Institutional Repository UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta: No conditions. Results ordered -Date Deposited. 2024-03-29T12:21:54ZEPrintshttp://digilib.uin-suka.ac.id/images/sitelogo.pnghttps://digilib.uin-suka.ac.id/2023-04-18T21:29:23Z2023-04-18T23:40:38Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/58114This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/581142023-04-18T21:29:23Zljtlhad Akar Rumput Autoetnografl (Re) lnterpretasi Teologls Seharl-harl di Masa PandemlArtikel ini bertujuan menjelaskan pengalaman keterlibatan penulisnya
dalam dinamika keagamaan keislaman di dusun tempat dia tinggal, dan bagaimana dinamika itu diarahkan oleh situasi sosial, budaya, ekonomi, dan politik pada satu sisi serta pandemi Covid-19 pada sisi lain. Di dusun kami itu terjadi apa yang saya sebut "ijtihad akar rurnput", yakni ijtihad (interpretasi teologis mandiri) sehari-hari yang dilakukan oleh umat Islam, baik ulama maupun awam, di dalam komunitas atau masyarakat tertentu. Dalam konteks kampung saya, terdapat mereka yang dikenal sebagai ustaz, pengurus takmir masjid, imam, rais atau kaum, dan jemaah. Ijtihad ulama MUI, Muhammadiyah, NU, dan lain-lain), yang saya sebut "ijtihad profesional", masuk atau dikonsumsi dalam level akar rumput ini, tetapi aktor-aktor lokal juga mengonstruksi ijtihad mereka sendiri. Di sini, lahir ijtihad akar rumput yang genuine dan kontekstual di
tengah-tengah masyarakat berdasarkan pengetahuan yang diperoleh
dari teks-teks keagamaan, fatwa ulama, kebijakan pemerintah, ilmu
kesehatan, media massa, dan common sense dalam melihat realitas sehari-hari, termasuk realitas yang disebabkan Covid-19.- Moch Nur Ichwan2022-11-16T07:52:33Z2022-11-16T07:52:33Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/55114This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/551142022-11-16T07:52:33ZRESPON AL-QUR’AN TERHADAP IJTIHAD RASULULLAHKebutuhan pada ijtihad untuk memutuskan hukum dari setiap hal yang tidak dibahas dalam sumber hukum Islam dewasa ini dinilai sangat penting dan merupakan hal yang mendasar yang menjadi alasan penulis mengambil pembahasan tentang ijtihad. Untuk dapat melakukan fungsi ini, maka penting untuk melihat bagaimana ijtihad yang dilakukan oleh Rasulullah dengan memperhatikan faktor-faktor yang melatarbelakanginya yang tergambar dalam al-Qur‟a>n, kemudian menarik nilai-nilai moral dari ijtihad tersebut. Hal ini sangat penting dilakukan mengingat kompleksnya masalah yang berkembang di masyarakat.
Penelitian ini difokuskan pada kajian respon al-Qur‟a>n terhadap ijtihad Rasulullah. Berangkat berdasarkan pengertian ijtihad Rasulullah yaitu pertimbangan akal beliau demi tercapainya kemaslahatan untuk kaum muslimin, penulis menemukan empat kasus ijtihad Rasulullah dalam bidang yang berbeda-beda, yaitu ijtihad Rasulullah terkait kaum munafik, terkait dengan peperangan, terkait dengan hal dakwah, dan terkait dengan hukum Islam.
Penelitian berupa library research dengan metode deskriptif analitik dan pendekatan historis, yaitu mendeskripsikan fakta-fakta kesejarahan yang ada dan disusun dengan analisis berdasarkan kajian tafsir ulama. Oleh karena itu, data-data yang dipaparkan akan merujuk pada beberapa kitab tafsir, khususnya tafsir hukum, yaitu tafsir al-Qurt}u>bi, Rawa>i‟ al-Baya>n, dan juga tafsir-tafsir umum lainnya sebagai penunjang.
Dengan menggunakan metode di atas, dihasilkan kesimpulan berupa: pertama, Respon al-Qur‟a>n terhadap ijtihad Rasulullah dalam empat kasus ijtihad tersebut mengandung bahan pengajaran dan semata demi kemaslahatan kaum muslimin, dan kedua, dari pemaparan kasus ijtihad Rasulullah dan respon al-Qur‟a>n diambil beberapa nilai/kandungan maslahah, di antaranya larangan penghapusan nasab asli dalam proses adopsi, bagaimana batasan H{{{ablun min Alla>h wa H{ablun min al-Na>s, prinsip persamaan antar makhluk dan ketakwaan yang membedakan mereka di hadapan Allah, serta konsep jihad fi> sabi>lilla>h.NIM.: 08530050 Suci Wulandari2022-09-30T02:48:34Z2022-09-30T02:48:34Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/53671This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/536712022-09-30T02:48:34ZIJTIHAD MAQASIDI DAN POLITIK PENGETAHUAN: PERGUMULAN DISKURSUS KEAGAMAAN REVOLUSI MESIR YUSUF AL-QARADAWI DAN ‘ALI JUM‘AHThe production of Fatwa as a religious discourse is a public discipline action. Ijtihad to formulate a fatwa should make sharia objectives (maqāṣid) run. The Egyptian Revolution of 2011 became a religious discourse struggle of ulama of similar ijtihād maqāṣidī; Jum’ah, who was a nation mufti, called a demonstration halt, while the opposing ulama al-Qaraḍāwī opined the opposite and asked for the president to step down.
Looking at this problem, this research aims to answer the question: “how does religious discourse as knowledge standing on ijtihād maqāṣidī manage to influence public?” from which follow-up questions derive. 1) What ijtihād maqāṣidī epistemology construction did religion actors (i.e. al-Qaraḍāwī and Jum‘ah) make in response to the Egyptian Revolution of 2011? Why did discrepancy in fatwa occur while they both put maqāṣid the basis of law formula? How did ijtihād maqāṣidī as a methodology work for social religious discourse?
The study discovered that the construction of maqāṣid is the philosophical basis with which particular arguments to establish law are in harmony. Besides, to gain benefits (maṣlaḥah) from a fatwa, mujtahid, a fatwa maker, has to take account of the act of mukalaf being judged, the situation before act, and the impacts afterwards.
The root of fatwa discrepancy between al-Qaraḍāwī and Jum’ah was the different maqāṣid construction between them. al-Qaraḍāwī maqāṣid construction consisted of six inevitabilities (religion, mind, intelligence, descendant, wealth, and nobility), democratic values (freedom, justice, and human rights), and several essential moral values. Jum’ah maqāṣid construction, on the other hand, contained five inevitabilities (mind, intelligence, religion, human glory, and ownership).
According to al-Qaraḍāwī, the situation before the demonstration blast was mafsadah due to authoritarian and corrupt government. People’s protests were a wasilah (effort) to throw evils away and to build a democratic and just nation (dar’ al-mafsadah wa jalb al-maṣlaḥah). The impact consideration was that demonstration could pressure the authority to step down then democratic and just nation would begin (maṣlaḥah). To Jum’ah, on the contrary, the country was in good condition (maṣlaḥah), stable and the people’s needs were fully met; thus, demonstration (chaos) was evil (mafsadah). The impact consideration was that if protests continued, there would be more lost lives, properties, and eventually a government vacancy would occur.
The distinct maqāṣid construction was due to distinct interests of the two. The Egyptian revolution was the time where interests met the momentum. al-Qaraḍāwī was interested in emancipatory (releasing Muslim from authoritarianism practice), while Jum’ah’s interest was nation stability. These interests eventually led each of them to stand partially.
The act of fatwa as the continuation of ijtihād maqāṣidī and politics of knowledge proved that non fiqh factor has influenced the working process of maqāṣid-oriented law. The researcher discovered three essential findings concerning social practice and politics of knowledge toward ijtihād maqāṣidī. 1) The interest and political position of mujtahid affected by practical experience influence the way they search for maṣlaḥah. 2) Ijtihād maqāṣidī activities involve tanṣīṣ efforts to drag the power of naṣṣ into fatwa. 3) Ijtihād maqāṣidī activities require mujtahid to synchronize maṣlaḥah with the domain discourse which eventually emerges maṣlaḥah fluctuation. The researcher calls these points negotiation of orthopraxy against orthodoxy.NIM.: 18300016014 Akhmad Sulaiman2022-07-08T03:13:26Z2022-07-08T03:13:26Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/51838This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/518382022-07-08T03:13:26ZIJTIHAD NAUʿI SEBAGAI BASIS NALAR HUKUM ISLAM (TELAAH PROYEK PEMIKIRAN MUHAMMAD ABU AL-QASIM HAJJ HAMAD, 1942-2004)NIM.: 12300016024 Asmuni2021-09-15T07:48:28Z2021-09-15T07:48:28Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/44407This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/444072021-09-15T07:48:28ZHUKUM PERAYAAN MAULID NABI MENURUT MAJELIS TARJIH DAN TAJDID MUHAMMADIYYAH DAN LEMBAGA BAHTSUL MASA’IL NAHDLATUL ULAMAPerayaan maulid Nabi adalah bentuk pesta atau mengadakan keramaian atas lahirnya Baginda Rasulullah, bentuk ekpresi kebahagiaan dalam menyambut lahirnya Nabi Muhammad mempuyai perbedaan dalam ranah Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama sendiri. Dikalangan masyarakat Indonesi masih beredar isu-isu bahwa warga muhammadiyah melarang perayaan maulid nabi, atau tidak melakukan perayaan tersebut. Sedangkan Nahdlatul Ulama membolekan bahkan mensunahkan perayaan maulid Nabi ini. Dan dalam kebahagian menyambut perayaan ini juga berbeda diantara keduanya. Berangkat dari perbedaan tersebut, maka dalam penelitian ini penyusun memfokuskan pada pertama, meode ijtihad Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah dan Lembaga Bahtsul Masa’il Nahdlatul Ulama tentang perayaan maulid Nabi. Kedua, bentuk ekspresi perayaan maulid Nabi menurut Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah dan Lembaga Bahtsul Masa’il Nahdlatul Ulama. Penyusun menggunakan penelitian kepustakaan (library reseach) yaitu, penelitian dari data data yang diperoleh dari bahan pustaka yang pembahasannya berkaitan dengan hukum perayaan maulid nabi, baik bahan primer maupun bahan sekunder. Penelitian ini bersifat deskriktif-analisis-komparatif yakni, mendeskripsikan atau menguraikan data-data yang berkaitan dengan hukum perayaan maulid Nabi dalam perspektif Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammdiyah dan Lembaga Bahtsul Masa’il Nahdlatul Ulama yang telah diperoleh datanya kemudian dianalisa guna mendapatkan suatu pandangan atau kesimpulan yang relevan. Dari hasil penelitian ini, penyusun menemukan pertama, Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah membolehkan perayaan maulid nabi dengan berdasarkan metode ijtihad istishlahi yang memfokuskan pada kemashlahatan yang ingin dicapai. Lembaga Bahtsul Masa’il Nahdlatul Ulama juga membolehkan perayaan Maulid nabi berdasarkan istinbath hukum dengan metode qauli yang mengambil fatwa atau pandangan dari ulama-ulama terdahulu. Kedua, bentuk perayaannya juga berbeda, Karena unsur kemaslahatan, Muhammadiyah memilih untuk merayakan maulid Nabi dengan pengajian atau majelis taklim yang itu mendatangkan kebaikan dan menghindari kemudharatan. Sebaliknya bentuk perayaan dari Nahdlatul Ulama sendiri mengikuti tradis-tradisi para ulama terdahulu, yaitu membaca kitab barjanzi.NIM : 13360004 Zufran Nawafil Malau2021-06-30T09:08:40Z2023-05-04T07:53:22Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/42624This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/426242021-06-30T09:08:40ZIjtihad dan Isu-isu Hukum Kewarisan IslamPersaolan-persoalan seputar formulasi pembagian
warisan dua berbanding satu antara laki-laki dengan
perempuan, kewarisan beda agama dan harta bersama suami
isteri merupakan isu-isu hukum kewarisan yang mesti harus
dicari solusinya. Untuk kepentingan tersebut, perlu dilakukan
penemuan hukum yang tidak hanya bertumpu pada
pamaknaan-pemaknaan secara tekstual, namun lebih
mempertimbangkan pesan-pesan idealnya. Persoalan wilayah
ijtihad juga perlu perhatian. Ijtihad mestinya tidak hanya
dibatasi pada teks-teks hukum yang dianggap tidak jelas,
namun juga teks-teks hukum yang dianggap jelas namun tidak
menghadirkan kemaslahatan di tengah masyarakat.- Riyanta2021-06-30T07:40:53Z2021-06-30T07:40:53Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/42620This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/426202021-06-30T07:40:53ZNalar Ijtihad Fiqh Muhammad Sa'id Ramadhan al-ButhiAktivitas ijtihad yang dilakukan para ulama
lintas zaman dalam memberikan petunjuk terhadap realitas kehidupan manusia dilakukan melalui tiga
fase: pertama, ijtihad adakalanya dengan cara
mengerahkan segala daya dan upaya untuk
menterjemahkan kehendak Tuhan dan dengan
memahami wahyu yang telah diturunkan ke bumi.
Kedua, adakalanya ijtihad dilakukan dengan cara
mengerahkan segala kemampuan untuk memutuskan
apakah hasil istinbat tersebut layak untuk
diaplikasikan atau tidak. Karena hukum-hukum yang
merupakan hasil istinbat terkadang memiliki sisi-sisi
kelemahan akibat dari adanya perubahan situasi dan
kondisi sehingga hasilnya perlu dikaji ulang. Ketiga,
adakalanya dengan cara mengaplikasikan hukum yang
telah dirumuskan ke dalam dunia realitas pasca
diputuskan bahwa hasil ijtihad tersebut layak untuk
diaplikasikan.- Moh. Mufid2020-12-28T07:54:20Z2020-12-28T07:54:20Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/41719This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/417192020-12-28T07:54:20ZURGENSI IJTIHAD KOLEKTIF DALAM ISTINBAT HUKUM ISLAM (Telaah Pemikiran Yusuf al-Qaradawy dan T.M. Hasbi ash-Shiddiqy)Arus globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dewasa ini, menuntut para ulama Islam untuk
melakukan upaya rekontruksi terhadap khazanah pengetahuan Islam secara inovatif. Termasuk yang
cukup urgen, upaya para ulama tersebut untuk secar . terns menerus melakukan ijtihad secara
kontinyu. Terutama di zaman modern sekarang ini, ijtihad individu sudah kurang efektif dan tidak
akan mampu lagi menjawab tuntas dalam menyelesaikan peroblematika hukum kekinian. Solusinya adalah
ijtihad kolektif yang harus dilakukan untuk memberi terapi terhadap segala problema baru, yang
selalu muncul serba baru.
Berangkat dari hal yang seperti ini, menjadi sebuah kewajiban bagi pemikir hukum Islam untuk
mengkajinya, khususnya pemikiran Yusuf al Qaradawy dan T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, yang keduanya
terkenal sebagai ulama refonnis-kontemporer yang konsen membicarakan hukum-hukum Islam aktual. Dan
juga mereka yang bersuara lantang rnernperjuangkan pentingnya ijtihad dalarn menyelesaikan
persoalan modernitas.
Dengan demikian untuk rnemperoleh hasil yang akurat dan obyektif, rnaka dalam penelitian ini
penyusun rnenggunakan metode analisis-diskriptif, dari berbagai data yang penyusun kurnpulkan.
Dengan rnenggunakan cara berpikir penalaran (rasional), dan cara berpikir induktif, yaitu
rnenganalisis dan rnernaparkan tentang pernikiran kedua tokoh tersebut di atas tentang ijtihad
kolektif dalarn menyelesiakan persoalan rnodernitas.
Setelah penyusun rnengeksplorasi, rnendiskripsikan dan rnenganalisis, maka penyusun menarik
konklusi akhir, bahwa keduanya (al-Qaradawy dan Hasbi) rnernandang ijtihad kolektif adalah sangat
urgen dalarn proses penetapan hukurn syari'at, sesuai dengan tujuan syari'at itu sendiri (maqiisid
al-syarfah), yaitu rnemberi kernaslahatan bagi semua umat rnanusia. Urgensitas ijtihad kolektif,
karena Pertama, dapat merealisasikan prinsip syura dalam ijtihad, kedua, sebagai solusi terhadap
persoalan baru. Ketiga, ijtihad kolektif mengsgantikan posisi ijma ', keempat, ijtihad kolektif
lebih seksama dan akurat. Sesuai dengan pernbagian peringkat rnujtahid menurut para ahli ushul fiqh
bahwa ijtihad ini adalah mirip dengan rnujtahid muraJjih atau ahli tarjih.NIM:01360814 MARWINI2020-12-28T07:37:19Z2020-12-28T07:37:19Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/41717This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/417172020-12-28T07:37:19ZlJTIHAD DALAM PEMIKIRAN HUKUM ISLAM (STUDI PERBANDINGAN MOHAMED ARKOUN DAN NURCHOLISH MADJID)Diskursus tentang i.ftihad menjadi signifikan, karena pada segmen hukum tertentu masih banyak haI
yang belum tersentuh oleh teks al-Qur'an dan Sunnah secara eksplisit. Belum lagi jika dihadapkan
pada realitas sifat evolusioner kehidupan yang tentu saja masalah dan tantangan baru selalu
bermunculan. Dari perspektif ini. ijtihad berada dalam focus yang menentukan, dalam kaitannya
dengan pembaruan pemikiran Islam. Mohammed Arkoun dan Nurcholish Madjid merupakan tokoh pemikfran
pembaruan dalam Islam, yang juga sedikit-banyak mengulas tentang ijtihad dan genealogi pemikiran
Islam, serta konsep-konsepnya. Ha1 ini memberikan kesempatan kepada penyusun untuk menyingkap
pemikiran keduanya tentang Ijtihad dalam Pembaharuan Pemikiran Hukum Islam, faktor faktor yang
meiatarbelakanginya, karakteristik pemikiran keduanya, serta bagain1ana pengaruh pemikiran kedua
tokoh tersebut.
Dikarenakan penelitian ini merupakan kajian sejarah pemikiran, maka pendekatan yang digunakan
ad.::Jah pendekatan sosio-historis, yaitu pendekatan yang digunakan untuk mengetahui latar belakang
sosio-kultural s orang tokoh. Disamping itu, pendckatan f.;Cncalogi mewarnai penelitian ini. Teori
"eenealogi" sebagai upaya rnelacak asal-usul genetik pemikiran, upaya menulis aspek-aspek
"sejarnhnya-sejarah". Dan dikarenakan kajian ini merupakan kajian perbandingan, maka diiihat
persamaan dan perbedaan pemikiran Arkoun dan Nurcholish Madjid. Metode yang digu11akan Arkoun,
yaitu dekonstruksi atas logosentrismc pemik.iran Islam. Ia kcmudian mclakukan pembacaan kembali
atas teks (i'iidRh a/ qirii'ah) bersifat transdisipliner. Pendekatan yang digunakan Arkoun adalah
dekonstruksi, yang membongkar struktur pemikiran hukum Islam. Sedangkan Nw-cholish Madjid.
menggunakan metode interpretatif terhadap al-Qur'an. Ia cenderung rnenggunakan metode dekonstruksi,
yang menerjemahkan masalah masalah praktis antara konteks kultural al-Qur'an dengan konteks
kultural kehidupan modern. Berkaitan dengan penelitian aias teks-teks tradisi, Arkoun menempatkan
..kritik sejarah" sebagai tema, Sedangkan Nurcholish Madjid menggunakan metode interpretatif
terhadap teks-teks tersebut. Terjadinya sakraiisasi pemikiran (taqdis al-afkar), menurnt Arkoun,
akibat langsung dari logosentrisme, yang menjustifikasi penafairan suatu kelompok. Sedangkan
Nurcholish Madjid menawarkan sekularisasi, yaitu mendesakralisasikan segala
sesuatu yang sebenarnya tidak sakral tetapi dengan keliru dianggap sakral.
Keduanya sama-sama berkecenderungan substansial dalam upaya memberlakukan dan menginterpretasikan
ajaran-ajaran Islam. Pemikiran keduanya dipengaruhi oleh faktor pendidikan, aktifitas (pembacaan
sosio historis), dan pendekatan yang digunakan. Adapun pengaruh pemikirannya, yaitu: Pengaruh
Arkoun masih sebatas kaiangan akademisi, terutama di Indonesia. Walaupun Arkoun sudah menerbitkan
banyak tulisan dan cerarnah di sejurnlah Negara, karyanya baru memperoleh perhatian terbatas.
Sementara itu, pernikiran Nurcholish Madjid cukup berpengaruh di Indonesia terutama dalam hal
pemikiran pembaruan Islam. Fokus Nurcholish Madjid sendiri kepada muslim kelas menengah.NIM. 01360790 HAN HAN YUSTIAN2020-11-28T15:34:54Z2020-11-28T15:34:54Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/41390This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/413902020-11-28T15:34:54ZIJTIHAD DAN IMPLIKASINYA DALAM PROBLEMATIKA HUKUM ISLAM KONTEMPORER (STUDI KOMPARASI ANTARA YUSUF AL-QARADAWI DAN ABDULLAH AHMAD AN-NA'IM)Pada era globalisasi akan banyak perubahan dalam kehidupan manusia, yang diantaranya mungkin mempunyai banyak kemiripan dengan yang pemah ada selama ini dan diantaranya mungkin asing dan tidak dikenal selama ini. Karena seniua tindak landuk manusia harus harus berada dalam tataran hukum Allah, tentu hukum Islam harus mampu menjawab perubahan itu dengan perangkat aturan yang menempatkan tingkah laku manusia yang mengalami perubahan dalam tataran hukum Syara'. Aturan baru itu mungkin dengan cara reinterpretasi atas sumber yang selama ini telah diformulasikan oleh pakar terdahulu atau dengan cara menggali langsung dari sumber yang ada dengan menggunakan pendekatan baru dengan menjadikan kondisi yang ada sebgai bahan pertimbangan dalam hal-hal yang baru sama sekali. Sebab pada segmen-segmen hukum tertentu masih banyak hal yang belum tersentuh oleh teks-leks al-Qur'an dan Sunnah secara ekplisit. Alih-alih jika dihadapkan pada realitas sifat evolusioner kehidupan yang tentu saja masalah dan tantangan baru selalu bermunculan. Berdasarkan perspektif ini, ijtihad berada dalam posisi yang sangat menentukan, dalam kaitannya dengan pembaruan pemikiran hukum Islam kontemporer. Menurut Al-Qaradawi, dengan ijtihad Syari'ah Islam menghadapi hal-hal yang baru lengan obat yang diambil dari "apotik Islam itu sendiri. Baginya, hukum yang ditunjukkan oleh dalil yang zanni atau yang tidak mampu ada nass dan dalilnya merupakan objek luas untuk berijtihad sampai sekarang Akan tetapi pendapat yang dikemukakan Al-Qaradawi tersebut ditanggapi oleh An-Na menurutnya ijtihad untuk interpretasi dan erasi dan penerapannya dalam situasi kontemporer juga mencakup teks Al-Qur'an dan As-Sunnah hetapapım jelas dan terinci Pendek kata, pembatasan ijtihad itu harus dimodifikasi,
Kajian yang dikemukakan Al-Qaradawi dan An-Na'im tentang tiad kontemporer merupakan sebuah pemikiran yang menank untuk dikaji Hal tersebut memberi kesempatan kepada penyusun untuk mengkaji lebih dalam mengenai konsepsi dan proyeksi ijtihad kontemporer menurut Al-Qurudawi dan An-Naim, mencari persamaan dan perbedaan antara pemikiran kedua tokoh tersebut
Dikarenakan kajian ini merupakan kajian pembaharuan pemikiran hukum Islam kontemporer, maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan hermeneutik. Dengan pendekatan hermeneutik diharapkan dapat memberikan makna atau penafsiran dan interpretasi terhadap fakta-fakta sosio historis yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa masa lampau sesuai dengan konteksnya.
Berdasarkan metode yang digunakan. maka terungkap bahwa sesungguhnya Al-Qaradawi dan An-Na'im menggunakan pendekatan yang sama, Perbedaanya adalah metode ijtihad Al-Qaradawi sarat dengan nuansa teori tradisional, sedangkan dalam perspektif tertentu, metode ijtihad An-Na'im merupakan alternatif terhadap wacana metodologi pembaruan pemikiran hukum Islam kontemporer02361387-01 Denny Pramiyadi2020-09-10T13:46:07Z2020-09-10T13:56:12Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/40955This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/409552020-09-10T13:46:07ZIJTIHADSecara bahasa, ijtihad merupakan kata bahasa Arab yang berasal dari akar kata ja-ha-da yang berarti: berusaha keras dan bersungguh sungguh (to endeavour, to over work) keudian ditambah dengan huruf alif dan ta berarti mencurahkan segenap kemampuan untuk berusaha secara sungguh sungguh dalam mengejakan sesuatu. Dean demikian kata ijtihad yang merupakan bentuk kata benda dari kata ij-ta-ha-da, hanya dipergunakan untuk menunjukkan sebuah pekerjaan berat dan sulit serta memerlukan usaha keras yang sungguh-sungguh untuk dapat mengerjakannya, dan tidak dipergunakan untuk menggambarkan sebuah pekerjaan yang mudah dan ringan- Agus Moh. Najib2020-09-09T02:20:22Z2020-09-09T02:20:22Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/40907This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/409072020-09-09T02:20:22ZMETODE IJTIHAD ALI JUM’AH (1951- 2018) DALAM MASALAH-MASALAH MU’AMALAT MALIYYAH MU’ASIRAHAli Jum‟ah merupakan mantan grand mufti Republik Arab Mesir ia menjabat sebagai grand mufti selama sepuluh tahun terhitung sejak tahun 2003 sampai dengan tahun 2013. produk-produk fatwa yang dihasilkan oleh Ali Jum‟ah seringkali berbeda dengan produk-produk fatwa yang dihasilkan oleh ulama lain bahkan berbeda dengan hasil dari Majma’ Fiqh al-Islami. Di antara fatwa yang menuai kontroversial di kalangan para ulama adalah fatwa mengenai asuransi, bunga bank, jual beli minuman keras dan lain sebagainya. Berkenaan dengan Asuransi Ali Jum‟ah berpendapat bahwa semua jenis asuransi itu hukumnya boleh dan merupakan kebutuhan primer bagi kehidupan sosial. Fatwa ini sangatlah bertentangan dengan fatwa Majma’ Fiqh al-Islami dan juga mayoritas ulama saat ini sehingga hal ini membuat penulis tertarik untuk mengkaji lebih mendalam lagi tentang bagaimana metode istinbat yang dilakukan Ali Jum'ah sehingga menghasilkan produk yang berupa fatwa.
Jenis penelitian ini termasuk ke dalam jenis penelitian pustaka (liberary research) yaitu bahan atau datanya berasal dari literatur-literatur yang berkaitan dengan obyek penelitian ini seperti kitab, jurnal, majalah, artikel yang memiliki relevansi dengan tema yang dibahas. Metode analisis data yang digunakan pada penelitian adalah metode induktif. Metode induktif digunakan dalam rangka memperoleh gambaran detail dari fatwa dan metode istinbat yang digunakan sang tokoh.
Hasil Penelitian ini menyimpulkan bahwa: pertama, metode ijtihad yang digunakan oleh Ali Jum‟ah dalam berfatwa adalah bayani, qiyasi, istislahi dan intiqa’i. dalam mengeluarkan fatwa terdapat empat tahapan yang senantiasa ditempuh oleh Ali Jum'ah yaitu marhalah at-taswir, marhalah at-takyif, marhalatu bayani al-hukmi dan marhalah al-ifta’. Kedua, dalam masalah yang berkaitan dengan mu’amalat maliyyah mu’asirah metode yang paling dominan digunakan adalah metode ijtihad istislahi hal ini karena masalah-masalah yang ada dalam bidang mu’amalat maliyyah tidak dijelaskan dalam nas-nas al-Qur‟an maupun hadis. Ketiga, fatwa-fatwa yang dikeluarkan Ali Jum‟ah dalam masalah mu’amalat maliyyah mu’asirah sebagian besar relevan dengan kondisi pada masa sekarang ini.17203010029 Fajar2019-07-12T01:59:04Z2019-07-12T01:59:04Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/35648This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/356482019-07-12T01:59:04ZIJTIHAD DAN IMPLIKASJNYA DALAM
PEMBARUAN HUKUM ISLAM
(STUDY KOMPARATIF ANTARA PANDANGAN YUSUF AL -QARDHA WI
DAN FAZLUR- RAHMAN)Dengan semakin berkembangnya arus informasi dan jaringan komunikasi
dunia, terjadi pulalah apa yang disebut dengan proses modemisasi,. Modemisasi
tersebut melahirkan berbagai macam bentuk perubahan baik secara struktural
maupun kultural.
Perubahan secara struktural berarti perubahaan yang hanya meliputi struktur
sosial belaka, yakni jalinan daan hubungan satu sama lain dari keseluruhan unsur
sosial. Unsur yaang pokok adalah kaidah-kaidah, lembaga-lembaga, kelompokkelompok
dan lapisan sosial.
Sedangkan perubahan secara kultural lebih bersifat ideologis atau
immaterial yakni, perubahan nilai-nilai dan sebagainya. Dalam era modemisasi
dewasa ini, salah satu aspek pemikiran yang turut mengalami perubahan adalah di
bidang hukum Islam.
Berangkat dari latar belakang tesebut, maka ketika berbicara wacana ijtihad
tentunya tidak terlepas dari ushul fiqh yang mempunyai pera.'l aktif untuk
mengaplikasikan ijtihad dalam pembaruan hukum Islam. Ini mcnjadi penting
dimiliki oleh seorang mujtahid, karena diyakini oleh ulama perumus persyaratan ini
dengan ilmu ushul fiqh, kita bisa mengetahui hakikat dan pernik-pernik hukum
yang hendak di pecahkarmya.
Ijtihad yang merupakan prinsip gerak, haruslah diiringi dcngan metodemetode
seperti yang dicontohkan oleh para ulama klasik, salah satu contoh adalah
dengan cara ijma' dan qiyas. Ijma' yang merupakan kesepakatan (konsensus) para
ulama dalam mengetahui dan menetapkan hukum-hukum, jika hukum tersebut tidak
terdapat dalam al-Qur'an maupun al-Hadits, sehingga tidak terjerumus dalam
memberikan fatwa yang bertentangan dengan ijma'. Sebagaimana ia juga harus
mengetahui nash-nash dalil guna menghindari dari yang berbeda dengan nash
terse but
Segenap ulam melihat bahwa ushul fiqh merupakan suau cabang ilmu yang
terpenting dalam suatu hokum Islam dari sumber-sumbernya. Akan tetrapi, mereka
ada yang menjadikannya sebagai syarat tersendiri dalam melakukan ijthad dan ada
pula yang memasukkannya sebagai bagian dari mengetahui al-Qur'an dan alHadits
..
Mengingat huk;um Islam merupakan salah satu bagian ajaran Agama yang
terpenting, maka perlu ditegaskan disini, aspek mana yang mengalami perubahan
dalam kaitarmya dengan hukum Islam tersebut. Agama dalan1 pengertiannya
sebagai wahyu tuhan tidak akan berubah, tetapi pemikiran manusia tentang
ajararmya, terutama dalam hubungan dan peneraparmya didalam dan di tengah
masyarakat mungkin berubah. Berdasarkan hal tersebut di atas, perubahan yang
dimaksud bukanlah perubahan secara tekstual tetapi secara kontekstual. Teks alQur'an
tentunya tidak mengalami perubahan tetapi pemahaman dan peneraparmya
dapat disesuaikan dengan konteks perkembangan zaman.
Dengan demikian hukum Islam akan maampu mengembangkan dirinya
dengan tuntutan zaman (modernitas). Tanpa adanya upaya pebaruan pemikiran
dimaksud tentu akan menimbulkan kesulitan dalam memasyaratkan hukum.
Mengingat pentingnya hukum sebagai salah satu pilar masyarakat, sedangkan
kehidupan masyarakat sendiri mengalami perkembangan maka upaya pembaruan
pemikiran hukum Islam pun dapat mengikuti perubahan itu.NIM: 00360212 ACHMAD JUNAIDI2022-02-21T04:51:01Z2022-02-21T05:00:37Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/2958This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/29582022-02-21T04:51:01ZKONSEP IJTIHAD DAN TAQLID DALAM HUKUM ISLAM
(STUDI KOMPARATIF ATAS PEMIKIRAN K.H. M. HASYIM ASY’ARI
DAN PROF. DR. T.M. HASBI ASH-SHIDDIEQY)Masalah ijtihad dan taqlid, merupakan salah satu isu besar yang direspons
dengan antusiasme sangat tinggi di kalangan umat Islam. Maka dalam hal ini
muncul dua aliran yang berbeda dalam mengambil hukum syariat; pertama, kaum
pembaharu (modernis) yang cenderung mengambil hukum langsung dari al-
Qur’an dan as-Sunnah, larangan terhadap praktik taqlid, serta meyakini bahwa
pintu ijtihad terus terbuka; kedua, kaum tradisional yang mengharuskan taqlid
kepada salah satu imam empat maz|hab yang mu’tabar, sebagai salah satu metode
untuk mencari jawaban permasalahan hukum. Baik ulama tradisionalis, seperti
K.H. M. Hasyim Asy’ari (1871-1947 M), maupun intelektual modernis, seperti
Prof. Dr. T.M. Hasbi ash-Shiddieqy (1904-1975 M), semuanya bermuara pada
satu keinginan besar untuk mengentaskan umat Islam dari kemerosotan
berpikirnya yang maha dahsyat –khususnya perihal aktivitas ijtihad dan taqlid,
dan memperbaharui cara berpikir dan cara hidup umat Islam yang sesuai dengan
syariat Islam. Dari kedua tokoh tersebut –baik Prof. Hasbi maupun Kiai Hasyim,
penyusun memandang adanya perbedaan pandangan dari keduanya mengenai
pemikiran tentang ijtihad dan taqlid, serta analisis persamaan dan perbedaan
pandangan dari mereka. Oleh karenanya, penyusun tertarik untuk meneliti secara
mendalam tentang pemikiran mereka. Sehingga diharapkan pemikiran keduanya –
dapat diketahui karakter masing-masing– baik dalam dataran teori, praktik, dan
persingggungan paham di dalamnya dapat diketahui dengan jelas.
Dikarenakan penelitian ini berupa kajian tentang ijtihad dan taqlid, maka
pandekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan usul al-fiqh,
yaitu pendekatan yang digunakan di mana pokok pikiran kedua tokoh akan
dideskripsikan secara obyektif kemudian dianalisa menurut standar kerangka teori
ilmu usul al-fiqh. Adapun sebagai pijakan untuk penelitian yang lebih lanjut,
penyusun menggunakan penelitian kepustakaan (library research), yang berusaha
mengkaji, menelaah, dari berbagai literatur baik yang sifatnya primer maupun
sekunder yang bersifat deskriptif-analitik agar diperoleh kesimpulan yang
sisitematis dan objektif dengan metode komparatif yang berusaha menjelaskan
relasi dari dua sistem pemikiran dan metode pendekatan historis atas lahirnya
konsep ijtihad dan taqlid.
Penelitian terhadap pemikiran ijtihad-taqlid dan ruang lingkupnya sudah
menjadi "kodrat historis" bahwa tokoh tersebut –baik Prof. Hasbi maupun Kiai
Hasyim, keduanya sama-sama berpegang pada satu prinsip, yaitu menjaga
kredibilitas ajaran-ajaran normatif dengan tanpa sedikit pun niat mendekonstruksi
nilai-nilai roh normatifitas tersebut. Adapun yang menjadi dalil atas pemikiran
mereka tentang ijtihad dan taqlid sebenarnya tidak jauh berbeda. Terjadi ikhtilaf,
disebabkan adanya perbedaan pemahahan dan interpretasi terhadap nass. Jadi,
persamaan dan perbedaan yang ada pada mereka hanyalah terletak pada
pemahaman serta interpretasi terhadap nass itu sendiri. Di samping itu, faktor
pendidikan, ideologi-teologi, serta sosio-historis yang telah mempengaruhi corak
yang signifikan terhadap pemikiran masing-masing tokoh.NIM.: 05360069 Moh. Manshur al-Hasan