era kontemporer. Hal ini didasarkan pada fakta sosial dimana disabilitas sering diidentikkan dengan kondisi yang penuh dengan keterbatasan, kelemahan dan rendah, sehingga stigma demikian bersifat diskriminatif. Sebagai akibatnya, orang dengan penyandang disabilitas diberi label ketidaksempurnaan atau menyimpang sehingga menimbulkan persepsi yang menganggap mereka bukan bagian dari komposisi masyarakat. Kajian disabilitas pun selama ini cenderung bersifat antropologis, historis dan sosiologis. Penelitian ini menyajikan diskusi dan argumentasi yang berbeda mengenai disabilitas melalui sudut pandang tafsir dengan asumsi bahwa Alquran itu akomodatif terhadap problematika kehidupan kontemporer khususnya isu disabilitas.
Penelitian ini bertujuan mengetahui dan mengeksplorasi hermeneutika inklusif Wahbah Zuhaili dalam penafsiran ayat-ayat disabilitas. Fokus penelitian ini berupaya menjawab tiga persoalan; Pertama, konteks pemikiran Wahbah Zuhaili dalam menafsirkan ayat-ayat disabilitas. Kedua, epistemologi hermeneutika inklusif Wahbah Zuhaili dalam menafsirkan ayat-ayat disabilitas. Ketiga, implikasi teoritik dari pemikiran Wahbah Zuhaili dalam menyikapi disabilitas. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research) yang bersifat kualitatif dengan metode diskriptif-analitis dimana penyajian datanya berupa data-data tertulis. Dengan menggunakan teori fusion of horizons Gadamer, penulis berupaya menganalisis konteks pemikiran Wahbah Zuhaili dalam menafsirkan ayat-ayat disabilitas, epistemologi hermeneutika inklusif penafsirannya dan implikasi teoritik pemikirannya dalam menyikapi disabilitas.
Temuan dari penelitian ini menunjukkan bahwa, Wahbah Zuhaili memposisikan penyandang disabilitas itu setara dan ekualitas (musawah) dengan masyarakat non disabilitas. Mereka berhak diperlakukan adil, diakui sebagai anggota masyarakat dan berhak memenuhi hak-haknya. Dengan demikian, suatu masyarakat akan mencapai solidaritas dan inklusivitas sosial yang merata. Sementara itu, mekanisme penafsiran ayat-ayat disabilitas Wahbah Zuhaili cenderung bersifat inklusif-emansipatoris dan transformatif, dimana tujuan penafsirannya adalah untuk transformasi dan perubahan yang tidak hanya mengungkap makna teks semata. Sumber penafsirannya meliputi teks (Alquran dan hadis), konteks realitas dan akal (ra’yu). Di samping itu, validitas penafsirannya dapat dianggap cukup kuat, karena memiliki koherensi proposisi, berkorespondensi atau sesuai fakta empiris dan berkontribusi memberikan solusi-praktis dalam kehidupan.NIM. 19200010106 Lukman Fajariyah2021-09-08T11:19:59Z2021-09-08T11:19:59Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/44055This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/440552021-09-08T11:19:59ZTAFSIR AYAT-AYAT MANAZIL AL-AKHLAK ABDURRA’UF AL-SINKILI DALAM KITAB TANBIH AL-MASYI DAN TARJUMĀN AL-MUSTAFĪDThis research describes the sufistic concept which> mana>zil al-akhla>k 'Abdurra'ūf al-Sinkilī in his book Tanbi>h al-Ma>syi>, a book of Sufism and Tarjumān Al-Mustafīd, an interpretation of the Koran. This thesis uses library research with Jorge's hermeneutic approach. J.E. Gracia and historical. The object of this research is the concept of which man>azil al-akhla>k in two works of Abdurra> 'uf al-Sinki> li, namely: in Tanbi>h Al-Ma>syi and Tarjuma>n Al-Mustafi>d, the two works become the primary source of this research. Meanwhile, the secondary sources are historical books, Sufism, commentary and research on Abdurra> 'uf al-Sinki>li.
This thesis answers three problems, namely, what are the characteristics of Abdurra> 'uf al-Sinki> li in Tanbi>h Al-Ma>syi and Tarjuma>n Al-Mustafi>d? How are the similarities and differences in the interpretation of which mana>zil al-akhlak 'in the two books? Why are there similarities and differences in interpreting which verses mana>zil al-akhla>k in the two books?
This study found, firstly that the character of Abdurra> u'f al-Sinki> li thought in the Tanbi>h Al-Ma>syi> character was mystical-philosophical in nature, while Tarjuma>n Al-Mustafi>d was in the form of sharia. formalists. Second, al-Sinkili interprets which verses mana>zil al-akhla>k in Tarjuma>n al-Mustafi>d by emphasizing more on the textual (exoteric meaning) or literal meaning, whereas in Tanbi>h Al-Ma>syi >, he emphasized the inner meaning (esoteric meanig) by looking for the implied meaning in the text of the Koran. Al-Sinki> li also emphasized wasatiyyah (moderation) in interpreting religion so that it was accepted by opposing circles between Nuruddin al-Rani>ri and Hamzah al-Fansu>ri. Third, the difference in the interpretation of which mana>zil al-akhla>k occurs because al-Sinki>li considers the target audience (audience) of the two books, Tanbi>h Al-Ma>syi> was written for Sufism while Tarjuma>n al-Mustafi>d for the Islamic community and the general public.NIM: 19200010020 Ahmad Husein, S.I.Q., S. Ag2021-09-06T22:48:55Z2021-09-06T22:48:55Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/43917This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/439172021-09-06T22:48:55ZSEMIOTIKA AL-QUR’AN: TAFSIR PUISI A. MUSTOFA BISRI DALAM BUKU KUMPULAN PUISI ‘AKU MANUSIA’Puisi merupakan media untuk menuangkan gagasan dan perenungan atas
realitas-empiris. Gagasan dan perenungan yang terkandung dalam puisi dapat
berupa makna itu sendiri. Kendati demikian, makna juga dapat dihadirkan melalui
teks-teks di luar puisi. Makna sebenarnya tidak selamanya dapat ditemukan. Akan
tetapi,melalui tinjauan dari sisi konvensi bahasa, pembacaan hermeneutis
danmemunculkan hipogram makna, makna potensial dalam puisi dapat
dihadirkan.
Selain sebagai media, puisi juga dapat dijadikan sebagai wajah untuk
menafsirkan Al-Qur’an. Hal ini yang kerap kali ditemukan dalam puisi-puisi A.
Mustofa Bisri. Puisi-puisi yang ditulis Bisri memiliki hubungan erat dengan ayat
atau surah dalam Al-Qur’an. Oleh sebab itu, penelitian ini akan berfokus pada
puisi-puisi Bisri yang diasumsikan peneliti sebagai pola baru dalam khazanah
tafsir Al-Qur’an. Beberapa puisi yang dijadikan objek kajian ini dipilah dari buku
kumpulan puisi 'Aku Manusia'. Dari pemilahan puisi tersebut nantinya akan
dibedah dengan teori Semiotika Michael Riffaterre.
Ada pun hasil penelitian ini menemukan bahwa beberapa puisi Bisri
terdapat(1) puisi yang secara langsung menerjemahkan surah Al-Qur’an;(2) puisi
yang secara makna mengandung nilai Al-Qur’an;dan (3)puisi yang berdasarkan
analisa semiotika ini menghasilkanklasifikasi karakter manusia ke dalam tiga
segmentasi, antara lain: (1) segmen puisi yang menceritakan karakter manusia
mulia; (2) segmen puisi yang menceritakan karakter manusia tercelah; dan (3)
segmen puisi yang menjelaskan karakter manusia heterogen.NIM: 17200010091 Mohammad Ali Rohman2021-06-19T02:14:44Z2021-06-19T02:14:44Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/42502This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/425022021-06-19T02:14:44ZTA'WILDefinisi ta 'wil adalah mengeluarkan makna (dalalah) lafaz dari yang hakiki kepada yang majazi, dengan tanpa merusak aturan aturan majaz dalam bahasa Arab. Semisal menamakan sesuatu dengan perumpamaannya, atau dengan sesuatu yang menjadi sebab terwujudnya sesuatu itu, atau dengan sesuatu yang me nempel padanya, atau dengan sesuatu yang menyertainya, atau dengan apapun yang bisa dikategorikan sebagai bentuk kalimat majaz.- Ahmad Baidowi [Penerjemah]2021-03-01T07:30:07Z2021-06-18T04:35:01Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/42080This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/420802021-03-01T07:30:07ZMETA-NARASI ESKATOLOGI AL-QUR’AN DALAM
PEMBENTUKAN KESADARAN SOSIAL
MASYARAKAT ISLAM AWALAgama dan keyakinan memberikan harapan manusia untuk masa depan
setelah kematian. Al-Qur’an menawarkan harapan surga bagi orang yang beriman
dan ancaman neraka bagi orang yang tidak beriman. Janji dan ancaman itu hadir
dalam konteks historis turunya al-Qur’an. Penelitian ini bermaksud untuk melihat
bagaimana narasi eskatologi hadir dalam kontek sejarah dan bagaiman implikasinya
dalam membentuk perilaku sosial masyarakat Islam awal. Untuk menjawab
pertanyan itu, penelitian ini mencoba menggunakan teori metanarasi Lyotard untuk
memahami narasi dibalik narasi eskatologi al-Qur’an dan dengan teori mysterium
tremendum Rudolf Otto untuk melihat pola perubahan perilaku sosial yang terjadi
pada masyarakat Islam awal. Kemudian peneliti menggunakan pendekata
hermeneutika psikologi untuk melihat konteks sosio-historis yang melingkupi
turunya ayat-ayat eskatologi.
Penelitian merupakan kajian literatur yang bersifat kualitatif dengan
mengggunakan bahan bahan tertulis berupa al-Qur’an, kitab-kitab hadits, kitab
sejarah dan tulisan-tulisan ilmiah yang mendukung penelitian ini sebagai sumber
datanya. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif-komparatif yaitu mencoba
mendeskripsikan informasi historis yang ditemukan dalam teks dengan
mengkomparasikan beberapa data-data yang ditemukan terkait informasi sejarah
yang meliputi turunya ayat-ayat eskatologi.
Dari penelitian yang telah dilakukan, peneliti menemukan bahwa pada setiap
periode, eskatologi membawa pesan tersendiri. Periode pertama, eskatologi hadir
sebagai ancaman yang ditujukan kepada para penentang dakwah Nabi secara
individu dan kritik sosial terkait persoalan yang dihadapi masyarakat Arab.
Pertama, eskatologi merespon adanya ketimpangan sosial yang terjadi pada masa
itu dengan mengomentari sikap sombong para pemuka Quraisy dengan kekayaanya,
diantara al-Walid bin al-Mughirah yang kekayaanya membentang sampai ke Thaif.
Kedua, eskatologi hadir memberi anacaman terhadap para hartawan yang tidak
mempunyai kepedulian sosial, terutama ketidak pedulian mereka terhadap anak
yatim, sebaliknya mereka justru memperlakukan anak yatim secara tidak adil.
Ketiga, gaya hidup bermewah-mewahan dan hedonis serta kesombongan atas apa
yang mereka miliki. Kesadaran sosial terbentuk pasca ayat-ayat eskatologi berupa
perilaku individu dan perilaku sosial sahabat. Perilaku yang terjadi akibat
pemahaman dan keyakinan terhadap gagasan eskatologi berupa tangisan ketakutan
saat mendengan informasi eskatologi, perilaku zuhud atau asketisme, ketidak
pedulian dengan duniawi untuk mendapatkan kenikamatan ukhrowi, kepedulian
sosial, kedermawan, muncul setelah mendengar informasi bahaya kekayaan di dunia
saat menjalani penghakiman di akhirat, eskatologi dijadikan pijakan dalam
menentukan kebijakan politik, dan penentangan oleh terhadap penguasa yang dinilai
tidak sesuai dengan pesan al-Qur’an.NIM.: 17200010141 Rofik Maftuh2021-03-01T07:23:34Z2021-06-18T04:29:59Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/42079This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/420792021-03-01T07:23:34ZAL-QURAN DAN TAFSIR LISAN DI MEDIA:
Kajian Terhadap Penafsiran Kata Hijrah Dalam Al-Quran Menurut Ustaz Abdul Somad di YouTubeTesis ini mengkaji tentang tafsir lisan dan media (YouTube) dengan studi kasus pada Ustaz Abdul Somad (UAS) dan hijrah . Pertanyaan utama penelitian ini ialah bagaimana penafsiran lisan UAS tentang kata hijrah dalam Al-Quran di YouTube? Bagaimana signifikansi penafsiran lisan UAS tentang kata hijrah dalam Al-Quran di YouTube dalam kajian tafsir? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penelitian ini mengkombinasi data historiografi tafsir dan data lapangan (YouTube). Data historiografi tafsir dilakukan melalui penelusuran literatur sejarah penafsiran dari zaman Nabi Muhammad. Sedangkan data lapangan dilakukan dengan menelusuri ceramah tentang hijrah UAS di YouTube.
Kata hijrah selalu identik dengan peristiwa perpindahan Nabi Muhammad dari Mekah ke Madinah yang terdapat dalam QS. Al-Nisa (4) : 97. Namun kata hijrah menjadi identik terhadap fenomena hijrah dengan berpakaian tidak isbal bagi laki-laki dan berjilbab atau bahkan memakai cadar bagi perempuan. Di sini terjadi kontradiksi atas makna hijrah dahulu dan sekarang. Salah satu orang yang berkontribusi dalam menjelaskan hijrah tersebut adalah UAS. Dia sebagai salah satu ustaz yang sering mengisi ceramah dalam komunitas hijrah memberikan penjelasan mengenai kata hijrah di berbagai ceramah di YouTube.
Penelitian ini menemukan bahwa UAS menafsirkan (menjelaskan) kata hijrah merujuk pada QS al-Muddasi}r (74) : 5. Menurutnya, hijrah adalah meninggalkan sesuatu yang dilarang oleh Allah dan penafsiran tersebut sama dengan beberapa mufassir klasik terdahulu. Namun penafsiran lisan UAS lebih terperinci dan jelas karena dia menjelaskan sesuatu yang dilarang Allah itu adalah membuka aurat, minum khamr, korupsi, pacaran, pesta sabu, minuman keras, dan sebagainya. Sedangkan mufassir terdahulu menjelaskan sesuatu yang dilarang Allah adalah syirik dengan menyembah berhala. Selain itu, penafsiran lisan UAS tentang hijrah memiliki signifikasi dalam kajian tafsir. Penafsiran lisan UAS lebih cair dan inovatif dalam menafsirkan hijrah dari pada kitab-kitab tafsir klasik. Karena UAS tidak hanya menafsirkan kata hijrah. Namun dia juga menjelaskan kisah hijrah Nabi Muhammad, tata cara hijrah, peran pemuda, tantangan hijrah, dan saran bagi orang berhijrah. Hal tersebut dikarenakan UAS juga sebagai penceramah atau da’i selain sebagai mufassir dalam konteks menafsirkan kata hijrah.NIM.: 17200010138 Moh Hasan Fauzi2021-02-08T04:08:35Z2022-01-17T07:10:39Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/41967This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/419672021-02-08T04:08:35ZHERMENEUTIKA AL QUR'AN: Teori, Kritik dan ImplementasinyaBuku daras untuk mata kuliah Hermeneutika Al-Qur'an level S1 Tulisan bersama Fahruddin Faiz dan Ali Usman. Dosen Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga- Fahruddin Faiz- Ali Usman2020-10-20T02:05:43Z2020-10-20T02:05:54Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/38667This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/386672020-10-20T02:05:43ZANTARA SYARAH HADIS DAN INTERPRETASI QURAN:
Kajian atas Hermeneutika Alquran Ibnu Hajar Al-Asqalani
dalam Kitab Fathul BariTafsir adalah suatu usaha untuk menjelaskan kandungan makna Alquran.
Tafsir atau penafsiran bermula dari latar belakang keilmuan merupakan sebuah
prinsip yang telah disepakti dalam tradisi tafsir, dan ketika seorang mufassir
menafsirkan Alquran, maka latar belakang keilmuannya akan secara alami
terbawa dan tersalurkan ke dalam tafsirnya baik dari segi hukum, sosial, Fikih,
dan lain sebagainya. Seperti Ibnu Hajar Al-Asqalani, ia sangat dikenal dengan
kepakaran dalam bidang hadis yang telah menyusun kitab Fathul Ba>ri. Kitab yang
dikenal dengan sya>rah ha>dis ini ternyata mempunyai keistimewaan dalam kajian
Tafsir. Kitab tersebut dalam beberapa bab terdapat sebuah sya>rah ha>dis atau
penafsiran yang dilakukan Ibnu Hajar atas Alquran. Penafsiran atas Alquran
dalam kitab syarah hadis serta prinsip penafsiran Ibnu Hajar dalan menafsirkan
Alquran menjadi ketertarikan penulis untuk mengkaji kitab tersebut. Melakukan
analisis atas prinsip Hermeneutika Ibnu Hajar Al-Asqalani atas penafsiraan
Alquran. Pendekatan yang dilakukan yaitu epistemologi hadis, dan pendekatan
dari segi riwayat, sanad, dan rujukan kepada sumber penetapan atas makna ayat.
Adapun hasil analisis penulis dalam mengkaji penafsiran Ibnu Hajar Al-
Asqalani yaitu Penafsiran Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Ba>ri hanya memuat
hadis-hadis shahih dalam menguraikan setiap makna Alquran, menjadikan
penafsiran Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Ba>ri sebagai kitab tafsir yang kaya akan
dalil-dalil shahih dan mutawatir dalam ber hujjah. Adapun Prinsip hermeneutika
Ibnu Hajar dalam menafsirkan Alquran diwarnai dengan epistemologi Ahlul
Hadis. Penulis membagi atas dua prinsip yaitu, 1)riwayat bersanad dan 2) anti
spekulasi nalar. Adapun cakupan pertama adalah konsep penafsiran pertama
mencakup penafsiran riwayat bersanad, pendapat Ahlul Hadis, dan penafsiran
sumber Ahkam. Dan yang kedua, adalah dari keseluruhan penafsiran Ibnu Hajar
Al-Asqalani tidak memasukkan kepentingan-kepentingannya dalam menafsirkan
ayat, seperti tidak memihak kepada Ahlul Kalam, tidak melakukan penafsiran
dengan klaim tanpa dalil, dan menolak pengutipan terhadap Ahlul Kitab
(Israiliyyat).NIM: 17200010169 Muhammad Shulhi Alhadi Siregar2020-10-19T03:37:06Z2020-10-19T03:37:15Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/38651This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/386512020-10-19T03:37:06ZKRITIK SANAD ASBĀB AL-NUZŪL SURAT-SURAT PENDEK
DALAM ASBĀB AL-NUZŪL KARYA AL-WAHIDIPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui otentisitas dan keabsahan riwayat asbab al-nuzul surah-surah pendek dalam asbab al-nuzul karya al-Wahidi, melalui kajian kritik terhadap sanad dan matan riwayat-riwayatnya. Kajian kritik terhadap riwayat-riwayat asbāb al-nuzūl dalam kitab ini dispesifikasikan pada dua surah pendek, yaitu QS. Al-Dluha:1-3 dan QS. Al-Lahab:1. Teori yang digunakan dalam tesis ini merupakan teori perpaduan (synthesis theory) dari teori sanad kontemporer yaitu teori common link dan teori sanad konvensional yang telah dirumuskan oleh para ulama hadis. Adapun arah penelitian ini lebih bersifat deskriptif-analitik dengan menggunakan instrumen analisis dari studi kepustakaan.
Hasil penelitian dari kajian ini adalah pertama, Epistemologi sanad pada era al-Wāhidī sudah sangat mapan dan detail. Penelitian ini menunjukkan proses perkembangan serta kontinuitas penggunaan sanad dari masa ke masa, yang mana pada masa awal Islam penggunaannya masih dalam bentuk yang sangat sederhana, hingga mencapai kesempurnaan pada pertengahan abad III H. Kedua, Melalui penelitian sanad dan matan dengan menggunakan teori gabungan, maka dapat disimpulkan bahwa kedua surah yang diteliti asbāb al-nuzūl-nya, yakni riwayat asbāb al-nuzūl surah al-Dluha:1-3 dan al-Lahab:1 dapat diakui kesejarahan dan ke-ṣaḥīḥ-annya. Berdasarkan analisis sanad dapat dinyatakan bahwa secara verbal riwayat asbāb al-nuzūl surah al-Dluha disebarkan di Kufah, pada sepertiga pertama abad kedua hijriah oleh al-Aswad bin Qais dan asbāb al-nuzūl surah al-Lahab disebarkan pertama kali di Kufah pada paruh pertama abad kedua hijriah oleh Abū Muhammad al-Kūfi al-‘Amasy. Ketiga, Data-data yang telah dilampirkan dalam tesis ini menunjukkan bahwa persoalan-persoalan yang terdapat dalam asbāb al-nuzūl merupakan persoalan dari aspek hadis atau riwayatnya, dan itu tidak terjadi pada asbāb al-nuzūl-nya. Meskipun demikian, riwayat tersebut tetap memiliki nilai penting dalam menjelaskan asbāb al-nuzūl ayat. Lebih dari itu, riwayat-riwayat asbāb al-nuzūl juga banyak yang berkwalitas ṡaḥīḥ, sehingga penjelasan turunnya ayat dapat dibuktikan dan dipertanggungjawabkan, dan hal itu akan sangat membantu dalam proses penafsiran.NIM: 1620010002 Deybi Agustin Tangahu2020-09-28T05:55:38Z2020-09-28T05:55:38Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/41107This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/411072020-09-28T05:55:38ZTHE FORMATION OF TA’WIL IN THE EARLY FATIMID
CALIPHATE: AL-NU‘MĀN B. HAYYŪN AND
JA‘FAR B. MANSŪR ON PROPHETOLOGY IN
THE QUR’ANThe research aims at discussing ta’wīl and prophetology during the
early Fatimid Isma‘ili period. It focuses on two representative authors
who worked at the center of Fatimid power, al-Nu‘mān b. H{ayyūn and
Ja‘far b. Mans}ūr. As the topic of ta’wīl reflected the core identity of
Isma‘ili interpretation, the prophetology was the subject of intense
scholarly discourse, especially during the early formative period of
Isma‘ili power. This research thus focuses on three issues, namely: 1)
Why were the early Isma‘ili scholars interested in prophetology?; 2)
How do the texts of al-Nu‘ma>n b. H{ayyu>n and Ja‘far b. Mans}u>r reflect
the Isma‘ili doctrine on prophetology?; and 3) What characterize the
hermeneutical interpretations made by al-Nu‘ma>n b. H{ayyu>n and Ja‘far
b. Mans}u>r on prophets in the Qur’an?
The research employs the framework of analytical study by using Hans-
Georg Gadamer’s hermeneutics of understanding and Jorge Gracia’s
hermeneutics of historical, meaning, and implicative function of the
interpretation. At the same time the research also deals with the theory
of knowledge and power established by Michael Foucault to explore
the political dimension of Qur’an interpretation. Besides, the research
also uses the framework of analysis of Arnold J. Toynbee’s theory of
continuity and change and John O. Voll’s dramatic change hypothesis.
The research argues that firstly, the Isma‘ilis were, right from the start,
deeply invested in the issue of prophetology since it was highly
relevant to their basic ideology of cyclical hiero-history. Also,
prophetology also shaped the very foundation of Isma‘ili theology by
defending the authority of the imāms and the Qā’im as the last cycle of
the prophetic sequence.
Secondly, the early Fatimid Isma‘ili interpretation of the prophets
mentioned in the Qur’an, as reflected in the works of al-Nu‘mān and
Ja‘far, constituted an attempt to retrieve the past of the cyclical
narrative of history that was later adopted as part of Isma‘ili doctrine
and theology. Their symbolic interpretation of the number seven in the
grand cyclical history, the division of the world, in addition to certain
religious texts and rituals clearly reflected their emphasis on the role of
the imams as part of human fate that was determined by God’s words
and creations. On the other hand, the account of prophets in the Qur’an
was also employed as part of the Isma‘ili self-reflection towards their historical context reflected in the ima>ms’ struggle over authority. It
was also used in their criticism of their Sunnite and other Shia rivals
accused of erring in their over-reliance on exoteric interpretations of
the religious texts. However, both authors in question defended
different points of view on the issue of the esoteric and the exoteric.
Al-Nu‘mān emphasized that both dimensions complemented the
approach to understanding religious texts and symbols, while Ja‘far
seems to have emphasized more on the esoteric. Furthermore, both
authors had different points of view on the issue of the lawless state or
antinomianism. If al-Nu‘mān made a clear statement on the shari’ah
brought by Adam, Ja‘far had approved on the lawless state of the S{a>h}ib
al-Zamān, who is the Qā’im.
Thirdly, ta’wīl served as a mode of hermeneutical interpretation which
aimed at locating the authority of the imāms. Its manifestation was not
so clear in its methodological construction unless it was employed in
the symbolic interpretation placed at the basis of the esoteric and the
exoteric meaning in order to uphold the authority of the imāms. Thus,
the effort of interpretation was seen as an attempt to create knowledge
that defended the Isma‘ili claim for power. In this respect, the ta’wīl of
the prophets in the Qur’an became a discursive strategy for the early
Fatimid Isma‘ili scholars to formulate a new definition of religious and
political authority based on distinctive Isma‘ili doctrine and creeds.SRN. 1330016022 FEJRIAN YAZDAJIRD IWANEBEL2020-09-23T08:27:41Z2020-09-23T08:27:41Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/41060This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/410602020-09-23T08:27:41ZIN SEARCH OF THE INTEGRATION OF HERMENEUTICS AND 'ULUM AL QUR'ANOne o f the controve rsial issues in the field of the interpretation of the Qur'an is whether hermeneutics that is used for the interpretation of the Bible can be used for the interpretation of the Qur' an. Some Mus-lim scholars point out that it is impossible, or even not allowed for Mus! ims, to interpret the Qur' an using hermeneutical methods. The most famous reason for this is that hermeneutics does not match with the nature of the Qur'an. Some others tend to see that it can be includ-ed into the 'Sciences of the Qur'an ( ·u/um al-Qur 'an). They argue that through it one can even improve the discipline. This essay will show that some hermeneutical theories accord with the Qur' an interpretation and therefore should be part of the 'ulum al-Qur 'an. Before mention-ing these theories, it would helpful be to give some reasons why we need hermeneutics- Sahiron Sy amsuddin2020-09-03T03:57:05Z2020-09-03T03:57:05Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/40802This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/408022020-09-03T03:57:05ZPEMBACAAN AYAT-AYAT LINGKUNGAN:
TINJAUAN FENOMENOLOGIKO - EKSISTENSIALISKerusakan lingkungan akibat eksploitasi alam secara berlebihan terasa
semakin marak akibat ulah manusia yang kurang peduli dengan kelestarian
lingkungan, padahal al-Qur‟an telah mengingatkan manusia agar tidak membuat
kerusakan di muka bumi. Penafsiran ayat al-Qur‟an dengan pendekatan
hermeneutika filosofis diperlukan agar pengembangan metodologi tafsir dan
praktek penafsiran menjadi lebih sophisticated dan kokoh. Surat ar-Rum [30]:41
oleh mufasir klasik dipandang sebagai peristiwa social disorder yang kemudian
dalam konteks kekinian mendapati horizon baru sebagai fenomena environment
disorder. Proses pergeseran pembacaan tersebut mengikuti tahapan penafsiran
model Zakarsyi-Ricoeur yakni fahm (teks) – bayan (konteks) - istikhraj
(kontekstualisasi). Pada tiap tahapan tersebut kemudian dilakukan penjabaran dan
pendalaman melalui fenomenologiko-eksistensialis yang diteruskan ke
ekofenomenologi khususnya ekologi dalam. Dalam tataran praksis pembacaan
kekinian atas ayat ingkungan termanifestasi dalam pembangunan industri hijau,
industri yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.17200010049 Ajar Permono2020-08-31T15:28:28Z2020-08-31T15:28:28Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/40731This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/407312020-08-31T15:28:28ZHERMENEUTIKA DAN PENGEMBANGAN ULUMUL QUR'ANDalam penggunaan hermeneutika ini penafsir (khususnya sarjana-sarjana muslim) harus tetap memperhatikan bahwa Al Qur'an adalah wahyu Allah yang diturunkan melalui Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Al Qur'an adalah hidayah dari Allah untuk semua manusia sejak masa Nabi Muhammad hingga hari akhir. Karena itu, Al Qur'an perlu untuk ditafsirkan sepanjang masa seiring dengan perkembangan pemikiran manusia, perkembangan ilmu dan teknologi, dinamika sosial, perkembangan budaya dan lain-lain. Namun dalam proses penafsiran, penafsir seharusnya tidak terlalu subyektivitis, melainkan selalu mencoba menggabungkan makna historis (ma'na) yang dianalisis denganmemperhatikan horison teks dengan subyektivitas dan horison penafsir yang memang tidak bisa terlepas dari berbagai hal yang telah mempengaruhi akal pikirannya, atau yang biasa disebut oleh Gadamer dengan istilah effective history. Penafsiran atas Al Qur'an itu hanya bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan manusia dan alam, bukan untuk membuat kerusakan dan kesengsaraan.- Sahiron Syamsuddin2020-08-29T23:19:30Z2020-08-30T23:34:46Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/40699This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/406992020-08-29T23:19:30ZDie Koran hermeneutik Muhammad Sahrurs und ihre Beurteilung aus der Sichtmuslimischer AutorenBuku ini membahas prinsip dan metode penafsiran Muhammad Syahrur atas al-Qur'an dan pandangan para pengkritiknya atas pemikiran hermeneutiknya. Dalam setiap poin yang didiskusikan dalam buku ini penulis (Sahiron) mengemukakan juga pandangannya; dalam beberapa hal dia sepakat dengan pandangan Syahrur dan dalam beberapa hal yang lain sepakat dengan pandangan para pengkritiknya dengan argumentasi-argumentasinya yang sangat lugas dan komprehensif- Sahiron Syamsuddin2020-08-28T02:40:58Z2020-08-28T02:40:58Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/40349This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/403492020-08-28T02:40:58ZMAKNA KHATAMAN AL-QUR’AN 40 HARI BERTURUT-TURUT DI
MAKAM SYEKH AHMAD MUTAMAKKIN KAJEN MARGOYOSO PATIBerangkat dari adanya fenomena menarik yang terjadi di desa Kajen,
kecamatan Margoyoso, kabupaten Pati. Fenomena ini merupakan sebuah tradisi
khataman Alquran yang berlangsung di makam seorang tokoh kharismatik yaitu
Syeikh Ahmad Mutamakkin. Tradisi tersebut dikenal oleh masyarakat dengan
sebutan matangpuluh. Yang menarik dari tradisi ini adalah pelaksanaan khataman
sepenuhnya dilakukan di makam. Selain itu, keseluruhan proses berlangsung
selama 40 hari berturut-turut, tanpa putus sehari pun. Dari dua alasan tersebut,
peneliti memandang perlu dan penting untuk mengkaji tradisi matangpuluh secara
ilmiah sehingga didapatkan pemaknaan interpretatifnya. Maka penelitian ini
mengambil judul “ Makna Khataman Alquran 40 Hari Berturut-turut di Makam
Syekh Ahmad Mutamakkin Kajen Margoyoso Pati”. Rumusan masalah yang harus
dijawab, yaitu: pertama, Bagaimana pelaksanaan khataman Alquran 40 berturutturut
yang dilakukan oleh hafidz Alquran di makam Syekh Ahmad Mutamakkin
Kajen Margoyoso Pati? Kedua, Bagaimana pemaknaan khataman Alquran 40 hari
berturut-turut yang dilakukan oleh hafidz Alquran di makam Syekh Ahmad
Mutamakkin Kajen Margoyoso Pati?
Metode penelitian ini termasuk ke dalam jenis penelitian lapangan (field
research). Penelitian ini bersifat penelitian kualitatif. Sumber data yang didapatkan
dari wawancara, observasi dan dokumentasi. Sedangkan analisis data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif-fenomenologis. Adapun
teori yang digunakan menggunakan kerangka teori living qur’an yang dipadukan
(didekatkan) dengan teori pemahaman sosial: fenomenologi-hermeneutika Paul
Ricoeur. Aplikasi interpretasi fenomenologi hermeneutika tersebut, melalui
tahapan-tahapan sebagai berikut: langkah pertama, ialah langkah simbolik, atau
pemahaman dari simbol ke simbol; langkah kedua, adalah pemberian makna
simbolik serta penggalian yang cermat atas makna; dan langkah ketiga, adalah
langkah yang benar-benar filosofis, yaitu berupa penyusunan makna yang paling
tepat dari serangkaian analisa data di level sebelumnya.
. Setelah melakukan interpretasi hermeneutis, praktik matangpuluh
mengandung beberapa unsur nilai, diantaranya yaitu keteguhan hati, penempaan
diri, praksis aplikasi teori (konsep) tertentu, dan mentradisikan hal yang dipandang
baik dari segi kemanfaatan. Matangpuluh merupakan tahap terakhir dari
pembelajaran yang menekankan pada praktik berulang-ulang untuk menguji
penguasaan materi secara independen dan berkesadaran.NIM. 12530129 Adhim2020-05-05T03:15:00Z2020-05-05T03:15:00Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/39193This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/391932020-05-05T03:15:00ZPERGERAKAN KAPAL LAUT
DALAM AL-QUR’ĀNTelah banyak penelitian tentang sains modern salah satunya tentang pergerakan kapal laut. Kapal merupakan salah satu alat transportasi laut yang berfungsi sebagai alat pengangkutan dan sarana penghubung antar pulau. Teradapat term pergerakan kapal laut dalam Al-Qur’ān, yakni dalam Q.S Al-Isra [17] : 66, Al-Jatsiyah [45]:12, Ar-Rum [30]: 46, as-Syura [42] : 32, Luqman [31] :31, az-Zukhruf [43] :12, Fatir [35]:12. Makna pergerakan kapal laut yang selama ini berkembang yakni taskhir Al-Fulk dan taskhir Al-Jawār, kedua makna ini disatu sisi saling bersebrangan. Oleh karena itu disini diperlukan kajian untuk mencari titik terang terhadap persoalan pemaknaan tersebut.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kontekstual Abdullah Saeed. Pemilihan pendekatan tersebut disebabkan karena diperlukan kontekstualisasi dari sebuah ayat yang disebabkan konteks yang berbeda. pendekatan ini terbagi menjadi tiga alur besar. Pertama, memahami makna historis sebuah ayat. Kedua, memahami makna ayat dalam konteks penghubung. Ketiga, melakukan kontekstualisasi dengan memprtimbangkan kontes ekonomi hari ini. oleh karena itu, dalam penelitian ini, disajikan makna pergerakan kapal laut dalam pandangan penerima pertama dengan menganalisis ayat secara lingustik, konteks sastrawi, teks-teks paralel, konteks makro, dan menemukan hirarki nilai dalam kedua ayat tersebut. Kemudian disajikan pula bagaimana makna pergerakan kapal dipahami dalam konteksnya masing-masing dalam sejarah Islam dengan menganalisis tafsῑr-tafsῑ r terhadap pergerakan kapal laut dari era sahabat hingga era modern-kontemporer. Terakhir, dijelaskan bagaimana relevansi makna kontekstual pergarakan kapal laut terhadap jalannya perekonomian di negara Indonesia.
Dari penelitian ini dapat diketahui bahwa dalam pandangan penerima pertama secara spesifik makna dari pergerakan kapal laut adalah sebagai transportasi pimpinan armada pergerakan. Oleh karena itu, secara luas term pergerakan kapal laut bisa dimaknai sebagai transportasi angkatan laut
yang mengatur urusan umat. Begitu juga dalam analisis konteks sastrawi didapati bahwa ayat tersebut mengandung nilai-nilai kemanusiaan yang secara substansial ditekankan dalam Al-Qur’ān antara lain dalam kehidupan sosialekonomi.NIM. 18205010003 Neny Muthi’atul Awwaliyah2020-04-29T04:33:25Z2020-04-29T04:33:25Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/39148This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/391482020-04-29T04:33:25ZQari Selebriti: Resitasi Alquran dan Anak Muda Muslim
Indonesia di Era Media SosialTesis ini mengkaji tentang persinggungan antara praktik resitasi Alquran dan
media sosial, dengan studi kasus fenomena popularitas qari selebriti muda di
kalangan anak muda Muslim Indonesia. Berangkat dari perspektif kultur hibriditas
anak muda Muslim dan selebriti media sosial, penelitian ini mengulas tentang
bagaimana eksistensi qari selebriti mempengaruhi dinamika praktik resitasi Alquran
di kalangan anak muda Muslim Indonesia. Penelitian ini berkontribusi dalam studi
mengenai diseminasi resitasi Alquran di media sosial, khususnya yang berkaitan
dengan bagaimana otoritas selebriti membentuk popularitas praktik resitasi Alquran
di ruang publik. Penelitian ini merupakan studi kualitatif terhadap respons audien
terhadap popularitas qari selebriti di kalangan anak muda. Peneliti menggunakan
metode analisis konten media yang bersumber dari aktivitas online pada video
Youtube murattal Alquran qari selebriti, serta wawancara langsung dengan audien
yang terdiri dari kalangan anak muda Muslim di Yogyakarta.
Kesimpulan tesis ini menunjukkan bahwa transformasi resitasi Alquran dalam
media sosial turut membawa nilai-nilai normatif sakralitas Alquran ke dalam ruang
media sosial. Akan tetapi, standar etika yang menunjukkan sakralitas Alquran sangat
bergantung pada agensi pengguna media sosial. Demikian pula, praktik ini
menjadikan YouTube sebagai ruang untuk memupuk dan mengekspresikan
kesalehan spiritual. Kombinasi elemen audio-visual video murattal yang artistik
mengakibatkan terjadinya proses objektifikasi yang juga menyisakan memori visual
dalam benak pendengar/penonton YouTube murattal. Bagi sebagian orang, memori
visual tersebut berguna untuk membangkitkan imajinasi spiritualitas pendengar saat
mendengarkan rekaman murattal Alquran qari selebriti. Sementara itu, dalam budaya
pergaulan anak muda, proses objektifikasi ini menciptakan suatu trend populer yang
diikuti oleh kalangan muda Muslim Indonesia. Hal ini kemudian membentuk
perilaku baru baik dalam mendengarkan Alquran maupun terhadap sang qari. Figur
qari selebriti sering kali diperlakukan layaknya bintang selebriti pop. Oleh karena itu
terkadang perilaku atau etika mendengarkan resitasi Alquran sering kali identik
dengan perilaku saat mendengarkan musik populer lain pada umumnya. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa popularitas qari selebriti tidak hanya
meningkatkan performa bunyi resitasi Alquran di ruang media sosial, namun juga
menjadikan Alquran sebagai bagian dari elemen budaya pop anak muda.NIM. 1620010044 Imas Lu’ul Jannah2019-12-31T03:36:13Z2019-12-31T03:36:13Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/37160This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/371602019-12-31T03:36:13ZHERMENEUTIKA PEMBEBASAN:
Epistemologi Tafsir Ayat-ayat Pembebasan Asghar Ali EngineerPenelitian ini bermaksud untuk mengetahui epistemologi hermeneutika pembebasan yang diusung oleh Asghar Ali Engineer sebagai solusi untuk merefleksikan teks terhadap realitas sosial. Engineer telah mengeksplorasi nilai pembebasan dan revolusioner dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Menurutnya bahwa semua ayat-ayat Al-Qur’an memiliki nilai pembebasan untuk yang tertindas. Melalui hermeneutika pembebasan Asghar Ali Engineer memposisikan Al-Qur’an agar manusia sesuai dengan kapasitas kemanusiaanya; yakni terkait dengan hubungannya antar sesama, tugasnya di dunia, kedudukannya dalam sejarah, perannya dalam membangun sistem sosial dan politik serta dalam mengajukan alternatif melalui metode analisis pengalaman yang membawa kepada makna teks bahkan realitas itu sendiri. Dari teori episteme dalam filsafat Michel Foucault yang digunakan untuk mengkaji penafsiran Engineer ini, dapat diketahui konteks pemikirannya untuk menafsirkan ayat-ayat pembebasan, bangunan epistemologi hermeneutika pembebasan serta otoritas penafsirannya.
Penelitian ini adalah kepustakaan (library research) yang bersifat kualitatif dengan menjadikan bahan-bahan tertulis sebagai data-datanya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif-analisis, yaitu mencoba mendeskripsikan konstruksi epistemologi tafsir ayat-ayat pembebasan dari pemikiran Asghar Ali Engineer dengan menganalisa secara kritis dari beberapa karyanya. Sedangkan pendekatan yang penulis gunakan adalah historis-filosofis yang berfungsi untuk; (a) menganalisis teks itu sendiri, (b) meruntut akar-akar historis secara kritis latar belakang Engineer mengapa ia mengusung gagasan hermeneutika pembebasan, (c) menganalisa kondisi sosio-historis yang melingkupi Engineer dan menemukan struktur bangunan dasar dari pemikiran Engineer yang sesuai dengan sosio-historisnya.
Dari penelitian yang dilakukan penulis menemukan bahwa bangunan pemikiran Engineer sangat dipengaruhi oleh sosial-politik India. Ada dua metode yang digunakan dalam kerangka metodologi penafsiran Engineer, yakni metode tekstualis dan metode kontektualis. Metode tekstualis Engineer yang merujuk terhadap teks (Al-Qur’an dan al-Hadits), metode kontekstualis berangkat dari realitas masyarakat. Dalam mereformulasikan tafsir pembebasannya ia mempunyai pijakan teoritik yang kuat, baik sudut pandang teologis, sosiologis, dan filosofis sehingga menghasilkan implikasi yang lebih revolusioner dan transformatif.NIM. 17200010179 Lub Liyna Nabilata2019-12-27T09:12:57Z2019-12-27T09:12:57Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/37134This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/371342019-12-27T09:12:57ZGENEALOGI MAKNA SEMANTIK KĀFIR:
STUDI ATAS INTERPRETASI KATA KĀFIR DALAM AL-QUR’ANTerdapat hubungan fundamental antara wahyu dan konteks yang meliputinya.
Hubungan ini telah ada sejak masa pewahyuan, dan terus berlanjut melalui praktek
dari komunitas-komunitas interpretatif. Di era pewahyuan, seringkali al-Qur‟an
diturunkan dengan latar belakang sosio-historis tertentu. Begitupun di era
interpretatif, berbagai pemahaman atas wahyu muncul dan berubah dengan latar
belakang sosial-politik tertentu. Pemaknaan kata kāfir, yang merupakan salah satu
istilah paling penting dalam al-Qur‟an, juga muncul dan berubah dipengaruhi oleh
latar belakang sosial-politik tertentu.
Untuk mengetahui kemunculan dan perubahan makna kāfir dalam al-Qur‟an,
menurut Izutsu, terlebih dahulu harus bertolak dari era jāhiliyyah, karena struktur
makna dalam bahasa Arab mulai dibangun dasar-dasarnya pada era itu. Tahap ini oleh
Izutsu, disebut sebagai masa pra Qur’anik. Istilah kunci pada masa itu, selanjutnya
oleh al-Qur‟an digunakan secara bersama-sama ke dalam suatu kerangka konseptual
baru, yang oleh Izutsu tahap ini disebut sebagai masa Qur’anik. Selanjutnya,
banyaknya kegiatan penafsiran yang muncul di kalangan umat Islam, menyebabkan
berbagai pemahaman baru bermunculan, atau dalam bahasa Izutsu tahap ini disebut
sebagai masa pasca Qur’anik. Kemunculan dan perubahan makna dari masa ke masa
tersebut dipengaruhi oleh latar belakang sosial-politik yang bervariasi, atau dalam
bahasa Foucault adalah terdapat genealogi kekuasaan. Bagaimana perubahan makna
kāfir dari masa ke masa, serta latar belakang sosial-politik yang mempengaruhi
perubahan inilah yang dicari dalam penelitian ini.
Dari hasil penelitian, kāfir yang memilki makna dasar menutupi, dalam
konteks individualistik dan tingginya semangat kesukuan masyarakat Arab pra Islam,
dimaknai sebagai orang yang tidak berterimakasih. Ketika Islam datang, kāfir
mengalami perubahan makna dari orang yang tidak berterimakasih menjadi; 1) Orang
yang tidak bersyukur, dalam konteks risalah Nabi tentang ke-rubūbiyyah-an Tuhan
dan keadilan hari akhir, 2) Para penyembah berhala, dalam konteks ajaran Nabi
tentang ketauhidan, 3) Vis a vis dengan mu’min, dalam konteks umat yang mengalami
intimidasi untuk tidak beriman kepada ajaran Nabi, 4) Orang-orang dengan perilaku
munafik dan berkhianat, baik dari kalangan Ahl Kitāb maupun kalangan umat Islam,
dalam konteks penghianatan mereka atas perjanjian yang dibuat bersama Nabi. Pada
masa pasca Qur’anikawal, perubahan makna kāfir paling tidak dapat dilihat melalui
tiga sekte keagamaan yang muncul di masa itu; 1) Ahl Sunnah yang terdiri; ulama
hadis, karena sikap diamnya terhadap pemerintah, memaknai kata kāfir dengan
pemaknaan yang apolitis. Selain itu ulama fiqih, karena keterlibatannya dalam
pemerintah, memunculkan makna baru dari kata kāfir, seperti ahl żimmah yang
merupakan warga negara kelas dua dalam sistem pemerintahan Islam. 2) Khawarij,
yang merupakan oposisi dari pemerintah, memaknai kāfir sebagai pelaku dosa besar,
termasuk juga pemangku dan pendukung pemerintahan, karena sebelumnya terlibat
dalam tahkīm, dan juga mereka yang berada di luar sekte Khawarij. 3) Bagi sekte
Syi‟ah yang bersikap diam terhadap pemerintah, memaknai kāfir dengan pemaknaan
apolitis, sedang Syi‟ah yang berperan sebagai oposisi, memaknai kāfir sebagai orang
yang tidak membaiat Ali dan keturunannya, serta perebut kekuasaan dari mereka.
Perubahan makna kāfir semakin terlihat ketika dunia Islam memasuki konteks baru,
yaitu konteks nation-state. Dalam konteks nation-state, ditemukan perubahan makna
dari kata kāfir dalam kaitannya dengan status non-Muslim. Prinsip dari nation-state
adalah kemerdekaan, persatuan, dan persamaan, sehingga penyebutan kāfir terhadap
salah satu sekte dalam warga negara, termasuk non-Muslim adalah bertentangan
dengan prinsip-prinsip nation-state.NIM. 17200010140 Nafisatul Mu’awwanah2019-12-26T07:30:16Z2019-12-26T07:30:16Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/37114This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/371142019-12-26T07:30:16ZHERMENEUTIKA FIKIH ABUL FADHOL AS-SENORY DALAM
TAFSIR AYAT AL-AHKAM MIN AL-QUR’AN AL-KARIMTesis ini merupakan studi kepustakaan (library research) dari berbagai
referensi yang relevan dengan pokok bahasan tafsir ahkam serta penafsiran Abul
Fadhol as-Senory. Langkah penelitian ini dimulai dengan dokumentasi. Data
primer tesis ini berupa manuskrip tafsir ahkam yang ditulis oleh Abul Fadhol as-
Senory sedangkan data sekunder berupa sumber data penelitian sebelumnya dan
yang berkaitan, seperti jurnal, buku maupun referensi yang lain.
Hasil penelitian ini sebagai berikut: pertama, Corak fikih dalam tafsir awal
Indonesia masih bersifat parsial. Sedangkan tafsir ahkam modern didominasi
dengan karya para sarjana di perguruan tinggi sebagai hasil dari pembelajaran
tafsir ahkam selama masa perkuliahan. Meskipun fikih sangat kental dalam
pesantren di Indonesia, namun pembelajaran tafsir ahkam masih terbelakang di
dalam lingkup tersebut. Kedua, eksistensi Abul Fadhol lebih menjorok pada ahli
fikih yang sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Adanya tafsir ahkam Abul
Fadhol mampu memberikan model baru dalam penafsiran ahkam. Namun tidak
dapat menggeser posisi fikih dalam lingkup pesantren dan tafsir ahkam semakin
berkembang dalam ranah perguruan tinggi serta berjalan lambat pada ruang
pesantren. Ketiga, hermeneutika Abul Fadhol melingkupi: pertama, metode
penafsiran berupa metode maud}u>’i yang berbasis fikih. Kedua, pendekatan
penafsiran menggunakan ilmu bahasa yang terdiri dari nahwu, saraf, bala>gah,
ushul fikih, fikih, asba>b al-nuzu>l dan munasabat ayat. Penafsiran Abul Fadhol
merujuk pada Tafsir al-Baidla>wi, tafsir karya ar-Razi, dan tafsir al-Zamakhsyari;
beberapa kitab fikih dan asba>b al-nuzu>l. Abul Fadhol menyebutkan berbagai
redaksi riwayat yang sebagian terdapat dalam kitab-kitab tafsir, fikih, hadis,
maupun asba>b al-nuzu>l. Riwayat yang ditampilkan dapat berupa kutipan langsung
maupun sudah dimodifikasi/ dirubah dan riwayat yang tidak sesuai dengan redaksi
asli namun sesuai dengan isi kandungan. Abul Fadhol banyak menjelaskan materi
fikih dengan beberapa mazhab. Dalam penafsirannya, Abul Fadhol mengulang
kembali penafsiran, memberi komentar, dan mengeluarkan pendapatnya. Sisi
lokalitas memaparkan penafsiran dan salah satu unsur konteks situasi dicerminkan
dalam penafsiran Abul Fadhol. Tafsir Abul Fadhol juga dimasukkan sisi tasawuf
dan sejarah.NIM. 17200010094 „Azzah Nurin Taufiqotuzzahro‟2019-12-26T01:47:04Z2019-12-26T01:47:04Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/37099This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/370992019-12-26T01:47:04ZHERMENEUTIKA SYAHADAT:
TELAAH TAFSIR KIAI SA’ID BIN ARMIA TEGALInterpretation is one of the product of thought that is interconnected with the interpreter's condition and situation. Not a part from it is the Qur'anic Commentary by Kiai Sa'id bin Armia. This study attempts to analyze the method of Kiai Sa'id's Qur'anic interpretation through its discussion of the syahadat in the book of Ta'lim al-Mubtadiin fi Aqaid al-Din. There, Kiai Sa'id explained that the essence of the syahadat is not in the pronun of the pronunciation but in the extent to which someone understands the intent and practice it directly. Kiai Sa'id criticized many scholars in his time who reduced the syahadat only as a lip ritual. Interestingly, in constructing his views, Kiai Sa‘id often involved Qur'anic verses. Simultaneously, the language used by Kiai Sa‘id in writing his interpretation was not Indonesian, nor Arabic, but a blend of Javanese and Arabic. Thus, because of these two things the writer is interested in studying how the rules of interpretation of the Kiai Sa‘id bin Armia's syahadat through the approach of Gadamer's affective history. What historical factors influenced Kiai Sa'id's interpretation and how the contestation was related to the interpretation of the syahadat that occurred at that time. This study found that the method of interpretation or the Qur'anic hermeneutic of the Kiai Sa'id was a fragment of the Qur'anic verses used to respond to the polemic at the time and he positioned the methodology of his interpretation of bi ra'yi (theological reflection). The theology of the Ahl Sunnah wa al-Jama'ah which he initiated until now is still used among Nahdlatul Ulama (NU).NIM. 17200010088 Abdul Hanan2019-12-20T02:01:14Z2019-12-20T02:01:14Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/37090This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/370902019-12-20T02:01:14ZHERMENEUTIKA ALQURAN VIRTUAL:
Kajian atas Penafsiran Alquran Nadirsyah Hosen di Facebook,
Twitter, Telegram, dan WebsiteThe development of Quranic exegesis turns along with the shift of society paradigm. When in the early period tafsir was engaged with particular ideology and involved the justification of any sciences in modern period, so that in this contemporary which both Muslim and Qur‘an are always on, tafsir is going to grab its own new face. The research tries to look further the recent form of Qur‘anic hermeneutic when it is virtually practiced within social media through Nadirsyah Hosen‘s online tafsir. Hosen has apparently arranged his theoretical framework before interpreting Quran. That preparation means Hosen‘s sight of audience, beside reader, as fundamental point in the field of hermeneutic circle. In other level of interpretation, Hosen explicitly state that he is trying to always refer to authoritative literatures of exegesis on one hand, though the architecture of social media does not have any support, and optimize simple language adjusting his divergent audiences on other hand and therefore I interest to situate Nadirsyah Hosen as research main subject. An example of Hosen‘s online tafsir is his elaboration on surah al-Rahman (55) in regard with heaven and angel. Hosen cites any classical commentary in that moment and employs some popular allusion among youth including emoticons. The last one, people will not easily to find it certainly in offline. So that, the research shall analyze how is the texture of Qur‘anic hermeneutic when it is applied digitally, what kind of impacts will appear in regard with the engagement. The research finds that if social media get more updated, such situation to make tafsir protected from disruption is more opened—not to mention still in his conventional or neo-conventional form. Expertise of tafsir in context of new media is never really died.NIM. 17200010079 Muhammad Saifullah2019-12-17T03:17:40Z2019-12-17T03:17:40Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/37033This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/370332019-12-17T03:17:40ZEPISTEMOLOGI TAFSIR SYI<’I<: STUDI ATAS HERMENEUTIKA AL-QUR’AN MUHAMMAD BA>QIR AL-S{ADRPenelitian ini berjudul ‚Epistemologi Tafsir Syi>’i>: Studi atas Hermeneutika al-Qur’an Muh}ammad Ba>qir al-Sadr‛. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana metode hermeneutika dan prinsip-prinsip dasar penafsiran yang ditawarkan oleh Muh}ammad Ba>qir al-Sadr secara epistemologis. Penelitian ini membahas tiga aspek pokok dalam kajian epistemologi tafsir yaitu metode penafsiran, sumber-sumber penafsiran, dan validitas penafsiran.
Tesis ini merupakan penelitian kepustakaan (library research) yang bersifat kualitatif dengan menggunakan berbagai referensi yang relevan dengan pokok pembahasan. Dalam mengumpulkan data dalam penelitian ini, penulis menggunakan sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer penelitian ini adalah kitab-kitab karya Muhammad Baqir al-Sadr seperti al-Tafsi>r al-Maud}u>’i> li al-Qur’a>n al-Kari>m dan al-Madrasah al-Qur’a>niyyah, dan lain-lain. Sedangkan sumber data sekundernya adalah buku, jurnal, maupun artikel yang berhubungan dengan penelitian tersebut. Dalam penelitian ini, peneliti mencoba mendeskripsikan metode hermeneutika dan prinsip-prinsip penafsiran yang ditawarkan oleh Muhammad Ba>qir al-S{adr, apa saja sumber-sumber penafsiran yang digunakan oleh Ba>qir al-S{adr dalam karya-karyanya serta melihat bagaimana tolak ukur kebenaran atau validitas dari metode tersebut.
Hasil dari penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama, Muh}ammad Ba>qir al-S{adr berkali-kali menekankan bahwa seorang penafsir yang akan melakukan sebuah kajian tafsir maud}u>’i> harus melalui dua langkah besar yaitu يبدأ من الىاقع و
ينتهى بالقرأن . Seorang penafsir harus menganalisis apa permasalahan yang terjadi di masyarakat dan mulai mengumpulkan berbagai data yang berkaitan dengan permasalahan tersebut kemudian ia harus mendialogkan permasalahan tersebut dengan ayat-ayat al-Qur’an yang setema. Usaha mendialogkan antara problem realitas dan ayat-ayat al-Qur’an tentunya menuntut penafsir untuk turut berperan aktif dalam sebuah proses penafsiran. Kedua, sumber penafsiran yang digunakan oleh Muh}ammad Ba>qir al-S{adr dalam karya tafsirnya tidak jauh berbeda dengan yang digunakan oleh penafsir-penafsir pada era kontemporer. Ia menggunakan beberapa sumber penafsiran yaitu sumber tekstual yang terdiri dari al-Qur’an dan hadis, sumber teologis, akal atau nalar dan realitas. Meskipun demikian, Muh}ammad Ba>qir al-S{adr lebih banyak menggunakan tiga sumber penafsiran yaitu Al-Qur’an, akal, dan realitas. Hal tersebut sejalan dengan prinsip penafsiran yang ditawarkan oleh Muh}ammad Ba>qir al-S{adr yaitu berawal dari realitas dan berakhir pada nash. Ketiga, penulis menyimpulkan bahwa penafsiran Muh}ammad Ba>qir al-S{adr dapat dilihat kebenarannya melalui tiga teori yaitu teori koherensi, teori korespondensi, dan teori pragmatis.NIM. 1620010019 Lailia Muyasaroh, S. Th. I.2019-12-11T07:56:48Z2019-12-11T07:56:48Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/36949This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/369492019-12-11T07:56:48ZMAKNA KATA FASADA DALAM AL-QUR’AN
(Kajian Semantik Kontekstual)This thesis is titled Fasada. In the Qur’an (contextual semantic approach)
in several scientific studies the word Fasada has various meanings. Basyir Ali
Hamid,in has article said that the word Fasada was interpreted as lacking peace
and out of justice,comprehensively comprehending all imoral disobedience and
imortality. Abdullah Muhammad Al-Jayus from an academic in Saudi Arabia’s
Riyad said Fasada was an effort to prevent or abstruct the command of Allah
swt,so that the religious obejective of not achieving th goal of becoming a pious
servant was achieved. The word Fasada according to Al-Ashfahany as quoted by
M.Quraish Sihab in his interpretation Al-Misbah is that something comes out of
balance either e little or a lot (surah Al-Baqarah:205) whereas in surah Al-Maidah
verse:32,the word Fasada means murder,bulgary and security disturbances.
From some of the meanings above the big fraud like what? And what does
a security disorder look like? There are still some problems,namely the writer tries
to answer the above question by using the J.R Firth contextual theory and the
teory of the basic meaning of Toshihiko Izutsu. The results of this study indicate
that : first,according to the theory of the basic meaning of Fasada is corrupt, stale,
rotten, depraved, immoral, destructive, frustrating, canceling, cruel, evil, corrupt,
perverted, in vain, immovable, noiseless, wrong,moral, inferior, weaken,demean,
ostracize, indoctrinate,drive cruelly, create problems, dirty tricks, crime circle,
disappointing, deterring, alienating, whereas the contextual meaning is that there
are two phsyical and first two parts. Non-phsyical parts include, infidel, shirk,
ypocritical, corrupt, rbitrary, wrongdoing. Thus is can be clearly understood that
physical damage is caused by non-physical damage.NIM.17201010009 Mariyono2019-04-04T08:54:30Z2019-04-04T08:54:30Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/34041This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/340412019-04-04T08:54:30ZUNSUR IDEOLOGI PURITAN DALAM KITAB TAFSIR JAWA
PESISIR
(Kajian atas Penafsiran Misbah Mustofa Perspektif Hermeneutika Gadamer)Misbah Mustofa merupakan ulama Islam tradisionalis yang banyak
melahirkan karya ilmiah. Kitab tafsir al-Ikli>l dan Ta>jul Muslimi>n merupakan
karya monumentalnya, yang sampai sekarang masih digunakan dalam aktivitas
pengajian di kalangan masyarakat Jawa pedesaan. Namun pada tataran tertentu,
penafsiran Misbah menampakkan adanya unsur ideologi Islam puritan. Seperti
penafsirannya terhadap QS. al-Baqarah: 134, yang mengkritik prosesi tahlilan.
Lalu terhadap QS, al-Baqarah: 186, al-A’raf: 55 & 205 yang menganggap
penggunaan pengeras suara ketika berdo’a sebagai tindakan bid’ah.
Problem akademik kajian ini berpangkal pada penafsiran Misbah yang
tampak paradoks dengan ideologi Islam tradisionalis yang menjadi background
sosio-religinya. Penafsiran yang ditampilkan Misbah pada tema yang dikaji, justru
menampakkan adanya unsur ideologi Islam puritan. Oleh sebab itu, penelitian ini
mencoba menjawab permasahan: 1) Bagaimana penafsiran Misbah yang bercorak
puritan, 2) Apa meaningful sense atas penafsiran Misbah yang bercorak puritan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan hermeneutis dengan teori
hermeneutika Gadamer. Teori tersebut digunakan untuk mengeksplorasi aspek
internal dan eksternal yang memengaruhi hasil penasiran Misbah. Metode
penelitian yang digunakan adalah deskriptif-analitis bertujuan untuk memaparkan
secara komprehensif penasfiran Misbah dan menganalisanya dengan pendekatan
dan teori yang digunakan untuk mendapatkan hasil yang dituju.
Hasil penelitian ini antara lain: Ketika menafsirkan QS. Al-Baqarah: 134,
Misbah menganggap pengiriman pahala bacaan al-Qur’an kepada orang yang
sudah meninggal merupakan perbuatan sia-sia. Hal yang bisa sampai kepada si
mayit adalah do’a dan sedakah atas nama mayit. Kemudian, menggunakan QS.
Al-Baqarah: 186, QS. Al-A’raf: 55 & 205, Misbah mengharamkan penggunaan
pengeras suara ketika berdo’a dan menganggapnya sebagai bid’ah dalam ibadah.
Hal demikian dapat mengarahkan pada sifat riya’. Menurut Misbah, sifat riya’
merupakan tindakan syirik khafi (samar). Melalui perspektif hermenutika
Gadamer, faktor-faktor yang menyebabkan ideologi Misbah bercorak puritan
yaitu: Pertama, ideologi kaum santri Jawa Pesisir yang menjadikan syar’iat Islam
sebagai acuan paten dan baku dalam beragama. Ideologi ini cenderung kritis
terhadap praktik keagamaan masyarakat sinkretis. Kedua, pra-pemahaman Misbah
tentang bid’ah dan syirik. Jika bid’ah tersebut dalam ranah ‘ubudiyah dan
i’tiqadiyyah maka dianggap haram dan sesat. Penggunaan pengeras suara ketika
berdo’a merupakan tindakan bid’ah dalam ibadah dan mengarah pada syirik khafi.
Ketiga, metodologi penafsiran dengan pendekatan tekstualis (bi ‘umu>m al-lafz}i).
Metodologi ini cenderung mengedepankan aspek internal teks dan kurang melihat
aspek eksternal yang melingkupinya. Kolaborasi ideologi Islam tradisionalis
dengan Islam modernis Arab Saudi telah menempatkan Misbah sebagai ulama
dengan istilah fikrah pinggiran NU. Meaningful sense atau nilai yang tercermin
atas sikap Misbah dalam kajian ini yaitu memiliki sikap kritis dalam beragama,
serta meletakkan sikap permissif dan konservatif secara proporsional.NIM: 1620510066 Aunillah Reza Pratama2019-04-04T07:10:12Z2019-04-04T07:10:12Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/34344This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/343442019-04-04T07:10:12ZHERMENEUTIKA OFFLINE DAN ONLINE:
DINAMIKA WATAK TEKSTUALITAS DAN KONTEKSTUALITAS TAFSIRPersinggungan antara al-Qur’an (tafsir) dengan media digital (online) membawa
pengaruh yang signifikan terhadap cara kerja konsep-konsep tafsir dan prinsip-prinsip
hermeneutika dalam memproduksi sebuah penafsiran. Transmisi dan transformasi konsepkonsep
tafsir dan prinsip-prinsip hermeneutika dari offline ke online tersebut memunculkan
perkembangan dan inovasi baru yang hanya bisa dicapai melalui media digital dengan adanya
affordance. Dunia digital memberikan hak yang sama bagi siapa saja, baik yang memiliki
latar belakang pendidikan agama maupun yang tidak, untuk ikut andil dalam mengkritisi,
mengutarakan pandangan, serta mengomentari teks-teks keagamaan, khususnya al-Qur’an
(tafsir). Tesis ini memfokuskan kajian pada konsep-konsep tafsir dan prinsip-prinsip
hermeneutika yang belum baku dalam ranah digital, sekaligus memberikan gambaran
mengenai paradigma baru mengenai tekstualitas dan kontekstualitas pada tataran online yang
sebelumnya telah berlaku pada tataran offline.
Penelitian ini menemukan bahwa media digital mendorong lahirnya lay exegesis yang
tidak memiliki latar belakang pendidikan agama, tetapi ikut menyuarakan pandanganpandangannya
atas al-Qur’an. Munculnya lay exegesis ini menandai adanya desentralisasi
otoritas tafsir dan demokratisasi partisipasi penafsiran. Penafsiran telah menjadi suatu yang
tidak lagi sakral dan bukan menjadi monopoli satu kelompok Islam tertentu. Selain itu,
komunikasi yang terjadi antara penafsir dan pembaca yang sebelumnya berjalan top to down,
dalam konteks digital menjadi setara peer to peer.
Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa tekstualitas dan kontekstualitas yang
bertransmisi dari printing text ke digital textuality setidaknya mengalami dua kemungkinan,
kemungkinan pertama akan mengalami konsistensi dan kemungkinan kedua akan mengalami
perubahan atau inkonsistensi. Namun secara persentase, kemungkinan yang cenderung
muncul adalah kemungkinan yang kedua, yang bisa juga disebut dengan istilah context
collapse. Context collapse sendiri dapat terjadi dalam dua arah, yaitu collusion context dan
collision context. Kedua kemungkinan yang disebutkan ini dipengaruhi oleh horizon dari
masing-masing pihak yang menyatakan pandangannya, baik terkait ayat al-Qur’an yang
sedang ditafsiri atau terhadap suatu fenomena yang dibedah berdasarkan ayat al-Qur’an.
Dengan kata lain, tafsir dalam konteks digital textuality memiliki karakteristik yang lebih
beragam dan cakupan yang lebih luas daripada tafsir yang ada pada printing text. Dalam
digital textuality, praktek menafsirkan tidak selalu menjadi sesuatu yang sakral-religius,
bahkan bisa beralih menjadi hal yang apologetik-politis. Penelitian ini juga membuktikan
bahwa ayat yang tidak diketahui asba>b al-nuzu>lnya secara pasti, akan lebih mencenderung
mengalami liberasi penafsiran di digital textuality.NIM. 1620011006 Waffada Arief Najiyya2019-03-22T01:28:07Z2019-03-22T01:28:07Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/34031This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/340312019-03-22T01:28:07ZKONSEP HERMENEUTIKA AL-QUR’AN YAHYA MUHAMMAD (Dari Nalar Mażhabi Menuju Nalar Manhaji)Tujuan mendasar terkait proyek yang ditawarkan oleh para pemikir
muslim kontemporer dalam diskursus Islamic Studies adalah untuk mencapai
pemahaman terhadap Islam (fahm al-islam). Islam itu suci, sempurna dan
ukhrawi, hal tersebut ditandai dengan kesatuan cara pandang, pendapat dan
kesimpulan dalam beragama. Islam tanpa multiplitas menandakan bahwa Islam
sebenarnya adalah satu dalam segala problema. Seiring dengan berkembangnya
waktu dan perubahan hegemoni melahirkan perbedaan dalam berislam, hal
tersebut menandakan bahwa pemahaman tentang dan terhadap agama adalah
manusiawi, profan dan temporal. Oleh karena itu, yang konstan adalah agama itu
sendiri, sedangkan ilmu atau pemahaman mengenai agama adalah temporal dan
akan selalu mengalami perubahan. Manhaj Islam yang satu sakral dahulunya
menjadi plural kini. Pluralitas yang terjadi bahkan sering menimbulkan
kontradiksi antar golongan dan madzhab. Dalam ranah ini kemudian hadir salah
seorang pemikir muslim kontemporer yang dinilai mampu menawarkan rumusan
konseptual dalam pembacaan dan pemahaman terhadap teks al-Qur’an yakni
Yahya Muhammad. Karena pemahaman mengenai agama Islam (fahm al-din)
sudah pasti akan menggiring diri pada teks-teks keagamaan. Yahya memberi
tawaran sedemikian rupa untuk sampai pada pemahaman islam yang metodis
(manhaji) dan kemudian dapat menjadi titik pluralitas ideal dalam memahami
agama Islam yang memang satu tanpa sekat-sekat madzhab.
Alasan penulis memfokuskan kajian terhadap pemikiran hermenutika
Yahya Muhammad adalah: Pertama, konsep hermenutika al-Qur’an Yahya
memberi tawaran metodologis dengan tanpa mengabaikan pluralitas pemahaman
yang ada modern ini. Kedua, sebelum membangun sebuah konsep pemahaman
(interpretasi), Yahya lebih dulu merumuskan landasan teoritis atas konsep
pemahamannya dengan melihat teks sebagai agama dan peradaban. Ketiga,
konsep hermenutika al-Qur’an Yahya Muhammad dinilai memberi kontribusi
pada khazanah kajian al-Qur’an.
Pendekatan penelitian ini adalah jenis pendekatan historis-filosofis dengan
pola deduktif-induktif-komparatif. Sementara untuk operasional metodologis
penelitian ini dilakukan melalui tahap-tahap yakni mengumpulkan dan
mengklasifikasi data, merestrukturasi data-data, kemudian mengolah dan
menginterpretasi data.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemikiran hermenutika al-Qur’an
Yahya Muhammad adalah: Pertama, dalam tujuan untuk mencapai pemahaman
terhadap Islam (fahm al-Islam) Yahya mempunyai dau rumusan kunci yaitu “alsya
i’ fi zatihi” dan “al-syai’ lizatina”. Kedua, dari rumusan tersebut kemudian
muncul Mekanisme Pembacaan Teks (Aliyat Qira’at al-Nass). Ketiga, setelah
proses mekanisme pembacaan, selanjutnya Yahya Muhammad membuat simpulan
akhir terkait pemahaman teks dalam konsep hermeneutikanya dengan “qawanin
fahm al-nass” atau qanun-qanun dalam memahami teks.
Kata kunci: Al-Qur’an, Hermeneutika, Mazhabi, Manhaji, Yahya Muhammad.NIM: 1620510035 Wildan Hidayat