Institutional Repository UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta: No conditions. Results ordered -Date Deposited. 2024-03-29T01:25:22ZEPrintshttp://digilib.uin-suka.ac.id/images/sitelogo.pnghttps://digilib.uin-suka.ac.id/2024-03-28T03:57:33Z2024-03-28T03:57:33Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/64566This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/645662024-03-28T03:57:33ZKOMUNIKASI RITUAL SUKU BANJAR TABALONG TERHADAP TRADISI BADUDUS PERSPEKTIF PEMROSESAN-INFORMASIThe Badudus tradition is a tradition of the Banjar tribe, especially in South Kalimantan, Tabalong Regency, precisely in Tanjung District. This tradition in the form of bridal bathing is usually carried out a few days before the wedding ceremony is held. This tradition was originally only allowed to be carried out by descendants of the Banjar royal family or only the nobles, after the Banjar kingdom collapsed the tradition only had to be carried out by several bloodlines, but ordinary Banjar people could also carry out the tradition. This tradition is an obligation that must be carried out by the bride and groom who in practice use tools and materials in accordance with the philosophy of the meaning contained therein. This tradition is a symbol of purification before entering the next stage of life, namely family, as well as a symbol of asking for protection from Allah SWT in order to avoid disturbances from spirits before the wedding ceremony and in married life.
The traditions that have been carried out before Islam are still carried out to this day even though there are transformations in them. This transformation of local traditions occurred after the entry of Islam. Judging from the relationship between Islam and culture, two things must be clarified, namely Islam as a cultural reality and Islam as a socio-cultural conception. The Badudus tradition in ancient times was carried out on the teachings of ancestors not based on religion because their beliefs were still Kaharingan. As time progressed, local traditions began to change following the religion that had entered the Banjar tribe community. The change of the local tradition of Badudus into an Islamic tradition cannot be separated from the role of community leaders in communicating Islamic teachings to the Badudus tradition. This transformation process is in the form of persuasive communication, which aims to influence the thoughts, opinions, views, attitudes and actions of individuals to society.
This research uses descriptive qualitative research using a phenomenological approach. This research will reveal the transformation of Banjar's local tradition, namely Badudus to Islamic tradition, by collecting various data with a direct approach with informants then analyzed. The data collection techniques used are observation, interview, and documentation. By interviewing informants, this research will obtain data directly from figures who carry out the Badudus tradition. The results of this study will describe the data that has been obtained from informants associated with ritual communication theory and persuasive communication theory, namely information-processing theory developed by William J. McGuire.NIM.: 22202011030 Maulida Hidayah2024-03-26T04:57:59Z2024-03-26T04:57:59Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/64502This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/645022024-03-26T04:57:59Z“YANG TETAP DAN BERUBAH” TRADISI SEBARAN APEM YAQAWIYYU DI DESA JATINOM KECAMATAN JATINOM KABUPATEN KLATENTradisi sebaran apem Yaqawiyyu adalah salah satu tradisi budaya yang masih dilestarikan di Indonesia. Tradisi ini diwariskan oleh Kyai Ageng Gribig, seorang ulama besar dan berpengaruh di tanah Jawa. Tradisi ini dilaksanakan setiap pertengahan bulan Safar tahun Hijriyah. Puncak tradisi ini adalah pembagian kue apem kepada masyarakat, baik dari Jatinom maupun luar Jatinom. Pembagian kue apem ini dilakukan dengan cara dan sarana yang disesuaikan dengan perkembangan zaman. Beberapa unsur kebudayaan dalam tradisi ini masih dipertahankan, tetapi ada juga yang mengalami perubahan. Masyarakat dan pemerintah setempat terus mengembangkan berbagai acara pendukung untuk melestarikan tradisi ini. Penelitian ini bertujuan untuk memahami bagaimana pemaknaan dan fungsi tradisi sebaran apem Yaqawiyyu telah berubah dari waktu ke waktu, dan apa saja yang masih dipertahankan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yaitu observasi, wawancara dengan pelaku sejarah, dan analisis dokumen. Penelitian ini menunjukkan bahwa perkembangan zaman saat ini telah menyebabkan perubahan dan perkembangan tradisi yang ada di masyarakat. Tradisi baru yang bermunculan dapat menggeser prosesi dan makna tradisi yang sudah ada sejak lama. Masyarakat modern cenderung memaknai tradisi sebagai bentuk kebudayaan yang praktis, dan tidak banyak yang dapat memaknai dan memfungsikan tradisi sesuai dengan tradisi terdahulu. Pemaknaan sebaran Apem yang dulunya memiliki makna sedekah, sekarang menjadi simbol keberkahan bagi masyarakat Jatinom. Cara pemberian kue Apem dan tanggapan dari berbagai golongan masyarakat juga menjadi pokok pembahasan dalam penelitian iniNIM.: 19205012043 Halimatus Sa’diyah2024-03-15T04:15:27Z2024-03-15T04:15:27Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/64378This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/643782024-03-15T04:15:27ZSPIRITUAL ISLAM DAN BUDAYA PERKOTAAN: GAYA BARU PONDOK SHALAWATAN AL-MUSHTHAFA DALAM MEMPERJUANGKAN NILAIPondok Shalawatan Al-Mushthafa menghadirkan pendidikan yang unik bagi kawula muda yang sedang bekerja atau kuliah di Yogyakarta. Selaku pengasuh, K.H. Edi Mulyono mendidik santri-santri dengan nilai-nilai Islam tradisional di tengah-tengah hiruk pikuk perkotaan. Pergulatan dan dinamika yang panjang menjadikan beliau mampu memberikan sintesa tata aturan Islam tradisional berikut tradisinya yang dihadapkan dengan gerak modernisme yang cenderung merusak dan bertentangan dengan nilai-nilai keislaman. Begitu pun dengan latar belakang santri yang mayoritas dari pedesaan, banyak dibantu oleh K.H. Edi Mulyono dalam sarana pemenuhan ekonomi hingga penyediaan tempat tinggal yang gratis. Sebagai patron utama santri, K.H. Edi Mulyono menjadi teladan mereka bagaimana orang yang berasal dari pedesaan mampu beradaptasi, membangun bisnis, sukses dalam gelar akademis, serta istikamah dan konsisten dalam menerapkan nilai-nilai Islam tradisional di perkotaan. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan antropologi yang sebagian besar merujuk dalam narasi-narasi tasawuf.
Adapun metode yang diambil ialah observasi secara langsung yang dikolaborasikan dengan data wawancara, telaah pustaka, serta analisis dengan berbagai teori. Penelitian ini difokuskan dalam dua poin utama, yakni untuk menggali dinamika pengasuh dan santri Pondok Shalawatan Al-Mushthafa dalam mengarungi modernitas dan kosmopolit Yogyakarta serta untuk melihat gaya baru dalam membangun spiritualitas Islam di perkotaan. Hasilnya, Pondok Shalawatan Al-Mushthafa yang mayoritas pendatang dari kultur Islam tradisionalis itu tetap mampu mempertahankan tradisi yang dimiliki meski harus melalui penyesuaian dan kontekstualisasi. Peneguhan hakikat hidup terhadap nilai-nilai keislaman serta zuhud yang membolehkan untuk mengusai kekayaan yang digunakan untuk kebaikan juga menjadi pelecut bagi mereka dalam melakukan persaingan ekonomi secara halal serta untuk bisa survive di Yogyakarta. Akumulasi dari dua hal itu kemudian membentuk Muslim perkotaan yang merawat tradisi dengan ciri khas Islam tradisional yang dikontekstualkan serta siap dalam menghadapi tantangan zaman.NIM.: 19200010144 Hairul Amin Ra’is2024-03-08T06:02:06Z2024-03-08T06:02:06Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/64330This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/643302024-03-08T06:02:06ZTRADISI KIRIM DOWA DI KALURAHAN BALONG KAPANEWON GIRISUBO KABUPATEN GUNUNGKIDULKarya ini membahas mengenai tradisi Kirim Dowa di Kalurahan Balong, Kapanewon Girisubo, Kabupaten Gunungkidul. Tradisi Kirim Dowa adalah kegiatan yang bersifat ritual yang dilaksanakan oleh masyarakat Kalurahan Balong dan sekitarnya dalam rangka setelah menanam padi dan panen padi. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif dengan tujuan penelitian untuk membahas tentang pelaksanaan tradisi Kirim Dowa di Kalurahan Balong, Kapanewon Girisubo, Kabupaten Gunungkidul serta mengungkap makna tradisi Kirim Dowa bagi masyarakat. Dalam mencapai tujuan tersebut penulis mengkaji rumusan masalah (1)Bagaimana pelaksanaan Tradisi Kirim Dowa tersebut? (2) Apa makna Tradisi Kirim Dowa bagi masyarakat pelakunya?. Sebagai landasan berpikir penulis menggunakan sudut pandang teori dalam The Rites of Passage oleh Van Genep dan Victor Turner dalam mengungkapkan makna. Hasil penelitian menemukan bahwa tradisi Kirim Dowa terdiri dari enam kegiatan: Pertama, masyarakat mengolah pertanian mulai dari menanam padi sampai menentukan waktu Kirim Dowa. Kedua, brabas kuburan yang berarti membersihkan pemakaman umum. Ketiga, olah-olah atau memasak menu khas tradisi Kirim Dowa. Keempat, membuat sajen peturon. Kelima, masang atau kenduri dusun. Keenam weh-weh yang berarti mengirim makanan kepada orangtua atau saudara tua. Ritual ini dalam pandangan penulis setidaknya dapat diidentifikasi sesuai Rites of Passage yang terdiri dari tiga tahap, yaitu pemisahan, liminalitas, dan pengintegrasian kembali. Makna tradisi Kirim Dowa bagi masyarakat Kalurahan Balong, dimaksudkan untuk keselamatan dan kesejahteraan kehidupan masyarakat dalam urusan pertanian, wujud rasa syukur kepada Tuhan serta membangun rasa sosial dalam masyarakat. Tradisi Kirim Dowa telah mengalami perubahan pemaknaan pada tradisi itu sendiri karena pada sebagian masyarakat mulai mendalami ajaran agama Islam. Nilai – nilai yang terkandung dalam tradisi Kirim Dowa adalah nilai keagamaan, nilai sosial , dan nilai psikologis. Menurut tinjauan keislaman, kegiatan masang kenduri tradisi Kirim Dowa dapat diartikan sebagai shodaqoh atau walimah, mengokohkan tali silaturahmi dan berbakti kepada orangtua sehingga dengan mengharapkan kemudahan atas kesukaran yang mungkin dihadapi.NIM.: 19200012042 Hujatulatif, Adha.2024-02-26T07:03:04Z2024-02-26T07:03:04Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/64061This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/640612024-02-26T07:03:04ZMOTIF MASYARAKAT MENGUNJUNGI MAKAM DALAM PRAKTIK TRADISI PASAR JUMAT PAHING DI DUSUN KRAMAT KECAMATAN MUNTILAN KABUPATEN MAGELANG JAWA TENGAHDusun Kramat merupakan salah satu wilayah Jawa yang sangat lekat dengan kebudayaan. Kebudayaan masyarakat Jawa juga memiliki daya tarik wisata religi yaitu seperti berziarah kubur. Terdapat Tradisi Pasar Jumat Pahing yang dilakukan pada 35 hari sekali yang jatuh pada hari Jumat Pahing. Tradisi ini sudah sejak lama dan masuk dalam kategori budaya. Dalam tradisi ini ada beberapa kegiatan yaitu ziarah kubur, doa bersama, bernadzar, dan kegiatan jual beli. Tradisi Pasar Jumat Pahing merupakan tradisi yang diwariskan pendahulu dalam bentuk ziarah kubur dan berdoa secara bersama dengan juru kunci yang dimana menyampaikan nadzar dan keinginan setiap pengikut Tradisi Pasar Jumat Pahing. Tradisi ini bukan hanya tradisi yang dilakukan untuk kebutuhan spiritual melaikan juga sebagai hiburan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui motif dan dampak Tradisi Pasar Jumat Pahing di Dusun Kramat Muntilan. Dengan pendekatan sosiologis dengan metode penelitian kualitatif. Objek material dari penelitian ini adalah Tradisi Pasar Jumat Pahing, sedangkan subjek dari penelitian ini adalah pelaku tradisi atau orang-orang yang melakukan Tradisi Pasar Jumat Pahing. Penelitian ini menggunakan motif yaitu motif Biogenetis, motif Sosiogenetis dan motif Teogenetis. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini melalui observasi, wawancara dan dokumentasi lapangan. Teknik analisis data menggunakan cara reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.
Hasil dari penelitian ini menunjukan motif terdapat tiga motif yaitu motif biogenetis yaitu motif mencari kebutuhan dengan membeli makanan, dan pengharapan kelancaran rezki, motif sosiogenetis yaitu motif yang dilakukan untuk berinteraksi dengan masyarakat dan orang yang berada dalam Tradisi Pasar Jumat Pahing untuk mencari pengalaman dan solidaritas sosial, dan motif Teogenetis merupakan motif untuk pedekatan diri kepada sang pencipta. Adapun dampak dari Tradisi Pasar Jumat Pahing yaitu pada dampak sosial adanya solidaritas antar setiap orang-orang yang mengikuti Tradisi Pasar Jumat Pahing dan juga adanya kebiasaan untuk bertutur dan berperilaku baik, adapun dampak budaya yaitu pelestarian makanan khas tradisi, adanya budaya konsumtif , dampak ekonomi menambah pemasukan keuangan, dampak psikologi yaitu ketentraman hati, dan dampak religious meningkatkan kedekatan diri masyarakat dengan sang pencipta.NIM.: 18105040076 Candra Retno Kinanti2024-02-20T07:00:22Z2024-02-20T07:00:22Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/63920This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/639202024-02-20T07:00:22ZRESEPSI PEMBACAAN QS. AT-TAUBAH [9]:128-129 DAN QS. AL-AN’AM [6]:103 DALAM AMALIYAH ANTI MAGIS (STUDI LIVING QUR’AN DI UKM PERGURUAN PENCAK SILAT CEPEDI UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA)Al-Qur’an hadir di berbagai tradisi, termasuk salah satunya dalam bagian
Amaliyah Anti Magis. Amaliyah Anti Magis merupakan kegiatan yang dilakukan
secara individu maupun bersamaan dengan anggota lainnya. Selain itu, dalam
penyebutan nama kegiatan Amaliyah Anti Magis karena kegiatan ini bertujuan
untuk menangkal kekuatan magis dan menjaga kekebalan tubuh. Tak hanya UKM
Perguruaan Pencak Silat CEPEDI UIN Sunan Kalijga Yogyakarta saja yang
memiliki Amaliyah tersebut tetapi beberapa perguruan pencak silat lainnya juga
memiliki. Akan tetapi disetiap tempat pengamalan memiliki perbedaan
penggunaan ayat Al-qur’an. permasalahan tersebut yang melatar belakangi
peneliti tertarik dengan penelitian Amaliyah Anti Magis UKM Perguruan Pencak
Silat CEPEDI UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta karena setiap kebudayaan memliki
sejarah dan tujuan yang berkaitan dengan keagamaan(religiuos). Oleh karena itu,
dengan adanya penelitian ini resepsi pembacaan dalam QS At-Taubah [9]:128-
129 dan QS Al-An’am [6]:103 pada tradisi amaliyah anti magis terlihat menjadi
salah satu unsur kebudayaan. Selain itu, unsur kebudayaan inilah yang menjadi
faktor penilaian peneliti melihat hasil pemaknaan tradsi tersebut yang bisa
dipertahankan sampai sekarang baik dari segi perspektif dan sikap yang dilukakan
warga UKM Perguruan Pencak Silat CEPEDI UIN Sunan Kalijaga baik itu
pendekar, pelatih muda, maupun anggota UKM.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif dengan metode
deskriptif. Adapun sumber pengumpulan data menggunakan observasi,
wawancara, dan dokumentasi yang menjadi pendukung kevalidan data. Data
dalam penelitian ini menggunakan data primer yaitu berupa hasil observasi dan
wawancara, kemudian untuk data sekunder didapat dari data kepustakaan sebagai
acuan. Untuk mendapatkan hasil analisis dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan pendekatan kebudayaan dan living Qur’an dengan teori resepsi Al-
Qur’an. pada pendekatan kebudayaan digunakan dengan menyesuaikan terhadap
objek formal yang akan dilihat dan diteliti dari sisi budaya. Teori resepsi Al-
Qur’an tentunya memiliki keterkaitan dalam salah satu bagian dari penelitian
kualitatif salah satunya adalah pendekatan etnografi. pada pendekatan etnografi
terdapat salah satu bagian yaitu etnografi realis yang menjelaskan makna objektif
dalam suatu tradisi yakni salah satunya tadisi religi. Tradisi religi yang dimaksud
yakni pemaknaan dari tradisi amaliyah anti magis terhadap warga UKM.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sesuai dengan metode,
pendekatan dan beberapa perspektif, penelitian ini mengungkapkan beberapa
penemuan. Pertama, tradisi Amaliyah Anti Magis merupakan ijazah dari guru
spiritual Drs. Muhammad Kasturi al-Asadi Habiburrohman yang di lestarikan
beliau dengan cara mengajarkan kepada para anggota UKM. Adapun praktek
kegiatan tradisi Amaliyah Anti Magis dengan diawali membaca taawudz,
kemudian membaca QS At-Taubah ayat 128 sebanyak 1 kali, dilanjutkan QS At-
Taubah ayat 129 sebanyak 7 kali, dan terakhir ditutup dengan membaca QS Al-
An’am ayat 103 sebanyak 11 kali. Selain itu, dalam melakukan pembacaan ayatayat
tersebut juga dilakukan bersamaan dengan teknik pernapasan segitiga.
Kedua, didapatkan representatif dari makna kajian Living Qur’an yang
dipaparkan oleh Ahmad Rafiq mengenai fungsi Informatif dan performatif ayat
Al-Qur’an sebagai kitab suci umat beragama. Dimana pemaknaan pembacaan
ayat-ayat Al-Qur’an tidak hanya ditafsiri dalam bentuk teks namun lebih dari itu,
makna yang ditangkap sudah keluar dari teks. Sehingga mampu mendorong
lahirnya motivasi untuk senantiasa melibatkan Al-Qur’an dalam setiap aspek
kehidupan dan tetap melestarikan tradisi amaliyah tersebut. Adapun fungsi
performatif yakni sebagai media mendekatkan diri kepada Allah SWT,
menenangkan hati, dan selalu diberi keselamatan dalam seluruh aktivitas yang
dilakukan baik itu aktivitas lahiriyah maupun batiniyah. Selain itu, sebagai
kegiatan untuk membiasakan para anggota UKM PPS CEPEDI UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta agar senantiasa istiqomah dalam membaca ayat-ayat dalam
tradisi ini yang mana secara tidak langsung mengajak anggota UKM PPS
CEPEDI UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta untuk melestarikan pembacaan ayatayat
al-Qur’an dalam tradisi amaliyah-amaliyah yang ada di PPS CEPEDI.NIM.: 20105030115 Amirah Saniyah Serepa2024-02-15T08:39:35Z2024-02-15T08:39:35Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/63764This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/637642024-02-15T08:39:35ZTRADISI MALAM KAMISAN MAJELIS DZIKRUL GHOFILIN MOLOEKATAN GUS MIEK DI DESA TAMANAN KULON YOGYAKARTA (Kajian Living Hadis)Dzikrul Ghofilin adalah sebuah amalan yang berkaitan erat dengan Tawassul yang sudah akrab di masyarakat Nahdlatul Ulama, tepat nya di desa Tamanan Kulon kabupaten Bantul Yogyakarta. Amalan ini adalah salah satu pilihan masyarakat untuk mendekatkan diri melalui perantara para auliya. Selain untuk mengingatkan terhadap orang-orang yang lupa, amaliyah ini bertujuan untuk membiasakan masyarakat terhadap norma Agama. Dengan membaca Shalawat, Al-Fatihah, dan beberapa Zikir yang terkandung di dalamnya. Fokus kajian dalam penelitian ini adalah mendapatkan deskripsi atau gambaran umum terkait pelaksanaan Dzikrul Ghofilin. Dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif. Desa Tamanan Kulon mayoritas berpendirian Nahdlatul Ulama, sehingga pelaksanaan Dzikrul Ghofilin dilaksanakan di desa tersebut. Penelitian ini berjalan selama kurang lebih delapan bulan dengan mengamati serta melaksanakannya setiap minggu berturut-turut. Sumber data primer didapatkan melalui dengan cara melakukan dokumentasi kegiatan serta wawancara kepada para jamaah. Dalam menganalisis data, penulis menggunakan kacamata Living Hadis. Serta teori fenomenologi dari Alfred Schutz yang mengatakan tindakan manusia dilatarbelakangi oleh dua motif yaitu, motif sebab (Because of Motive) dan motif tujuan (In Order To Motive). Adapun hasil dari penelitian yang telah dilakukan penulis di desa Tamanan Kulon menunjukan bahwa pertama, tradisi malam kamisan Dzikrul Ghofilin termasuk ke dalam bagian living hadis. Masyarakat desa Tamana Kulon telah memperlihatkan sebuah bentuk resepsi terhadap hadis-hadis nabi tentang keutamaan saling tolong menolong dan mengingatkan dalam hal kebaikan serta mendekatkan diri kepada Allah swt, dengan mengikuti serangkaian acara yang ada pada Majelis Dzikrul Ghofilin. Kedua, melalui teori Fenomenologi Alfred Schutz dapat diketahui beberapa motif dan tujuan masyarakat dalam pelaksanaan tradisi malam kamisan majelis Dzikrul Ghofilin. Diantara motif masyarakat adalah untuk mengikuti sunnah Nabi, pembersihan jiwa dan hati, menjalin ikatan persahabatan, dan meningkatkan kualitas ibadah. Sedangkan tujuan dari masyarakat adalah untuk mengikuti jalan waliyullah, penyampaian pesan agama, dan GeneralisasiNIM.: 18105050112 Mhd. Ikhsan Al-Amin2024-02-15T05:58:39Z2024-02-15T05:58:39Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/63734This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/637342024-02-15T05:58:39ZNILAI-NILAI TOLERANSI DALAM TRADISI SAPARAN DI DUSUN BANDONGAN WETAN, KECAMATAN NGABLAK, KABUPATEN MAGELANGTradisi Saparan merupakan tradisi yang rutin dilakukan oleh masyarakat di sekitar lereng Gunung Merbabu, termasuk di Dusun Bandongan Wetan. Tradisi Saparan merupakan tradisi turun temurun yang masih dijalankan dan dilestarikan hingga saat ini oleh masyarakat di sekitar lereng Gunung Merbabu. Tradisi Saparan terdapat beberapa ritual yang dijalankan masyarakat. Tradisi Saparan merupakan bentuk rasa syukur masyarakat kepada Tuhan atas nikmat yang diberikan, selain itu Tradisi Saparan bertujuan agar selalu mendapatkan kesejahteraan dan terjauh dari malapetaka. Tradisi Saparan di Dusun Bandongan Wetan menjunjung nilai-nilai toleransi di dalam pelaksanaannya, dimana masyarakat melakukan doa bersama secara bergantian antara umat Islam dan Kristen. Tradisi Saparan mengalami perkembangan dari tahun ke tahun namun tidak merubah kesakralan yang ada dalam Tradisi Saparan. Fokus yang dikaji dalam skripsi ini, yaitu (1) Bagaimana prosesi Tradisi Saparan dijalankan. (2) Bentuk-bentuk toleransi yang terkandung dalam pelaksanaan Tradisi Saparan di Dusun Bandongan Wetan. (3) perubahan sakral ke profan dalam Tradisi Saparan di dusun Bandongan Wetan.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, dengan penelitian langsung di lapangan. Metode pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini berupa observasi, wawancara dan dokumentasi. Teori yang digunakan dalam penelitian menggunakan teori Mukti Ali tentang Agree in Disagreement atau setuju dalam perbedaan dan teori Mircea Eliade tentang sakral dan profan. Teori Agree in Disagreement digunakan untuk mengkaji bentuk-bentuk toleransi yang ada dalam Tradisi Saparan di Dusun Bandongan Wetan. Teori sakral dan profan digunakan untuk mengkaji tentang perubahan sakral ke profan yang ada dalam pelaksanaan Tradisi Saparan di Dusun Bandongan Wetan.
Hasil penelitian yang dilakukan peneliti di Dusun Bandongan Wetan menyimpulkan beberapa hal berikut: Pertama, Tradisi Saparan yang dijalankan oleh masyarakat di dusun bandongan memiliki beberapa prosesi ritual. Dalam prosesi pelaksanaan Tradisi Saparan terkandung nilai-nilai toleransi di dalamnya, yaitu pada pelaksanaan prosesi metokan. Masyarakat akan berkumpul untuk memanjatkan doa dalam dua keyakinan yaitu Islam dan Kristen secara bergantian. Masyarakat menganggap bahwa Tradisi Saparan merupakan kepentingan seluruh masyarakat Dusun Bandongan Wetan bukan kepentingan dari satu agama tertentu. Kedua, Tradisi Saparan mengandung nilai-nilai toleransi terutama dalam prosesi metokan atau pemanjatan doa bersama dimana doa akan dipanjatkan oleh dua tokoh agama secara bergantian yaitu oleh Pendeta dan Kyai setempat. Ketiga, Tradisi Saparan mengalami perubahan sakral ke profan terutama dalam adanya hiburan untuk memeriahkan pelaksanaan Tradisi Saparan dalam prosesi ini menjadi sumber penghasilan bagi beberapa pihak di Dusun Bandongan Wetan.NIM.:20105020050 Alif Khoirul Umam2024-02-15T05:41:05Z2024-02-15T05:41:05Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/63707This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/637072024-02-15T05:41:05ZTRADISI NYALENIH DAN APETRAEH DALAM PERTUNANGAN DI PAMEKASAN (STUDI PANDANGAN TOKOH ADAT DAN TOKOH AGAMA)Tradisi nyalenih dan apetraeh merupakan tradisi yang eksistensinya masih terjaga dari jaman dulu sampai saat ini. Dua tradisi tersebut dapat ditemukan pada masyarakat Madura, hanya saja di setiap Kabupaten atau daerah-daerah di Madura cara pelaksanaannya sedikit berbeda. Nyalenih dan apetraeh adalah tradisi yang dilaksanakan ketika mendekati hari raya idul fitri dan idul adha pada umumnya, namun apetraeh hanya dilakukan sekali ketika bulan Ramadhan. Pelaksanaan dua tradisi ini sudah turun temurun dari jaman dulu sampai sekarang, akan tetapi dalam penerapannya masyarakat awam banyak yang beranggapan bahwa dua tradisi ini wajib dan jika tidak dilaksanakan akan mendapat konsekuensi. Dari persoalan tersebut penulis mengusung dua pokok permasalahan, yaitu Pertama, Bagaimana hukum tradisi nyalenih dan apetraeh di Desa Baddurih Kecamatan Pademawu Kabupaten Pamekasan menurut pandangan tokoh adat dan tokoh agama. Kedua, Bagaimana perbedaan persamaan pandangan tokoh adat dan tokoh agama ditinjau dari Maṣlaḥah terhadap tradisi nyalenih dan apetraeh di Desa Baddurih Kecamatan Pademawu Kabupaten Pamekasan. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian metode penelitian kombinasi (mixed methods), sedangkan penelitian ini bersifat deskriptif komparatif. Penelitian ini juga menggunakan pendekatan sosiologi, filosofi, antropologi. Pada analisis data yang penulis gunakan dalam penelitian skripsi ini yaitu dengan analisis deskriptif. Hasil penelitian ini menjelaskan bahawasanya tradisi nyalenih dan apetraeh merupakan tradisi yang wajib secara adat. Tradisi ini merupakan bentuk tanda kasih sayang (tandeh pangestoh) dari calon mempelai laki-laki terhadap calon mempelai perempuannya. Pemberian dalam tradisi nyalenih berbentuk pakaian dan bisa berbentuk samper (kain jarik), atau berbentuk uang tunai. Sedangkan pemberian tradisi apetraeh yaitu berbentuk beras, karena apetraeh sendiri jika diartikan dalam bahasa Indonesia yaitu menzakat fitrahi. Dalam prosesnya, tradisi nyalenih dan apetraeh yakni calon mempelai laki-laki menyiapkan pakaian atau kain jarik dan beras, lalu diantarkan kerumah calon mertua dan diberikan kepada calon mertua. Dengan tidak adanya dalil yang mengatur dua tradisi tersebut mengakibatkan perbedaan pendapat dari kalangan masyarakat adat. Dalam pandangan tokoh adat tradisi nyalenih dan apetraeh wajib, karena berdampaknya hal-hal buruk yang kemungkinan akan terjadi, salah satunya menjadi bahan omongan. Sedangkan pandangan tokoh agama dari NU dan Muhamaddiyah serempak menyatakan hal ini tidak wajib karena tidak adanya nash yang mendukung dua tradisi ini. Demikian pula dalam tradisi ini mengandung banyak kebaikan, dengan harapan tradisi nyalenih maupun apetraeh dilestarikan serta anak-anak muda dapat mempelajari hal-hal baik pada tradisi yang tetap eksis terhadap masyarakat Madura.NIM.: 19103060025 Moh. Mahfidil Iroqi2024-02-12T02:31:27Z2024-02-12T02:31:27Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/63614This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/636142024-02-12T02:31:27ZINTERPRETASI AYAT AYAT AL QUR’AN DALAM PELANGGENGAN RITUAL TRADISI MA’BACA BACA DI KALANGAN GENERASI MILENIAL SUKU BUGI SRitual tradisi ma’baca baca unik karena selain performasi ayat Al Qur’an dalam proses pelaksanaanya ritual ini juga masih dilaksanakan ataupun dilestarikan oleh generasi milenial suku Bugis bahkan sekarang ini memegang peranan sebagai pemimpin ritual. Pelestarian ini dilakukan meski pun generasi milenial dianggap memiliki karakter pengambil keputusan yang cepat, pragmatis, berorientasi pada tujuan dan pencapaian, multicultural, ingin memberikan dampak pada dunia, berpendidikan, serta hidup dalam pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap interpretasi ayat ayat Al Qur’an dalam pelanggengan ritual tradisi ma’baca baca di kalangan generasi milenial suku Bugis. Oleh karena itu, peneliti merumuskan beberapa pertanyaan yang akan dijawab untuk memenuhi tujuan dari penelitian ini, yaitu: (1) bagaimana interpretasi objektif ayat ayat Al Qur’an dalam ritual tradisi ma’baca baca pada masyarakat suku bugis?, (2) bagaimana interpretasi ekspresif ayat ayat Al Qur’an dalam tradisi ma’baca baca pada generasi milenial suku Bugis?, dan (3) bagaimana interpretasi dokumenter ayat ayat Al Qur’an dalam tradisi ma’baca baca pada generasi milenial suku Bugis? Penelitian ini termasuk ke dalam penelitian yang bersifat kualitatif dan deskriptif analitis dengan jenis penelitian yang memadukan antara penelitian lapangan (field research) dengan penelitian kepustakaan (library research). Karena sumber data yang digunakan dalam tesis ini adalah data primer (lapangan) dan sekunder (pustaka). Data primer ini diperoleh dari hasil observasi di lapangan dan wawancara dengan pelaku ritual (masyarakat umum dan generasi milenial), tokoh agama dan t okoh masyarakat suku Bugis, se dangkan data sekunder didapatkan dari semua data yang berkaitan dengan tema penelitian, baik dalam buku buku, artikel jurnal, tesis, disertasi dan lain sebagainya. Adapun pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara dan dokumentasi yang kemu dian dianalisis dengan cara pengumpulan data, reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Dan teori yang digunakan tesis ini yaitu teori sosiologi pengetahuan Karl Mannheim. Penelitian ini menemukan bahwa interpretasi objektif dalam ritual tradisi ma’baca baca ini mencakup beberapa hal: Pertama, tradisi ritual ini berasal dari warisan peninggalan nenek moyang. Kedua, harus dilaksanakan karena jika ditinggalkan akan mendapatkan musibah. Ketiga, masyarakat melaksanakan ritual ma’baca baca sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah, mendoakan keluarga yang telah meninggal dan juga sebagai doa keselamatan dalam kehidupan. Selanjutnya, interpretasi ekspresif yang dimunculkan oleh gener asi milenial yaitu: (1) generasi milenial melakukan ritual tradisi ma’baca baca karena mengikuti orang tua dan adat, (2) media untuk berdakwah kepada masyarakat Bugis, (3) media untuk berdoa kepada Allah agar semua hajat diterima dan harta benda diberi keselamatan dan (4) ma’baca baca dapat mempererat ikatan persaudaraan dengan keluarga dan tetangga tetangga lain. Sedangkan interpretasi dokumenter adalah meskipun generasi milenial masih melaksanakan ritual tradisi ma’baca baca tetapi mereka melakukan peruba han perubahan tanpa mereka sadari. Perubahan dapat terlihat pada penggunaan mantra atau doa yang digunakan karena dari sebelumnya orang tua menggunakan dengan bahasa lokal (Bugis) tetapi generasi milenial menggunakan bahasa Arab, prosesi pelaksanaan dan pe maknaan dalam ritual tradisi ma’baca baca.NIM.: 21205032025 Muh. Nasruddin A2024-02-07T06:52:38Z2024-02-07T06:52:38Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/63554This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/635542024-02-07T06:52:38ZPERGESERAN MAKNA SIMBOLIK PADA RITUAL MENDHEM GOLEKAN DALAM TRADISI SUROAN DI DESA KANDANGAN KECAMATAN KANDANGAN KAB. KEDIRIPenelitian ini dilatarbelakangi. oleh banyaknya tradisi daerah yang ada di Indonesia khususnya yang tradisi yang ada di Desa Kandangan, Kecamatan Kandangan, Kab. Kediri. Tradisi ini begitu menyita banyak perhatian karena sangat unik dan rangkaian acaranya yang menarik. Namun dengan perkembangan zaman yang begitu pesat dan modern banyak masyarakat yang kurang mengetahui tentang sejarah, makna simbolik dan maksud yang ada dalam tradisi ini kenapa masih dilakukan hingga saat ini.
Ritual Mendhem Golekan menjadi sebuah tradisi tahunan pada setiap bulan suro yang dilakukan oleh masyarakat Kandangan. Tradisi ini merupakan warisan secara turun-temurun dari leluhur atau nenek moyang mereka. Penelitian ini berfokus pada apa itu ritual Mendhem Golekan dan apa saja pergeseran yang telah berubah seiring berjalanya waktu hingga pada zaman sekarang yang lebih modern serta bagaimana masyarakat sekarang dalam memaknai Kembali sebuah tradisi tersebut.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, data yang diperoleh dengan metode wawancara oleh para sesepuh dan masyarakat yang terlibat dalam tradisi tersebut serta dokumentasi sebagai penguat data. Sumber data primer diperoleh dari wawancara narasumber dan sumber data sekunder diperoleh dari beberapa karya ilmiah, buku, jurnal, dan skripsi terdahulu yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan. Kemudian data yang diperoleh disajikan secara deskriptif dan dianalis menggunakan teori Victor Turner tentang Makna tradisi.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa ritual mendhem golekan merupakan sebuah tradisi turun temurun yang dilaksanakan setiap satu tahun sekali di bulan suro.ritual ini dilakukan dengan cara mengarak bayi laki-laki yang sekarang ini telah digantikan dengan sebuah boneka yang menyerupai bayi yang terbuat dari bahan-bahan hasil alam. Kemudian yang nantinya akan di sembelih dan dikuburkan di dua tempat yang ada di Desa Kandangan. Dengan adanya tradisi ini merupakan bentuk rasa syukur masyarakat kepada Allah SWT atas nikmat yang telah diberikan.NIM.: 18105040068 Moch Izzul Haq2024-02-07T06:47:27Z2024-02-07T06:47:27Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/63553This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/635532024-02-07T06:47:27ZMOTIF SOSIAL KELOMPOK TANI DALAM TRADISI PENGAMBILAN WETHON DI DESA BANDUNGREJO KABUPATEN TUBANMotif Sosial Kelompok Tani Dalam Tradisi Pengambilan Wethon Desa Bandungrejo Kecamatan Plumpang Kabupaten Tuban Skripsi Program Studi Sosiologi Agama, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Tradisi pengambilan waktu (wethon) merupakan ritual yang dilakukan oleh para petani untuk mengetahui waktu yang cocok untuk melakukan penanaman. Ritual ini juga dilakukan 1 tahun dua kali atau pada peletakan-peletakan benda seperti desel. ritual ini merupakan tradisi yang sangat dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat Desa Bandungrejo. Penanaman padi ini juga harus menggunakan perhitungan yang cocok, dan harus tepat pada hari itu. Karena pada saat perhitungan wethon penanaman dilakukan oleh sesepuh/petuah yang ahli dalam bidang perhitungan wethon. Sehingga para petani pun harus melakukan ritual sebelum melakukan menanam padinya. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui motif sosial petani di Desa Bandungrejo. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Pada penulisan penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan menerapkan metode penelitian lapangan, observasi, wawancara serta dokumentasi. Sumber data di ambil dari para informan yang terlibat dan memahami tentang latar belakang dan situasi tradisi pengambilan waktu (wethon) penanaman padi tersebut. Sedangkan metode analisis data menggunakan metode deskriptif. Merujuk dari pembahasan dapat disimpulkan bahwa Tradisi penanggalan penanaman padi ini memiliki nilai-nilai yang cukup dijadikan pegangan oleh masyarakat khususnya HIPPA desa Bandungrejo karena dengan adanya tradisi-tradisi ini mampu menjadikan masyarakat enggan untuk meninggalkan kebudayaan yang sudah melekat dalam diri masing-masing individu.NIM.: 18105040061 Adib Ubaidillah Mahbub2024-02-07T06:43:31Z2024-02-07T06:43:31Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/63551This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/635512024-02-07T06:43:31ZBUWUHAN DALAM TRADISI HAJATAN DI DESA JEBLOGAN PARON NGAWISkripsi ini membahas praktik tradisi buwuhan di Desa Jeblogan, yang awalnya berakar dari resiprositas dan tolong-menolong masyarakat pada masa lampau. Praktik ini dimulai sebagai inisiatif sukarela warga sekitar untuk mendukung acara atau kegiatan tertentu yang memerlukan biaya tambahan. Awalnya buwuhan dilakukan tanpa pamrih, didasarkan pada rasa tolong-menolong antar sesama tanpa patokan jumlah atau jenis sumbangan yang harus diberikan. Namun, pada tahun 1990-an buwuhan telah mengalami transformasi menjadi praktik utang piutang atau tabungan antara penyumbang dan penerima buwuhan. Hal ini menimbulkan resiko bagi penerima, terutama saat harus mengembalikan buwuhan kepada penyumbang pada waktu yang bersamaan tanpa mempertimbangkan kendala ekonomi. Penelitian lapangan (field research) ini menggunakan wawancara, observasi, dan studi kepustakaan serta mengacu pada teori Marcel Mauss tentang pertukaran sosial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada masa lampau buwuhan dilakukan tanpa kewajiban formal, didasarkan pada rasa tolong-menolong. Namun, pada masa kini praktik ini telah menjadi kontrak sosial yang melibatkkan pertukaran sosial formal dan kewajiban pembayaran. Hasil dari penelitian mencerminkan perubahan dari praktik resiprositas tanpa pamrih menjadi pertukaran sosial formal yang melibatkan tanggung jawab. Praktik ini sekarang menyerupai teori Marcel Mauss tentang kewajiban, menerima, dan memberi dalam pertukaran sosial.NIM.: 18105040011 Afifatun Nafi’ah2024-02-06T02:09:44Z2024-02-06T02:09:44Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/63466This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/634662024-02-06T02:09:44ZTRADISI NGANYAREH KABIN DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT DI DESA CURAH KALONG KEC. BANGSALSARI KAB. JEMBER (ANALISIS MAQASID AL-USRAH PERSPEKTIF JAMAL AD-DIN ‘ATTIYAH)The practice of nganyareh kabin is a community tradition in Curah Kalong Village, Bangsalsari Kec. Jember Kab. The factor of doing so is due to frequent problems and arguments. The goal is to make the family better and more harmonious, fortune and be careful. The practice of nganayreh kabin carried out by the community is a tradition carried out by married couples whose marriages have been said to be legal according to religion and the state, and the practice is carried out not also because of the occurrence of a divorce, it's just that this practice is carried out by the community because in the family there are often problems and arguments that result in disharmony in the family, and also the practice of nganyareh kabin is done not only once or twice but is done repeatedly. Thus, the researcher conducted a study on the people who practice nganyareh kabin in order to find out the practice of nganyareh kabin carried out by the people in Curah Kalong Village and the implementation of Maqāṣid al-Usrah on the practice of nganyareh kabin in the lives of people in Curah Kalong Village.
The type of research used is field research with an empirical normative approach and the nature of the research is qualitative, which explains the results of the research described from interviews with people who practice nganyareh kabin and religious leaders who also participate in the practice of nganyareh kabin and then analyzed using the maqāṣid al-usrah theory initiated by Jamāl ad-Dīn 'Aṭiyah.
The result of the research is that the practice of nganyareh kabin carried out by the community in Curah Kalong Village, Bangsalsari District. Jember is a alternative that is not prohibited from the view of scholars, because the practice of nganyareh kabin carried out by the community has clear reasons and objectives, so this practice is permissible and is classified as maslaḥah ḥajjiyah, because people carry out the practice of nganyareh kabin in order to make their families better and more harmonious after frequent problems and arguments, so this practice is in accordance with Jamāl ad-Dīn 'Atṭiyah's Maqāṣid. The Maqāṣid of Jamāl ad-Dīn 'Atṭiyah is in accordance with the Maqāṣid of Jamāl ad-Dīn 'Atṭiyah, namely,.....NIM.: 21203012133 Jk Habibi, S.H2024-02-05T07:32:47Z2024-02-05T07:32:47Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/63445This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/634452024-02-05T07:32:47ZDIALEKTIKA HUKUM ISLAM DAN HUKUM ADAT TERKAIT UANG JAPUIK DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT ADAT PADANG PARIAMAN SUMATERA BARATMasyarakat Minangkabau memiliki falsafah Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah (adat berlandaskan syariat dan syariat berlandaskan Kitabullah). Salah satu daerah Minangkabau yaitu Padang Pariaman Sumatera Barat memiliki tradisi Uang Japuik sebelum melangsungkan perkawinan. Dalam tradisi ini pihak calon mempelai perempuan memberikan sejumlah uang kepada pihak calon mempelai laki-laki. Adapun di dalam Islam pihak laki-laki yang memberikan sejumlah uang atau barang berharga kepada pihak perempuan. Hal tersebut terdapat perbedaan mendasar antara hukum Islam dan hukum adat terkait uang japuik yang masih berlangsung di Padang Pariaman hingga saat ini. Sehingga, pokok masalah penelitian ini adalah bagaimana dialektika hukum Islam dan hukum adat terkait Uang Japuik, dan mengapa tradisi Uang Japuik masih eksis hingga saat ini. Penelitian ini merupakan jenis penelitian lapangan (field research), dan pendekatan penelitian menggunakan pendekatan Sosio-Antropologi. Data dikumpulkan melalui teknik observasi dengan meneliti secara langsung di tempat kejadian. Interview dengan melakukan wawancara secara langsung terhadap Datuk (penghulu adat) alim ulama, tokoh adat dan masyarakat. Penyusunan penelitian menggunakan metode analisis kualitatif dengan proses berpikir induktif. Data yang telah dikumpulkan dari tiga teknik pengumpulan data tersebut kemudian dikaji mengguanan teori dialektika prespektif Jurgen Habermas yaitu teori Komunikasi dan Ruang Publik yang diterapkan melalui Diskursus, Konsensus dan Emansipatoris. Hasil dari penelitian ini adalah Diskursus pertama menunjukkan potensi konflik, ketidaksetaraan, dan masalah sosial yang muncul akibat praktik uang japuik, sementara diskursus kedua menegaskan adanya perbedaan antara apa yang diatur dalam agama Islam dengan praktik adat yang mengadopsi uang japuik dalam proses perkawinan. Terjadinya diskursus antara hukum Islam dan hukum adat dalam konteks uang japuik menghasilkan kesepakatan melalui kompromi, di mana uang japuik tetap diadakan dan dilaksanakan dalam proses pernikahan di Pariaman. Konsep teori Komunikasi dan Ruang Publik Habermas, yang bertujuan untuk mencapai emansipatoris, tercermin dalam analisis tradisi Uang Japuik. Setelah dianalisis menggunakan konsep diskursus dan konsensus, tradisi ini menunjukkan manfaat yang signifikan. Dilihat dari perspektif Hukum Islam, tradisi uang japuik di Pariaman menunjukkan adanya unsur 'urf qauli dan fi'li yang merepresentasikan aspek perkataan dan perbuatan dalam masyarakat. Hubungan antara 'urf 'am dan 'urf khas menunjukkan penggunaan luas tradisi ini dalam masyarakat Minangkabau, meskipun dengan variasi tertentu di berbagai wilayah. Secara keseluruhan, praktik ini cenderung sejalan dengan nilai-nilai agama dan budaya lokal, mencerminkan pentingnya konsistensi antara adat dan syariat dalam kehidupan masyarakat Minangkabau.NIM.: 21203012107 Nailatur Rahmadiah, S.H.2024-02-05T07:14:50Z2024-02-05T07:14:50Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/63428This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/634282024-02-05T07:14:50ZTRADISI MERARIK DAN KAWIN PAKSA PADA MASYARAKAT MUSLIM SUKU SASAK TANAK AWU LOMBOK TENGAHPerkawinan dalam masyarakat Suku Sasak disebut dengan merarik. Hal ini merujuk pada perkawinan yang dilakukan tanpa persetujuan atau izin dari keluarga maupun masyarakat terkait. Merarik dimulai dengan proses melarikan perempuan dari keluarganya. Pada masyarakat diluar Suku Sasak, perkawinan yang dilakukan dengan proses melarikan memiliki stereotipe negatif, sebab biasanya pelarian tersebut akibat dari hamil duluan atau tidak disetujui oleh salah satu pihak keluarga. Sementara itu, pada masyarakat Suku Sasak melarikan perempuan merupakan suatu simbol penghormatan terhadap perempuan. Adapun setelah proses melarikan tersebut dilanjutkan dengan adanya selabar sejati, selabar aji, selabar wali hingga akad terjadi. Namun, dalam masyarakat Tanak Awu selain merarik yang dimulai dari melarikan, terdapat juga merarik yang diawali dengan proses paksaan. Pemaksaan ini dilakukan akibat adanya suatu tindakan pelanggaran norma masyarakatnya yang menyebabkan terjadinya pemaksaan untuk menikah. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode kualitatif dengan jenis penelitan field research atau penelitian lapangan. Penelitian ini bersifat deskriptif-analitik dengan menggunakan pendekatan sosiologi hukum. Untuk itu, Teknik pengumpulan datanya menggunakan wawancara, observasi dan dokumentasi. Adapun teori yang digunakan dalam penelitian ini ialah teori pengendalian sosial dan teori ‘urf. Berdasarkaan dari penelitian di atas dapat diperoleh hasil dan kesimpulan sebagai berikut yakni bahwa merarik pada masyarakat Suku Sasak merupakan bentuk pengendalian sosial yang bersifat informal. Dapat dilihat dalam segi pelaksanaannya secara keseluruhan masuk dalam kategori ‘urf ṣāhih. Adapun kawin paksa dalam masyarakat Tanak Awu yang merupakan sanksi dari suatu pelanggaran masuk dalam kategori pengendalian sosial. Apabila dilihat dari segi dampak atau efek yang ditimbulkan maka kawin paksa ini masuk dalam kategori ‘urf fasid.NIM.: 21203012097 Intan Septiana, S.H.2024-02-05T02:42:45Z2024-02-05T02:42:45Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/63441This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/634412024-02-05T02:42:45ZTRADISI DISKURSIF DALAM PERKEMBANGAN BENTUK ILUMINASI MUSHAF AL-QUR’AN NUSA TENGGARA BARATPerkembangan bentuk Iluminasi pada mushaf Al-Qur’an NTB selain dianggap sebagai representasi budaya ternyata menunjukkan identitas lain yang berhubungan dengan masa pengenalan Islam. Penelitian ini mengkaji tentang tradisi diskursif yang ada dalam penggunaan iluminasi mushaf Al-Qur’an NTB. Objek material dalam penelitian ini adalah perkembangan bentuk iluminasi mushaf Al-Qur’an NTB. Pemilihan iluminasi mushaf Al-Qur’an NTB sebagai objek kajian didasarkan pada iluminasi sebagai representasi budaya dan memiliki fungsi lain sebagai sarana dakwah Islam. Bentuk-bentuk iluminasi selaras dengan perkembangan budaya dan semangat dakwah Islam di NTB. Rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini ada tiga. Pertama, bagaimana fakta filologis iluminasi mushaf Al-Qur’an NTB? Kedua, apa faktor-faktor penyebab tradisi diskursif dalam perkembangan bentuk iluminasi mushaf Al-Qur’an NTB? Ketiga, bagaimana implikasi dari perkembangan bentuk iluminasi terhadap proses islamisasi di NTB? Rumusan masalah pertama dijawab dengan pendekatan filologi, sedangkan rumusan masalah dua dan tiga dijawab dengan teori tradisi diskursif Talal Asad.
Penelitian ini menggunakan dua bangunan teori. Teori pertama adalah filologi, merupakan suatu penelitian terhadap tulisan yang berasal dari masa ratusan tahun yang lalu. Dengan pendekatan filologi ini akan digunakan sebagai pisau analisis untuk mengungkap fakta filologis iluminasi dari mushaf Al-Qur’an NTB. Mulai dari deskripsi mushaf, bentuk-bentuk iluminasi yang mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan budaya. Teori kedua adalah teori tradisi diskursif Talal Asad. Dalam tradisi diskursif mengkaji tentang Islam, khsusunya terkait praktik agama, keyakinan dan pemaknaan atasanya maka harus melihat keterhubungannya dengan masa lalu, dan statusnya dapat dipercaya jika praktik keagamaan tersebut sudah mendapatkan kesepakatan dan dilakukan di masa lalu. Langkah-langkah penelitian ini dengan skema analisis data model interaktif ala Matthew B Milles dan Michael Hubberman.
Hasil penelitian ini meliputi tiga hal. Pertama, iluminasi mushaf Al-Qur’an dipengaruhi oleh motif-motif kain lokal NTB, seperti kain songket, lempot kombong umbaq, dan kere Alang. Kedua, faktor-faktor adanya tradisi diskursif dalam perkembangan bentuk iluminasi adalah karena adanya legitimasi tradisi penulisan mushaf NTB kepada tradisi penulisan mushaf Al-Qur’an Jawa yang dibawa oleh Sunan Prapen. Penggunaan motif lokal pada mushaf Al-Qur’an NTB juga memiliki jangkar keterhubungan dengan penggunaan motif lokal pada iluminasi mushaf Al-Qur’an Jawa. Akan tetapi, dengan melakukan perubahan dan perkembangan yang disesuaikan dengan budaya masyarakat NTB. Ketiga, pengaruh motif lokal menjadikan Islam lebih mudah diterima oleh masyarakat NTB dengan kiai sebagai aktor di dalamnya. Sebab para Kiai NTB memiliki peranan penting dan telah dilantik sebagai agen yang akan bertugas untuk menyebarkan agama Islam dalam skema jaringan guru-murid yang dimulai dari masa Sunan Prapen.NIM.: 21205032036 Hayuni Malia2024-02-05T02:14:08Z2024-02-05T02:14:08Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/63439This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/634392024-02-05T02:14:08ZQARI’ SAWER: PERTUNJUKAN PEMBACAAN AL-QUR’AN DALAM TRADISI MASYARAKAT PANDEGLANG BANTENRespon terhadap bacaan al-Qur’an yang dianjurkan untuk didengarkan dan disimak agar mendapat rahmat, dipraktikkan berbeda oleh masyarakat Pandeglang Banten. Mereka menyawer pembaca al-Qur’an (qari’/qa>ri’ah) yang sedang membacakan al-Qur’an selayaknya menyawer biduan dangdut. Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana praktik pertunjukan pembacaan al-Qur’an dalam tradisi qari’ sawer.
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan field research yang berbasis studi Living Qur’an. Data-datanya didapatkan melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi. Wawancara dilakukan dengan sembilan informan, yaitu satu diantaranya qari’ internasional, satu qari’ nasional, satu qari’ provinsi, dua tokoh masyarakat, dan empat sebagai masyarakat Pandeglang, Banten. Analisis data menggunakan teori Sam D. Giil tentang informatif-performatif.
Hasil dari penelitian ini meliputi tiga hal. Pertama, praktik pemberian saweran kepada qari’ yang beragam, termasuk meletakkan dengan cara diawurkan di atas kepala, dikalungkan dan diletakkan dalam baskom. Kedua, aspek informatif tradisi ini yang mencakup pemberian penghargaan, motivasi atau inspirasi, pengukuhan identitas Al-Qur’an dan perkembangan profesi qari’. Sedangkan fungsi performatifnya meliputi penggunaan nagam atau lagu-lagu dalam membaca Al-Qur’an dan spontanitas pemberian tepuk tangan dan saweran. Ketiga, dalam proses transmisinya tradisi qari’ sawer melibatkan guru dan murid, pusat pembelajaran seperti pondok pesantren, memasukkan kurikulum qira’ah di sekolah, dan media sosial. Hal ini menciptakan ekosistem pembelajaran untuk pertumbuhan qari’ muda dan memastikan keberlanjutan tradisi ini di kalangan masyarakat Pandeglang. Dalam proses transformasinya, terjadi pergeseran signifikan termasuk transformasi tujuan dan penghormatan dalam menyawer qari’, tempat pembelajaran seni qira’ah, objek atau orang yang menjadi sasaran saweran, dan tradisi Qari’ sawer meluas ke ruang digital. Transformasi ini membawa tradisi ini dari hiburan profan ke dimensi keagamaan yang lebih mendalam.NIM.: 21205032018 Nur Halimah2024-02-01T07:03:20Z2024-02-01T07:03:20Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/63385This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/633852024-02-01T07:03:20ZRESEPSI HADIS DALAM TRADISI KIRAB SEBAGAI UPAYA TOLAK BALAK DI DUSUN BANGERAN LEBAK KECAMATAN DUKUN KABUPATEN GRESIKSkripsi yang berjudul: "Resepsi Hadis dalam Tradisi Kirab sebagai Upaya Tolak Balak di Dusun Bangeran Lebak Kecamatan Dukun Kabupaten Gresik" menjawab pertanyaan tentang bagaimana tradisi kirab sebagai upaya tolak balak di Dusun Bangeran Lebak Kecamatan Dukun Kabupaten Gresik dan bagaimana resepsi masyarakat terhadap tradisi kirab sebagai upaya tolak balak di Dusun Bangeran Lebak Kecamatan Dukun Kabupaten Gresik.
Skripsi ini merupakan penelitian kualitatif di mana teknik pengumpulan datanya menggunakan tiga metode yakni observasi, wawancara, dan dokumentasi. Observasi dilakukan dengan terjun secara langsung ke lapangan guna mendapatkan data dari masyarakat Bangeran Lebak Kecamatan Dukun Kabupaten Gresik terkait tradisi kirab sebagai upaya tolak balak. Wawancara dilakukan kepada beberapa eleman tokoh masyarakat Dusun Bangeran Lebak Kecamatan Dukun Kabupaten Gresik selaku narasumber pada penelitian ini, sedangkan dokumentasi dilakukan dengan mengumpulkan beberapa dokumen terkait, seperti kitab Terjemah Al-Adzkar karya Imam An-Nawawi, Terjemah Riyadush Shalihin karya Imam Nawawi serta kitab Jawami Kalim. Data yang terkumpul kemudian dianalisis menggunakan beberapa langkah analisis sehingga menghasilkan penjelasan terkait tradisi kirab sebagai upaya tolak balak di Dusun Bangeran Lebak Kecamatan Dukun Kabupaten Gresik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwasanya tradisi kirab sebagai upaya tolak balak di Dusun Bangeran Lebak berlandaskan hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Daud nomor 5088. Latar belakang tradisi kirab sebagai upaya tolak balak dikarenakan pada tahun 2019 covid-19 meluas dan menyebabkan banyak korban jiwa, karena itulah dengan tujuan agar terlindungi dari bahaya dan segala macam penyakit, warga masyarakat Dusun Bangeran Lebak mengadakan tradisi tersebut. Apabila tradisi tersebut ditinjau dari teori resepsi milik Ahmad Rofiq, maka hal tersebut sudah sesuai dengan tiga elemen teori yang termaktub di dalamnya yakni resepsi eksegenis, resepsi estetis dan resepsi fungsional di mana dalam praktiknya masyarakat dusun Bangeran Lebak menjadikan kirab sebagai media tolak balak.
Sejalan dengan hal di atas, maka hendaknya generasi sekarang maupun selanjutnya lebih bersifat terbuka dan fleksibel dalam menerima hal-hal yang baru dan tidak melupakan hal-hal yang baik pada masa lampau, begitupun kepada masyarakat agar bisa membuka dan mengembangkan pemikiran dan pemanfaatan serta pengaplikasian tradisi kirab dalam kehidupan, dengan tidak melupakan dan mengabaikan tradisi bid’ah hasanah dari para pendahulu.NIM.: 19105050002 Muhamad Aluful Musyafak2024-01-30T07:47:08Z2024-01-30T07:47:08Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/63305This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/633052024-01-30T07:47:08ZHUKUM RITUAL DOA BERSAMA DALAM TRADISI NGAROT DI DESA LELEA KABUPATEN INDRAMAYU PRESPEKTIF TOKOH ADAT DAN TOKOH AGAMA ISLAMTradisi Ngarot merupakan salah satu budaya yang melekat dalam masyarakat di desa Lelea, kabupaten Indramayu. Tradisi ini memiliki peran penting dalam mempertahankan identitas dan kebhinekaan budaya lokal. Namun, pergeseran budaya serta arus modernisasi secara perlahan telah mempengaruhi praktik dan keberlangsungannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi gambaran tradisi Ngarot dalam masyarakat desa Lelea, Kabupaten Indramayu dari perspektif tokoh Adat dan tokoh agama Islam. Salah satu ritual yang ada dalam tradisi adalah doa bersama yang juga dibarengi dengan rangkaian sesaji didalamnya. Penelitian ini memiliki dua rumusan masalah. Pertama, bagaimana pandangan tokoh Adat dan tokoh agama Islam mengenai hukum ritual doa bersama dalam tradisi Ngarot. Kedua, bagaimana komparasi antara tokoh Adat dan tokoh agama Islam mengenai hukum ritual doa bersama dalam tradisi Ngarot menurut teori ‘Urf. Pendekatan teori ‘Urf digunakan untuk menganalisis bagaimana ritual doa bersama dalam tradisi ini berperan dalam kehidupan masyarakat serta bagaimana pandangan tokoh Adat dan tokoh agama Islam terkait dengan praktek tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif komparatif dengan teknik pengumpulan data melalui observasi partisipatif, wawancara mendalam, dan studi dokumentasi. Berdasarkan pada data-data yang telah dihimpun dan dianalisis, penelitian ini menghasilkan beberapa temuan. Pertama, menurut 2 tokoh Adat ritual doa bersama dalam tradisi Ngarot dihukumi mubāh, sedangkan menurut 1 tokoh Adat yang lain dihukumi wajib bagi warga desa Lelea. Dikarenakan ritual turun temurun dari sesepuh terdahulu secara lisan tanpa adanya aturan tertulis dan telah disesuaikan dengan syariat Islam. Sedangkan wajib karena itu merupakan upaya mempertahankan budaya untuk generasi muda. Kedua, tokoh agama Islam ketiganya bersepakat bahwa pada dasarnya tidak masalah jika masyarakat melaksanakan ritual atau diperbolehkan untuk dilaksanakan. Dikarenakan, dalam pelaksanaan terdapat bersyukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan doa kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Sedangkan sesaji hanya sebagai simbol agar tradisi Ngarot dapat dilaksanakan dan juga upaya menghormati adat setempat. Ritual doa bersama dalam tradisi Ngarot termasuk kedalam kategori ‘Urf fi’li yang mana suatu kebiasaan yang berupa perbuatan. Lalu dari segi ruang lingkupnya merupakan ‘Urf yang bersifat khusus, yaitu kebiasaan yang dilakukan sekelompok orang di tempat tertentu atau pada waktu tertentu. Sedangkan dari segi baik-buruknya, Tradisi Ngarot termasuk kedalam ‘Urf s}ah{}i>>h, yaitu kebiasaan yang berlaku di masyarakat dan tidak bertentangan dengan nas} (ayat atau hadis), tidak menghilangkan kemaslahatan mereka, dan tidak membawa mudharat kepada mereka.NIM.: 19103060037 Sihab Ibnu Hanifah2024-01-29T04:23:48Z2024-01-29T04:23:48Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/63288This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/632882024-01-29T04:23:48ZKEABSAHAN NIKAH ALA RIFA’IYAH DALAM TRADISI SHIHHAH DI ADINUSO BATANGThe followers of Rifa’iyah in Adinuso village have a distinctive characteristic in conducting marriage ceremonies, which is performing the marriage contract (ijab qabul) twice. Firstly, the ijab qabul takes place at the Office of Religious Affairs (KUA) with an appointed official, and secondly, the ijab qabul is conducted with a Rifa'iyah cleric. They refer to this second ijab qabul as “ṣḥiḥḥaḥ”.The implementation of ṣḥiḥḥaḥ differs from the usual ijab qabul because they have their own standards of marriage validity, which must comply with the requirements stated in the book Tabyin Al-Islah. Additionally, both prospective spouses are required to study the book Tabyin Al-Islah or the books Munakahat and Takhyirah Mukhtashor before the wedding ceremony. This research aims to answer the following questions: 1) How is the validity of marriage in the tradition of ijab qabul ṣḥiḥḥaḥ practiced by the followers of Rifa'iyah in Adinuso, Batang? 2) What are the perspectives of 'urf (customary practices) and the sociology of Islamic law regarding the validity of marriage in the ijab qabul ṣḥiḥḥaḥ in Adinuso, Batang?
This research is a field study conducted using the approach of sociology of Islamic law. Data collection was obtained through interviews and relevant books related to ijab qabul ṣḥiḥḥaḥ. Interviews were conducted with Rifa’iyah religious figures and individuals involved in ijab qabul ṣḥiḥḥaḥ using open-ended questions, while the books related to ijab qabul ṣḥiḥḥaḥ are Kitab Tabyin Al-Islah and Takhyirah Mukhtashor. The analytical descriptive method was employed, utilizing the theories of ‘urf (customary practices) and the sociology of Islamic law. In the analytical and empirical approach, the sociology of Islamic law studies the mutually influential interaction between Islamic law and other social phenomena. On the other hand, 'urf refers to what is known and becomes a tradition for humans, including speech, actions, prohibitions, and customs. ‘Urf is also one of the methods of deriving Islamic law (istinbath).
The research findings indicate that the validity of marriage according to Rifa'iyah is a marriage that is recognized as valid both religiously and legally. This can be observed through a series of ijab qabul ṣḥiḥḥaḥ traditions practiced by the followers of Rifa'iyah in Adinuso village. They consider a marriage to be valid when its essential requirements are fulfilled as stated in the book Tabyin Al-Islah. Additionally, there are other conditions that must be met, such as the study of the book Tabyin Al-Islah by both prospective spouses before the wedding ceremony, as a preparation of knowledge for building a household. The reading of the book Takhyirah Mukhtashor by both prospective spouses before the ijab qabul serves as evidence that they are truly practicing Islam. The tradition of ijab qabul ṣḥiḥḥaḥ in Islam is considered a valid customary practice (‘urf shahih) that is allowed to be performed, as the series of traditions within ijab qabul ṣḥiḥḥaḥ do not contradict Islamic law. Through ṣḥiḥḥaḥ, it is evident that there is harmony between religious teachings and social practices among Muslims, represented by the tradition of ijab qabul ṣḥiḥḥaḥ that still exists and is practiced to this day.NIM.: 21203012115 Devi Trisa Rini, S.H.2024-01-26T04:30:25Z2024-01-26T04:30:25Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/63226This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/632262024-01-26T04:30:25ZTRADISI LARANGAN PERKAWINAN SALEP TARJHE (STUDI KASUS DI KECAMATAN KETAPANG KABUPATEN SAMPANG)The salep tarjhe type of marriage is a type of marriage that tends to be prohibited by the people of Ketapang District, especially the abangan group. Basically, this type of marriage is constructed from customary law. The salep tarjhe marriage is a cross-marriage between two couples who are related to each other. The provisions on salep tarjhe marriage are not found in Islamic law or positive law. There are various kinds of polemics that occur in every group of society because there are no provisions governing this type of prohibition, and even some groups consider it a myth. However, based on empirical facts that occur, the impact of salep tarjhe marriage occurs massively for every couple who does not comply with these rules.
In order to understand the substance, impact and response of the community from each group, this research was conducted with the type of field research or case study using an empirical-sociological approach. The data collected in this study are based on observations and interviews with each group of society (abangan, santri, priyayi) as well as active actors of tarjhe ointment marriages and other supporting data. The data obtained from the field were then analyzed using three theories; first, Clifford Geerzt's trichotomy. Second, Emil Durkheim's social facts. Third, sad al-d|ari'ah Imam Ash-Shitibi.
The results of this study found the fact that salep tarjhe marriages tend to be prohibited by the people of Ketapang Subdistrict, especially the abangan community, because of the real bad effects for every couple who does not comply with these rules. While based on Geertz's theoretical review, it is the abangan community that is massively affected by violating the ban. This matter they strongly believe in the existence of these rules. Meanwhile, based on Emil Durkheim's theory of social facts, salep tarjhe is included in the category of non-material social facts because salep tarjhe marriage is a representation of morals, has become a collective consciousness, is a collective representation specifically for the abangan community, and in the social flow of every event in the household will always be associated with the bad consequences of salep terjhe marriage by the community. While the review of the Sad al-d|ari'ah theory, the salep terjhe marriage is included in the third part, namely an action is more likely to have the potential for damage and danger, and is dominant in the harmful aspect according to prejudice, then the law becomes haram. However, based on the responses from the interview results from the leaders of the santri group, the type of salpe tarjhe marriage is not prohibited in Islamic law and is legal to do. so that if it is concluded based on these two views, the legal status of the salep terjhe marriage itself is makruh at-tahrim.NIM.: 21203012047 Andi Alfarisi, S.H.2024-01-24T04:14:55Z2024-01-24T04:14:55Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/63191This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/631912024-01-24T04:14:55ZMODAL SOSIAL DALAM TRADISI WELAK WUA PADA MASYARAKAT DUSUN III LOKASI BARU, DESA LABELEN, KEC. SOLOR TIMUR, KAB. FLORES TIMURWelak wua is a tradition that exists in Hamlet III as a form of appreciation for the ancestors and a form of community gratitude to the creator whose aim is to ensure that the community's harvest in the coming year will be better than previous years. In the welak wua tradition there are three forms of social capital, especially for the people of Hamlet III Location Baru. So the author is interested in researching this tradition by taking the title "Social capital in the welak wua tradition in the people of Hamlet III Location Baru, Labelen Village". This research aims to explain the forms of social capital that exist in the welak wua tradition. This research uses qualitative methods with data collection techniques through interviews, observation and documentation. The theory used in this research is Robert D Putnam's Social Capital. The research results show that there are three forms of social capital that exist in the welak wua tradition, including networks, trust and norms. Firstly, the network, researchers found that there is a strong network, which arises from the community because there is often community involvement in activities such as clean Fridays, mutual cooperation in building houses, cleaning roads, families giving birth, slametan the dead, slametan taking baby's hair. Second, a sense of trust. Researchers found that there was a sense of trust from the tribal chief, the welak wua ritual leader to the community by giving them the mandate to carry out their respective duties, such as assigning shopping for welak wua needs, inviting guests and receiving guests. Lastly, Norma. Researchers found one norm that exists in the welak wua tradition, namely the norm of politeness, which is a concrete application of the values of everyday life, such as the value of mutual cooperation, the value of solidarity, family values and reciprocity that exist in the welak wua tradition. These three forms of social capital can be summarized using Robert Putnam's concept, namely social capital. This concept can be found in the welak wua tradition with the pattern of habits of people whose lives are social, making their relationships very close to each other. Therefore, without realizing it, it is very easy for networks, beliefs and norms to emerge in the welak wua tradition.NIM.: 19107020059 Audin Lukman2024-01-05T01:38:01Z2024-01-05T01:38:01Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/62701This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/627012024-01-05T01:38:01ZTRADISI NAHDLATUL ULAMA DI TENGAH PENGARUH DAKWAH JAMAAH TABLIGH DI DESA TEMBORO, KARAS, MAGETAN, JAWA TIMUR TAHUN 1989 – 2021 MDesa Temboro yang terletak di Kecamatan Karas, Kabupaten Magetan, Jawa Timur dapat disebut sebagai desa santri karena banyaknya pesantren di dalamnya, salah satunya Pondok Pesantren Al-Fatah. Pesantren Al-Fatah merupakan pesantren yang sejak tahun 1989 secara resmi menyatakan dirinya sebagai pondok binaan Jamaah Tabligh (JT). Doktrin Jamaah Tabligh yang berkembang pesat di pesantren tak ayal memberikan pengaruh terhadap kebudayaan masyarakat setempat. Meski demikian, tradisi-tradisi keagamaan NU yang berkembang sebelumnya tidak semata-mata hilang begitu saja. Tradisi-tradisi NU tetap bertahan dan berdampingan secara harmonis dengan kebudayaan yang dibawa JT. Literatur yang memaparkan eksistensi tradisi-tradisi NU dalam struktur masyarakat Temboro dinilai masih minim, sehingga masalah ini penting untuk diteliti. Penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah intelektual sekaligus mengisi kerumpangan dari kajian-kajian sebelumnya.
Berdasarkan uraian di atas, terdapat tiga fokus utama yaitu yang pertama, kondisi masyarakat Temboro sebelum datangnya Jamaah Tabligh. Kedua, gerakan dakwah Jamaah Tabligh di Temboro dan yang terakhir yakni eksistensi tradisi-tradisi Nahdlatul Ulama Desa Temboro di tengah pengaruh dakwah Jamaah Tabligh. Dalam kajian ini peneliti menggunakan pendekatan antropologi budaya dengan teori ketahanan budaya dari Ade Makmur Kartawinata. Peneliti menerapkan konsep budaya, tradisi, eksistensi, dan transformasi budaya. Sedangkan metode yang digunakan adalah metode penelitian sejarah dengan empat tahapan yakni heuristik, verifikasi, interpretasi, serta historiografi.
Berdasarkan kajian ini, peneliti mengungkap berbagai fakta terkait tradisi-tradisi NU di Desa Temboro. Meski berada di tengah pengaruh dakwah JT dengan budaya yang dibawanya, tradisi-tradisi NU masih dipertahankan eksistensinya oleh masyarakat. Tradisi-tradisi NU tumbuh dengan harmonis bersama budaya-budaya yang dibawa JT. Peneliti mengklasifikasikan tradisi-tradisi NU tersebut menjadi dua kategori, yakni tradisi dalam aspek ibadah dan tradisi dalam aspek sosial. Eksistensi tradisi-tradisi keagamaan NU di Desa Temboro didukung oleh beberapa faktor, yaitu pertama, latar belakang kiai dan Pesantren Al-Fatah, otoritas kepemimpinan kiai, prinsip dakwah Jamaah Tabligh, pengaruh tradisi Pesantren Al-Fatah, serta dukungan dari seluruh elemen masyarakat.NIM.: 19101020017 Anifa Nurhayati2024-01-02T08:40:55Z2024-01-02T08:40:55Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/62631This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/626312024-01-02T08:40:55ZPERUBAHAN TRADISI ISLAM WETU TELU DI MASYARAKAT KECAMATAN NARMADA KABUPATEN LOMBOK BARAT TAHUN 1998-2022 MIslam Wetu Telu adalah sebuah tradisi yang berada di Lombok dan dilaksanakan oleh sebagian masyarakat Sasak. Penganut tradisi ini masih sangat percaya terhadap ketuhanan animistik leluhur maupun benda-benda. Adapun, Islam Waktu Lima adalah orang muslim sasak yang mengikuti ajaran syari’at secara lebih utuh dan konsisten sebagaimana diajarkan oleh Al-Qur’an dan Hadis. Perkembangan teknologi informasi di era modern ini semakin pesat di dalam kehidupan masyarakat. Internet adalah salah satu media dari teknologi informasi tersebut yang memiliki perkembangan tercepat dari teknologi-teknologi lainnya. Hal tersebut, yang menjadi perhatian penulis pada dampak media sosial terhadap perubahan perilaku keagamaan terutama pada masyarakat Wetu Telu di daerah Narmada, Lombok Barat tahun 1998-2022 M.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian yang bersifat deskriptif-kualitatif melalui wawancara. Pendekatan yang digunakan yaitu antropologi agama, yang mempelajari fenomena kebudayaan, tingkah laku manusia yang menekankan pada aspek-aspek religiusitas. Metode penelitian yang digunakan yaitu metode penelitian sejarah yang terdiri dari heuristik (pengumpulan sumber), verifikasi (kritik sumber), interpretasi (analisis data) dan historiografi (penulisan sejarah).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: pertama, dalam struktur sosial, masyarakat Lombok Barat mengenal stratifikasi sosial yang menunjukkan posisi seseorang dalam dominasi politik, tradisi dan keagamaan. Kedua, Islam Wetu Telu adalah kepercayaan sinkretik hasil silang ajaran Islam dengan Hindu dan unsur Animisme yang menghasilkan kebudayaan baru yang tetap mempertahankan nilai-nilai keislaman. Ketiga, tradisi Wetu Telu telah mengalami perubahan-perubahan yang disebabkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan cara pandang masyarakat.NIM.: 17101020068 Alfin Malik Ibrahim2023-12-08T02:24:28Z2023-12-08T02:24:28Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/62541This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/625412023-12-08T02:24:28ZTRADISI RIYADOH AL-QUR’AN SANTRI PONDOK PESANTREN SUNAN PANDANARAN DI KOMPLEK DAR Al-RIYADAH LI HAMALAH AL-QUR’AN DI DESA PASEBAN, KECAMATAN BAYAT, KABUPATEN KLATEN, JAWA TENGAHviii
ABSTRAK
Dalam bahasa Arab,
riyadah semula berarti memecahkan dan mendidik seekor
kuda yang masih muda. Sampai sekarang masih dipakai dalam bahasa Arab dalam
pengertian latihan fisik dan atletik. Sedangkan kaum sufi menerapkan kata tersebut
dalam arti latihan spiritual yang dikerjakan guna mempersiapkan jiwa untuk
menerima pencerahan. Secara istilah,
riyadah berarti disiplin asketis atau latihan
kezuhudan.
Di Jawa Tengah, tepatnya di Desa Paseban, Kecamatan Bayat, Kabupaten
Klaten terdapat sebuah komplek bernama
Dar al-Riyadah li Hamalah al-Qur’an —
salah satu cabang komplek Pondok Pesantren Sunan Pandanaran— yang mempunyai
tradisi
riyadah al-Qur’an.
Skripsi ini berangkat dari keinginan penulis untuk mengetahui persepsi dan
dampak dari pelaksanaan
riyadah al-Qur’an, baik dampak psikologis maupun
sosiologis. Di samping itu juga dilatar belakangi oleh kegelisahan penulis akan
minimnya kajian-kajian al-Qur’an yang membahas dari sisi ritual. Padahal Praktik
ritual tersebut sangat dianggap penting oleh umat muslim diberbagai daerah di dunia
ini.
Riyadah al-Qur’an adalah sebuah ritual pembacaan al-Qur’an dengan hafalan
secara keseluruhan (30 Juz)—dibaca secara individual, uniknya pembacaan tersebut
dikhatamkan dalam waktu satu hari dan dilakukan terus menerus selama empat puluh
satu hari bagi santri putra—kecuali jika ada uzur, seperti sakit—dan lebih dari empat
puluh hari bagi santri putrid karena ada uzur syar’i, disertai dengan puasa.
Penelitian ini adalah penelitian lapangan dengan menggunakan metode
pengumpulan data, yaitu dengan metode interview, metode observasi dan metode
dokumentasi. Data yang telah terkumpul kemudian dianalisis dengan menggunakan
teknik deskriptif dengan menggunakan pendekatan psikologis untuk mengetahui
tingkat keagamaan yang dihayati, dipahami, dan diamalkan seseorang.
Setelah penulis melakukan penelitian, penulis temukan beberapa hal yang
menarik dari tradisi
riyadah al-Qur’an ini. Yaitu sebagai sarana latihan spiritual.
Apalagi disertai dengan berpuasa yang dapat mengekang hawa nafsu dan mensucikan
diri baik lahiriyah maupun batiniyah.
Riyadah al-Qur’an juga dilakukan di tempat
yang khusus, yaitu di
Dar al-Riyadah li Hamalah al-Qur’an.
Selain itu diadakannya
riyadah al-Qur’an mempunyai tujuan, yaitu untuk
melancarkan bacaan al-Qur’an, untuk ber-
taqarrub kepada Allah melalui al-Qur’an,
dan untuk melatih
prihatin agar kelak di masyarakat dapat merasakan empati
terhadap kehidupan orang yang tidak mampu.NIM.: 06530038 Ahmad Nurkholis2023-11-14T03:06:56Z2023-11-14T03:06:56Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/62025This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/620252023-11-14T03:06:56ZTRADISI KAFARAT TERHADAP AL-QUR’AN PADA MASYARAKAT BANJAR (STUDI KASUS DI DESA PAPUYU III KABUPATEN PULANG PISAU KALIMATAN TENGAH)Al-Qur'an is a holy book that is respected, glorified, and guarded by all Muslims in the world. Efforts to respect the Qur'an such as etiquette towards it which has been widely practiced by the community among Muslims, one of which is to bring and put the Qur'an in a safe and clean place. In addition, one of the acts that are considered disrespectful to the Koran is dropping the Koran to the floor because it is believed to be something of high value. This is what happened to the Banjar people where they practice that if someone treats the Koran in an uncivilized way, they make amends by paying expiation for the Koran. They have to do this expiation as a ransom for the fallen Koran, if this is not done then their Koran which has been dropped cannot be read.
This research seeks to explain how the concept of expiation applies to adab towards the Qur'an in Banjar society and why Banjar people still apply expiation to adab towards the Qur'an. In the academic realm, this research can contribute to discussions about the practice of the Koran in society. Furthermore, the theory used is the theory of applied ethics or applied ethics with this type of qualitative research. The main object of this research is the practice of expatriation among the Banjar people in the village of Papuyu III Sei Pudak, Kahayan Kuala sub-district. The source of the data is the views of the Banjar people of Papua village III Sei Pudak. Data collection techniques using observation and interviews. The result of this study is that expiation is used as payment or ransom for the fallen Koran. The expiation imposed on adab towards the Koran by the Banjar people which must be fulfilled is in the form of reading prayers and serving food. This expiation applies to actions that are considered disrespectful to the Koran, one of which is dropping the Koran to the floor. When this happens, take it immediately and then say the sentence astagfirullah at least three times. Then kiss the mushaf after that put it in a safe and clean place. Apart from that, in the procession which consisted of halarat prayers, congratulations prayers attended by neighbors and the obligatory serving of food, namely lakatan bahinti, kakulih habang and kakulih putih. If this is not done, then the Qur'an cannot be read for fear of getting bad quality and causing discomfort in the heart. The Banjar people still carry out this tradition because it has been passed down from their parents for generations and ancient parents or maritime people. The Banjar people view this as a civilized way of respecting the Qur'an and glorify it.NIM.: 19205010055 Marni2023-11-13T07:31:16Z2023-11-13T07:31:16Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/62010This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/620102023-11-13T07:31:16ZPEMBACAAN MAULID SIMTUDDURAR PADA PONDOK PESANTREN AL-LUQMANIYYAH YOGYAKARTATradisi pembacaan maulid menjadi fenomena keagamaan yang dianggap sakral, hal ini karena tidak terlepas dari kontribusi dari adanya kegiatan tersebut. Yakni dalam praktek keseharianya, momentum pembacaan maulid sudah menjadi agenda yang dilakukan turun temurun dari generasi ke generasi. Dalam konteksnya di Indonesia sendiri, acara pembacaan maulid tidak hanya dilakukan pada setiap kegiatan keagamaan yang sifatnya insidental, akan tetapi sering dilakukan pada acara-acara yang telah menjadi rutinan. Terutama pada tradisi pembacaan maulid Simt{uddurar yang ada di Pondok Pesantren Al-Luqmaniyyah Yogyakarta. Pada Pondok Pesantren Al-Luqmaniyyah, Amaliah ini dilakukan pada acara-acara yang telah menjadi rutinan Pondok Pesantren. Diantara lain yaitu pada malam jum’at dan malam selasa yang dilakukan satu minggu sekali. Rutinan malam selasa pon dan rutinan malam jum’at legi yang dilaksanakan sebulan sekali, serta pembacaan maulid simtuddurar dalam rangka memperingati bulan maulid yang dilakukan satu tahun sekali.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yaitu menyajikan data secara deskriptif analisis dan termasuk dalam penelitian lapangan (Field Research). Fokus penelitian ini ada dua rumusan masalah yaitu bagaimana status hadis yang digunakan dalam pembacaan maulid Simt{uddurar di Pondok Pesantren Al-Luqmaniyyah dan bagaimana motif santri dalam melakukan tradisi pembacaan maulid Simt{ud durar di Pondok Pesantren Al-Luqmaniyyah menggunakan pendekatan living hadis. Adapun teori yang digunakan yaitu menggunakan teori tindakan sosial yang ditawarkan oleh Max Weber. Dalam hal ini, Max Weber membagi tindakan sosial menjadi empat yaitu tindakan tradisional, tindakan afektif, tindakan rasionalitas nilai dan tindakan rasionalitas instrumental.
Hasil dari penelitian ini yaitu ada dua; pertama, hadis yang digunakan dalam tradisi pembacaan maulid Simt{uddurar di Pondok Pesantren Al-Luqmaniyyah Yogyakarta berlandaskan dari hadis riwayat Imam Muslim nomor hadis 406. Setelah melakukan penelitian yang menyeluruh melalui kritik sanad dan matan, hadis tersebut termasuk dalam kategori hadis sahih karena telah memenuhi syarat yang menjadi tolak ukur kesahihan hadis. Kedua, pembacaan maulid Simt{uddurar di Pondok Pesantren Al-Luqmaniyyah secara umum termasuk dalam tipe tindakan rasional, hal ini bisa dilihat dari motif-motif pelaku dalam melaksanakan tindakan tersebut. Yaitu seperti mengharapkan berkah dan syafa’at dari Nabi Muhammad saw, sebagai media dakwah bagi santri, sebagai bentuk ungkapan kecintaan kepada Nabi melalui lantunan shalawat serta sebagai olah spiritual bagi santri.NIM.: 19105050052 Fajar Abdul Mukhlis2023-11-07T03:52:49Z2023-11-07T03:52:49Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/61624This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/616242023-11-07T03:52:49ZTRADISI PADUSAN JELANG PUASA RAMADHAN DI DESA DUDUWETAN KECAMATAN GRABAG KABUPATEN PURWOREJO (STUDI PANDANGAN TOKOH ADAT DAN TOKOH AGAMA ISLAM)Padusan merupakan tradisi masyarakat Jawa kuno yang yang diadopsi oleh golongan masyarakat abangan (Jawa Islam) sebagai suatu sarana untuk memanjatkan doa kepada Tuhan yang Maha Esa dengan maksud untuk mensucikan diri, membersihkan jiwa dan raga dari dosa untuk menyambut bulan suci Ramadhan. Kesakralan Tradisi Padusan ini, menjadikan masyarakat Desa Duduwetan sebagai salah satu masyarakat yang ada di Purworejo yang sampai saat ini masih melaksanakannya. Masyarakat di Desa Duduwetan, Purworejo biasanya mengadakan ritual ini dengan cara mandi di pesisir pantai. Adapun, pelaksanaan Padusan dalam tradisi ini dinilai sangat problematis karena dalam ajaran Islam tidak ada sebuah ritual khusus untuk menyambut bulan suci Ramadhan dengan cara mandi bersama-sama antara laki-laki dan perempuan bukan muhrim di pinggiran pesisir Pantai. Persoalan yang dikaji dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimana praktik tradisi Padusan yang dilaksanakan oleh masyarakat Desa Duduwetan, Grabag, Purworejo?, (2) Apa perbedaan dan persamaan pendapat tokoh Adat dan Tokoh Agama di Desa Duduwetan, Grabag, Purworejo terkait ritual Padusan tersebut?
Penelitian ini bersifat kualitatif dengan menggunakan metode penelitian lapangan (Field Reasearch). Sedangkan metode analisis data yang digunakan adalah bersifat deskriptif analitis komparatif. Data penelitian diperoeh melalui proses wawancara kepada tokoh adat dan tokoh agama di Desa Duduwetan, Grabag, Purworejo. Penelitian ini menggunakan teori ‘Urf yaitu segala sesuatu yang telah menjadi kebiasaan baik yang diterima oleh akal sehat dan tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Hasil penelitian ini berupa: 1) Pandangan tokoh adat mengenai tradisi Padusan yaitu tradisi masyarakat jawa yang harus dilestarikan karena tradisi ini merupakan warisan budaya leluhur yang mempunyai banyak manfaat salah satunya yaitu sebagai sarana penyucian diri dan tolak bala. Sementara pandangan tokoh agama Islam mengenai tradisi Padusan yaitu tergolong ‘Urf Al-Khas yang sebagian kegiatannya perlu di rubah sesuai dengan syariat Islam, walaupun tidak keseluruhan. yang didalamnya mengandung unsur yang bertentangan dengan syariat Islam. 2) Beberapa faktor yang melatarbelakangi perbedaan pendapat terkait tradisi Padusan yaitu analisis hukumnya.NIM.: 16360044 Ahmad Abdul Ngazis2023-11-02T07:34:11Z2023-11-02T07:34:11Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/61620This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/616202023-11-02T07:34:11ZTRADISI JOLENAN DI DESA SOMONGARI KECAMATAN KALIGESING KABUPATEN PURWOREJO MENURUT TOKOH ADAT DAN TOKOH AGAMATradisi Jolenan adalah sebuah adat atau kebudayaan yang dilakukan setiap tahun dan sudah muncul sebelum Islam datang. Lebih lanjut, keyakinan yang kuat akan pentingnya tradisi Jolenan tersebut bahkan membuat sebagian besar masyarakat memandang Jolenan sebagai kewajiban bersama, dimana ada keyakinan bahwa bila Jolenan tidak dilaksanakan maka akan muncul dampak buruk bagi warga. Sebagaimana diketahui bahwa tradisi Jolenan dilaksanakan di Desa Wisata yang ada di kawasan Desa Somongari. Masyarakat di Desa Somongari berkeyakinan bahwa para leluhur lebih dekat dengan Tuhan, sehingga do`a yang mereka sampaikan lebih cepat didengar dan dikabulkan melalui para leluhurnya. Hal inilah yang melatarbelakangi penyusun melakukan penelitian ini, dimana fokus dari penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi bagaimana praktikJolenan di Desa Rancaklong Purworejo, terutama terkait bagaimana dan perbedaan pandangan antara tokoh adat dan tokoh agama, terhadap tradisi Jolenan tersebut.
Dalam pembahasan skripsi ini, jenis penelitian lapangan (field reseach) dengan menggunakan pendekatan ‘Urf untuk mengetahui cara dari tahap-tahapan praktik tradisi Jolenan di kalangan masyarakat Desa Somongari Kecamatan kaligesing Kabupaten Purworejo, serta untuk mengetahui perbedaan pandangan antara Tokoh Adat dan Tokoh Agama terhadap tradisi Jolenan.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa tradisi Jolenan adalah Ungkapan rasa syukur petani padi di sawah yang diperoleh masyarakat atas hasil panen yang berlimpah ruah, dalam pandangan Tokoh Agama Islam, mengenai tradisi Jolenan ialah kalau ada suatu adat atau kebiasaan yang tidak bertentangan dengan syari`at Islam maka boleh-boleh saja, akan tetapi yang dikhawatirkan ialah niatan serta tekad dari setiap orang nya yang seakan-akan menduakan Allah Swt maka hal seperti itulah yang tidak boleh, dalam hal ini tradisi Jolenan termasuk dalam kategori `urf Fasid. Sedangkan dalam Tokoh Adat tradisi ini masih banyak masyarakat yang berkeyakinan wajib dilaksanakan karena diniatkan untuk lebih menjaga tradisi dan mempererat kerukunan antar sesama warga Desa Somongari. Adapun terdapat tiga terdapat tiga tujuan dari pelaksanaan tradisi
Jolenan yakin Satu, hubungan antara manusia kepada sang pencipta Allah Swt. Kedua, yakni hubungan antara sesama manusia sebagai sarana untuk bersilaturahmi kepada tetangga dan kerabat. Ketiga, tujuan ekonomi dalam memperkuat persatuan petani padi dan sekaligus menjadi ajang silaturahmi bagi seluruh masyarakat Desa Somongari.NIM.: 16360016 Muhammad Fahri Yusuf2023-10-30T07:30:59Z2023-10-30T07:30:59Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/62004This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/620042023-10-30T07:30:59ZSEDEKAH DALAM TRADISI TEDAK SITEN PADA MASYARAKAT DESA SIDOREJO KECAMATAN WARUNGASEM KABUPATEN BATANGMasyarakat Indonesia memiliki berbagai macam tradisi yang melekat dalam kehidupannya. Terutama bagi mereka orang jawa yang tinggal di pedesaan dan masih terus menjaga dan melestarikan bentuk peninggalan nenek moyang secara turun temurun. Selain sebagai identitas terkadang tradisi juga memiliki urgensi dan makna yang terkandung didalamnya. Salah satunya adalah tradisi dundunan atau tedak siten, yaitu merupakan tradisi yang memperkenalkan si anak untuk pertama kalinya turun pada tanah/bumi pada usia tujuh bulan.
Penelitian ini difokuskan adalah mengetahui kualitas hadis sedekah yang digunakan untuk tradisi dundunan. Dalam memahami mengapa dundunan masih terus berjalan. Penulis menggunakan tindakan sosial yang digagas oleh Max Weber yang dianggap mampu menjelaskan motif dan tujuan diadakanya tradisi dundunan. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian pendekatan kualitatif yang berpusat pada studi pustaka (librarry reseacrh). Data primer pada penelitian ini adalah para informan dan orang-orang yang ikut serta dalam penelitian ini. Adapun data sekunder yaitu kitab-kitab hadis induk, kita-kitab mukhtasar hadis, buku, jurnal, atau artikel mengenai tradisi dan juga tindakan sosial Weber. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara, dan dokumentasi.
Hasil dari penelitian ini adalah pertama, hadis Bukhari 6022 tentang hadis sedekah yang digunakan dalam tradisi dundunan berstatus sahih, yakni sahih lizatihi, dan dapat diterima sebagai riwayat yang bersumber dari Nabi. Yang kedua berdasarkan dengan tindakan sosial Max Weber pertama tindakan tradisional, para pelaku tradisi melakukan tradisi ini karena sudah turun-temurun, kedua, Tindakan afektif para pelaku memiliki sikap emosional terhadap tokoh agama setempat. Ketiga, Tindakan rasional instrumental para pelaku secara sadar melakukan tradisi tersebut karena mampu dalam hal finansial maupun sumber daya manusia. Keempat, Rasionalitas nilai, nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi tersebut antara lain melestarikan tradisi, melaksanakan sunnah Nabi berupa sedekah melalui tradisi dundunan, ekonomi mendapatkan uang dan makanan dan sosial saling mempererat hubungan silaturahmi.NIM.: 19105050032 M. Adha Fadin2023-10-30T07:27:08Z2023-10-30T07:27:08Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/62003This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/620032023-10-30T07:27:08ZANALISIS LIVING HADIS PADA TRADISI SUMBAYANG AMPEK PULUAH DI DESA SABU KEC. BATIPUH KAB. TANAH DATARPenelitian ini mengkaji salat berjamaah selama empat puluah hari di Desa Sabu. Masyarakat Nagari Sabu biasa menyebut kegiatan ini sumbayang ampek puluah, yaitu salat berjamaah yang dilakukan selama 40 hari sebelum masuk bulan Ramadhan, dengan ketentuan tidak boleh tertinggal satu rakaatpun dan harus mendapat takbir pertama imam. Tradisi sumbayang ampek puluah biasanya dilakukan oleh masyarakat lansia atau umumnya dilakukan oleh wantia lansia. Sebab tradisi ini mengharuskan jamaahnya untuk hadir pada salat 5 waktu secara berjamaah dan dilakukan selama 40 hari berturut-turut, jika dilakukan oleh orang muda yang masih sibuk bekerja tentu mereka memiliki keterikatan waktu untuk hal duniawi mereka. Sedangkan untuk orang tua hal ini menjadi kegiatan positif bagi mereka, sebab orang-orang tua di Nagari Sabu umumnya sudah tidak bekerja dan bisa fokus untuk mengikuti sumbayang ampek puluah. Kemudian jamaah lain terdapat juga wanita yang sudah mengalami menopause, karena mereka sudah tidak mengalami menstruasi lagi dan bisa mengikuti salat selama 40 hari berturut-turut.
Dalam penilitan ini akan membahas mengenai penerapan nilai hadis yang hidup dalam tradisi sumbayang ampek pualah yang ada di Nagari Sabu dengan bentuk penelitian lapangan (Field Research) dan menggunakan metode penelitian observasi, wawancara, dan dokumentasi serta analisi data. Penelitian ini juga menggagas teori living hadis dan teori fenomenologi dari Alfred Schutz dengan fokus kajian In Order to Motive dan Because of motive. Metode-metode yang digunakan bertujuan untuk menelusuri lebih jauh tentang hadis-hadis yang hidup dan bagaimana pelaku tradisi dalam memaknai hadis tersebut dalam tradisi sumbayang ampek puluah. Selanjutnya hal ini didasari untuk mengetahui bahwa praktik sumbayang ampek puluah merupakan suatu tradisi yang berdasarkan pada hadis Nabi.
Dalam hasil penelitian ini, ditemukan bahwa tradisi sumbayang ampek puluah ini merupakan kegiatan salat berjamaah selama 40 hari dan tidak boleh tertinggal satu rakaatpun serta harus mendapat takbir pertama imam, biasanya dilakukan pada 40 hari sebelum memasuki bulan suci Ramadhan. Mulanya tradisi ini masuk pada awal islam memasuki dataran tinggi Sumatera Barat yang kemungkinan sekitar 3 abad yang lalu. Nilai hadis yang terkandung dalam tradisi sumbayang ampek puluah adalah untuk mendapatkan 2 keutamaan yang disebutkan dalam hadis riwayat Sunan Tirmidzi no. 224 yang didalamnya disebutkan bahwa ganjaran bagi orang yang salat selama 40 hari secara berjamaah tanpa terputus dan selalu mendapatkan takbir pertama imam maka akan dijauhkan baginya 2 hal, yaitu terhindar dari api neraka dan terhindar dari sifat munafik. Kemudian nilai lain yang terdapat dalam tradisi sumbayang ampek puluah adalah bentuk rasa syukur telah diberikan umur panjang, semakin dekat dengan Allah, serta memperkuat tali silaturrahmi antar masyarakat.NIM.: 19105050009 Shabra Hasbi2023-10-30T07:12:48Z2023-10-30T07:12:48Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/61997This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/619972023-10-30T07:12:48ZTRADISI FREE LUNCH SHALAT JUMAT DI MASJID NURUL ISLAM PEDAKBARU KECAMATAN BANGUNTAPAN KABUPATEN BANTUL YOGYAKARTA (ANALISIS TEORI PERTUKARAN SOSIAL)Skripsi ini berangkat dari rasa penasaran akademik tentang praktek tradisi
free lunch shalat jumat. Lahirnya tradisi kerap sekali mempunyai poin negatif
maupun positif. Peneliti berusaha melihat apa yang mendasari terjadinya praktek
tradisi free lunch dan bagaimana konsep pelaksanaan tradisi free lunch dapat
diterapkan di Masjid Nurul Islam Pedakbaru setiap hari Jumat mulai dari jenisnya,
pelaksanaannya, bahkan sasarannya. Sejalan dengan itu peneliti berupaya
menganalisis bentuk dari pertukaran sosial yang terjadi antara jamaah, takmir
masjid, dan donatur. Sehingga dapat ditemukan poin-poin yang merupakan kendala
maupun manfaat dalam menjalankan tradisi free lunch shalat jumat.
Pada penelitian ini penulis menggunakan metode sosiologi memakai
pendekatan fenomenologi. Adanya teknis pengumpulan data yang dilakukan oleh
peneliti lewat observasi, wawancara partisipan serta dokumentasi. Tentang analisis
data pada penelitian ini tentunya peneliti memakai bentuk analisis data deskriptif
kualitatif data. Penulis menganalisa tradisi free lunch shalat jumat dengan
menggunakan teori Pertukaran Sosial dari George Homans dengan memetakan
enam proposisi yaitu proposisi sukses, proposisi pendorong, proposisi nilai,
proposisi deprivasi-kejemuan, proposisi persetujuan-agresi, dan proposisi
rasionalitas.
Setelah melakukan penelitian, penulis memperoleh hasil bahwa terdapat
beberapa alasan terjadinya tradisi free lunch shalat umat di Masjid Nurul Islam
Pedakbaru yaitu: ekonomi mahasiswa, sebagai objek sedekah, dan untuk
memakmurkan masjid. Sedangkan peninjauan dari bentuk pertukaran sosial ada
beberapa nilai yang perlu diterapkan yaitu reward para aktor, takmir, dan donatur,
dukungan peningkatan kemakmuran masjid, aktor sebagai pencari keuntungan
yang rasional, nilai penghematan, dan nilai saling membalas kebaikan.NIM.: 19105040066 Rahman Martua Harahap2023-10-27T03:43:19Z2023-10-27T03:43:19Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/61932This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/619322023-10-27T03:43:19ZHIERARKI NILAI DALAM TRADISI WIWITAN DI DESA BANGUNHARJO KECAMATAN SEWON KABUPATEN BANTUL (PERSPEKTIF FILSAFAT NILAI MAX SCHELER)Tradisi wiwitan merupakan tradisi masyarakat Jawa sebelum panen padi dilaksanakan dan sudah ada sejak nenek moyang zaman dahulu sehingga masih dilestarikan hingga sekarang. Tradisi wiwitan juga bentuk keseimbangan antara makhluk hidup dengan lingkungannya, makhluk hidup dengan sang pencipta. Tradisi wiwitan merupakan ritual persembahan masyarakat Jawa dengan tujuan untuk ungkapan rasa syukur serta limpahan rezeki padi. Setiap pelaksanaan tradisi wiwitan selalu ada uba rampe atau hasil bumi, dalam uba rampe tersebut memiliki makna serta tujuan penting untuk memberikan arahan para masyarakat terhadap kehidupan. Ritual upacara tradisi wiwitan di setiap daerah bisa berbeda, bisa dilihat dari isi uba rampenya. Uba rampe tersebut terdiri beberapa makanan seperti ingkung, pisang, jajanan pasar, nasi liwet dll, dan setiap makanan tersebut memiliki makna tersendiri untuk kehidupan masyarakat. Tradisi wiwitan ini berbeda dengan tradisi wiwitan di tempat lain, bedanya tradisi di Desa Bangunharjo dilakukan secara massal dan serempak oleh para petani. Dalam tradisi wiwitan memiliki nilai kehidupan sangat penting bagi masyarakat, sehingga peneliti merasa tertarik untuk mengkaji tradisi wiwitan yang berada di Desa Bangunharjo, Sewon, Bantul.
Penelitian ini terdapat rumusan masalah yaitu: (1) tata cara pelaksanaan tradisi wiwitan di Desa Bangunharjo, Sewon, Bantul dan, (2) apa makna dari hierarki nilai dalam tradisi wiwitan, sehingga menghasilkan tujuan bagi masyarakat untuk mengetahui secara mendalam nilai penting bagi kehidupan masyarakat melalui rangkaian kegiatan tradisi wiwitan.
Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan dengan mengumpulkan data melalui observasi serta wawancara. Dalam metode penelitian ini diperoleh hasil dari 2 data, yaitu data primer maupun data sekunder. Data primer ini dilakukan dengan wawancara langsung kepada para masyarakat serta kepada tokoh sesepuh, sedangkan data sekunder diperoleh dengan membaca jurnal, karya ilmiah, sosial media, buku, skripsi yang berkaitan kuat dengan penelitian tradisi wiwitan. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik observasi, wawancara, dokumentasi serta analisi data untuk memperkuat penelitian sehingga bisa memperoleh data dengan jelas. Analisis data yang digunakan untuk menarik kesimpulan yaitu dengan analisis data kualitatif menggunakan teori hierarki nilai Max Scheler.
Adapun hasil penelitian tentang tradisi wiwitan ini jika ditinjau dari perspektif hierarki nilai Max Scheler. Tradisi wiwitan ini memiliki 4 hierarki nilai penting, diantaranya yaitu pertama, nilai kesenangan di mana dalam tradisi wiwitan masyarakat sangat senang karena bisa berbondong-bondong berkumpul serta bisa memperkuat tali silaturahim antar masyarakat setempat, kedua nilai kehidupan di mana nilai ini sangat penting keberadaannya bagi kehidupan untuk menunjang kesejahteraan, kedamaian dalam masyarakatnya, ketiga nilai spiritual pada tradisi wiwitan para masyarakat percaya akan sebuah keberkahan yang melimpah ketika melaksanakan upacara tradisi tersebut dan nilai ketuhanan atau kekudusan dalam tradisi wiwitan bisa dilihat bagaimana masyarakat setempat merawat serta menjaga lingkungan sawah dan sekitarnya. Ditinjau dari filsafat nilai Max Scheler, maka penelitian ini mempunyai nilai penting bagi kehidupan masyarakat sebagai pedoman hidup serta pegangan hidup sehingga kegiatan tradisi wiwitan ini sampai sekarang terus dilakukan.NIM.: 19105010062 Lulu Maghfiroh2023-10-27T02:42:48Z2023-10-27T02:42:48Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/61917This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/619172023-10-27T02:42:48ZSISTEM NILAI BUDAYA DALAM TRADISI LABUHAN SARANGAN (TINJAUAN ANALISIS SEMIOTIK)Tradisi Labuhan Sarangan merupakan salah satu tradisi tahunan yang dilakukan masyarakat Kelurahan Sarangan. Tradisi ini masih dijunjung tinggi dan dipraktikkan oleh masyarakat setempat di Kelurahan Sarangan, Kecamatan Plaosan, Kabupaten Magetan, Provinsi Jawa Timur. Tradisi Labuhan Sarangan ini pada dasarnya merupakan wujud penghormatan dan syukur kepada Allah SWT. Wujud syukur dilakukan dengan pelarungan tumpeng nasi dan tumpeng hasil bumi (hasil panen petani) ke telaga.
Penelitian ini membahas nilai-nilai budaya yang terkandung dalam Tradisi Labuhan Sarangan. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kurangnya pemahaman dan pemaknaan oleh masyarakat sekitar Kelurahan Sarangan, utamanya generasi muda terhadap tradisi Labuhan Sarangan. Jenis penelitian ini disebut kualitatif, dan tidak memerlukan kuantifikasi (tidak terdapat perhitungan didalamnya). Sumber data utama untuk penelitian ini adalah masyarakat Kelurahan Sarangan selama pelaksanaan Tradisi Labuhan Sarangan. Sumber data kedua dalam penelitian ini berasal dari penelitian kepustakaan, artikel, jurnal, skripsi, dan sumber terkait lainnya.
Penelitian ini memanfaatkan jenis data lapangan yang dimaksudkan untuk menangkap fakta-fakta yang ada di masyarakat. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi. Penelitian ini memanfaatkan pendekatan filosofis dengan deskriptif empiris dan normatif, yang hadir dalam Tradisi Labuhan Sarangan. Teori dalam penelitian ini mengacu pada semiotika Roland Barthes, sehingga memungkinkan analisis Tradisi Labuhan Sarangan dapat dilakukan dengan lebih mudah.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah dengan adanya tradisi ini bertujuan sebagai wujud syukur atas segala rezeki, kenikmatan, keberkahan, dan keselamatan dari Allah SWT. Terdapat beberapa nilai-nilai budaya dalam Tradisi Labuhan Sarangan. Dalam tradisi ini nilai-nilai budaya meliputi nilai perilaku, nilai simbol, dan nilai kepercayaan. Selanjutnya terdapat penandaan dalam analisis semiotika Roland Barthes ini yang berawal dari tanda, denotasi, konotasi, dan mitos. Penandaan tersebut termuat dalam prosesi Labuhan Sarangan yang terdapat didalamnya yakni pemandian dan penyembelihan kambing kendit, tumpeng gono bahu, tumpengan kecil, panggang ayam, dan ambengan.NIM.: 19105010003 Wafiq Imamah2023-10-27T02:24:40Z2023-10-27T02:24:40Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/61913This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/619132023-10-27T02:24:40ZRITUAL EMBERAN DAN PANGGUNG SOSIAL PADA PERINGATAN MAULID NABI DI DESA TEMBOK KIDUL ADIWERNA, TEGAL, JAWA TENGAHPanggung soaial merupakan sebuah ajang atau tempat dalam sebuah dinamika sosial yang didalamnya terdiri dari individu atau kelompok yang berlomba dalam memenangkan status kelasnya di tengah kehidupan masyarakat, dalam kasusu ini terjadi sebuah kontestasi kelas ditengah terjadinya tradisi keagamaan di Desa Tembok Kidul, kotestasi kelas dalam hal ini yang di wujudkan melalui sebuah simbol yang bernamakan Ambeng, dan di buat menggunakan ember yang berisikan berbagai macam makanan di dalamnya. Yang seharusnya simbol menlambangakn sebuah kemakmuran dan penuh makna namun adanya arus kontestasi kelas menjadikan makna Ambeng dalam perayaan maulid nabi menjadi sebuah hal yang biasa.
Penelitian ini adalah penelitian lapangan dengan menggunakan pendekatan kualitatif yang menghasilkan data deskriptif. Objek materialnya adalah masyarakay Desa Tembok Kidul Kecamatan Adiwerna Kabupaten Tegal. Penelitian ini menggunakan teori Fictor Turner mengenai sebuah simbol dan Pierre Bourdei tentang kontestasi kelas. Dengan teknik pengumpulan data melalui Observasi dengan terjun langsung kelapangan, Wawancara terhadap para tokoh gama tokoh desa dan tokoh sesepuh Desa dan sebagaian para Masyarakat Desa, serta Dokumentasi. Teknik pengolahan data dengan cara pengumpulan data, deskriptif data, reduksi data serta display data.
Hasil penelitian menunjukan bahwa terbentuknya sebuah ritual dan pembuatan ember serta panggung sosial itu terjadi hanya pada saat tanggal-tanggal tertentu terutama pada acara-acara puncaknya yakni pada tanggal 12 dibulan robiul awwal yang mana semua orang berlomba dalam membuat hidangan yang di sajikan melalui bentuk ember dan berlomba-lomba untuk meyajikannya dalam bentuk sebaik mungkin, pertama klasifikasi dan keberagamana hidangan pada saat perayaan maulid nabi jelas adanya dibuktikan dengan adanya perbedaan kelas dalam pengelompokkan sebagai penerima ember yang mana dibedakan bedasarkan tingkatan keilmuan, tingkatan kekayaan, tingkatan kedudukan di bedakan bedasarkan bentuk dan hidangan yang ada di dalam ember tertentu yang disajikan, biasanya makanan yang siap makan jauh lebih bernilai dibandingkan dengan yang masih dalah bentuk mentah. kedua modal dalam pembuatan simbol pastinya memiliki tingkatan juga dan pastinya dalam pembuatan hidangan yang siap makan akan jauh lebih banyak mengeluarkan modal serta tenaga maka dari itu bernilai lebih dibandingkan yang masih mentah, serta simbol atau hidangan dalam hal ini juga sebagai ajang mendapatkan pengakuan sosial dalam panggung sosial yang di buat dan dibentuk masyarakat sendir pada saat perayaan maulid nabi. Nilai yang terkandung dalam sebuah simbol termasuk membawa kemanfaatan umtuk kehidupan sehari-hari.NIM.: 18105040070 Siti Nur Baiti Munawaroh2023-10-27T02:14:24Z2023-10-27T02:14:24Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/61910This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/619102023-10-27T02:14:24ZMAKNA SIMBOLIK TRADISI ROKAT PANDHABA DALAM PANDANGAN MASYARAKAT LONGOS, SUMENEP, MADURARokat Pandhaba adalah upacara pembebasan seorang anak pandhaba dari nasib buruk yang akan menimpanya, serta menjauhkan dari segala bentuk marabahaya yang dapat mengganggu perjalanan hidupnya di dunia. Tradisi ini merupakan tradisi yang sudah dilestarikan secara turun-temurun oleh masyarakat Desa Longos, Gapura, Sumenep. Fokus dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimana tradisi Rokat Pandhaba di Desa Longos, Gapura, Sumenep? (2) Bagaimana makna simbolik tradisi Rokat Pandhaba dalam pandangan masyarakat Desa Longos, Gapura, Sumenep? Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah (1) untuk mendeskripsikan dan mengetahui secara detail bagaimana proses pelaksanaan tradisi Rokat Pandhaba di Desa Longos, Gapura, Sumenep, (2) untuk mendeskripsikan dan mengetahui makna simbolik dari tradisi Rokat Pandhaba dalam pandangan masyarakat Desa Longos, Gapura, Sumenep.
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research) yang bersifat kualitatif dengan metode dalam pengumpulan data dengan observasi/pengamatan, wawancara dan dokumentasi. Kemudian hasil dari observasi dan wawancara dari lapangan yang merupakan bahan mentah dimodifikasi atau diolah dengan menyusun dalam bentuk uraian kemudian dipelajari dan ditelaah agar dapat memfokuskan dan berhubungan dengan judul dengan teori yang ditawarkan oleh Paul Thillich melalui empat ciri-ciri mendasar dari sebuah simbol: pertama, perbedaan simbol dan tanda. Kedua, Simbol yang sejati. Ketiga, simbol pembuka dimensi batiniah manusia, dan keempat, simbol dalam kemiripannya dengan mahluk hidup.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: pertama, berbagai makna simbol-simbol yang terkandung dalam tradisi Rokat Pandhaba yang merupakan serangkaian prosesioanal dalam upaya pembebasan seorang anak Pandhaba dari roh jahat atau nasib buruk yang akan menimpanya dan mengganggunya selama hidup di dunia juga sebagai sarana yang dapat memperoleh maksud dan tujuan yang telah dicita-citakan selama hidup di dunia dan akhirat. Kedua, makna simbolik tradisi Rokat Pandhaba menurut pendekatan analisa teori Paul Thillich yaitu hasil penelitian juga menunjukkan deskripsi terkait makna dan sistem simbol yang memiliki relevansi dengan religiusitas masyarakat Desa Longos, Gapura, Sumenep dan tidak hanya terpaku pada dimensi teologis saja, melainkan religiusitas kaitannya dengan sosial dan budaya masyarakat Sumenep, baik itu simbol deskripsi terhadap kondisi dan pengalaman masyarakat Desa Longos Sumenep selama ini baik ajaran atau nilai-nilai ideal yang menjadi pandangan hidup masyarakat di Desa Longos. Selain itu tradisi Rokat Pandhaba juga merupakan simbol yang menggambarkan suatu bentuk sosial budaya masyarakat Desa Longos, Gapura, Sumenep.NIM.: 18105020041 Ali Faris2023-10-26T07:02:45Z2023-10-26T07:02:45Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/61890This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/618902023-10-26T07:02:45ZTRADISI RESAN, PROSESI RITUAL DAN PENDEKATAN ANTROPOLOGI CLIFFORD GEERTZ (DI PADUKUHAN SENGERANG, GUNUNG KIDUL)Manusia diciptakan oleh Allah SWT memiliki berbagai macam perbedaan rupa, suku, adat istiadat, budaya bangsa dan agama. Hal demikian itu membuat kamu bersyukur firman Allah dalam Al-Qur’an. Dengan perbedaan itu manusia mempelajari dan mengetahui arti kekuasaan Allah SWT. Berbeda adalah sunnatullah dan wajib menerima dan bersyukur atas segala yang diciptakan. Tetapi seiring berjalannya waktu manusia terkadang lupa dengan maksud makna perbedaan yang Allah ciptakan sehingga belakangan ini banyak sekali diskriminasi dan rasis yang berlebihan yang akhirnya menimbulkan gesekan demi gesekan yang menuju ruang perpecahan anak bangsa. Demikian juga yang terjadi di Padukuhan Sengerang, tradisi resan dan agama menjadi satu persoalan jika tidak mampu membedakan mana tradisi dan mana agama. Padahal seyogyanya tradisi adalah warisan nenek moyang yang bersifat sementara bisa berubah-ubah sesuai zaman, lain dengan agama yang merupakan perintah Allah SWT yang absulut, kekal hingga akhir zaman. Dalam penelitian ini membahas dua permasalahan utama, yaitu: pertama, Bagaimana prosesi ritual yang dilakukan di area resan. Di Padukuhan Sengerang, Kecamatan Saptosari, Gunung Kidul. kedua, Bagaimana Resan di pahami sebagai tempat yang sakral melakukan berbagai macam tradisi. Di Padukuhan Sengerang, Kecamatan Saptosari, Gunung Kidul.
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan yang berlokasi di Resan atau kuburan kuno yang dikramatkan oleh warga setempat. Penelitian ini daerah Sengerang, Gunung Kidul, Yogyakarta. Penelitian ini bersifat kualitatif dengan metode pengumpulan data melalui observasi, wawancara yang mendalam (indepth interview), dan dokumentasi. Teori yang digunakan dalam menganalisis penelitian tersebut adalah teori antropologi, Clifford Geertz.
Penelitian ini menemukan arti luas tentang budaya menurut E. T. Hall, budaya adalah media yang dikembangkan manusia untuk bertahan hidup. Tak ada satu hal pun yang bebas dari pengaruh budaya. Budaya merupakan dasar dari sebuah pondasi peradaban dan sebuah media yang melaluinya, kejadian-kejadian dalam kehidupan mengalir. Dengan demikian keterkaitan agama dan tradisi resan hanya terjadi pada garis kebersamaan sosial dan juga keterikatan bersama terhadap budaya.NIM.: 16520056 Amiruddin2023-10-26T06:54:16Z2023-10-26T06:54:16Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/61888This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/618882023-10-26T06:54:16ZKOMODIFIKASI TRADISI SYURO DI DUSUN KUWARISAN KELURAHAN PANJER KABUPATEN KEBUMENTradisi Syuran adalah tradisi yang diselenggarakan masyarakat Desa Kuwarisan, kabupaten Kebumen, yang diisi dengan berbagai ritual-ritual keagamaan dan budaya. Awalnya tradisi syuran merupakan tradisi rutin tahunan setiap bulan syuro dalam rangka untuk memperingati/haul Syekh Ibrahim Asmoroqondi, yakni dengan mengadakan doa bersama dan pembagian serta makan bersama nasi ingkung. Guna untuk menarik minat pengunjung dan terus melestarikan budaya syuran agar tidak ditinggalkan oleh generasi muda, maka kegiatan tradisi syuran oleh pemerintah dan masyarakat dusun Kuwarisan dilakukan modifikiasi namun tanpa mengubah nilai dan tujuan utama dari tradisi syuran tersebut. Bahkan sekarang tradisi syuran juga memiliki dampak positif secara ekonomi terhadap masyarakat sekitar, yang mana hal ini termasuk bentuk dari komodifikasi. Dalam penelitian ini membahas dua permasalahan, yaitu: Pertama, bagaimana sejarah munculnya dan juga proses pelaksanaan ritual tradisi bulan Syura di dusun Kuwarisan kelurahan Panjer kabupaten Kebumen. Kedua, bagaimana komodifikasi ritual tradisi bulan Syura di dusun Kuwarisan kelurahan Panjer Kabupaten Kebumen.
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research) yang berlokasi di dusun Kuwarisan, kelurahan Panjer kecamatan Kebumen kabupaten Kebumen. Penelitian ini bersifat kualitatif dengan menggunakan metode pengumpulan data melalui observasi, wawancara mendalam (indepth interview), dan dokumentasi. Teori yang digunakan dalam menganalisis penelitian tersebut adalah teori komodifikasi Karl Marx yang menjelaskan bagaimana perubahan nilai dan fungsi dari suatu barang atau jasa menjadi komoditi (yang memiliki nilai ekonomi).
Hasil dari penelitian ini ditemukan bahwa, dalam tradisi Syuran yang dilakukan oleh warga dusun Kuwarisan, Kelurahan Panjer kecamatan Kebumen kabupaten Kebumen, telah terjadi suatu proses komodifikasi terhadap budaya syuran tersebut. Adanya komodifikasi sendiri terjadi disebabkan karena perubahan cara berpikir serta pengaruh dari globalisasi dan modernisasi yang ada di masyarakat. Bentuk komodifikasi yang terjadi adalah dengan diadakannya festival tradisi syuran dengan berbagai pernak-pernik dan kemeriahan yang ada, yang mana sebelumnya hanya kegiatan kecil-kecilan yang dilakukan dan diketahui oleh warga dusun Kuwarisan saja, dengan adanya modifikasi tersebut sekarang menjadi suatu destinasi wisata budaya tahunan yang ada di kabupaten Kebumen.NIM.: 16520031 Diyah Rahmawati2023-10-26T06:50:59Z2023-10-26T06:50:59Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/61886This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/618862023-10-26T06:50:59ZDINAMIKA MAKNA SIMBOLIS NASI BERKAT JUMAT KLIWON MAKAM WOTGALEH DI SLEMAN YOGYAKARTANasi berkat makam Wotgaleh setiap malam jumat kliwon menjadi penanda bahwa modernitas tidak serta merta menghilangkan tradisi keagamaan lokal masyarakat. Tradisi keagamaan ini tidak hilang ditelan modernitas, sebuah tradisi keagamaan yang telah diajarkan secara turun temurun oleh nenek moyang sudah kental dan menjiwa di kalangan masyarakat itu sendiri. Tradisi keagamaan berbagi nasi berkat merupakan bentuk kerukunan sesama saudara, selain itu dimaknai juga sebagai sedekah. Nasi berkat dipercayai memiliki banyak manfaat baik untuk kesehatan maupun dalam kehidupan, kepercayaan ini tumbuh bukan karena sendirinya, melainkan mencontoh para sahabat yang berebut keberkahan makanan yang sudah didoakan oleh Rasulullah dan para sahabat memperingati hari lahirnya Nabi Muhammad SAW. Maka tak heran jika pada zaman sekarang masih banyak orang yang saling berebut keberkahan tersebut dari para waliyullah, ulama, aulia, kyai sepuh dan sebagainya. Seperti contoh pada penelitian ini para peziarah makam Wotgaleh yang rela mengantri untuk memperoleh nasi berkat malam Jumat Kliwon yang dianggap memberikan barokah dalam kehidupannya. Penelitian ini membahas dua hal, yaitu: bagaimana para peziarah makam serta masyarakat memaknai kesakralan dari nasi berkat Jumat Kliwon tersebut, dan bagaimana paradigma modern mengenai persepsi nasi berkat Jumat Kliwon di makam Wotgaleh Yogyakata.
Membahas roblem penilitian ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Data-data untuk menjawabnya didapatkan melalui tiga hal, yaitu observasi, wawancara dimana informannya dipilih secara purposive, dan dokumentasi. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Sakral dan Profan dalam pandangan Mercia Eliade. Menurut Eliade kehidupan didasarkan pada dua hal yang berbeda yaitu sakral dan profan. Sakral adalah sesuatu yang memiliki makna suci, sedangkan profan merupakan sesuatu yang dianggap tidak memiliki nilai suci atau biasa
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa para peziarah memiliki pandangan yang beragam terhadap nasi berkat jumat kliwon di makam Wotgaleh. Nasi berkat yang disediakan oleh juru kunci dan abdi ndalem, serta terkadang juga oleh para peziarah yang memiliki hajat diyakini mengandung berkah, hal ini dikarenakan nasi berkat tersebut telah didoakan secara bersama-sama pada malam jumat kliwon di makam Wotgaleh. Selain itu, bagi para peziarah yang ikut menyediakannya, nasi berkat tersebut dianggap sebagai penebusan doa atas hajat yang diinginkan. Keyakinan bahwa nasi berkat yang dibacakan doa-doa secara bersama-sama di makam pangeran Purboyo Wotgaleh mengandung keberkahan dan kesakralan membuat para peziarah dan abdi ndalem berupaya untuk menjaganya dengan mempertahankan tata aturan yang diwariskan secara turun-temurun. Dengan cara demikian, keyakinan terhadap nasi berkat tetap bertahan di era modern walaupun keyakinan trsebut dianggap sebagai mitos dan irasional.NIM.: 16520021 Zukhrufa Nurdiana2023-10-24T08:08:30Z2023-10-24T08:08:30Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/61760This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/617602023-10-24T08:08:30ZTRADISI MENGAKHIRKAN AZAN ASAR PADA MASYARAKAT KEDUNGGALAR NGAWI (STUDI PERBANDINGAN PANDANGAN TOKOH NU DAN TOKOH MUHAMMADIYAH)Kedunggalar adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Ngawi, Provinsi
Jawa Timur, Indonesia. Mayoritas masyarakat Kedunggalar menganut agama
Islam, dan memiliki pengetahuan agama Islam yang cukup baik. Masyarakat
Kedunggalar sebagian besar bekerja sebagai petani sehingga lebih banyak
menghabiskan waktu di ladang hingga sore hari. Keadaan tersebut menjadikan
azan Asar tertunda di beberapa musalla atau masjid. Jika azan Ashar diakhirkan
maka akan mengakhirkan waktu salat yang seharusnya dikerjakan tepat waktu.
Dari fakta tersebut, penulis tertarik untuk membahas tradisi mengakhirkan Azan
Ashar di Kedunggalar, Ngawi. Kajian ini difokuskan pada pandangan Tokoh NU
dan tokoh Muhammadiyah. Terkait praktik yang berkaitan dengan hal tersebut,
maka pertanyaan penelitian yang diajukan dalam skripsi ini adalah bagaimana
tradisi diakhirkannya azan Asar di Kedunggalar Ngawi? Bagaimana pandangan
dan argumentasi tokoh NU dan tokoh Muhammadiyah mengenai tradisi
mengakhirkan azan Asar yang terjadi di Kedunggalar Ngawi? Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui tradisi diakhirkannya azan Asar pada masyarakat
Kedunggalar Ngawi serta pandangan dan argumentasi tokoh NU dan
Muhammadiyah di Kedunggalar Ngawi mengenai tradisi mengakhirkan azan Asar
di Kedunggalar Ngawi.
Sifat penelitian ini adalah deskritif komparatif dengan mendeskripsikan
objek penelitian mengenai tradisi mengakhirkan azan Asar di Kedunggalar Ngawi.
Penelitian ini menggunakan pendekatan ushul fiqh. Adapun teori yang digunakan
adalah teori urf’ yaitu sesuatu yang dipandang baik, yang dapat diterima akal sehat.
Penelitian ini didasarkan pada data primer dan data sekunder. Data primer dalam
penelitian ini adalah data yang peneliti dapatkan langsung dari lapangan, baik
melalui observasi, wawancara dengan para tokoh NU dan tokoh Muhamamdiyah
di Kedunggalar Ngawi, dan masyarakat setempat, maupun melalui dokumentasi.
Sementara data sekundernya berupa karya-karya yang berkaitan dengan topik
kajian ini, baik berupa buku, artikel jurnal, hasil penelitian, maupun karya-karya
ilmiah lainnya. Berdasarkan data yang sudah ada kemudian dideskripsikan dan
dianalisis mengenai pandangan tokoh NU dan tokoh Muhamamdiyah terkait
hukum mengakhirkan azan Ashar yang banyak dilakukan oleh masyarakat
Kedunggalar Ngawi.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, tradisi mengakhirkan azan
Asar pada masyarakat Kedunggalar ngawi masih terjadi di wilayah yang jauh dari
perkotaan. Mereka mengumandangkan azan Asar antara pukul empat sampai
setengah lima sore. Hal itu dilakukan karena menunggu petani pulang dari ladang.
Tradisi diakhirkannya azan asar ini bermula dilakukan oleh pendahulu yang
bekerja di sawah sebagai petani, mereka melandaskan sumber hukum
diakhirkannya azan dari pengadatan yaitu urf’ ṣahih ialah kebiasaan yang sudah
dilakukan dan tidak bertentangan dengan nash. Adapun pandangan Tokoh NU dan
tokoh Muhammadiyah di Kedunggalar Ngawi terkait diakhirkannya azan Asar di
Kedunggalar Ngawi mereka sama- sama memandang boleh. Namun demikian
Tokoh NU dan tokoh Muhammadiyah memiliki argumentasi yang berbeda yakni
tokoh NU membolehkannya secara mutlak, dengan mengutamakan hifẓu māl
setelah hifẓu diin. berbeda dengan tokoh Muhammadiyah yang sedikit keberatan
karena lebih mengutamakan hifẓu diin, karena diakhirkannya azan Asar menjadi
bergantinya fungsi azan sebagai tanda akan dilaksanakannya salat bukan sebagai
tanda masuk awal waktu salat, serta hilangnya keutamaan salat di awal waktu.NIM.: 19103060052 Farah Salbiah2023-10-24T08:03:41Z2023-10-24T08:03:41Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/61758This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/617582023-10-24T08:03:41ZTRADISI RATIBAN DI DESA PANDANSARI KECAMATAN PAGUYANGAN KABUPATEN BREBES PERSPEKTIF HUKUM ADAT DAN HUKUM ISLAMPerkembangan zaman yang semakin maju dan masuknya Islam ke Indonesia
memberikan banyak perubahan dalam berbagai bidang kehidupan manusia. Salah
satunya adalah bidang kebudayaan dan tradisi masyarakat yang ada. Tradisi
Ratiban adalah tradisi yang dilakukan sebagai rasa syukur kepada Allah SWT atas
limpahan nikmat dan kekayaan alam Desa Pandansari. Awal mula adanya tradisi
ini adalah bertujuan untuk meminta hujan sekaligus ruwat desa karena adanya
wabah penyakit. Pelaksanaan tradisi ini berpusat di Telaga Ranjeng, sebuah tempat
yang diyakini memiliki keistimewaan dan kesakralan oleh masyarakat desa
setempat. Tradisi Ratiban yang awalnya bertujuan sebagai ritual meminta hujan
berubah menjadi ritual sedekah bumi yang dilaksanakan setiap satu tahun sekali di
bulan Muharram, sebagai ungkapan syukur dan sebagai sebuah tanda Desa
Pandansari tetap dalam koridor makmur. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengetahui sejarah dibalik tradisi Ratiban dan mengetahui bagaimana
perspektif hukum adat dan hukum Islam mengenai tradisi Ratiban ini.
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research) yaitu
penelitian dengan data yang diperoleh dari kegiatan lapangan. Teknik pengumpulan
data dalam penelitian ini adalah berupa studi lapangan yang meliputi observasi,
wawancara dengan tokoh adat dan tokoh agama Desa Pandansari dan studi
kepustakaan yang dilakukan sebagai rangkaian pengumpulan data dengan cara
mendokumentasikan dokumen dan literatur yang berhubungan dengan tema
penelitian. Penelitia ini bersifat deskriptif-komparatif yaitu penelitian yang
ditujukan untuk mendeskripsikan mengenai perbandingan hukum adat dan hukum
Islam terhadap tradisi Ratiban di Desa Pandansari, kemudian data yang ada
dianalisis hingga dapat ditarik kesimpulan. Pendekatan penelitian dilakukan dengan
pendekatan empiris.
Setelah melakukan penelitian terhadap permasalahan tersebut, ditemukan
bahwasannya sejarah tradisi Ratiban dimulai sekitar tahun 1972, yang mana di
tahun tersebut Pandansari mengalami kemarau panjang hingga menipisnya
kebutuhan air dan dibarengi dengan adanya wabah penyakit hingga menyebabkan
banyak masyarakat yang meninggal dunia. Maka dari itu, akhirnya Eyang
Suryadiwangsa dan Eyang Turnayudhawarta bersama sesepuh desa menggagas
untuk mengadakan upacara adat yang kemudian sekarang disebut dengan Ratiban.
Adapun perspektif hukum adat mengenai tradisi Ratiban adalah wajib dilakukan
atau ada keharusan di dalamnya. Sedangkan perspektif hukum Islam mengenai
tradisi ini adalah boleh dilakukan, yang dinilai sebagai manifestasi dari ungkapan
syukur yang semata ditujukan kepada Allah SWT. Selain itu, karena sebab
perubahan sosial masyarakat di bidang keagamaan yang kemudian
mengakulturasikan budaya dan agama sehingga menjadi tradisi yang dapat diterima
oleh ajaran syari’at Islam.NIM.: 19103060041 Rochmi Wardhani2023-10-24T07:49:44Z2023-10-24T07:49:44Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/61754This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/617542023-10-24T07:49:44ZTRADISI MENRE BOLA BARU DALAM MASYARAKAT BUGIS SIDRAP: STUDI PANDANGAN TOKOH MUHAMMADIYAH DAN NAHDLATUL ULAMAThis research departs from the reality of the Sidrap Bugis community. Where these people have traditions or habits when moving to a new house or menre' new house. The tradition of menre' bola baru is a hereditary tradition that exists among the Bugis people. This tradition is carried out by the owner of the house as a form of gratitude to God for the fortune that has been given so that he can build a new house. The implementation of the menre' bola baru tradition raised pros and cons between religious leaders among Muhammadiyah and NU figures. There are rituals in this tradition that are considered inconsistent with Islamic law, resulting in differences of opinion among Muhammadiyah and NU figures
This study uses the ushul fiqh approach, which uses the urf theory. The type of research used is field research. Research in the field was used to obtain information related to the process of carrying out the menre' bola baru tradition and the views of Muhammadiyah and NU clerics in Sidrap Regency in Lalebata Village regarding the menre' baru bola tradition. Therefore the collection of data used in this study is interviews with informants and documentation. Where the appointed informants were religious leaders from Muhammadiyah and NU.
The results of this study explain that the tradition of menre' bola baru consists of four processes, namely: makkarawa bola, mappatettong bola, menre' bola baru and maccera bola. The existence of several rituals performed in this tradition resulted in differences of opinion from Muhammadiyah and NU figures. Muhammadiyah figures are of the opinion that this tradition should be abandoned because it is not explained in the texts (Al-Qur'an and Hadith) and was never carried out by Rasulullah and his companions, so that it could lead to bid'ah, whereas according to NU figures, the tradition of menre' bola can only be only as long as in the implementation there is nothing that deviates from the teachings of Islam such as rubbing chicken blood in parts of the house that are believed to be able to avoid danger. Then this tradition contains many good wishes for homeowners. The good hope lies in the meaning of each ritual and typical Bugis cakeNIM.: 19103060016 Achmad Jaelani Yusuf2023-10-24T04:34:05Z2023-10-24T04:34:05Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/61750This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/617502023-10-24T04:34:05ZTRADISI BEGALAN DALAM PERKAWINAN DI KECAMATAN SOKARAJA (PERSPEKTIF TOKOH ADAT DAN TOKOH AGAMA ISLAM)Traditional Wedding ceremonies are one of the most important cultural elements and must be preserved for future generations. One of the wedding traditions of the Banyumas community is the Begalan. Although the name means robbery in Javanese, in practice the bride's party will "block" and "rob" the groom's party. The Begalan tradition is performed as part of the Slametan or Ruwatan art form. However, no Begalan tradition has been found from the time of the Prophet, until the time of Tabi'in. This may lead to a debate as to whether the performance of the Begalan tradition in marriage is in accordance with Islamic teachings. Further research is therefore needed into the religious aspects of the practice of the Begalan tradition. However, it is important to maintain and preserve the Begalan tradition as part of the cultural heritage of our ancestors.
Based on the above issues, this research has two problem formulations. First, How are the views of traditional leaders and Islamic religious leaders regarding the Begalan tradition. Second, How is the comparison between traditional leaders and Islamic religious leaders regarding the Begalan tradition according to 'Urf theory. This research is a type of field research. This research is descriptive comparative analytical. The approach used is the Us}u>l Fiqih approach. Data sources come from interviews, field observations, documents. The data analysis method in this research is using qualitative data analysis.
Based on the data collected and analysed, this study made several findings. First, according to Suparto (a traditional leader), the Begalan tradition is highly recommended to be carried out because it is a tradition passed down from previous elders and has been adjusted to Islamic law. Begalan tradition has a very important role in the wedding ceremony because it contains useful advice for the bride and groom. Second, according to Drs Dawud Buang (Islamic Religious Leaders) Basically it does not matter if the community carries out the tradition or is allowed to be implemented. Because, in the implementation there is gratitude to Allah subhanahu wa ta'ala, sholawat and greetings to the Prophet shalalahu 'alaihi wa salam, and prayers to Allah subhanahu wa ta'ala. Begalan tradition there is cultural acculturation with Islamic law so that it is in accordance with Islamic law. Begalan is part of al-‘Urf al-'amali. These are the habits of society related to ordinary actions or civil muamalah. Begalan belongs to the category of al-’Urf al-Khas{. These are the customs that prevail in certain communities and regions. Begalan is considered part of al-’Urf al-s{ohi>h, i.e. the custom prevailing in society that does not contradict the nash (verse or hadith), does not take away its benefit, and does not bring mudharat to it.NIM.: 19103060014 Asyam Haidar Fathin2023-10-24T03:17:58Z2023-10-24T03:17:58Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/61731This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/617312023-10-24T03:17:58ZLARANGAN PERNIKAHAN DI BAWAH UMUR (STUDI PERATURAN DESA GERENENG TENTANG PRAKTIK MERARIQ KODEK DI DESA GERENENG KECAMATAN SAKRA TIMUR KABUPATEN LOMBOK TIMUR)Tradisi merariq merupakan rangkaian proses pernikahan menurut adat suku Sasak. Hingga saat ini tradisi merariq masih terus dilaksanakan dan dilestarikan demi menjaga kearifan lokal suku Sasak. Umumnya yang melakukan tradisi merariq adalah orang yang telah cukup umur atau yang sudah dewasa. Namun tidak ada usia yang pasti dalam peraturan adat Sasak untuk menentukan kapan seseorang diperbolehkan menikah. Sehingga banyak terjadi praktik pernikahan dini atau biasa disebut Merariq Kodek. Merariq kodek adalah pernikahan yang dilakukan oleh pasangan atau salah satu dari pasangan yang masih di bawah usia legal pernikahan menurut peraturan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yang diperbaharui dengan Undang-Undang No.16 Tahun 2019 Tentang Pernikahan. Dahulu praktik pernikahan bawah umur / merariq kodek ini memang sudah banyak dilakukan, namun praktik merariq kodek kini sudah tidak sesuai lagi untuk dilakukan karena memunculkan banyak permasalahan yang harus dihindari. Praktik merariq kodek marak terjadi di setiap daerah di NTB, begitu juga dengan Kabupaten Lombok Timur. Hal ini membuat Pemerintah Daerah Kabupaten Lombok Timur menetapkan aturan demi mencegah praktik pernikahan dini / merariq kodek ini. Peraturan ini direspon oleh Pemerintah Desa Gereneng dengan menetapkan Peraturan Desa Gereneng No.9 Tahun 2020 tentang Pencegahan Merarik Usia Anak yang ditetapkan guna menekan hingga mencegah praktik pernikahan anak yang juga banyak terjadi di desa Gereneng tempat penelitian ini diadakan.
Penelitian ini merupakan penelitian dengan analisis kualitatif, menggunakan pendekatan sosiologi-antropologi hukum, berjenis penelitian lapangan (field research), sumber primer penelitian melalui studi literatur, pengumpulan data menggunakan wawancara, observasi, dan dokumentasi yang dilakukan di desa Gereneng, Kecamatan Sakra Timur, Kabupaten Lombok Timur.
Hasil dari penelitian ini adalah bahwasanya pernikahan bawah umur atau praktik merariq kodek masih banyak dilakukan dalam masyarakat Sasak, khususnya di desa Gereneng yang menjadi lokasi penelitian ini. Merariq kodek di desa gereneng masih banyak terjadi karena beberapa faktor, diantaranya faktor adat, kecelakaan / married by accident, pengaruh sosial media, dan lain-lain. Dengan ini, pemerintah desa mengeluarkan regulasi untuk mengatur kasus praktik merariq kodek / pernikahan bawah umur yang terjadi di gereneng ini, yaitu Peraturan Desa No. 9 Tahun 2020 tentang Pencegahan Merarik Usia Anak, selain digunakan untuk mencegah dan menekan angka praktik merariq kodek, peraturan desa ini juga digunakan untuk menekan angka putus sekolah dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di desa gereneng. Peraturan ini memuat aturan tentang perilaku-perilaku yang dapat menyebabkan merariq kodek, larangan pernikahan dini / merariq kodek, sanksi / hukuman, dan beberapa aturan tambahan lainnya.NIM.: 19103050012 Fatimah Azzahra2023-10-23T02:03:13Z2023-10-23T02:03:13Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/61632This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/616322023-10-23T02:03:13ZTRADISI DENDAN KARENA MENIKAH MENDAHULUI SAUDARA
KANDUNG DI KALANGAN MASYARAKAT DESA KURIPAN
KAPENAWON WATUMALANG KABUPATEN WONOSOBO
PERSPEKTIF TOKOH NU DAN MUHAMMADIYAHTradisi adat dendan merupakan tradisi yang masih dilaksanakan oleh
masyarakat karena sang adik telah mendahului kakaknya dalam menikah sedangkan
kakaknya belum menikah. Dalam pelaksanaannya tradisi dendan memiliki tujuan
untuk meminta restu kepada kakaknya untuk menikah serta sebagai penghormatan
kepada yang lebih tua. Masyarakat Desa Kuripan Kapenawon Watumalang
Kabupaten Wonosobo percaya bahwa jika tidak melakukan tradisi dendan ada
kekhawatiran kedepannya dalam membina rumah tangga akan ditempa musibah.
Bertujuan untuk: 1) Untuk mengetahui mengapa adanya tradisi dendan di Desa
Kuripan Kapenawon Watumalang Kabupaten Wonosobo. 2) Untuk mengetahui
bagaimana pandangan dari dua organisasi Nu dan Muhammadyah mengenai tradisi
dendan di Desa Kuripan Kapenawon Watumalang Kabupaten Wonosobo.
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research) yaitu sumber
data diperoleh secara langsung dari pelaku yag melaksanakan tradsi adat dendan.
Penelitian bersifat deskriptif-kualitatif dengan pendekatan Usul Fikih. Data primer
yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh melalui wawancara dengan tokoh
Muhammadiyah dan tokoh Nahdhatul Ulama. Adapun teknik pengumpulan data
dalam penelitian ini menggunakan metode wawancara-observasi-dokumentasi.
Dalam menganalisis data, penelitian ini menggunakan metode deskriptif-analisiskomparatif
yakni menganalisis data dari hasil wawancara tokoh Muhammadiyah
dan tokoh Nahdhatul Ulama terkait adat dendan, kemudian menganalisis dan
membandingkan pendapat keduanya.
Hasil penelitian menunjukan bahwa: pertama Pelaksanaan tradisi adat
dendan di desa Kuripan mayoritas masih menganut kepercayaan yang diwariskan
oleh para leluhur. Tradisi tersebut perlu dilaksanakan karena sebagai wujud
penghormatan adik kepada kakaknya untuk meminta izin atau restu karena telah
mendahului kakanya untuk menikah. Jika tidak dilakukan masyarakat khawatir
akan terjadinya musibah di kemudian hari. Kedua, Dalam pelaksanaan tradisi adat
dendan Desa Kuripan menjadi status hukum karena dijadikan sebagai ‘urf shahih
yang menjadi kebiasaan dan dilaksanakan secara turun temurun di masyarakat
setempat. Sedangkan apabila dalam pelaksanaannya cenderung memberatkan
kedua belah pihak serta menimbulkan dampak buruk maka dianggap sebagai ‘urf
al-fāsid sedangkan jika tidak memberatkan dan terdapat kerelaan keridhoan serta
kedamaian bagi semua pihak maka di kategorikan sebagai ‘urf aṣ-ṣaḥīḥ.
Sementara dari dua pandangan tokoh yaitu pandangan NU membolehkan
adanya tradisi denda karena tidak menyalahi syariat dan tidak menghalalkan yang
haram dan sebaliknya sedangkan menurut tokoh Muhammadiyah tetap tidak
membenarkan adanya tradisi dendan karena tidak adanya perintah dan sunnah yang
membolehkan atau menganjurkan tradisi tersebut adaNIM.: 16360060 Rizal Adi Bagus2023-10-18T01:37:22Z2023-10-18T01:37:22Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/61377This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/613772023-10-18T01:37:22ZPERINGATAN HAUL VIRTUAL: STUDI HAUL KH. M. SHOLIH TSANI DAN KH. ALI MAKSUMKajian ini membahas tentang haul tokoh pesantren, yaitu haul KH. M.
Sholih Tsani ke-122 dan haul KH. Ali Maksum ke-32 yang merupakan edisi spesial
karena dilaksanakan secara virtual akibat pandemi. Kajian ini menarik diteliti
sebab, pertama, haul KH. M. Sholih Tsani dan KH. Ali Maksum dipilih untuk
merepresentasikan karakter komunitas tradisionalis dan modernis. Kedua, kegiatan
haul virtual memunculkan interaksi baru berisi luapan respon, emosi, dan perasaan
partisipan melalui kolom chat ketika mengikuti acara ini. Ketiga, ada beragam
pemaknaan partisipan terhadap haul virtual. Fokus pembahasan kajian ini meliputi
bagaimana pelaksanaan haul virtual KH. M. Sholih Tsani dan KH. Ali Maksum,
bagaimana respon partisipan terhadap peringatan tersebut, dan bagaimana
pemaknaannya menurut partisipan.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif. Studi terhadap haul
virtual ini menggunakan metode deskriptif analitik dan pendekatan netnografi.
Pendekatan netnografi secara khusus digunakan untuk melihat proses pelaksanaan
kegiatan di media sosial, tanggapan partisipan, serta rangkaian aktivitas yang
melingkupinya. Dalam rangka menguak informasi tentang kegiatan tersebut, data
diperoleh melalui teknik observasi, wawancara, dan dokumentasi. Data ini
kemudian dikemukakan dengan analisis deskriptif eksplanatif.
Temuan kajian ini meliputi, pertama, sepanjang perjalanannya haul KH. M.
Sholih Tsani dan KH. Ali Maksum ramai oleh partisipan terutama pada puncak
acara. Makam kedua tokoh juga tidak sepi dari para peziarah. Perubahan terjadi saat
pandemi yang mana kegiatan dilaksanakan di pesantren masing-masing dengan
undangan yang terbatas. Acara pun disiarkan via Youtube pesantren demi
menjangkau partisipan lebih luas. Kedua, Haul virtual menghadirkan respon
beragam dari partisipan. Perbedaan yang terasa adalah semarak haul lantaran tradisi
baik seperti menyambut tamu dan berziarah ke makam tidak bisa dijalankan.
Suasana haul pun sepi akibat tidak ada para pedagang di sekitar pusat acara.
Sementara itu, siaran haul di Youtube beberapa kali error akibat perangkat teknis
yang kurang mendukung. Meskipun demikian, beberapa partisipan mengaku bahwa
haul virtual tetap efektif dijalankan dengan situasi dan kondisi di masa pandemi.
Ketiga, berdasarkan teori uses and gratification, sebagian partisipan menjadi
penikmat sekaligus aktif mendeskripsikan perasaannya. Motif partisipan dalam
mengikuti acara yaitu melaksanakan kegiatan pesantren, bersilaturahmi virtual,
menghadirkan memori masa lampau, dan meraup keberkahan. Sedangkan dalam
teori sosiologi pengetahuan, proses eksternalisasi terjadi saat individu berbaur
dengan lingkungan. Pengetahuan tentang memuliakan guru dan mendapatkan
keberkahan merupakan hasil dari penyerapan tindakan orang lain dan pengamatan
terhadap fenomena di masyarakat. Proses berlanjut ke tahap objektivasi di mana
hasil tipifikasi kegiatan orang lain melahirkan sebuah konsep besar tentang haul
dan keberkahan. Konsep ini menjadi pengetahuan umum di masyarakat sehingga
mereka melakukan satu tindakan bersama-sama pun dengan tujuan yang sama. Pada
momen internalisasi, tindakan yang terobjektivasi diterima kembali oleh individu
sebagai kenyataan subjektif dan mungkin akan mengalami perubahan di masa
mendatang dari diri sendiri maupun saat bertemu komunitas baru.NIM.: 19200010131 Ibrizatul Ulya2023-10-17T01:52:11Z2023-10-17T01:52:11Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/61322This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/613222023-10-17T01:52:11ZTRADISI KEAGAMAAN SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN DI PONDOK PESANTREN NURUL UMMAH KOTAGEDE YOGYAKARTAThe background of this research is the importance of preserving religious activities in Islamic boarding schools as a tradition that is carried out continuously and continuously. This is considering that nowadays religious activities in Islamic boarding schools are no longer in demand by many people, because someone lacks confidence and believes in the values contained in these religious activities. In fact, if you look at the lessons learned from religious activities in Islamic boarding schools, there are many. One of them is as a learning medium in an effort to get closer to Allah SWT. The objectives of this study are 1) To find out the implementation of religious traditions as learning media at the Nurul Ummah Islamic Boarding School. 2) To find out the impact of religious traditions as learning media at the Nurul Ummah Islamic Boarding School.
This research is a qualitative research by taking the research subjects as the Chairperson of the Nurul Ummah Islamic Boarding School, the Nurul Ummah Islamic Boarding School Board, the Administrators/Asatidz of the Nurul Ummah Islamic Boarding School, and the Santri of the Nurul Ummah Islamic Boarding School. The research object lies in the urgency of religious tradition as a learning medium for students. Data collection was carried out by interview, observation, and documentation methods. Researchers in data analysis techniques use data reduction, data display, and conclusions.
The results of the study show that: 1) The religious traditions studied by researchers are mujahadah, tahlilan, prayer, and haul, 2) The implementation of religious traditions at the Nurul Ummah Islamic Boarding School requires a medium that is used as an intermediary in the learning process. 3) The benefits of learning media in religious traditions are as learning about discipline, piety, honesty, self-awareness, responsibility, and empathy. Then there are strategic steps in implementing religious traditions as learning media, namely by habituation, supervision, and evaluation.NIM.: 21204011006 Syakur Wildan2023-10-06T04:10:18Z2023-10-06T04:10:18Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/60902This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/609022023-10-06T04:10:18ZGAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN KUALITAS PSIKOLOGIS ORANG YANG MENJAGA TRADISI WETON DAN NETON"The weton tradition is a heritage passed down from ancestors. Weton it self can be used in various events such as weddings, tingkeban (baby shower), housewarming, house construction, and others. Knowledge and attitudes regarding weton have an impact on the belief in weton customs used in marriage. This research aims to uncover the knowledge and attitudes of Javanese people who believe in the weton tradition in marriage. The study adopts a qualitative ethnographic approach, with subject selection using purposive sampling and sample size determined through snowball sampling. The research was conducted from January to June 2023. involving three informants who are Javanese and understand and believe in the weton tradition, this is evidenced by the public's trust in informants in dealing with weton problems. The research findings indicate that the knowledge of informants 1 and 2 shares similarities in the learning process about weton, which primarily comes from their family environment, especially from their parents. In contrast, informant 3 learned from others or a teacher. Attitudes towards weton show that informant 1 follows weton values if they consider it appropriate and in line with beneficial values, combined with Islamic teachings. On the other hand, informants 2 and 3 believe in and adhere to the original weton tradition before it underwent acculturation with Islamic teachings."NIM.: 19107010004 Istifani Tsamrotul Laina2023-09-15T09:05:31Z2023-09-15T09:05:31Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/60275This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/602752023-09-15T09:05:31ZUPACARA SEDEKAH BUMI DI DESA PLOSOREJO KECAMATAN PUCAKWANGI KABUPATEN PATIPenelitian ini bertujuan untuk menegetahui definisi dari sedekah bumi dan apa yang melatarbelakangi munculnya tradisi tersebut serta bagaimana prosesinya di desa Plosorejo. Selain itu dalam enilitian ini akan dibahas pula mengenai nilai keagamaan, sosial, dan bidaya yang terkandung dalam upacra sedekah bumi di desa Plosorejo. Subjek penelitian ini adalah penduduk Desa Plosorejo secara umum, dan petani serta pendukung upacara sedekah bumi secara khusus sehingga metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan historis. Dari penelitian ini dapat diketahui bahwa sedekah bumi atau kabumi awalnya merupakan salah satu kegiatan upacara tradisional yag dilakukan masyarakat agraris di desa plosorejo dan dilaksanakan satu tahun sekali pada bulan Apit di hari Ahad Kliwon. Namun seiring perkembangan waktu dan berbagai faktor, sedekah bumi yang awalnya dilakukan di punden kini dilakukan di masjid atau langgar. Setelah pembacaan doa di masjid atau langgar, beberapa perangkat desa akan pergi ke punden untuk menaruh ambeng yang menjadi salah satu syarat khas sedekah bumi. Bagi warga desa Plosorejo, sedekah bumi selain untuk memudahkan dalam berinteraksi satu sama lain, juga akan mendorong ,asyarakat untuk melestarikan nilai-nilai agama yang akan berdampak pada dimensi sosial, ekonomi, dan budaya mereka.NIM.: 01120672 Maria Ulfa2023-09-13T01:56:55Z2023-09-13T01:56:55Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/60287This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/602872023-09-13T01:56:55ZKEARIFAN LOKAL SEBAGAI MEDIA DAKWAH (STUDI KASUS PADA TRADISI HARI RAYA ENAM DI DESA UJUNG PASIR KABUPATEN KERINCI JAMBI)For the people of Ujung Pasir Village, Hari Raya Enam is a holiday that is eagerly awaited for its implementation. This tradition is very special, it even looks like it is more prioritized than Eid Al-Fitr. It has become a tradition in Ujung Pasir Village that Hari Raya Enam is very lively compared to other holidays because of the many meanings contained in the ritual. From this background, the researcher is interested in scientifically researching the Hari Raya Enam as a Da'wah Media in Ujung Pasir Village, Kerinci District, Jambi. In order to see as a whole the practice of the Hari Raya Enam as a medium of preaching in the people of Ujung Pasir Village, Kerinci Regency. The purpose of this study is to describe the da'wah media contained in the local wisdom of the Hari Raya Enam tradition in Ujung Pasir Village. Therefore, the writer uses Asmuni Syukir's theory about da'wah media and to analyze it, da'wah messages also use the same theory conveyed through the Hari Raya Enam tradition.
This research is a field research, so the research is more qualitative. In field research, there is a lot of homework that must be done by researchers, especially with the respondents being observed. This is intended so that researchers can understand social reality more deeply. The data source in this study that can be used as a reference is the people of Ujung Pasir Village, Tanah Cogok District, Kerinci Regency. To determine the data in this study, the researcher looked for subjects who were in accordance with their duties or positions and looked at their involvement and contribution to the Hari Raya Enam tradition.
The results of this study will refer to what the da'wah media looks like in Hari Raya Enam tradition, namely: 1) Hari Raya Enam in Ujung Pasir Village can be identified as a medium of da'wah because it teaches a lot of da'wah messages such as faith and worship. This is in line with the theory put forward by Asmuni Sukir about da'wah media using cultural and traditional media, who are even taught direct practice of how the ritual is carried out. 2) This da'wah is carried out and conveyed in a very cultural way, such as da'wah efforts carried out through cultural activities, so that later the people who come and participate in the event do not feel being lectured and lectured on, this makes the mad'u community indirectly feel that they are not being preached to, even though they are is the target of da'i da'i. In fact, the community was prospected to participate in and carry out the activities of the Hari Raya Enam. So these Hari Raya Enam can be called a practical medium in the study of da'wah.NIM.: 20202011021 Rahmat Pike Pirnanda2023-07-21T03:49:02Z2023-07-21T03:49:02Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/59962This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/599622023-07-21T03:49:02ZTRADISI TINGKEBAN PADA MASYARAKAT DUSUN KANDANGAN, SUGIHWARAS, PRAMBON, NGANJUK (Studi Living Hadis)Jawa merupakan salah satu pulau yang kaya akan berbagai tradisi dan budaya yang masih terjaga dengan baik hingga saat ini. Seiring berjalannya waktu, berbagai tradisi yang dilestarikan oleh masyarakat mulai terkikis. Salah satunya adalah tradisi tingkeban atau tradisi memperingati tujuh bulan kehamilan seorang wanita. Namun berbeda dengan tradisi tingkeban yang ada di Dusun Kandangan, tradisi ini dilakukan masyarakat saat usia empat bulan kehamilan wanita. Dalam proses pelaksanaannya, tradisi tingkeban sangat dipengaruhi oleh budaya Jawa yang di dalamnya terdapat simbol-simbol yang penuh makna. Fokus penelitian ini adalah untuk menjawab rumusan masalah yang ada dalam penelitian ini yaitu, bagaimana praktik tradisi tingkeban di Dusun Kandangan, Sugihwaras, Prambon, Nganjuk sebagai living hadis, dan bagaimana resepsi masyarakat Dusun Kandangan, Sugihwaras, Prambon, Nganjuk terhadap hadis yang melandasi tradisi Tingkeban. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif. Teori yang digunakan peneliti adalah teori kontruksi sosial yang digagas oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman. Lokasi penelitian ini adalah di Dusun Kandangan, Sugihwaras, Prambon, Nganjuk. Penelitian berlangsung selama kurang lebih enam bulan dan sumber data yang digunakan adalah primer dan sekunder. Penelitian ini dilakukan dengan cara observasi langsung, wawancara, dan dokumentasi.
Tradisi tingkeban di Dusun Kandangan dilaksanakan pada usia kehamilan empat bulan. Proses pelaksanaan tradisi diawali dengan pembukaan, pembacaan tawasul tahlil, pembacaan surat-surat pilihan, meniup segelas air putih yang didoakan, memecah cengkir gading bagi janin yang dikandung merupakan calon anak pertama dari pasangan suami istri, dan terakhir tasyakuran/makan bersama. Perlengkapan yang dibutuhkan dalam tradisi tersebut antara lain, cengkir gading dibutuhkan ketika tradisi tingkeban calon anak pertama, rujak tujuh macam, polo pendem, jenang sengkolo, jenang procot, dan air putih. Peneliti melakukan analisis dengan berdasarkan teori kontruksi sosial yang digagas oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman untuk mengetahui bentuk resepsi masyarakat Dusun Kandangan terhadap hadis yang melandasi tradisi tingkeban, dengan proses kontruksi sosial dapat disimpulkan bahwa tradisi tingkeban di Dusun Kandangan merupakan resepsi dari hadis Nabi Muhammad SAW tentang permulaan penciptaan makhluk dan takdir yang didapatkan dari agen atau tokoh yang memiliki pengetahuan agama. Dengan mengikuti ajaran para tokoh agama, secara tidak langsung masyarakat telah menerima, menyakini, dan mengamalkan sebuah hadis Nabi Muhammad SAW. Masyarakat merasa bahwa tradisi tingkeban yang dilaksanakan pada saat ini merupakan tradisi yang baik dan bermanfaat bagi calon anak yang ada di kandungan serta ibu yang mengandung.NIM.: 19105050049 Ahmad Nur Hakim2023-07-18T07:20:10Z2023-07-18T07:20:10Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/59934This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/599342023-07-18T07:20:10ZPEMBACAAN SURAH AT-TAUBAH DALAM TRADISI KEBA TUA (Studi Living Qur’an di Pedukuhan Tembana, Kutosari, Kebumen)Tradisi pembacaan surah at-Taubah dalam ritual keba tua di Pendukuhan Tembana, Kec. Kebumen, Kab. Kebumen, merupakan bentuk ritual masyarakat yang berimplementasi terhadap Al-Qur’an. Kajian ritual masyarakat ini diperlukan untuk menambah khazanah keilmuan Islam dan mempelajari berbagai macam fenomena sosial dan keagamaan yang bekaitan dengan Al-Qur’an. Fokus kajian dari skripsi ini dibatasi pada dua masalah: Bagaimana prosesi pembacaan surat at-Taubah dalam ritual keba tua yang dilakukan oleh masyarakat Tembana? Dan pemaknaan surah at-Taubah oleh masyarakat Tembana dalam ritual keba tua?. Fenomena-fenomena ini yang melatarbelakangi penulis dalam mengangkat kembali sebuah keunikan yang ada pada tradisi ini. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif-deskriptif dengan metode observasi, wawancara, dan dokumentasi. Pendekatan living Qur’an digunakan untuk melihat bagaimana resepsi masyarakat terhadap Al-Qur’an, dan bagaimana Al-Quran memberikan makna dan realitas yang unik kepada masyarakat dalam tradisi keba tua. Teori Sosio-Antropologi milik Clifford Geertz menjadi teori yang penulis gunakan dalam membaca sistem simbol, perasaan dan motivasi, konsepsi eksistensi, konsepsi faktual, dan realitas yang unik.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa, pertama, prosesi pembacaan surah at-Taubah diawali dengan penyampaian isi acara dan pelaku tradisi. Kemudian pembacaan hadarah dilanjutkan pembacaan surah at-Taubah dan ditutup dengan doa. Pembacaan surah at-Taubah dilakukan secara bersama-sama dengan ketentuan pembagian yang telah dibagi dan memenuhi kriteria untuk membaca. Biasanya tokoh masyarakat dan yang bacaannya sesusai dengan ketentuan membaca Al-Qur’an. kedua, tentang tradisi pembacaan surah at-Taubah dalam ritual keba tua di Tembana, mencermati dengan teori antropologi interpretatif Clifford Geertz, dapat disimpulkan bahwa tradisi ini merupakan fenomena sosial budaya yang diwariskan turun-temurun melalui tradisi lisan, tanpa melalui pembelajaran formal. Pemahaman sosial terhadap makna simbol menimbulkan berbagai makna pribadi yang berbeda. Makna yang beragam apabila ditarik benang merahnya, makna yang berbeda terhubung satu sama lain. Keterkaitan itu berupa commen sense tentang pentingnya Al-Qur’an sebagai bagian dari kehidupan mereka. Masyarakat Tembana meyakini dengan menjadikan surah at-Taubah sebagai bagian dari keba tua, maka harapan-harapan mereka akan tercapai. Makna ini tidak hanya milik individu, akan tetapi telah menjadi makna sosial yang diyakini oleh masyarakat Tembana secara keseluruhan.NIM.: 18105030060 Akhmad Athoilah Sohibul Hikam2023-07-13T02:16:02Z2023-07-13T02:16:02Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/59846This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/598462023-07-13T02:16:02ZTELAAH ATAS RITUAL KALOMBA DI TENGAH PERUBAHAN SOSIAL (STUDI DESA TANAH TOWA KEC. KAJANG KAB. BULUKUMBA PROV. SULAWESI SELATAN)Ritual kalomba yang selama ini dijaga dan dipertahankan oleh masyarakat adat kajang di hadapkan dengan perubahan sosial, sehingga menjadi tantangan yang harus di jawab agar ritual tersebut tetap bertahan dalam pusaran perubahan. Kuatnya pengaruh yang berasal dari luar seperti ilmu pengetahuan, tekhnologi dan agama menjadi sesuatu yang sulit untuk di bendung sehingga dapat mempengaruhi ritual kalomba. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bentuk perubahan dalam ritual kalomba.
Untuk mengetahui perubahan dalam ritual kalomba, maka penelitian ini menggunakan teori Peter L Berger. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, dengan melakukan observasi partisipatif dan wawancara mendalam. Adapun tekhnik analisis data yang dilakukan meliputi reduksi data, paparan data dan penarikan kesimpulan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ritual kalomba yang merupakan hasil kreativitas masyarakat adat Kajang yang telah dilakukan secara turun temurun ternyata mengalami perubahan. Dengan kemampuannya masyarakat adat kajang melakukan taktik dan strategi dalam merespon perubahan sosial dengan cara melakukan presistensi. Ritual kalomba yang telah tertanam kuat merupakan hasil konstruksi masyarakat adat kajang telah mengalami transformasi dengan memberikan ruang terhadap agama yaitu islam sehingga menciptakan akulturasi budaya.NIM.: 20205022002 Syamsul Alam, S. Sos2023-07-13T02:03:49Z2023-07-13T02:03:49Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/59841This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/598412023-07-13T02:03:49ZTRADISI (HAUL) MASYARAKAT DI KAMPUNG CIBITUNG RONGGA BANDUNG BARAT (LIVING HADIS)Tradisi yang merupakan suatu kebiasaan dalam masyarakat yang menjadi adat istiadat dan kemudian di asimilasikan degan ritual dan adat agama, salah satu tradisi yang ada di masyarakat adalah tradisi haul yang di laksanakan di kampung Cibitung, Rongga, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat yang memilki karakteristik serta keuinikan tersendiri dalam pelaksanaannya serta antusias yang tinggi dari masyarakat meski dengan situasi yang sudah modern masyarakat tidak kehilangan antusiasnya untuk mengikuti tradisi yang ada, di samping itu hadis merupakan sesuatu yang penting bagi masyarakat khususnya muslim karena dalam hadis tersebut berisi tentang ketetapan, perbuatan, serta ucapan Nabi yang kemdian dijadikan sebagai landasan hukum bagi masyarakat.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif dengan menggunakan teori living hadis sebagai pisau analis utama untuk kemudian menemukan adanya landasan hadis yang terdapat dalam tradisi haul tersebut serta menggunakan teori tindakan Max Weber yang digunakan untuk menganalisis tindakan sosial masyarakat dalam tradisi haul tersebut. Lebih lanjut guna mendukung penelitian ini penulis menggunakan metode pengumpulan data yaitu metode wawancara, observasi, dan dokumentasi data yang telah di dapatkan kemudian di deskripsikan untuk kemudian di analisis.
Setelah melakukan penelitian tersebut penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa dalam melaksanakan tradisi tersebut masih dilandaskan kepada hukum hukum dalam Islam yakni Al-Qur’an dan juga hadis meski demikian tradisi tersebut di imbangi dengan budaya leluhur pada masa lalu yang bertahan hingga masa kini, dalam pelaksanaan tradisi tersebut masyarakat memilki antusias yang tinggi untuk mengikuti acara tersebut yang kemudian diketahui lebih lanjut hal tersebut karena adanya makna atau arti bagi dirinya sendiri secara subyektif dalam mengikuti tradisi haul tersebut.NIM.: 19105050047 Aidah Nuranindita2023-07-12T07:30:17Z2023-07-12T07:30:17Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/59831This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/598312023-07-12T07:30:17ZHUKUM PELAKSANAAN TRADISI LOLOBEREN DESA JENANGGER, KECAMATAN BATANG-BATANG, KABUPATEN SUMENEP (Studi Komparatif Tokoh Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama)Skripsi ini berjudul “Pelaksanaan Tradisi Loloberen Desa Jenangger, Kecamatan Batang-Batang, Kabupaten Sumenep Menurut Tokoh Muhammadiyah Dan Nahdhatul Ulama.” Penelitian dalam skripsi ini dilatarbelakangi oleh adanya suatu tradisi di masyarakat desa Jenangger yang mengundang polemik mengenai status hukum tradisi dilihat dari kacamata syariat Islam, sehingga terjadi perdebatan antara Tokoh Muhammadiyah dan Nadhlatul Ulama. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research) dan data diperoleh menggunakan teknik wawancara dan dokumentasi. Analisis dalam penelitian ini menggunakan analisis komparatif dalam menguaraikan data tentang praktik loloberen, yaitu analisis yang berpedoman pada upaya membandingkan dua variabel atau lebih. Lebih lanjut penelitian ini menggunakan teori ‘urf sebagai pisau bedah dalam analisis. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa: Tokoh Muhammadiyah Kecamatan Batang-Batang sepakat bahwa tradisi loloberen hukumnya adalah haram sebab tidak ada tuntunannya dalam syari’at, tidak ditemukan dalil yang sharih menganjurkan atau membolehkannya. Menurut Tokoh Nahdlatul Ulama Kecamatan Batang-Batang sepakat bahwa tradisi loloberen sah dilaksanakan, sebab dalam praktiknya tidak ditemukan aktivitas yang melanggar syari’at. Semua rangkaian dalam tradisi loloberen sesuai dengan tuntunan syari’at. Tokoh Muhammadiyah berpendapat bahwa loloberen dilihat dari perspektif ‘urf termasuk ke dalam ‘urf fasid, sementara menurut Tokoh Nahdlatul Ulama loloberen termasuk ke dalam ‘urf shahih dan memenuhi syarat-syarat ‘urf sebagai dasar hukum. Namun, kedua tokoh tersebut sependapat bahwa ‘urf dapat dijadikan sebagai landasan pengambilan hukum.NIM.: 18103060084 Faiqur Rahman2023-07-12T07:28:04Z2023-07-12T07:28:04Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/59830This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/598302023-07-12T07:28:04ZQARDH DALAM PRAKTIK GANTANGAN DI DESA SINDANGSARI, KECAMATAN CIKAUM, KABUPATEN SUBANG STUDI PERBANDINGAN TOKOH ADAT DAN TOKOH AGAMATradisi sistem gantangan merupkan suatu pertukaran sosial yang ada di Subang, Jawa Barat yaitu suatu tradisi yang biasa dilakukan ketika mengadakan atau menghadiri acara hajatan, yakni berupa pencatatan sumbangan dan dihukumi seperti utang-piutang terdiri dari menyimpan, dan membayar. Ada tiga macam pertukaran sosial yang berlaku di kabupaten Subang, yakni sistem golongan, sistem gintingan, dan sistem nyumbang. Adapun gantangan termasuk kedalam sistem kedua yakni sistem gintingan atau dalam lingkungan masyarakat desa Sindangsari dikenal dengan sistem gantangan. Sistem gantangan biasanya dilakukan oleh masyarakat yang sudah berkeluarga saja. Masyarakat desa Sindangsari menganggap tradisi gantangan sebagai tabungan yakni yang bisa diambil kapan saja. Masyarakat desa Sindangsari juga menganggap bahwasannya ketika sedang membutuhkan dana banyak maka hajat adalah salah satu alternatif yang bisa dilakukan. Dalam melakukan penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian field research yakni penelitian lapangan yang dipadukan dengan penelitian kepustakaan, yakni dalam penelitian ini penulis beruasaha menggali langsung informasi seputar gantangan di lokasi penelitian, dan mengikuti tradisi gantangan secara langsung. Pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis dengan menggali informasi melalui wawancara bersama tokoh adat, tokoh agama, dan beberapa masyarakat desa Sindangsari dengan pendekatan analisis data menggunakan ‘urf dan mas{lah{ah{ mursalah, yang kemudian penulis bandingkan pandangan tokoh adat dan tokoh agama menganai tradisi gantangan ini. Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan mengenai tradisi gantangan tradisi tersebut masih dipertahankan oleh masyarakat desa Sindangsari karena dianggap sebagai tradis yang membatu dalam ekonomi dan menjunjung tinggi tradisi tolong-menolong. Menurut tokoh adat juga tradisi tersebut dianggap baik, sebagaimana tradisi tersebut merupakan suatu pertukaran sosial yang membantu khususnya dalam bidang ekonomi. Adapun menurut tokoh agama desa Sindangsari, pada dasarnya dalam tradisi gantangan tidak ada pelanggaran syara namun pada praktiknya ada beberapa kemad{aratan yang seharusnya dihilangkan. Dalam tradisi gantangan juga dianggapa akan tumbuhnya budaya dalam berutang.NIM.: 18103060013 Wulan Widianingsih2023-07-12T03:22:48Z2023-07-12T03:22:48Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/59819This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/598192023-07-12T03:22:48ZINTERAKSI AGAMA DAN TRADISI LOKAL (Studi Akulturasi dan Apropriasi dalam Bangunan Rumah Ibadah Masjid Agung Rantepao dan Gereja St. Theresia Rantepao di Toraja)The interaction between culture and religion in Toraja brings about social changes in various aspects of life. The cultured Toraja people get a new content of spirituality, while religion gets a new means to introduce the wealth of their faith. As a result of this interaction, the Toraja people are often confronted with clashes between traditions and religious teachings. Issues of culture and religious beliefs are one of the social problems encountered in today’s Toraja society. The pros and cons of using cultural symbols in the implementation of religious ceremonies are always a source of debate. This research examines the forms of religious and cultural interaction expressed in houses of worship in Toraja, namely the Great Mosque of Rantepao and the Church of St. Theresia of Rantepao, as the object of research. The three things that are the main studies are how the acculturation and appropriation of Islam and Catholicism in Toraja is in the house of worship at the Great Mosque and the Church of St. Theresia of Rantepao, what are the differences in the acculturation and appropriation of Islam and Catholicism in the Great Mosque of Rantepao and the Church of St. Theresia of Rantepao, and what are the cultural challenges and opportunities for Islam and Catholicism in Toraja. This research is qualitative research with a descriptive-analytic approach. The author approaches the object of anthropological research by using acculturation theories which view that there is always a mutual influence and adjustment between two cultures that meet. Research data was obtained from participatory observation, interviews, and documentation. This research is intended to find patterns of interaction between religion and culture. The process of interaction of religion and culture of Toraja has succeeded in forming a distinctive religious community in Toraja society, which practice religious teachings well but also uphold the cultural values that exist in society. The Great Mosque of Rantepao and the Church of St. Theresia of Rantepao are a form of acculturation of religious teachings regarding houses of worship and architecture of the Toraja people. The architecture of the Great Mosque of Rantepao and the Church of St. Theresia of Rantepao not only displays and takes into account the serenity and solemnity of the congregation when performing worship but also displays friendliness to the environment that upholds Toraja culture. The mosque and church buildings accommodate various symbols of the Toraja people. This study found that the acculturation process of Islam in the Great Mosque of Rantepao had reached the stage of accommodation and adaptation, while the acculturation process in the Church of St. Theresia of Rantepao came to the integration process. In addition, it was also found that the appropriation of the Great Mosque of Rantepao lies in the use of the longa (the roof of the building) and tongkonan (the traditional ancestral house) decorations, while the appropriation of the Church of St. Theresia of Rantepao can be seen in the use of alang (reed) as tabernacles which are decorated with reed ornaments.NIM.: 1630016019 Anthonius Michael2023-07-11T07:28:52Z2023-07-11T07:29:10Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/59796This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/597962023-07-11T07:28:52ZTRADISI MANGANAN DI PUNDEN DESA SINOMAN KABUPATEN PATI (TINJAUAN SEMIOTIKA FERDINAND DE SAUSSURE)Indonesia termasuk negara kultural yang mempunyai beragam budaya, agama, ras dan agama. Di setiap daerah yang ada, terdapat banyak ragam tradisi yang sampai saat ini masih dilaksanakan. Salah satunya yaitu, tradisi manganan. Tradisi manganan merupakan suatu tradisi turun temurun yang masih terjaga dan dilestarikan sampai sekarang. Tentunya, setiap daerah memiliki bentuk dan cara yang berbeda-beda disetiap masing-masing tradisi dalam pelaksanaannya, seperti halnya tradisi manganan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Sinoman Kabupaten Pati. Tujuan dari pelaksanaan tradisi manganan sebagai bentuk rasa syukur atas rezeki hasil panen padi berlimpah yang telah diberikan oleh Allah SWT dan sebagai bentuk penghormatan untuk para leluhur, karena memang mayoritas masyarakat berprofesi sebagai petani. Penelitian ini terdapat dua rumusan masalah, yaitu: (1) bagaimana pelaksanaan tradisi manganan di punden Desa Sinoman Pati. (2) bagaimana analisis Semiotika Ferdinand de Saussure dalam memandang tradisi manganan Desa Sinoman Pati.
Jenis penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan termasuk dalam penelitian di lapangan (field research) dengan pendekatan filosofis secara deskriptif dan normatif. Sumber data yang diperoleh dari observasi secara langsung turun ke tempat kejadian, wawancara dan dokumentasi. Kemudian data dianalisis dengan menggunakan Semiotika Ferdinand de Saussure yang difokuskan pada penanda (signifier) dan petanda (signified) untuk menemukan makna dibalik tanda yang dipaparkan. Sedangkan untuk sumber data diambil dari dua sumber, yaitu data primer dan data sekunder. Sumber data primer yang di dapat langsung peneliti dari hasil wawancara kepada para narasumber yaitu masyarakat Desa Sinoman Pati. Untuk sumber data sekunder diperoleh dari beberapa literatur seperti jurnal, artikel, skripsi dan buku. Sehingga, dengan semua itu dapat medorong keabsahan dan validitas data tentunya dalam penelitian ini.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan tradisi manganan dilaksanakan setiap satu tahun sekali di bulan Ruwah (Sya’ban) pada hari Jum’at Wage atau setelah panen. Masyarakat Desa Sinoman Pati percaya, bahwa melaksanakan tradisi manganan adalah bentuk pengharapan, yaitu berharap agar diberikan hasil panen padi yang berlimpah, keselamatan dan dipermudah segala urusan oleh Allah SWT dengan berdoa lewat perantara kepada leluhur. Prosesi pelaksanaan tradisi manganan dimulai dengan pembacaan tahlil, selametan dan shalawatan. Selain itu, terdapat beberapa sesajen yang berupa kembang boreh dan kemenyan sebagai sarana untuk permohonan doa, nasi putih bermakna kesucian, lauk pauk bermakna pertolongan, air putih bermakna kelancaran dan ayam ingkung bermakna pasrah dalam beribadah. Penanda dan petanda yang ada dalam tradisi manganan berasal dari adanya sistem dan struktur masyarakat Desa Sinoman Pati yang berkehidupan sebagai petani dan religius dalam beragama.NIM.: 19105010026 Ainurrofiatul Ulya2023-07-11T06:09:58Z2023-07-11T06:09:58Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/59769This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/597692023-07-11T06:09:58ZPRAKTIK TRADISI EBEG DI PURWOKERTO BANYUMAS DALAM PERSPEKTIF TOKOH ADAT DAN TOKOH AGAMA ISLAMTradisi Kesenian Ebeg sendiri dapat diartikan sebagai kesenian rakyat khas Kabupaten Banyumas berjenis tari-tarian yang memiliki pemain berjumlah lima sampai delapan orang diiringi dengan gamelan dan seperangkatnya. Kesenian Ebeg menceritakan latihan perang dengan menggunakan properti kuda terbuat dari anyaman bambu yang menggambarkan kegagahan prajurit berkuda dengan segala atraksi magisnya karena pemain Ebeg akan kesurupan. Para pemain kesurupan, bahkan kadang melakukan adegan-adegan yang bisa dibilang membahayakan. Adapun permasalahan yang muncul yaitu terkait praktik Ebeg seperti mendem yang menurut tokoh agama melanggar syariat dan anggapan tokoh agama islam bahwa Ebeg merupakan bentuk kesyirikan seperti sesaji dan kegiatan-kegiatan yang dilarang dalam islam seperti menyakiti diri sendiri berupa adegan ekstrim makan beling, kaca, jarum dan lain-lain. Selain itu syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi pemain Ebeg yaitu diharuskan menjalani banyak ritual-ritual khusus dan bersekutu dengan jin supaya bisa menjadi wayang. Adapun menurut tokoh adat Ebeg merupakan sebuah warisan leluhur yang harus dilestarikan, karena banyak manfaat baik secara budaya maupun ekonomi masyarakat sekitar yang terdam akibat adanya pegelaran Ebeg. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan jenis penelitian lapangan. Penelitian ini berusaha memecahkan masalah dengan menggambarkan problematika yang terjadi. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa peneliti ingin memahami, mengkaji secara mendalam serta memaparkannya tentang Praktik Tradisi Ebeg Di Purwokerto Banyumas Dalam Perspektif Tokoh Adat Dan Tokoh Agama Islam. Sedangkan pendekatan yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah ushul fiqih. Penelitian ini dilaksanakan di Di Purwokerto Banyumas dengan sumber data terdiri dari primer dan sekunder. Adapun teori yang digunakan yaitu teori ‘urf. ‘Urf adalah kebiasaan yang secara terus-menerus baik itu sikap, perbuatan, dan perkataan yang “biasa” dilakukan manusia atau manusia seluruhnya. Pengumpulan data menggunakan observasi partisipatif (participant observation), wawancara mendalam (indept interview), dan dokumentasi (documentation).
Hasil penelitian ini berupa: 1) Pandangan tokoh adat mengenai tradisi Ebeg yaitu tradisi Ebeg merupakan tradisi asli Banyumas yang harus dilestarikan karena tradisi ini merupakan warisan budaya leluhur yang memberikan banyak manfaat diantaranya sebagai hiburan masyarakat serta sarana peningkatan ekonomi. Sementara pandangan tokoh Agama Islam mengenai tradisi Ebeg yaitu Islam sangat melarang tradisi Ebeg karena Ebeg merupakan tradisi yang banyak mudhorotnya dari pada manfaatnya. 2)Faktor yang melatarbelakangi perbedaan pendapat terkait Ebeg yaitu faktor sosiologi dan antropologi, religiusitas, pendidikan, ekonomi.NIM.: 16360025 Danial Muhammad Milkiz2023-07-11T04:05:25Z2023-07-11T04:05:25Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/59779This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/597792023-07-11T04:05:25ZTRADISI BAJAPUIK DALAM PERKAWINAN ADAT DI NAGARI KURANJI HILIRCustomary practice of marriage is not usually a simply activity of ījāb qabūl, but there are stages before and after it. The same is true of one kind of customary marriage in Minangkabau which is Padang Pariaman Region characteristic, that is bajapuik tradition. Bajapuik tradition is a giving amount of money custom from the bride’s party to the groom’s party and its nominal has been negotiated by both sides mamak. For indigenous communities that are not following the tradition will be given certain social sanction, but in contrast to bajapuik tradition in Nagari Kuranji Hilir that its communities still do the tradition even though there is no sanction for who does not follow it. Then, this phenomenon is getting interesting to be explored and researched about the practice of bajapuik tradition in Nagari Kuranji Hilir and what motives bring about local communities still maintain the tradition. Then, can bajapuik tradition in Nagari Kuranji Hilir be considered as a law that society can follow according to ‘urf theory.
This study is a field research with qualitative method and analytical descriptive. This study uses sociological empirical approach and social action theory of Max Weber. The resource consists of primary and secondary resource. Primary data was collected with interviewing ninik mamak, alim ulama, cadiak pandai, and local communities who understanding the tradition. Secondary data was collected from amount of books and scientific journals.
The writter found characteristic of bajapuik tradition practice in Nagari Kuranji Hilir that contrast to bajapuik tradition in other regions because there is badoncek activity in it. Nagari Kuranji Hilir communities hold bajapuik tradition based on rational and irrational motives. Rationally, they do the tradition because certain goals and in order to certain values, and irrationally, due to the tradition has become a hereditary custom. Acording to ‘urf theory, bajapuik tradition in Nagari Kuranji Hilir can be considered as a law that society can follow.NIM.: 21203011057 M. Alfar Redha, S.H.2023-07-11T03:00:12Z2023-07-11T03:00:12Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/59777This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/597772023-07-11T03:00:12ZPRAKTIK PERHITUNGAN WETON DALAM PERNIKAHAN MASYARAKAT JAWA DI DESA SEKAPUK KEC. UJUNGPANGKAH KAB. GRESIK PROV. JAWA TIMUR PERSPEKTIF MAQASID ASY-SYARI’AHIndonesian society, especially Javanese society, has many traditions and cultural practices, especially in relation to marriage. Islamic law on marriage is actually quite straightforward and not too complicated. Marriage is considered valid if it fulfils the principles and requirements. However, in general, Javanese people when they want to do marriage must be accompanied by several traditions passed down by their ancestors, one of which is the calculation of the weton of the two prospective couples.
From the above background, the researcher wants to understand and analyse how the practice of weton calculation in Javanese marriage in Sekapuk Village, Ujungpangkah Kec. Gresik Regency, East Java Prov. East Java, as well as what the purpose and purpose of the tradition is. Therefore, the researcher formulated two problems, namely: (1) How is the practice of weton calculation in Javanese marriage in Sekapuk Village, and (2) How is the practice of weton calculation in Javanese marriage in Sekapuk Village from the perspective of maqāṣid ash-sharī'ah. This research is a field research, with a case study approach. The data analysis method used is descriptive qualitative, and data collection uses observation, interview, and documentation methods while the data sources used are primary data sources and secondary data sources.
The results of this study show that; first, the practice of weton calculation in marriage in Sekapuk Village has now become a custom, this is because the Weton tradition has been deeply bound and carried out repeatedly for generations. Second, according to the maqāṣid ash-sharī'ah perspective, the weton calculation is carried out in order to maintain the benefit, which is at the level of maṣlaḥah hajjiyāh. If the maṣlaḥah hajjiyāh is not fulfilled in human life, it can indirectly harm the five basic elements, but it does not suffer direct harm. It supports the realisation of the primary benefit/maṣlaḥah ḍārūriyyāh. If this benefit is not realised, there will be difficulties and limitations. Therefore, if a person wants to get married but it is not in accordance with the weton calculation, the marriage is still valid according to the level of maṣlaḥah hajjiyāh. Basically, weton counting is an effort to be careful in conducting a marriage that is considered very sacred, in order to avoid disasters later that cause disharmony in the family.NIM.: 20203012059 Vivin Nurwachidatin Nisa, S.H.2023-07-11T02:44:33Z2023-07-11T02:44:33Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/59774This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/597742023-07-11T02:44:33ZALASAN DAN MAKNA MASIH BERLAKUNYA TRADISI JUJURAN DALAM PERKAWINAN (STUDI KASUS DI DESA HAMPALIT KECAMATAN KATINGAN HILIR KABUPATEN KATINGAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH)Islam does not prescribe the method by which a marriage should be performed.
Everything is returned to the customs that take place in the area concerned. Islam
only provides restrictions on things that are not allowed when carrying out a
marriage ceremony and provides some recommendations in it. Before proceeding
to the level of marriage the prospective groom in the Hampalit Community must
give jujuran money to the prospective bride. Jujuran is a gift from the male party
to the female party, in the form of a sum of money whose amount is determined
by the female party. The jujuran nominal is usually in accordance with the social
status of the prospective wife and her parents in terms of position, occupation,
beauty and education level of the prospective wife. If the higher the social status
of the prospective wife, the greater the value of the jujuran money that must be
provided by the prospective husband.
Analyzing the problem of the jujuran tradition, the researcher focuses on two
main problems, namely the reason for the persistence of the jujuran tradition and
the meaning of jujuran in marriage for the Hampalit village community.
Researchers dissect this problem using the theory of legal sociology from Soejono
Soekanto and several supporting theories such as Sociology of Islamic law,
symbolic anthropology, Receptio a Concantario, Social Identity, Ta'awun to
analyze the reasons for the existence and meanings of the jujuran tradition. This
research also uses a descriptive-analytic type of field research with a legal
sociology approach to understand and dive into the basic thoughts that live in
society. This approach is useful for assessing the extent to which the process of
mutual influence (reciprocity) between the social system and the legal system.
The results of this study indicate that the jujuran tradition is still valid today as an
obligation to preserve and uphold customs that have been carried out for
generations and as a sign of seriousness and male responsibility. Furthermore, the
meaning contained in this jujuran is first, as an identity of male struggle. The
Hampalit Village community considers this jujuran tradition to be a portrait of the
identity of a struggle that has been indoctrinated for generations which is
indirectly formed internally in every man. In line with Erikson's explanation of
self-identity. Second, a form of respect for women. Jujuran is a symbol of respect,
because having a daughter for the Hampalit Village community is something that
is highly guarded and highly protected by its honor, in line with the concept of
muasyarah bil ma'ruf in the perspective of mubadalah. However, the existence of
this jujuran tradition does not guarantee that the family will become a sakinah
family because to be sakinah it takes time and other supporters not only about
material.NIM.: 20203012011 Lujeng Rizkiyah, S.H.2023-07-11T02:19:07Z2023-07-11T02:19:21Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/59766This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/597662023-07-11T02:19:07ZPRAKTIK PERHITUNGAN HARI PERNIKAHAN BERDASARKAN WETON : STUDI KASUS TRADISI PERHITUNGAN WETON PADA MASYARAKAT DUSUN GESIKAN, KECAMATAN NGLUWAR, KABUPATEN MAGELANGThis thesis discusses the unification of wedding day using Weton in Gesikan Hamlet, Ngluwar Village, Magelang Regency which still exist until today. For Gesikan residents, ensuring a good day is an action that must be taken into account because it is believed to be an effort in forming a sakinah mawaddah warohmah family. Gesikan Hamlet residents have someone who is an expert in the field of weton calculation, He is Mr. Zunianto. This calculation is only done once before the marriage takes place, when the results find suitable results, it is allowed to continue the marriage stage. Interestingly, when they find a mismatch in the calculation results but still want to get married, then there is a special ritual carried out after the wedding takes place. Among-among rice is provided as a symbol of gratitude, as well as a repellent for bala' or bad fate. However, the more advanced the people of Gesikan Hamlet slowly began to leave the petung tradition.
This research used field research method, observations of the Gesikan Hamlet community studied which is focused on the study of the weton calculation tradition and the beliefs of the Gesikan Hamlet community. Data collection in the field was carried out using the interview method to several community leaders, observation of the weton tradition and community beliefs, and documentation in order to obtain accurate results in writing the thesis. The approach used in this research is a legal sociology approach, the compiler observes how the weton calculation tradition and community beliefs are associated with Max Weber's Sociology theory, Dr. Ali Sodiqin's Anthropology, and maslahah mursalah.
Based on the results of the discussion of this study, it can be concluded that first, the practice of weton calculation in Gesikan Hamlet according to Max Weber includes traditional actions, based on this type of survival of the weton tradition because it has been passed down from generation to generation so that it has been deeply rooted. Second, weton calculations are carried out because Islam is a religion that respects tradition, a friendly and polite attitude in preaching is the hallmark of Islam as a religion that is rahmatan lil 'alamin. Responding to the Weton calculation tradition in Gesikan Hamlet can be seen from Dr. Ali Sodiqin's Qur'anic dialectic process with tradition as a form of taghyir. Its existence as a custom is actually allowed, as long as its implementation does not harm the creed and shari'at. Third, the basis used in carrying out this tradition is to follow the traditions of the predecessors as a form of prudence in conducting marriage so that unwanted things do not occur and damage harmony in marriage, basically this does not conflict with the basic concept of maslahah mursalah, maslahah is maintaining the objectives of shara' by maintaining everything that can damage the marriage.NIM.: 19203012030 Siti Musyarofah2023-07-06T04:12:40Z2023-07-06T04:12:40Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/59609This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/596092023-07-06T04:12:40ZPERNIKAHAN, TRADISI, DAN RIGHT TO EDUCATION: URGENSI PENDIDIKAN RESPONSIF GENDER DALAM PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN BERPENDIDIKAN BAGI MAHASISWI SULAWESI DI YOGYAKARTAThis thesis examines the phenomenon of marriage tradition and the construction of Sulawesi society which is a challenge for female students who decide to continue their education at an adult or mature age to get married, by looking at how a gender-responsive educational environment can strengthen the decision-making beliefs of Sulawesi female students who are currently studying in Yogyakarta. This study focuses on female students in the early adulthood age range and their relationship to the level of education and cultural traditions towards women. A social psychological approach with the concept of Women's Rights and Equality between Men and Women Mary Wollstonecraft which emphasizes the equality of men and women and the importance of education in overcoming negative social constructions aimed at women, and concept of Ecological Systems Urie Bronfenbrenner is used in this study to determine how is the decision-making process for female students in Sulawesi influenced by the process of lecture education as well as the environment and traditions so that it makes them confident in continuing higher education based on an environmental systems approach that shapes one's development. This study used a qualitative method with descriptive-analytic techniques and data collection techniques in the form of in-depth interviews with 10 Sulawesi female students who were continuing their undergraduate education in Yogyakarta. This research found that tradition, social construction, and negative stereotypes are still a challenge for female students in Sulawesi in accessing higher education. However, the experiences they get in an environment in the form of gender-responsive education and also support from various parties, especially the family, make them feel confident and think more positively, and are increasingly aware of the role of women who can do more than just take care of domestic affairs. Through this research, the authors conclude that gender-responsive education and various experiences, as well as other social contexts in female students' environments, can influence their confidence to continue their education.NIM.: 21200011094 Nurwijayanti2023-07-04T01:22:31Z2023-07-04T01:22:31Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/59445This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/594452023-07-04T01:22:31ZFAKTOR PERUBAHAN SOSIAL DALAM TRADISI SINOMAN DI PADUKUHAN WARUNGPRING KALURAHAN MULYODADI KAPANEWON BAMBANGLIPURO KABUPATEN BANTULLatar belakang masalah penelitian tradisi sinoman merupakan tradisi yang sudah turun temurun ada sejak lama yang diwariskan dari generasi ke generasi yang dilakukan oleh pemuda yang tugasnya yaitu menyajikan makanan dan minuman kepada tamu undangan pada acara hajatan pernikahan, pengajian, dan acara kematian. Tradisi sinoman tersebut diharapkan dapat dipertahankan dan tidak hilang tradisinya. Akan tetapi seiring berjalannya waktu terdapat perubahan sosial dalam tradisi sinoman sehingga hal tersebut menjadikan sebagai sebuah tantangan bagi masyarakat Padukuhan Warungpring. Hal ini peran masyarakat sangat penting untuk mencari solusi atau upaya yang dapat dilakukan untuk mempertahankan tradisi sinoman.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian lapangan menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Subjek penelitian yaitu tokoh masyarakat, koordinator sinoman, dan beberapa anggota sinoman yang menggunakan teknik purposive sampling. Teknik pengumpulan data menggunakan tiga metode yaitu observasi, wawancara, dan dokumentasi. Adapun dalam menganalisis data peneliti menggunakan reduksi data, penyajian data, dan verifikasi kesimpulan. Penelitian ini menggunakan landasan teori perubahan sosial oleh Selo Soemardjan yang menganalisis faktor perubahan sosial dalam tradisi sinoman menjadi dua faktor yaitu faktor internal yang bersumber dari masyarakat itu sendiri dan faktor eksternal dari luar masyarakat lain.
Hasil dari penelitian adalah terdapat beberapa faktor perubahan sosial dalam tradisi sinoman yang dialami oleh masyarakat yaitu lemahnya regenerasi, pemuda lebih memilih bermain gadget, dan kecenderungan budaya praktis. Selain itu faktor yang melatarbelakangi berkurangnya keterlibatan pemuda dalam kegiatan sinoman yaitu membagi waktu antara kerja, sekolah, dan sinoman, dan kurangnya kesadaran pemuda. Upaya yang dilakukan masyarakat untuk mempertahankan tradisi sinoman yaitu dengan mengadakan pelatihan sinoman.NIM.: 19107020009 Tri Kurniati2023-06-16T02:05:38Z2023-06-16T02:05:38Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/59156This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/591562023-06-16T02:05:38ZRESEPSI HADIS ZIARAH KUBUR DALAM TRADISI BASAPA DI MAKAM SYEKH BURHANUDDINSkripsi ini mengkaji ziarah kubur di makan Syekh Burhanuddin di Ulakan. Sebagai salah satu wujud dari tradisi keagamaan masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Sumatra Barat. Tradisi ziarah kubur ini dinamakan dengan Tradisi Basapa. Tradisi Basapa ini tergolong tradisi yang masih bertahan hingga saat ini. sehingga erat hubungannya dengan berbagai tujuan yang menyertai tradisi ini. Tujuan dari tradisi Basapa ini diantaranya adalah sebagai pengingat kematian dan menerapkan sikap zuhud sehingga erat kaitannya dengan adanya implementasi hadis tentang ziarah kubur yang mana hal ini juga dapat berkaitan dengan tujuan dan tata cara dalam pelaksanaan tradisi Basapa.
Penelitian ini membahas sejarah terjadinya tradisi basapa di makam Syekh Burhanuddin dan penerapan nilai hadis yang masih hidup dalam tradisi basapa di makan Syekh Burhanuddin dengan bentuk penelitian lapangan (Field Research) dan menggunanakan metode penelitian observasi, wawancara, dokumentasi serta analisis data. Penelitian ini menggunakan teori living hadis dan teori resepsi yang bertujuan untuk menelusuri lebih jauh hadis-hadis yang hidup dalam konteks tradisi Basapa.
Hasil penelitian ini ditemukan bahwa, pertama Tradisi Basapa ini merupakan kegiatan menziarahi makam Syekh Burhanuddin di Ulakan. Basapa merupakan istilah yang dipakai masyarakat setempat. Istilah Basapa berasal dari nama bulan Syafar. Penetapan waktu pelaksanaan ziarah kubur serentak di makam Syekh Burhanuddin yang dilakukan pada hari rabu setelah tanggal sepuluh pada bulan Syafar. Maka sejak saat ini ziarah kubur di makam Syekh Burhanuddin dinamakan dengan tradisi Basapa. kedua, nilai hadis yang hidup dalam tradisi Basapa dalam hadis ziarah kubur yang diriwayatkan oleh Imam Muslim nomor 108 diantaranya dapat mengingatkan kematian, menghormati ulama, menziarahi makam guru dan sebagai obat hati atau penenang hati. Tradisi Basapa ini juga terdapat penerapan nilai-nilai hadis silaturahmi.NIM.: 19105050023 Awis Qarni2023-06-15T06:53:13Z2023-06-15T06:53:13Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/59147This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/591472023-06-15T06:53:13ZPEMAKNAAN SIMBOL PADA RITUAL "HAJAT WAWAR” DI DESA TAMBAKMEKAR, KECAMATAN JALANCAGAK
KABUPATEN SUBANG JAWA BARATRitual Hajat Wawar merupakan ritual penolakan bala, ritual ini dilaksnakan sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur penunggu gunung, hutan, alam dan lainnya karena sudah melimpahkan banyak rezeki berupa hasil panen padi yang telah dapatkan sangat melimpah. Dalam penelitian ini membahas tiga permasalahan utama, yaitu Pertama, Bagaimana makna ritual hajat wawar di kalangan masyarakat Desa Tambakmekar Kecamatan. Jalancagak Subang.? Kedua, Mengapa pemaknaan simbolik pada Ritual Hajat Wawar memiliki pergeseran? Ketiga, Mengapa masyarakat sekitar masih mempercayai adanya Hajat Wawar?
Penelitian ini dalam penelitian kualitatif. Data-data tersebut didapatkan melalui observasi untuk menunjang data yang ditemukan dilapangan kemudian melakukan wawancara mendalam dengan seorang juru kunci Bapak H. Aceng Warga, dan dokumentasi dalam beberapa buku, jurnal, skripsi, data-data tersebut digunakan untuk mengkaji kedalam teori antropologi dengan mengunakan teori interprelatif simbolik merupakan suatu pemikiran dari Arnold Van Gennep yang digunakan untuk menghadapi krisis metodologis dalam ilmu ilmu social.
Hasil dari penelitian ini, Hajat Wawar merupakan wujud rasa syukur dan terimakasih kepada yang Maha Kuasa atas perlindungan dari segala marabahaya. Dan Hajat Wawar memiliki pergeseran dalam sisi kesakralannya, karena sudah sedikit berkurang adanya keagamaan dalam islam yang sudah lebih kuat dibandingkan kebudayaan itu sendiri. Sehingga yang tampak dari Hajat Wawar adalah sebuah simbol akulturasi terhadap budaya lokal. Tetapi dari perubahan-perubahan tersebut yang dapat mengakibatkan suatu pergeseran dari hajat wawar yang terjadi memang tidak lepas dari proses berfikirnya manusia atau dari ndividu pada masyarakat. Dan masyarakat Desa Tambakmekar juga masih mempercayai adanya ritual hajat tersebut.NIM.: 19105020073 Khofifah Sekar Ningrum2023-06-15T04:41:30Z2023-06-15T04:41:30Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/59143This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/591432023-06-15T04:41:30ZKESAKRALAN RITUAL LARUNGAN DAN PERILAKU PEZIARAH DI PANTAI SELATAN PARANGKUSUMO DITINJAU DARI PERSPEKTIF MIRCEA ELIADETulisan ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis kesakralan dalam ritual larungan di Pantai Selatan Parangkusumo dengan perspektif Mircea Eliade, dan pengaruh kesakralan ritual larungan di Pantai Selatan Parangkusumo terhadap para peziarah. Untuk menjawab rumusan masalah di atas, maka pendekatan yang dibutuhkan adalah pendekatan Sosiologi Agama. Sehingga tulisan ini menggunakan metode kualitatif dan menggunakan teknik pengumpulan data dalam bentuk observasi, wawancara, dan dokumentasi.
Kondisi masyarakat sekitar lokasi penelitian merupakan masyarakat yang terikat oleh suatu sistem adat istiadat serta kebiasaan turun-temurun dari nenek moyang. kesenian di Dukuh Mancingan ada wayang, jathilan, kethoprak dan srandul, upacara larungan. Ritual Larungan sering juga disebut dengan labuhan, yang mana larungan merupakan bahasa Jawa, larungan, memiliki makna membuang sesuatu ke dalam air yang mengalir ke laut. Larung juga memiliki arti memberi sesaji kepada roh halus yang berkuasa di suatu tempat.
Terjadinya proses kesakralan dalam Ritual Larungan tidak lepas dari mitos tokoh Panembahan Senopati dan makhluk astral yang ada di tempat tersebut yaitu Kanjeng Ratu Kidul penguasa Laut Selatan. Lokasi Penelitian yaitu Pantai Selatan Parangkusumo di percayai sebagai pintu gerbang kerajaannya, biasa di sebut pintu gerbang menuju dunia ghaib. Kanjeng Ratu Kidul termasuk dalam Mitos tentang dewa-dewi dan mahluk Ilahi, merupakan sosok ghaib yang menguasai Laut selatan. Mitos di Cepuri sebagai petilasan Panembahan Senopati meminta bantuan dalam mendirikan Kerajaannya di Yogyakarta kepada Kanjeng Ratu Kidul, Panembahan Senopati memiliki nama asli Danangsutowijoyo. Ritual Larungan Memiliki unsur yang sakral dapat mempengaruhi dan membentuk perilaku para peziarah di Parangkusumo diantaranya sebagai penghormatan, pemujaan, mengharapkan keberkahan dan perlindungan. Melekatnya unsur hierophany di Pantai Parangkusumo dapat menjadikannya sebagai tempat ritual. Tempat ritual yang ditentukan oleh peziarah tidak sembarang tempat, namun harus memiliki unsur sakral. Kesakralan Ritual Larungan di Pantai Parangkusumo dapat mengatur semua kehidupan, yang dimaksud ialah Ritual Larungan dengan kesakralannya dapat mengatur pola perilaku para peziarah. Pola perilaku peziarah merupakan sesuatu yang Profan. Namun ketika perilaku yang profan tersebut dilakukan di Pantai Parangkusumo yang bersifat Sakral maka perilaku tersebut mengandung sifat sakral.NIM.: 19105020016 Aisyah Nur Laeli2023-06-14T01:30:28Z2023-06-14T01:30:28Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/59098This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/590982023-06-14T01:30:28ZPANDANGAN TOKOH AGAMA ISLAM DAN TOKOH ADAT MENGENAI TRADISI UPACARA TIBAN DI DESA JAJAR KECAMATAN GANDUSARI KABUPATEN TRENGGALEKTradisi tiban adalah sebuah adat atau kebudayaan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Jajar Kecamatan Gandusari Kabupaten Trenggalek setiap tahun terutama pada musim kemarau untuk meminta diturunkannya hujan. Masyarakat Jajar berkeyakinan bahwa setelah dilaksanakan ritual tiban, maka akan segera turun hujan. Keyakinan yang kuat akan pentingnya tradisi tiban membuat sebagian besar masyarakat Desa Jajar memandang bahwa tiban merupakan suatu tradisi yang harus dilestarikan dan dilaksanakan sebagaimana mestinya. Islam sendiri sudah mengatur tata cara untuk meminta hujan dengan cara salat istisqa’, tetapi masyarakat Jajar yang mayoritas menganut agama Islam masih menggunakan metode tiban untuk mendatangkan hujan. Seiring berkembangnya zaman, tiban mengalami pergeseran makna yang semula bertujuan untuk mendatangkan hujan, kini menjadi sebuah kebudayaan yang biasanya dilakukan ketika ada hari jadi Desa Jajar dan hajatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji, pertama, bagaimana asal-usul tradisi tiban sehingga bisa diterima oleh masyarakat Desa Jajar yang mayoritas masyarakatnya menganut agama Islam. Kedua, bagaimana pandangan Tokoh agama Islam dan Tokoh Adat di Desa Jajar mengenai tradisi tiban.
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research) yang bersifat deskriptif analisis komporatif dengan mendeskripsikan objek dan memberikan gambaran mengenai fenomena tiban dengan cara membandingkan fakta-fakta antara pandangan tokoh adat dan tokoh agama Islam terhadap tradisi tiban. Penelitian ini menggunakan pendekatan normatif berdasarkan norma yang ada dalam Islam. Adapun teori yang digunakan adalah teori ‘urf untuk mengetahui tradisi tiban di kalangan masyarakat Desa Jajar Kecamatan Gandusari Kabupaten Trenggalek,
Dari penelitian yang telah dilakukan diperoleh dua kesimpulan. Pertama, asal-usul tradisi tiban. Yang kedua, pandangan tokoh Islam dan tokoh adat. Asal-usul tradisi tiban bermula dari seorang pengembala dan petani memperebutkan sumber air yang akan habis kemudian mereka bertengkar dengan adu cambuk sampai mengeluarkan darah. Tidak lama kemudian awan mendung lalu turunlah hujan. Dari situ masyarakat Jajar meyakini bahwa dengan adu cambuk sampai berdarah bisa mendatangkan hujan. Masyarakat Desa Jajar waktu itu berkeyakinan bahwa tiban merupakan salah satu metode untuk mendatangkan hujan sehingga sampai sekarang masih dilakukan tiban. Kedua, tokoh agama Islam di Desa Jajar memiliki pendapat yang berbeda tentang tradisi tiban. Pendapat pertama melarang dilakukan tradisi tiban dengan alasan tiban terdapat tindakan-tindakan bernuansa mendolimi diri sendiri dan juga orang lain yang mana itu bertentangan dengan ajaran islam. Pendapat kedua berargumen bahwa tradisi tiban sesuatu yang dibolehkan. Alasannya karena tiban hanyalah menjadi salah satu cara yang ditempuh masyarakat jajar untuk mendatangkan hujan dan itu hanya wasilah dengan tidak mengindahkan permohonannya kepada Allah. Sedangkan, Menurut tokoh adat tiban boleh dilakukan sebagai bentuk kesenian kuno. Masyarakat Jajar masih mempercayai tradisi tiban sebagai salah satu cara untuk mendatangkan hujan, tidak sedikit juga, sebagian masyarakat Jajar menganggap tiban hanya sebagai hiburan.NIM.: 19103060047 Henny Sekarwati2023-06-05T03:32:05Z2023-06-05T03:32:05Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/59040This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/590402023-06-05T03:32:05ZKONSTRUKSI PENGETAHUAN DALAM TRADISI LAILATUL QIRAAH PADA HAUL K.H. SHOLIH TSANI DI PONDOK PESANTREN QOMARUDDIN BUNGAH GRESIKTradisi lailatul qiraah sebagai pembacaan tilawah al-Qur’an yang dibacakan oleh qari-qariah tingkat lokal, nasional maupun internasional mulai dari tilawah, hifzil Qur’an dan syarhil Qur’an digelar pada salah satu rangkaian acara haul K.H. Sholih Tsani di Pondok Pesantren Qomaruddin Bungah. Di Pondok Qomaruddin, haul yang identik dengan tradisi peringatan kematian serta pembacaan dan kirim doa untuk orang yang sudah meninggal, menjadikan lailatul qiraah sebagai salah satu rangkaian acara yang sudah bertahan sejak tahun 1980-an hingga sekarang.
Dengan konsep yang dibangun oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman, penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana praktik tradisi lailatul qiraah dalam haul K.H. Sholih Tsani, bagaimana transmisi dan transformasi dari masa ke masa dalam tradisi lailatul qiraah, dan bagaimana konstruk pengetahuan dari tradisi lailatul qiraah dalam haul K.H. Sholih Tsani. Untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan sosiologi dan analisis data secara deskriptif analitik. Sumber data yang digunakan yaitu melalui wawancara dan observasi dalam kanal youtube @pondokqomaruddin dan @Elektro TV. Peneliti juga terlibat untuk mengikuti secara langsung pada tradisi lailatul qiraah.
Tulisan ini menemukan hasil bahwa praktik lailatul qiraah yang terjadi sejak tahun 1980-an mengalami pergeseran dan perubahan. Pergeseran dan perubahan tindakan yang terjadi disebabkan adanya konstruksi pengetahuan yang berbeda dari pelaksana, kiai, audiens dan juga interaksi sosial yang mempengaruhinya, Sebagai sebuah tradisi ceremonial, lailatul qiraah mengupayakan pada pembacaan ayat al-Qur’an dengan nada indah sebagai tujuan utamanya, sehingga dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk sebagai sebuah eksternalisasinya. Tradisi lailatul qiraah merupakan tradisi sosial keagamaan karena bukan hanya sebagai kegiatan pembacaan tilawah pada umumnya, tetapi menjadi kegiatan sosial yang sudah terlembagakan melalui tontonan publik dalam rangkaian acara ritual kematian (haul). Pembacaan tilawah yang terobjektivikasi menjadi momen untuk memperbaiki spritualitas dari pendengar dengan bentuk penerimaan yang berbeda-beda sesuai dengan pengetahuan pengalaman dan interaksis sosial masing-masing individu yang kemudian mengeksternalisasi dalam sebuah tindakan yang berbeda pula pada setiap individu. Hal tersebut setidaknya mampu membuktikan bahwa agama itu sangat erat dengan kegiatan masyarakat.NIM.: 18200010252 Zidna Zuhdana Mushthoza2023-05-31T07:11:08Z2023-05-31T07:11:08Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/59022This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/590222023-05-31T07:11:08ZMUDEN PENYEMBUH DAN PENGETAHUAN PENYEMBUHPenelitian ini mengkaji tentang praktik penyembuhan tradisional yang dilakukan oleh bidan atau muden di Simeulu. Tesis ini mencoba melihat bagaimana seorang muden atau bidan di Simeulu mendapatkan legitimasi khususnya dalam bidang penyembuhan. Selain mengkaji tentang bidang penyembuhan yang dilakukan oleh muden atau bidan dalam mendapatkan legitimasi, kepopuleran muden atau bidan sebagai sosok yang dipercaya masyarakat. Hal ini diperoleh oleh muden atau bidan melalui usaha dalam penyembuhan tradisional sebagai bentuk penyembuhan alternatif dan konsultasi.Pertanyanyaan utama penelitian ini yaitu Bagaimana sistem dan praktik penyembuhan di Simeulu? Dan Apa peran muden sebagai penyembuhan tradisional?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, jenis penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan melakukan observasi, dan wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyembuhan yang dilakukan oleh Muden/ Bidan Kunyit adalah dengan menggunakan bahan alami yaitu dengan kunyit. Kemudian kunyit dipotong potong dadu dan dibelah menjadi dua hingga menjadi tujuh bagian dengan ukuran satu sentimeter. Selanjutnya di bentangkan kain sebagai alas Muden/ Bidan Kunyit kunyit yang telah di Muden/ Bidan kemudian dijatuhkan ke atas kain yang sudah dibentangkan di lantai dengan melakukannnya berkali-kali dengan bacaan doa atau mantra Muden/Bidan Kunyit. Bentuk-bentuk praktek yang dilakukan oleh tokoh ritual Kampung Ujung tinggi adalah berbentuk bacaan doa, seperti; membaca surah Al-Fatihah, Al-Ikhlas, An-Nas dan surah Al-Falaq dan do’a dengan bahasa batin melalui media kunyit.NIM.: 19200010003 Ainul Hayati Putri, S.Sos2023-05-30T04:34:37Z2023-05-30T04:34:37Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/58963This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/589632023-05-30T04:34:37ZTRADISI MEMBACA RATIB AL-HADDAD SEBAGAI UPAYA
PENANGKAL SIHIR DI DESA TEGALBULEUD SUKABUMI
(STUDI LIVING HADIS)Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kegiatan pembacaan Ratib al-Haddad
di Desa Tegalbuleud Sukabumi yang memiliki tujuan berbeda dari kegiatan
pembacaan Ratib al-Haddad pada umumnya, yang mana salah satu tujuan
masyarakat Desa Tegalbuleud dari kegiatan pembacaan Ratib al-Haddad adalah
untuk menjaga tempat tinggalnya dari praktik ilmu sihir.
Hal tersebut yang membuat penulis tertarik untuk meneliti lebih dalam
seperti apa pemaknaan pembacaan Ratib al-Haddad di Desa Tegalbuleud. Apabila
di uraikan, maka rumusan masalah dalam penelitian ini di bagi menjadi tiga
pokok bahasan. Yaitu : 1. Bagaimanakah pelaksanaan pembacaan Ratib al-Hadad
di Desa Tegalbuleud Sukabumi?. 2. Bagaimanakah resepsi masyarakat terhadap
hadis penangkal sihir yang ada dalam praktik pembacaan Ratib al-Hadad? 3.
Bagaimanakah pengaruh Ratib al-Hadad serta pemaknaan dan pemahaman
masyarakat terkait fenomena praktik pembacaan Ratib al-Hadad?
Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan, maka metode yang
penulis gunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif, yaitu
metode yang mendeskripsikan peristiwa yang terjadi di lapangan berdasarkan
data-data dari para informan. Data-data tersebut penulis dapatkan dari hasil
wawancara, observasi dan dokumentasi. Adapun teori yang penulis gunakan
dalam penelitian ini adalah teori fenomenologi, yaitu teori yang dipakai untuk
menggali sebuah makna yang tersembunyi dari suatu peristiwa. Teori
fenomenologi menjadi bahan pisau analisis penulis dalam menjawab rumusan
masalah.
Hasil dan pembahasan: pertama, kegiatan pembacaan Ratib al-Haddad di
Desa Tegalbuleud dilaksanakan seminggu sekali di setiap masjid yang ada di
wilayah tersebut. Pelaksanaan kegiatan tersebut meliputi 3 tahapan penting, yaitu
pra acara, pelaksanaan dan penutup. Kedua , resepsi masyarakat terhadap
hadis-hadis penangkal sihir, kebanyakan masyarakat tidak mengetahui landasan
haditsnya. Selama ini masyarakat mengamalkan pembacaan Ratib al-Haddad
untuk menangkal sihir hanya berdasarkan dari keterangan para kyai yang sering
mengisi ceramah dalam kegiatan pembacaan Ratib al-Haddad. Hadis-hadis yang
disampaikan para tokoh kyai tersebut berdasarkan dari keutamaan setiap bacaan
yang ada di dalam Ratib al-Haddad. Ketiga, pemaknaan praktik pembacaan Ratib
al-Haddad adalah amalan dzikir untuk meminta perlindungan kepada Allah dari
praktik ilmu sihir, membuat hati menjadi lebih tentram, dapat memperlancar
usaha, pemaknaan Ratib al-Haddad bagi masyarakat Desa Tegalbuleud juga
sebagai media dakwah untuk membimbing masyarakat supaya memiliki iman dan
tauhid yang kokoh. Pemaknaan pembacaan Ratib al-Haddad oleh setiap
masyarakat menjadi beragam, karena dipengaruhi oleh pengalaman setiap
individu yang berbeda-beda. Adapun pengaruh pembacaan Ratib al-Haddad di
Desa Tegalbuleud Sukabumi berpengaruh kuat pada 3 aspek. Rohani, ekonomi
dan sosial.NIM.: 18105050046 Sholahudin Fahmi Yusuf2023-05-30T04:33:29Z2023-05-30T04:33:29Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/58961This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/589612023-05-30T04:33:29ZPRAKTIK DAN MAKNA PEMBACAAN SURAT AL-QADR PADA AMALIAH MITONI
DI DESA ANGKATAN LOR, KABUPATEN PATI, JAWA TENGAHAmaliah mitoni merupakan salah satu tradisi yang dilestarikan oleh masyarakat Islam di pulau Jawa, salah satunya adalah masyarakat Angkatan Lor, Kabupaten Pati. Dalam pelaksanaannya, mayoritas masyarakat Pati menggunakan pembacaan surat Yusuf, Maryam, dan Muhammad. Akan tetapi masyarakat Desa Angkatan Lor menggunakan pembacaan surat Al-Qadr sebanyak tujuh kali. Sementara surat Al-Qadr sendiri secara tekstual ayatnya tidak memiliki kaitan dengan ayat-ayat kehamilan. Keunikan lainnya masyarakat Desa Angkatan Lor melaksanakan amaliah mitoni dengan bacaan surat Al-Qadr pada malam bulan purnama. Keunikan-keunikan tersebut yang melatar belakangi penulis mengkaji bagaimana pemaknaan dan praktik amaliah mitoni di Desa Angkatan Lor, Pati. Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif-deskriptif dengan metode observasi, wawancara, dan dokumentasi. Penelitian ini merupakan bagian dari Living Qur’an yang bertujuan untuk melihat digunakan untuk melihat bagaimana Al-Qur’an bekerja memberi pengetahuan yang menjadi sistem pola makna dan pengetahuan dari tindakan masyarakat dalam amaliah mitoni. Sementara teori yang penulis gunakan adalah teori Interpretatif Simbolik milik Clifford Geertz yang bertujuan untuk membaca praktik, simbol-simbol dan makna yang terdapat dalam pembacaan surat Al-Qadr dalam amaliah mitoni. Berdasarkan penelitian diperoleh penemuan di antaranya: Pertama, praktik pembacaan surat Al-Qadr dalam amaliah mitoni di Desa Angkatan Lor dilakukan oleh 40 orang pada malam bulan purnama, dibuka dengan wasilah, pembacaan surat Al-Qadr sebanyak tujuh kali, dan ditutup dengan pembacaan do’a mitoni. Dalam praktik yang demikian muncul sistem simbol yang menjadi perantara sistem makna seperti Surah Al-Qadr, simbol 40 orang, cahaya bulan purnama, dan takir pontang. Kedua, pembacaan Surah Al-Qadr sebagai usaha masyarakat membangun suasana malam Lailah Al-Qadr dalam amaliah mitoni. Al-Qadr sebagai sistem simbol bermakna malam kemuliaan, kesejahteraan, dan keselamatan anak yang diperkuat dengan simbol turunnya malaikat (memberkahi dan mendoakan ibu dan anak), simbol cahaya bulan purnama (kehidupan cerah dan wajah berseri bagi anak), 40 orang sebagai mustajabnya doa, angka tujuh (pertolongan) dan makanan takir pontang sebagai kegigihan mengasuh dan mencerdaskan anak. Tampak surah Al-Qadr menjelma sebagai model-model pengetahuan yang mengarahkan pada cara pandang, motivasi, dan emosi yang secara selektif digunakan menginterpretasi tindakan amaliah mitoni di masyarakat.NIM.: 18105030089 Rizani Friskawati Elsya2023-05-26T02:53:31Z2023-05-26T02:53:31Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/58888This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/588882023-05-26T02:53:31ZHADIS DALAM TRADISI MUNGGAHAN
DI DESA KERTAMUKTI KABUPATEN BEKASIPenelitian ini bertujuan untuk mengkaji ranah living hadis pada fenomena tradisi munggahan di Desa Kertamukti Kabupaten Bekasi yang berkonteks penelitian lapangan (field research) dengan berlandaskan metode kualitatif berdasar teori yang digagas oleh Alfred Schutz dalam kajian in order to motif serta because of motif. Data yang mendukung kajian ini merujuk pada dua sumber, yaitu data primer yang diperolah melalui observasi dalam mengamati lingkup pelaksanaan tradisi munggahan serta latar belakang masyarakat ataupun kondisi di Desa Kertamukti Kabupaten Bekasi, kemudian proses wawancara dengan tokoh masyarakat, tokoh agama, serta masyarakat Desa Kertamukti terkait pandangan dan pemahaman mereka terhadap tradisi munggahan yang mereka aplikasikan pada sehari sebelum puasa Ramadan, serta proses dokumentasi sebagai bukti bentuk pelaksanaan tradisi munggahan di Desa Kertamukti. Kemudia selain merujuk dari data primer, penelitian ini juga dikuatkan dari sumber data sekunder, yang didapat melalui berbagai sumber/literature yang berkaitan dengan tema penelitian. Data tersebut diolah dengan menggunakan tahapan reduksi data, display data, menarik kesimpulan, serta analisis data secara deskriptif guna memperoleh gambaran yang dapat dipahami secara jelas dan terarah untuk menjawab kajian penulis terkait Hadis dalam Tradisi Munggahan.
Tradisi munggahan merupakan tradisi yang berkembang di masyarkat Sunda, termasuk Desa Kertamukti sehari sebelum bulan puasa Ramadan. Praktek serta kajian tradisi munggahan yang berkembang di Desa Kertamukti tersebut pada dasarnya berangkat dari adanya nilai sunnah yang hidup dan menyatu dalam pengaplikasian tradisi. Hadis Nabi terkait sedekah menjadi landasan utama hadirnya tradisi munggahan di tengah peradaban kebudayaan masyarakat Desa Kertamukti. Pada prakteknya tradisi ini memberikan nilainilai tersendiri bagi masyarakat Desa Kertamukti seperti saling berbagi atau sedekah, bersyukur, serta menanamkan nilai-nilai sillaturahmi atau kekeluargaan pada masyarakatnya. Diamati dari perkembangannya hingga era sekarang tradisi munggahan terus diliestarikan ditengah masyarakat Desa Kertamukti dalam wujud adanya pengaplikasian tradisi setiap tahunnya serta ditanamkannya dari generasi ke generasi agar tradisi tersebut tetap hidup sejalan dengan harapan tokoh agama, masyarakat, serta pemerintah Desa. Berdasarkan wawancara dan observasi di Masyarakat Desa Kertamukti dapat dilihat bahwa peranan hadis An-Nasa’i No.2548 sangat berperan dalam kehidupan di masyarakat Desa Kertamukti terutama pada tradisi munggahan, karena pada saat wawancara masyarakat mengatakan mereka melakukan hal tersebut bertujuan untuk bersedekah agar tali sillaturahmi dengan kerabat tetap erat.NIM.: 19105050021 Sapto Nugroho Setiawan2023-05-26T02:49:55Z2023-05-26T02:49:55Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/58887This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/588872023-05-26T02:49:55ZTRADISI AMPYANG MAULID SEBAGAI SIMBOLISASI PERAYAAN MAULID NABI SAW DI DESA LORAM KULON, JATI, KABUPATEN KUDUSMaulid merupakan sebuah peringatan atas lahirrnya Nabi Muhammad SAW. Maulid Kelahiran Nabi Muhammad SAW merupakan peristiwa sejarah dalam kehidupan manusia. Kelahiran Nabi Muhammad merangkum seluruh segi kehidupan umat manusia dalam menghadapi perkembangan sejarah di masa mendatang. Jadi patutlah jika penghormatan dan kecintaan umat Islam kepada Nabi Muhammad sangat mendalam. Dalam rangka mengenang kelahiran Nabi Muhammad, setiap tahun umat Islam di berbagai negara melakukan tradisi. Tradisi tersebut dilaksanakan pada bulan Robi‟ul Awal dengan peringatan Maulid Nabi SAW.
Peringatan maulid Nabi Saw. Desa Loram Kulon merupakan salah satu acara kebanggaan masyarakat Desa Loram Kulon. Kegiatan ini dilakukan dengan perayaan tradisi Ampyang Maulid. Tradisi Ampyang Maulid dikenalkan kepada masyarakat Desa Loram Kulon pertama kali tahun 1560-an oleh Sultan Hadirin. Awal mula tradisi Ampyang Maulid merupakan media dakwah Sultan Hadirin dalam menyebarkan Islam di Loram Kulon. Tradisi tersebut diterima baik oleh masyrakat. Dahulu masyarakat Loram Kulon yang menganut agama Islam sekarang ini mayoritas masyarakat memeluk agama Islam. Sehingga dalam perkembangannya tradisi ini sekarang menjadi sebuah festival kirab simbolisasi perayaan maulid Nabi Saw.
Ampyang Maulid sendiri berasal dari dua kata yaitu “Ampyang‟ dan “Maulid” menerut para sesepuh desa Loram Kulon, Ampyang merupkan jenis krupuk yang terbuat dari tepung, berbentuk bulat dengan warna berbagai macam. Sedangkan “Maulid” yang dimaksud adalah hari kelahiran Nabi Muhammad Saw. Kemudian pada saat kirab berlangsung ampyang diarak keliling desa Loram Kulon.
Penelitian ini mencoba menjelaskan bagaimana proses pelaksanaan tradisi Ampyang Maulid di Loram Kulon, bagaimana proses transmisi dan pemaknaan tradisi Ampyang Maulid tersebut oleh masyarakat Desa Loram Kulon. Adapun pendekatan yang digunakan yaitu sosiologi agama dengan teori Clifford Geertz tentang agama sebagai sistem kebudayaan. Pada teorinya tersebut Geertz beranggapan bahwa agama merupakan fakta kultutal sebagaimana adanya kebudayaan Jawa, bukan hanya sekedar ekspresi kebutuhan sosial atau ekonomi saja.
Berdasarkan penelusuran tersebut, hasil dari penelitian ini menunjukkan transmisi pada perayaan tradisi Ampyang Maulid serta makna tradii Ampyang Maulid bagi masyarakat Loram Kulon. Selain itu dialektika agama dan budaya menjadi kekhasan tersendiri pada perayaan tradisi Ampyang Maulid.NIM.: 19105020005 Naili Fithriyah2023-05-25T08:47:50Z2023-05-25T08:47:50Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/58880This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/588802023-05-25T08:47:50ZSAKRALISASI AIR SENDANG KASEPUHAN, DESA KESESI
KABUPATEN PEKALONGAN, JAWA TENGAHPada masa modern seperti sekarang masih terdapat kelompok masyarakat yang mensakralkan air suci dalam suatu tempat tertentu yang menurut mereka itu tempat keramat atau sakral. Misalnya air suci sendang Kasepuhan di Makam Mbah Wali Gendon Kesesi. Mitos-mitos tentang air sendang di Makam Mbah Wali Gendon marak dipercaya oleh masyarakat, konon air tersebut bisa menyembuhkan penyakit, memberikan rezeki, jodoh, membuat anak menjadi pintar atau melindungi diri dari mara bahaya dan khasiat lainnya sesuai dengan doa dari peziarah masing-masing. Hal ini tak lepas dari sosok kharismatik yaitu mbah wali Gendon yang merupakan Ulama sakti yang terkenal pada zaman dahulu di daerah pekalongan. Maka dari itu masyarakat dan para peziarah menganggap bahwa air Suci yang ada di Sendang Kasepuhan Makam Mbah Wali Gendon adalah air yang sakral. Ini lah yang mendasari penulis untuk melakukan penelitian "Sakralisasi Air Sendang Kasepuhan Desa Kesesi, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah."
Penelitian akan membahas beberapa hal seperti Siapa itu Mbah Wali Gendon, mengapa masyarakat mensakralkan Air suci Sendang Kasepuhan di makam Mbah Wali Gendon dan bagaimana dinamika pemaknaan air suci di makam Mbah Wali Gendon. Penelitian ini diharapkan mampu memberi pandangan terhadap masyarakat terkait dinamika pemaknaan suatu simbol yang dianggap sakral. Untuk itu, dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan kualitatif dan analisis deskriptif. Data dikumpulkan dengan cara observasi, wawancara dan dokumentasi. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teori “Simbol Sakral dan Profan” dari Mircea Eliade
Setelah melakukan penelitian, penulis menemukan ada beberapa hal yang menjadi inti dari skripsi ini. Pertama, Air suci di makam Mbah Wali Gendon disakralkan oleh masyarakat umum karena adanya mitos terkait air suci di makam Mbah Wali Gendon. Mitos-mitos ini kemudian mendorong persepsi masyarakat dan peziarah tentang kesakralan Air Suci Makam Mbah wali Gendon ini, Kedua, para peziarah menjadikan Air Suci Sendang Kasepuhan ini sebagai jembatan yang menghubungkan mereka yang mengkonsumsi air suci ini dengan Allah SWT melalui berkah dari Mbah Wali Gendon. Melalui air suci ini masyarakat berdoa kepada Allah SWT untuk meminta berkah, kesembuhan, keselamatan, rezeki, jodoh dan sebagainya sesuai dengan doa mereka masing-masing.maka dari itu Air suci memiliki Makna sebagai perantara doa-doa mereka kepada Allah SWT. Tak hanya itu bagi bagi masyarakat setempat air suci ini juga memiliki makna sebagai penolong dan makna ekonomi. Air Suci di Makam Mbah Wali Gendon menjadi daya tarik peziarah dan masyarakat bahkan dari luar kota, maka dari itu masyarakat setempat biasanya berdagang di sekitaran makam.NIM.: 18105020057 Sarifatul Afida2023-05-10T06:26:05Z2023-05-10T06:26:05Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/58460This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/584602023-05-10T06:26:05ZPERUBAHAN HUKUM DALAM TRADISI PERKAWINAN:
STUDI PRAKTIK PERKAWINAN ANTAR ETNIS SUKU DAYAK DAN MADURA PRA DAN PASCA KONFIK DI KECAMATAN SERANAU, KABUPATEN KOTAWARINGIN TIMURDayak and Madurese tribes have been maturing since before the conflict in Central Kalimantan. Of course, each tribe (Dayak and Madurese) has its marriage ceremony and it is sacred in customary law because it is full of meanings contained in it. When there is a marriage between the sons and daughters of the two tribes, the reception ceremony has a side of compromise. However, the implementation of the marriage ceremony is more dominated by Dayak customary law as a local. Marriage between the two tribes was halted due to conflict on February 18, 2001, and repeated itself after the conflict passed. However, interestingly, the portrait of the Dayak and Madurese marriage ceremony after the conflict has changed significantly from before. Then, what kind of changes have occurred in intermarriage, and what are the contributing factors?
This research uses a descriptive qualitative method with a legal sociology approach to understanding the process of marriage ceremonies using customary law (living law) as a law upheld by the social Seranau community. This type of research is field research through a structured semi-interview process and documentation to collect accurate and valid data and information. Then the results of the raw data are analyzed and conclusions are drawn inductively. So that becomes interesting research.
The result of the research conducted is the practice of marriage ceremonies between ethnic Dayak and Madurese before the conflict, namely in 1988 to 2000 it was more dominated by Dayak customary law (a little use of Madurese customs) ranging from wedding ceremonies to wedding receptions. Then after the 2001 conflict, namely in 2010 to 2021, these changes became more significant, with Madurese tribal customs affecting Dayak customs during the process of requesting and the strong influence of Islamic values in marriage ceremonies until it was over. This means that the mating customs of the Dayak tribe are not used. Meanwhile, the series of Dayak customs that still exist and are experiencing development are honest money that is increasingly varied and applied by all religions and all tribes in Seranau District. So the marriage ceremony in Seranau changed to a new, simpler form with elements of customary law and Islamic legal values that entered into it dialogically.NIM.: 20203012055 Norholis2023-05-10T02:48:01Z2023-05-10T02:48:01Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/58454This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/584542023-05-10T02:48:01ZINTERAKSI MASYARAKAT BEJI DENGAN ALAM (ALAM SEBAGAI FAKTOR PENDORONG TERBENTUKNYA KOMUNITAS DAN SOLIDARITAS SOSIAL DALAM MASYARAKAT)Masyarakat Desa Beji merupakan salah satu tipe masyarakat tradisional yang masih
kental akan mitos, ritual, tradisi serta adat-istiadatnya. Faktor paling dominan yang
mendasari munculnya mitos-mitos, ritual, tradisi, dan adat-istiadat tersebut adalah dari
faktor alam yaitu dengan adanya Hutan Wonosadi. Hutan Wonosadi merupakan jantung
kehidupan bagi masyarakat Beji. Hal ini nampak dengan adanya empat mata air besar
bersumber dari Hutan Wonosadi yang berfungsi sebagai pilar utama dalam irigasi dan
sistem pengairan persawahan Desa Beji yang mana profesi Petani adalah mata pencaharian
utama mereka. Selain itu Wonosadi juga merupakan hutan adat yang dipenuhi dengan
mitos yang dipandang oleh masyarakat Beji sebagai hutan sakral yang tidak boleh
diperlakukan seenaknya sendiri melainkan membutuhkan sraten khusus dalam menjaga
kelestariannya. Kesakralan Wonosadi inilah yang kemudian memunculkan adanya
kepercayaan tersendiri pada masyarakat Beji yang diaktualisasikan dalam berbagai bentuk
adat-istiadat, kearifan lokal, dan tradisi-tradisi seperti ritual sadranan, rasulan, dan ruwatan.
Masyarakat Beji menyadari bahwa Hutan Wonosadi merupakan sumber kehidupan
sehingga tumbuh kesadaran pada mereka untuk memiliki hubungan baik dengan Hutan
Wonosadi. Melalui kesadaran ini masyarakat Beji tidak pernah melepaskan dirinya dari
alam tersebut, mereka selalu bergantung dan berinteraksi dengan alam secara terusmenerus
demi terciptanya keseimbangan antara ekologi dan kosmos. Melalui interaksi
tersebut mereka mendapatkan pengalaman dan pengetahuan mengenai apa yang
seharusnya mereka lakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan terhadap alam. Usaha
masyarakat Beji dalam menjaga kelestarian dan hubungan baiknya dengan Hutan
Wonosadi lebih nampak dengan terbentuknya komunitas Jaga Wana “Ngudi Lestari
Wonosadi”. Komunitas yang terbentuk karena faktor alam ini bergerak sebagai garda
terdepan dalam memandu jalannya interaksi masyarakat Beji dengan Hutan Wonosadi.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apa pengaruh alam dalam proses
terbentuknya komunitas sosial tersebut? Hal ini tentunya sejalan dengan tujuan dan fokus
penelitian ini yang menekankan pada interaksi masyarakat Beji dengan alam. Untuk
menjawab pertanyaan tersebut peneliti menggunakan penelitian yang bersifat mini
research. Adapun langkah-langkah yang ditempuh adalah menentukan subyek dan obyek
penelitian serta mengumpulkan data melalui, observasi partisipasi, interview, dan
dokumentasi.
Metode tersebut mengantarkan peneliti pada sebuah pemahaman lebih mendalam
tentang fokus penelitian ini. Hutan Wonosadi yang berstatus sebagai sumber kehidupan
mengkonstruk pola pikir masyarakat yaitu untuk memiliki kesadaran akan pentingnya alam
bagi kehidupan manusia. Kesadaran kolektif masyarakat Beji akan alam inilah yang
mendorong terbentuknya komunitas Jaga Wana “Ngudi Lestari Wonosadi”. Eksistensi dan
gerak positif dari komunitas Jaga Wana menjadikan masyarakat Beji menjadi lebih
terorganisir dan terkontrol dalam berinteraksi dengan Wonosadi. Interaksi melibatkan
kontak sosial dan komunikasi, melalui kontak sosial dan komunikasi yang baik antara
komunitas Jaga Wana dengan masyarakat maka terbentuklah solidaritas sosial antar
sesama.NIM.: 08540048 Tabingin2023-05-09T02:03:41Z2023-05-09T02:03:41Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/58393This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/583932023-05-09T02:03:41ZTRADISI RASULAN DAN PENDIDIKAN KARAKTER MASYARAKAT (STUDI KASUS DI DESA BANARAN, PLAYEN, GUNUNG KIDUL, YOGYAKARTA)Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan dan menganalisis secara
kritis nilai Upacara Tradisi Rasulan sebagai Pendidikan Karakter. Selain itu
Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah prosesi pelaksanaan
tradisi Rasulan Desa Banaran dan bagaimanakah nilai-nilai luhur yang terkandung
dalam tradisi tersebut. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai
media Informasi bagi siapa saja yang ingin mengali dan mendalami nilai-nilai
luhur Tradisi budaya Jawa, khususnya dalam upacara Tradisi Rasulan tersebut.
Penelitian ini merupakan penelitian kulitatif. Pengumpulan data melalui
observasi, wawancara, dokumentasi dan analisis datanya menggunakan metode
analisis diskriptif kualitatif yaitu suatu metode yang berusaha untuk membuat
diskripsi fenomena yang diseliki dengan melukiskan dan mengklarifikasi fakta
atau karakteristik tersebut secara faktual dan cermat untuk memberikan gambaran
yang jelas atau akurat tentang fenomena yang diselidiki. Pemeriksaan keabsahan
data dilakukan dengan mengadakan triangulasi.
Hasil penelitian menunjukkan, tradisi Rasulan di Desa Banran mempunyai
pengaruh terhadap kehidupan masyarakat antara lain: a.nilai-nilai Luhur dalam
kehidupan masyarakat yaitu: 1) nilai Gotong-royong, 2) nilai Musyawarah, 3)
nilai Shodaqoh, 4) Kerja Bakti, 5) Harmoni Alam, 6) Persaudaraan. b. Sebagai
Pendidikan Karakter, karena dalam tradisi Rasulan tersebut terdapat nilai
pendidikan karakter antara lain saling menghormati, bekerja sama, berbagi
sehingga Rasulan adalah sebagai alat pemersatu antara warga satu dengan yang
lainya, agar mereka dapat saling hidup dengan guyub rukun, tentram, damai,
sejahtera.NIM.: 04541647 Mia Marlina2023-05-09T01:55:06Z2023-05-09T01:55:06Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/58390This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/583902023-05-09T01:55:06ZKAJIAN TERHADAP TRADISI SHALAWAT JAM’IYYAH AHBABU AL-MUSTAFA KABUPATEN KUDUS (STUDI LIVING HADIS)Living Hadis masih merupakan “lahan basah” untuk dijadikan sebagai
obyek penelitian keagamaan. Berangkat dari berbagai fenomena yang
berhubungan dengan masalah teologis yang berdampak pada masalah sosiologis,
penulis mempunyai sebuah target penelitian fenomena yang menarik, salah
satunya adalah tradisi “sholawatan”.
Dalam penelitian ini,penulis menggunakan dasar ayat al-Qur’an (surat al-
Ahzab : 21) sebagai landasan utama dan kecintaan penulis pada nabi agung
Muhammad Saw.
Tradisi “sholawatan” menjadi sebuah fenomena yang mempunyai
implikasi yang luar biasa pada berbagai aspek kehidupan, implikasi yang
berkembang dan riil yang terjadi di masyarakat membangkitkan interes penulis
untuk meneliti lebih jauh tentang tradisi sholawatan. Demikian pula keberadaan
jam’iyyah sholawat ahbabul musthofa kabupaten Kudus yang membawa
pengaruh yang signifikan terhadap masyarakat.
Pendekatan sosiologis yang digunakan menjadi salah satu pisau analisis
yang akan dikembangkan oleh penulis untuk menyibak dan menguak lebih jauh
implikasi-implikasi yang dihasilkan dari tradisi tersebut. Fenomena tradisi yang
berangkat dari sebuah individual hingga merambah komunal bahkan
institusional, mulai dari kalangan Habaib, kiai hingga pejabat dan rakyat jelata
jelas bukan implikasi yang bersifat temporal dan minus signifikansi.
Tradisi sholawatan yang berkembang menjadi sebuah wadah dan sarana
dari berbagai individu untuk meningkatkan diri secara spiritual, stabilitas
berbagai aspek meliputi tingkat sosial komunal, serta dedikasi tinggi pada
tingkat institusional. Tak pelak lagi tradisi ini menjadi sebuah “Oase” dalam
padang sahara kehidupan yang kompleks di zaman modernisasi.NIM.: 04531740 Sholeh Ilham2023-05-02T04:17:38Z2023-05-02T04:17:38Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/58223This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/582232023-05-02T04:17:38ZPERGESERAN MAKNA TRADISI NYUMBANG MANTEN DI DUSUN NGETOL, DESA WIDORO, KECAMATAN PACITAN, KABUPATEN PACITAN, JAWA TIMURTradisi nyumbang merupakan kearifan lokal masyarakat yang masih dipertahankan sampai saat ini. Tujuan dilakukannya nyumbang adalah menghadiri hajatan-hajatan yang dilakukan guna memperingati alur hidup masyarakat, salah satunya seperti pernikahan. Nyumbang juga memiliki fungsi sebagai kegiatan gotong-royong dengan memberikan bantuan untuk meringankan beban bagi masyarakat yang sedang memiliki hajat (sohibul hajat). Akan tetapi, akibat perkembangan zaman yang memberikan pengaruh terhadap perubahan masyarakat, berdampak pada perkembangan tradisi nyumbang pada masa kini yang menyebabkan bergesernya makna nyumbang menjadi tradisi yang digunakan dan difahami sebagai kegiatan yang bersifat transaksional. Skripsi ini bertujuan untuk melihat sejauh mana perubahan yang terjadi telah mempengaruhi bergesernya makna tradisi nyumbang, serta faktor apa saja yang mempengaruhi perubahan tradisi nyumbang di masyarakat Dusun Ngetol, Desa Widoro.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan teknik pengumpulan data yaitu menggunakan wawancara, observasi, dokumentasi, dan data sekunder. Adapun teori yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu teori pertukaran sosial oleh George Caspar Homans. Hasil temuan di lapangan yaitu gambaran umum dan kondisi masyarakat Desa Widoro, serta sejarah singkat terbentuknya Desa Widoro. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui bagaimana perubahan makna tradisi nyumbang yang terjadi di Desa Widoro, dan apa saja faktor yang melatari perubahannya.
Adapun hasil penelitian menunjukkan bahwa pergeseran makna tradisi nyumbang yang terjadi di masyarakat yang pertama, terlihat pada berubahnya makna nyumbang yang sebelumnya merupakan tradisi gotong-royong menjadi transaksional, berubahnya penggunaan pakaian adat tradisional yang kini menjadi pakaian modern, dan berubahnya bingkisan yang semula berupa nasi berkat menjadi bingkisan berupa souvenir dan snack. Kedua, faktor-faktor utama yang melatarbelakangi terjadinya perubahan makna tradisi nyumbang manten di Dusun Ngetol, Desa Widoro seperti kemajuan pengetahuan masyarakat yang mempengaruhi perubahan pada pola pikir masyarakat dalam memaknai tradisi nyumbang, perubahan ekonomi yang mempengaruhi berubahnya mata pencaharian masyarakat, dan adanya akulturasi budaya lain yang menyebabkan modifikasi pada tradisi nyumbang. Pertukaran sosial di dalam tradisi nyumbang yang dipengaruhi oleh berubahnya makna serta faktor kemajuan zaman menyebabkan pudarnya makna dan nilai luhur tradisi nyumbang yang seharusnya dipertahankan.NIM.: 18107020006 Regina Cahyanti2023-03-16T03:38:32Z2023-03-16T03:43:56Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/57203This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/572032023-03-16T03:38:32ZTRADISI CEMBENGAN DI PABRIK GULA TASIKMADU DUSUN NGJO, DESA NGIJO, DESWA NGIJO, KARANGANYAR, JAWA TENGAHTradisi cembengan merupakan peninggalan Kgpaam IV kasunanan Surakarta yang
dilaksanaka di pabrik gula Tasikmadu. Tradisi ini wajib dilaksanakan karena dianggap sakaral,
jika tradisi ini tidak dilaksanakan dianggap melanggar dan tidak menghormati leluhursehingga
menimbulkan malapetaka. Tradisi cembengan juga dipercaya sebagai manolak bencana atau
bala.
Dalam radisi cembengan terdapat slametanyang berisikan berbagai macam
sesaji,slametan dianggap penting karena, sebagai bentuk permohonan keselamatan kepada Tuhan
Yang Maha Esa agar dapat melaksanakan giling tebu dapat menghasilkan gula yang banyakdan
berkualitas. Pelaksanaan giling dimulai dari pengarakan berbagai macam sesajiyang kemudian
dipersembahkan pada tempat-tempat yang dianggap vital. Dengan pelaksanaan tradisi
cembengan banyak keuntungan yang didapat dari karyawan maupun masyarakat sekitar. Banyak
hal yang didapat dari pelaksanaan tradisi Cembengan baik dari fungsi sosisl, ekonomi,
pendidikan, keagamaan, dll. Pengaruh yang didapat para karyawan dan masyarakatlebih pada
social dan peningkatan penghasilan. Berdangan paqra pengunjung dari wilayah lain menunjukan
adanya kebersaman dalam kepercayaan.
Dengan terlaksananya pembuatan sekripsi tentang tradisi Cembengan, dapat
memberikan kejelasan tentang pentingnya tradisi Cembengan dalam kehidupan masyarakat, dan
karyawan. Tradisi Cembengan sangat penting karena member keselamatan dan ketenangan bagi
masyarakat dan karyawan. Dari berbagai wawancara dai masyarakat dan karyawan dapat
disimpulkan bahwa tradisi Cembengan diterima sebagai media pembelajaran karena dianggap
menarik.NIM.: 04121966 Endri Setyo Wibowo2023-03-09T01:57:04Z2023-03-09T01:57:04Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/57012This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/570122023-03-09T01:57:04ZTRADISI SADRANAN MASYARAKAT DESA MLIWIS, BOYOLALI, JAWA TENGAH (Studi Living Hadis)Sebuah praktik yang dilaksanakan oleh masyarakat tentulah tidak tercipta dari ruang hampa makna. Salah satu ptaktik yang masih dilaksanakan hingga kini oleh sebagian bersar masyarakan jawa adalah tradisi sadranan. Tradisi sadranan merupakan sebuah tradisi yang unik dimana antara satu daerah dengan daerah yang lain terkadang memiliki perbedaan dalam praktik dan prosesi pelaksanaanya. Hal tersebut dikarenakan adanya perbedaan ideologi, pola pikir dan budaya masyarakat. Penelitian ini secara khusus akan mengkaji mengenai tradisi sadranan yang dilaksanakan oleh masyarakat Dukuh Tlogoimo, Geneng, dan Ledok, Desa Mliwis, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah.
Sadranan merupakan sebuah tradisi yang telah turun-temurun dilaksanakan oleh masyarakat. Tradisi ini rutin dilaksanakan tiga kali dalam satu tahun guna untuk memperingati moment-moment tertentu yakni; 1) peringatan Nisfu Sya’ban di bulan Sya’ban, 2) haul Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dan tokoh cikal bakal tiga Dukuh di bulan Rabiul Akhir, dan 3) peringatan hari raya Qurban di bulan Dzulhijjah. Fokus penelitian ini adalah untuk mengkaji praktik tradisi sadranan yang dilaksanakan oleh masyarakat Dukuh Tlogoimo, Geneng, dan Ledok melalui kajian living hadis, serta untuk mencari makna yang terkandung dalam tradisi tersebut.
Metode penelitian yang digunakan adalah field research dengan menggunakan pendekatan teori living hadis dan fenomenolgi Edmund Husserl. Lokasi objek penelitian berada di Dukuh Tlogoimo, Geneng, dan Ledok, Desa Mliwis, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Penulis menggunakan teknik pengumpulan data berupa wawancara, observasi dan dokumentasi.
Hasil yang didapatkan dari penelitian ini adalah pertama, masyarakat menyadari secara langsung bahwa tradisi sadranan yang mereka laksanakan bersumber dari dalil hadis. Kedua, berupa makna esensi dari tradisi sadranan yakni berupa harapan bahwa anak cucu dan keturunan mereka nantinya akan tetap mendoakan mereka ketika nanti mereka telah meninggal sebagaimana yang mereka lakukan sekarang. Selain itu, adanya tradisi sadranan merupakan salah satu bukti keberhasilan tokoh agama dan para sesepuh tiga Dukuh dalam upaya mensyiarkan Agama Islam.NIM.: 18105050024 Muhammad Pramudya Hidayatt2023-03-06T07:08:49Z2023-03-06T07:08:49Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/56936This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/569362023-03-06T07:08:49ZISLAM PENELANDO: STUDI DINAMIKA KEAGAMAAN KOMUNITAS ADAT DI DESA PENEKECAMATAN JEROWARU KABUPATEN LOMBOK TIMURIslam Penelandomerupakan salah satu khazanah Islam yang terdapat dalam tradisi keagamaan masyarakat Sasak yang memiliki serangkaian ritual khas salah satunya adalah tradisi beqen(ritus peralihan musim). Islam Penelando sebagai salah satu khazanah Islam masyarakat Sasak yang dipahami sebagai masyarakat yang berpegang teguh pada warisan leluhur mereka terus mengalami dinamika. Dewasa ini terjadi perubahan pada konstruksi keagamaan masyarakat Islam Penelando mulai dari dimensi ritual seperti ritual tontong soet yang tidak lagi dilakukan hingga dimensi material seperti eksistensi bale beleq (rumah adat) yang sedikit demi sedikit digerus oleh pembangunan dan pertumbuhan penduduk.
Tesis ini bertujuan untuk mengeksplorasi bagaimana pola atau konstruksi keagamaan masyarakat Islam Penelando yaitu mulai dari sistem kepercayaan, praktek-praktek keagamaan hingga struktur sosial masyarakat seperti pelapisan dalam masyarakat, pimpinan dalam masyarakat serta sistem kekerabatan yang ada di dalam masyarakat. Di samping itu, kajian dalam tesis ini juga difokuskan pada dinamika keagamaan masyarakat Islam Penelando mulai dari eksistensi masyarakat Islam Penelando, pergeseran-pergeseran dalam konstruksi keagamaan hingga media konstruksi keagamaan masyarakat Islam Penelando. Kajian ini berdasarkan penelitian kualitatif dengan sumber data yaitu tokoh masyarakat Islam Penelando seperti ketua adat, kiyai, serta masyarakat Islam Penelando pada umumnya. Data yang diperoleh melalui observasi, wawancara dan dokumentasi tersebut kemudian diinterpretasi menggunakan teori konstruksi atas realitas Peter L. Berger.
Hasil analisis menunjukan bahwa masyarakat Islam Penelando dengan ciri khas dan karakteristik keagamaannya terus mengalami dinamika. Hal tersebut dapat dilihat dari pergeseran-pergeseran yang terjadi dalam serangkain ritual dan sistem kepercayaan masyarakat Islam Penelando seperti maliqatau pamali yang tidak lagi terlalu dihiraukan oleh masyarakat dan seterusnya. Adanya perubahan dalam konstruksi keagamaan masyarakat Islam Penelando disebabkan oleh faktor pendidikan dan adanya kontak dengan kebudayaan lain seperti modernisasi. Masyarakat Islam Penelandodenganrangkaian dinamika atau perubahan-perubahan terus berupaya untuk menghidupkan serta menjaga konstruksi keagamaan yang diwariskan oleh leluhur masyarakat yaitu melalui tradisi-tradisi warisan leluhur mereka seperti tradisi beqen (peralihan musim), maulid adat hingga terus mempertahankan eksistensidari rumah adat atau bale beleq.NIM.: 20205022009 Hablun Ilhami2023-03-06T01:20:20Z2023-03-06T01:20:20Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/56896This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/568962023-03-06T01:20:20ZPEMBERIAN DUIT ASAP SEBAGAI ADAT PERNIKAHAN DALAM UNDANG-UNDANG SIMBUR CAHAYA PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
(STUDI DESA TAMBANGAN KELEKAR KECAMATAN GELUMBANG KABUPATEN MUARA ENIM)The people of South Sumatra during the sultanate era had laws and regulations that once applied to the uluan (Inland) community in life, one of which was in the wedding procession. It is explained that in article 4 of the Simbur Cahaya Law, the male party must pay the money for kitchen expenditure or marriage expenditure, which is intended for the female family. One area that still carries out this custom is Tambangan Kelekar Village, that for men who want to marry women from the Tambangan Kelekar Village, they must fulfill the payment outside the dowry in the form of money known to the community today as duit asap. This study will look at why duit asap continues to exist in society, and has meaning and purpose contained in it by looking at it from the perspective of Islamic law.
This research is afield researchand is descriptive-analytical in nature, namely by collecting data based on field factors regarding the custom of smoked money. Collecting data using empirical materials, namely data taken from the field by conducting interviews, observations, and documentation. Then it is analyzed qualitatively, namely describing, presenting, or explaining in depth all the problems formulated in the main problem in a firm and clear manner regarding the existence and purpose of the Shari'a in the custom of giving duit asap in the Tambangan Kelekar Village.
The results of this study that the provision of duit asap still exists in the community, namely, firstly stating that the regulation is one of the regulations that can still be accepted by the community today. Second, that the giving of duit asap has values contained in it, namely social values and ethical values. The giving of duit asap is included in the category of al-'urf as-ṣaḥiḥ because it has been carried out for generations, and the benefits contained therein, with the stipulation carried out by deliberation, and there is no coercion between the two, and strengthened by the istihsan method which is something activities that are considered good in society. In terms of its validity, this custom is included in the category of al-'urf al-khᾱṣ, because it is carried out by a particular community or area (Locality). In terms of maqasid sharia, the purpose of giving this duit asap is that the sharia value in giving this duit asap is included in Ḥifẓ an-nafs and Ḥifẓ al-mal.NIM.: 20203011071 Muzakki Mursyad Adib, S.H.2023-03-03T05:54:17Z2023-03-03T05:54:17Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/56874This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/568742023-03-03T05:54:17ZTRADISI LARANGAN “KAWIN SASUKU” DI MASYARAKAT KUANTAN SINGINGI DALAM KAJIAN LIVING HADISPernikahan merupakan jalan pengikat lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang diridhoi oleh Allah dan Rasul-Nya. Secara fitrah, pernikahan akan memberikan ketenangan bagi setiap manusia. Dalam tradisi adat masyarakat Kuantan Singingi dikenal sebuah larangan dalam pernikahan. Masyarakat Kuantan Singingi hidup dalam masyarakat yang terdiri dari beberapa suku di masing-masing koto. Masyarakat Kuantan Singingi dilarang melakukan pernikahan sasuku atau “kawin sasuku”. Konon katanya menikah sesuku atau menikah dengan kerabat dekat dapat merusak keturunan atau membuat generasi selanjutnya lemah secara fisik maupun mental.
Dalam sebuah hadis juga ditemukan larangan pernikahan dengan kerabat dekat dan juga larangan menikah sepersusuan. Suku di masyarakat Kuantan Singingi merupakan hubungan kerabat dekat atau sepupu dibawah garis keturunan ibu dan juga diakibatkan hubungan sepersusuan. Sehingga antara hadis larangan pernikahan dengan kerabat dekat, hadis larangan menikah spersusuan memiliki larangan yang sama dengan tradisi yang ada di Kabupaten Kuantan Singingi. Untuk mendapatkan kesimpulan mengenai hal ini, maka dalam skripsi ini peneliti mengkaji mengenai Tradisi Larangan “Kawin Sasuku” Di Masyarakat Kuantan Singingi Dalam Kajian Living Hadis.
Pada penelitian ini peneliti menggunakan penelitian lapangan (field research) dengan menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan ilmu living hadis dan perubahan tingkah laku. Teori yang digunakan ialah teori living hadis serta teori behavior. Untuk mendapatkan data yang akurat, penelitian ini langsung menemui narasumber dari tokoh adat serta tokoh agama untuk mendapatkan informasi berkenaan dengan larangan kawin sasuku. Setelah data dikumpulkan, peneliti mengaitkannya dengan teori-teori yang digunakan sehingga mendapatkan suatu kesimpulan.
Adapun dari hasil observasi lapangan serta referensi pustaka, maka penelitian ini mendapatkan suatu kesimpulan bahwa larangan kawin sasuku di masyarakat Kuantan Singingi secara aturan agama tidak lah dilarang. Namun secara segi kesehatan menikah dengan kerabat dekat atau menikah dengan saudara sepersusuan dalam konteks ini sesuku dapat merusak generasi selanjutnya sebagaimana yang telah dijelaskan dalam hadis nabi.NIM.: 19105050080 Ahmad Jumaidi2023-03-03T05:13:40Z2023-03-03T05:13:40Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/56871This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/568712023-03-03T05:13:40ZTRADISI MALAPEH KAWUA PADI DI KENAGARIAN AIA MANGGIH KECAMATAN LUBUK SIKAPING KABUPATEN PASAMAN RANAH STUDI LIVING HADISPenelitian ini bertujuan untuk mengkaji ranah living hadis pada fenomena tradisi Malapeh Kawua Padi di Kenagarian Aia Manggih yang berkontekskan penelitian lapangan (field research) dengan berlandaskan metode kualitatif berdasar teori yang digagas oleh Alfred Schutz dalam kajian in order to motif serta becauce of motiv. Data yang mendukung kajian ini merujuk pada dua sumber, yaitu data primer yang diperoleh melalui observasi dalam mengamati lingkup pelaksanaan tradisi malapeh kawua padi serta latar belakang masyarakat ataupun kondisi di Kenagarian Aia manggih, kemudian proses wawancara dengan tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat serta generasi muda terkait pandangan dan pemahaman mereka terhadap tradisi malapeh kawua padi yang mereka aplikasikan pada masa dimulainya bercocok tanam serta proses dokumentasi sebagai bukti bentuk pelakasanaan tradisi malapeh kawua padi di Kenagarian Aia manggih. Kemudian selain merujuk dari data primer, penelitian ini juga dikuatkan dari sumber data sekunder, yang didapat melalui berbagai sumber/literature yang berkaitan dengan tema penelitian. Data tersebut diolah dengan mengunakan tahapan reduksi data, display data, menarik kesimpulan, serta analisis data secara deskriptif guna memperoleh gambaran yang dapat dipahami secara jelas dan terarah untuk menjawab kajian penulis terkait Tradisi Malapeh Kawua Padi.
Kawua padi merupakan tradisi yang berkembang di ranah kehidupan masyarakat Nagari Aia manggih pada masa bercocok tanam akan dimulai. Praktek serta kajian tradisi malapeh kawua padi yang berkembang dikenagarian Aia manggih tersebut pada dasarnya berangkat dari adanya nilai sunnah yang hidup dan menyatu dalam pengaplikasian tradisi. Hadis nabi terkait niat/nazar menjadi landasan utama hadirnya tradisi malapeh kawua padi di tengah peradaban kebudayaan masyarakat kenagarian Aia manggih. pada prakteknya tradisi ini memberikan nilai-nilai tersendiri bagi masyarakat Kenagarian Aia Manggih seperti wujud syukur, sedekah, raja’ serta menanamkan nilai-nilai silaturrahmi atau kekeluargaan pada masyarakatnya. Diamati dari perkembangannya Hingga era dewasa ini tradisi malapeh kawua padi terus dilestarikan ditengah masyarakat nagari aia manggih dalam wujud adanya pengaplikasian tradisi pada setiap tahunnya serta ditanamkannya kepada generasi muda sebagai estafet penerus dalam menjaga dan menghidupkan tradisi budaya dan keagamaan yang berkembang sejalan dengan peran tokoh agama, masyarakat, adat serta pemerintah desa. Dengan konsistensi tersebut pengaplikasian tradisi malapeh kawua padi memberikan motiv tersendiri bagi masyarakat kenagarian aia manggih pada praktek hadirnya tradisi tersebut, seperti melestarikan tradisi luhur, menyelaraskan visi yang sama, pengaruh kondisi wilayah, serta mebudayakan tradisi keagamaan sekaligus momentum dalam mendekatkan diri kepada Allah swt.NIM.: 19105050007 Meri Oktarini2023-03-02T06:57:05Z2023-03-02T06:57:05Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/56830This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/568302023-03-02T06:57:05ZSTUDI LIVING HADIS PADA TRADISI MAKMEUGANG
DI KALANGAN MASYARAKAT ACEH,
DI DESA DARUL AMAN, KEC. PERMATA, KAB. BENER MERIAHPenelitian ini membahas tentang sebuah tradisi yang berkembang di kalangan masyarakat Aceh, di mana, tradisi ini sudah ada sejak zaman kesultanan Iskandar Muda, dan masih eksis hingga saat ini. Awal mula dari tradisi ini hanya untuk mendata kaum fakir miskin, anak yatim, janda, lansia dan kalangan masyarakat menengah lainnya, yang ada di seluruh penjuru kejaraan. Penelitian ini secara spesifik membahas tentang bagaimana perayaan tradis makmeugang yang ada di kalangan masyarakat desa Darul Aman, kec. Permata, kab. Bener Meriah, Aceh.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian lapangan, di mana penelitian ini menempatkan partisipan sebagai objek utama, dengan cara mengobservasi langsung bagaimana keberlangsungan tradisi tersebut. Selain observasi langsung, wawancara dan dokumentasi juga dibutuhkan dalam menunjang penelitian ini. Penelitian ini menggunakan pendekatak living hadis dengan teori fenomenologi dan perubahan sosial. Ini digunakan untuk melihat bagaimana hadis bekerja dan memberikan pengetahuan yang menjadi sistem pola makna dan pengetahuan dari perilaku masyarakat terhadap tradisi Makmeugang, juga mengetahui sebab adanya tradisi tersebut, serta perubahan apa yang terjadi dalam pelaksanaan tradisi ini.
Dari penelitian ini, temuan yang diperoleh adalah 1)Tradisi makmeugang adalah sebuah tradisi turun temurun yang sudah ada sejak zaman kesultanan Iskandar Muda pada abad ke-16 M. Tradisi ini diadakan untuk menyambut bulan suci Ramadhan, menyambut hari raya Idul Fitri, dan menyambut hari raya Idul Adha. Proses pelaksanaan tradisi ini biasanya dimulai dengan khandury yang dimpimpin oleh pak imeum untuk membacakan doa Samadiah, dan dilanjut dengan doa selamat. 2) adanya relasi antara hadis-hadis Nabi yang berhubungan erat dengan perayaan tradisi Makmeugang, dengan beberapa nilai keagamaan yang terbangun dengan adanya perayaan ini, dimulai dari nilai bersyukur, bersedekah, menjalin tali silaturrahmi, dan anjuran berbahagia dalam menyambut bulan suci Ramadhan. Masyarakat memaknai hadis secara makna dan nilai, sehingga semua itu sudah melebur dalam kehidupan mereka sehari-hari, hingga membentuk adanya tradisi yang melekat pada mereka.NIM.: 18105050065 Bina Rahmatika2023-03-01T03:24:37Z2023-03-01T03:24:37Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/56749This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/567492023-03-01T03:24:37ZPANDANGAN UMAT ISLAM TERHADAP SAKRALITAS PENANGGALAN JAWA DALAM PENENTUAN WAKTU PERNIKAHAN DI DESA KEMUDO, KECAMATAN PRAMBANAN, KABUPATEN KLATENSalah satu bentuk tradisi yang masih ada di Indonesia tepatnya di pulau Jawa yaitu mengenai sistem pananggalan tradisional. Pada kalangan masyarakat Jawa sistem penaggalan tradisional berupa Wariga dan Pakuwon, yang pada masa Islam dikenal juga dengan berbagai jenis Primbon. Mengenai sistem penaggalan tradisional ini sering pula diterapkan dalam penentuan hari baik dan buruk yang dikaitkan dengan peramalan untuk berbagai tujuan dan kegiatan dalam masyarakat Jawa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh Agama terhadap kesakralan penanggalan Jawa dan mengetahui pandangan umat Islam terhadap kesakralan penanggalan Jawa dalam penentuan waktu pernikahan di Desa Kemudo.
Jenis penelitian yang digunakan ialah kualitatif dengan menggunakan pendekatan Sosiologi Agama. Teknik pengumpulan data yang dilakukan yankni dengan metode observasi untuk mengetahui bagaimana proses kegiatan budaya penentuan waktu pernikahan kemudian wawancara langsung dengan informan yang mana dalam penelitian ini terdiri dari beberapa tokoh, pengurus masjid , pemerintahan Desa Kemudo, serta beberapa dokumentasi. Dalam penelitian ini juga mencakup empat proses, yaitu pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tradisi dan budaya tersebut, terutama dilihat dari tujuan dan tatacara melakukan ritus-nya, jelaslah bahwa semua itu tidak sesuai dengan Islam. Namun dalam pelaksanaannya umat muslim Jawa tidak meninggalkan kewajibannya sebagai umat Islam. Penentuan tanggal nikah menurut prosedur Jawa bukan berarti mereka tidak percaya dengan kebesaran Tuhan, hal ini dikarenakan hal tersebut telah menjadi tradisi turun temurun dan sebagian masyarakat masih mempercayai adanya hari baik jika mengikuti tradisi tersebu dan masyarakat memandang baik tentang penentuan waktu pernikahan menggunakan penanggalan Jawa. Masyarakat mempercayai adanya penggunaan penanggalan Jawa dalam menentukan waktu pernikahan.NIM.: 18105020064 Mutmainna2023-02-28T07:05:04Z2023-02-28T07:05:04Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/56716This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/567162023-02-28T07:05:04ZRASIONALITAS DALAM TRADISI SAYUR LODEH 7 RUPA SEBAGAI TOLAK BALA PADA MASYARAKAT DI DUSUN SENDOWO, KECAMATAN MLATI, KABUPATEN SLEMANTradisi sayur lodeh 7 rupa merupakan tradisi yang masih dilakukan oleh masyarakat Yogyakarta yang dikenal sebagai penolak bala. Sayur 7 rupa ini adalah sayur yang berkuah santan dengan di dalamnya terdaoat 7 macam jenis bahan dan sayuran, antara lain kluwih, kacang panjang, daun mlinjo, kulit mlinjo, terong, waluh, dan tempe. Dusun Sendowo, Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman termasuk salah satu daerah yang masih mempercayai tradisi sayur lodeh 7 rupa hingga sekarang.
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui rasionalitas masyarakat Dusun Sendowo yang melakukan tradisi sayur lodeh 7 rupa sebagai penolak bala. Selain itu menjelaskan motif dari tindakan masyarakat memilih melakukan tradisi sayur lodeh 7 rupa. Penelitian ini dilakukan menggunakan metode kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Penelitian ini dianalisis menggunakan teori Pilihan Rasional James Coleman dan didukung dengan teori Tindakan Sosial Max Weber. Metode pengumpulan data yang digunakan ialah observasi, wawancara, dan dokumentasi. Metode analisis data yang digunakan terdiri dari reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.
Hasil penelitian ini menunjukkan partisipasi masyarakat dalam tradisi sayur lodeh 7 rupa dari tua hingga usia muda. Pilihan rasional ini memiliki 2 unsur penting yaitu masyarakat yang melakukan tradisi disebut aktor dan yang dimaksud sumber daya di sini ialah uang tunai untuk memperoleh sayur lodeh 7 rupa. Kemudian Weber mengelompokkan tipe-tipe tindakan sosial menjadi 4 yaitu, tindakan tradisional, tindakan afektif, rasionalitas instrumental, dan rasionalitas nilai. Motif yang mempengaruhi masyarakat dalam mengikuti tradisi sayur lodeh 7 rupa antara lain merasakan keamanan dan kenyamanan, kesadaran kolektif bagian dari anggota masyarakat, serta merupakan tradisi turun temurun. Dampak yang dirasakan setelah melakukan tradisi sayur lodeh 7 rupa adalah merasa aman, tenang, dan meredakan kekhawatiran di masyarakat.NIM.: 17107020029 Tri Risnawati2023-02-28T04:46:46Z2023-02-28T04:46:46Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/56710This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/567102023-02-28T04:46:46ZISLAM DAN TRADISI LOMBE DI MASYARAKAT KEPULAUAN KANGEANPulau Kangean merupakan salah satu pulau di ujung timur Madura yang memiliki berbagai kekayaan tradisi yang masih berkembang, salah satunya tradisi lombe/Mamajir. Tradisi lombe masih berkembang hingga saat ini dan masuk sebagai salah satu aset kebudayaan nasional serta tradisi ini mengandung unsur mistik berbau teologi kuno. Masyarakat di pulau Kangean terkenal ramah, dan sarat dengan tradisi. Oleh karena itu, tradisi ini menjadi menarik untuk diteliti. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, data yang digunakan berasal dari wawancara, observasi, dan dokumentasi sebagai data pokok atau utamanya, serta studi kepustakaan sebagai penunjang. Dalam penelitian ini dihasilkan bahwa persinggungan antara Islam sebagai Agama dan tradisi sebagai laku serta hukum adat masyarakat tidak mengalami perselisihan. Kemudian unsur teologi dan mistik di dalamnya juga merupakan suatu hal yang niscaya dalam sebuah tradisi. Diyakini bahwa tradisi lombe dilakukan sebagai media untuk memohon pertolongan kepada Allah SWT. agar pertanian yang digarap mendapatkan hasil panen yang melimpah. Dalam pelaksaannya secara abstraksi diketahui terdapat penyusupan unsur-unsur mistik berupa sesajen, selametan, dan unsur-unsur lainnya. tradisi ini menjadi bagian dari pola kehidupan masyarakat pulau Kangean sehari-hari dan terus dilestarikan setiap tahunnya.NIM.: 18105010085 Kirwan2023-02-28T04:24:51Z2023-02-28T04:24:51Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/56706This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/567062023-02-28T04:24:51ZMAKNA SESERAHAN DALAM TRADISI MASYARAKAT DESA MANJUNG WONOGIRI (Studi Fenomenologi Edmmund Husserl)Penelitian mengenai fenomenologi dalam tradisi seserahan pernikahan masih jarang ditemukan. Padahal, tradisi ini ada pada setiap wilayah dan selalu ada setiap tahunnya terlebih pada bulan-bulan tertentu, baik dari kalender Islam atau kalender Jawa. Cara memaknai tadisi seserahan ini memiliki sudut pandang masing-masing yang berbeda setiap orang, wilayah, maupun adat istiadat setempat. Penelitian ini meneliti pemaknaan tradisi hantaran ini, sebagai pengalaman pribadi individu yang mengalami tradisi, maupun menghayati tradisi tersebut. Penelitian fenomenologis ini berfokus pada kesadaran, realitas, dan pemaknaan dari partisipan bukan pada peristiwanya.
Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk memahami bagaimana.individu memaknai pengalaman. pribadinya sebagai orang yang dekat dengan tradisi tersebut. Wawanacara dilakukan secara semi-terstruktur dengan menggunakan Descriptive Phenomenological Analysis PFD.
Ada 3 superordinat yang ditemukan (1) Tradisi seserahan sebagai bentuk kesanggupan dan tanggungjawab laki-laki untuk meminang seorang wanita, (2) Tradisi seserahan sebagai bentuk ikatan antar keluarga, (3) Tradisi seserahan sebagai bentuk tebusan kepada orangtua memepelai wanita. Lewat penelitian ini, partisipan menyampaikan pengalaman pribadainya dalam melihat fenomena tradisi seserahan. Hasil.dalam penelitian.yang dilakukan dapat menjadi alternative pengetahuan yang baru bagi masyarakat dalam.memaknai.tradisi seserahan ini sesuai maknanya.NIM.: 18105010012 Yositha Hamidah2023-02-24T08:24:38Z2023-02-24T08:24:38Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/56587This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/565872023-02-24T08:24:38ZTRADISI KHATAMAN AL-QUR’AN WETONAN DI PONDOK TAHFIDZ NURUL QUR’AN MAN 1 KUDUSStudi Al-Qur’an telah mengalami transformasi dalam berbagai ranah kajian. Bermula dari kajian teks menjadi analisis sosio-kultural dengan menobatkan masyarakat beragama sebagai objek kajian utama yang kerap diistilahkan sebagai The Living Qur’an. Banyak kalangan masyarakat yang semakin mempererat interaksi dengan Al-Qur’an. Lamban laun, sebagian dari mereka justru kehilangan jati diri sebagai masyarakat berbudaya. Tidak sedikit yang lebih mengedepankan nilai-nilai keagamaan dan mengesampingkan tradisi-tradisi kebudayaan yang lebih dulu ada. Sehingga, tradisi khataman Al-Qur’an wetonan kiranya menjadi salah satu upaya untuk membendung persoalan ini dengan mengintegrasikan dan menyeimbangkan dua aspek utama tersebut. Kegiatan ini menjadi program wajib dan unggulan yang dijalankan di Pondok Tahfidz Nurul Qur’an (PTNQ) MAN 1 Kudus untuk menjaga kualitas hafalan santri. Tradisi ini menjadi layak untuk diteliti lantaran cukup urgen, lebih berkesan, dan memiliki daya tarik tersendiri.
Penelitian ini terfokus pada tiga rumusan masalah utama yang meliputi, gagasan yang melatarbelakangi dijalankannya khataman wetonan, konsep dan mekanisme pelaksanaan, serta makna tradisi ini. Tujuan penelitian ini tentu saja untuk mendalami berbagai rumusan masalah tersebut dan memiliki dua kegunaan secara teoritis maupun praktis. Tinjauan pustaka penelitian mencakup tiga kajian, yaitu tentang tradisi khataman Al-Qur’an, pembacaan Al-Qur’an dalam ritual kebudayaan, dan wetonan sebagai adat istiadat Jawa. Teori yang diterapkan adalah sosiologi pengetahuan Karl Mannheim yang terfokus pada tiga makna perilaku. Jenis penelitian yang dijalankan adalah kualitatif. Sumber data primer diperoleh dari para informan dan sekunder dari berbagai sumber terkait. Jenis datanya adalah field research (data lapangan). Teknik pengumpulan datanya menggunakan wawancara, observasi, dan dokumentasi. Teknik pengolahan datanya menerapkan analisis data fenomenologi. Pendekatan yang digunakan adalah sosiologis.NIM.: 19105030068 Bagas Maulana Ihza Al Akbar2023-02-24T07:54:38Z2023-02-24T07:54:38Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/56579This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/565792023-02-24T07:54:38ZHALAMAN JUDUL IMPLIKASI TRADISI SHOLAWAT TERHADAP REGIUSITAS JEMAAH PEREMPUAN DI PRINGGOLAYAN YOGYAKARTASholawat merupakan salah satu wujud rasa untuk lebih
mengingat dan mengagungkan para Nabi dan Rasulnya. Dari
sholawat juga dapat membuat para umat, terutama umat muslim
semakin dekat dengan tuhannya. Di dalam penelitian ini
mengkaji mengenai tradisi sholawat dengan pandangan
religisitas jemaah di desa Pringgolayan. Fokus kajian dalam
penelitian ini yakni lebih mengetahui beberapa pandangan yang
berbeda dari sisi religiusnya dalam memaknai makna dari
sholawat, terutama yakni pandangan jemaah perempuan yang
bergabung dalam grub sholawat Mahmudah dan Nur Masyitah.
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan yang bersifat
deskriptif analisis, yang artinya penelitian ini dilakukan dengan
cara melihat gambaran umum dengan metode wawancara dan
deskripsi mengenai pemaknaan sholawat. Adapun teori yang
digunakan yakni teori dimensi keberagaman Charles Y Glock &
Rodney Stark mengenai religiusitas.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa tradisi sholawat
jika dilihat dari sisi religiustas jemaah di desa Pringgolayan
mengalami peningkatan dan juga berimplikasi terhadap dimensi
keagamaan para jemaah perempuan di desa Pringgolayan. Dari
subjek yang telah diteliti, jika dikaitkan dengan teori Charles Y
Glock & Rodney Stark mengenai implikasi religiusitas agama,
dari 10 orang diantaranya, 80% atau 8 orang diantaranya
termasuk ke dalam dimensi ideologis, 40% dari 4 orang termasuk
ke dalam dimensi intelektual, 80% atau 8 orangnya masuk ke
dalam dimensi ritual, 100% atau semua jemaah masuk ke dalam
dimensi perasaan dan juga 100% lainnya atau semua jemaah juga
masuk ke dalam dimensi konsekwensial. Beberapa diantaranya
terdapat perbedaan antara jemaah satu dengan lainya mengenai
implikasi sholawat, juga bisa dilihat baik dari sisi
kepercayaanya, sisi pengetahuan keagamaanya dalam memaknai
sholawat, sisi ritual dalam agamanya, sisi pengahayatannya dan
juga sisi pengaplikasian ajaran agama dengan prilaku sosial
dalam memaknai sholawatnya.NIM.: 19105020048 Firissa Nur Afifi2023-02-24T06:08:54Z2023-02-24T06:08:54Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/56518This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/565182023-02-24T06:08:54ZTRADISI TER-ATER DI DESA BANJAR TIMUR (KAJIAN LIVING HADIS)Penelitian ini adalah penelitian kajian living hadis yang tentunya fokus kajian pada nilai-nilai hadis yang masih hidup dalam tradisi Ter-ater di Dusun Buabu Desa Banjar Timur, Gapura, Sumenep. Dalam penelitian ini kajian living hadis sangat membantu untuk mengetahui fenomena sosial dalam masyarakat. Sebelum mencapai pada penelitian ada beberapa hal yang akan dicapai oleh penulis dalam penelitiannya yaitu mengetahui praktik tradisi Ter-ater dan juga untuk mengetahui seberapa jauh pemahaman masyarakat terhadap nilai hadis yang terkandung sebagai pondasi di tradisi yang masih dilaksanakan setiap hari, minggu, bulan, bahkan sampai ini, juga merupakan sebagai warisan dari turun-temurun nenek moyang. Bahwa dengan adanya tradisi Ter-ater bisa menjaga tali silaturahmi, persaudaraan, saling rukun dalam bertetangga juga salah satu bentuk kepedulian pada agama.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian lapangan yang bersifat deskriptif kualitatif melalui fakta-fakta gambaran budaya sosial secara detail mengenai tradisi dan nilai hadis yang terkandung dalam ter-ater. Penulis disini menggunakan teori fungsionalisme Bronislaw Malinowski agar lebih mudah dalam mengungkap peristiwa-peristiwa sosial dalam tradisi ter-ater dan sumber yang digunakan yaitu data primer yang diperoleh dari hasil wawancara mendalam ke narasumber atau informan dan data sekunder. Metode yang digunakan oleh penulis adalah teknik pengolahan data meliputi wawancara secara bergilir, observasi, dan dokumentasi.
Unsur-unsur dalam tradisi ter-ater yang dibawakan oleh KH. Qasim diyakini berasal dari hadis Nabi, kemudian tradisi ini dilestarikan oleh cucunya yaitu KH. Mas’ud Qasyim. Sebagai sosok kyai yang disegani oleh masyarakat, tradisi yang dibawakan oleh sesepuh pondok pesantren Al-In’am ini selalu dilaksanakan terus menerus. Masyarakat Banjar Timur hingga sekarang masih rutin melaksanakannya sesuai dengan bulan-bulan Islam dan acara-acara tertentu. tradisi ini memang ada banyak yang melaksanakannya, namun di Madura khususnya desa Banjar Timur berbeda. Bagi masyarakat Banjar Timur kegiatan ini sudah jadi kewajiban setiap hari, minggu, bulan dan bahkan tiap tahunnya pun ada. Dalam hasil penelitian living hadis, tradisi ini merupakan hasil dari praktik masyarakat terhadap ajaran-ajaran Nabi yang diajarkan oleh KH. Qasyim. Peran para leluhur dan kyai adalah sebagai konektor yang menghubungkan antara teks dan masyarakat, yang kemudian diwujudkan dengan bentuk praktik secara terus menerus.NIM.: 17105050069 Shiddiqi2023-02-23T07:54:11Z2023-02-23T07:54:11Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/56543This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/565432023-02-23T07:54:11ZTRADISI PENGUATAN HAFALAN AL-QUR’AN DI PONPES MAZRO’ATUL LUGHOH KAMPUNG INGGRIS PARE KEDIRI (STUDI LIVING QUR‟AN)Tradisi menghafal (tah}fi>z}) Al-Qur‟an adalah salah satu dari banyaknya
fenomena interaksi umat Islam dalam menghidupkan atau menghadirkan Al-
Qur‟an dalam kehidupan sehari-harinya. Para penghafal Al-Qur‟an telah dijamin
kemudahan oleh Allah berupa kemudahan dalam menghafal Al-Qur‟an
sebagaimana telah difirmankan berulang kali dalam kalam-Nya di QS. Al-
Qomar.,Namun pada kenyataannya, masih ada beberapa penghafal Al-Qur‟an
yang mengeluhkan kesulitan dalam menghafal dan menjaganya dikarenakan rasa
malas, sibuk dengan pekerjaan dan lingkungan yang tidak mendukung. Maka dari
itu perlu dilakukannya sebuah usaha, baik secara lahiriyah maupun bathiniyah
melalui amalan-amalan riya>d{ah penguatan hafalan Al-Qur‟an seperti halnya
tradisi penguatan hafalan Al-Qur‟an yang dilaksanakan di Pondok Pesantren
Mazro‟atul Lughoh Kampung Inggris Pare Kediri.
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan dengan pendekatan
kualitatif. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara,
observasi partisipatif dan dokumentasi. Sedangkan teknik yang digunakan untuk
menganalisis data dalam penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif
kualitatif.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pelaksanaan tradisi penguatan
hafalan Al-Qur‟an di ponpes Mazro‟atul Lughoh meliputi muroqobah (pembacaan
Al-Qur‟an sebanyak 5 Juz dalam sehari yang dilakukan secara rutin) , qiyamul lail
, pembacaan wirid serta ratib al attas setiap setelah maghrib dan pelaksanaan
puasa sunnah. Tradisi ini ada setelah mengalami perkembangan pada tahun 2019
sehingga memunculkan beberapa dialektika intersubyektif. Adapun konstruksi
sosial tradisi penguatan hafalan Al-Qur‟an bagi para santri di Ponpes Mazro‟atul
Lughoh Pare yakni melalui proses dialektika berupa momen eksternalisasi,
objektivasi, dan internalisasi. 1) Momen eksternalisasi dimulai ketika santri baru
beradaptasi dengan lingkungan ponpes dan pengetahuan awal terkait tradisi
penguatan hafalan Al-Qur‟an. 2) Momen objektivasi ditandai dengan munculnya
kesadaran dan kebiasaan dari para santri dalam melaksanakan tradisi penguatan
hafalan Al-Qur‟an, yang mana hal tersebut adalah kenyataan sosial yang harus
mereka terima sebagai santri ponpes Mazro‟atul Lughoh. 3) Momen Internalisasi
ditandai dengan penyerapan kedalam kesadaran para santri bersamaan dengan saat
dia memahami pengetahuan atas tradisi tersebut, yang mana ditandai dengan
kebiasaan nderes, qiyqmul lail, puasa Sunnah yang telah melekat dalam
keseharian hidup santri dan alumni.NIM.: 18105030006 Rahma Maulida2023-02-21T01:21:41Z2023-02-21T01:21:41Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/56472This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/564722023-02-21T01:21:41ZANALISIS TEORI SISTEM POLITIK DALAM RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG MARGA DI PROVINSI SUMATERA SELATAN DALAM PERSPEKTIF “ADAT DI PANGKU SYARIAT DI JUNJUNG”In the last few months from 2021 to 2022 the DPRD of South Sumatra Province through BAPEMPERDA (Regional Regulation Making Agency) plans to make a regional regulation to revive the Marga system in South Sumatra, the stages that are passed by the people's representatives who sit on the council chair are not just wishes however, it has started with the publication of an academic draft of the regional regulation draft on clans in 2022. So that in this research plan the author will look at the Raperda concept regarding clans that will be initiated by the DPRD from the motto of the Palembang Darussalam Sultanate which became the official state when the clan system triumphed in the past, the Palembang Darussalam Sultanate's motto acculturates between customary law and religious law which reads "Adat in Pangku Shari'a in Junjung, from the identification of these problems the author is interested in examining this research study in the perspective of the motto "Adat in Pangku Shariat in Junjung". The main problem of this thesis is: Is the Raperda on Marga in accordance with the values that are developing in the people of South Sumatra? and Is the Raperda on Marga in South Sumatra in accordance with higher statutory regulations?
This research was conducted using the type of library research (Library Research), namely by taking and collecting material from library books related to the issues discussed. This study uses a normative juridical approach, namely research that is focused on examining the application of rules or norms in Islamic law and added some field data (empirical data) so that this research is combined. The theory used in this study is the theory of Political Systems "David Easton".
The draft Regional Regulation on Marga in South Sumatra is in accordance with the values that live in the midst of the indigenous people of South Sumatra, the substance of the draft regional regulation on Marga in South Sumatra in Palembang's cultural identity "Adat in Pangku Syariat di Junjung" is very sustainable, In context, the Marga was once under the Palembang Darussalam Sultanate which in fact was an independent Islamic state, even at that time the official law that applied in the Marga was an acculturation between adat and Shari'a which was then compiled into the Simbur Cahaya Law which was valid until the Marga government was abolished. This is reflected in every customary tradition in the clans in South Sumatra, whose traditions have never violated existing religious rules. This was also validated by three traditional leaders representing the three major tribes in South Sumatra. The draft regional regulation on Marga in South Sumatra experienced dynamics when it was reviewed with the 6 preamble texts of the related laws and regulations above it, of the 6 regulations reviewed in the Marga Academic Paper, 5 regulations provided a great opportunity for the Raperda which wanted to revive the Marga system. This is the 1945 Constitution, Republic of Indonesia Law No. 25 of 1959 concerning the stipulation of "Government Regulation in Lieu of Law No. 3 of 1950 concerning the Establishment of the Level I Region of South Sumatra”, Law no. 32 of 2004 concerning Village apparatus, Law no. 6 of 2014 concerning Villages, and Law no. 23 of 2014 concerning Regional Government, while Law no. 5 of 1979 concerning Villages actually closed the opportunity for the revival of the Marga system because this regulation was the cornerstone of the abolition of Marga in the past.NIM.: 20203012102 Muhamad Setiawan, S.H.2023-02-20T03:58:55Z2023-02-20T03:58:55Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/56445This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/564452023-02-20T03:58:55ZTRADISI PERKAWINAN MOMBOLASUAKO PADA MASYARAKAT SUKU TOLAKI PERSPEKTIF MAQASID AL-SYARI’AHMombolasuako marriage is a marriage carried out in which a man and a
woman who want to marry together run away from the house and go to the village
priest's house with the intention of asking for marriage without the knowledge of
their parents. Mombolasuako's marriage was motivated by various factors such as
the absence of consent from parents, saving time and money, and because there was
coercion from one party. Mombolasuako marriage has many impacts on people's
lives, such as; can cause homicide between male and female families, causing the
relationship between parents and their children to be disharmonious. So that in the
life of the Tolaki tribe, the marriage of mombolasuako becomes a debate whether
this form of marriage is in accordance with Islamic law and whether such marriage
is legal or not. Departing from this explanation, the author is interested in
researching more deeply related to mombolasuako marriage with the focus of the
research, namely; how is mombolasuako marriage in Tolaki tribal community in
Lamendora Village, how is maqa>s}id al-syari'ah review of mombolasuako marriage
in Tolaki tribal community in Lamendora Village.
This type of research is field research and is descriptive-analytical. This study
uses a normative research approach using the theory of maqas>i}d al-syari’ah. Data
collection in this study was done by observation, interviews, and documentation.
Then the data that has been collected was analyzed using the data analysis method
of the Miles and Huberman model, namely; data reduction, data display, and
drawing conclusions.
The results showed that mombolasuako marriage is a form of marriage that
violates Tolaki customary law because in the process it does not follow the stages
in the normal marriage process. The factors that cause mombolasuako marriage are;
not getting permission from parents, speeding up marriage, saving time and money,
getting pregnant out of wedlock, lack of understanding about marriage, and because
there is coercion from one party. Mombolasuako marriage has many negative
impacts, such as; causing murder between male and female families, the
perpetrators of mombolasuako marriages do not get good treatment from the
community, the relationship between parents and their children who do
mombolasuako marriages is not harmonious. To prevent this impact, the Tolaki
customary law regulates the stages in resolving the problem of mombolasuako
marriage, which include; the molomba o biri stage, the mesokei stage, and the
mowindahako stage. Mombolasuako marriage is legal if the marriage is carried out
by fulfilling the pillars and conditions of marriage in accordance with what is
regulated in Islamic law. Meanwhile, based on the theory of maqa>s}id al-shari'ah,
mombolasuako marriage is considered to cause more harm than benefit.NIM.: 20203012053 Panji Nurrahman, S.H.2023-02-20T01:49:31Z2023-02-20T01:49:31Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/56399This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/563992023-02-20T01:49:31ZTRADISI “JUJURAN” DALAM ADAT BANJAR KALIMANTAN SELATAN (STUDI KASUS DESA RANTAWAN KEC. AMUNTAI TENGAH KAB. HULU SUNGAI UTARA KALIMANTAN SELATAN)Jujuran merupakan sebuah tradisi dalam perkawinan adat Banjar yang ada di Provinsi Kalimantan Selatan. Tradisi jujuran adalah kewajiban bagi seorang calon suami untuk memberikan sejumlah uang yang nantinya akan digunakan untuk keperluan resepsi dan membeli keperluan rumah tangga untuk persiapan hidup berdua dikemudian hari. Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah apa dan bagaimana konsep jujuran dalam perkawinan adat Banjar, khususnya di Desa Rantawan, Kec. Amuntai Tengah, Kab. Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan, dan mengapa tradisi jujuran masih bisa bertahan sampai sekarang.
Penelitian ini dilakukan secara langsung di Desa Rantawan, Kec. Amuntai Tengah, Kab. Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan atau penelitian lapangan (field research), penulis menggunakan metode deskriptif-analisis dalam penelitian ini kemudian lebih mendalami terkait tradisi jujuran dengan menggunakan teori strukturalisme yang dikembangkan oleh Jean Piaget dan teori fungsionalisme struktural yang dikembangkan oleh Talcott Parsons.
Berdasarkan hasil dari penelitian, maka diketahui bahwa nominal jujuran yang akan diberikan oleh seorang pria yang ingin menikahi seorang wanita cenderung bervariasi dan berbeda dengan pengantin lainnya. Hal tersebut dilatarbelakangi biaya resepsi yang dilakukan di rumah pengantin wanita dan harga barang-barang yang akan dibeli untuk mengisi kamar pengantin. Selain itu juga dilatarbelakangi kelebihan segi fisik dan non-fisik yang dimiliki calon pengantin wanita, yaitu terdiri dari kecantikan, pendidikan, pekerjaan, dan standar ekonomi yang dimiliki wanita tersebut. Faktor utama alasan bertahannya masyarakat di Desa Rantawan, Kec. Amuntai Tengah Kab. Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan dengan tradisi jujuran adalah karena tradisi jujuran adalah sesuatu yang harus dilakukan jika ingin melakukan perkawinan adat Banjar. Dikatakan demikian karena tradisi jujuran sudah dianggap sebagai suatu hal yang sudah mendarah daging bagi masyarakat adat Banjar dan tidak dapat dihilangkan.NIM.: 19103050077 Akmal2023-02-20T01:47:30Z2023-02-20T01:47:30Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/56408This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/564082023-02-20T01:47:30ZTRADISI PERHITUNGAN NAMA DAN HARI LAHIR CALON PASANGAN PENGANTIN PERSPEKTIF MAQASID SYARI’AH IBNU ‘ASYUR (STUDI KASUS KECAMATAN PACET, KABUPATEN CIANJUR)The calculation of the names and birthdays of the prospective bride and groom in Pacet District is a tradition that is one of the standards of qualification based on customs and culture in determining the ideal bride and groom in addition to religion, lineage, wealth, social status and free from defects known as kafā’ah in Islam. They believe that with this calculation, the good and bad luck of someone who will get married can be predicted. On the other hand, Cianjur is known as a religious city and has a lot of santri, so Cianjur has been nicknamed a santri city (student city). In 2001, the Regional Government also launched a program for the enforcement and practice of Islamic Shari'a in Cianjur Regency, known as the Gerbang Marhamah “Gerakan Pembangunan Masyarakat Berakhlakul Karimah” (Movement for Development of the People with Morals of Karimah) which was stated in the Cianjur Regency Regional Regulation No. 03/2006. In the city of Cianjur, many of the people, especially in Pacet District, still believe in matchmaking and the fate of couples through calculating the names and birthdays of the prospective bride and groom with certain methods, even these methods are obtained and studied through several Islamic religious leaders, such as kyai and ajengan.
The type of research used in this research is field research which is based on descriptive data. Sources of data obtained are in the form of interviews, observations, documentation, and literature from several sources relevant to the tradition of calculating the names and birthdays of prospective bridal couples in Pacet District. This study uses the theory of maqāṣid syarī’ah promoted by Ibn 'Āsyūr. The method used in this research is qualitative with a sociological approach and maqāṣid syarī’ah.
The results showed that the motive for calculating the names and birthdays of the prospective bride and groom in Pacet District was based on several factors, namely cultural, social, religious, and psychological factors. As for the maqāṣid syarī'ah review of Ibn 'Āsyūr's calculations, it shows that this traditional practice is under one of the most essential elements of maqāṣid syarī'ah 'āmmah namely, benefit. Based on the urgency of the calculation is at the taḥsīniyyāt level, because it is a good customer so their life order becomes more perfect. Based on its scope, this calculation is included in the category of juz'iyyah khāṣṣah, because the benefits are intended for both bridal couples to get harmony. Based on the accuracy, there are 2 potentials, namely including ẓanniyyah if it is motivated by a form of endeavor to get happiness from Allah SWT, and including wahmiyyah if it is based on the belief factor that the calculation can have both positive and negative impacts. If analyzed through maqāṣid syarī'ah khāṣṣah, then this calculation is in line with one of the elements of maqāṣid syarī'ah in family law, namely strengthening the marriage bond.NIM.: 20203011011 Farkhan Muhammad2023-02-17T02:03:42Z2023-02-17T02:03:42Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/56358This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/563582023-02-17T02:03:42ZTRADISI MEGENGAN BAGI MASYARAKAT KABUPATEN TRENGGALEK : STUDI KOMPARATIF PANDANGAN TOKOH MUHAMMADIYAH DAN TOKOH NAHDLATUL ULAMAAgama dan budaya merupakan dua konteks yang memiliki korelasi atau keterkaitan yang tak dapat dipisahkan. Agama dilambangkan sebagai sebuah simbol ketaatan seorang makhluk kepada Tuhan, sedangkan budaya dilambangkan sebagai bentuk perbuatan nyata di lingkungan masyarakat, yang mana memiliki nilai penting di dalamnya. Demikian halnya seperti agama Islam yang berkembang di masyarakat khususnya Jawa, yang kental akan tradisi dan budayanya. Namun perlu diketahui juga, konteks budaya disini masih perlu untuk diadaptasikan lagi yang sekiranya tidak bertentangan dengan norma ajaran agama Islam. Salah satu contoh budaya yang masih bisa diadaptasikan dengan syariat Islam ialah tradisi megengan. Tradisi megengan merupakan merupakan tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Jawa dalam rangka menyambut bulan Ramadhan, biasanya dilakukan diantara 7 hari terakhir di bulan Sya’ban. Pada umumnya rangkaian pelaksanaan tradisi megengan dilakukan dengan doa bersama, selamatan dalam yang dilakukan oleh masyarakat sekitar di masjid secara berjamaah. Ciri khas dari tradisi ini cukup unik, yakni adanya nasi gurih atau nasi uduk, ayam ingkung, kue apem, dan pisang rojo sebagai makanan utamanya. Tujuan dari tradisi megengan ini ialah berdoa kepada Allah karena masih diberikan kesempatan bertemu kembali dengan bulan suci Ramadhan. Topik megengan ini cukup menarik untuk dibahas karena tradisi ini merupakan bersifat klasik atau tradisional yang artinya sudah ada sejak zaman dulu, lalu apakah di zaman yang modern ini masih tetap ada yang melestarikan atau bahkan mulai ditinggalkan. Kemudian bagaimana hukum dari pelaksanaan tradisi megengan ini juga masih terdapat pro kontra di dalamnya, sebagian mengatakan boleh dilakukan, boleh namun dengan beberapa syarat tertentu, dan bahkan ada yang mutlak tidak boleh dilakukan. Hal inilah yang menjadi latar belakang penulis melakukan penelitian dalam skripsi ini. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis mengajukan rumusan masalah : (1) Bagaimana pelaksanaan atau praktik tradisi megengan bagi masyarakat Kabupaten Trenggalek?, (2) Bagaimana pandangan para tokoh Muhammadiyah dan tokoh Nahdlatul Ulama terhadap pelaksanaan tradisi megengan di Kabupaten Trenggalek?
Penelitian yang dilakukan termasuk dalam penelitian kualitatif, yang mana jenis penelitiannya yaitu penelitian lapangan (field research), yang mana sumber atau data-data nya dikumpulkan melalui beberapa metode, yakni observasi, wawancara (interview), dan dokumentasi. Analisis data yang dilakukan yakni analisis-komparatif, yaitu menganalisis suatu topik yang kemudian melakukan perbandingan antara satu pendapat dengan pendapat yang lain untuk ditelusuri letak perbedaan dan persamaannya. Pendekatan penelitian ini menggunakan teori al-’Urf.
Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwasannya tradisi megengan memiliki makna atau nilai yang sangat penting bagi masyarakat Kabupaten Trenggalek, karena selain melestarikan tradisi budaya Jawa juga mengamalkan nilai-nilai agama Islam seperti halnya bersedekah sebagai bentuk dari kepedulian sosial, bersilaturahmi dengan tetangga, dan juga mempersiapkan diri secara lahir batin dalam menghadapi bulan suci Ramadhan. Tokoh Muhammadiyah berpandangan bahwa hukum melaksanakan tradisi megengan ialah boleh namun tidak ikut merayakan karena tidak tergolong dalam kategori ibadah, melainkan muamalah, jadi tidak ada suatu keharusan ataupun kewajiban untuk merayakan tradisi ini, sedangkan tokoh Nahdlatul Ulama berpendapat bahwasannya melaksanakan tradisi megengan ini boleh dan ikut merayakan tradisi, karena kegiatannya mengandung nilai-nilai Islam di dalamnya, juga melestarikan budaya merupakan suatu keharusan bagi masyarakat lokal menjadi alasan dibolehkannya tradisi ini.NIM.: 18103060008 Ilham Yuda Wicaksono2023-02-17T01:59:55Z2023-02-17T01:59:55Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/56357This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/563572023-02-17T01:59:55ZTRADISI NYADRAN LAUT DI DESA KEDAWUNG KECAMATAN BANYUPUTIH KABUPATEN BATANG STUDI KOMPARATIF PENDAPAT TOKOH NAHDLATUL ULAMA DAN LEMBAGA DAKWAH ISLAM INDONESIAThe Nyadran Laut tradition is a celebration carried out by fishermen on the coast of Celong beach, Banyuputih District, Batang Regency as a form of gratitude for the abundance of sustenance and safety from God. The implementation of the Nyadran Laut tradition at Celong Beach is carried out in the month of Muharam. This is done as a form of gratitude for the abundant sea products, as well as the safety that God has bestowed on the fishermen. The core procession of the Nyadran Laut tradition itself is carried out by throwing a goat's head and several offerings into the middle of the sea, after which it is continued with a joint prayer led by local elders.
The focus of this research is (1) to find out how the Nyadran Laut is practiced in Kedawung Village, Banyuputih District, Batang Regency?. What is the analysis of the views of Nahdlatul Ulama (NU) figures and the Indonesian Islamic Da'wah Institute (LDII) in the Banyuputih District area, regarding the practice of the Nyadran Laut tradition that occurs among Muslims? This type of research is field research, where data is collected from locus (lapamgan) using several methods, namely observation, interviews and documentation. Data analysis was carried out by comparative analysis, which is an analysis that is guided by efforts to compare two or more variables. Furthermore, this study uses the theory of 'urf as a scalpel in the analysis.
The results of this study are the Nahdlatul Ulama figure allowed the Nyadran Laut tradition because the requirements of 'urf were fulfilled with the condition that one must always be careful and avoid things that cause polytheism. In contrast to figures from the Indonesian Islamic Da'wah Institute, they argue that they do not do this because of the thin gap of polytheism and extravagance. The Nyadran Laut tradition is analyzed from the opinions of the leaders and examined using the theory of 'urf by doing because it complies with the requirements of 'urf and there has been an assimilation process with Islamic culture by eliminating things that are contrary to syara'.NIM.: 18103060007 Muhammad Fathurrahman2023-02-16T01:59:25Z2023-02-16T01:59:37Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/56298This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/562982023-02-16T01:59:25ZHUKUM SALAT DALAM TRADISI REBO PUNGKASAN MENURUT TOKOH MUHAMMADIYAH DAN NAHDLATUL ULAMA DI LEBAKSIU KABUPATEN TEGALTradisi Rebo Pungkasan merupakan salah satu tradisi yang populer di Indonesia khususnya di Jawa. Tradisi ini merupakan warisan nenek moyang yang mengakar dan dijalankan dari tahun ke tahun yang diperingati setiap hari Rabu terakhir di bulan Safar. Akar perayaan ini di latar belakangi karena adanya kepercayaan masyarakat bahwa setiap hari Rabu terakhir di bulan Safar Allah menurunkan bala’ pada setiap tahunnya oleh karenanya, adanya kepercayaan tentang turunnya bala’ pada bulan Safar membuat setiap orang harus melakukan upaya-upaya untuk menghindari turunnya bala’. Lebaksiu merupakan salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Tegal yang sampai sekarang melakukan acara ritual adat Rebo Pungkasan. Tradisi Rebo Pungkasan di Lebaksiu sangat dipengaruhi religiusitas masyarakatnya maka dari itu, dalam ritual-ritual Rebo Pungkasan didapati prosesi ritual keagamaan seperti; ziarah, sedekah, selametan dan salat Rebo Pungkasan. Salat dalam Rebo Pungkasan merupakan salah satu ritual yang tidak terpisahkan dalam acara tersebut. Namun, pelaksanaan salat dalam tradisi pungkasan dinilai sangat problematis karena sebagian ulama mengatakan haramnya melaksanakan salat dalam tradisi tersebut karena tidak ada dalil yang memerintahkanya. Sementara, sebagian ulama yang lain menyatakan kebolehan dalam melaksanakan salat tersebut sebab tujuan salat semestinya semata-mata mendekatkan diri pada Allah SWT.
Dalam penelitian ini penyusun fokus membahas hukum salat dalam tradisi Rebo Pungkasan menurut pandangan tokoh Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) di Lebaksiu Kabupaten Tegal. Pada penelitian ini penyusun menggunaka teori istinbāṭ hukum. Penelitian ini menggunakan penelitian lapangan (Field Reasearch). Data primer, penyusun mengambil dari wawancara serta buku atau kitab yang membahas salat dalam tradisi Rebo Pungkasan. Penelitian ini bersifat bersifat deskriptif-kualitatif karena peneliti berupaya memaparkan mengenai pemahaman tokoh Muhammadiyah dan tokoh Nahdhatul Ulama tentang hukum melaksanakan salat Rebo Pungkasan khususnya di daerah Kecamatan Lebaksiu Kabupaten Tegal.
Hasil dari penelitian ini adalah tokoh Muhammadiyah mengatakan haram melaksanakan salat dalam tradisi Rebo Pungkasan karena salat tersebut mengindikasikan untuk menolak bala’. Sedangkan tokoh NU mengatakan kebolehan dalam melaksanakan salat tersebut sebab salat dalam tradisi Rebo Pungksan dalam pelaksanaanya seperti melaksanakan salat sunah lain. Adapun metode dalam penyelesaian dalam setatus hukumnya, tokoh Muhammadiyah menggunakan penalaran bayāni sedangkan tokoh Nahdlatul Ulama menggunakan penalaran ta’lilī.NIM.: 16360051 Ade Rizki Agustiawan2023-02-15T02:58:35Z2023-02-15T02:58:35Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/56217This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/562172023-02-15T02:58:35ZTRADISI TER-ATER SEBAGAI REPRESENTASI MERAJUT HARMONI ETNIS MADURA-MELAYU PASCA KONFLIK DI KECAMATAN PONTIANAK BARATTradition ter-at as a cultural mechanism of the Madurese people has an impact on new perspectives regarding patterns of post-conflict community interaction. The impact is that there is a reciprocal relationship in the ter-ater implementation procession, thus providing space for mutual interaction. This condition is interesting to study in depth to find out that later traditions can form harmony and maintain social relations in society. Therefore, this study will examine the main ideas contained in the ter-at tradition of the Madurese community in West Pontianak Subdistrict and how the construction was built in an effort to knit harmony between the Madurese and Malay ethnic communities after the conflict by adapting the values contained in ter-atter implementation of heterogeneous environments. This study uses a qualitative method with a phenomenological approach. The concept for examining this research uses two theories, namely Victor Turner's symbolic anthropology concept and Talcott Parsons' structural functionalism concept. The data collection method used is participatory observation, in which the author takes part in the procession of carrying out the ter-ater tradition which is carried out in January-February and April-May. Furthermore, interviews with Madurese and Malay communities, and continued with data collection through documentation of the symbols or tools and materials used in the ter-ater procession. The results of the study found that the ter-ater implementation procession carried out by the Madurese community had an important role in post-conflict society. The ter-ater tradition plays a role as a medium for interaction between human beings and builds and knits harmony with neighbors who are multi-ethnic and multi-religious by referring to the implementation of the meanings and philosophical values contained in the ter-ater tradition. Thus, through this research the authors found that the internalization of the positive values contained in ter-ater was able to create a space for harmony in diversity. In addition, the use of local wisdom can actually be a social media in creating togetherness after the conflict.NIM.: 20200012042 Fitri Andriyani2023-02-14T03:46:39Z2023-02-14T03:46:39Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/56202This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/562022023-02-14T03:46:39ZPENDAMPINGAN ORANG TUA SUKU ANAK DALAM TERHADAP PENDIDIKAN ANAKSuku Anak Dalam (SAD) merupakan masyarakat minoritas yang merupakan penduduk asli Provinsi Jambi. Masyarakat SAD memiliki tradisi turun temurun dari nenek moyang mereka, kehidupan yang tinggal di dalam hutan membuat mereka memiliki keahlian meramu, berburu dan bertani untuk bertahan hidup didalam hutan, keadaan hutan yang semakin sempit membuat mereka harus kehilangan tempat tinggal dan mengalami perubahan untuk mempertahankan kehidupan mereka. Masyarakat SAD tidak dapat membaca, menghitung dan menulis membuat mereka mengalami hal yang tidak baik seperti penipuan dan kecurangan saat bersosialisasi dengan masyarakat mayoritas. Bagi mereka pendidikan merupakan suatu hal yang dapat merusak adat mereka karena hal tersebut tidak diajarkan oleh nenek moyang mereka, namun perubahan yang terjadi membuat mereka menyadari bahwa pendidikan itu penting untuk mempertahankan kehidupan mereka saat ini. Tujuan dalam penelitian ini adalah melihat apa faktor perubahan yang terjadi pada SAD, melihat perubahan yang terjadi SAD dalam kehidupannya dan bagaimana pendampingan orang tua terhadap Pendidikan anak SAD. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, untuk mendapatkan data menggunakan observasi, wawancara dengan 3 orang tua SAD dan 2 anak SAD dan 6 orang yang sering bersosialisasi dengan masyarakat SAD dan dokumentasi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi perubahan kehidupan pada masyarakat SAD yaitu mengkosumsi makanan, pernikahan dengan orang luar SAD, kemajuan teknologi dan mata pencaharian. Masyarakat SAD mengalami perubahan dari banyak aspek yaitu dari segi kependudukan mereka telah memiliki KK dan KTP, dari segi kesehatan mereka menyadari untuk menjaga kebersihan dan merawat keluarga dengan makanan yang sehat dan bersih, masyarakat SAD juga telah memiliki agama yang mereka anut dan perubahan yang terjadi pada mereka mengalami dampak yang baik bagi mereka dan masyarakat yang lain. Bentuk-bentuk pendampingan orang tua SAD dalam pendidikan anak yaitu orang tua memberikan fasilitas yang digunakan anak, memberikan dukungan kepada anak agar bersemangat dalam pendidikan, mengawasi waktu anak untuk belajar, orang tua juga
membantu anak saat mengalami kesulitan, orang tua juga membangun hubungan dengan pihak sekolah guru yang mengajar anak-anak SAD agar dapat mengetahui bagaimana perkembangan anak dan yang terakhir orang tua memperhatikan hubungan anak dengan masyarakat mayoritas agar anak tetap menjaga perilaku dan sesuai dengan norma-norma.NIM.: 20200011087 Nikmatul Choyroh Pamungkas2023-02-14T03:07:07Z2023-02-14T03:07:07Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/56200This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/562002023-02-14T03:07:07ZSISTEM PEMBENTUKAN KELUARGA DALAM TRADISI BAJAPUIK PADA MASYARAKAT PERANTAU PARIAMAN DI DUMAIMinangkabau memiliki sistem matrilineal yang mana keturunan dan harta warisan diturunkan melalui garis ibu/perempuan, sehingga kebanyakan orang minang ketika sudah berumah tangga yang lebih dominan ialah istri. Karena hal tersebut membuat peran suami dalam rumah tangga berkurang sehingga di Pariaman ketika ingin menikah yang memulai lamaran ialah pihak perempuan yang disebut tradisi bajapuik. Hingga sekarang tradisi tersebut masih berjalan walaupun mereka sudah di daerah rantau Dumai, tentu saja dengan mengikuti perkembangan zaman. Tesis ini mengeksplorasi tradisi bajapuik sebagai sytem pembentukan keluarga di kalangan Minang padang Pariaman di Kota Dumai.
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan dengan melihat fenomena yang ada melalui metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Data yang diambil secara purposive sampling yang masa sesuai dengan kriteria penelitian yaitu Kota Dumai. Observasi dimulai dari Desember 2021 hingga Mei 2022 disertai dengan wawancara dan dokumentasi. Temuan yang didapatkan pertama tradisi ini hanya dilakukan untuk mengisi adat saja yang mana uang japuik dan uang hilang dibantu oleh pihak laki-laki. Kedua, sistem pembentukan keluarga dari keluarga yang mendidik anak melalui kultural yang dibarengi dengan perubahan sosial-budaya yang dilakukan sebelum perkawinan, peoses perkawianan sampai setelah perkawiananNIM.: 20200011078 Rita Anriani2023-02-14T00:58:56Z2023-02-14T00:58:56Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/56166This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/561662023-02-14T00:58:56ZIMPLEMENTASI DAN RESPON MASYARAKAT TERKAIT SURAT EDARAN GUBERNUR NO. 150/1138/2014 TENTANG PENDEWASAAN USIA PERKAWINANDi Provinsi NTB isu pernikahan usia dini cukup tinggi. Data BPS menunjukan persentase perkawinan pertama perempuan umur 10-19 tahun pada tahun 2016 : 51,19 %, dengan rata-rata usia kawin pertama perempuan masih dibawah target (20,15 tahun) dari target 20,50 tahun. Faktor penyebab tingginya angka pernikahan usia dini antara lain adalah rendahya pengetahuan dan pemahaman remaja, tentang dampak pernikahan usia dini dan kesehatan reproduksi remaja. Pemahaman masyarakat tentang dampak yang akan ditimbulkan, faktor kemiskinan, faktor pendidikan, kultur sosial dan budaya serta adanya pengaruh media dan lingkungan menyebabkan terjadinya perubahan sikap dan perilaku remaja. Terjadinya perkawinan usia muda di NTB ini mempunyai dampak tidak baik kepada mereka yang telah melangsungkan pernikahan juga berdampak pada anak-anak yang dilahirkannya serta masing-masing keluarganya. Menyikapi hal tersebut Pemerintah Provinsi NTB dalam RPJMD tahun 2013 – 2018 menetapkan Program Pendewasaan Usia Perkawinan sebagai program prioritas. Namun keberhasilan program ini akan susah diukur efektifitasnya jika persepsi masyarakat belum diketahui. Karenanya thesis ini ingin menjelaskan implementasi dan respon masyarakat terkait surat edaran gubernur tentang pendewasaan usia nikah. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif yaitu suatu penelitian yang bertuajuan untuk menerangkan fenomena-fenomena sosial/suatu peristiwa. Cara untuk menjawab masalah ini adalah lewat hasil observasi, wawancara, yang dimana hasil wawancara menunjukan sebgaian besar remaja di desa landah menyetujui surat edaran gubernur tentang pendewasaan usia nikah tapi sebagian dari remaja juga tidak setuju karena masalah impitan ekonomi yang membuat sebagian remaja memutuskan menikah dibawah umur dan selain masalah ekonomi, peraturan masyarakat adat yang ketat yang dimana perempuan harus pulang sampai jam sepuluh malam, apabila melanggar atau pulang lebih dari jam sepuluh malam tentun ketua adat akan menikahkan mereka karena ini merupaka aib keluarga.NIM.: 18200010175 Muhammad Siandi2023-02-07T02:59:24Z2023-02-07T02:59:24Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/55918This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/559182023-02-07T02:59:24ZNYADRAN : TRADISI LOKAL YANG MASIH TERJAGA DI DUSUN CIBUNGUR, DESA DANAKERTA, KECAMATAN PUNGGELAN, KABUPATEN BANJARNEGARAJawa merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia yang memiliki
keteguhan untuk melestarikan tradisi. Salah satu tradisi yang masih dilaksanakan
dan berkembang di masyarakat Jawa adalah Nyadran. Tujuan dari penelitian ini
adalah 1) untuk mengetahui pelaksanaan tradisi Nyadran di Dusun Cibungur, 2)
untuk mengetahui peran masyarakat dalam melestarikan tradisi Nyadran di Dusun
Cibungur. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan teknik
pengumpulan data meliputi wawancara, observasi dan dokumentasi. Teori yang
digunakan dalam penelitian ini adalah konsep kebudayaan dan tradisi serta teori
fungsionalisme struktural AGIL menurut Talcott Parsons.
Hasil dari penelitian ini adalah terdapat perbedaan pelaksanaan tradisi
Nyadran warga Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah yang mencakup tujuan,
waktu pelaksanaan dan prosesi tradisi Nyadran. Pada warga NU tradisi Nyadran
bertujuan sebagai media silaturahmi dan bentuk kebaktian kepada orang tua
maupun keluarga yang sudah meninggal. Mempunyai tiga prosesi yaitu bersih
kubur, nyekar dan kenduri serta dilaksanakan pada pertengahan Bulan Syakban.
Kemudian Nyadran warga Muhammadiyah bertujuan sebagai media bersedekah
dan bentuk kebaktian kepada orang tua maupun keluarga yang masih hidup. Tidak
ada ketentuan terkait waktu pelaksanaan tradisi Nyadran warga Muhammadiyah,
dapat dilakukan kapan saja selama masih Bulan Syakban. Nyadran warga
Muhammadiyah hanya mempunyai satu prosesi yakni ater-ater.
Peran masyarakat dalam melestarikan tradisi Nyadran dilakukan oleh
beberapa aktor sosial. 1) Adaptasi, dilakukan oleh tokoh Nahdlatul Ulama dan
Muhammadiyah yakni Bapak Nur Yasin, Bapak Njardi dan Bapak Supri yang
berperan untuk memberikan pengarahan kepada masyarakat terkait tradisi
Nyadran yang disesuaikan dengan pemahaman Nahdlatul Ulama dan
Muhammadiyah, 2) Integrasi, dilakukan oleh Paguyuban Seni Budaya Rezba
Nada, yakni Bapak saeun yang menggagas forum diskusi rutin sebagai sarana bagi
pemuda pemudi untuk berinteraksi dengan tokoh masyarakat dan tokoh agama
dalam upaya melestarikan tradisi Nyadran, 3) Laten, Kepala Dusun Cibungur
mendukung adanya upaya pelestarian tradisi lokal, yang secara tidak langsung
memberikan motivasi untuk menciptakan semangat generasi muda dalam menjaga
keberadaan tradisi Nyadran, 4) Tujuan, dengan adanya peranan aktor sosial
tersebut maka tujuan yang telah ditentukan dapat dicapai yaitu melestarikan
tradisi Nyadran.NIM.: 18107020004 Nunung Ayu Lestari2023-01-23T22:52:57Z2023-01-24T07:13:42Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/55642This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/556422023-01-23T22:52:57ZPEMBINGKAIAN BERITA KASUS PENENDANGAN SESAJEN DI LUMAJANG JAWA TIMUR PADA MEDIA ONLINE KOMPAS.COM DAN ERAMUSLIM.COMKasus penendangan sesajen yang dilakukan seorang pria di kawasan erupsi Gunung Semeru, Lumajang, Jawa Timur pada Januari 2022 lalu, menimbulkan reaksi yang beragam. Beberapa kelompok ada yang menganggap kasus tersebut sebagai bentuk penistaan agama yang dapat memicu perpecahan antar umat beragama di Indonesia. Kelompok lain ada pula yang mendukung dengan alasan sesajen tidak sesuai dengan ajaran Islam sehingga dianggap dapat mendatangkan kemudaratan. Media pun memandang hal yang berbeda terhadap kasus ini. Media tidak hanya menyampaikan suatu peristiwa namun ikut memproduksinya. Begitu halnya dengan isu penendangan sesajen yang menimbulkan beragam pendapat sehingga menarik perhatian media untuk memberitakan hal tersebut. Penelitian ini ingin melihat bagaimana bingkai yang dibuat oleh Kompas.com dan Eramuslim.com dalam mengkonstruksi pemberitaan kasus penendangan sesajen agar dapat menemukan perbedaan bingkai diantara keduanya.
Penelitian ini menggunakan metode analisis framing yaitu pendekatan analisis wacana khususnya analisis teks media untuk mengetahui bingkai suatu berita. Teori yang dipakai adalah teori Konstruksi Realitas dari Peter L. Berger dan Thomas Luckmann untuk mengetahui konstruksi realitas yang dibentuk media terhadap berita yang disajikan. Model analisis menggunakan model framing dari Gampson dan Modigliani untuk menganalisa aspek-aspek pembingkaian dari setiap berita yang dianalisa.
Hasil penelitian menunjukkan pemberitaan penendangan sesajen pada Kompas.com lebih menekankan frame-nya pada pernyataan tokoh yang mempunyai legitimasi dalam masyarakat, simbol-simbol yang dipakai menggunakan gambar dan kata-kata untuk memberi penekanan peristiwa, serta menempatkan isu utama sebagai tema yang banyak dibahas pada lead berita untuk menjelaskan kronologis peristiwa. Sedangkan pada Eramuslim.com lebih menekankan frame-nya pada karakter pelaku sebagai tokoh utama dengan pemberian simbol-simbol berupa kata-kata dan perumpamaan serta tidak terlalu mementingkan penggunaan gambar sebagai objek pendukung visualisasi. Isu utama ditempatkan pada posisi penjelas dengan lebih banyak memaparkan peristiwa melalui sejarah dan cerita tokoh Islam terdahulu yang disingkronkan dengan peristiwa penendangan sesajen.NIM.: 17102010008 Irfan2022-11-22T02:01:49Z2022-11-22T02:02:12Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/55193This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/551932022-11-22T02:01:49ZTINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP SESERAHAN DAN SOROGAN DALAM PERKAWINAN ADAT SUNDA DI DESA SUKATANI KECAMATAN COMPRENG KABUPATEN SUBANGPerkawinan sebagai salah satu sendi kehidupan masyarakat tidak lepas dari
tradisi yang telah dimodifikasi agar sesuai dengan ajaran yang dianut. Sebagai
sebuah akad, perkawinan menimbulkan hak dan kewajiban, salah satu hak dan
kewajiban yang muncul dalam perkawinan Islam yaitu pemberian mahar ketika
dilangsungkannya akad tersebut, perkawinan merupakan akad yang menghalalkan
adanya hubungan antara pasangan suami istri untuk memperoleh keturunan yang
baik.
Pernikahan pada masyarakat Desa Sukatani mensyaratkan ketentuan lain
yang harus dipenuhi oleh calon suami dan istri. Ketentuan ini berupa seserahan
dan sorogan. Seserahan adalah pemberian dari pihak laki-laki kepada pihak
perempuan berupa perkakas dan perlengkapan alat rumah tangga seperti kursi,
meja, lemari, tempat tidur dan perlengkapan dapur. Sedangkan sorogan yaitu
pemberian dari pihak perempuan kepada saudara pihak laki-laki berupa makanan
dan segala macam makanan,buah dan kue-kuean. Pemberian ini selalu mengiringi
setiap prosesi pernikahan masyarakat desa Sukatani baik orang yang mampu atau
yang kurang mampu. Peraktek ini tidak akan memberatkan pihak laki-laki apabila
dilakukan oleh orang yang mampu (kaya), akan tetapi perakek ini akan dirasa
memberat apa bila dilakukan oleh orang yang kurang mampu (miskin) di lihat dari
harta benda yang harus dipenuhi dan akan mengakibatkan tertundanya
perkawinan. Begitu pula dengan praktek tradisi sorogan.
Dalam penelitian ini, penyusun menggunakan metode penelitian dalam
neguraikan maslah seserahan dan sorogan yaitu jenis dan sifat penelitian adalah
penelitian lapangan dan preskriftif analisis, pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan normatif, yaitu suatu cara untuk mendekati sekaligus menghukumi
sebuah masalah dengan menggunakan sudut pandang hukum Islam, dengan
harapan dapat dirumuskan kembali dasar hukum yang dapat diterima serta tidak
memberatkan semua pihak. Sedangkan pengumpulan data dengan melakukan
observasi. interview (wawancara), dokumentasi.
Adapun kesimpulan dari penelitian ini adalah, bahwasannya adat
seserahan dan sorogan yang terdapat dalam pernikahan masyarakat Desa
Sukatani tidak dilarang oleh agama karena dapat menimbulkan kemaslahatan bagi
kedua mempelai, dan dapat dikategorikan sebagai urf’ yang sahih’ apabila di
lakukan oleh orang yang mampu (kaya). Akan tetapi apabila di lakukan oleh
orang yang kuarang mampu (miskin) maka dilarang oleh agama karena akan
menimbulkan tertundanya pernikahan.NIM.: 06350027 Zaki Hoeri Mubarok2022-11-16T07:57:11Z2022-11-16T07:57:11Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/55115This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/551152022-11-16T07:57:11ZHARMONI SOSIAL DI TENGAH RAGAM PAHAM ISLAM (STUDI TENTANG RITUAL KIRAB MALAM SATU SYURA DI DESA TRAJI, KECAMATAN PARAKAN, KABUPATEN TEMANGGUNG)Ritual kirab malam satu Syura adalah ritual slametan desa. Ritual ini
merupakan perpaduan antara tradisi leluhur, tradisi Jawa dengan tradisi Islami
yaitu terdapat pembacaan do’a ayat Al-Qur’an dan do’a Islam. Masyarakat
Muslim Desa Traji terdiri dari 3 ragam paham Islam yaitu NU, LDII, dan
Abangan. Tiga paham tersebut dalam kegiatan keagamaan sehari-hari kurang
menyatu. Namun dalam ritual, tidak terlihat adanya konflik. Kenyataan ritual ini
mendapat dukungan yang besar dari masyarakat mulai dari pendanaan, gotong
royong, persiapan ritual serta ketika pelaksanaan ritual. Skripsi ini mengkaji
pelaksanaan ritual kirab malam satu Syura di Desa Traji dan pengaruhnya
terhadap harmoni sosial masyarakat Desa Traji.
Pengumpulan data menggunakan metode observasi, wawancara, dan
dokumentasi. Wawancara dilakukan dengan tokoh adat, tokoh agama, perangkat
desa, panitia ritual kirab malam satu Syura, sesepuh desa, dan masyarakat yang
dianggap mewakili. Setelah data terkumpul penulis mengolah dengan teknik
deskriptif kualitatif dan menganalisis dengan teknik interpretive analytic yaitu
menggambarkan keseluruhan kejadian dan menafsirkan kembali apa yang
dikatakan, dan dilakukan informan atau kelompok sosial dengan bahasa
penafsiran penulis
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan ritual kirab malam satu
Syura sudah menjadi adat dan tidak dapat ditinggalkan oleh masyarakat. Tujuan
diadakannya ritual kirab malam satu Syura adalah untuk menjaga hubungan yang
harmonis terhadap sesama masyarakat maupun dengan alam gaib. Ritual kirab
malam satu Syura dilaksanakan melalui beberapa tahap yaitu penarikan dana,
pembentukan panitia, persiapan kegiatan, dan prosesi ritual. Seluruh anggota
masyarakat memberikan sumbangan dana baik yang LDII, NU, maupun Abangan.
Tidak ada konflik dalam pelaksanaan, meskipun doktrin ketiga paham kelompok
tersebut berbeda dan memiliki adat atau kebiasaan yang berbeda. Kelompok
abangan jarang shalat, kelompok NU memiliki kelompok pengajian sendri, dan
LDII bersifat shalat 5 waktu, shalat jum’at, mengadakan pengajian sendiri dengan
kelompok mereka tanpa mengikutsertakan masyarakat lain. Hal tersebut karena
pengaruh ajaran yang ditetapkan oleh LDII yaitu imamah, jama’ah dan bai’at.
Ritual kirab malam satu Syura telah bertahun-tahun dilaksanakan sehingga
tradisi ini telah mengakar dalam diri masyarakat untuk tetap dilestarikan sebagai
wujud penghormatan terhadap leluhur dan menghindari terjadinya bahaya yang
akan melanda desa. Anggapan kolektif masyarakat tersebut merupakan akibat dari
adanya persamaan persepsi, ikatan desa, dan nilai-nilai sakral (toleransi, budi
luhur dan tenggang rasa) dalam ajaran LDII, NU dan abangan yang dijadikan
pedoman dalam bertingkah laku terhadap sesama. Nilai tersebut menumbuhkan
suatu sentimen kemasyarakatan yaitu kompleks perasaan cinta, bakti dan
sebagainya terhadap masyarakat. Perasaan tersebut menciptakan suatu keadaan
selaras atau harmoni masyarakat. Adapun fungsi ritual ini terhadap masyarakat
Desa Traji adalah sebagai mediasi perbedaan paham, sebagai ikatan desa dan
simbol leluhur yang sama. Ritual kirab malam satu syura merupakan simbol
harmoni masyarakat Desa Traji.NIM.: 08540015 Sulistyani Dias Utami2022-11-16T07:26:47Z2022-11-16T07:26:47Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/55110This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/551102022-11-16T07:26:47ZPERGESERAN SIMBOL RITUAL PERKAWINAN ORANG JAWA (STUDI TENTANG RITUAL PERKAWINAN ORANG JAWA DI DUSUN KARANG TENGAH, DESA NOGOTIRTO, KECAMATAN GAMPING, KABUPATEN SLEMAN, PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA)Ritual perkawinan orang Jawa memiliki nilai penting dalam kehidupan keluarga, terutama sebagai pertanda terbentuknya somah baru yang bertujuan untuk membentuk keluarga baru yang mandiri. Prosesi dan perangkat ritual perkawinan orang Jawa menjadi sistem simbol yang mengandung makna tentang harapan dalam membangun somah baru. Seiring dengan perkembangan zaman dan modernisasi, simbol perkawinan orang Jawa mengalami pergeseran. Skripsi ini bertujuan untuk menelusuri pergeseran simbol dan menganalisa penyebab terjadinya pergeseran simbol ritual perkawinan orang Jawa di dusun Karang Tengah, Nogotirto, Gamping, Sleman, Yogyakarta.
Dalam mengkaji pergeseran simbol ritual perkawinan orang Jawa, penulis mengacu pada teori ritual Victor Turner, bahwa ritual adalah perilaku yang dilakukan tidak hanya sekedar rutinitas, melainkan atas dasar keyakinan religius. Oleh karena itu, penulis menggunakan jenis penelitian lapangan (field research) melalui teknik etnopfotografi, wawancara dan dokumentasi. Pendekatan yang digunakan adalah prosesual simbologi yang bertitik tolak pada simbol yang dapat menggerakkan tindakan sosial sehingga melalui pendekatan ini, dapat dilihat bagaimana masyarakat menjalankan, melanggar dan memanipulasi nilai penting yang diungkapkan melalui simbol ritual perkawinan orang Jawa.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa pergeseran simbol perkawinan orang Jawa di dusun Karang Tengah dapat digolongkan menjadi dua yaitu pergeseran simbol total dan sebagian. Pergeseran simbol total adalah pergeseran simbol ritual yang mengacu pada hilangnya seluruh simbol ritual baik prosesi, perangkat maupun maknanya. Sedangkan pergeseran simbol sebagian adalah pergeseran simbol yang tidak menghilangkan prosesi maupun perangkat namun mengubah makna simbol tersebut. Hal ini terjadi akibat adanya faktor agama, perubahan budaya masyarakat dan ekonomi.NIM.: 08520021 Riska Talia Punita2022-11-15T08:14:50Z2022-11-15T08:14:50Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/55081This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/550812022-11-15T08:14:50ZPEMBERDAYAAN MASYARAKAT BERBASIS TRADISI LOKAL (STUDI TENTANG TRADISI NGAROT DI DESA LELEA INDRAMAYU JAWA BARAT)vii
ABSTRAK
Tradisi adalah prilaku yang dilakukan oleh masyarakat secara terus
menerus, turun-temurun, berulang-ulang dan menjadi bagian dari kehidupan
masyarakat tertentu, akan tetapi tradisi merupakan suatu bentuk kesadaran dari
dalam diri manusia, kelompok-kelompok yang diekspresikan dan kemudian
diperjelaskan dengan tindakan. Dengan kata lain, tradisi adalah ekspresi dari
kesadaran masyarakat yang berkelompok yang kemudian terekspresikan dalam
bentuk perilaku sosial.
Tradisi dalam konteks penelitian ini adalah Tradisi ngarot yang ada di Desa
Lelea Kecamatan Lelea Kabupaten Indramayu. Yaitu tradisi yang yang memiliki
arti suatu kesadaran dalam diri masyarakat Lelea yang diekspresikan dan
kemudian dijelaskan dengan tindakan, perilaku, berupa upacara atau ritual-ritual
yang di dalamnya adanya perkumpulan masyarakat yang memiliki kesadaran
dantujuan yang sama. Perilaku-perilaku tersebut tentu ada nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya. Nilai-nilai dalam tradisi Ngarot tersebut berupa
stimulasi, dorongan, motivasi dan semangat untuk membangun masyarakat atau
pemberdayaan.
Konsep pemberdayaan masyarakat dalam literatur pembangunan, memiliki
perspektif yang luas. Secara konseptual, pemberdayaan masyarakat adalah upaya
untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi
sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan
keterbelakangan. Dengan kata lain memberdayakan adalah memampukan dan
memandirikan masyarakat.
Penelitian ini berusaha menjelaskan bagaimana sebuah tradisi mempunyai
nilai-nilai pemberdayaan bagi masyarakatnya. Rumusan masalah diajukan sebagai
dasar penelitian diarahkan untuk mengetahui bagaimana implementasi tradisi
ngarot di masyarakat Desa Lelea Kecamatan Lelea Kabupaten Indramayu, serta
bagaimana implikasi tradisi ngarot terhadap pemberdayaan pemuda Desa Lelea
Kecamatan Lelea Kabupaten Indramayu.
Penelitian ini, menggunakan metode deskriptif dan analisis penafsiran
(interpretative analytic). Deskriptif dengan menggambarkan secara detail dari
keseluruhan kejadian dan interpretative merupakan upaya untuk menjelaskan
tentang apa yang dikatakan informan, apa-apa yang dilakukan oleh individu
maupun kelompok sosial dan menafsirkan kembali penjelasan serta tingkahlaku
tersebutberdasarkan penafsiran penulis (analisis etik). Analisis ini digunakan
untuk menganalisis pendapat dan perilaku masyarakat dalam upacara tradisi.
Hasil penelitian ini menyaakan bahwa tradisi ngarot pada awalnya
merupakan tradisi bertani sebagai upacara menyambut musim tanam. Kemudian
tradisi tersebut menjadi suatu bentuk pemberdayaan masyarakat. Hal tersebut
karena ditemukan beberapa unsure-unsur pemberdayaan masyarakat. Tradisi
ngarot juga memberikan implikasi terhadap pemberdayaan masyarakat itu sendiri
yaitu mendorong dan memotifasi masyarakat untuk lebih mandiri dan giat bekerja
khususnya dalam bidang pertanian.NIM.: 08540024 Fadli Romadhoni2022-11-15T04:32:00Z2022-11-15T04:32:00Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/55077This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/550772022-11-15T04:32:00ZTRADISI SHALAWAT TERBANGAN DI DUSUN GONDANG DESA KEPEK SAPTOSARI GUNUNGKIDUL DALAM PERSPEKTIF LIVING HADISNegara Indonesia memiliki banyak ragam tradisi dan budaya, terutama daerah masyarakat Jawa. Salah satu tradisi yang masih ada dan masih dilestarikan sampai saat ini adalah tradisi shalawat terbangan di Dusun Gondang Gunungkidul. Tradisi shalawat terbangan marupakan tradisi shalawat dengan teks atau muatan budaya Jawa di dalamnya dengan diiringi alat musik terbang. Tradisi shalawat terbangn memiliki dua aspek tujuan yaitu sebagai ibadah dan spiritual dan sebagai sosio kultural. Adanya sistem kepercayaan nenek moyang menyebabkan terjadinya akulturasi budaya dan agama pada masyarakat Jawa. Seperti halnya dengan tradisi shalawat terbangan di Dusun Gondang yang menjadi ungkapan rasa cinta masyarakat kepada sang baginda Nabi Muhammad SAW. Hal tersebut memunculkan bahwa pemahaman terkait rasa cinta yang diampaikan oleh tokoh agama kemudian menjadi bagian dari pemahaman hadis-hadis shalawat dan terinterpretasi menjadi sebuah tindakan dalam tradisi shalawat terbangan. Hal ini melatarbelakangi peneliti untuk mengkaji tradisi shalawat terbanga,terutama kaitanya dengan resepsi masyarakat atas hadis-hadis shalawat yang menguatkan terjadinya relasi antara tradisi shalawat terbangan dan hadis-hadis shalawat.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif-deskriptif dengan metode observasi, wawancara dan dokumentasi yang mendukung kevalidan data. Untuk menganalisis hasil penelitian, peneliti menggunakan pendekatan living hadis dengan teori fenomenologi. Pendekatan ini digunakan untuk melihat hadis bekerja memberikan pengetahuan yang menjadi sistem pola makna dan pengetahuan dari tindakan masyarakat dalam tradisi shalawat terbangan. Sementara, teori fenomenologi digunakan untuk mengungkap pengetahuan yang menjadi kesadaran bersama, serta bagaimana hadis menjadi inhern di dalam kesadaran dan pengetahuan masyarakat.
Hasil dari penelitian ini, pertama, Dusun Gondang merupakan daerah yang memiliki banyak tradisi dan budaya unik yang tetap dilestarikan dan dijaga dari perkembangan zaman khusunya dalam tradisi keagamaan kedua, pada proses pelaksanan tradisi shalawat terbangan dimulai dari persiapan sampai dengan penutup. Ketiga, adanya relasi antara tradisi shalawat terbangan dengan-hadis perintah dan keutamaan shalawat. Masyarakat meresepsi hadis secara eksegesis, sehingga muncul nilai dan orientasi pemahaman masyarakat atas hadis-hadis shalawat yang kemudian diwujudkan dalam tradisi. Pada akhirnya, tradisi shalawat terbangan salah satu bentuk ungkapan cinta kepada Nabi Muhammad SAW, teologis dan spiritualis kepada Allah SWT. Dengan demikian, hadis memiliki eksistensi tidak semata-mata karena teks hadis nya, akan tetapi karena makna, pengetahuan, dan nilai yang dipengaruhinya.NIM.: 18105050073 Desi Romdon Barokah2022-11-14T07:44:23Z2022-11-14T07:44:23Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/55058This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/550582022-11-14T07:44:23ZMAKNA SIMBOLIS DAN PERGESERAN NILAI TRADISI ADAT SEDEKAH BUMI
(Studi terhadap Tradisi Sedekah Bumi di Desa Kalirancang Kecamatan Alian Kabupaten Kebumen)Penelitian ini bertitik tolak pada pemikiran bahwa perubahan dalam masyarakat dapat mempengaruhi pola pikir dan tata nilai yang ada pada mereka. Pada prinsipnya perubahan kebudayaan dalam masyarakat merupakan kodrat dari setiap kebudayaan yang ada di muka bumi ini. Begitu halnya apa yang terjadi dalam tradisi sedekah bumi Desa Kalirancang. Masyarakatnya cenderung mengambil langkah praktis dalam melaksanakan tradisi tersebut, sehingga nilai simbol tradisi yang ada dalam tradisi sedekah bumi di desa ini telah bergeser sedemikian rupa. Sehingga menimbulkan kurangnya kesakralan dalam pelaksanaan tradisi tersebut. Dewasa ini, masyarakat Desa Kalirancang juga tidak memahami betul apa makna yang tersirat dalam simbol-simbol yang tertuang dalam tradisi sedekah bumi di desa mereka.
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Desember 2019 sampai April 2022. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, dengan pendekatan etnografi berdasarkan landasan teori Perubahan Sosial Kingsley Davis dan Penafsiran Simbol Victor Turner. Teknik pengumpulan data berupa observasi tidak langsung, wawancara dan dokumentasi.
Hasil penelitian ini mendapat kesimpulan sebagai berikut: (1) Tradisi sedekah bumi Desa Kalirancang menggunakan simbol-simbol yang bermakna khusus, namun lambat laun, tidak semua simbol tradisi lama digunakan oleh masyarakat. Simbol-simbol tersebut meliputi tumpeng moganan dan ingkungan (rasa syukur sebesar gunung dan memohon keselamatan), apem (permohonan ampun manusia), sengkulun (kesetiaan seorang hamba), dan kue lapis (keeratan hubungan antar manusia). (2) Pergeseran simbol dan prosesi yang terjadi pada tradisi Sedekah Bumi di Desa Kalirancang disebabkan oleh tiga hal, yakni (a) Nilai sakralitas sudah mulai luntur akibat dari kurangnya antusias masyarakat secara mayoritas karena efek modernisasi dan perubahan pola pikir dan perilaku masyarakat desa. (b) Kemudian nilai solidaritas sudah mulai berkurang akibat banyaknya masyarakat desa yang merantau di kota lain. (c)Kemudian yang terakhir, sebagian besar masyarakat sudah tidak melihat sisi urgen dalam pelaksanaan tradisi terlebih lagi golongan pemuda dikarenakan sumber penghasilan di zaman sekarang sudah tidak berpatokan pada pertanian yang tergolong rendah.NIM.: 15540080 Agus Pranoto2022-11-07T08:22:21Z2022-11-07T08:24:31Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/54856This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/548562022-11-07T08:22:21ZKONTRIBUSI TRADISI SUROAN TERHADAP PEREKONOMIAN MASYARAKAT SEKITAR DI DESA TRAJI, PARAKAN, TEMANGGUNGTradisi Suroan merupakan suatu jenis budaya tradisional yang bersifat
kejawen dan kental dengan hal-hal ghoib. Hal ini dikarenakan di dalam tradisi
suroan terdapat ritual budaya seperti: do’a bersama, adanya persembahan berupa
sesajen, dan juga hiburan seperti tari-tarian, pagelaran wayang kulit dan lain-lain.
Upacara Suroan merupakan tradisi warisan nenek moyang yang masih
dilestarikan oleh masyarakat Traji. Upacara yang dilaksanakan di Sendang
Sidhukun oleh masyarakat Desa Traji menurut penulis merupakan tradisi yang
sangat unik dan berbeda dengan tradisi peringatan Suro yang terdapat di daerah
lain. Keunikan tradisi nampak pada prosesi ritualnya yaitu adanya kirab manten
dalam prosesi tersebut.
Berangkat dari itulah penulis dengan menggunakan metode interview dan
observasi ingin menggali lebih jauh tentang dasar masyarakat dalam
melaksanakan tradisi tersebut dan juga respon masyarakat terhadapa banyaknya
pengunjung ritual dalam memenuhi kebutuhan ekonomi. Menurut Max Weber
tindakam sosial adalah tindakan yang bukan terjadi karena spontan. Tindakan
melibatkan campur tangan pemikiran atau melalui proses berfikir di antara
datangnya stimulus yang pada akhirnya menghasilkan sebuah respon atau
tindakan sosial.
Temuan penulis, bila kita melihat pemikiran Weber tentang tindakan sosial
adalah kepercayaan masyarakat, akan datang musibah atau malapetaka yang
menimpa diri mereka jika tradisi Suroan tidak dilaksanakan sera menjaga sumber
mata air sebagai sumber kehidupan menjadi stimuli dan dasar masyarakat Traji
untuk menyelenggarakan tradisi Suroan tiap tahun. Kontribusi tradisi adalah bila
kita lihat dasar dan tujuan masyarakat yaitu memelihara air sendang, bahwa
mengalirnya air sendang maka sumber penghasilan mereka tetap terjaga yaitu
dengan air yang terus mengalir mereka tetap dapat melakukan kegiatan bercocok
tanam.Dan banyaknya pengunjung ritual direspon masyarakat dengan melakukan
kegiatan ekonomi dengan berjualan makanan, pakaian dan perlengkapan upacara
ritual. Kontribusi adanya tradisi yang mendatangkan banyak pengunjung dan
pedagang luar daerah mendatangkan peluang bisnis (kegiatan ekonomi)
masyarakat Traji dalam memenuhi kebutuhan hidup.NIM.: 05540009 Moh Qoyim2022-11-02T06:58:06Z2022-11-02T06:58:06Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/54754This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/547542022-11-02T06:58:06ZTRADISI MITONI DI KECAMATAN BANGIL KABUPATEN PASURUAN : STUDI PERBANDINGAN PENDAPAT TOKOH NAHDLATUL ULAMA DAN TOKOH PERSATUAN ISLAMTradisi mitoni adalah perayaan tujuh bulan usia kehamilan. Mitoni artinya menjelang pitu yang dalam bahasa Jawa artinya tujuh. Mitoni dilaksanakan untuk mensyukuri kesehatan ibu bayi janin atau yang sifatnya tolak bala. Di daerah tertentu, budaya ini juga disebut tingkeban. Mitoni, ningkebi, atau tingkeban biasanya dilaksanakan pada hari Selasa atau Sabtu pada tanggal gasal sesuai dengan adat istiadat yang ada. Seyogyanya antara tanggal tujuh dan lima belas menurut kalender Jawa. Mitoni diadakan sebagai rasa syukur atas kesehatan janin bayi serta ibu yang mengandungnya, dan memohon untuk tidak terjadi kesusahan maupun kesukaran yang menimpa ibu dan bayi. Lebih lanjut, keyakinan yang kuat akan pentingnya tradisi mitoni tersebut bahkan membuat sebagian besar masyarakat memandang mitoni sebagai sebuah kewajiban. Masyarakat berkeyakinan bahwa maksud dan tujuan pokok dari diselenggarakannya tradisi mitoni adalah agar janin yang ada di dalam kandungan dan ibu yang mengandung senantiasa memperoleh keselamatan. Melihat prosesi dan keyakinan di atas, para ulama memberi perhatian serius terhadap masalah ini. Sebagian ulama melarang jenis ritual seperti ini, karena tidak ada syariat yang mendasarinya. Tujuannya tak lain untuk membendung munculnya bidah yang jelas-jelas merusak agama. Hal inilah yang melatarbelakangi penyusun melakukan penelitian ini, dimana fokus dari penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi dengan rumusan masalah: (1) Bagaimana praktik mitoni di Kecamatan Bangil, Kabupaten Pasuruan? (2) Bagaimana pandangan para tokoh Nahdlatul Ulama, dan tokoh Persatuan Islam di Kecamatan Bangil, Kabupaten Pasuruan terhadap praktik tradisi mitoni yang banyak terjadi di kalangan masyarakat muslim? (3) Bagaimana praktik tradisi mitoni dalam pandangan hukum Islam? Tujuan penelitian ini guna (1) Mendeskripsikan praktik mitoni di Kecamatan Bangil, Kabupaten Pasuruan. (2) Menjelaskan pandangan pendapat tokoh agama dari Nahdlatul Ulama dan Persatuan Islam tentang mitoni di Kecamatan Bangil, Kabupaten Pasuruan, (3) Mendeskripsikan perbedaan dan persamaan pendapat antara tokoh agama dari Nahdlatul Ulama dan Persatuan Islam tentang mitoni di Kecamatan Bangil, Kabupaten Pasuruan.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian lapangan (field research), dimana data dikumpulkan langsung dari lapangan dengan berbagai metode, yakni wawancara, dan dokumentasi. Analisis data dilakukan dengan menggunakan deskriptif-analisis-komparatif, yaitu suatu analisis masalah yang berpedoman pada upaya untuk membandingkan dua konsep atau lebih untuk dicari persamaan dan perbedaannya. Pendekatan penelitian dilakukan dengan pendekatan sosiologi dengan teori Dialektika Budaya dengan al-Qur’an dan pendekatan Usul Fikih dengan menggunakan teori al-‘Urf. Dari penelitian ini tokoh Nahdlatul Ulama berpendapat bahwa tradisi mitoni merupakan al-'Urf as-Sahih} sehingga perlu dilaksanakan dan dilestarikan. Sedangkan tokoh Persatuan Islam berpendapat bahwa tradisi mitoni merupakan al-‘Urf al-Fasid. Hal ini memunculkan perbedaan yang signifikan antara pendapat para tokoh dari Nahdlatul Ulama dan Persatuan Islam terkait eksistensi tradisi mitoni. Akan tetapi, dalam praktik mitoni di Kecamatan Bangil, Kabupaten Pasuruan masih mengandung unsur al-‘Urf al-Fasid karena ada beberapa hal yang tidak sejalan dengan ajaran Islam. Tradisi mitoni di Kecamatan Bangil juga terdapat at-Tagyir, hal ini dapat dilihat dari bacaan-bacaan baik atau kalimah t{ayyibah dalam pelaksanaannya, dan terdapat upaya keras yang senantiasa dilakukan oleh tokoh agama untuk merubah penyimpangan-penyimpangan tersebut menjadi al-'Urf as-Sahih}.NIM.: 18103060038 Ahmad Ahda Sabila2022-11-01T07:00:06Z2022-11-01T07:00:20Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/54685This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/546852022-11-01T07:00:06ZPENGARUH UPACARA JODHANGAN TERHADAP ETOS KERJA MASYARAKAT DUSUN SRUNGGO, SELOPAMIORO, IMOGIRI, BANTULdiwariskan terun temurun dari nenek moyang terdahulu. Di Jawa, tepatnya di
dusun Srunggo, desa Selopamioro, kecamatan Imogiri, kabupaten Bantul,
memiliki tradisi yang dikenal dengan Upacara Jodhangan yang masih tetap
dipertahankan sampai sekarang. Tradisi Upacara Jodhangan awalnya
dilaksanakan sebagai bentuk pemujaan terhadap arwah leluhur dan roh-roh gaib
untuk meminta bantuan kepada roh tersebut. Akan tetapi seiring berkembangnya
Islam, Upacara Jodhangan menjadi upacara sedekahan. Dari upacara sedekahan
tersebut seolah-olah masyarakat disitu memiliki etos kerja yang cukup tinggi.
Dari sinilah peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang sebuah
ritual sosial keagamaan yaitu Upacara Jodhangan apakah memiliki arti bagi
masyarakat setempat serta pengaruh sosial dari Upacara Jodhangan terhadap etos
kerja masyarakat yang dilakukan di Dusun Srunggo, Desa Selopamioro,
Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pendekatan sosiologis digunakan untuk memahami hubungan antara
agama dan kehidupan sosial di masyarakat ataupun sebaliknya. Hal ini lantaran
agama dalam kehidupan sosial merupakan satu realitas kehidupan yang tidak
dapat dipisahkan. Karena agama merupakan fenomena sosial, maka studi agama
dapat dikatakan sebagai studi tentang kenyataan sosial.
Obyek dari penelitian ini adalah Upacara Jodhangan dan masyarakat
dusun Srunggo sebagai pelaku Upacara tersebut. Adapun jenis penelitian ini
adalah penelitian lapangan (field Research), yaitu penulis terjun langsung ke
lapangan atau tempat penelitian untuk mengetahui secara jelas dari berbagai sisi
tentang pelaksanaan Upacara Jodhangan yang dilakukan oleh masyarakat Dusun
Srunggo, Desa Selopamioro, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul. Adapun
teknik pengumpulan datanya antara lain dengan wawancara, dokumentasi, dan
observasi.
Dari penelitian ini dapat diketahui bahwa bagaimana sebuah tradisi
keagamaan yaitu Upacara Jodhangan merupakan bagian dari pengalaman spiritual
(spiritual experience) dan pengalaman mistis (mystical experience) yang saling
berkesinambungan, sehingga menjadi satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
Upacara Jodhangan oleh masyarakat tidak hanya dimaknai dari aspek ritual
semata. Namun juga dari aspek sosiologis (kultural) yang memuat konsep
kebersamaan, kegotong royongan, bakti terhadap orang tua/leluhur, serta
keseimbangan antara manusia dengan alam. Dengan realitas sikap semacam itulah
bisa dipahami bahwasannya Masyarakat Dusun Srunggo dalam memaknai simbolsimbol
keagamaan, disadari atau tidak, telah mengintegrasikan bahwa antara
kepentingan sakral transenden dengan kepentingn duniawi yang profan. Akhirnya,
dari sikap itulah muncul dialektika antara simbol-simbol agama dan simbolsimbol
ekonomi yang melahirkan etos kerja yang tinggi di kalangan Masyarakat
Dusun Srunggo sebagai pengaruh dari Upacara Jodhangan tersebut.NIM.: 07520020 Abdullah Misbah2022-10-28T04:12:44Z2022-10-28T04:12:44Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/54581This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/545812022-10-28T04:12:44ZUPAYA DAKWAH ISLAM
DALAM MENGISI TRADISI THO'UN
DI DESA INDOSARI KECAMATAN BULUSPESANTREN KABUPATEN KEBUMENUpacara tradisi Tho'un merupakan tradisi orang tua dahulu dan sekarang dilaksanakan sebagai usaha untuk melestarikan pesan leluhur. Pada dasarnya upacara ini merupakan tanggapan atas keparcayaan terhadap sesuatu yang ghoib, yang dihayati dengan perasaan takut, cemas, dan bakti sebab yang ghoib itu dianggap berkehendak dan berkekuatan atas diri mereka. Menurut teologi sosiologi agama upacara Tho'un ini bisa dimasukkan sebagai salah satu bentuk upacara keagamaan.
Masyarakat Indrosari walaupun mayoritas beragama Islam tetapi masih mempercayai dan meyakini tradisi Tho'un yang bukan dari ajaran Islam.
Metode penulisan dalam skripsi ini adalah metode deskriptif kualitatif. Subyek dalam penelitian ini adalah tokoh masyarakat dan masyarakat peserta Tho'un, yang dalam penelitian ini adalah sebagai informan pokok. Adapun sebagai obyek penelitian, yaitu usaha-usaha dakwah Islam yang dilakukan para da'i dalam mengisi tradisi Tho'un di desa Indrosari, kecamatan Buluspesantren, kabupaten Kebumen.
Hasil penelitian ini adalah:
1. Tradisi Tho' un masih dipercayai dan dilakukan sampai sekarang oleh
masyarakat desa lndrosari sebagai sarana untuk menciptakan keselrnatan bersama dengan memanjatkan do'a kepada Yang Maha Kuasa dan roh-roh halus atau danyang penunggu desa. Masyarakat lebih berorientasi pada penghorrnatan roh-roh halus dan arwah nenek moyang disamping kekuatan dan kekuasaan Allah SWT.
2. Sebab-sebab bertahan dan kuatnya nilai-nilai tradisi dalam masyarakat dikarenakan masih rendahnya tingkat religiusitasnya, factor kontinuitas, interaksi sosial. Masyarakat menganggap bahwa tradisi sebagai suatu sarana untuk memperkuat solidaritas antar sesame anggota masyarakat dan masih rendahnya tingkat pendidikan.
3. Usaha dakwah Islam yang dilakukan oleh para da'i menyisipkan nilai-nilai Islam yang ada pada rangkaian tradisi yang sedang berlangsung seperti sesaji, do'a, pemimpin upacara. Nasihat keagamaan yang disampaikan para da'i dapat diterima tanpa menimbulkan bentrokan-bentrokan antara
pendukung tradisi Tho'un. Para da'i dalam berdakwah Iebih menonjolkan sikap lunak daripada sikap kekerasan dalam memasukkan ajaran agama islam dalam berbagai rangkaian dari system tradisi Tho'un yang sedang berlangsung.
4. Undur tradisi Tho'un yang bertentangan dengan ajaran [slam sedikit demi sedikit dapat dirubah sesuai dengan prinsipajaran agama islam,akan tetapi sampa1 sekarang masih ada unsur atau aspek yang berbau sesaji,masih adanya kepercayaan yang melekat pada persepsi para anggota Tho'un terhadap tradisi tersebut.Mereka itu sebenamya terlalu bersifat subyektif yang terlepas dari jangkauan pengetahuan para da'i,seperti persepsi yang sudah mengakar masyarakat lndrosari belum ditunjang oleh tingkat pendidikan dan religiusitas yang memadai.NIM.: 95211899 Muh. Muslih2022-10-26T02:24:29Z2022-10-26T02:24:29Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/54518This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/545182022-10-26T02:24:29ZTRADISI PERJODOHAN DI KELUARGA PESANTREN PERSEPEKTIF MAQASID ASY-SYARI’AH (STUDI KASUS DI PESANTREN AL-HADI KRAPYAK WETAN YOGYAKARTA)This study discusses the Matchmaking Tradition in the Maqāṣid Asy-Syari'ah Islamic Boarding School Family Perspective (Case Study at Al-Hādi Islamic Boarding School Yogyakarta).The purpose of this study was to determine the tradition of matchmaking in the Al-Hādi Islamic boarding school,which is based on Islamic laws that apply both classically and contemporary.
This type of research is a qualitative field research with the object of the Matchmaking Tradition in the Al-Hādi Islamic Boarding School in Yogyakarta. The data analysis method used is descriptive analysis which seeks to provide a detailed description of the problem of matchmaking which is generally carried out in the Al-Hādi Islamic Boarding School family.
The approach used is a sociological-normative approach, where this study analyzes the problems carried out by combining secondary data material from classical books in which the Maqāṣid ash-syari'ah theory with primary materials in the field, which is related to the tradition of matchmaking in the family Al-Hādi Yogyakarta. Data collection techniques with interviews, observations, documentation and library materials as complementary materials.
The results of this study, technically indicate that the practice of matchmaking in the Al-Hādi Islamic Boarding School family is a common tradition in every Islamic Boarding School. The implementation of matchmaking in the Al-Hādi Islamic Boarding School family frees children to accept or reject this matchmaking, because matchmaking in this family does not force the child to be with the parents' choice, ibut the parents only find a potential partner for the child. In this matchmaking practice, 4 children have been matched, the results of this matchmaking are all still running properly and marriages vary in time and distance. In the Maqāṣid ash-shari'ah perspective of the matchmaking of the Al-Hādi Islamic Boarding School family, there are 3 important things that must be achieved from the goal, namely: 1. avoiding immorality, 2. creating a golden generation, 3. continuing the struggle of the Islamic boarding school. From the results of this study, that this matchmaking can be used as an example for some matchmaking that occurs in other Islamic boarding schools, on the one hand to continue the struggle of the pesantren on the one hand, it does not harm the matched party, namely their own children, so that later a harmonious family can be created at any time.NIM.: 18103050089 David iqbal Al Ghoni2022-10-25T03:38:08Z2022-10-25T03:38:08Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/54479This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/544792022-10-25T03:38:08ZTRADISI MANDI DARAH MENURUT TOKOH ADAT DAN TOKOH AGAMA (STUDI KASUS DI DESA PAUH KABUPATEN MURATARA PROVINSI SUMATERA SELATAN)Tradisi mandi darah adalah sebuah tradisi yang dilakukan sebagai bentuk pembayaran nazar serta ungkapan rasa syukur dan rasa gembira kepada sang pencipta serta ungkapan kepada leluhur. Tradisi mandi darah ini biasa dilakukan di Desa Pauh Kabupaten Muratara Provinsi Sumatera Selatan. Pelaksanaan mandi darah ini dilakukan sebelum matahari terbit setelah sholat subuh, dimana darah tidak boleh beku, dan darah yang digunakan adalah darah kerbau, sapi dan kambing. Tradisi mandi darah ini masih berlangsung hingga kini. Faktor apa saja yang melatarbelakangi tradisi mandi darah masih berlangsung hingga kini. Selanjutnya bagaimana pandangan tokoh adat dan tokoh agama mengenai tradisi mandi darah di Desa Pauh Kabupaten Muratara Provinsi Sumatera Selatan.
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan metodologi (fieled research) yaitu penelitian lapangan. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ushul fiqih dan sosiologis. Dan diuji menggunakan teori-teori George Herbert Mead dan juga urf.
Dari hasil penelitian,didapati bahwa Pertama Tokoh adat meyakini bahwa tradisi mandi darah ini banyak memberikan manfaat terhadap masyarakat desa pauh salah satunya adalah dengan adanya tradisi mandi darah ini semua masyarakat berkumpul dan berinteraksi tanpa memandang kasta. Sedangkan tokoh agama mengatakan bahwa tradisi mandi darah ini adalah haram dikarenakan bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah.NIM.: 17103060005 Anang Ucok Wicaksono2022-10-19T08:46:54Z2022-10-19T08:46:54Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/54345This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/543452022-10-19T08:46:54ZSTIGMA SOSIAL BARU PADA KESENIAN TRADISI TANDHA’ DI MADURA KECAMATAN SARONGGI KABUPATEN SUMENEP JAWA TIMURTradisi tandha’ yang disertai musik gamelan yang melibatkan penari perempuan. Dalam pagelaran dimaksud untuk menghibur penonton yang mayoritas laki-laki bahkan menari bersama diatas panggung tayub. Namun tradisi ini mengalami sebuah pergeseran bahkan terbilang sangat merusak budaya tradisional. Tandha’ dulu yang diutamakan memahi sebuah gending dan menjaga sebuah etika diatas panggung, dengan gerakan yang halus dalam menari. Berbeda dengan tandha’ sekarang yang memang megutamakan bisa menyanyi ketimbang nembang dan memahami gending. Yang perlu digaris bawahi bawa tandha’ sekarang sangat instan, berbeda dengan tandha’ dulu yang melalui sebuah proses berguru bahkan sekolah. Karena tandha’ yang memang lahir dari keraton maka dari situlah etika yang luhur sangat dipertahankan. Dengan adanya pergeseran budaya dan juga tingkah yang melebihi batas tandha’ pun mengalami gempuran stigma dari masyarakat.
Penulisan ini merupakan penulisan kualitatif, penulisan ini dilakukan dengan terjun langsung kelapangan guna untuk mengetahui secara langsung bagaimana tradisi tandha’ itu di Kecamatan Saronggi Kabupaten Sumenep. Metode pengumpulan data dengan cara observasi, dilakukan dengan cara mengamati objek yang diteliti, yaitu tandha’ di Kecamatan Saronggi. Selain itu dengan metode wawancara untuk mendapatkan pernyataan langsung dari informan mengenai tradisi tandha’. Kemudian dengan dokumentasi sebagai cara mengumpulkan data yang autentik yang berkaitan dengan tradisi budaya tandha’. Penulisan ini mengguanakan teori stigma.
Berdasarkan penulisan tentang stigma sosial terhadap tradisi Tandha’ maka ditemukan dua kesimpulan. Pertama stigma sosal tentang tandha’ lahir dari pertemuan budaya keagamaan masyarakat yang dipimpin oleh Kiai. Dalam hal ini kiai masih menggunakan sistem budaya lama fiqi sentris yang menjadikan pandangan kiai terhadap tari tandha’ merupakan hal yang berlawanan dengan moralitas dan norma keagamaan. Pandangan tersebut disampaikan melaui acara keagamaan, seperti pengajian dan perbincangan sehari-hari. Kedua fatwa kiai melihat tandha’ dari moralitas dan fiqih membawa tandha’ pada pergeseran, diantranya: tandha’ dilihat sebagai budaya luhur dan dekat dengan kekuasaan keraton menjadikan tandha’ yang terstigma pada masyarakat berupa labeling, identik dengan penghibur yang terbentuk oleh pemisah dan melihat mereka sebagai golongan yang berbeda dari masyarakat pada umumnya.NIM.: 15540084 Syarifuddin2022-10-19T08:43:45Z2022-10-19T08:44:14Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/54344This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/543442022-10-19T08:43:45ZTRADISI PENGAJIAN PADA MASYARAKAT MUSLIM DESA JURUAN LAOK KECAMATAN BATU PUTIH SUMENEPKompolan atau pengajian merupakan bagian dari tradisi keagamaan yang diisi dengan aktivitas spiritualtas dan ritualitas keagamaan, aktivitas kompolan ini mampu menjadi media penting bagi transformasi nilai-nilai agama masyarakat. Sebagai lembaga pendidikan membaca al-Qur‟an dan kajian agama islam. Keberadaanya sangat efektif sebagai wadah dan media pembelajaran. Dalam pelaksanaannya pengajian ada yang ditempatkan di Masjid, namun ada pula yang di laksana rumah warga masing-masing secara bergiliran. Pengajian rutin mingguan di Desa Juruan Laok. Merupakan salah satu contoh pengajian yang di laksanakan bergilir ke rumah warga, pengajian tersebut seperti pengajian yasinan, tahlilan dan sholawatan. Pengajian terdapat nilai sosial budaya yang dapat mempererat tali silaturahmi. Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk menjelaskan tentang pelaksanaan tradisi pengajian di rumah warga atau juga bagaimana pengajian sedang berlangsung, serta mebangun suatau upaya memperkuat hubungan antar masyarakat secara masing-masing.
Penelitian ini adalah penelitian lapangan atau field research. Lapangan yang dijadikan tempat penelitian adalah lokasi tempatnya pengajian yang sedang berlangsung di Desa Juruan Laok. Data atau sumber yang digunakan adalah wawancara, observasi dan dokumentasi dari berbagai pihak. Teknik mengelola data secara kualitatif, memperhatikan dan mencermati secara mendalam yang kemudian akan dilakukan penjelasan,pembahasan masalah yang ada penelitian dengan menggunakan teori sulidaritas mekanik Emile Durkheim.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah deskripsi tentang tradisi pengajian atau kompolan muslim yang bergilir, mulai dari sejarah berdirinya pengajian di Madura proses pelaksanaan arisnya yang secara bergilir, serta solidaritas mekanik dan upaya memakmurkan Desa Juruan Laok, serta mewujudkan kerukunan antar warga dan bertambanya pemahaman tentang ajaran agama islam bagi masyarakat Desa Juruan Laok.NIM.: 15540057 Tola' Sahori2022-10-19T02:16:09Z2022-10-19T02:16:09Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/54316This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/543162022-10-19T02:16:09ZRITUAL MASYARAKAT BANYUURIP KECAMATAN PANCUR KABUPATEN REMBANG DALAM MEMBANGUNSetiap makhluk hidup memiliki peran sendiri-sendiri dalam menjadikan
dirinya bermanfaat.Seperti halnya manusia yang mampu memberikan manfaat
pada tumbuhan dengan merawat dan menjaganya, begitu juga tumbuhan yang
mampu memberikan sumber pangan sebagai keberlangsungan hidup
manusia.Hubungan timbal balik ini tertuang dalam ritual ambengan pohon durian
di Desa Banyuurip yang masih lestari sampai sekarang. Sebagai titipan nenek
moyang yang harus dilestarikan dan dijadikan sebuah pijakan, bahwa manusia dan
alam merupakan sebuah kesatuan makhluk hidup yang memiliki norma dan nilai
dalam menjaga keseimbangan tatanan kehidupan di bumi. Ketergantungan
masyarakat Banyuurip terhadap tradisi ambengan pohon bisa dikatakan sulit
dihilangkan, meskipun muncul banyak kebudayaan baru.Karena di dalamnya
tersirat harapan-harapan dan alasan keselamatan dan kegagalan dalam bertani.
Sederhananya, ritual tersebut merupakan bagian dari doa manusia kepada Tuhan
dengan harapan dapat terkabul dan terealisasikan melalui buah durian.
Penelitian ini bersifat penelitian lapangan dengan mengambil studi ritual
ambengan pohon durian di Desa Banyuurip Kecamatan Pancur Kabupaten
Rembang.Metode dalam penelitian ini ialah pendekatan budaya dengan
menggunakan sumber primer observasi atau mendatangi tempat tradisi tersebut
dan wawancara mendalam dan dokumentasi. Sumber lain yang digunakan yaitu
buku, jurnal dan beberapa artikel bebas. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk
mendeskripsikan bagaimana ritual ambengan pohon yang masih tetap eksis dan
menjadi rutinitas yang tidak bisa ditinggalkan oleh masyarakat Banyuurip.
Hasil dari penelitian ini memperoleh beberapa jawaban, pertama selain
sebagai warisan dari nenek moyang ritual ambengan pohon durian dilaksanakan
juga sesuai dengan masyarakat yang masih mengamini sesuatu yang sakral atau
ghaib. Kedua masih tergolong masyarakat primitif yang percaya berdoa dan
mendekatkan diri dengan Tuhan bisa dilakukan di mana saja, termasuk di ladang
dan sawah. Ketiga terbentuknya relasi antara manusia, alam, dan Tuhan melalui
ritual ambengan pohon.Keempat agama dan budaya mampu melebur dalam
praktik ambengan pohon, saling melengkapi dan melahirkan pemahaman yang
arif dan penuh makna.Hingga agama dan budaya bisa saling melengkapi dengan
tujuan kebermanfaatan untuk setiap makhluk hidup.NIM.: 15520042 Suroso2022-10-19T02:01:41Z2022-10-19T02:01:41Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/54312This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/543122022-10-19T02:01:41ZTRADISI FESTIVAL SAPI SONOK DI DESA BATU KERBUY PASEAN PAMEKASAN MADURA (TINJAUAN FILSAFAT NILAI)Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk dalam berbagai hal, seperti anekaragaman budaya, lingkungan alam, dan wilayah geografisnya di mana dalam sapi sonok dikenal dengan simbol kelembutan masyarakat Madura khususnya di Desa Batu Kerbuy. Akan tetapi tradisi festival sapi sonok yang ada di Desa Batu Kerbuy, Pasean Pamekasan Madura tetap menarik untuk dinikmati. Sapi sonok merupakan kontes sapi betina pilihan dari berbagai umur, yaitu yang dihias dengan kecantikan sapi dan dandanan yang semenarik mungkin. Mulai dari pangonong, kain pakaian yang diselendangkan pada sapi yang bersulamkan benang emas yang berkilau, kelimting, dan kulit sapi terlihat bersih terawat dengan kuku dan tanduk yang terpelihara.
Festival sapi sonok yang diselenggarakan setahun sekali menghadirkan nuansa estetika yang cukup menatik untuk dikaji, oleh sebab itu penulis ingin meneliti lebih dalam lagi mengenai nilai filosofis tradisi festival sapi sonok di desa Batu Kerbuy, Pasean, Pamekasan. Penelitian ini berusaha untuk menjawab dua rumusan masalah yaitu: bagaimana praktik tradisi festival Sapi Sonok di Desa Batu Kerbuy, Pasean, Pamekasan, dan apa makna tradisi festival Sapi Sonok di Desa Batu Kerbuy, Pasean, Pamekasan Madura ditinjau dari perspektif filsafat nilai? Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui praktik tradisi festival sapi sonok di desa Batu Kerbuy, Pasean, Pamekasan, serta mengetahui pandangan pandangan tokoh agama di desa Batu Kerbuy tentang tradisi festival sapi sonok.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian lapangan (field reserch) yang bersifat deskriptif analitis. Penelitian ini dilakukan di Desa Batu Kerbuy, Pasean, Pamekasan. Alat pengumpulan data dilakukan dengan tiga cara yaitu observasi, wawancara, dan dokumentasi. Hasil Penelitian menunjukkan, bahwa praktik sapi sonok merupakan sepasang sapi betina yang telah terlatih menunjukkan kebolehannya melakukan gerakan-gerakan indah dan gemulai, yang dihias bak ratu kecantikan dengan dandanan menarik. Mulai dari pangonong, kain pakaian yang bersalumkan emas yang berkilauan ketika ditimpa sinar matahari, beludru merah dan juga kuning, kayu ukir juga tidak ketinggalan kelinting (bebunyian) hanya saja tidak menggunakan kaleles. Dalam prakteknya, ketika sapi sonok ingin ditampilkan atau dipajang akan dihiasi semaksimal mungkin baik dari segi pakaian dimana dalam pakai sapi terdapat beberapa rumbai-rumbai yang bergelantungan dan tak kalah menariknya, kulit sapi terlihat bersih terawat dengan kuku dan tanduk yang terpelihara pula. Tradisi sapi sonok yang dilakukan setiap tahun sekali di desa Batu Kerbuy, Pasean, Pamekasan memiliki nilai filosofis seperti nilai solidaritas, sosial, budaya dan keagamaan. Selain itu, tradisi sapi sonok memiliki makna dan yang relevan terhadap nilai keislaman seperti saling menghormati, harmonis, dan rukun antara sesama manusia.NIM.: 15510058 Moh Ishak2022-10-18T08:39:26Z2022-10-18T08:39:26Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/54308This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/543082022-10-18T08:39:26ZSIMBOL TELUR DAN BERAS KETAN DALAM TRADISI MAULUD SUKU BUGIS (STUDI MASYARAKAT SIDRAP)Peringatan Maulid Nabi saw merupakan salah satu tradisi dalam Islam. Tradisi ini
tidak hanyak dilaksanakan oleh umat muslim di negara lain, tapi juga di Indonesia.
Uniknya, tradisi Maulid yang dilaksanakan umat Muslim di Indonesia sangat
beragam, baik dari segi istilah, maupun bentuk perayaannya. Hal ini tentunya
timbul akibat adanya perbedaan suku yang cukup banyak. Salah satu suku yang
penulis jadikan sebagai objek penelitian adalah suku Bugis, khususnya yang
terletak di Kabupaten Sidrap, Kecamatan Pancarijang, Kelurahan Lalebata.
Tradisi yang dilaksanakan oleh suku Bugis pada umumnya hampir sama, baik dari
susunan acara, tempat pelaksanaan, maupun bentuk pelaksanaannya. Hanya di
waktu pelaksanaannya yang sedikit berbeda. Di beberapa tempat acara Maulid
dilaksanakan di awal bulan Rabiul Awal dan di tempat lain ada yang menjelang
akhir bulan. Namun bisa dikatakan bahwa hampir semua masjid-masjid besar di
suku Bugis mengadakan acara Maulid ini.
Dalam penelitian ini, penulis akan berfokus pada simbol-simbol yang secara umum
digunakan oleh umat Muslim suku Bugis dalam acara Maulid. Hal ini sudah
dianggap merupakan tradisi yang turun-temurun. Simbol-simbol tersebut seperti
batang pohon pisang, potongan bambu, beras ketan, dan telur. Namun penulis hanya
berfokus pada beras ketan dan telur. Hal ini bertujuan untuk mengetahui makna di
balik beras ketan dan telur. Apakah hal tersebuat hanya sebatas simbol/hiasan atau
memiliki filosifi yang mendalam sehingga dapat bertahan sampai sekarang.
Secara metodologi, penulis menggunakan metode wawancara yang terdiri dari 4
(empat) narasumber. Tentunya para narasumber merupakan orang-orang yang
terlibat dalam acara pelaksanaan Maulid di Kelurahan Lalebata. Adapun teori
analisisnya menggunakan teori Semiotika Ferdinand de Saussure.
Dari hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa telur dan beras ketan
merupakan simbol yang memiliki nilai-nilai filosifis kehidupan. Beras ketan atau
Sokko’ bermakna teguh pendirian. Hal ini diambil dari kata Sukku’ dan juga tekstur
beras ketan yang erat satu sama lain. Selain itu, telur sendiri memiliki tiga unsur,
yaitu kulit, putih telur, dan kuning telur. ketiga unsur tersebut merupakan simbol
dari syariat, hakikat, dan makrifatNIM.: 15510046 Zulfajri Amiruddin2022-10-18T02:18:40Z2022-10-21T03:52:44Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/54268This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/542682022-10-18T02:18:40ZTINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP ADAT KETHUR KENDI DALAM PERKAWINAN DI DESA KALANGAN KECAMATAN GEMOLONG KABUPATEN SRAGEN PROVINSI JAWA TENGAHPerkawinan adalah suatu ikatan antara laki-laki dan perempuan yang bersifat kuat dan merupakan suatu hal yang dianjurkan oleh syari’at islam dengan tujuan membentuk keluarga yang kekal, tentram dan bahagia. Di Indonesia yang merupakan Negara yang mempunyai banyak adat, perkawinan tidak hanya sekedar ijab dan kabul antara dua orang saja, melainkan ada tata cara adat tertentu yang sudah disepakati oleh masyarakat setiap daerah masing-masing. Di Desa Kalangan Kecamatan Gemolong Kabupaten Sragen terdapat tradisi Kethur Kendi yang tradisi yang berhubungan dengan perkawinan. Sehingga setiap perempuan warga desa tersebut yang melakukan perkawinan dengan laki-laki dari desa tersebut maupun dengan laki-laki dari desa lain diharuskan mengikuti tradisi tersebut. Dari sini penyusun tertarik untuk melakukan penelitian apakah tradisi yang dilakukan bertentangan dengan syari’at Islam atau tidak.
Jenis penilitian yang dilakukan adalah field research atau penelitian yang pengumpulan datanya dilakukan di Desa Kalangan Kecamatan Gemolong Kabupaten Sragen. Penelitian ini bersifat deskriptif analitik yaitu penelitian yang menjelaskan sebuah masalah kemudian dianalisis menggunakan hukum islam. Teknik pengumpulan data dengan cara observasi, wawancara, dokumentasi dan kajian pustaka. Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan normatif yaitu dengan melihat kesesuaian adat kethur kendi dengan dalil-dalil al-Qur’an, sunnah, ijma’, ‘urf dan maslahah. Analisa yang penyusun gunakan ialah kualitatif dengan cara berfikir induktif, maka dari itu penyusun meneliti kasus kemudian dibuat kesimpulan secara umum.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa adat kethur kendi adalah suatu tradisi yang dilakukan masyarakat Desa Kalangan setelah melakukan ijab qabul atau ketika akan melaksanakan resepsi pernikahan. Tradisi ini sudah berlaku sejak lama sebagai rasa hormat terhadap leluhur desa dan sebagai pengingat rasa syukur atas nikmat yang telah diterima,. Hasil analisa dari hukum islam menunjukkan bahwa tradisi kethur kendi termasuk ‘urf shahih. Dari objeknya maka tradisi kethur kendi termasuk
vii
ke dalam Al-'urf al-'amali (العرف العملي ). Dari segi cakupan, merupakan Al-'urf al-khâsh (العرف الخاص ).NIM.: 15350091 Misbakul Arif Triatmoko2022-10-12T01:58:27Z2022-10-12T01:58:27Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/54054This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/540542022-10-12T01:58:27ZUPAYA PENGEMBANGAN DAN PELESTARIAN WAYANG BEBER PACITAN TAHUN 2002- 2015 MWayang beber adalah wayang tertua yang ada di Indonesia, keberadaannya hanya ada di dua tempat yaitu Pacitan dan Gunung Kidul, perbedaan wayang beber Pacitan dan Gunung Kidul terletak pada alur cerita nya yang berbeda, wayang beber Wonosari memiliki dua cerita yaitu Remen Mangunjaya, dan Jaka Karebet, sedangkan wayang beber Pacitan bercerita tentang Jaka Kembang Kuning.
Naladerma adalah dalang pertama wayang beber Pacitan. Hingga penelitian ini dilakukan dalang wayang beber Pacitan memasuki generasi ke 13. Masalah besar terjadi ketika wayang beber Pacitan memasuki generasi dalang ke 12 dimana dalang wayang beber mengalami kekosongan, hal tersebut diperparah dengan wayang beber Pacitan yang sulit berkembang.
Peneliti berusaha menganalisis upaya pengembangan dan pelestarian wayang beber Pacitan tahun 2002-2015,menggunakan pendekatan Budaya. Peneliti menggunakan teori konflik dari Lewis A Coser dan teori tentang komodifikasi. Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (field Research).Sedangkan metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian sejarah yang digunakan untuk merekonstruksi peristiwa masa lalu melalui empat langkah yakni heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi.
Hasil dari analisis teori serta metode penelitian sejarah tersebut mengungkapkan bahwa upaya pengembangan dan pelestarian wayang beber Pacitan tahun 2002-2015, terfokus pada usaha dalam pengembangan wayang beber Pacitan dan terciptanya Wayang Beber Sakbendino adalah bentuk dari komodifikasi wayang beber untuk masyarakat Islam.NIM.: 15120068 Khoirul Muzakki Zidna2022-10-12T01:48:05Z2022-10-12T01:48:05Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/54052This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/540522022-10-12T01:48:05ZUPAYA PELESTARIAN TRADISI KIRAB HADEGING PERDIKAN TAWANGSARI DI DESA TAWANGSARI KECAMATAN KEDUNGWARU KABUPATEN TULUNGAGUNG JAWA TIMUR TAHUN 2010-2019Pakubuwana II dan Pangeran Mangkubumi tercatat telah memberikan layang kekancingan kepada K.H. Abu Mansur terkait hak otonomi di Tawangsari. Pada masa perdikan, Desa Tawangsari memiliki hubungan dekat dengan Kasultanan Yogyakarta. Seiring perkembangannya, hubungan kedua pihak terputus karena masing-masing fokus dengan urusan pemerintahan sampai berakhirnya status perdikan Tawangsari tahun 1979. Pada tahun 2010 hubungan dengan Kasultanan Yogyakarta tersambung kembali melalui identitas K.H. Abu Mansur sebagai keturunan Mataram. Kedekatan hubungan tersebut menginisiasi upaya untuk melestarikan sejarah dan mengenalkan budaya Desa Tawangsari secara luas, yaitu melalui Kirab Hadeging Perdikan Tawangsari. Tradisi tersebut diprakarsai oleh keluarga K.H. Abu Mansur dengan mendatangkan bregada prajurit Kasultanan Yogyakarta. Permasalahan penelitian ini adalah apa yang melatarbelakangi upaya pelestarian tradisi kirab di Desa Tawangsari tahun 2010-2019? Bagaimana bentuk usaha untuk melestarikan tradisi kirab yang ada di Desa Tawangsari pada tahun 2010-2019? Bagaimana dampak adanya pelestarian tradisi Kirab di Desa Tawangsari bagi keluarga K.H. Abu Mansur, Pemerintah Desa, dan masyarakat Desa Tawangsari?
Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi budaya yang berguna untuk mengungkapkan bentuk interaksi sosial dan budaya khususnya tradisi yang ada di Desa Tawangsari. Untuk mempermudah penelitian digunakan teori struktural fungsionalisme dari Talcot Parsons. Penelitian ini mengungkap upaya pelestarian tradisi kirab yang ada di desa Tawangsari dengan menggunakan metode penelitian sejarah yang meliputi empat langkah: heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa adanya upaya pelestarian tradisi kirab Hadeging Perdikan Tawangsari dilatarbelakangi oleh empat hal yaitu pengungkapan identitas K.H. Abu Mansur, hubungan dekat dengan Kasultanan Yogyakarta, pelestarian sejarah dan realisasi kirab Hadeging Perdikan Tawangsari, serta adanya dorongan masyarakat dan Pemerintah Desa Tawangsari. Prosesi kirab Hadeging Perdikan Tawangsari dimulai dengan iringan bregada prajurit Kasultanan Yogyakarta bersama rombongan masyarakat, pembacaan kekancingan dan silsilah K.H. Abu Mansur di Mataram, berdoa bersama dan rebutan gunungan. Kirab yang sudah terlaksana dimulai tahun 2017 sampai tahun 2019 kecuali tahun 2020 karena adanya wabah virus covid 19. Pelaksanaan kirab telah memberi dampak bagi sentana dalem, masyarakat dan Pemerintah Desa Tawangsari pada bidang sosial, agama, pendidikan, ekonomi dan politik. Kirab Hadeging Perdikan Tawangsari dicanangkan sebagai tradisi tahunan yang akan tetap dilestarikan oleh Desa Tawangsari.NIM.: 15120062 Zakaria Saputra2022-10-05T04:29:40Z2022-10-05T04:29:40Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/53889This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/538892022-10-05T04:29:40ZPERUBAHAN TRADISI PERNIKAHAN DI KELUARGA PONDOK PESANTREN WATUCONGOL MAGELANGPerjodohan merupakan hal yang wajar dan masih sering terjadi di masyarakat termasuk di kalangan keluarga pondok pesantren. Secara umum perjodohan di kalangan keluarga pesantren tidak jauh berbeda, yang mana anak mereka akan dinikahkan dengan calon mempelai yang juga memiliki kesamaan latar belakang keluarga. Salah satu keluarga pondok pesantren yang masih memraktikkan perjodohan adalah keluarga Pondok Pesantren Watucongol Magelang. Pernikahan di keluarga Pondok Pesantren Watucongol pada generasi-generasi awal dilakukan melalui jalur perjodohan, baik laki-laki maupun perempuan. Namun praktik pernikahan generasi keempat (saat ini) mengalami perubahan yang cukup signifikan. Jika generasi-genarasi sebelumnya perjodohan diberlakukan terhadap seluruh anak, justru pada generasi keempat perjodohan hanya diberlakukan untuk anak laki-laki saja. Pernikahan anak perempuan pada generasi ini justru tidak melalui perjodohan, bahkan orang tua atau wali tidak ikut andil dalam memilih pasangannya.
jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan dengan menggunakan metode kualitatif. Data yang dipaparkan merupakan data yang di dapat oleh peneliti dengan terjun langsung ke beberapa narasumber yaitu para kiai keluarga Pondok Pesantren Watucongol Magelang. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis dengan menggunakan pendekatan sosiologi Hukum Islam
Hasil penelitian mengungkapkan bahwasanya perubahan praktik pernikahan keluarga Pondok Pesantren Watucongol tidak bersifat subtansif (fikih mutagayyirât) yang dapat merusak keabsahan pernikahan. Perubahan tersebut diantaranya, pertama, kriteria kesetaraan dari segi nasab bagi setiap anggota keluarga. Kedua, perjodohan hanya diberlakukan bagi anak laki-laki dan tidak diberlakukan kepada anak perempuan. Ketiga, proses perjodohan dengan melibatkan peran dari para calon mempelai. Faktor utama yang mempengaruhi terhadap perubahan praktik pernikahan pada generasi keempat adalah kepentingan dan tujuan kolektif di setiap anggota keluarga. Tujuan pernikahan pada generasi awal adalah untuk menjalin hubungan baik dengan keluarga kiai yang memiliki latar belakang ilmu agama yang sama. Sedangkan pada generasi keempat tujuan yang ingin dicapai cenderung lebih mementingkan keberlangsungan masing-masing pondok dibandingkan dengan menjalin hubungan kekerabatan dengan keluarga kiai. Perubahan tujuan pernikahan ini didasari atas transformasi pola dan bentuk pondok pesantren Watucongol. Pada generasi awal corak pondok pesantren Watucongol merupakan pondok tradisional yang mampu diasuh oleh satu anggota keluarga dan beberapa santri lama (ustad). Berbeda dengan generasi keempat yang memiliki pondok pesantren dengan berbagai macam kurikulum dan model di setiap anggota keluarga sehingga membutuhkan banyak pengasuh dan tenaga pengajar agar lebih maksimal dalam menjalankan kegiatan belajar mengajar.NIM.: 19203012052 Muhammad Barrunnawa2022-10-05T03:03:15Z2022-10-05T03:03:15Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/53882This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/538822022-10-05T03:03:15ZANALISIS TEORI MASLAHAH PADA PEMBAGIAN HARTA WARISAN MASYARAKAT MUSLIM DALAM TRADISI KEPURUSA (STUDI KASUS DI DESA CELUKANBAW ANG KECAMATAN GEROKGAK. KABUPATEN BULELENG PROVINS! BALI)Dalam penelitian ini menggunakan teori maslahah untuk menganalisa tentang praktik pembagian kewarisan masyarakat muslim desa celukbawang dengan berbagai metode pembagian kewarisan adat kepurusa. Maslahah dalam penelitian ini juga digunakan untuk memandang praktik pembagian kewarisan msyarakat muslim di desa celukbawang dari dimensi Islam. dan untuk metode penelitian menggunakan penelitian studi lapangan (field research) dengan jenis penelitian kualitatif.
Dalam penelitian ini berkesimpulan bahwasanya praktik pembagian kewarisan kepurusa yang dilakukan masyarakat muslim desa celukbawang jika ditinjau dengan sudut pandang maslahah dari segi keselarasannya dengan tujuan syara'; atau maqasid syari'ah maka terdapat salah satu yang menolak konsep baik menurut akal yakni maslahah mulghahNIM.: 19203010041 Thoriq Ali, S.H.2022-09-28T03:58:16Z2022-09-28T03:58:16Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/53566This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/535662022-09-28T03:58:16ZTRADISI TOLAK BALA PADA MASYARAKAT MELAYU DI KALIMANTAN BARAT: PENGETAHUAN LOKAL DAN INDIGENOUS COUNSELINGKonseling sebagai proses pemberian bantuan yang berakar dari negara Barat dihadapkan dengan fakta bahwa orientasi penyembuhan di negara Barat tidak mencangkup realitas dan penyembuhan dari negara non Barat. Oleh karena itu, dibutuhkan adaptasi dalam praktik konseling dengan mempertimbangkan aspek-aspek yang mempengaruhi interpretasi, tindakan, ataupun cara berfikir masyarakat di suatu ruang sosial. Oleh karena itu upaya memahami masyarakat pribumi menjadi penting di dalam diskusi konseling. Tesis ini bertujuan untuk memahami interpretasi dan tindakan kelompok Melayu di Kalimantan Barat dalam penyelesaian masalah kehidupan melalui tradisi tolak bala (pengetahuan lokal). Tolak bala merupakan salah satu tradisi sekaligus alternatif dalam mencegah dan menyelesaikan masalah pada masyarakat Melayu di Kalimantan Barat.
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research) yang disajikan secara kualitatif. Data-data diperoleh melalui observasi partisipatif terhadap kehidupan lapangan dan wawancara mendalam. Penelitian ini dilakukan pada empat wilayah dengan rincian, dua wilayah berada di Kabupaten Kubu Raya, yakni kawasan Sungai Kakap dan Desa Dabong. Dua wilayah berada di kabupaten Kapuas Hulu, yakni Desa Sri Wangi, Kecamatan Buyan Tanjung dan kawasan Badau.
Adapun hasil penelitian menampilkan: pertama, sistem pengetahuan lokal di dalam pemecahan masalah pada kehidupan kelompok Melayu di Kalimantan Barat sangat erat kaitannya dengan keyakinan dan sistem sosial budaya. Keyakinan ini dapat menjadi penyebab terjadinya masalah, namun di sisi lain keyakinan dapat menjadi solusi dari permasalahan. Sementara sosial budaya berperan sebagai support system yang melingkungi masyarakat dalam penyelesaian masalah. Kedua, tesis ini berpendapat bahwa praktik dan ritual tolak bala pada masyarakat Melayu di Kalimantan Barat merupakan proses di mana individu bisa mengatasi masalah-masalah personalnya melalui ritual yang dimediasi oleh dukon kampong (penolong lokal), jadi orang tidak merasa sendiri tapi menjadi bagian dari problem keseluruhan. Dukun kampung (penolong lokal) membantu proses untuk bisa mengatasi masalah. Budaya membantu yang tergambar melalui praktik dan ritual tolak bala ini merupakan satu contoh di mana indigenous counseling bisa dipraktikkan di banyak masyarakat.NIM.: 20200011106 Saripaini, S. Sos.2022-09-28T03:53:01Z2022-09-28T03:53:01Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/53564This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/535642022-09-28T03:53:01Z‘UANG JUJUR’: TRADISI, UPACARA, DAN DAMPAK PSIKOLOGIS TERHADAP CALON PENGANTIN PRIA SUKU BANJAR, INDRAGIRI HILIR, PROVINSI RIAUThe tradition of honest money applies to the groom to the woman. However, not all grooms have a well-established economy and the party costs are quite large. This becomes an obstacle for the groom to get married and causes psychological disturbances for men to the high amount of honest money that must be given as spending money to the woman.
The purpose of this study was to describe the practice of honest money by the Banjar community in Tembilahan Hulu Village, Tembilahan Hulu District, Indragiri Hilir Regency, Riau and the psychological impact on prospective grooms on the practice of honest money by the Banjar community in the Tembilahan Hulu subdistrict, Tembilahan Hulu District, Indragiri Hilir Regency, Riau.
This research uses qualitative research with descriptive method. Research data collection techniques through observation, interviews and documentation. The results showed that the implementation of giving honest money in marriage customs in Tembilahan Hulu Sub-district, Tembilahan Hulu District, Indragiri Hilir Regency, Riau was carried out through several stages.
The results of this study explain that the meaning of honest money for brides and grooms in Tembilahan Hulu Village, Tembilahan Hulu District, Indragiri Hilir Regency, Riau has the view that honest money is very important, seeing the costs that have been owned since the past that have been passed down from generation to generation until now are still maintained. and does not rule out the possibility that honest money itself will experience an increase in nominal value, considering the lives of the people of Tembilahan District themselves, who on average have thought ahead and hold a very high character of siri' (shame). When talking about honest money, in people's ears it is the amount of money spent. The psychological impact experienced by youth in Tembilahan District due to high honest money, the first is stress and anxiety, the stress experienced by men in this case makes their behavior negative. In addition, the psychological impact felt by men is anxiety, the anxiety experienced raises concerns about the future being able to marry and build a household or stay alone and single. However, other sources found it as a source of motivation and a means of getting closer to God.NIM.: 20200011099 Dede Asrori Rohim2022-09-16T03:48:05Z2022-09-16T03:48:05Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/53098This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/530982022-09-16T03:48:05ZNYI ARUM ASMARANI : DALANG WAYANG PURWA DAN DAKWAHNYA DI TULUNGAGUNG JAWA TIMUR (1998 - 2021)Dalang merupakan sosok yang menyebarkan nilai – nilai kehidupan sebagaimana sosok seorang pendakwah. Seorang dalang dituntut untuk memiliki wawasan yang luas dan berani membuka diri terhadap fenomena dan pemikiran. Pada tahun 1998, di Radio Khusus Pemerintah Daerah (RKPD) Tulungagung terjadi peristiwa yang berhasil mengejutkan masyarakat dan menimbulkan pro-kontra. Peristiwa tersebut adalah hadirnya seorang dalang perempuan di Tulungagung. Ia adalah Siti Fatonah atau Nyi Arum Asmarani. Untuk menjadi dalang ia harus dihadapkan berbagai rintangan yakni restu dari kedua orangtuanya yang harus dikantonginya terlebih dahulu, sebab orangtuanya adalah penganut aliran Islam yang melarang mendengar bahkan menonton kesenian Jawa. Meskipun tak ada darah seniman dari dalam dirinya serta peremehan yang terkadang ia terima dari beberapa dalang laki – laki. Siti berusaha untuk memperjuangkan cita – citanya menjadi seorang dalang dengan tujuan untuk memudahkan jalan dakwahnya di tengah kentalnya nilai kejawen yang dianut oleh masyarakat Tulungagung dan panggung pedalangan di pegang kuat oleh para dalang laki – laki.
Penelitian ini menggunakan pendekatan antropologi agama yang mempelajari interaksi antar agama dengan kebudayaan terhadap pemahaman masyarakat terutama pada hubungan antara Nyi Arum dengan metode dakwahnya melalui panggung pedalangan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian sejarah dengan empat tahapan yakni, heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Pertama, sebelum adanya Nyi Arum kondisi masyarakat Tulungagung masih menganut nilai dan kepercayaan kejawen yang sangat kental. Kedua, Nyi Arum Asmarani merupakan seorang pendakwah sekaligus dalang perempuan inspiratif di Tulungagung. Ketiga, perjuangannya untuk menjadi dalang sekaligus pendakwah melalui berbagai rintangan yang tidak mudah seperti restu orangtua, diremehkan kalangan dalang laki – laki senior dan ujian lainnya dengan gigih berhasil ia taklukkan hingga bisa membawa wayang ke mimbar pengajian dan membawa dakwah ke dalam pagelarannya.NIM.: 18101020023 Arinda Muslikah Pertiwi2022-09-08T07:50:24Z2022-09-08T07:50:24Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/52846This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/528462022-09-08T07:50:24ZKONTEKSTUALISASI NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA NGASA DI DUSUN JALAWASTU TAHUN 2013-2020Upacara Ngasa berlokasi di Dusun Jalawastu, Desa Ciseureuh Kecamatan Ketanggungan Kabupaten Brebes menurut pranata mangsa Kasanga, yakni bulan Maret hari Selasa Kliwon atau anggara kasih (hari sesajen) yang bertempat di Pesarean Gedong. Upacara Ngasa atau sedekah hutan merupakan syukuran dengan membawa hasil hutan yang tumbuh di Jalawastu. Saat upacara berlangsung, menu utama yang disajikan sekaligus menjadi ciri khas dari Ngasa yaitu nasi jagung lengkap dengan sayur-mayur dan tidak mengandung unsur hewani. Hal ini dilakukan sebagai wujud pengabdian masyarakat Jalawastu terhadap keturunan Guriyang Pantus. Upacara yang mulanya syarat akan animisme dinamisme, namun dalam perkembangannya mulai mengenali nilai-nilai Islam yang diwujudkan dengan adanya iringin-iringan kentongan dengan musik islami dalam prosesi arakan gunungan menuju ke Pesarean Gedong. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan sejarah Upacara Ngasa, mendeskripsikan dinamika perkembangan Ngasa tahun 2013-2020, serta mengetahui nilai-nilai Islam yang terkandung dalam simbol-simbol Upacara Ngasa dan kontekstualisasi Upacara Ngasa terhadap kehidupan masyarakat Jalawastu.
Penelitian ini menggunakan pendekatan etnografi karena menggambarkan dan menguraikan budaya tertentu secara holistik, yang dipandang bukan sebagai produk melainkan proses. Teori yang digunakan yaitu Teori Pemikiran Islam Kuntowjoyo. Teori ini bertujuan untuk mengetahui masyarakat Jalawastu yang awalnya mempercayai Upacara Ngasa sebagai mitos yang harus dilaksanakan, namun seiring berjalannya waktu masyarakat menjadikan tradisi tersebut sebagai tradisi yang harus dilestarikan karena dapat dijadikan sebagai aset budaya. Kedua, tradisi Upacara Ngasa telah mengalami perkembangan, yang mana telah bercampur dengan mitos, agama, dan sekuler, sehingga menambah daya tarik para pengunjung untuk mengikuti Upacara Ngasa tersebut. Menggunakan metode sejarah yang terdiri dari empat tahap, heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi.
Hasil dari penelitian menunjukan bahwaUpacara Ngasa membentuk identitas sosial (scial identity) masyarakat Jalawastu sebagai media pengingat dan memelihara garis keturunan Guriyang Panutus pada setiap generasi. Upacara Ngasa mengalami kemajuan yang cukup pesat terjadi pada tahun 2013 yang dibuktikan dengan banyaknya gagasan dan inovasi yang berhasil diwujudkan. Ngasa ini merupakan bentuk perwujudan rasa syukur kepada Sang Pencipta atas nikmat keberkahan dengan mengkonvensikan tradisi Jawa dan unsur-unsur islami yaitu yaitu mengawali doa dengan basmalah, syahadat, Al-Fatihah, tembang islami, dan dihadiri oleh tokoh agama Islam. Hukum adat yang ada di masyarakat bertemu dengan nilai-nilai Islam berupa akidah dan syari’ah. Sesuai dengan hakikat dakwah Islam, nilai-nilai Islam itu diresapi tanpa meninggalkan nilai-nilai adat setempat yang tidak bertentangan dengan syari’at IslamNIM.: 16120056 Hanum Salsabiela2022-08-09T22:35:17Z2022-08-09T22:35:17Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/52479This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/524792022-08-09T22:35:17ZTRADISI RASULAN DAN PERKAWINAN ANAK DI DESA UJUNGGEBANG KEC. SUSUKAN KAB. CIREBONStudi ini bertujuan untuk mendeskripsikan tradisi rasulan dan perkawinn anak di Desa Ujunggebang Kec. Susukan Kab. Cirebon. Hal ini dilatari bahwa tradisi rasulan yang disebut juga dengan “perkawinan kecil” memiliki makna sosiologis berupa perhelatan perjodohan pada dasarnya untuk memperkuat sistem kekerabatan. Di samping itu, tradisi ini juga memiliki dimensi teologis yakni anak-anak yang dijodohkan sejak dini diperkenalkan dan diperkenankan untuk mengucapkan syahadat tauhid dan syahadat rasul. Dalam perkembangannya, tradisi ini juga berdimensikan ekonomi dengan menyelenggarakan hajatan dan berbagai hiburan rakyat. Banyak kerabat yang menghadiri hajatan tersebut dengan membawa amplop yang berisi uang dan membawa hasil bumi untuk diserahkan kepada sohibul hajat. Dalam praktiknya, perjodohan yang difasilitasi melalui tradisi rasulan ini ada yang berhasil hingga ke arah perkawinan, sebagaimana dikonsepsikan dalam hukum Islam. Tetapi sebagian besar perjodohan di masa kanak-kanak ini tidak sampai pada perkawinan. Perkawinan anak yang difasilitasi faktor adat berupa tradisi rasulan ini memperlihatkan kuatnya unsur adat perjodohan dalam melangsungkan perkawinan. Sebagai dampaknya, perkawinan tersebut memiliki keabsahan dalam perspektif hukum agama Islam, di sisi lain secara yuridis perkawinan ini tidak tercatatkan dalam administrasi perkawinan negara.- IBI SATIBI2022-08-04T01:47:12Z2022-08-04T01:47:12Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/52425This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/524252022-08-04T01:47:12ZUNSUR-UNSUR KEISLAMAN DALAM KESENIAN TOPENG IRENG
SISWO KAWEDAR DI DUSUN WONOSARI, BANGUNKERTO, TURI,
SLEMAN, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTASeni merupakan sesuatu yang terus bergerak dan tidak statis. Dari
masa ke masa seni tradisi mengalami perkembangan dan terus berasimilasi
dengan budaya global. Dari pergerakan tersebut, muncul banyak terobosan
baru di bidang seni budaya. Salah satu seni pertunjukan yang merupakan
asimilasi dari berbagai tradisi adalah pertunjukan KesenianTopeng Ireng, atau
yang juga dikenal dengan nama kesenian Dayakan. KesenianTopeng Ireng
adalah tarian rakyat kreasi baru yang merupakan metamorfosis dari kesenian
Kubro Siswo. Nama Topeng Ireng sendiri berasal dari kata Toto
LempengIrama Kenceng. Toto artinya menata, lempeng artinya lurus, irama
artinya nada, dan kenceng berarti keras. Oleh karena itu, dalam pertunjukan
Topeng Ireng para penarinya berbaris lurus dan diiringi musik berirama keras
dan penuh semangat. Tarian ini sebagai wujud pertunjukan seni tradisional
yang memadukan syiar agama Islam dan ilmu beladiri atau pencaksilat. Tak
heran, dalam pementasan kesenian ini selalu diiringi dengan musik yang
rancak dan lagu dengan syair Islami. Dusun Wonosari, DesaBangunkerto,
Turi, Sleman, Yogyakarta berusaha untuk tetap melestarikan kesenian ini
melalui Paguyuban Tari Topeng Ireng dengannamapaguyubannyaSiswo
Kawedar.
Dengan melihat hal diatas, maka penulis tertarik untuk meneliti
kesenian tersebut dan menuangkannya ke dalam sebuah penelitian dengan
judul “Unsur-Unsur Keislaman Dalam Kesenian Topeng Ireng Siswo
Kawedar di Dusun Wonosari, Bangunkerto, Turi, Sleman, Daerah Istimewa
Yogyakarta”. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan
latar belakang munculnya dan prosesi pertunjukan Kesenian Topeng Ireng,
Mengetahui apa saja unsur-unsur Islam yang ada dalamKesenian Topeng
Ireng tersebut Dan Apa fungsi serta makna Kesenian Topeng Ireng bagi
masyarakat di daerah tersebut .
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dan jenis
penelitian yang digunakan adalah penelitian lapangan (field research). untuk
pengumpulan datanya melalui observasi, interview, dokumentasi, analisis
data dan laporan penelitian. Penelitian ini menggunakan pendekatan
antropologi budaya, yaitu proses mengumpulkan dan mencatat bahan-bahan
guna mengetahui keadaan masyarakat yang bersangkutan sebagai objek
penelitian. Keunikan dari kesenian Tari Topeng Ireng ini adalah
menggabungkan berbagai macam unsur budaya, yaitu budaya lokal, Suku
Dayak, Islam, Pencak Silat dan budaya dari Suku Indian.NIM.: 08120049 Supriyadi2022-08-04T01:40:34Z2022-08-04T01:40:34Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/52423This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/524232022-08-04T01:40:34ZTRADISI TASYAKURAN NAIK HAJI DIDESA TANJUNG PASIR KECAMATAN RANTAU BAYUR KABUPATEN BANYUASIN, PALEMBANGTradisi tasyakuran naik haji adalah selamatan orang yang menunaikan ibadah haji
yang dilaksanakan pada bulan haji. Pada umumnya tasyakuran naik haji dilakasanakan
sebelum keberangkatan calon jamaah haji ke tanah suci dan setelah jamaah haji pulang dari
tanah suci dalam rangka menunaikan ibadah haji namun, tasyakuran naik haji yang ada di
Tanjung Pasir ini selain dilaksanakan sebelum keberangkatan dan setelah kepulangan jamaah
haji dari tanah air tasyakuran ini juga dilaksanakan setiap malam selama jamaah haji masi
berada di tanah suci Mekkah dan Madinah dalam rangka menunaikan ibadah haji. Sehingga
masyarakat membagi tasyakuran naik haji ini menjadi tiga prosesi yaknni pertama, makan
besar kedua, makan keluarga dan ketiga, makan kecil. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui bagaimana prosesi tasyakuran naik haji di desa Tanjung Pasir, alasan tradisi ini
masih dilaksanakan di desa Tanjung Pasir, serta mengetahui apa nilai dan fungsi yang
terkandung dalam tradisi tasyakuran naik haji tersebut.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan antropologi, dan
teori yang digunakan pada penelitian ini adalah teori fungsionalisme struktural yang
dikembangkan oleh Radceliffe Brown (1952). Brown menyatakan bahwa kunci pokok
analisis fungsionalisme struktural budaya adalah bukan pemuas kebutuhan individu,
melainkan untuk kebutuhan sosial kelompok. Jenis penelitian ini adalah lapangan,
menggunakan pengamatan (observasi) secara langsung pada saat pelasanaan tradisi
tasyakuran naik haji ini berlangsung. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah
metode penelitian budaya kualitatif. Dalam pelaksanaan penelitian ini menempuh tahapantahapan,
metode pengumpulan data (observasi, wawancara, dokumentasi), analisis data,
penulisan data.
Hasil dari penelitian ini adalah ada beberapa faktor atau alasan yang membuat
masyarakat Tanjung Pasir masih melaksanakan tradisi tasyakuran naik haji ini sampai
sekarang diantaranya ialah pertama, sebagai sarana untuk memohon keselamatan pada Allah
kedua, sebagai ungkapan rasa syukur pada Allah ketiga, adanya harapan untuk saling
mendoakan antara calon jamaah haji dengan para tamu undangan keempat, sebagai sarana
untuk berbagi kebahagiaan kelima, sebagai ajang untuk memperkuat tali silaturahim dan
keenam, adanya sangsi sosial yang akan masyarakat Tanjung Pasir dapatkan apabila mereka
tidak melaksanakan tasyakuran naik haji ini. Sangsi sosial tersebut yakni mereka akan merasa
dikucilkan dari masyarakat lainnya, karena mereka akan dianggap orang yang sombong, tidak
mampu, dan pelit karena tidak mau bersyukur pada Allah. Pada tradisi tasyakuran naik haji
ini terkandung nilai-nilai dan fungsi diantaranya adalah nilai Islam, nilai sosial, dan nilai
budaya. Adapun fungsi yang terkandung pada tradisi tasyakuran naik haji ini yakni sebagai
rasa kebersamaan, sebagai media komunikasi, sebagai sarana hiburan, dan sebagai sarana
pelestarian kebudayaan.NIM.: 08120015 Enti Lidia2022-08-04T01:35:00Z2022-08-04T01:35:00Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/52422This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/524222022-08-04T01:35:00ZTRADISI WILUJENGAN DI DUSUN CEPIT DESA PAGERGUNUNG KECAMATAN BULU KABUPATEN TEMANGGUNGTradisi Wilujengan merupakan tradisi yang dilaksanakan setiap satu tahun
sekali yaitu pada malam 21 Ramadhan atau warga Desa sering menyebut “malem
selikuran”. Tradisi ini sudah dilakukan sejak wafatnya Ki Ageng Makukuhan
sebagai salah satu tokoh penyebar Islam di Kota Temanggung dan para
sahabatnya untuk mengenang dan menghormati jasanya dalam berjuang
menyebarkan agama Islam di Desa Pagergunung pada khususnya dan
Temanggung pada umumya yang dulu mayoritas Agama Hindu dan Budha.
Tradisi Wilujengan dimulai dengan arak-arakan oleh prajurit yang berpakaian adat
Jawa, dengan membawa tumpeng dan sesaji berupa hasil bumi. Puncak tradisi
Wilujengan adalah ziarah ke makan Ki Ageng Makukuhan di puncak Gunung
Sumbing oleh masyarakat Desa Pagergunung yang dilakukan dengan berjalan
kaki bersama-sama warga lainnya yang jaraknya sekitar 3 km sampai puncak
Gunung Sumbing.
Penelitian ini berangkat dari problem: Apa latar belakang munculnya
tradisi Wilujengan ini dan bagaimana prosesi upacaranya. Apa makna dan fungsi
yang terkandung dalam tradisi Wilujengan. Apa yang menyebabkan tradisi
Wilujengan masih dipertahankan sampai sekarang. Dalam tradisi Wilujengan ini
peneliti menggunakan teori fungsionalisme Bronislaw Malinowski. Peneliti
menggunakan teori fungsionalisme Malinowski karena akan mengungkap dan
mengkaji lebih dalam mengenai makna dan fungsi sampai ke hal-hal yang kecil,
selain itu aspek aspek kehidupan dapat terungkap sehingga fungsi dan maknanya
semakin jelas. Malinowski juga berpendapat bahwa fenomena budaya sekecil apa
pun pasti ada makna dan fungsinya bagi pendukung budaya tersebut. Penelitian
ini bertujuan untuk mengungkap mengapa spirit masyarakat Desa Pagergunung
masih sangat besar dalam melakukan tradisi Wilujengan sampai sekarang.
Disamping itu peneliti juga bertujuan agar dapat memahami fungsi dan makna
yang terkandung dalam tradisi Wilujengan. Penelitian ini merupakan penelitian
yang dilakukan di lapangan maka penelitian ini termasuk dalam field research,
yang lebih merupakan studi tentang kajian budaya dan tradisi. Adapun tahapan
tahapannya yaitu: metode pengumpulan data (observasi, interview, dokumentasi ).NIM.: 08120004 Muhammad Latif Zakiyyuddin2022-08-01T04:38:00Z2022-08-01T04:38:00Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/52315This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/523152022-08-01T04:38:00ZTRADISI RUWAH DESA DALAM PERSPEKTIF AQIDAH ISLAM
(Studi Kasus Desa Sambiroto Kabupaten Mojokerto)Aqidah menjadi penting sebagai landasan seseorang untuk memahami dan memantapkan keyakinan terhadap rukun iman. Pemahaman Aqidah biasanya dilakukan dengan menanamkan dan mengimplementasikan nilai-nilai Aqidah dalam suatu tradisi yang melekat dalam kehidupan masyarakat. Salah satu tradisi yang masih lestari sebagai upaya pemahaman terhadap nilai-nilai Aqidah yakni tradisi ruwah.
Tradisi ruwah desa di Desa Sambiroto memiliki daya tarik tersendiri karena di satu sisi adalah tradisi yang masih rutin dilakukan dan di satu sisi lain dalam pelaksanaannya tetap menerapkan nilai-nilai fundemantal keimanan, sehingga tradisi ruwah ini perlu dilihat secara lebih spesifik melalui perspektif aqidah Islam.
Dengan demikian fokus dalam penelitian ini adalah bagaimana latar belakang tradisi ruwah desa di Desa Sambiroto serta mengkaji bagaimana tradisi ruwah desa dalam perspektif aqidah Islam. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui latar belakang tradisi ruwah desa di desa Sambiroto serta mengetahui tradisi ruwah desa jika dilihat dalam perspektif aqidah Islam. Penelitian ini menggunakan penelitian studi kasus dengan menggunakan analisis kualitatif dan pendekatan deskriptif. Sumber data yang diperoleh menggunakan metode penelitian yang bersifat empirik yaitu dengan menggunakan metode wawancara, observasi, dokumentasi dan litelatur.
Hasil penelitian berdasarkan tradisi ruwah desa dalam perspektif aqidah Islam menunjukkan bahwa pertama, Tradisi ruwah desa merupakan kebiasaan turun temurun yang sudah ada sejak zaman dahulu. Tradisi dari wujud rasa syukur kepada Allah SWT yang dilaksanakan pada bulan ruwah menjelang ramadhan pada minggu pertama kisaran pahing dalam kalender Jawa sesuai dengan keadaan masyarakat. Tradisi ruwahan dilaksanakan bertujuan untuk mendoakan dusun agar tetap tenteram dan terjauh dari sesuatu yang tidak diinginkan serta sebagai ajang silaturahmi dan saling menghargai sesamanya. Kedua, prinsip segala kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat desa Sambiroto ini diarahkan bertujuan memohon kepada Tuhan. Karena segala sesuatu yang baik menurut Islam akan baik juga bagi makhluknya, seperti halnya dalam adat kebiasaan tradisi ruwah desa yang dapat diterima oleh masyarakat dengan baik, walaupun kepercayaan para masyarakat sekarang sudah berubah, mereka masih melakukan tradisi yang dulu dilakukan oleh orang-orang terdahulu.NIM.: 18105010005 Chilya Salisa Cindy Cholilah2022-07-27T04:34:20Z2022-07-27T04:34:20Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/52288This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/522882022-07-27T04:34:20ZRESEPSI SEDEKAH BERUPA KUE APEM DALAM TRADISI TAHLILAN DI DUSUN DEMUNGAN KECAMATAN MADURAN KABUPATEN LAMONGAN (STUDI LIVING HADIS)Apem Cake Tradition is one of the traditions in Tahlilan activities in
Demungan village, Meluran Lamongan. This tradition is implemented every
commemorating the death of death, counted from the bodies buried to 3 days, 7
days, 40 days, 100 days to 1000 days or called with nyewu. The purpose of the
apem cake tradition in the activities of the Tahlilan is none other than the form of
calling the people who died to Allah SWT. ask him with the word الش that is
symbolized with the form of apem cake.
This research uses qualitative method (field research) , the author uses this
method with data collection obtained through observation, interview, and
documentation. Regarding the analysis of the authors of using the author of the
Fenomenolgi Alfred Schutz, with this theory can facilitate the author to uncover
the phenomenon of social practice in apem cake tradition in the activities of
Tahlilan The purpose of this study is to know how the Apem cake tradition in
Tahlilan's activity, how the appearance of apem cake for the Demandan
Community. Especially in the observations of the Hadith of the Prophet.
Regarding the background of the emergence of this student's leader does
not obtain information in detail related to the time. this tradition appears or
starting, because of the religious leaders even the probability of grandparent is
compared to the Democument of demungan village does not know its history, the
people of demungan village, according to Mr. Ma'zum tradition of apem cake is a
tradition that hearse of the previous grandparent has implemented the tradition
The results of this study can know the existence of the implementation of
the Humish of the prophet who is still living in the community, used in the Apem
cake tradition in the activities of Tahlilan by knowing the Hadist that the basis for
this tradition can indicate that the public of the tradition is not only so this
tradition is a radio that hearse but the tradition is the implementation of the Hadist
about the alms to the person who died the meaning of the tradition for the
surrounding community is the tradition serves as a seduration, alms. And othersNIM.: 18105050004 Fahimarotul Inayah2022-07-26T08:29:58Z2022-07-26T08:29:58Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/52257This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/522572022-07-26T08:29:58ZHADITS TENTANG MAKAN DAN MINUM BERDIRI (STUDI MA’ANIL HADITS)Sebagai manusia yang memiliki bentuk rasa syukur, hendaknya dalam pelaksanaan makan dan minum mengikuti etika dan adab sebagaimana yang telah diajarkan oleh Nabi SAW yaitu tidak makan dan minum sambil berdiri. Namun dalam pelaksanaannya, banyak yang belum mengikuti anjuran tersebut seperti halnya makan dan minum berdiri dalam standing party. Fenomena standing party telah banyak terjadi dikalangan masyarakat dunia. Hingga saat ini tradisi tersebut banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Dalam Islam, kaitannya dengan hukum makan dan minum berdiri, terjadi silang pendapat ada yang membolehkan dan ada juga yang melarang. Pembahasan ini tentunya memerlukan rujukan untuk proses analisis topik yang dikaji yaitu Hadits Nabi SAW. Dari permasalahan tersebut sekiranya muncul dua hal yang harus dijawab oleh peneliti. Pertama, adalah bagaimana pemahaman hadits tentang makan dan minum berdiri dengan menggunakan metode Yusuf Qardhawi. Kedua, kontekstualisasi hadits makan dan minum berdiri serta hubungannya dengan tradisi standing party.
Penulis menggunakan kajian ma‟anil hadits untuk memahami hadits tersebut dengan menerapkan metode yang ditawarkan oleh Yusuf Qardhawi. Metode pemahaman hadits Yusuf Qardhawi dirasa akan lebih memudahkan peneliti dalam mengkaji hadits terkait tema yang peneliti kaji. Yusuf Qardhawi menjelaskan hadits yang terkait dengan masa sekarang secara rinci dan aplikatif. Ada delapan metode yang ditawarkan oleh Yusuf Qardhawi dalam memahami hadits. Adapun dalam penelitian ini hanya menggunakan lima kriteria, karena dua metode yang berkaitan alam ghaib dan majaz dirasa tidak sesuai dengan hadits yang diteliti. Kemudian mengenai penggabungan dan pentarjihan antara hadits-hadits yang bertentangan telah dibahas dalam pembahasan lainnya yaitu dalam pembahasan kualitas matan hadits. Mengenai sifat data, penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dan disajikan secara deskriptif-analitis.
Penelitian ini menunjukan bahwa hadis tentang makan dan minum berdiri yang diriwayatkan oleh Imam Muslim berisi larangan makan dan minum berdiri yang dikatakan oleh Rasulullah SAW. Hal itu menunjukan bahwa makan dan minum berdiri merupakan hal yang kurang baik untuk berbagai aspek. Namun dalam hadits lain, Nabi SAW sendiri pun pernah minum sambil berdiri. Hal ini menunjukan bahwa larangan makan dan minum ini hanya sebatas anjuran untuk melaksanakan hukum yang lebih utama yaitu makan dan minum dengan duduk. Mengingat kultur budaya yang semakin modern, dalam hadits ini menunjukan bahwa tata cara makan dan minum itu merupakan sebuah sarana yang berubah dan berkembang, sehingga dalam memahaminya tidak dengan mengikat bagaimana tata cara makan pada masa itu kemudian selalu diterapkan di masa sekarang. Pemahaman hadits ini dengan menggunakan metode Yusuf Qardhawi memberi pemahaman bahwa esensi hadits mengenai makan dan minum adalah Pendidikan yaitu persoalan adab atau sopan santun. Hal ini dimaksudkan bahwa esensi dari hadits ini adalah untuk memberitahu tata cara makan dan minum yang lebih baik seiring dengan perkembangan serta perubahan kultur yang ada.NIM.: 18105050122 Hasaroh2022-07-26T04:30:31Z2022-07-26T04:30:31Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/52233This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/522332022-07-26T04:30:31ZDINAMIKA MAKNA SIMBOLIS AIR SUCI MAKAM SUNAN KALIJAGA DEMAK DI TENGAH MODERNISASIModernisasi merupakan proses yang akan terus dihadapi oleh masyarakat sejak berakhirnya perang dunia kedua. Modernisasi ialah proses pergeseran sikap dan pemikiran yang dianggap i-rasional. Modernisasi menjadikan masyarakat lebih mengutamakan pemikiran rasional dan hal-hal yang dapat dibuktikan secara ilmiah. Hal ini tentunya dikhawatirkan memiliki dampak buruk terhadap agama. Terlebih mempengaruhi pada pemikiran masyarakat terkait mitos tradisi dan agama. Namun faktanya, di era modern ini banyak masyarakat yang masih percaya terhadap hl-hal mitos. Seperti halnya peziarah di makam Sunan Kalijaga Demak yang mengantri air suci dan mempercayai mitos terkait air suci tersebut.
Penelitian ini secara khusus membahas dua hal utama, yaitu: mengapa masyarakat mensakralkan air suci di makam Sunan Kalijaga Demak dan bagaimana dinamika terkait pemaknaan air suci di makam Sunan Kalijaga Demak. Dengan meneliti dua hal tersebut, penelitian ini diharapkan mampu memberi pandangan terhadap masyarakat terkait dinamika pemaknaan suatu simbol yang dianggap sakral. untuk itu, dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan kualitatif dan data dianalisis secara deskriptif. Data dikumpulkan dengan teknis purposive sampling. Sedang teknik pengumpulan data ialah observasi, wawancara dan dokumentasi. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teori “Simbol Sakral dan Profan” dari Mircea Eliade.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat mensakralkan air suci karena mitos dari air suci tersebut. Baik mitos mengenai khasiat maupun asal-usul dari air suci di Makam Sunan Kalijaga. Mitos ini mempemgaruhi persepsi masyarakat terkait hubungan air suci dengan Sunan Kalijaga. Mitos terkait air suci juga mempengaruhi perilaku baik dari pengurus, pedagang dan peziarah dalam menjaga kesakralan air suci di Makam Sunan Kalijaga. Selain itu, mitos-mitos terkait kesakralan air suci juga mempengaruhi pemanfaatan air suci oleh masyarakat. kesakralan air suci melahirkan beragam makna bagi air suci. Dari makna pelestari, plindung, pencerdas, pembuka aura, penolong, pelengkap tawasul, obat hingga replika air zam-zam. Keberagaman ini dipengaruhi oleh latar belakang dan kepentingan masyarakat.NIM.: 18105020006 Rahmatria Maftukatus Sultona2022-07-22T02:01:12Z2022-07-22T02:01:12Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/52178This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/521782022-07-22T02:01:12ZMOTIVASI DAN MAKNA TRADISI PEMBACAAN
AL-QUR’AN TUJUH SURAT PILIHAN DI PONDOK
PESANTREN AL-MUNAWWIR KOMPLEK R
KRAPYAK YOGYAKARTAPenelitian ini membahas tentang “Motivasi dan Makna Tradisi Pembacaan
Al-Qur’an tujuh Surat Pilihan di Pondok Pesantren Al-Munawwir Komplek R
Krapyak Yogyakarta”. Topik ini dipilih berdasarkan asumsi bahwa tradisi
keagamaan tidak hanya dilakukan untuk tujuan ibadah saja. Melainkan, memiliki
kepentingan dan tujuan tertentu. Tradisi pembacaan Al-Qur’an tujuh surat pilihan
di Pondok Pesantren Al-Munawwir Komplek R pada dasarnya juga memiliki tujuan
tertentu di luar maknanya. Fokus pembahasan pada penelitian ini adalah pertama
menjelaskan tentang bentuk prosesi kegiatan tradisi pembacaan Al-Qur’an tujuh
surat pilihan. Kedua menjelaskan apa motivasi dan makna kegiatan tradisi
pembacaan Al-Qur’an tujuh surat pilihan bagi pengasuh, pengurus dan santri putri
Pondok Pesantren Al-Munawwir Komplek R Krapyak Yogyakarta.
Analisa data menggunakan teori tradisi diskursif Talal Asad dan teori
motivasi David McClelland. Penelitian ini adalah penelitian lapangan,
menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan etnografi. Dalam
penelitian ini, peneliti mengambil data dengan cara melaku kan tiga teknik yaitu,
observasi, wawancara dan dokumentasi. Peneliti menganalisis data tersebut
menggunakan analisis deskriptif- eksplanasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Motivasi dan makna bagi pelaku
tindakan dalam tradisi pembacaan Al-Qur’an tujuh surat pilihan dengan teori tradisi
diskursif Talal Asad dan teori motivasi David McClelland, dapat di disimpulkan
bahwa dalam kegiatan tradisi tersebut simbolnya adalah tujuh surat pilihan yang
dibaca setiap hari ba’da sholat subuh secara berjamaah di Musholah. Berdasarkan
teori motivasi yang ditawarkan oleh McClelland bahwa terpusat pada tiga bentuk
kebutuhan yang terdapat pada pelaku tindakan yaitu, pertama kebutuhan akan
keberhasilan dan kesuksesan (need of achievement), kedua kebutuhan akan
kepatuhan santri terhadap pengasuh (need of power) dan ketiga kebutuhan akan
hubungan spiritual antara santri dan pengasuh (need of affiliation). Kemudian untuk
makna yang terdapat dalam kegiatan tradisi pembacaan Al-Qur’an tujuh surat
pilihan terdapat tiga bentuk yaitu pertama tradisi ini dianggap sebagai amalan yang
suci dan luhur yang bisa dilihat dari waktu, tempat dan pakaian yang digunakan
pada saat prosesi tersebut. Kedua kesalehan individu adalah kesalehan yang
berhubungan dengan Allah Swt dan kepentingan diri sendiri. Ketiga kesalehan
sosial, yang terlihat pada saat pembacaan Al-Qur’an tujuh surat pilihan yang
dilaksanakan secara bersama-sama antara pengasuh dan santri.NIM.: 17105030032 Remita Riastri2022-07-14T07:25:25Z2022-07-14T07:25:25Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/52020This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/520202022-07-14T07:25:25ZKEARIFAN SATO SAKAKI DALAM RANDAI: INTERLEGALITAS DALIL HUKUM SYAR‘I DAN PEMAJUAN KEBUDAYAAN NASIONALThis dissertation aims to discuss the formulation of sato sakaki
as a form of cultural wisdom in Randai to represent the interlegality
between the arguments of customary law, Islamic law and Law
Number 5 of 2017 concerning the Cultural Development in Indonesia.
The study focuses on the coexistence of Randai art as the cultural
capital of indigenous people, as 'urf (custom of a given society) in the
perspective of ushul fiqh, and as an object of cultural development by
the state. The topic understudy particularly addresses the followings:
(1) How is the interlegality between the arguments of customary law,
Islamic law, and the state in the realm of Minangkabau legal culture?
(2) To what extent has the state made efforts and interventions in the
development and promotion of Randai arts and culture? (3) How did
the Randai actors and religious authorities respond to the idea of
development by the state as a form of negotiation against the
conception of 'urf' and custom based on Islamic law? (4) What is the
formulation of the wisdom of Sato Sakaki in fostering, preserving,
developing, and utilizing Randai?
The research was conducted using abductive reasoning through
observation, in-depth interviews, combined with discourse analysis on
the existence of Randai. Creswell's Mixed method was also used to
explain the intersection of the structure and identity of the
Minangkabau community in the face of the normative penetration of
ulama and ideas for the promotion of state culture. The explanation
also describes the relationship between agents and actors who are seen
as involved in responding to the interlegal process of promoting
national culture.
This study pinpoints that the principle of wisdom in the
formulation of 'urf also serves as the goal of Islamic law after benefit.
In particular, this study reveals and highlights the followings: (1)
Randai performing arts serves as a realm of interaction, contestation,
identity negotiation, and legal culture for the Minangkabau
community. In this study, this interlegalistic pattern is known as the wisdom of sato sakaki. (2) The state domination is seen through efforts
to relate its power in the realm of legal culture, Islam, and Indonesia
in Minangkabau; (3) the aesthetics of Randai become an articulation
of the wisdom of Minangkabau legal culture in accepting the national
development project of the state which leads to some adjustments in
several artistic aspects of the movement and gender aspects, such as
the involvement of female players; (4) the formulation of local
wisdom of Sato Sakaki is a form of Minangkabau interlegality
represented in Randai. It represents a form of coexistence between
customary law, Islamic law, and the state.
The expected implication of this dissertation is the availability
of a formulation of the wisdom of Sato Sakaki based on the
development, preservation, development, and utilization of Randai
art. This formulation can be used to mainstream the power of 'urf that
thrives in society, both as a philosophical basis for accelerating the
realization of legal wisdom, as a project of recognition, driving force
for the development, and cultural invention in Indonesia.NIM.: 18300016026 Zelfeni Wimra2022-07-01T04:06:53Z2022-07-01T04:06:53Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/51574This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/515742022-07-01T04:06:53ZNILAI-NILAI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM TRADISI SEKURA MASYARAKAT LAMPUNG SAIBATIN KELURAHAN WAY MENGAKU LAMPUNG BARATLatar belakang penelitian ini adalah bermula dari terjadinya proses pergeseran makna dan memudarnya kemurnian nilai-nilai dalam tradisi yang ada di masyarakat. Tradisi yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu mengenai tradisi sekura pada masyarakat suku Lampung Barat suku saibatin. Adanya modernisasi ilmu pengetahuan dan teknologi serta hadirnya masyarakat pendatang merupakan faktor problematika tersebut hingga menyebabkan banyak masyarakat yang tidak mengetahui kemurnian tentang tradisi sekura yang sudah diturunkan secara turun-temurun oleh nenek moyang yang merupakan salah satu sejarah Islam masuk di Lampung Barat serta nilai-nilai Islam yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk memaparkan pelaksanaan tradisi sekura sekaligus menjelaskan kandungan nilai-nilai Islam yang ada dalam tradisi tersebut yang dapat diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat.
Penelitian ini adalah penelitian jenis kualitatif yang menggunakan model pendekatan pendidikan agama Islam dan pendekatan historis dengan subyek penelitian yang bersumber dari data primer dan sekunder. Metode pengumpulan data melalui wawancara semiterstruktur dan dokumentasi, sedangkan teknik analisis data terdiri dari tiga tahapan diantaranya reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan dan verifikasi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tradisi sekura masyarakat Lampung saibatin merupakan perhelatan adat secara rutin yang dilaksanakan setelah hari raya Idul Fitri secara bergantian tiap kelurahan nya dalam kurun waktu 1 Syawal sampai 7 Syawal. Pelaksanaan tradisi tersebut terbagi menjadi tiga tahapan besar diantaranya tahap perencanaan meliputi buhimpun atau musyawarah, menghimpun dana, mendirikan buah atau batang pohon pinang, dan pemasangan tarup serta panggung adat; pelaksanaan meliputi pembukaan acara, sambutan-sambutan dari pihak penyelenggara dan tamu undangan, doa bersama, pawai budaya, dan sekura cakak buah peserta sekura memanjat pohon pinang; dan pembubaran kepanitiaan dengan gotong royong membersihkan area kelurahan dan diakhiri dengan makan bersama. Adapun nilai-nilai pendidikan agama Islam dalam tradisi sekura masyarakat Lampung saibatin kelurahan Way Mengaku diantaranya terdapat nilai tauhid uluhiyah, musyawarah, kerjasama, kerja keras, sedekah, fastabiqul khairats, tolong menolong, silaturahmi dan saling memaafkan serta cinta lingkungan.NIM.: 17104010127 Riyanaya2022-06-28T07:45:48Z2022-06-28T07:45:48Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/51336This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/513362022-06-28T07:45:48ZPERUBAHAN TRADISI SYAWALAN PADA MASYARAKAT KRAPYAK
PEKALONGANSyawalan sebagai budaya keagamaan Islam tumbuh dan berkembang di
Indoesia sering terjadi akulturasi dengan budaya lokal, seperti yang terjadi pada
masyarakat Krapyak dalam melaksanakan syawalan mereka menggunakan lopis
sebagai simbol kerekatan sebagai penyuguhan tamu, dan tradisi terlaksana saat hari
besar Islam. Tradisi yang sudah terlaksana sejak lama berubah menjadi semakin
semaraknya tradisi hingga dapat dimasuki unsur-unsur dari budaya lain yang
menghasilkan suatu keuntungan berupa tontonan masyarakat atau wisata, peningkatan
dari segi ekonomi negera dan masyarakat, sosio-kultural dan edukasi masyarakat.
Sehingga nilai kesakralan dari suatu tradisi menjadi berubah. Berawal dari
permasalahan tersebut perlu diadakan penelitian untuk mengetahui bagaimana bentukbentuk
perubahan tardisi syawalan dan apa faktor-faktor perubahan tradisi syawalan
pada masyarakat Krapyak pekalongan.
Penelitian penulis menggunakan metode kualitatif deskriptif yang
memungkinkan pemaparan suatu pemahaman informasi berdasarkan pada realita yang
ada dilapangan, lalu penulis menggambarkan suatu hasil penelitian dari lapangan.
Dalam memperoleh sumber data yang diperlukan untuk sebuah penelitian dengan cara
mengobservasi di daerah Krapyak Pekalongan, melakukan wawancara dengan
masyarakat Krapyak Pekalongan dan mengumpulkan dokumentasi saat tradisi
syawalan berlangsung. Dalam menganalisis data baik berasal dari wawancara,
mengamati fenomena kegiatan syawalan atau menemukan data-data yang bersifat
sekunder agar mendapatkan hasil dari perubahan tradisi syawalan pada masyarakat
Krapyak Pekalongan.
Hasil penelitian penulis menemukan tahap-tahap perubahan tradisi syawalan
meliputi 1) tahap tradisi awal sebagai munculnya tradisi 2) tahap komoditisasi saat
terjadinya perubahan lopis menjadi barang komoditas 3) tahap vestifalisasi yaitu
berubah menjadi pariwisata. Adapun perubahan dari tradisi syawalan tersebut adalah
1) pergeseran puasa syawal, 2) kategorisasi simbol lopis kecil menjadi raksasa 3)
struturalisasi pemotong lopis 4) partisipasi dan motivasi masyarakat luar 5)
keterbukaan persembahan tradisi 6) menjadi destinasti wisata kota. Sedangkan faktorfaktor
perubahan pada tradisi syawalan terbagi menjadi dua yaitu dari dalam dan luar
masyarakat. 1) Perubahan dari dalam masyarakat berasal dari pengaruh tokoh
masyarakat dan tindakan pemuda, sedangkan 2) perubahan dari luar masyarakat
berasal dari kondisi lingkungan negara; pengaruh budaya modern; dan peran elemen
pemerintah.NIM.: 16540004 Khairotullailiyah2022-05-30T04:07:07Z2022-05-30T04:07:07Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/51137This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/511372022-05-30T04:07:07ZMAKNA SESAJI DAN NILAI-NILAI PENDIDIKAN
DALAM TRADISI NYALAMAK DILAUQ (SELAMATAN LAUT)
DI DESA TANJUNG LUAR PROVINSI NTBPenelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan secara mendalam makna simbol-simbol sesaji pada pelaksanaan ritual Nyalamak Dilauq, dan menganalisis nilai-nilai pendidikan dalam tradisi tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research) dengan menggunakan pendekatan kualitatif, alasan menggunakan pendekatan ini karena bermaksud untuk mendeskripsikan fenomena sosial pada aktivitas Nyalamak Dilauq dalam masyarakat Suku Bajo Desa Tanjung Luar. Tekhnik pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara, dan dokumentasi. Sumber data diambil dari para informan orang yang terlibat serta yang di anggap mampu untuk menjelaskan makna simbolik dari sesaji serta nilai-nilai yang terkandung di dalam tradisi tersebut, yang berjumlah dua belas informan, terdiri dari Aparat Desa, sesepuh, sandro, dan tokoh masyarakat. Sedangkan metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dari Miles dan Huberman. Model yang diawali dengan reduksi data, data display (penyajian data), dan conclusion drawing / verification (kesimpulan/ verifikasi).
Hasil temuan dari penelitian ini yakni: pertama, sesaji sebagai simbol dan memiliki berbagai macam harapan yang baik di dalamnya untuk masyarakat Tanjung Luar. Makna simbolik sesaji kepala kerbau (rajin, kuat, pekerja keras, dan lambang kemakmuran), makna simbolik 7 mata air (jumlah hari dan kenikamatan hidup), makna simbolik jajanan pasar (keramaian), simbolik minyak bauq (cinta kasih pada sesama), simbolik parai bente (kesucian jiwa), simbolik karunjawa (jenis-jenis makhluk hidup di laut), simbolik pisang raja (hidup bermanfaat), dan bendera empat warna (simbol suku perantauan dan kerukunan). Kedua, nilai-nilai pendidikan yang terkandung di dalam tradisi Nyalamak Dilauq yang dapat dipetik diantaranya: nilai religius, nilai kultural, nilai silaturrahmi, nilai gotong royong dan nilai rukun.NIM.: 19200010005 Iza Syahroni2022-05-24T07:35:39Z2022-05-26T11:51:31Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/51130This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/511302022-05-24T07:35:39ZTRADISI ASSURO’ BACA PADA MASYARAKAT DESA TALA-TALA, KELURAHAN BONTO KIO, KECAMATAN MINASATENE, KABUPATEN PANGKAJENE DAN KEPULAUAN, SULAWESI SELATAN
(STUDI LIVING HADIS)Islamisasi di Sulawesi selatan telah melahirkan berbagai macam praktik keagamaan yang dihasilkan dari perpaduan antara unsur budaya lokal disuatu masyarakat dengan unsur nilai dari Islam itu sendiri. Salah satu praktik dari hasil Islamisasi di Sulawesi Selatan adalah tradisi Assuro‟ Baca. Tradisi Assuro‟ Baca yaitu tradisi permohonan atau permintaan kepada tokoh agama untuk mendoakan dan bersedekah untuk orang sudah meninggal. Tradisi Assuro‟ Baca merupakan tradisi yang terbentuk melalui proses Islamisasi tepatnya di Desa Tala-Tala, Kelurahan Bonto Kio, Kecamatan Minasatene, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, Sulawesi Selatan.
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan dimana peneliti melakukan observasi langsung dengan menggunakan pendekatan teori living Hadis, yang terdiri dari 3 model tradisi yaitu tradisi tulis, tradisi lisan, dan tradisi praktik. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan teori fenomenologi dari Alfred Schutz, yang terdiri dari 2 motif yaitu motif sebab (Because of Motive) dan motif tujuan (In Order to Motif). Adapun metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif.
Adapun dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tradisi Assuro‟ Baca yang terdapat di Desa Tala-Tala sampai saat ini masih terus dilaksanakan, meskipun praktiknya sedikit terjadi perubahan dari waktu ke waktu. Perubahan tersebut sangat wajar terjadi karena pemimpin prosesinya juga sudah berganti-ganti dari mahaguru, guru, hingga saat ini. Tradisi Assuro‟ Baca dilaksanakan pada hari peringatan haul meniggalnya seseorang dan biasanya juga dirangkaian dengan acara-acara keagaman dan sosial budaya lainnya seperti acara pernikahan, aqiqah, masuk rumah, sebelum dan sesudah panen di sawah, dan lain-lain. Adapun sumber pengetahuan mengenai tradisi Assuro‟ Baca tersebut diperoleh dari cerita orang tua terdahulu yang merujuk sumber dari Nabi Muhammad Saw.
Motif dan pemaknaan masyarakat terhadap tradisi Assuro‟ Baca jika dibaca dengan menggunakan teori fenomenologi Alfred Schutz, maka hal tersebut dapat dilihat bahwa tradisi Assuro‟ Baca merupakan tradisi turun menurun dari nenek moyang, tradisi Assuro‟ Baca menjadi momentum untuk bersedekah khususnya untuk orang yang sudah meninggal, dijadikan sebagai bentuk rasa syukur atas nikmat karunia rezeki yang diberikan oleh Allah SWT, serta menjadi ajang untuk mempereat silaturahmi antar sesama.NIM.: 18105050123 Arham Saputra2022-05-23T08:19:40Z2022-06-02T08:57:09Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/51118This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/511182022-05-23T08:19:40ZNGAJI JAMA’ DALAM TRADISI MASYARAKAT KELURAHAN KANDAI DUA KECAMATAN WOJA KABUPATEN DOMPU
NUSA TENGGARA BARATAl-Qur’an di sebagian tempat hanya dipahami sebagai pedoman dalam menjalankan kehidupan beragama melalui penafsiran atas ayat-ayatnya, padahal Al-Qur’an juga menjadi inspirasi bagi masyarakat untuk mengembangkan tradisi-tradisi lokal melalui interaksi antara Al-Qur’an dan masyarakat. Tradisi baru yang dihasilkan dari interaksi antara Al-Qur’an dan masyarakat banyak ditemukan diberbagai daerah di Indonesia salah satunya tradisi Ngaji Jama’ yang dilakukan oleh masyarakat Dompu NTB. Bagi masyaralat Dompu Al-Qur’an tidak hanya dipahami saja, melainkan ini dianggap sebagai perwujudan ideal sebuah masyarakat melalui tradisi Ngaji Jama’. Ngaji Jama’ merupakan sebuah tradisi yang lahir dari interaksi masyarakat dengan Al-Qur’an. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan untuk memahami pemaknaan masyarakat Dompu terhadap Al-Qur’an khususnya pada tradisi Ngaji Jama’. Penelitian ini menggunakan metode living Qur’an untuk melihat transmisi dan transformasi tradisi Ngaji Jama’, begitu juga untuk melihat pemaknaan masyarakat Dompu terhadap tradisi Ngaji Jama’.
Adapun hasil dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana proses Ngaji Jama’ dalam tradisi ritual keagamaan yang dilakukan pada Ngaji Jama’ acara pernikahan, khitanan dan tahlilan. Selanjutnya terdapat tiga macam faktor terjadinya Ngaji Jama’ dalam tradisi masyarakat kelurahan Kandai Dua kecamatan Woja kabupaten Dompu Nusa Tenggara Barat. Pertama, tradisi vokalisasi masyarakat kabupaten Dompu. Kedua, Islamisasi di Nusa Tenggara Barat (NTB). Ketiga, faktor budaya kabupaten Dompu (nggahi, rawi, pahu). Untuk mengetahui apa dampak Ngaji Jama’ dalam kehidupan sosial masyarakat kelurahan Kandai Dua kecamatan Woja kabupaten Dompu Nusa Tenggara Barat. Pertama, meningkatkan minat dan bakat masyarakat Dompu dalam ber-tilawah, kedua, memperkuat tali silaturrahmi. Terakhir menjelaskan apa makna Ngaji Jama’ dalam kehidupan sosial masyarakat kelurahan Kandai Dua kecamatan Woja kabupaten Dompu Nusa Tenggara Barat. Bahwa Al-Qur’an dalam masyarakat Dompu tidak hanya dipahami, dibaca, dan dihafalkan saja, namun tradisi Ngaji Jama’ tersebut mengajak masyarakat bagaimana membaca Al-Qur’an dengan menggunakan irama atau lagu yang bernuansa tilawah maupun tartil.
Ngaji Jama’ juga mengalami proses transmisi, yakni berawal dari kegiatan melantunkan kitab suci Al-Qur’an dalam pengajian biasa yang diadakan khusus oleh para qari-qariah saja. Pada tradisi Ngaji Jama’ tersebut mengalami transformasi, pada awalnya merupakan pengajian biasa yang sering dilakukan oleh para qari-qariah masyarakat Dompu saja, berubah menjadi pengajian para qari-qariah dan masyarakat pada umumnya, sehingga melahirkan istilah Ngaji Jama’. Hal ini dapat dibuktikan dengan
xvi
adanya praktek langsung dari para qari dan qariah, serta masyarakat Dompu dengan adanya acara haflah tilawah Qur’an untuk memperkuat silaturrahmi antara qari dan qariah dengan masyarakat Dompu melalui siar-siar lantunan Al-Qur’an. Dan sebagai pembelajaran juga untuk para qari dan qariah untuk mengembangkan serta mengasah kemampuan diri dan masyarakat Dompu dalam berirama, sehingga dapat meningkatkan minat dan bakat generasi muda dalam memahami Al-Qur’an, menghayati, mengamalkan serta melestarikan irama-irama baru dan cara cengkok yang baik dan benar.NIM.: 18105030045 Nurul Aulia2022-05-20T03:52:29Z2022-06-02T07:17:16Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/51050This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/510502022-05-20T03:52:29ZPERGESERAN OTORITAS TRADISI RASULAN DI DESA PELEM, PADUKUHAN PUNDUNGSARI, KECAMATAN SEMIN, KABUPATEN GUNUGKIDUL YOGYAKARTATradisi rasulan merupakan salah satu wujud dari rasa syukur masyarakat agraris dalam melakukan hubungan batin dengan tanah yang menjadi sumber penghidupannya berupa upacara yang dilaksanakan oleh warga masyarakat Desa Pelem. Menurut masyarakat Desa Pelem. Rasulan (Merti Desa) atau bersih desa (Selamatan Desa) merupakan suatu kegiatan dalam rangka memperingati berdirinya sebuah Desa atau kampung. Bersih Desa adalah membersihkan desa baik secara lahiriyah maupun batiniyah. Akan tetapi ritual radisi rasulan masyarakat Desa Pelem mengalami perubahan. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perubahan apa saja yang terjadi dalam tradisi rasulan di Desa Pelem Padukuhan Pundungsari Kabupaten Gunungkidul Yogyakarta.
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (Field Research) yang bersifat kualitatif deskriptif. Teknik data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan wawancara, observasi dan juga dokumentasi. Sumber data primer dalam penelitian ini berasal dari sumber data utama dan pendukung dengan menggunakan metode wawancara terkait ritual tradisi rasulan di Desa Pelem. Sumber data sekunder yang berasal dari beberapa literatur seperti buku, jurnal, artikel dan skripsi terkait dengan penelitian yang dilakukan. Pendekatan yang digunakan melalui pendekatan sosiologis dengan memakai pisau analisis teori perubahan sosial Marx Weber dan teori konsep teoritis simbol ritual Victor Turner tentang kharisma guna melihat perubahan sosial kebudayaan masyarakat dan pemaknaan simbol ritual terkait kharisma dari seorang pemimpin dalam tradisi rasulan di Desa Pelem.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada beberapa perubahan budaya yang terjadi dalam tradisi rasulan yang ada di masyarakat Desa Pelem yang Pertama, Ritualnya. Ritual tradisi rasulan di Desa Pelem mengalami perubahan. Kedua. Masyarakat yang mengikuti tradisi rasulan. Dahulu partisipasi masyarakat desa dalam mengikuti tradisi rasulan sangat antusias, akan tetapi seiring perkembangan zaman tingkat partisipasi masyarakat dalam mengikuti acara warga sangat minim. Ketiga, Kepemimpinan. Tradisi rasulan sudah tidak di pimpin oleh tokoh adat dan sudah diganti di pimpin oleh tokoh agama.NIM.: 18105040062 Susiyati2022-05-20T03:52:11Z2022-06-02T07:07:46Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/51047This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/510472022-05-20T03:52:11ZLIVING HADIS
DALAM TRADISI SYUKURAN KELEMAN
DI DUSUN JANTI, DESA WUNUT, KECAMATAN MOJOANYAR, KABUPATEN MOJOKERTOPergumulan topik antara agama dan budaya acapkali tidak menemui titik temu yang padu. Persoalan yang kerap dihadapi yakni apakah sebuah produk budaya yang memiliki corak variasi keagamaan (Islam), tetap bisa dikatakan sebagai aktivitas yang islami dan sesuai syariat ? Dalam sektor pertanian sendiri, terdapat isu menarik mengenai tata nilai. Tata nilai dalam masyarakat terbentuk sebagai sebuah adat dan kebiasaan, yangmana kemudian termodifikasi dengan konteks tertentu, salah satunya teks agama (hadis). Representasi inilah yang dapat ditemui pada Syukuran Keleman, sebagai produk budaya yang memiliki corak keagamaan Islam. Peneliti tertarik untuk meneliti kehadiran hadis dalam memberikan pengaruh terhadap hidupnya Syukuran Keleman, baik dalam ranah fundamental (pola pikir) maupun praksis (teknis acara). Peneliti melakukan (1) penelusuran mengenai profil & realitas kemasyarakatan di Dusun Janti, Desa Wunut, Kecamatan Mojoanyar, Kabupaten Mojokerto, (2) menemukan deskripsi serta historisitas Syukuran Keleman, (3) dan mencari korelasi antara Syukuran Keleman dan Living Hadis.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan model studi lapangan terhadap Syukuran Keleman dalam Living Hadis. Objek dalam penelitian ini adalah pelaksanaan Syukuran Keleman di Dusun Janti yang menyasar pada data serta keterangan para informan, seperti petani, tokoh agama dan informan pendukung. Eksplorasi penelitian Living Hadis dilakukan dengan kajian hadis yang berdasar atas prosedur metodologis ‘ulumul hadis, kemudian dielaborasi dengan kenyataan Syukuran Keleman yang ada.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa realitas kemasyarakatan di Dusun Janti yang memahami teks agama (hadis) membentuk sebuah produk budaya berupa Syukuran Keleman. Syukuran Keleman adalah wujud syukur kepada Allah SWT dari para petani atas kelancaran aktivitas pertanian yang telah dilakukan (pasca masa tanam). Hadis bersyukur-bersedekah (HR Muslim no. 5263) serta berzikir (HR Ibn Majah no. 3814) dinyatakan “hidup” dan relevan dalam keseharian masyarakat tani, khususnya saat aktivitas Syukuran Keleman.NIM.: 18105050007 Perdana Putra Pangestu2022-05-18T07:50:50Z2022-05-18T07:50:50Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/50944This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/509442022-05-18T07:50:50ZTRADISI MUNGGAHAN DALAM PERSPEKTIF ETIKA UTILITARIANISME JOHN STUART MILL
(Studi Kasus Masyarakat Dusun Krajan, Desa Wonokromo, Kebumen)Tradisi Munggahan merupakan suatu tradisi lokal keagamaan masyarakat Desa Wonokromo, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Tradisi ini berisi serangkaian acara bersih makam, kenduri, dan sedekah. Sejauh pelaksanaannya, tradisi Munggahan sebagai bentuk tradisi yang melibatkan masyarakat memiliki banyak dampak yang ditimbulkan, penulis mencoba memaparkan nilai-nilai, aspek kebermanfaatan dan permasalahan-permasalahan di dalamnya untuk kemudian dianalisis menggunakan teori Etika Utilitarianisme John Stuart Mill. Sebagai prinsip kebahagiaan terbesar, Etika Utilitarianisme memandang bahwa baik buruknya suatu tindakan tergantung kepada tujuan akhir atau akibat-akibat dari satu tindakan tersebut. Penelitian ini mencoba menjawab pertanyaan mengenai bagaimana tradisi Munggahan di Dusun Krajan, Desa Wonokromo, Kebumen dan bagaimana Etika Utilitarianisme memandang tradisi Munggahan tersebut.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan sumber data primer berupa wawancara dengan para ahli atau tokoh yang mumpuni untuk memberi informasi tentang tradisi Munggahan di Dusun Krajan. Selain itu, penulis menggunakan rujukan utama karya John Stuart Mill yang berjudul “Utilitarianisme: Prinsip Kebahagiaan Terbesar”. Sedangkan sumber data sekunder yang digunakan penulis adalah literatur seperti buku, artikel jurnal, dan skripsi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat dua pandangan masyarakat dusun Krajan terhadap tradisi Munggahan ada yang setuju dan ada yang tidak setuju. Perspektif etika Utilitarianisme John Stuart Mill memandang kesenangan masyarakat yang setuju dalam tradisi Munggahan harus dinilai lebih tinggi dari pada kesenangan mayarakat dusun Krajan yang tidak setuju. Sebab, meskipun diukur dari kuantitas maupun kualitas, tradisi munggahan masih lebih banyak manfaat dan dampak yang lebih besar untuk masyarakat dusun Krajan. Selain itu, yang dituju dari kebahagiaan utilitarianisme John Stuart Mill adalah kenikmatan atau kepuasan yang lebih tinggi yaitu kepuasan rohani. Masyarakat dusun Krajan menganggap bahwa kepuasan rohani bernilai lebih tinggi karena berimbas pada kepuasan hati yang berdampak pada respon atau tindakan positif setiap individu masyarakat di dalam lingkungannya. Pada akhirnya, tradisi munggahan adalah tradisi yang baik dalam pandangan etika Utilitarianisme John Stuart Mill.NIM.: 17105010019 Muhammad Bima Karim Amrullah2022-05-18T04:08:53Z2022-05-30T06:58:25Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/50971This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/509712022-05-18T04:08:53ZLIVING HADIS DALAM TRADISI
“MATTIPO’/MAPPEPEITA NAUNG DI KOROANG”
PADA MASYARAKAT MANDAR DI DESA DAALA
TIMUR, BULO, SULAWESI BARATPenelitian ini merupakan kajian mengenai tradisi Mattipo’/Mappepeita
Naung di Koroang sebagai tradisi yang ada di Mandar, Desa Daala Timur,
Kecamatan Bulo, Kabupaten Polewali Mandar. Dengan fokus permasalahan
sebagai berikut: (1) mengetahui sejarah dan deskripsi tradisi Mattipo’/Mappepeita
Naung di Koroang pada masyarakat Mandar di Desa Daala Timur. (2) mengetahui
relasi antara tradisi Mattipo’/Mappepeita Naung di Koroang dengan kajian Living
hadis.
Kajian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang bersifat
deskriktif dengan pendekatan living hadis dan fenomenologi. Adapun informan
dalam penelitian ini meliputi tokoh agama setempat, tokoh adat setempat, kepala
Desa setempat, kepala Dusun setempat, masyarakat setempat dan peserta dalam
tradisi tersebut. Kemudian metode pengumpulan data yang digunakan adalah
observasi, wawancara dan dokumentasi.
Adapun hasil temuan dalam penelitian ini adalah; (1) tradisi
Mattipo’/Mappepeita Naung di Koroang merupakan bagian dari living hadis
sebagai sebuah upaya yang dilakukan oleh masyarakat agar generasinya mampu
membaca al-Qur’an dengan baik dan benar. Sejarah awalnya, belum diketahui
kapan tradisi ini pertama kali dilaksanakan. (2) tradisi tersebut menjadi perwujudan
dari apresiasi orang tua terhadap pencapaian anaknya dalam membaca al-Qur’an
serta motivasi dan doa bagi anak agar semangatnya semakin bertambah. Doa dalam
tradisi tersebut dibagi menjadi dua yaitu doa yang berbentuk untaian kata dari
gurunya dan doa yang berbentuk simbol-simbol yang diwakili oleh benda dan
makanan yang tersedia dalam tradisi tersebut. (3) secara tersirat tradisi
Mattipo’/Mappepeita Naung di Koroang juga menggambarkan bahwa pengetahuan
masyarakat tentang manfaat yang diperoleh dari membaca al-Qur’an adalah dapat
memperoleh syafaat di akhirat.NIM.: 18105050074 Bidin2022-05-18T03:34:19Z2022-05-30T08:09:14Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/50975This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/509752022-05-18T03:34:19ZTRADISI KUPATAN COKLAT DI KAMPUNG COKLAT KADEMANGAN BLITAR (Studi Living Hadis)Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji living hadis dalam fenomena tradisi kupatan coklat masyarakat Kampung Coklat Desa Plosorejo Kecamatan Kademangan Kabupaten Blitar. Penelitian ini merupakan jenis penelitian lapangan yang mengambil lokasi di tempat wisata eduksi Kampung Coklat Desa Plosorejo Kecamatan Kademangan Kabupaten Blitar. Teori kontruksi sosial Peter L. Berger merupakan pendekatan sosiologis yang digunakan penulis dalam penelitian ini. Sumber data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara kepada informan yaitu tokoh agama, tokoh masyarakat dan masyarakat sekitar Kampung Coklat, juga diperoleh melalui observasi pelaksanaan tradisi kupatan coklat di Kampung Coklat melalui beberapa video dokumentasi dan foto-foto yang mendukung, sedangkan data sekunder diperoleh melalui berbagai sumber/literature yang berhubungan dengan tema penelitian. Teknik pengumpulan datanya yaitu dengan melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi.
Dalam teorinya, Peter L. Berger merumuskan konsep proses dialektika yang terdiri dari tiga tahap; eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Proses eksternalisasi yang dilakukan Bapak Kholid sebagai pimpinan kampung coklat yang berinisiatif mengadakan perayaan ketupat coklat di tempat wisata edukasi kampung coklat yang di latar belakangi oleh pengetahuan Bapak Kholid semasa mencari ilmu di pondok pesantren dan semasa belajar dunia per-kakaoan. Tradisi kupatan coklat dilakukan dengan tujuan agar nilai-nilai baik (silaturami, bersedekah, dan saling memaafkan) yang ada pada tradisi kupatan tetap ada dan dilestarikan oleh masyarakat khususnya masyarakat kampung coklat. Kedua, proses objektivasi dalam hal ini adalah ketika tradisi kupatan coklat didaftarkan secara nasional sebagai agenda tahunan, dengan begitu tradisi kupatan coklat menjadi suatu habit yang dilakukan tiap tahunya di tempat wisata edukasi kampung coklat. Ketiga, proses internalisasi atau yang sering disebut proses sosialisasi dalam tradisi kupatan coklat yang dilakukan masyarakat kampung coklat adalah meng-entertaint tradisi kupatan coklat, dengan begitu masyarakat luar daerah menjadi tahu akan perayaan tradisi tersebut.NIM.: 18105050043 Qilma Mulaimatul Khusna2022-05-12T06:21:43Z2022-05-12T06:21:43Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/51022This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/510222022-05-12T06:21:43ZOTORITAS TRADISIONAL KERAPATAN ADAT NAGARI (KAN) DALAM PERDA PROVINSI SUMATERA BARAT NO.7 TAHUN 2018 (PERSPEKTIF SIYASAH SYAR’IYYAH)Skripsi ini mengkaji tentang otoritas tradisional Kerapatan Adat Nagari (KAN) Perspektif Siyasah Syar’iyyah (Studi Terhadap Perda Provinsi Sumatera Barat No.7 Tahun 2018). Sistem Pemerintahan Nagari yang dianut oleh masyarakat Minangkabau memberikan ruang yang sangat luas kepada lembaga-lembaga adat. Meski sistem pemerintahan nagari sempat mengalami pasang surut, berlakunya UU No. 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan desa memberikan dampak yang sangat besar terhadap sistem pemerintahan nagari. Akibatnya seluruh sistem dan sub-sistem kelembagaan yang ada di nagari menjadi tidak tentu arah dan fungsinya. Perda Provinsi Sumatera Barat No.13 Tahun 1983 menjadikan Kerapatan Adat Nagari sebagai pengganti dari lembaga pemerintahan nagari.
Dalam Pelaksanaan penelitian ini, penulis menggunakan penelitian kepustakaan (library research). Dalam penelitian ini penulis menjadikan Perda Provinsi Sumatera Barat sebagai data primer untuk menjelaskan lembaga dalam Nagari. Untuk memudahkan penulis dalam menelaah sebuah kasus, penulis menggunakan Ahlu alHalli wa al-Aqdi dan Teori kewenangan sebagai alat analisis untuk tugas dan kewenangan serta kedudukan lembaga KAN. Sumber data dari penelitian ini adalah dari berbagai literatur seperti buku-buku, dan penelitian ilmiah seperti jurnal, tesis dan skripsi.
Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa lembaga KAN sebagai lembaga permusyawaratan tertinggi dalam nagari memiliki peran yang sangat penting dalam proses berjalannya pemerintahan nagari, disamping itu lembaga KAN adalah lembaga perwakilan rakyat di tingkat nagari. Kewenangan KAN cenderung lebih luas dan berkuasa dari lembaga pemerintahan nagari. Karakteristik lembaga dalam sistem pemerintahan nagari memiliki kesamaan dengan lembaga Ahlu al-Halli wa al-Aqdi, dimana lembaga ini sangat dominan terhadap kekuasaan eksekutif.NIM.: 17103070003 Hazmul Fajri2022-05-12T03:14:51Z2022-05-12T03:14:51Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/51017This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/510172022-05-12T03:14:51ZTRADISI MUNGGAHAN DALAM PERSPEKTIF ETIKA UTILITARIANISME JOHN STUART MILL
(Studi Kasus Masyarakat Dusun Krajan, Desa Wonokromo, Kebumen)Tradisi Munggahan merupakan suatu tradisi lokal keagamaan masyarakat Desa Wonokromo, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Tradisi ini berisi serangkaian acara bersih makam, kenduri, dan sedekah. Sejauh pelaksanaannya, tradisi Munggahan sebagai bentuk tradisi yang melibatkan masyarakat memiliki banyak dampak yang ditimbulkan, penulis mencoba memaparkan nilai-nilai, aspek kebermanfaatan dan permasalahan-permasalahan di dalamnya untuk kemudian dianalisis menggunakan teori Etika Utilitarianisme John Stuart Mill. Sebagai prinsip kebahagiaan terbesar, Etika Utilitarianisme memandang bahwa baik buruknya suatu tindakan tergantung kepada tujuan akhir atau akibat-akibat dari satu tindakan tersebut. Penelitian ini mencoba menjawab pertanyaan mengenai bagaimana tradisi Munggahan di Dusun Krajan, Desa Wonokromo, Kebumen dan bagaimana Etika Utilitarianisme memandang tradisi Munggahan tersebut.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan sumber data primer berupa wawancara dengan para ahli atau tokoh yang mumpuni untuk memberi informasi tentang tradisi Munggahan di Dusun Krajan. Selain itu, penulis menggunakan rujukan utama karya John Stuart Mill yang berjudul “Utilitarianisme: Prinsip Kebahagiaan Terbesar”. Sedangkan sumber data sekunder yang digunakan penulis adalah literatur seperti buku, artikel jurnal, dan skripsi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat dua pandangan masyarakat dusun Krajan terhadap tradisi Munggahan ada yang setuju dan ada yang tidak setuju. Perspektif etika Utilitarianisme John Stuart Mill memandang kesenangan masyarakat yang setuju dalam tradisi Munggahan harus dinilai lebih tinggi dari pada kesenangan mayarakat dusun Krajan yang tidak setuju. Sebab, meskipun diukur dari kuantitas maupun kualitas, tradisi munggahan masih lebih banyak manfaat dan dampak yang lebih besar untuk masyarakat dusun Krajan. Selain itu, yang dituju dari kebahagiaan utilitarianisme John Stuart Mill adalah kenikmatan atau kepuasan yang lebih tinggi yaitu kepuasan rohani. Masyarakat dusun Krajan menganggap bahwa kepuasan rohani bernilai lebih tinggi karena berimbas pada kepuasan hati yang berdampak pada respon atau tindakan positif setiap individu masyarakat di dalam lingkungannya. Pada akhirnya, tradisi munggahan adalah tradisi yang baik dalam pandangan etika Utilitarianisme John Stuart Mill.NIM.: 17105010019 Muhammad Bima Karim Amrullah2022-05-12T02:55:24Z2022-05-12T02:55:24Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/51008This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/510082022-05-12T02:55:24ZTRADISI PERHITUNGAN WETON PADA PERKAWINAN MASYARAKAT BALESONO DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN ANTROPOLOGI (STUDI DI DESA BALESONO KECAMATAN NGUNUT KABUPATEN TULUNGAGUNG)Dalam perkawinan masyarakat Jawa, banyak tradisi yang harus dilakukan pada setiap melakukan perkawinan. Salah satunya adalah menggunakan tradisi perhitungan weton. Masyarakat Desa Balesono Kecamatan Ngunut Kabupaten Tulungagung masih memegang tradisi perhitungan weton pada perkawinan. Meskipun dalam syariat tidak dijelaskan adanya tradisi perhitungan weton pada perkawinan, tradisi ini sudah menjadi kebiasaaan sebagian masyarakat Desa Balesono yang sudah menyatu dan susah dihindari penggunaannya. Dalam proses perhitungan weton ada dua pandangan, yang pertama perhitungan weton digunakan untuk melihat kecocokan dan mencari hari baik perkawinan dan yang kedua hanya untuk mencari hari baik perkawinan. Permasalahannya adalah, apakah tradisi perhitungan weton yang dilakukan oleh masyarakat Desa Balesono sudah sesuai dengan hukum Islam atau bertentangan.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian lapangan(field research), teknik pengumpulan data menggunakan sumber data primer (observasi, wawancara, dokumentasi) dan sumber data sekunder (studi kepustakaan). Penelitian ini bersifat deskriptif, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan normatif (‘urf) dan pendekatan Antropologi. Analisis data dilakukan secara kualitatif dengan metode berfikir induktif
Kesimpulan dalam penelitian ini adalah, praktek tradisi perhitungan weton dalam perkawinan di Desa Balesono dalam perspektif antropologi berdasarkan teori struktural fungsional tradisi perhitungan weton pada perkawinan dapat menjadikan kehidupan perkawinan aman, tenang, mendapat kemudahan, memperkokoh hubungan perkawinan. Fungsi dari praktik tradisi perhitungan weton adalah untuk mendapatkan ketenangan lahir batin bagi masyarakat karena perhitungan weton digunakan sebagai upaya untuk mencari keselamatan. Fungsi sosial dari penggunaan tradisi ini untuk mendapatkan legalitas sosial dari masyarakat. Menurut pandangan Islam tradisi perhitungan weton pada perkawinan di Desa Balesono dalam penggunaanya diperbolehkan selama tidak mengarah kepada perbuatan syirik. Tradisi ini termasuk ‘urf shahih ketika digunakan dalam menentukan hari perkawinan saja, akan menjadi ‘urf fasid ketika mendapatkan hasil yang tidak cocok kemudian meyakini akan mendapat dampak buruk. Berdasarkan rukun dan syarat perkawinan, tradisi perhitungan weton pada perkawinan bukan merupakan salah satu dari rukun dan syarat perkawinan. Dari segi hikmah dan tujuannya yaitu untuk menjaga hubungan baik dengan masyarakat sekitar dan untuk menghormati orang tua.NIM.: 17103050029 Lina Miftahul Jannah2022-05-12T02:41:38Z2022-05-12T02:41:38Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/51006This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/510062022-05-12T02:41:38ZTRADISI LONDO IHA (KAWIN LARI) TINJAUAN TEORI SAD AZ- DZARI’AH DAN BUDAYA DOMPU (STUDI KASUS DI KELURAHAN KANDAI DUA KECAMATAN WOJA KABUPATEN DOMPU)Penelitian Yang Berjudul “Tradisi Londo Iha (Kawin Lari) Tinjauan Teori
Sad Aż-Dżarī’ah Dan Budaya Dompu (Studi Kasus Di Kelurahan Kandai Dua
Kecematan Woja Kabupaten Dompu) dilatar belakangi oleh keresahan penulis
dalam memahami londo iha yang pada awalanya merupakan perbuatan yang
dianjurkan dengan alasan kemaslahatan dengan dalil bahwa dalam factor adat
istiadat yang berkembang sampai sekarang pelaku londo iha wajib melibatkan
lembaga adat dan masyaraka dalam bentuk musyawarah dan faktor historis londo
iha ini dianjurkan karna sebagai langkah antisipasi dari tindakan kawin paksa
yang dilakukan oleh tentara jepang dan kasus londo iha yang terjadi dikalangan
masyarakat Dompu khususnya Kelurahan Kandai dua hari ini sudah melenceng
dari faktor sejarah dan ketentuan adat. Adapun rumusan masalah yang diangkat
dalam penelitian ini ialah yang apa faktor yang melatar belakangi tejadinya
pernikahan karna londo iha (kawin lari) dan yang kedua Bagaimana status hukum
perkawinan karna londo iha dalam prespektif teori Sad Aż-Dżarī’ah.
Dalam penelitian ini penyusun fokus membahas status hukum perkawinan
karna londo iha dalam prespektif teori Sad Aż-Dżarī’ah dan analisis Sad Aż-
Dżarī’ah terhadap tingkah laku londo iha. teori Pada penelitian ini penyusun
menggunakan kerangka teori Sad Aż-Dżarī’ah. Penelitian ini menggunakan
penelitian lapangan (field research). Data primer, penyusun mengambil dari
wawancara dengan teknik purposive sampling dari tokoh adat,masyarakat dan
pelaku londo iha. Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu penelitian yang
menggambarkan dan menjelaskan tentang faktor-faktor yang melatar belakangi
terjadinya pernikahan karna londo iha.
Berdasarkan hasil penelitian yang ditemukan oleh penulis faktor yang
melatar belakangi terjadinya pernikahan karna londo iha (kawin lari) antara lain
ialah tidak medapat restu dari orang tua, mahar yang terlalu tinggi, pengaruh
lingkungan dan pergaulan bebas, pengaruh media sosial serta kurangnya perhatian
orang tua terhadap anak dan juga dalam kasus londo iha, merupakan perbuatan
yang melanggar ketentuan dalam adat yang semula dibolehkan akan tetapi yang
terjadi hari ini kebiasan londo iha ini justru lebih mengarah pada pebuatan yang
mudharat atau haram. Sehingga termasud dalam macam-macam Sad Aż-Dżarī’ah
dikarnakan melaukan tindakan yang melanggar ketentuan dalam hukum adat dan
perkawinan islam dengan melakukan pernikahan tampa izin orang tua dan hamil
diluar nikah sehinga dapat disimpulkan pernikahan yang terjadi akibat londo iha
hari ini tidak sah berdasarkan tinjauan teori Sad Aż-Dżarī’ah.NIM.: 16360036 Muhammad iqbal2022-04-20T07:30:05Z2022-04-20T07:30:05Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/50663This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/506632022-04-20T07:30:05ZISLAM DAN CADAR:
SIMBOL DAN IDENTITAS PEREMPUAN MUSLIMThis thesis examines the veil and Islam as symbols and identities of Muslim
women. According to Muslim scholars who claim the veil is one part of the form
of clothing in the jahiliyyah period used by women, this form of veil clothing is
still ongoing until Islamic times. The model of the clothes, the Prophet (SAW) did
not question even not to determine as an obligation or as sunnah in the use of veils
against women.
The purpose of this study is to reveal various variants of the veil that will show
the identities of different religious beliefs, as well as how the veil is constructed as
a life style between the ideological veil and the sociological veil. This thesis is
expected to add material in the discussion about women with a veil according to
the life around us and better understand the state of life of women becadar. This
form of research is library research, the object in this research is the development
of the veil. This research data is obtained through various information in
electronic and print media and then processed with a qualitative descriptive
approach.
The results of this study showed that the use of veils for women had existed in
some Arab societies and other countries outside Arabia before islam. The veil that
serves as a face covering, including the nose and mouth turned out to be disputed
by the scholars, both scholars of interpretation and jurist scholars of fiqh between
those who punish mandatory and not mandatory.NIM.: 18200010117 Dhaniar Ratih Rahmawati2022-04-18T03:44:41Z2022-04-18T03:44:41Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/50516This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/505162022-04-18T03:44:41ZAKULTURASI AJARAN ISLAM DAN BUDAYA LOKAL DALAM
PERNIKAHAN JAWA DI DUSUN KARANGLO KECAMATAN PRINGSURAT
KABUPATEN TEMANGGUNG JAWA TENGAHSkripsi ini berjudul Akulturasi Ajaran Islam dan Budaya Lokal Dalam Pernikahan
Jawa di Dusun Karanglo Kecamatan Pringsurat Kabupaten Temanggung. Adapun yang
menjadi tujuan penelitian ini yaitu: (1) Bagaimana akulturasi ajaran Islam dan budaya
lokal dengan pernikahan adat Jawa di Dusun Karanglo Kecamatan Pringsurat
Kabupaten Temanggung. (2) Sejauh mana respon masyarakat Dusun Karanglo terhadap
budaya lokal dan pernikahan Jawa dalam konteks zaman modern. Pernikahan
merupakan tradisi, di samping juga sebagai upacara keagamaan, yang dilakukan oleh
umat manusia semenjak manusia mengenal peradaban agama hingga akhir zaman, dari
pernikahan inilah muncul sebuah tradisi upacara dan ritual pengantin di seluruh
Indonesia. Pernikahan Jawa merupakan pernikahan dengan ritual, tradisi beserta simbolsimbol
yang hingga saat ini melekat di masyarakat. Ritual merupakan ungkapan yang
lebih bersifat logis dari pada hanya bersifat psikologis, ritual memperlibatkan tatanan
atas simbol-simbol yang diobjekkan, simbol itu yang membentuk perasaan dan perilaku.
Salah satu tradisi peninggalan nenek moyang yang saat ini masih dilakukan masyarakat
pada saat pernikahan Jawa di Dusun Karanglo yaitu pembuatan gagar mayang di setiap
pernikahan pengantin putri. Yang menjadi fokus pembahasan oleh penulis, dari
kebiasaan masyarakat yang melakukan rangkaian berupa simbol-simbol yang harus di
buat ketika menikahkan putrinya walaupun untuk zaman modern ini, dalam kasus ini
akulkturasi ajaran Islam dan budaya lokal dengan pernikahan adat Jawa yang akan
dikaji.
Penelitian ini adalah penelitian lapangan yang bersifat kualitatif dengan
pendekatan fenomenologi agama khususnya teori simbol oleh Victor Turner mengenai
arti penting simbol dalam ritus dan akulturasi dari J. Powell tentang pengaruh nilai-nilai
luar yang masuk dalam budaya lokal menuju keseimbangan yang dijalankan dalam
masyarakat. Sumber data dalam penelitian ini adalah masyarakat, sesepuh dusun dan
pemuka agama di Dusun Karanglo. Metode pengumpulan data meliputi observasi,
wawancara dan dokumentasi. Analisis data deskriptif dengan prosedur reduksi data,
penyajian data serta verivikasi data dengan metode triangulasi, dan penarikan
kesimpulan.
Hasil penelitian ini menunjukkan: (1) Faktor akulturasi yang terjadi karena
pengalaman keagamaan seseorang yang berbeda-beda dan praktik tradisi secara turuntemurun
yang terus dilaksanakan. (2) Banyaknya sesaji yang dibuat terutama gagar
mayang yang harus di buat ketika yang menikah pengantin perempuan dari Dusun
Karanglo yang menandakan sepasang pengantin. (3) Dari kebudayaan dan tradisi yang
terus dilakukan banyak menimbulkan pertanyaan serta kesalah pahaman dalam
masyarakat untuk memaknai gagar mayang dalam pernikahan, maka dari itu
masyarakat Dusun Karanglo terbagi menjadi dua bagian, masyarakat yang satu tetap
melakukan tradisi Jawa dalam zaman modern ini dengan alasan banyak simbol-simbol
yang dihasilkan banyak mengandung nilai ibadah, nilai solidaritas, pesan moral, norma
yang bertujuan bagi harmoni kehidupan berumah tangga. Masyarakat yang lain sudah
tidak menggunakan karena tidak lagi mempercayai makna yang ada dari simbol yang
dibuat dan hal yang di lalukan tidak pada jalan agama Islam.NIM.: 15520026 Imam Setiya Farudin2022-04-18T03:35:13Z2022-04-18T03:35:13Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/50514This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/505142022-04-18T03:35:13ZKESAKRALAN KERIS BAGI MASYARAKAT YOGYAKARTA
(STUDI KOMPARASI MASYARAKAT ISLAM DAN MASYARAKAT HINDU)Sebilah keris memiliki sejarah, fungsi dan bentuk yang
unik dibandingkan dengan pusaka-pusaka lainnya.
Masyarakat Islam dan Hindu di Yogyakarta memiliki
pandangan dan perlakuan yang berbeda terhadap keris. Keris
dianggap sebagai benda yang sakral atau sebatas benda biasa.
Hal ini dipengaruhi oleh agama, tradisi bahkan sampai pada
pengaruh modernisasi, sehingga nilai keris mengalami
pergeseran baik dalam masyarakat Islam atau Hindu di
Yogyakarta. Tujuan penelitian ini selain untuk mengetahui
kebudaayan keris di Yogyakarta juga dapat mengambil sikap
terhadap benda-benda yang dianggap sakral dan untuk
melestarikan budaya yang sudah mulai hilang di era modern
ini.
Penelitian ini menggunakkan metodologi penelitian
kualitatif. Data diperoleh dari penelitian-penelitian
sebelumnya serta berdasarkan observasi dan wawancara
dengan berbagai elemen masyarakat meliputi masyarakat
muslim, masyarakat Hindu, budayawan keris, akademis, dan
kolektor keris. Sedangkan kerangka teori yang digunakan
dalam penelitian ini adalah teori sakral dan profane Mircea
Eliade untuk membantu mengungkap mengenai kesakralan
keris bagi masyarakat Yogyakarta studi komparasi Islam dan
Hindu. Serta didukung teori-teori lain untuk membantu
menjawab permasalahan tentang pergeseran nilai keris bagi
masyarakat Islam dan Hindu di Yogyakarta.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masyarakat
Islam Yogyakarta memandang kesakralan keris sebagai yang
profan atau sikap perawatan terhadap benda sebagai wujud
kebudayaan. Sedangkan masyarakat Hindu Yogyakarta
menganggap kesakralan keris sebagai sesuatu yang memiliki
makna suci, dan magis serta merupakan wujud ritual
keagamaan. Pergeseran nilai keris bagi masyarakat Islam dan
Hindu di Yogyakarta meliputi : nilai estetika, ekonomi dan
budaya yang disebabkan modernisasi, perkembangan
teknologi dan informasi serta pengetahuan keagamaan
pemeluknya.NIM.: 13520010 Basuki Rokhmad2022-03-14T03:02:28Z2022-03-14T03:02:28Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/49994This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/499942022-03-14T03:02:28ZTRADISI ANCAK AGUNG DALAM MENYAMBUT MAULID NABI MUHAMMAD SAW
(STUDI LIVING HADIS DI PONDOK PESANTREN WALI SONGO SITUBONDO JAWA TIMUR)Ancak Agung merupakan salah satu tradisi yang ada di dalam perayaan maulid Nabi Muhammad SAW. Pondok Pesantren Wali Songo Situbondo merupakan pesantren pertama yang mengadakan tradisi Ancak Agung dengan ciri khas tersendiri yaitu dengan adanya buah-buahan yang disusun membentuk menara. Tradisi ini dilaksanakan pada bulan Rabiul Awal tanggal 16 setiap tahunnya. Lokasi penelitian terletak di Pondok Pesantren Wali Songo yang berada di Desa Mimba‟an, Panji Situbondo, Jawa timur.
Jenis penelitian ini adalah menggunakan metode kualitatif, metode yang di gunakan peneliti dalam pengumpulan data yang diperoleh dengan cara observasi, wawancara dan dokumentasi. Kemudian untuk menganalisa data hasil penelitian, peneliti menggunakan teori fenomenologi dan teori living hadis. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana sejarah tradisi Ancak Agung dan bagaimana proses pelaksanaan tradisi Ancak Agung, selain itu peneliti juga berfokus pada pengamalan hadis yang hidup pada tradisi Ancak Agung di Pondok Pesantren Wali Songo.
Mengenai sejarah adanya tradisi Ancak Agung berawal dari sebuah wasiat abah kyai Kholil As‟ad Syamsul Arifin yang meminta perayaan maulid Nabi supaya dilaksanakan secara meriah, sehingga tradisi Ancak Agung mulai di adakan sejak awal berdirinya Pondok Pesantren Wali Songo. Rangkaian persiapan dimulai dengan pembentukan panitia, kerja bakti lokasi, menghias panggung dan pembuatan Ancak Agung. Rangkaian pelaksanaannya tentunya terdapat, pembacaan surat Yasin, ceramah-ceramah agama dari beberapa kyai dan habib, dilanjutkan dengan pembacaan maulid Diba‟i dan di akhiri dengan pembacaan doa-doa. Kemudian Ancak Agung akan di perebutkan oleh para hadirin.
Berdasarkan hasil penelitian, peneliti menemukan adanya pengaplikasian hadis yang menunjukkan bahwa pelaksanaan tradisi Ancak Agung di Pondok Pesantren Wali Songo Mimba‟an Panji Situbondo bukan semata-mata tradisi biasa, melainkan tradisi tersebut merupakan pengamalan hadis yang bertema tentang kecintaan kepada Nabi, makna dan nilai yang terdapat di dalamnya yaitu wujud takzim kepada Nabi, wujud bahagia atas menyambut hari lahirnya Nabi Muhammad SAW dan wujud mencintai Nabi. sebagai seorang muslim para pelaku tradisi memiliki keyakinan bahwa dengan melaksanakan tradisi Ancak Agung mereka akan mendapat aliran barokah kemuliaan Nabi Muhammad SAWNIM.: 18105050093 Nurul Khofifatul Molika2022-03-14T02:44:26Z2022-07-06T02:58:23Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/49990This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/499902022-03-14T02:44:26ZMAKNA DAN SIMBOL PADA TRADISI KERESAN DI
KECAMATAN SOOKO (TINJAUAN SEMIOTIKA ROLAND BARTHES)Indonesia merupakan negara yang kaya akan keberagaman ras, budaya,
bahasa dan agama. Bahwasanya setiap daerah di Indonesia memiliki tradisi yang
beragam. Meskipun zaman kian berkembang dan maju namun tidak dapat
dipungkiri masih terdapat daerah yang masih mempertahankan serta melestarikan
tradisi. Tradisi dalam masyarakat sangatlah beragam, seperti halnya memperingati
kelahiran Rasulullah yang diperingati disetiap daerah pasti memiliki perbedaan
seperti halnya yang terjadi di Dusun Mengelo Kecamatan Sooko dimana sebagai
simbol perayaannya memakai pohon Keres sebagai media. Rumusan masalah
dalam penelitian ini ialah apa makna dan simbol pada tradisi Keresan, dan
bagaimana makna dan simbol pada tradisi Keresan apabila dilihat dari kacamata
Semiotika Roland Barthes
Mengenai penelitian ini termasuk dalam penelitian lapangan (field
research) dengan menggunakan metode penelitian observasi, wawancara, dan
dokumentasi. Serta menggunakan teknik analisis data dengan reduksi data,
tampilan atau penyajian dan verifikasi. Sehingga dapat mendukung terwujudnya
validitas dan keabsahan data dalam penelitian ini. Sumber yang digunakan ada
dua data, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer ialah data yang
diperoleh peneliti dari hasil wawancara kepada informan yakni masyarakat Dusun
Mengelo. Sedangkan data sekunder diambil dari beberapa literatur-literatur
seperti, buku, artikel, skripsi, atau jurnal.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan pada makna simbol yang ada pada
elemen-elemen pendukung tradisi Keresan. Seperti pada pemilihan media pohon
Keres sebagai obyek memiliki nilai dan maksud tersendiri. Dan adanya gunungan
berisikan susunan hasil bumi pun memiliki makna tersendiri. Peneliti tertarik
untuk memahami makna dan simbol yang ada pada tradisi Keresan tersebut
karena tradisi memperingati Maulid Nabi ini beda dari yang lain yang mana
bernuansa bak perayaan agustusan. Selain bak perayaan agustusan, tradisi Keresan
ini tidak meninggalkan sisi-sisi keIslaman masih tetap adanya tausiyah,
pembacaan sholawat Al-Barzanji, dan santunan kepada anak yatim.NIM.: 18105010004 Pratiwi2022-03-11T03:07:26Z2022-03-11T03:07:26Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/49963This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/499632022-03-11T03:07:26ZTARI BADUI AL-IKHSAN DALAM TRADISI KHATMIL QUR’AN DI
PONDOK PESANTREN SUNAN PANDANARAN, NGAGLIK, SLEMAN, YOGYAKARTA (2011-2019)Tari Badui al-Ikhsan merupakan Kesenian Islam yang muncul dan
berkembang di Dusun Candi Winangun, Sleman, Yogyakarta. Berdiri pada tahun
1990 namun harus mengalami kevakuman karena faktor minimnya sumber daya
manusia dalam mengelola. Pada tahun 2011 Tari Badui al-Ikhsan bangkit kembali
melalui pertunjukannya di Khatmil Qur’an Pondok Pesantren Sunan Pandanaran.
Kontribusi Tari Badui al-Ikhsan dalam tradisi Khatmil Qur’an memiliki
keunggulan eksistensinya dibanding dengan kelompok Tari Badui di daerah lain
sehingga mampu membawa kembali kelestarian kesenian budaya Islam tersebut.
Pertunjukan Tari Badui al-Ikhsan setiap tahun dalam tradisi pesantren juga
mengalami pergerakan baik dalam bentuk perkembangan ataupun perubahan
kelompok tari. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana Tari Badui
al-Ikhsan berkontribusi dalam Tradisi Khatmil Qur’an, menganalisis bagaimana
dinamika selama masa pertunjukannya, serta dampak yang ditimbulkan dari
pertunjukan Badui al-Ikhsan dalam Tradisi Khatmil Qur’an.
Penelitian ini menggunakan pendekatan Antropologi Agama untuk melihat
Tari Badui al-Ikhsan sebagai suatu bentuk budaya yang bergerak dalam ranah
Islam yang selalu melibatkan umat manusia. Teori yang digunakan yakni manfaat
tari sebagai hiburan dan sarana komunikasi oleh Prof. Dr. Muhammad Jazuli.
Konsep yang digunakan adalah dinamika dan dampak. Adapun metode yang
digunakan adalah metode sejarah yang meliputi empat tahap yakni, pertama
heuristik yaitu pengumpulan data melalui observasi, wawancara, dan studi
pustaka. Kedua verifikasi yaitu, kritik sumber secara internal dan ekternal. Ketiga
interpretasi yaitu, menganalisis serta menafsirkan permasalahan dengan fakta dan
data sejarah. Keempat historiografi yaitu, penulisan sejarah.
Penelitian ini menghasilkan fakta bahwa Tari Badui al-Ikhsan merupakan
kesenian budaya Islam dalam bentuk tarian yang muncul dan berkembang di
Dusun Candi Winangun melalui peran warga masyarakat terutama para pengurus
dan pelaku seni. Masyarakat dan Pesantren sepakat bekerjasama untuk
melestarikan kembali budaya warisan nenek moyang tersebut sehingga Badui al-
Ikhsan dapat bangkit kembali melalui Tradisi Khatmil Qur’an. Pertunjukan Badui
al-Ikhsan dalam tradisi pesantren memberikan perkembangan serta perubahan
dalam kelompok tersebut sehingga dikelompokkan dalam tiga fase yakni, masa
pasca vakum (2011-2013), masa kemajuan (2014-2016), serta masa kemunduran
(2017-2019). Selama rentang waktu tersebut pertunjukan Badui al-Ikhsan juga
berdampak terhadap masyarakat Candi Winangun, pihak pesantren Pandanaran,
serta para penontonNIM.: 17101020036 Fira Nadzirotul Afrida2022-03-11T02:45:02Z2022-03-11T02:45:02Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/49958This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/499582022-03-11T02:45:02ZSHOLAWAT BADAR RINDING GUMBENG DI DUSUN DUREN, DESA BEJI, KECAMATAN NGAWEN, KABUPATEN GUNUNGKIDUL, YOGYAKARTA 1986-2020Rinding Gumbeng merupakan alat musik yang terbuat dari bambu yang berasal dari budaya turun temurun di Dusun Duren, Desa Beji, Kecamatan Ngawen, Yogyakarta. Rinding Gumbeng biasanya digunakan untuk pemujaan Dewi Sri pada perayaan memanen padi atau biasa dikenal dengan mboyong Dewi Sri. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya penghormatan kepada Dewi Sri atas limpahan kesuburan dan limpahan panen yang diberikan kepada masyarakat. Seiring perkembangan zaman dan mulai masuknya dakwah Islam yang diawali oleh Jiwo Sentono secara berkesinambungan pada tahun 1970 M di Dusun Duren, alat musik ini dapat berakulturasi dengan budaya lain yaitu budaya Islam. Bentuk akulturasi yang terjadi adalah adanya Sholawat Badar Rinding Gumbeng yang dilakukan pada acara tasyakuran, pernikahan, rasulan dan acara keislaman lainnya baik di dusun maupun diluar Dusun Duren. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul Sholawat Badar Rinding Gumbeng di Dusun Duren, Desa Beji, Kecamatan Ngawen, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta tahun 1986-2020 M. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sejarah Rinding Gumbeng di Dusun Duren, dan mengetahui bentuk akulturasi yang terdapat pada kesenian Rinding Gumbeng, serta mengetahui fungsi Rinding Gumbeng bagi masyarakat di Dusun Duren, Desa Beji, Kecamatan Ngawen, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta.
Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dengan menggunakan teori akulturasi Koentjaraningrat. Metode pengumpulan data yakni melalui wawancara, observasi dan dokumenter. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa Rinding Gumbeng setiap pertunjukannya memperlihatkan akulturasi budaya Islam, yakni seperti adanya iringan lagu sholawat dan ilir-ilir. Adapun fungsi kesenian Rinding Gumbeng bagi masyarakat adalah yang pertama sebagai sarana silaturahmi, kedua media dakwah, dan yang ketiga sebagai sarana promosi daerah wisata kesenianNIM.: 14120089 Erwin Rizki2022-03-01T01:56:22Z2022-03-01T01:56:22Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/49655This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/496552022-03-01T01:56:22ZLOCAL WISDOM DALAM PERUBAHAN MASYARAKAT
(STUDI ATAS TRADISI BALIA MUSLIM KAILI DI KOTA PALU)Tesis ini membahas tentang tradisi Balia sebagai Local Wisdom dari masyarakat Muslim etnik Kaili di kota Palu. Tradisi Balia merupakan tradisi lama dari etnik Kaili masih terus terwarisi antar generasi hingga saat ini. Tradisi ini diwujudkan dalam bentuk ritual upacara sesembahan Balia yang kental dengan paham animisme dan dinamisme. Praktek ritual ini dipahami sebagai sebagai upaya pengobatan yang dapat menyembuhkan suatu penyakit manusia yang berasal dari mahkluk jahat. Masyarakat penganut Balia percaya bahwa segala bentuk penyakit manusia yang sulit disembuhkan melalui medis, mampu disembuhkan melalui pengobatan ritual Balia.
Studi ini dimaksudkan menjawab dua pertanyaan yang fokus pada penekanan kepada bagiamana kultus dan kontroversial tradisi Balia dalam kehidupan masyarakat muslim etnik Kaili di kota Palu. Serta Bagaimana eksistensi tradisi Balia dalam perubahan masyarakat muslim Kaili di kota Palu. Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu ingin mengeksplorasi tradisi Balia terkait, kultus, paham kontroversial dan eksistensi Balia yang masih menjadi praktek hingga saat ini.
Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif yang akan mendeskripsikan hasil analisis fakta terkait pengkultusan Balia yang menjadi sarana pengobatan masyarakat etnik Kaili yang dikenal ampuh dalam mengobatan penyakit. Serta studi ini juga dimaksudkan bertujuan untuk memahami kondisi perkembangan tradisi Balia yang menjadi kontroveersial di masyarakat dan eksistensinnya hingga saat ini. Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data-data empiris dan wawancara.
Hasil penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa pertama, pengkultusan tradisi Balia dalam kehidupan masyarakat muslim etnik Kaili di kota Palu terjadi secara turun temurun. Dimana bentuk kepercayaan animisme dan dinamisme yang dianut pada ritual balia masih mengakar kuat hingga saat ini. Adapun jenis-jenis Balia yang masih di jalankan hingga saat ini yaitu, balia Tampilangi Ulujadi, balia tampilangi Tomataeo, Balia Ntorudu, Balia Jinja, Balia Tomini, Balia Baliore. Kedua, pemahaman masyarakat muslim etnik Kaili terhadap praktek Balia, terbagi atas tiga pandangan, Pertama, praktek pelaksanaanya sepenhnya mengikuti ritual aslinya. Kedua, pelaksanaan tradisi ritualnya mengikuti aslinya namun aspek keyakinannya disandarkan kepada keyakinan Islam. Ketiga, praktek ritual serta keyakinannya dianggap menyimpang sehingga dianggap perlu untuk ditinggalkan. Ketiga, eksistensi Balia di pengaruhi oleh: Pertama, terjadi Islamisasi Balia yang berlaku dalam aspek lingkup spiritual. Kedua, Status tradisi sebagai kearifan lokal yang dianggap mempunyai peran dalam mengembangkan daerah melalui aspek peran kebudayaan. Ketiga, telah menjadi tradisi yang terus terwarisi antar generasi hingga saat ini.NIM.: 18200010207 Mubin2022-03-01T01:55:08Z2022-03-01T01:55:08Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/49671This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/496712022-03-01T01:55:08ZTRADISI MANGANAN JANJANG DI DESA JANJANG KECAMATAN JIKEN KABUPATEN BLORAManganan Janjang is a very important tradition for the people of Janjang Village, Jiken District, Blora Regency. This tradition, which is performed once a year, is not only visited by the local community but also the various surrounding areas.
The purpose of this study is to reveal the background of the emergence of this tradition and why the tradition of Manganan Janjang is still maintained by the people of Janjang Village to this day. The purpose of this study is to reveal the background of the emergence of this tradition and why the tradition of Manganan Janjang is still maintained by the people of Janjang Village to this day. To achieve this goal, the formulation of the problem that will be studied is (1) What is the background of the emergence of Manganan Janjang Tradition? (2) What is the meaning of Manganan Janjang Tradition for the community? (3) What is the effect of the Manganan Janjang ceremony for Janjang People? This study using qualitative research methods with ethnographic approach. Researchers use the of participants observation techniques, interviews, and documentation directly on the tradition of Manganan Janjang. As a theoritical framework, researchers use three theories, namely the theory of rites and ceremonies of transition (Rites de Passage) from Van Gennep, and the theory of symbols from Victor Turner.
The results of the study show that, firstly, Manganan Janjang is a rite of passage from the post-harvest period to start preparing period for the next harvest, marked by charity of the earth (Sedekah Bumi or Gas Deso). Second, in Manganan Janjang has a symbol that is not only a complement in a ceremonial ritual but also has its own meaning for the community. The meaning of Manganan Janjang is not just a charity of the earth (tasyakuran panen), but is meant by efforts to treat the village (bersih desa) with the aim that the village is spared from all negative things, and also meant as a death warning (haul) of Eyang Jati Kusumo and Eyang Jati Sworo who is a local ancestral figure. Third, in the Manganan Janjang Tradition also stores various values in it such as cultural value, religious value, social value, psychological value, and also economic value.NIM.: 1920010027 Ahmad Ihsan Syarifuddin2022-02-24T02:19:02Z2022-02-24T02:19:02Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/49605This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/496052022-02-24T02:19:02ZDIKE SITUEK DI ACEH: AGAMA, KONTESTASI OTORITAS
DAN PERGESERAN KUASAThis dissertation aims at analyzing the Dike Situek contest
among religious authorities in Aceh. The dispute does not only
occur within the Dayah, but also between ulamas (Islamic
preachers) of dayah and the societies. The study utilizes
anthropological approach to examine what lies behind the Dike
Situek ritual ban phenomenon. Data were collected through
interview, documentation and observation. The dissertation in
particular carried out further analysis on the presence of Abu
Dayah who used all his knowledge and relation with the sovereigns
when constructing the authority in East Aceh and restricting Dike
Situek.
The study discovers that the disagreement among religious
authorities on banning Dike Situek ritual in Aceh is not merely a
matter of religious affair, yet theological and political interests
involve in the dispute. Three issues appear in this restriction. The
first issue concerns theological matter. Dike situk is believed to be
a forbidden salik buta teaching in Aceh for the dike situk elders
used to learn from Abu Peulekung in Nagan Raya despite the
absence of a claim that Abu Peulekung’s teaching is perverted.
Second, the flourishing Dike Situk does not originally grow and
develop from dayah ritual, which implies that it is alumni of dayah,
in particular Dayah Abu Paya Pasi, and of non-dayah or non-Abu
Paya pasi that compete. Besides, a long history has made Dike
Situk Ritual a religious culture that live and grow with the people
of Aceh. Third is about Abu Paya Pasi Authority’s resistance. It is
said that the existence of Dike Situk Ritual in the eastern coast of
Aceh hampers Abu Paya Pasi religious authority’s efforts to spread
their teaching, education, and social and culture to the inhabitants.
As seen in their actions, Abu Paya Pasi recommended and gave
approval to the candidate for Genchik Gampong (Chief of Village)
and Tuha Peut (Board of Gampong) hoping that they would be
their extra hands later on. Abu Paya Pasi holds Muzakarah Ulama
and merely discusses Dike Situk Ritual.
The dissertation gives theoretical contribution to the theory
of religious authority contest. Current facts show that political
interests go beyond those of religion. The notion of religious
theology is intentionally involved to legitimate political interests.NIM.: 1430016007 Abdul Mugni2022-02-24T01:33:21Z2022-02-24T01:33:21Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/49650This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/496502022-02-24T01:33:21ZMITOS SEBAGAI UPAYA MASYARAKAT INDIGENOUS DALAM
MENJAGA KELESTARIAN ALAM (STUDI MITOS DI ALAS PURWO DESA KALIPAHIT BANYUWANGI)Penelitian ini dilakukan atas dasar latar belakang masyarakat yang masih
mempertahankan eksistensi mitos yang berbentuk tatanan nilai-nilai (norma),
sosial, agama dan budaya, sebagai pedoman dasar dalam menjalani kehidupan
mereka yang diturunkan dari nenek moyang ke generasi selanjutnya, serta sikap
kepedulian mereka terhadap alam. Hal tersebut yang melatar belakangi hadirnya
tesis ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mitos apa saja yang sedang
berkembang, bagaimana pandangan masyarakat setempat, apa implikasi mitos
terhadap masyarakat indigenous.
Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan jenis penelitian
kualitatif etnografi, dengan metode pengumpulan data observasi, wawancara, dan
dokumentasi, serta dengan pemilihan narasumber yang telah ditetapkan
sebagaimana kualifikasi yang ditentukan. Metode analisis data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah dengan mereduksi data, kemudian penyajian data, dan
dilakuakan penarikan kesimpulan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Alas Purwo di Desa Kalipahit
memiliki berbagai mitos, Lelono merupakan salah mitos yang sangat penting untuk
dikembangkan, lelono merupakan suatu kegiatan yang sudah dilakukan oleh orang
zaman dahulu untuk menenangkan fikiran dan jiwa. Serta mitos mampu
mempertahankan eksistensi hutan sebagai sumber kehidupan masyarakat tanpa
merusaknya. Menjaga mitos sama dengan menjaga hutan/alam.. Selain itu,
penelitian ini menunjukkan bahwa pandangan masyarakat mengenai mitos di Alas
Purwo sangat beragam. Keragaman tersebut dilandasi dari berbagai pengalaman
yang sering dialami oleh masyarakat setempat akibat keberadaan mitos-mitos
tersebut, adapun beberapa pandangan mereka salah satunya adalah mitos sebagai
konservasi cagar budaya, mitos sebagai media distribusi pengetahuan akan
pentingnya melestarikan alam. Sedangkan ritual dan kegiatan yang sering
dilakukan adalah, upacara pager wesi, selametan, lelono. Hasil berikutnya
menunjukkan bahwa mitos berimplikasi pada bagaimana para tokoh agama,
masyarakat, ketua adat maupun pemerintah setempat dalam membimbing
masyarakatnya melalui kearifan lokal yang berbentuk mitos sehingga masyarakat
sadar dan peduli dalam menjaga kelestarian alam. Adapun dua implikasinya yakni
pada manusianya yang berupa; toleransi, perilaku, karakter, berwawasan
lingkungan dan sikap hormat terhadap alam, sedangkan pada alam, berupa
terjaganya alam dari pengerusakan manusia.NIM.: 18200010005 Ahmad Syamsul Muarif2022-02-18T08:02:00Z2022-02-18T08:02:00Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/49410This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/494102022-02-18T08:02:00ZAKTIVITAS SOSIAL-KEAGAMAAN MAJELIS SYUBBANUL MUSLIMIN PROBOLINGGO 2005-2020The Syubbanul Muslimin Assembly is an assembly like in general, but there are some differences with other assemblies. Syubbanul Muslimin was established as an assembly in 2005. Born from young people who do not have a background in the religious field. Syubbanul Muslimin is an assembly that focuses its activities on young people or the younger generation. The Syubbanul Muslimin Assembly is growing and is well received by the people of Probolinggo, not only in the city but even across the archipelago and internationally. The Syubbanul Muslimin Council carries out da'wah, education and social movements. This research focuses on the history and movement of the Muslim Syubbanul Assembly, especially in Probolinggo. The formulation of the research problem is what is the general description of the research location?, how is the historical procession of the Syubbanul Muslimin Council?, what are the activities of the Syubbanul Muslimin Council?.
This research uses a sociological approach. The approach is used to examine the Syubbanul Muslimin Council which has a common interest and goal. The theory used is the theory of social movement proposed by David Jary and Julia Jary that social movement is a board social alliance of related people in an effort to influence or hinder aspects of social change in a society. The definition emphasizes that a social movement occurs because there is a group that moves to take real actions in a society. The research method used is heuristics, collecting sources through literature review and interviews. Then do verification, interpretation, and historiography.
The results of this study, firstly, Probolinggo itself is directly adjacent to the Madura Strait, therefore Probolinggo is also often used as a transit point. Probolinggo itself has quite a lot of cultural wealth that is diverse in customs, traditions and arts. Second, the Syubbanul Muslimin Council was born from an anxiety that occurred against the promiscuity of the younger generation. It was started by 40 youths who took part in establishing the assembly, and even then, they were taught door-to-door. It was not until 2005 that the assembly had a name called Syubbanul Muslimin. After having the progress of Khadimul, the assembly rearranged the existing order in the assembly to be more structured by forming a team to be better prepared to face developments. Third, the Syubbanul Muslimin Council does not only carry out da'wah activities through the stage, but the assembly also carries out social activities. social activities carried out by the assembly such as building mosques, madrasas in areas far from educational places, providing assistance to people in need, currently the assembly focuses on building drug rehabilitation in order to provide a decent and comfortable place.NIM.: 19201022009 Nurul Hasan2022-02-18T07:58:35Z2022-02-18T07:58:35Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/49409This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/494092022-02-18T07:58:35ZSERAK GULO, TRADISI MUSLIM KETURUNAN INDIA DI KOTA PADANG TAHUN 2019One of the ethnic groups that manifests inter-ethnic social integration is the Indian ethnicity of Islamic descent, commonly known as the Muhammadan community. They named this community group the Muhammadan community in order to differentiate it from other Indian descendants. Basically, the ethnic Indians that we know have the belief to embrace Hinduism or Buddhism, in contrast to the Muhammadan community whose entire descendants have embraced Islam. The formulation of the problem discussed is as follows: a) How is the history of the Serak gulo tradition in the city of Padang? b) Why is the Serak Gulo Tradition in Padang City still being maintained today?
This research includes field research using cultural methods, which includes several steps, Research Locations, Research Informants, Data Collection, Observations, Interviews, Documentation, Data Analysis, Data Validity. The approach used in this research is the Cultural Approach. This study uses the theory of symbolic interactionism, namely the theory of George Herbert Mead. Substantively, Mead's theory agrees with the primacy and priority of the social world. Namely from the social world includes awareness, self-thought and so on.
The results show that: 1) The history of the Serak Gulo tradition was originally held in Nagore Nagapattinam, Tamil Nadu area, South India, 450 years ago. Along with the spread of Indian Muslims in Southeast Asia, this tradition was brought from their native region to Indonesia, especially in the city of Padang. In Padang, the Serak Gulo tradition has been started since 200 years ago which was held by Muslims of Indian descent. The Serak Gulo tradition is a hereditary tradition carried out by Muslims of Indian descent in the city of Padang. The tradition which is held annually every 1 Jumadil Akhir of the hijriyah calendar is believed to be a symbol of gratitude for Muslims of Indian descent for the sustenance received throughout the year. Not only that, this procession is also used to commemorate the death of a cleric in Nagore, India, namely Sheikh Shahul Hamid. 2) The Serak Gulo tradition procession is carried out with India, namely Sheikh Shahul Hamid. 2) The procession of the Serak Gulo tradition is carried out in several stages, namely: notification, sugar collection, praying together, putting up flags, raising sugar and throwing sugar. 3) The values and meanings contained in this rasp gulo tradition. The Serak Gulo tradition is a place for gathering and gathering people to take part in the event. This Serak Gulo tradition has several values contained in it. The values are educational values, divine values, social values, and moral values.NIM.: 19201022004 Adetia Andri2022-02-18T03:46:11Z2022-02-18T03:46:11Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/49382This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/493822022-02-18T03:46:11ZZIARAH KUBUR DI KALANGAN MAHASISWA YOGYAKARTA (STUDI ANALISIS RASIONALITAS TINDAKAN SOSIAL)Ziarah kubur sudah menjadi salah satu kebiasaan yang dilakukan oleh umat muslim
dengan membaca beberapa ayat dalam Al-quran berupa,Yasin, Tahlil tepat pada samping
kuburan dan makam. Hal ini telah menjadi amaliyah yang dilakukan oleh umat muslim dunia
bahkan di Indonesia hingga sekarang. Di Indonesia pelaku ziarah dari semua kalangan
sehingga peneliti tertarik obyek pada penelitian ini terfokus pada kalangan mahasiswa. Dalam
melakukan ziarah kubur mahasiswa memiliki keperluan yang beragam dan berkaitan dengan
aktivitas dirinya dari mulai keperluan untuk dunia dan akhirat. Peneliti fokus dalam meneliti
berupa apa motif tindakan mahasiswa melakukan ziarah dan bagaimana dampak ziarah dapat
memberi pengaruh serta menjelaskan perbedaan pelaku ziarah antar kampus umum dan
keagamaan.
Jenis penelitian ini menggunakan deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan
sosiologis dan antropologis. Terdapat 10 subjek penelitian yang terdiri dari mahasiswa yang
melakukan ziarah sebagai subjek aktif. Metode pengumpulan data dilakukan melalui tahapan
observasi, wawancara dan dokumentasi. Sedangkan teori yang digunakan adalah teori tindakan
sosial Max Weber.
Bedasarkan hasil temuan lapangan, peneliti menemukan motif yang mempengaruhi
mahasiswa dalam melakukkan tindakan berziarah yaitu motivasi intrinsik yang berasal dari diri
individu tanpa adanya paksaan dari pihak lain. Sedangkan motivasi ekstrinsik adanya
rangsangan dari luar yang mempengaruhi perilaku mahasiswa berupa lingkungan keluarga dan
lingkungan pondok pesantren, selain dipengaruhi oleh lingkungan motivasi mahasiswa dalam
berziarah untuk mendapatkan ketenangan batin dan jiwa,sarana mencari tawassul atau wasilah
dan sebagai wisata religi. Selanjutnya peneliti menemukan rasionalitas ziarah berupa ziarah
sebagai bentuk kesadaran sosial mahasiswa dari kesadaran tersebut sehingga melahirkan
dampak perilaku ziarah bagi dari segi agama maupun antar sesama umat manusia, dan yang
terakhir perihal perbadaan perilaku ziarah pada mahasiswa kampus keagamaan dan kampus
umumNIM.: 17105040013 Khofifah Khoiriyah2022-02-16T03:32:59Z2022-02-16T03:32:59Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/49309This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/493092022-02-16T03:32:59ZISLAM DAN ADAT MINANGKABAU: IMPLEMENTASI ADAT BASANDI SYARAK-SYARAK BASANDI KITABULLAH (ABS-SBK) DI ORGANISASI BUNDO KANDUANG NAGARI TANJUANG BONAI, KECAMATAN LINTAU BUO UTARA, KABUPATEN TANAH DATAR SUMATERA BARAT 1976- 2018Organisasi Bundo Kanduang adalah organisasi perempuan Minangkabau. yang bergerak di bidang pelestarian adat dan budaya, terutama pada penerapan falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK) sebagai identitas sosial-budaya masyarakat Minangkabau. Organisasi ini berperan penting dalam pembentukan moral dan budi pekerti masyarakat khususnya perempuan dan generasi muda.
Penelitian ini menggunakan pendekatan teori fungsionalisme Bronislaw Malinowski yang berusaha menjawab pertanyaan mengenai latar belakang terbentuknya organisasi, dinamika, serta cara organisasi mengimplementasikan ABS-SBK. Metode sejarah diterapkan dalam kerangka penelitian kualitatif yang mencakup langkah heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi.
Hasil kerja dari teori dan metode sejarah yang diterapkan menunjukkan bahwa Organisasi Bundo Kanduang Nagari Tanjuang Bonai merupakan lembaga adat yang mengimplementasikan ABS-SBK sebagai pedoman dalam menjalankan Adat Salingka Nagari. Hal ini dilihat dari identitas sosial-budaya masyarakat Nagari Tanjuang Bonai yang menganut sistem kekerabatan matrilineal, Bundo Kanduang menjadi sosok yang penting untuk menjaga warisan falsafah ABS-SBK. Selain itu, penerapan ABS-SBK dilakukan dengan membina, mengarahkan serta menjadi tauladan bagi para generasi muda khususnya perempuan Minangkabau untuk menanamkan nilai-nilai falsafah ABS-SBK dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari seperti pada upacara-upacara adat yang berlaku sesuai ketentuan Adat Salingka Nagari. Nilai-nilai ABS-SBK diimplementasikan oleh masyarakat Nagari Tanjuang Bonai dengan selalu berpedoman kepada Al-Qur’an dan sunah rasul.NIM.: 16120001 Butiras Falah2022-01-24T06:39:29Z2022-01-24T06:39:29Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/48877This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/488772022-01-24T06:39:29ZMAKNA SESAJI DAN NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM TRADISI NYALAMAK DILAUQ (SELAMATAN LAUT) DI DESA TANJUNG LUAR PROVINSI NTBPenelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan secara mendalam makna simbol-simbol sesaji pada pelaksanaan ritual Nyalamak Dilauq, dan menganalisis nilai-nilai pendidikan dalam tradisi tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research) dengan menggunakan pendekatan kualitatif, alasan menggunakan pendekatan ini karena bermaksud untuk mendeskripsikan fenomena sosial pada aktivitas Nyalamak Dilauq dalam masyarakat Suku Bajo Desa Tanjung Luar. Tekhnik pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara, dan dokumentasi. Sumber data diambil dari para informan orang yang terlibat serta yang di anggap mampu untuk menjelaskan makna simbolik dari sesaji serta nilai-nilai yang terkandung di dalam tradisi tersebut, yang berjumlah dua belas informan, terdiri dari Aparat Desa, sesepuh, sandro, dan tokoh masyarakat. Sedangkan metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dari Miles dan Huberman. Model yang diawali dengan reduksi data, data display (penyajian data), dan conclusion drawing / verification (kesimpulan/ verifikasi).
Hasil temuan dari penelitian ini yakni: pertama, sesaji sebagai simbol dan memiliki berbagai macam harapan yang baik di dalamnya untuk masyarakat Tanjung Luar. Makna simbolik sesaji kepala kerbau (rajin, kuat, pekerja keras, dan lambang kemakmuran), makna simbolik 7 mata air (jumlah hari dan kenikamatan hidup), makna simbolik jajanan pasar (keramaian), simbolik minyak bauq (cinta kasih pada sesama), simbolik parai bente (kesucian jiwa), simbolik karunjawa (jenis-jenis makhluk hidup di laut), simbolik pisang raja (hidup bermanfaat), dan bendera empat warna (simbol suku perantauan dan kerukunan). Kedua, nilai-nilai pendidikan yang terkandung di dalam tradisi Nyalamak Dilauq yang dapat dipetik diantaranya: nilai religius, nilai kultural, nilai silaturrahmi, nilai gotong royong dan nilai rukunNIM.: 19200010005 Iza Syahroni2022-01-18T04:35:46Z2022-01-18T04:35:46Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/48644This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/486442022-01-18T04:35:46ZPARADAT, HAGURUAN DAN USTAZ SALAFI:
Perubahan Nilai Adat Dalihan Na Tolu Dalam Narasi
Pendidikan NilaiDisertasi ini memberi perhatian pada perubahan nilai adat
dalihan na tolu dalam narasi pendidikan nilai. Dalam pandangan
paradat, ritual adat dalihan na tolu merupakan basis dari pendidikan
nilai yang harus dijaga dan diwariskan. Sementara itu, masuknya nalar
Islam dalam komunitas adat menjadi counter discourse terhadap
aturan-aturan pokok ritual adat dalihan na tolu melalui haguruan dan
ustaz salafi. Implikasinya, menyebabkan kontestasi paradat sebagai
agen dari struktur adat yang mempertahankan adat (orthodoxa) dengan
haguruan dan ustaz Salafi di pihak yang menggugat adat (heteredoxa).
Penelitian ini hendak menjawab; (1) bagaimana kontestasi
tersebut berlangsung, (2) mengapa kontestasi paradat dengan
haguruan dan ustaz salafi itu terjadi, (3) apa perubahan yang terjadi
pada nilai adat dalihan na tolu. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan
Panyabungan, Kabupaten Mandailing Natal, Provinsi Sumatera Utara.
Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan pendekatan
etnografi. Data yang digunakan adalah hasil pengamatan terhadap
beberapa upacara adat siklus kehidupan dan pengamalan nilai agama
dalam kehidupan sehari-hari serta dokumen dan wawancara dengan
sejumlah informan. Penelitian ini diletakkan dalam perspektif
antropologi pendidikan dengan menjadikan nilai karakter adat dalihan
na tolu sebagai narasi besarnya dan struktur religius sebagai arena
kontestasinya.
Hasil penelitian ini menemukan bahwa: (1), Kontestasi itu
terjadi dengan penolakan-penolakan dari pihak yang menggugat adat.
Haguruan yang berafiliasi ke NU menolak adat dengan memodifikasi
sebagian dan mengeliminir bagian yang lain dan menggantinya
dengan tata cara yang sesuai fiqh. Sementara haguruan
Muhammadiyah dan ustaz salafi lebih cenderung mengeliminir upacara adat dan menggantinya dengan tradisi Islam sebagaimana
pemahaman mereka masing-masing yang didasarkan pada Al-Qur’an
dan Sunnah secara tekstual. (2), Kontestasi antara paradat dengan
haguruan dan ustaz salafi disebabkan oleh idealisasi nilai Islam
melalui penegakan amar ma’ruf nahi munkar yang didasarkan pada
dominasi penggunaan nalar bayani. (3), Perubahan nilai adat dalihan
na tolu menunjukkan bahwa dominasi nilai Islam menciptakan
perubahan nilai adat dalihan na tolu, dari nilai adat ke nilai Islam,
haguruan menjadi satu-satunya aktor tauladan moral yang baru,
identitas adat yang termarjinalkan dan perubahan dari solidaritas
kekerabatan dalihan na tolu ke ukhuwah Islamiyah.
Secara teoritis, interaksi adat dengan Islam di Panyabungan
adalah dinamika antara paradat dan haguruan atas penguasaan
produksi simbolik yang silih berganti memegang kendali dominasi.
Dari sudut pandang konflik, temuan ini membantah anggapan antara
adat dengan Islam yang dipandang saling menghilangkan. Sekaligus
membantah pandangan tentang adaptasi yang mengasumsikan bahwa
adat dan Islam selalu berintegrasi secara kontinus. Pada akhirnya nalar
Islam menjadi kekuatan penting yang menentukan nilai dan tindakan
adat dalihan na tolu saat ini di Panyabungan. Kendati demikian,
terlihat bahwa penerimaan kelompok paradat atas nilai Islam di arena struktur religi adat dalihan na tolu adalah bersifat sementara. Kajian ini menegaskan bahwa nilai dalam komunitas lokal di Panyabungan bukanlah sesuatu yang final.NIM.: 17300016001 Suheri Sahputra Rangkuti2022-01-13T07:41:29Z2022-01-13T07:41:29Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/48033This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/480332022-01-13T07:41:29ZSHALAWAT DALAM TRADISI SLAMETAN DI MLANGI
(RESEPSI, TRANSMISI DAN SIMBOLISASI)Sejarah kemunculan shalawat dalam masyarakat Jawa pada mulanya dibaca ketika
ritual maulid nabi saja. Namun, dengan berjalannya waktu shalawat tidak hanya dibaca ketika
maulid nabi, bahkan setiap kegiatan atau ritual-ritual lain seperti slametan. Di Mlangi, hampir
berbagai ritual atau kegiatan selalu membaca shalawat, kecuali slametan yang berhubungan
dengan orang meninggal. Slametan yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari seperti
hajatan selalu menggunakan shalawat dalam bacaan ritualnya. Hal tersebutlah yang menjadi
keunikan sehingga menarik untuk diteliti lebih jauh, setidaknya fokus penelitian ini
terangkum dalam dua hal: Pertama, mengapa masyarakat Mlangi menggunakan shalawat
dalam pelaksanaan ritual slametan dan apa faktor yang melatarbelakangi hingga menjadikan
shalawat sebagai bacaan inti?. Kedua, bagaimana Masyarakat Mlangi tetap bertahan
menjalankan tradisi leluhur hingga saat ini?.
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan yang bersifat kualitatif. Adapun Teknik
Pengumpulan Data dalam penelitian ini memiliki tiga bagian yaitu: Observasi, Wawancara,
dan Dokumentasi. Sumber data primer dalam penelitian ini diperoleh atau dikumpulkan
langsung di lapangan sesuai dengan objek penelitian yang dituju yaitu masyarakat Mlangi.
Sedangkan data skunder dalam penelitian ini diperoleh dari berbagai sumber di lapangan
yang dapat mendukung data primer, baik secara lisan, video, rekaman, ataupun rujukan rujukan
yang ada di lapangan terkait tradisi Slametan dengan menggunakan shalawat di
Mlangi. Tradisi slametan tersebut jika ditelaah sebagaimana disebutkan oleh Clifford Geertz
yang mencoba untuk membuat suatu konsep kebudayaan bersifat interpritatif, dimana suatu
kebudayaan dilihat sebagai suatu teks yang perlu diinterprestasikan maknanya. Jika dikaitkan
dengan pemaparan Geertz, maka tradisi slametan merupakan suatu wadah masyarakat untuk
mempetahankan suatu tradisi yang ada serta aspek kehidupan sosial. Slametan diadakan
untuk merespon suatu kejadian yang ingin diperingati. Senada dengan Geertz, teori resepsi
yang menghendaki pembaca untuk secara aktif menginterpretasikan sendiri makna-makna
dalam karya, membentuk dunia sendiri sesuai dengan imajinasi masing-masing, menjadi
tokoh-tokoh di dalamnya, dan merasakan sendiri apa yang dirasakan oleh tokoh-tokoh dalam
karya tersebut. Hasil dari penelitian ini menjelaskan bahwa proses resepsi masyarakat Mlangi
terhadap pembacaan shalawat dalam tradisi slametan merupakan bentuk tradisi keagamaan
masyarakat dari peniruan dan upaya untuk mempertahankan perilaku atau siklus keyakinan
tentang kebenaran tradisi dan doktrin yang merupakan ekspresi keagamaan generasi
sebelumnya, sehingga tradisi slametan begitu mengakar di kalangan masyarakat Mlangi. Dan
dipengaruhi oleh agen-agen yang memiliki otoritas kuat serta didukung oleh properti acara
shalawatan yang menyertai dalam tradisi Slametan.NIM.: 17205010005 Siti Mujarofah2022-01-12T01:44:50Z2022-01-12T01:44:50Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/48016This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/480162022-01-12T01:44:50ZPERAN HABIB HASAN BIN THOHA (KRT. SUMODININGRAT)
DALAM MELESTARIKAN TRADISI ISLAM DI KERATON
NGAYOGYAKARTA HADININGRAT PADA MASA SULTAN
HAMENGKU BUWONO II,
1792-1819 MTesis ini mengkaji tentang Peran Habib Hasan bin Thoha (KRT.
Sumodingrat) dalam melestarikan tradisi Islam di Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat pada masa Sultan Hamengku Buwono II 1792-1819 M. Hal ini
dilatarbelakangi adanya gangguan politik dari pihak kolonial Belanda maupun
Inggris, yang menjajah Pulau Jawa terutama di Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat. Pihak kolonial ingin mengubah tradisi yang ada di keraton seperti
saat jamuan upacara grebeg dengan mempersembahkan anggur, sirih, pinang
kepada sultan. Pada saat tradisi grebeg berlangsung, prajurit-prajurit kerajaan
harus mengenakan pakaian kebesaran kerajaan Jawa. Hal tersebut dilakukan
karena pihak kolonial ingin menggantikan pakaian adat keraton menjadi pakaian
khas Eropa. Pada saat itulah muncul tokoh dari kalangan sayyid bernama Habib
Hasan bin Thohaa yang berusaha untuk menjaga tradisi Islam di keraton. Habib
Hasan merupakan menantu dari Sultan Hamengku Buwono II dan menjadi kepala
prajurit pengawal keraton yang berjuang melawan pihak kolonial. Ia mendapatkan
gelar Kanjeng Raden Tumenggung Sumodiningrat, setelah menikah dengan puteri
sulung sultan yaitu Bendoro Mas Ayu Rantam Sari.
Penelitian ini bersifat kualitatif yang bersifat deskriptif analitis,
pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan studi pustaka (library
research) dan studi lapangan (field research). Penelitian ini merupakan kajian
sejarah dengan menggunakan pendekatan budaya. Teori yang digunakan dalam
kajian ini adalah teori inkulturasi, yaitu proses untuk memasukkan nilai-nilai
Islam ke dalam budaya Jawa yang melibatkan suatu kelompok masyarakat
maupun individu, yang masuk ke dalam proses sosisalisasi, asimilasi dan
integrasi.
Hasil penelitian tesis ini menunjukkan bahwa Habib Hasan telah
melestarikan tradisi Islam di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, baik dalam
bidang agama maupun budaya. Inkulturasi dalam bidang agama yang dilakukan
oleh Habib Hasan di antaranya menanamkan nilai-nilai keislaman di keraton,
pembangunan masjid dan pesantren. Masyarakat menjadi lebih mengenal Islam
melalui ajaran syariat maupun tarekat. Pengaruh Habib Hasan dalam hal budaya
yaitu berusaha menjaga dan melestarikan budaya lokal agar tidak dihilangkan oleh
pihak kolonial. Hal lain dari kajian tesis ini adalah peran Habib Hasan di Keraton
Yogyakarta untuk melestarikan budaya lokal, seperti: melestarikan grebeg maulid,
melestarikan dan menyempurnakan Salawat Jawa Tasbih Hadiningrat,
menggunakan Perang Capit Urang sebagai strategi perang, dan juga
pengembangan cerita wayang orang menjadi cerita Jayapusaka, sehingga
menjadikan masyarakat lebih mengenal rasa nasionalisme lewat kisah
pewayangan.NIM.: 1620510010 Siti Fatimah2022-01-07T08:10:19Z2022-01-07T08:10:19Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/48177This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/481772022-01-07T08:10:19ZTRADISI GELAR SONGO DI DESA GLAGAH KECAMATAN GLAGAH KABUPATEN BANYUWANGI 2007-2019Tradisi Gelar Songo merupakan sebuah kebudayaan yang berasal dari Desa Glagah, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Kebudayaan tersebut diwariskan secara turun-temurun oleh leluhur. Tradisi ini bertujuan untuk mensyukuri nikmat serta keberkahan yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa dan untuk menghormati serta terima kasih terhadap leluhur atau orang tua zaman dulu. Dalam tradisi tersebut terdapat suatu yang menarik hingga dapat dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan masyarakat Glagah. Seiring perkembangan zaman, terjadi perkembangan dalam Tradisi Gelar Songo. Berdasarkan penjelasan tersebut, fokus masalah penelitian ini adalah bagaimana latar belakang upacara adat Tradisi Gelar Songo, bagaimana perkembangan, makna serta arti dan mengapa Tradisi Gelar Songo masih dilestarikan hingga sekarang.
Penelitian ini merupakan penelitian sejarah kebudayaan dengan pendekatan Antropologi. Teori yang digunakan untuk menganalisis makna Tradisi Gelar Songo adalah teori simbol yang dikemukakan oleh Victor Turner. Penulisan ini menggunakan metode sejarah melalui empat tahapan Penulisan sebagai berikut: heuristik, verifikasi, interpretasi dan historiografi.
Hasil Penulisan ini adalah sebagai berikut: Pertama, belum diketahui secara jelas tahun berapa Tradisi Gelar Songo ini ada, namun tradisi ini sudah ada sejak masa Penjajahan. Berdasarkan narasumber pada tahun 1956 ketika ia masih kecil Tradisi Gelar Songo sudah ada. Kedua , awal mula munculnya Tradisi Gelar Songo oleh masyarakat setempat dilaksanakan ketika ada warga memiliki hajat seperti khitanan dan nikahan. Ketiga dalam prosesi utamanya Tradisi Gelar Songo dimaksudkan, untuk ucapan rasa syukur kepada Allah swt., atas nikmat serta berkah yang telah diberikan, menghormati para leluhur dan keselamatan untuk desa dengan melakukan selametan serta doa. Keempat, Tradisi Gelar Songo mengalami pembaharuan dan perkembangan pada tahun 2007-2019. Dimulai dengan periode pembaharuan merupakan awal Tradisi Gelar Songo digunakan untuk “bersih desa” pada tahun 2007-2015, periode perkembangan Tradisi Gelar Songo pada tahun 2016-2019 mengalami perkembangan dalam rangkaian pelaksanaan seperti adanya kirab, selametan di balai desa dan hiburan, adanya perkembangan tersebut dimaksudkan supaya Tradisi Gelar Songo semakin ramai, menambah semangat masyarakat setempat untuk selalu melestarikan tradisi dan supaya masyarakat di luar desa tahu dengan tradisi tersebut.NIM.: 16120069 Wishnu Ajitya Yudha2022-01-07T02:24:49Z2022-01-07T02:24:49Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/48124This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/481242022-01-07T02:24:49ZDINAMIKA FUNGSI BHOKA DALAM PROSESI PERNIKAHAN MASYARAKAT MUSLIM SUKU MUNA DI KERAJAAN MUNA, SULAWESI TENGGARA TAHUN 1905-1960 M.Pernikahan dalam masyarakat Muna pada umumnya dilakukan berdasarkan adat dan ajaran agama yang dianut. Pemberlakuan bhoka dalam pernikahan adat suku Muna pertama kali diciptakan oleh Raja Sugi Manuru pada abad ke 16 M, yakni di masa sebelum masuknya Islam di Muna. Keunikan dari adat bhoka yaitu terletak dari fungsinya yang pada awalnya sebagai pajak pemerintahan yang disetorkan kepada pemerintahan. Namun setelah Islam masuk, mulailah terjadi perubahan dimana bhoka dialih fungsikan untuk pejabat agama selaku yang menikahkan calon pengantin, dan juga bhoka berguna sebagai mas kawin pernikahan untuk masyarakat muslim suku Muna di Kerajaan Muna. Keberadaan bhoka dewasa ini masih tetap dilestarikan meskipun terjadi beberapa perbedaan fungsinya dari masa ke masa. Penetapan bhoka tidak bisa lepas dari strata sosial yang ada di Kerajaan Muna karena kadar bhoka ditetapkan berdasarkan golongan yang dimiliki. Jumlah bhoka masing-masing golongan Kaomu, Walaka, Maradika, dan Anangkolaki telah ditetapkan sejak masa pemerintahan Raja La Ode Ahmad Maktubu yang memerintah tahun 1905-1914 M. Topik ini menarik untuk dibahas mengingat belum ada yang membahas mengenai dinamika fungsi adat bhoka dalam pernikahan masyarakat muslim etnis Muna. Oleh karena itu, pokok masalah yang dibahas yaitu konsep bhoka bagi etnis Muna, sejarah dan fungsi bhoka dalam pernikahan suku Muna serta pengaruh stratifikasi sosial terhadap penentuan jumlah bhoka yang dikeluarkan. Alat analisis yang digunakan ialah pendekatan antropologi dan teori fungsionalisme-struktural oleh Alfred Reginald Radcliffe Brown. Inti dari teori ini adalah bahwa budaya itu bukan untuk memuaskan individu, namun untuk memenuhi kebutuhan sosial masyarakat. Metode yang digunakan adalah metode sejarah yaitu heuristik, verifikasi, interpretasi dan historiografi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penetapan adat bhoka di tahun 1905-1960 M muncul akibat dari tidak adanya aturan yang konkret sebelumnya mengenai jumlah bhoka dalam pernikahan. Bhoka dalam pernikahan adat suku Muna adalah sesuatu yang harus ada untuk melaksanakan acara pernikahan karena berfungsi sebagai mas kawin/mahar dan sebagai gaji bagi para pejabat nikah. Dalam penentuan kadar atau jumlah bhoka berdasarkan strata sosial di Muna diyakini sebagai kewajaran sosial, mengingat di Kerajaan Muna masyarakatnya dibagi atas beberapa kelompok berdasarkan tugas dan keahlian yang dimiliki.NIM.: 17101020047 Habi Astum2022-01-03T07:48:58Z2022-01-03T07:48:58Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/47820This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/478202022-01-03T07:48:58ZNILAI-NILAI FILOSOFIS UPACARA ADAT RUWAHAN DAN GREBEG KI AGENG MAKUKUHAN DI KEDU TEMANGGUNG DAN RELEVANSINYA DENGAN PEMBELAJARAN SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAMThis research was carried out because of the lack of understanding of the philosophical values of students towards local culture, so that in SKI learning there needs to be an effort to understand values through classroom learning with an in-depth introduction to local cultural materials. This research was conducted in Makukuhan Hamlet, Kedu Village, Kedu District, Temanggung Regency with the research subjects being the Makukuhan Hamlet and surrounding communities. The object of this research is the implementation of the Ruwahan and Grebeg makukuhan traditional ceremonies.This study uses an ethnographic qualitative method approach with the aim of looking at the procession of each stage and its philosophical values in this Makukuhan ruwahan and grebeg traditional ceremony. The research was conducted using interview, observation and documentation techniques. Data analysis using data triangulation as a conclusion.
The results showed that the Makukuhan community carried out the Ruwahan and Grebeg makukuhan traditional ceremonies with the aim of sending prayers to the ancestral spirits of Islamic religious figures, namely Ki Ageng Makukuhan and the ancestral spirits of the Makukuhan community, then as an expression of gratitude to Allah for all the abundance of rizki, safety that has obtained. The implementation of the Ruwahan and Grebeg makukuhan traditional ceremonies begins with draining the planangan spring, changing the ageman/curtain on the tomb of Ki Ageng Makukuhan then continuing on Friday morning kliwon with tahlil reading with the whole community and eating together which serves various kinds of food such as tumpeng, ingkung, market snacks . Grebeg is held on Sundays by parading mountains of various kinds of vegetables and animal replicas such as buffalo, cows, chickens and others. The symbols used in the Ruwahan and Grebeg traditional ceremonies have philosophical meanings that need to be instilled in the next generation, in order to preserve the Ruwahan and Grebeg Makukuhan traditional ceremonies and become the cultural wealth of the Indonesian nation. There is a connection between the implementation of the Ruwahan and Grebeg Makukuhan traditional ceremonies and learning the History of Islamic Culture at Madrasah Tsanawiyah grade 9.NIM.: 19204010096 Mutamimah2021-12-06T03:31:34Z2021-12-06T03:31:34Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/46839This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/468392021-12-06T03:31:34ZANALISIS EKSISTENSI PRAKTIK SOSIAL TRADISI ATER-ATER DI DUSUN PELEMANTUNG BANTUL DIYPokok kajian dalam penelitian ini adalah eksisitensi praktik sosial tradisi ater-ater yang dilaksanakan sebelum acara pernikahan oleh masyarakat Dusun Pelemantung, Selopamioro, Imogiri, Bantul. Ater-ater atau punjungan dilakukan dengan mengirimkan makanan yang berisi nasi dan lauk pauk kepada kerabat, tetangga dan atau pihak yang ingin diundang. Tradisi ater-ater atau punjungan sebagai bentuk pemaknaan kearifan lokal yang turun temurun dilakukan oleh masyarakat di Dusun Pelemantung. Bagi masyarakat dusun Pelemantung tradisi ater-ater memiliki manfaat yaitu sebagai sarana untuk mempererat hubungan kekerabatan. Ater-ater atau punjungan juga sebagai informasi atau undangan kepada kerabat bahwa akan mengadakan acara hajatan pernikahan.
Tujuan penelitian ini adalah bagaimana eksistensi tradisi ater-ater di dusun Pelemantung jika dilihat dalam perspektif Strukturasi Giddens. Penulis tertarik untuk mencari tahu lebih dalam mengenai praktik sosial tradisi ater-ater dan mengapa tradisi ater-ater masih eksis di masyarakat dusun Pelemantung padahal banyak sekali cara lain yang lebih mundah untuk melaksanakan hajatan salah satunya menggantinya dengan catering. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan metode pengumpulan data melalui wawancara, observasi dan dokumentasi. Penelitian ini menggunakan teori Srukturasi Anthony Giddens.
Hasil dari penelitian ini adalah masyarakat dusun Pelemantung memiliki kesadaran untuk melestarikan dan kesadaraan tersebut sebagai alasan untuk tetap melestarikan tradisi ater-ater. Pola pelaksanaan tradisi ater-ater masyarakat terus berulang meskipun terdapat perubahan. Akibat dari proses reproduksi sosial, dalam praktik ater-ater ditemukan lagi makna-makna baru yang mempengaruhi struktur (nilai pengetahuan norma, rasa syukur, dll). Tradisi ater-ater sebagai refleksi diri yang dilakukan oleh masyarakat dusun Pelemantung atas tindakan yang mereka lakukan.NIM.: 16720028 Ramdhani Pangastuti2021-12-06T02:03:23Z2021-12-06T02:03:23Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/45671This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/456712021-12-06T02:03:23ZSANKSI PIDANA PENGANIAYAAN HEWAN
DALAM TRADISI KERAPAN SAPI DI MADURA:
STUDI KOMPARATIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIFKarapan sapi ialah suatu tradisi adat yang sudah sejak lama di Madura. Kegiatan ini sangat banyak digemari oleh berbagai warga setempat dikarenakan karapan sapi ini sudah mendarah daging di daerah Madura. Selain menjadi tradisi, karapan sapi juga salah suatu perlombaan atau festival adu kecepatan sapi, namun di lain sisi karapan sapi ini juga banyak kontroversi. Dalam hukum Islam, umat Islam diajarkan untuk sayang terhadap hewan, mengasihi dan merawat bahkan pelanggaran untuk yang menganiayaa hewanpun sudah ada yang mengatur. Apabila disambungkan dengan kegiatan karapan sapi di Madura ini maka sangatlah jelas adanya penyiksaan dalam perlombaan tersebut seperti mencambuk, memberi balsem dan lain sebagainya. Maka dari situlah penulis tertarik meneliti masalah tersebut dengan permasalahan bagaimana Sanksi penganiayaan Hewan dalam tradisi kerapan sapi di Madura ditinjau dari hukum Islam dan bagaimana Sanksi Penganiayaan Hewan dalam Tradisi Kerapan Sapi di Madura ditinjau dari hukum positif.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian normatif dengan teknik pengumpulan data melalui penelitian pustaka (library reseasrch). Bahan-bahan dan data datanya diperoleh dari perpustakaan dan berbagai uraian lain yang relevan dengan permasalahan topik penulisan. Data-data yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan hukum pidana Islam dan teori Pemidanaan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa tradisi Kerapan Sapi di Madura merupakan tradisi yang di dalamnya terdapat tindak pidana penganiayaan hewan. Penganiayaan ini berupa mengolesi alat vital sapi sapi dengan balsam dan cabai, kemudian pantatnya dilukai dengan paku dan diatas luka tersebut masih diolesi balsam dan cabe, rasa sakit hingga kematian yang dialami oleh hewan-hewan kerapan yaitu Sapi. Luka yang dialami Sapi biasanya luka robek kulit didapat ketika persiapan perlomabaan dan saat perlombaan.
Hasil penelitian ini bahwa Tradisi Kerapan Sapi di Madura merupakan tradisi yang melanggar ketentuan Pasal 302 ayat (1), ayat (2), dan Pasal 66A ayat (1), ayat (2) KUHP,Undang-undang No. 14 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 18 Tahun 2009 Pasal 91b Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, dan Instruksi Gubernur Jawa Timur Nomor 1/INST/2012. Ancaman sanksi paling ringan terdapat dalam Pasal 302 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak Rp. 4,500.00. Sedangkan ancaman sanksi paling berat terdapat dalam Pasal 91B Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang peternakan dan kesehatan Hewan, dengan ancaman pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 6 (enam) bulan dan denda paling sedikit Rp. 1000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp. 5000.000,00 (lima juta rupiah). Sedangkan berdasarkan analisis hukum pidana Islam penganiayaan hewan dalam bentuk apapun termasuk penganiayaan hewan dalam tradisi kerapan sapi merupakan hal yang dilarang dalam al-Qur an dan al-Sunnah, akan tetap tidak disebutkan secara jelas dan tegas hukumanya, maka sanksi pidana penganiayaan hewan dalam tradisi kerapan sapi di Madura dalam hukum Islam adalah sanksi jarimah ta’zir yang bentuk mana bentuk sanksinya diserahkan kepada penguasa.NIM.: 16360063 Fathorrachman2021-12-03T06:42:23Z2021-12-03T06:42:23Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/47487This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/474872021-12-03T06:42:23ZPEMBACAAN SURAH AL-IKHLAS 100.000 KALI SEBAGAI SYARAT BOYONG (STUDI KASUS DI PONDOK PESANTREN AL LUQMANIYYAH YOGYAKARTA)Pembacaan surah Al Ikhlas sebanyak 100.000 kali atau biasanya disebut dengan dzikir fida’ ini biasanya dilakukan oleh sekelompok orang untuk mendoakan orang yang sudah meninggal, akan tetapi pembacaan surat Al Ikhlas yang di lakukan di Pondok Pesantren Al Luqmaniyyah Kel. Pandean Kec. Umbulharjo Kab. Kodya Yogyakarta, sedikit berbeda. Pembacaan surat Al Ikhlas yang dilaksanakan di pondok pesantren tersebut adalah sebagai syarat boyong bagi santri di pondok tersebut, yang mana pembacaan tersebut dilakukan dimakam. Berdasarkan latar belakang tersebut, ada dua rumusan masalah yang dikaji di penelitian skripsi ini. Pertama mengenai bagaimana praktik pembacaan 100.000 kali surat al-Ikhlas tersebut. Kedua, bagaimana makna dari pembacaan 100.000 kali surat al-Ikhlas tersebut.
Penelitaian ini termasuk jenis penelitian lapangan (Field reserch) dengan menggunakan metode kualitatif pendekatan fenomenologi. Serta menggunakan beberapa metode untuk pengumpulan data seperti observasi, wawancara dan dokumentasi dan menggunakan analisis deskriptif-kualitatif. Dalam penelitian ini penulis menggunakan teori tindakan Max Weber yang membaginya menjadi empat tipe. Pertama, rasional-instrumental (zweckrational), mengacu pada tindakan yang dilandasi oleh rasionalitas sang aktor demi mencapai tujuan tertentu. Tipe kedua, rasional nilai (wertrational), mengacu pada tindakan yang dilandasi oleh kepercayaan terhadap nilai-nilai tertentu. Tipe ketiga, afektif, mengacu pada tindakan yang dilandasi oleh perasaan seorang individu. Tipe terakhir, tradisional, mengacu pada tindakan yang dilandasi oleh tradisi, atau dengan kata lain, telah dilakukan berulang-ulang sejak zaman dahulu.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pembukaan praktik pembacaan 100.000 kali surat al-Ikhlas dilakukan di makam pengasuh pesantren tersebut dan berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Max Weber, pembacaan surah Al Ikhlas 100.000 kali yang dilakukan di Pondok pesantren Al Luqmaniyyah Yogyakarta termasuk dalam kategori teori tindakan sosial rasional nilai dan teori tindakan sosial tradisional, dimana santri pondok pesantren tersebut dalam melakukan pembacaan surah Al Ikhlas ini berdasarkan perintah dari Abah kyai pondok pesantren tersebut, yang mana Abah kyai mengatakan bahwa santri yang melakukan kegiatan tersebut akan dimudahkan segala urusannya dan dimuliakan nantinya ketika sudah boyong dari pondok pesantren. Ini salah satu bukti tindakan yang berasionalkan atas nilai pengharapan. Adapula tradisi ini terselenggara karena meneruskan tradisi yang telah dilakukan oleh santri senior di pondok pesantren tersebut, hal ini menunjukan betapa tindakan ini dipengaruhi atas perilaku tradisionalNIM.: 14530078 Wahyu Nur Fadholi2021-12-01T07:26:55Z2021-12-01T07:26:55Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/47377This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/473772021-12-01T07:26:55ZTRADISI BUBAK KAWAH DALAM PERNIKAHAN ADAT JAWA PERSPEKTIF ‘URF (STUDI DI DESA SAMBIROTO KECAMATAN PADAS KABUPATEN NGAWI)Pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia, sejahtera, damai, tentram serta kekal. Pernikahan dikatakan sah apabila telah memenuhi rukun dan syarat dari pernikahan itu sendiri. Namun pada praktiknya, pernikahan di Indonesia tidak bisa dipisahkan dengan tradisi atau adat yang melatarbelakanginya. Seperti halnya tradisi bubak kawah yang dilakukan oleh masyarakat Desa Sambiroto Kecamatan Padas Kabupaten Ngawi. Tradisi bubak kawah adalah upacara yang dilaksanakan ketika orang tua mantu anak pertama, tradisi ini dilaksanakan dengan harapan rumah tangga yang akan dibina diberi kemudahan, keberkahan, serta dijauhkan dari petaka. Hal ini tentunya bertolak belakang dengan ketentuan yang ada dalam ajaran Islam. Kemudian bagaimana hukum Islam menyikapi tradisi bubak kawah yang terdapat di Desa Sambiroto tersebut ?
Jenis penelitian yang digunakan dalam menyusun skripsi ini adalah penelitian lapangan (field research). Penelitian ini bersifat deskriptif analitik yang bertujuan untuk mendapatkan penjelasan yang sistematik mengenai masalah yang sedang diteliti. Selain itu penulis juga menggunakan pendekatan normative dan sosiologi antropologi. Adapun data yang diperoleh penulis berasal dari berbagai sumber seperti hasil dari observasi, wawancara serta dari beberapa literatur tertulis yang berkaitan dengan tradisi bubak kawah dan ‘urf. Setelah mendapatkan sumbersumber data yang diperlukan, peneliti menganalisis data tersebut secara kualitatif dengan metode deduktif dan induktif agar terwujudnya penelitian yang mudah dipahami dan diinterpretasikan.
Hasil penelitian yang telah dilakukan menyatakan bahwa tradisi bubak kawah di Desa Sambiroto dapat dikelompokkan menjadi dua kategori. Jika masyarakat meyakini bahwa tradisi bubak kawah dapat mendatangkan keberkahan serta menjauhkan dari petaka maka tradisi bubak kawah diategorikan sebagai ‘urf fāsid. Sebaliknya, bagi masyarakat yang melaksanakan tradisi bubak kawah hanya bertujuan untuk melestarikan warisan nenek moyang serta menjaga keutuhuan hubungan sosial kemasyarakatan maka tradisi ini dikategorikan dalam ‘urf ṣaḥīḥ.NIM.: 17103050057 Dewi Puji Lestari2021-11-24T03:32:26Z2021-11-24T03:32:26Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/47119This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/471192021-11-24T03:32:26ZTRADISI PERNIKAHAN DAN PERSEPSI DIRI MASYARAKAT MANDAILING NATALTradisi Pernikahan dan Persepsi Diri Masyarakat Mandailing Natal, Sumatera Utara. Tesis, Program Studi Interdisciplanary Islamic Studies, Konsentrasi Psikologi Pendidikan Islam, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2021. Dalam upacara pernikahan di Mandailing yang sangat berperan penting adalah lembaga dalihan na tolu, dalihan na tolu dapat diartikan sebagai penyeimbang dalam bermasyarakat. Dalihan na tolu pada masyarakat Mandailing mengandung arti, tiga kelompok masyarakat yang merupakan tumpuan dalam bermasyarakat dan beradat. Tujuan penelitian ini mengulas gambaran terhadap pendidikan keluarga dalam tradisi budaya pernikahan Mandailing. Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif, dengan pendekatan etnografi dan psikoanalisis. Penelitian kualitatif ini menggunakan metode pengumpulan data, wawancara, observasi, dan dokumentasi di Mandailing Natal, Sumatera Utara. Subjek atau informan dalam penelitian ini terdiri dari tujuh orang, antara lain dua orang dari kalangan tokoh masyarakat dan agama, tiga orang dari keluarga yang baru melangsungkan pernikahan – usia pernikahannya sepuluh tahun, dan dua orang lainnya keluarga dengan usia pernikahan di atas sepuluh tahun. Hasil penelitian ini menunjukkan, bahwa dalihan na tolu sangat berperan penting dalam upacara-upacara adat. Hal ini menimbulkan rasa saling menghormati, saling memberi dan saling menerima, saling mendengar satu sama lain. Pentingnya pembentukan sumber daya manusia berbasis keluarga juga bisa dilihat dari konsep investment in children, memahami perlunya penguatan keluarga sebagai wahana pengembangan sumber daya manusia dari sudut pandang orientasi nilai dan perkembangan daya nalar anak, perlunya penguatan keluarga sebagai sarana pengembangan sumber daya pengetahuan, juga sebagai pendidik di atas semua keluarga. Mandailing dalam pendidikan keluarga, terdapat nilai-nilai sebagai temuan dalam penelitian ini, di antaranya: (1) kedisiplinan, (2) Menanamkan Tauhid dan Aqidah, (3) Memperlakukan anak dengan Kasih Sayang, (4) Berlaku adil pada setiap anak, (5) Memberikan teladan kepada anak, (6) Mangompa Manuk, (7) Mangupa. Persepektif masyarakat Mandailing atas tanggapan yang bermunculan dari masyarakat mengenai pelaksanaan adat pada pernikahan, mencakup (1) sakral, (2) pelestarian budaya, (3) dikenal banyak orang, (4) nilai kekeluargaan yang terjaga. Sebaliknya, tanggapan yang bermunculan dari masyarakat yang tidak melangsungkan tradisi pada pernikahannya, mencakup (1) pergeseran budaya, (2) tidak ada paksaan, (3) hak keluarga besar.NIM.: 19200010085 Syaiful Hadi Pulungan2021-11-09T03:43:59Z2021-11-09T03:43:59Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/46477This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/464772021-11-09T03:43:59ZSEJARAH TRADISI KATOBA DI KERAJAAN MUNA, SULAWESI TENGGARA PADA MASA PEMERINTAHAN RAJA LA ODE ABDUL RAHMAN (1671-1716)Katoba berasal dari kata toba yang berarti penyesalan. Tradisi katoba dilaksanakan setelah seorang anak melaksanakan tradisi kangkilo (sunatan secara tradisional). Tradisi katoba merupakan ritual masyarakat Muna yang mengandung ajaran pendidikan karakter dan tata-cara interaksi sosial untuk membentuk karakter masyarakat dengan berlandaskan pada nilai-nilai Islam. Nasihat penting dalam pelaksanaan tradisi katoba yaitu dososo (menyesal), dobhotuki (memutuskan), dofekakodoho (menjauhkan), dan dofekomiinahi (menolak untuk mengulangi). Masyarakat Muna mengawali tradisi katoba melalui serangkain proses islamisasi dan akulturasi nilai-nilai fundamental suku Muna dengan nilai-nilai Islam. Pelaksanaan tradisi katoba pertama kali terjadi pada masa pemerintahan Raja Muna XIII (1671-1716) yaitu Raja La Ode Abdul Rahman yang bergelar Sangia Latugho. Sejak saat itu, tradisi katoba terus berkembang, tetap dipertahankan dan hidup di tengah-tengah masyarakat Muna, Sulawesi Tenggara. Penelitian ini menggunakan teori perubahan sosial yang diungkapkan oleh William F. Ogburn sebagai alat analisis. Teori ini digunakan untuk melihat perubahan nilai, sikap dan perilaku sosial. Sebagai sebuah tradisi, perkembangan tradisi katoba telah melahirkan perubahan-perubahan baik pada tataran ide maupun nilai filosofis masyarakat Muna. Pendekatan yang digunakan yaitu antropologi-agama yang mempelajari fenomena kebudayaan dan tingkah laku manusia yang menekankan pada aspek-aspek religiusitas. Metode penelitian yang digunakan yaitu metode penelitian sejarah yang terdiri dari heuristik (pengumpulan sumber), verifikasi (kritik sumber), interpretasi (analisis data) dan historiografi (penulisan sejarah). Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Pertama, islamisasi kerajaan Muna terjadi dalam 3 periode dakwah sejak tahun 1546 hingga tahun 1671. Kedua, sejarah pelaksanaan tradisi katoba berkaitan erat dengan proses masuk dan berkembangnya Islam di Kerajaan Muna. Ketiga, tradisi katoba adalah tradisi yang sangat esensi bagi masyarakat Muna sebagai gerbang awal dalam penanaman nilai-nilai agama Islam dan pendidikan karakter berbasis tradisi (character building).NIM.: 17101020060 Abdul Rauf Ode Ishak2021-11-02T05:57:43Z2021-11-02T05:57:43Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/46244This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/462442021-11-02T05:57:43ZRESEPSI DAN MAKNA AYAT AL-QUR’AN DALAM RITUAL MAPPANINI BOSI/MENANGKAL HUJAN MASYARAKAT SUKU BUGIS BONE DI KABUPATEN BONE SULAWESI SELATANTesis ini membahas tentang praktek mappanini bosi atau menangkal hujan masyarakat suku bugis di Kabupaten Bone Sulawesi Selatan. Ritual mappanini bosi ini cukup unik untuk diteliti sebab dalam ritualnya masyarakat setempat menggunakan ayat Al-Qur’an sebagai mantra, dan berbeda dengan praktek menangkal hujan masyarakat Indonesia pada umumnya. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bentuk resepsi masyarakat terhadap ayat Al-Qur’an serta melihat bagaimana masyarakat memaknai ayat Al-Qur’an dalam ritual mappanini bosi. Oleh sebab itu, penulis merumuskan beberapa pertanyaan. Bagaimana makna objektif, makna ekspresif, makna dokumenter ayat-ayat Al-Qur’an dalam ritual mappanini bosi masyarakat suku bugis Kabupaten Bone?. Bagaimana masyarakat suku Bugis di Kabupaten Bone meresepsi ayat-ayat Al-Qur’an dalam ritual mappanini bosi ?.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan jenis penelitian lapangan (field research) yang bertempat di bagian kota Kabupaten Bone Sulawesi Selatan. Sumber data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data primer didapatkan dari hasil observasi di lapangan dan wawancara dengan para pelaku ritual dan tokoh-tokoh agama setempat. Data sekunder diperoleh dari buku-buku sosial dan keagamaan yang berkaitan dengan tema penelitian. Pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara, dan dokumentasi yang dianalisis dengan cara reduksi data, display data, dan kesimpulan. Teori yang digunakan adalah teori resepsi dan teori sosiologi pengetahuan.
Hasil dari penelitian ini menemukan bahwa makna objektif yang ditemukan adalah praktek mappanini bosi ini wajib dilakukan setiap kali akan menggelar acara-acara besar. Konteks sosial masyarakat bugis Bone mengharuskan ritual mappanini bosi ini wajib dilakukan di setiap acara besar sebelum dimulai. Makna ekspresif yang dimunculkan adalah, sebagai pengantar agar hajat yang dilakukan lancar tanpa hambatan, sebagai sarana untuk memperlancar rezeki, sebagian merasakan ketenangan hati dan jiwa setelah membaca bacaan-bacaan itu. Makna dokumenternya adalah Al-Qur’an telah menyatu di dalam jiwa mereka, hal ini dapat dilihat sebelum melakukan aktifitas kesehariannya, mereka selalu mengaplikasikan bacaan-bacaan Al-Qur’an misalnya sebelum minum membaca bismillah, setelah makan pun membaca hamdalah. Begitupun dalam ritual mappanini bosi, bacaan bismillahirrahmanirrahim, shalawat, surah Al-Ikhlas, dan surah Al-Kautsar. Rangkaian ritual mappanini bosi menunjukkan bentuk usaha yang tinggi dan sesuai dengan ajaran para ulama terdahulu (Al-Qur’an dan Hadis). Resepsi ayat Al-Qur’an dalam ritual mappanini bosi ini merupakan ajaran para ulama terdahulu yang kemudian dilestarikan dengan kepercayaan nenek moyang dan telah menjadi tradisi bagi masyarakat bugis Bone. Bacaan yang diajarkan itu memiliki hubungan diakronis dengan Al-Qur’an dalam konteks dan praktek di masa awal, artinya ayat tersebut mengalami proses transmisi transformasi. Terdapat beberapa hadis yang menunjukkan bahwa bacaan-bacaan dalam ritual mappanini bosi telah diresepsi jauh sebelum Islam masuk ke Nusantara dengan konteks dan praktek yang berbeda. Kandungan dari hadis-hadis tersebut kemudian diajarkan kepada masyarakat dengan memasukkannya kedalam ritual yang kental dengan paham animisme dan dinamismeNIM.: 18205010078 Muh. Mu’ads Hasri2021-10-25T06:31:34Z2021-10-25T06:31:34Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/45879This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/458792021-10-25T06:31:34ZPERUBAHAN SISTEM KEKERABATAN MATRILINEAL ORANG MINANGKABAU DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTAThe practice of adapting Javanese culture by the people from
Minangkabau who live in Special Region of Yogyakarta induces a
change in their matrilineality kinship system. In this study the
Minangese is chosen because the system indicates their ethnic identity.
To analyze the system the dissertation focuses on (1) the
matrilineality kinship system itself among Minangese in Yogyakarta,
and (2) why it shifts in this community. This qualitative research
employed anthropology approach to study the issue with negotiation
and Muslim feminism theories as the theoretic framework. Data were
obtained from observation, in-depth interview, and documentation and
were analyzed by reducing, displaying, and concluding methods.
The results showed that: first, the previously extended family
became nuclear one as it was indicated by the role-shift of mamak (MB)
from the sole decision maker in the female-side relatives (SC) to simply
a kind of formality. Second, Minangese-Javanese marriage has ruined
ideal one existed in the matrilineality kinship. This two-culturedmarriage
phenomenon also deprived traditional ceremonies such as
giving custom title to male Minangese.
Third, gender equality existed in a family from which equality
in the rights to work and to take decisions came. Fourth, parent-child
communication pattern melted away to be more permissive and less
tight and not exclusive anymore. Fifth, traditional ceremonies like
music and performances tended to move to new creations. Sixth, a new
inheritance system among Minangese in Yogyakarta emerged and
tended to comply Javanese culture.NIM.: 17300016060 Jufri Naldo2021-10-22T08:11:29Z2021-10-22T08:11:29Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/45475This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/454752021-10-22T08:11:29ZKONSTRUKSI PENGETAHUAN DAN STRATEGI DIALOG KIAI DALAM PERUBAHAN TRADISI SALAMET BHUMI DI KANGEANTradisi ritual Salamet Bhumi bagi masyarakat Kangean kala itu dianggap sebagai salah satu upacara ritual yang sangat penting sehingga barang siapa yang mengusik ritual tersebut tidak segan untuk dihabisi nyawanya. Ritual ini, bagi masyarakat Kangean dimaksudkan sebagai pembersihan tanah atau bumi dari segala bentuk keburukan atau kemalangan menjelang musim tanam padi. Seiring berjalannya waktu, muncullah dua sosok Kiai yang berbeda pendapat tentang tradisi tersebut. Kedua kiai ini yaitu KH Abdul Adhim dan KH Ahmad Zaini. Keduanya berlatar belakang pendidikan Nahdlatul ulama. Proses dialog antara kedua ini pun berlangsung di beberapa kesempatan tanpa menemukan titik temu. Sekitar dua tahun dialog tersebut berlangsung, sehingga dalam rapat kewedanan yang dihadiri oleh para aparatur pemerintah dan para tokoh agama, termasuk kedua Kiai ini, diputuskan bahwa upacara puncak dalam rangkaian prosesi salamet bhumi, yang biasanya dilakukan di alun-alun Arjasa dengan prosesi penyembelihan kerbau putih dan penguburan kepala serta ususnya di bawah pohon beringin di tengah alun-alun Arjasa, untuk ditiadakan.
Penelitian ini memandang peristiwa perubahan yang terjadi pada tradisi Salamet Bhumi tersebut sebagai apa yang oleh Foucault diistilahkan dengan peristiwa discontinuity. Peristiwa ini terjadi sebagai penanda adanya suatu pergeseran pada episteme. Adanya pergeseran Episteme diakibatkan bertemunya relasi-relasi yang terwakilkan oleh agen-agen kreatif dengan pengetahuan dan identitas masing-masing. Dalam pertemuan ini dialog menjadi ranah dimana agen menampakkan fungsi identity, ideational dan relationnya.
Dengan demikian, penelitian ini berusaha untuk mengungkap apa saja perubahan yang diakibatkan oleh proses dialog yang berujung pada peristiwa discontinuity tersebut. Mengungkap konstruksi pengetahuan sang agen sebagai fungsi identity dan ideationalnya dengan menganalisa konten surat-surat dialogis keduanya. Menganalisa serta memetakan karakter dan strategi dialog sang agen sebagai fungsi Relationnya.
Dari hasil penelitian ditemukan bahwa timbulnya dialog ini disebabkan perbedaan dua cara pandang: KH Abdul Adhim memandang bahwa dalam Salamet Bhumi terdapat prosesi yang dikhawatirkan dapat bertentangan dengan syariat islam. Sementara itu, KH Ahmad Zaini memandang bahwa tidak ada yang bertentangan dengan syariat islam dalam prosesinya. Proses dialogpun dilakukan dengan penuh penghormatan terhadap lawan masing-masing. Adapun strategi penentu akan keberhasilan dialog ini adalah pengamalan etika yang baik dan meluas dalam merajut jejaring kuasa ilmu pengetahuan. Dialog tersebut berakibat pada berkurangnya keyakinan terhadap kesakralan Salamet bhumi, perubahan pada format tradisi pra tanam padi masyarakat Kangean dan terbangunnya kohesi sosial warga NU dan Muhammadiyah. Proses diskursif Kiai sebagai jejaring kuasa ilmu pengetahuan yang didengar oleh masyarakat ini mempunyai andil yang besar terhadap dinamika perkembangan tradisi dan keyakinan masyarakat Kangean.NIM.: 1620011018 Ahmad Faiq Nur2021-10-19T09:59:25Z2021-10-19T09:59:25Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/45661This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/456612021-10-19T09:59:25ZTRADISI MAMPASINGGAHI PADA PEMINANGAN ADAT PERKAWINAN MINANGKABAU DI KECAMATAN TANJUNG RAYA KABUPATEN AGAM SUMATERA BARATSistem kekerabatan matrilineal Minangkabau yang selalu unik untuk
ditelisik. Dengan menjadikan perempuan Minangkabau sebagai kepala rumah
tangga, guna menjaga eksistensi peradaban dan ketahanan adat. Dengan demikian
dirasa perlu dalam mempersiapkan dan mengajarkan perempuan Minangkabau
untuk menghadapai kehidupan rumah tangga dikemudian hari. Maka dalam adat
Minangkabau persiapan ini dipraktikkan dalam sebuah tradisi mampasinggahi
yang dilihat dari potret perubahan tradisi mampasinggahi yang dilaksanakan pada
saat ini. Berangkat dari hal tersebut, peneliti ingin melihat bentuk pelaksanaan dan
alasan-alasan masyarakat Tanjung Raya mempertahankan tradisi ini serta
kesesuaiannya dengan nilai-nilai lokal masyarakat Tanjung Raya.
Dalam menjawab hal tersebut, peneliti menggunakan pendekatan normatifempiris
dengan menjadikan falsafah adat basandi syara’, syara’ basandi
Kitabullah di Minangkabau sebagai acuan utama dalam menganalisis dengan
menyesuaikan adat dengan hukum Islam. Untuk menguatkan eksistensi dari
penelitian ini, penulis menggabungkannya dengan nilai-nilai lokal yang ada pada
masyarakat Tanjung Raya Kabupaten Agam Sumatera Barat. Penelitian ini
merupakan penelitian lapangan (field research) yang menggali secara mendalam
praktik mampasinggahi sebagai data primer dan sekunder sebagai literaturliteratur
pendukung.
Penelitian ini menemukan praktik dan alasan-alasan masyarakat Tanjung
Raya mempertahankan tradisi mampasinggahi yang disesuaikan dengan nilai-nilai
lokal masyarakat Tanjung Raya. Praktik mempasinggahi tetap dilaksankan
berdasarkan keputusan Ninik mamak di masing-masing nagari. Alasan-alasan
tradisi mampasinggahi masih dipertahankan, pertama rasionalitas nilai tradisi
mampasinggahi menjadi daya tarik bagi masyarakat dalam melaksanakannya
sebagai penghormatan terhadap adat, sebagai ajang pembelajaran, pengenalan
bagi kedua calon mempelai, dan melihat perilaku keseharian dari calon menantu.
Kedua, adat mampasinggahi masih termasuk pada kategori diterimanya urf dan
tidak bertentangan dengan hukum Islam. Ketiga adat yang sudah begitu lama dan
sukar untuk dihilangkan dengan alasan banyak kebaikan yang terdapat di
dalamnya. Kesesuaiannya dengan nilai-nilai lokal Masyarakat Minangkabau
membuktikan dinamisnya suatu adat dengan tetap berpegang kepada adat sopan
santun berdasarkan sumbang duo baleh. Maka, tradisi mampasinggahi
berdasarkan nilai-nilai lokal masyarakat yang ditetapkan berdasarkan musyawarah
(kato nan bulek, saciok bak ayam, sadantiang bak basi), selaras dengan nilai-nilai
agama Islam berdasarkan falsafah adat Minangkabau yang mesti disesuaikan dari
perkembangan zaman yang terjadi.NIM.: 18203010112 Dodi Syaputra, S.H2021-10-12T04:22:38Z2021-10-29T06:17:21Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/45295This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/452952021-10-12T04:22:38ZPERUBAHAN UPACARA ADAT NYANGKU DI PANJALU CIAMIS, 1990-2017 MNyangku merupakan sebuah kebudayaan yang berasal dari Panjalu,
Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Kebudayaan tersebut diwariskan secara turun
selama ratusan tahun silam. Upacara adat ini bertujuan untuk mensyukuri nikmat
Islam, menjadi penyambung silaturahmi bagi masyarakat, mengenang jasa leluhur
dan mendoakan leluhur yang telah menyebarkan ajaran Islam, khususnya
Sanghyang Prabu Borosngora. Seiring perkembangan zaman, terjadi banyak
perubahan dalam upacara adat yang dipengaruhi banyak faktor. Hal tersebut turut
mempengaruhi nilai dan fungsi dari upacara adat terhadap masyarakat, khususnya
dalam kurun waktu tahun 1990-2017 sebagai tahap signifikan dalam
perkembangan upacara adat nyangku. Berdasarkan penjelasan tersebut, fokus
masalah Penulisan ini adalah bagaimana latar belakang upacara adat nyangku,
bagaimana perkembangan upacara adat nyangku dan bagaimana pengaruh
perkembangan upacara adat nyangku terhadap masyarakat Panjalu.
Penulisan ini adalah Penulisan sejarah, dengan pendekatan budaya. Secara
historis diarahkan kepada perkembangan upacara adat nyangku, secara budaya
ditekankan pada upacara adat tersebut. Untuk itu, pembahasan Penulisan diacu
dengan konsep-konsep : sosial-budaya, upacara adat dan perubahan upacara
adat/budaya, dengan landasan teori evolusi dari Lewis Morgan. Penulisan ini
menggunakan metode sejarah empat tahapan Penulisan sebagai berikut :
heuristik, verifikasi, interpretasi dan historiografi.
Hasil Penulisan ini adalah sebagai berikut: Pertama, belum diketahui
secara jelas kapan kemunculan pertama upacara adat nyangku. Namun, sejak awal
kemunculannya, upacara adat nyangku dimanfaatkan untuk mengumpulkan
masyarakat Panjalu untuk menyampaikan ajaran Islam. Dalam prosesi utamanya
upacara adat nyangku dimaksudkan untuk menghormati leluhur yang membawa
ajaran Islam dan bersyukur kepada Allah SWT., atas nikmat Islam di Panjalu
dengan melakukan dzikir dan shalawat hasyim sepanjang ritual utama. Kedua,
upacara adat nyangku mengalami perubahan dan perkembangan secara signifikan
pada tahun 1990-2017. Dimulai dengan periode awal dengan membentuk
pengelola secara struktural pada tahun 1990-1999, periode pembaruan upacara
adat nyangku dengan memunculkan modernisasi dalam pelaksanaannya pada
tahun 2000-2011 dan diakhiri oleh periode pelestarian upacara adat nyangku
dengan diajukannya upacara adat nyangku sebagai salah satu Warisan Budaya
Tak Benda pada tahun 2012-2017. Ketiga, perubahan dan perkembangan yang
terjadi pada upacara adat nyangku turut mempengaruhi berbagai aspek kehidupan
masyarakat Panjalu, diantaranya bidang keagamaan, sosial, budaya dan ekonomi.
Pengaruh tersebut dirasakan langsung oleh masyarakat Panjalu, terutama dalam
bidang keagamaan sebagai media dakwah bagi masyarakat dengan diadakannya
tabligh akbar dan dzikir lalu dalam bidang sosial sebagai sarana saling berbagi
bagi masyarakat kurang mampu dan dalam bidang ekonomi sebagai peningkat
pemasukan dan lapangan pekerjaan bagi masyarakat maupun pemerintah Panjalu.NIM.: 16120083 Mochammad Fikri Al Mauludi2021-10-06T08:28:31Z2021-10-06T08:28:31Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/45072This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/450722021-10-06T08:28:31ZETIKET KULTURAL RELIGIUS: TRADISI CIUM TANGAN DI KALANGAN UMAT MUSLIM DAN PROTESTAN DI KOTA BLITARSebagai bagian dari dunia ini Indonesia juga tergerus dengan
perkembangan jaman di berbagai sisi kehidupan manusia. Globalisasi membuat
masyarakat Indonesia juga mengalami kemajuan pesat di bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi. Namun sangat disayangkan secara moral kehidupan
bangsa yang terkenal dengan adat “ketimuran” yang menjunjung tinggi sopan
santun ikut memudar. Sehingga dapat dikatakan bahwa kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi semakin canggih tetapi peradaban semakin merosot.
Sebenarnya Indonesia memiliki warisan budaya yang sangat kaya, dari
mulai petuah sampai dengan tindakan yang sangat berguna untuk memelihara dan
menjaga kehidupan moral manusia Indonesia. Cium tangan adalah salah satu
contoh yang masih dipelihara dalam kehidupan sebagian kecil masyarakat
Indonesia yang mulai tergerus lewat hadirnya budaya modern. Pada umumnya
Cium tangan dilakukan oleh umat muslim yang terlihat sepele dan seperti rutinitas
biasa yang dilakukan oleh anak kepada orangtua, dan Istri kepada suami, murid
kepada guru dan lain sebagainya. Tetapi di kota Blitar cium tangan tidak hanya
dilakukan oleh kaum muslim saja, hampir semua masyarakat dari berbagai agama
melakukan hal itu. Lalu menjadi pertanyaan apakah cium tangan itu berasal dari
Arab atau Jawa? Dan apakah makna dibalik cium tangan itu sebenarnya? Apakah
ada nilai-nilai religiusitas di dalamnya atau hanya sekedar nilai kultural atau
bahkan dilakukan tanpa nilai.
Metode yang digunakan untuk penelitian ini adalah dengan metode
penelitian kualitatif berdasakan pendekatan antropologi hermeneutik dari Geertz
dan teori-teori sosial lainnya untuk melihat kehidupan keagamaan dalam
kehidupan sosial kemasyarakatan di Kota Blitar dalam pelaksanaan cium tangan.
Penyusun melakuakn pengumpulan data dengan teknik observasi partisipatif,
wawancara, analisis data dan deskriptif kualitatif.
Lewat penelitian yang penyusun lakukan di dapatkan hasil bahwa Cium
tangan adalah sebuah etiket yang berasal dari akulturasi budaya Jawa dan Agama
Islam. Etiket mungkin sering dikesampingkan dalam kehidupan manusia apalagi
di dunia modern dengan kemajuan teknologi Informasi dimana semua bergerak
dengan cepat dan menghasilkan keterasingan satu dengan yang lainnya. Agama
tidak hanya soal hubungan manusia dengan Tuhan tetapi hubungan manusia
dengan sesama juga (Habluminallah, Habluminannas). Terkait dengan itu
keberadaan keberadaan cium tangan sebagai salah satu etiket kultural religius
sangatlah penting, untuk membangun ikatan emosi dan penghargaan terhadap
sesama manusia dan tentunya orang yang lebih tua. Karena itu karya tulis ini
semoga dapat menjadi berkah bagi masyarakat Blitar dalam mempertahankan
tradisi cium tangan. Selain itu persepektif masyarakat Indonesia dan Agama di
Indonesia hendaknya tidak memandang budaya dan tradisi sebagai sesuatu yang
negatif saja sifatnya melainkan sebagai kekayaan yang berharga bagi
kemaslahatan manusia Indonesia.NIM.: 18200010154 Samuel Charlies Mowoka2021-10-06T08:06:57Z2021-10-06T08:06:57Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/45065This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/450652021-10-06T08:06:57ZMEMAHAMI TRADISI SLAMETAN KEMATIAN: STUDI AKULTURASI BUDAYA DALAM KOMUNITAS ISLAM DAN KRISTEN DI PERUMAHAN INKOPAD DESA SASAK PANJANG BOGORThere are two special moments which are often celebrated in human life,
named birth and death. In Indonesian archipelago, the celebration of these two
moments is known as the slametan, although in some areas it has a special
designation. This thesis focuses specifically on the death slametan tradition. There
are several previous studies that also raise the slametan tradition of death more
focused on the Javanese Islamic tradition, both from the perspective of history and
fiqh. This thesis is different from previous studies, the author focuses on the death
slametan in Javanese Islamic and Javanese Christian traditions which encountering
religious communities.
The death slametan tradition is one of the cultural constructs that are carried
out operatively in the life of the general public and religion when their family
members are dying. But in general, publican and religious communities carry out
the slametan of death with an awareness that it is God who creates life, so that
humans who are given the opportunity to enjoy life should give Him thanks. By
using a qualitative approach, which is based on the theory of acculturation of culture
and religion, this study aims to explain the root of the development of the death
slametan tradition, and to describe how this death slametan tradition takes place
and is understood by the community, and maps the community's efforts in facing
obstacles and challenges in implementing the practice. In this study I used the
Appreciative Inquiry method to analyze the field data through participatory
observation and in-depth interviews with Muslim and Christian communities in the
Inkopad, Bogor.
The important finding of this research is that the death slametan tradition is
capable of being a place of encounter that presents interreligious dialogue which
upholds the noble values of harmony and kinship to achieve harmonious relations
between humans and God, humans and others, and humans with God's creation.
The death slametan tradition is able to open up spaces for multiethnic and
multireligious community encounters by dismantling the barriers of differences and
framing them in a harmonious interfaith dialogue.NIM.: 18200010145 Deasy Elizabeth Wattimena-Kalalo2021-10-06T03:14:28Z2021-10-06T03:14:28Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/44732This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/447322021-10-06T03:14:28ZPEMAKNAAN SIMBOL TRADISI LOKAL GREBEG SYAWAL DI BUKIT
SIDOGURO DESA KRAKITAN KECAMATAN BAYAT KABUPATEN KLATENBudaya merupakan sebuah cara pandang hidup yang bisa berkembang, dibagikan oleh sekelompok orang, serta diwariskan dari generasi ke generasi. Dalam kebudayaan grebeg syawal didesa krakitan yang masih dilestarikan dan masyarakat antusias dalam perayaan karena memiliki nilai historis dan nilai keyakinan sebuah makna yang masih dipegang. Dalam penelitian ini bertujuan unntuk mengetahui bagaimana masyarakat memaknai tradisi grebeg syawal. Penelitian ini dilaksanakan di desa krakitan, kecamatan bayat, kabupaten klaten dengan menggunakan metode penelitian kualitatif deskirptif serta dengan menggunakan pendekatan fenomenologi untuk mendapat gambaran dalam prespektif yang mendalam. Penelitian ini dikaji dengan menggunakan kacamata teori interaksionis simbolik. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan cara observasi tempat terselenggaranya acara grebeg syawal, wawancara untuk langsung mendapatkan informasi dari anggota pemerintah desa dan masyarakat desa krakitan dan dokumentasi untuk memperoleh data data berupa gambar. Analisis data melalui tahapan pengelompokan data, reduksi data, model data dan pernarikan kesimpulan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masyarakat desa krakitan memaknai tradisi grebeg syawal sebagai ungkapan rasa syukur, permohonan maaf atas semua kesalahan yang telah lalu dan sebagai wujud ikatan sosial masyarakat media silaturahmi antar masyarakat.NIM.: 17107020027 Mohammad Syamsul Huda2021-09-20T08:35:14Z2021-09-20T08:35:14Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/44620This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/446202021-09-20T08:35:14ZKOMUNIKASI NEGOSIASI DALAM UPAYA MENDAPATKAN WALI NIKAH PADA TRADISI MERARIQ DI GENGGELANG LOMBOK UTARAUntuk menghadirkan wali nikah pada tradisi merariq harus melalui
komunikasi negosiasi. Komunikasi negosiasi sebagai satu-satunya cara untuk
melakukan tawar-menawar dalam pembayaran ajikrama dan pisuka. Negosiasi
dilakukan oleh kedua keluarga mempelai, karena kedua pihak memiliki
kepentingan berbeda. Keluarga mempelai wanita menginginkan terpenuhinya
pembayaran ajikrama dan pisuka, sedangkan keluarga mempelai laki-laki
menginginkan pembayaran ajikrama dan pisuka sesua dengan tingkat
kemampuan yang dimilki. Oleh karena itu, diperlukan kemampuan
komunikator dalam memahami setiap permsalahan dalam proses komunikasi
negosiasi agar kedua cmempelai dapat menikah sesuai syariat Islam.
Penelitian ini menggunakan dua teori yaitu teori tindakan komunikatif
dan teori komunikasi negosiasi. Metode yang digunakan adalah kualitatif
dengan pendekatan fenomenologi yang bersifat menggambarkan, induksi,
tetapi dipahami secara utuh yang menekankan pada kognisi sekaligus
mengarah pada penemuan.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa tindakan masyarakat
Genggelang, melakukan komunikasi negosiasi dapat dikatakan sebagai
tindakan komunikatif. Berdasarkan tujuan, norma dan kemampuan
komunikator dan komunikan dalam melakukan negosiasi. Tujuan dari
komunikasi adalah untuk mendapatkan kesepakatan, dan norma dalam
negosiasi adalah norma berbicara, mendengarkan, berpakian, bertindak.
Sedangakan kemampuan komunikator dan komunikan saat bernegosiasi yaitu
memiliki kredibilitas, memiliki daya tarik dan kpribadian yang baik, memiliki
keterampilan dalam mendengarkan.
Model komunikasi negosiasi antara kedua keluarga mempelai adalah
negosiasi berprinsip. Sehingga posisi tawar kedua keluarga mempelai lebih
menekankan atas dasar kekeluargaan dan kebersamaan. Dengan menggunakan
stretegi integratif dan strategi distributif untuk menghasilkan kesepakatan.
Sehingga akhir dari komunikasi negosiasi dengan ditandai dengan
kesepakatan. Penyerahan ajikrama dan pisuka sebagai tanda bahwa kedua
mempelai akan menikah. Namun dampak komunikasi negosiasi yang
kompulsif, akan menimbulkan konflik yang berkelanjutan antara kedua
mempelai maupun kedua keluarga mempelai, hal ini justru bertentangan
dengan nilai-nilai dakwah.NIM.: 17202010016 Andi Tamrin2021-09-17T06:40:42Z2021-09-17T06:40:42Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/44525This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/445252021-09-17T06:40:42ZSIMBOLISASI KEKERASAN DALAM SEDEKAH BUMI (STUDI CONFLICT PREVENTIVE TERHADAP RITUAL SEDEKAH BUMI JEMBUL DESA BANYUMANIS KECAMATAN DONOROJO KABUPATEN JEPARA)Penilitian ini dilakukan di wilayah Desa Banyumanis Donorojo Jepara,
dengan judul Simbolisasi Kekerasan dalam Sedekah Bumi (Studi Conflict
Preventive Terhadap Ritual Sedekah Bumi Jembul Desa Banyumanis Kecamatan
Donorojo Kabupaten Jepara). Riset ini untuk menjawab tiga hal; Pertama
Bagaimana pelaksanaan sedekah bumi jembul di Desa Banyumanis, Kecamatan
Donorojo, Kabupaten Jepara? Kedua, Mengapa terdapat simbolisasi kekerasan
dalam ritual Sedekah Bumi Jembul Desa Banyumanis, Kecamatan Donorojo,
Kabupaten Jepara? Dan yang ketiga Apa relevansi simbolisasi kekerasan dalam
ritual sedekah bumi jembul terhadap pencegahan konflik sosial di Desa
Banyumanis, Kecamatan Donorojo, Kabupaten Jepara?.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif sehingga aksentuasinya
berupa data deskriptif, dan hasil wawancara yang kemudian dianalisis
menggunakan teori interaksionisme simbolik dan pencegahan konflik, fungsinya,
untuk melihat lebih dalam terkait ritual sedekah bumi jembul yang didalamnya
terkandung makna dan simbol yang diilhami masyarakat Desa Banyumanis.
Melalui pemaknaan dari simbol pada ritual sedekah bumi jembul, masyarakat
Desa Banyumanis memiliki instrumen budaya yang berfungsi sebagai media
pencegahan konflik sosial.
Hasil dari penelitian ini adalah Pertama, ada tiga tahapan pelaksanaan
upacara ritual sedekah bumi jembul Desa Banyumanis, yang pertama, adalah
penjemputan, perangkat desa menjemput jembul untuk dibawa ke rumah Kepala
Desa, yang kedua, ritualisasi Sedekah Bumi Jembul dengan beberapa tahap
diantaranya; mengitari jembul tiga kali, mencuci kaki kepala desa, selametan dan
resikan, yang ketiga pembubaran jembul. Tiap tahapannya mengandung makna
yang tersembunyi, yang tersirat dari simbol-simbol. yang tujuan utamanya
berdo’a bersama kepada Tuhan Yang Maha Esa, memohon keselamatan dan
mengingatkan arti penting persatuan dan kesatuan.
Kedua, praktek simbolisasi kekerasan terjadi pada proses pembubaran
jembul. Ketiga jembul saling memperebutkan dan mempertahankan golek raja
yang ada pada Jembul Krajan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi
terjadinya simbolisasi kekerasan dalam sedekah bumi jembul, diantaranya, adanya
perebutan golek raja, pengaruh alkohol, pengaruh cuaca, persaingan antar
kelompok dan dendam yang diwariskan. Ketiga, penulis menemukan fakta bahwa
ritual sedekah bumi jembul menjadi instrumen budaya yang mampu mencegah
warga masyarakat melakukan konflik sosial dalam skala besar. Relevansi ritual
sedekah bumi terhadap pencegahan konflik antara lain, adanya peran pemerintah
desa dan dewan adat serta partisipasi masyarakat dalam mentransformasikan
momen sedekah bumi jembul untuk merekatkan kembali persatuan dan kerukunan
dalam bingkai keanekaragaman, memupuk rasa solidaritas sosial, dengan tujuan
bersama membangun desa menuju kemakmuran, kesejahteraan. Dan yang utama,
bersama-sama memiliki harapan tentang keselamatan dan kesejahteraan
masyarakat Desa Banyumanis.NIM.: 1620510069 M. Sukron Farda2021-09-10T03:19:09Z2021-09-10T03:19:09Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/44136This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/441362021-09-10T03:19:09ZTRADISI SHALAWAT BURDAH DI MASJID KAMALUDDIN KRAPYAK YOGYAKARTA (STUDI LIVING HADIS)Di Indonesia terdapat beraneka ragam tradisi yang memiliki ciri khas
masing-masing dari setiap daerah. Salah satunya ada pembacaan shalawat burdah.
Meskipun pembacaan shalawat burdah sudah tersebar luas diseluruh penjuru
Indonesia, tetapi tradisi pembacaan shalawat burdah di Masjid Kamaluddin
memiliki ciri khas yang berbeda dari yang lainnya, yaitu berdirinya tradisi
tersebut dilandasi oleh hadis Nabi yang menjadi pedoman sang pendiri serta tokoh
agama setempat. Bermula dari sebuah hobi dan keinginan sang pendiri agar dapat
memperkenalkan urgensi pembacaan shalawat, kini tradisi shalawat burdah di
Masjid Kamaluddin berkembang pesat dan menjadi sebuah majelis shalawat
burdah yang banyak diminati oleh masyarakat terutama para pecinta shalawat.
Dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan metode kualitatif
yang bersifat deskriptif-analitik. Teori yang penulis gunakan dalam penelitian ini
yaitu teori konstruksi sosial milik Peter L. Berger karena sesuai dengan obyek
penelitian, yaitu kegiatan keagamaan di Pedukuhan Krapyak Wetan yang
melibatkan masyarakat disekitar sehingga terjadi proses konstruksi antara individu
dengan masyarakat yang kemudian menghasilkan suatu majelis rutin shalawat
burdah.
Berdirinya majelis shalawat burdah di Masjid Kamaluddin berpedoman
pada sebuah hadis tentang keutamaan membaca shalawat. Majelis shalawat
burdah ini memiliki keunikan, antara lain dihadiri oleh para Habib secara
istiqomah, jamaah yang hadir tidak hanya dari masyaraat sekitar saja, dan tidak
ada penarikan biaya apapun. Terbentuknya majelis ini tak lepas dari proses
konstruksi sosial yang terbagi ke dalam tiga tahapan. Pertama proses
eksternalisasi, yaitu bermula dari bapak Yussi Rizal beserta para pemuda di
Pedukuhan Krapyak Wetan yang gemar mengikuti majelis shalawat burdah Habib
Rifqi di Sleman, kemudian melahirkan suatu majelis sendiri yang didirikan di
Masjid Kamaluddin. Jamaah yang hadir hingga saat ini mencapai sekitar dua ratus
lima puluh hingga tiga ratus orang setiap bulannya. Selanjutnya proses
obyektivasi, yaitu majelis shalawat burdah tersebut memberikan pengaruh positif
bagi masyarakat disekitar, antara lain menjadi wadah silaturrahim antarwarga
Pedukuhan Krapyak Wetan, menambah ghirah terhadap pembacaan shalawat,
memberikan peluang untuk bersedekah, dll. Sedangkan proses internalisasi yang
terjadi dalam majelis ini terbagi ke dalam 4 bagian, yaitu keutamaan membaca
shalawat, keutamaan bersedekah, keutamaan mengajak kepada kebaikan dan
keutamaan menghadiri majelis ilmu. Proses kontruksi sosial terjadi secara
berulang dan menimbulkan beragam inovasi dalam majelis shalawat burdah di
Masjid Kamaluddin.NIM.: 16550017 Siti Aminah2021-09-03T05:44:36Z2021-09-03T05:44:36Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/43766This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/437662021-09-03T05:44:36ZHUBUNGAN ISLAM DALAM BUDAYA JAWA PADA KESENIAN KUNTULAN DI DESA KLAREYAN, 2000-2019Kesenian Kuntulan merupakan kesenian tradisional yang berasal dari
Kabupaten Pemalang yang gerakannya menggunakan gerakan silat dengan
diiringi sholawat Nabi Muhammad dan menggunakan alat musik berupa
terbang dan bedug. Kesenian Kuntulan ini dapat dikatakan wujud akulturasi
antara kebudayaan Islam dan Jawa. Keunikan dari Kesenian Kuntulan adalah
berbeda dengan kesenian yang ada di Kabupaten Pemalang yaitu dalam segi
fungsi, nilai dan gerakan.
Berdasarkan penjelasan di atas, masalah-masalah yang peneliti bahas
dalam penelitian ini adalah asal-usul dan perkembangan Kesenian Kuntulan
di Desa Klareyan serta nilai Islam beserta fungsi Kesenian Kuntulan bagi
masyarakat Desa Klareyan. Peneliti menggunakan pendekatan sejarah serta
teori evolusi yang dikemukakan oleh Auguste Comte dalam penelitian ini.
Penelitian ini menggunakan metode sejarah yang melalui empat tahap, yaitu
heuristik atau pengumpulan data, verifikasi yang merupakan kritik terhadap
data yang sudah terkumpul, interpretasi atau penafsiran data dan tahap yang
terakhir adalah historiografi, penelitian sejarah secara historis.
Hasil penelitian menunjukan bahwa Kesenian Kuntulan adalah
kesenian yang gerakannya menggunakan gerakan silat. Pada
perkembangannya dari masa ke masa Kesenian Kuntulan ini banyak
mengalami perubahan bentuk, penampilan dan penyajian akan tetapi kesenian
ini mengalami kemunduran karena beberapa faktor yaitu faktor ekonomi,
faktor generasi dan faktor teknologi. Kesenian Kuntulan ini dibagi menjadi
tiga bagian, yaitu bagian sembahan, bagian pasal inti dan bagian penutup.
Fungsi Kesenian Kuntulan adalah sebagai media syiar Islam, sosial ekonomi
dan sarana hiburan. Nilai-nilai keIslaman yang terkandung dalam Kesenian
Kuntulan dapat dilihat pada gerak, syair lagu, dan instrumen. Kesenian
Kuntulan memiliki nilai keIslaman berupa nilai akhlak dan nilai religi,
banyak gerakan dan syair yang mengandung nilai tersebut.NIM : 16120005 Naning Fadhilah Rahmah2021-09-01T14:02:23Z2021-09-01T14:02:23Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/43705This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/437052021-09-01T14:02:23ZKONTRIBUSI HABIB ALI KWITANG DI BATAVIA TAHUN 1338 H/ 1919 M – 1388 H/ 1968 M (STUDI KASUS : MAULID AKHIR KAMIS)Habib Ali Kwitang adalah seorang keturunan Arab yang lahir dari
pasangan Habib Abdurrahman bin Abdullah al-Habsyi dan Nyi Hj. Salma. Sejak
tahun 1329 H/ 1911 M, ia sudah aktif berdakwah melalui majelis taklim yang
didirikannya yaitu Majelis Taklim Kwitang. Selain majelis taklim, ia juga
mendirikan Madrasah Unwanul Falah dan Masjid al-Riyadh. Di tengah perjalanan
dakwahnya, ia diberikan mandat untuk menyebarluaskan Maulid Akhir Kamis.
Maulid Akhir Kamis dicetuskan oleh Habib Ali bin Muhammad bin Husein alHabsyi,
Hadhramaut, yang kemudian diteruskan oleh Habib Amuhammad bin
Idrus al-Habsyi, lalu ke Habib Ali Kwitang untuk menyebarluaskan Maulid Akhir
Kamis. Sepanjang hidupnya, Habib Ali Kwitang telah melaksanakan perayaan
Maulid Akhir Kamis sebanyak 51 kali. Ia melaksanakan perayaan melewati tiga
periode pemerintahan, dimulai sejak tahun 1338 H/ 1919 M-1388 H/ 1968 M.
Hal menarik yang diteliti dalam penelitian ini adalah pelaksanaan dan respon
masyarakat dan Pemerintah terhadap Maulid Akhir Kamis di Kwitang, dan
kontribusi Habib Ali Kwitang dalam pmenyebarluaskan perayaan Maulid Akhir
Kamis.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
sosiologi. Pendekatan sosiologi digunakan untuk mengkaji interaksi dan perilaku
sosial dari peristiwa yang diteliti. Teori yang digunakan dalam penelitian ini
adalah teori interaksionisme simbolik (symbolic interactionism). Teori yang
dikemukakan oleh G.H. Mead lebih menekankan pada tingkah laku nyata dari
interaksi antar orang terhadap simbol. Simbol yang digunakan adalah Maulid
Akhir Kamis dan diperkuat dengan Habib Ali Kwitang sebagai tokoh utama.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian sejarah dengan
menggunakan langkah heuristik (pengumpulan sumber), verifikasi, interpretasi,
dan historiografi.
Habib Ali Kwitang yang mempunyai nama asli Habib Ali bin
Abdurrahman al-Habsyi, adalah seorang keturunan Arab yang lahir pada tahun
1286 H/ 1869 M dan meninggal tahun 1388 H/ 1968 M di Batavia. Ia menuntut
ilmu di Timur Tengah selama 7 tahun dan telah melaksanakan haji sebanyak lima
kali dan menghasilkan lima buah karya dan mempunyai 4 wadah kegiatan
dakwah. Salah satunya adalah Maulid Akhir Kamis. Maulid Akhir Kamis
dilaksanakan sebanyak 51 kali. Ia melaksanakan perayaan melewati tiga periode
pemerintahan, dimulai sejak tahun 1338 H/ 1919 M-1388 H/ 1968 M. Pertama
kali diselenggarakan di Masjid al-Makmur, Sekolah Djamiat Kheir, Masjid
Djami‟ Kwitang (Masjid al-Riyadh), serta kediaman Habib Ali Kwitang. Isi
Maulid Akhir Kamis adalah ceramah dan pembacaan kitab Maulid Simtud Durar.
Respon pemerintah dan masyarakat sangat baik. Selama penelitian, penulis belum
menemukan respon negatif terhadap perayaan Maulid Akhir Kamis yang
dirayakan oleh Habib Ali Kwitang. Kontribusi Habib Ali Kwitang terletak pada
kekuatan relasi yang ia bangun dan perlakuannya terhadap para jamaahnya.
Sehingga mengundang banyak orang untuk hadir dan tertarik dengan perayaan
Maulid Akhir Kamis.NIM.: 13120072 Dina Nabilasya Zarkasyi2021-07-23T07:02:11Z2021-07-23T07:02:11Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/43079This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/430792021-07-23T07:02:11ZRESPON MASYARAKAT TERHADAP PERUBAHAN TRADISI (STUDI KASUS TERHADAP PERUBAHAN TRADISI WIWIT DI DUSUN LEDOKWARENG SARDONOHARJO NGAGLIK SLEMAN YOGYAKARTA)Perkembangan jaman memang menjadi suatu hal yang tidak dapat
dihindari. Dalam era modernisasi, banyak sekali dampak yang diakibatkan oleh
adanya era tersebut. Salah satunya ialah memudarnya tradisi warisan nenek
moyang, yakni Tradisi Wiwit yang ada di Dusun Ledokwareng, Sardonoharjo,
Ngaglik, Sleman, Yogyakarta. Perubahan tradisi ini kurang mendapat perhatian
yang serius. Dilain sisi, sebagai pewaris tradisi perlu melestarikan dan menjaga
warisan tersebut. Dalam penelitian ini, penulis fokus menggali repons-respons
masyarakat mengenai Perubahan Tradisi Wiwit.
Jenis penelitian yang penulis gunakan ialah penelitian kualitatif yang
dianalisis secara deskriptif. Dengan teknik observasi, wawancara, dan
dokumentasi. Untuk menganalisis penelitian ini, penulis menggunakan beberapa
konsep yang berkaitan dengan subjek penelitian, yakni konsep respons, tradisi,
modernisasi, dan perubahan sosial dan teori Perubahan Sosial dari Soerjono
Soekanto. Dengan konsep-konsep dan teori tersebut, dapat membantu
menarasikan hasil analisis mengenai Respon masyarakat Terhadap Perubahan
Tradisi (Studi Kasus Terhadap Perubahan Tradisi Wiwit di Dusun Ledokwareng,
Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta).
Hasil dari penelitian ini menyatakan jika masyarakat serius merespon
perubahan Tradisi Wiwit dijaman sekarang. Tradisi Wiwit bagi para petani dan
masyarakat merupakan tradisi yang dilakukan menjelang panen padi. Petani
melaksanakan Tradisi tersebut sebagai ungkapan rasa syukur atas panen yang
diperoleh. Dalam era modernisasi, Tradisi Wiwit mengalami perubahan dari segi
pelaksanaan dan dari segi pemahaman masyarakat. Menanggapi hal tersebut,
respons yang mereka berikan bersifat subyektif berdasar pengalaman dari masingmasing
orang. Selain itu, dari respons yang mereka berikan turut memunculkan
saran yang berisi upaya yang bisa dilakukan untuk melestarikan tradisi tersebut
agar tetap terjaga keberadaannya.NIM.: 16540021 Dellavia Anggita Ramadanty2021-07-22T04:55:40Z2021-07-22T04:55:40Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/42996This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/429962021-07-22T04:55:40ZMISTIK ISLAM DALAM RITUAL SENDANG PATIRTAN KAMULYAN (Pendekatan Mistik Islam Simuh)Skripsi ini berjudul, MISTIK ISLAM DALAM RITUAL SENDANG PATIRTAN
KAMULYAN (Pendekatan Mistik Islam Simuh) di dalamnya mengkaji tentang mistik
Islam atau sufisme Jawa tak bisa dilepaskan dari akarnya, yaitu tasawuf. Menurut Simuh,
tasawuf (Islamic mysticism/sufisme Islam) bisa diartikan sebagai “mistik yang tumbuh dalam
Islam.” Tujuan utama seseorang menempuh jalan tasawuf ialah untuk "bersatu" dengan
Tuhan secara makrifat. Pokok-pokok ajaran tasawuf, sebagaimana ditulis Simuh dalam
Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa, antara lain distansi (menjaga
jarak dengan nafsu serta urusan duniawi), konsentrasi (memusatkan pikiran untuk berdzikir
pada Allah), iluminasi atau kasyaf (dapat bertemu dengan Tuhan, bahkan bersatu dengan
Tuhan (Union Mistik)) serta Insan Kamil (puncak proses tasawuf di mana pribadi terkait
sudah dipandang jadi “manusia sempurna” karena berhasil “berhubungan dengan Allah”).
Ajaran mistik ini menurut Simuh, menekankan pada tercapainya Insan Kamil, yakni manusia
yang dapat mencapai "kebersatuan" dengan Tuhan. Oleh sebab itu penulis memilih
pendekatan mistik islam Simuh untuk mengkaji lebih dalam mengenai makna dan ritual yang
terdapat dalam ritual di Sendang Patirtan Kamulyan yang terletak di Dusun Bangeran,
Kelurahan Sabdodadi, Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul, Provinsi DIY sebagai salah satu
tempat yang dipercaya memiliki kekuatan magis oleh masyarakat.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kasus dan penelitian
lapangan (case study and field research). Adapun tujuan penelitian kasus dan penelitian
lapangan (case study and field research) adalah untuk mempelajari secara intensif tentang
latar belakang keadaan sekarang, dan interaksi lingkungan sesuatu unit sosial : individu,
kelompok, lembaga atau masyarakat. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan metode
penelitian deskriptif kualitatif dalam hal ini adalah prosedur penelitian yang menghasilkan
data-data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang
diamati. Data-data ini bisa berupa naskah wawancara, catatan lapangan, foto, video, dokumen
pribadi, memo ataupun dokumen resmi lainnya. Sehingga data yang dikumpulkan adalah data
yang berupa kata atau kalimat maupun gambar (bukan angka-angka). Peneliti menggunakan
metode penelitian deskriptif kualitatif karena penelitian ini membahas konsep mistis, ragam
ritual serta dampak dari ritual yang dilakukan oleh pelaku ritual dalam bermasyarakat. Selain
itu penelitian ini juga bersifat induktif yaitu cara berfikir dalam rangka menarik kesimpulan
dari sesuatu yang bersifat khusus kepada yang sifatnya umum. Dengan pendekatan ini
peneliti dapat memperoleh gambaran yang lengkap dari permasalahan yang dirumuskan
dengan memfokuskan pada proses dan pencarian makna dibalik fenomena yang muncul
dalam penelitian, dengan harapan agar informasi yang dikaji lebih bersifat komprehensif,
mendalam, alamiah, dan apa adanya.
Dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ada banyak cara yang dilakukan oleh
masyarakat (pelaku ritual) dalam melakukan ritual di Sendang tersebut demi tercapainya
insan kamil menggunakan pendekatan mistik Islam Simuh.NIM.: 15510028 Habib Ismail2021-07-19T03:59:30Z2021-07-19T03:59:30Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/42927This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/429272021-07-19T03:59:30ZTRADISI PEMBACAAN TIGA SURAT PILIHAN SEBELUM MEMULAI KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR (STUDI LIVING QUR’AN di MTs. AL-ULUM DESA DADAPAN KECAMATAN WAJAK KABUPATEN MALANG)Pembacaan atas surat tertentu dalam al-Qur’an di suatu waktu oleh
masyarakat muslim hadir bukan tanpa alasan. Aktor atau pelaku mesti memiliki
landasan yang merujuk kepada kitab-kitab dalam memberikan suatu nasehat dan
saran. Dalam praktiknya, banyak kita jumpai sekumpulan masyarakat secara
bersama-sama membaca surat Yasin untuk mendo’akan seseorang yang telah
meninggal dunia. Berbeda dengan yang terjadi di MTs. Al-Ulum Desa Dadapan,
Kecamatan Wajak, Kabupaten Malang. Para siswa-siswi di sekolah tersebut
membaca tiga surat pilihan sekaligus, salah satunya surat Yasin yang ditambah
dengan surat al-Waqiah dan al-Mulk untuk membuka kegiatan belajar mengajar di
sekolah.
Dalam penelitian ini upaya pengumpulan data peneliti melalukan tiga
teknik, yaitu observasi, wawancara dan dokumentasi. Peneliti menganalisis data
tersebut dengan analisis deskriptif dan analisis eksplanasi, serta memaknai tradisi
tersebut dengan menggunakan teori antropologi interpretatif milik Clifford
Geertz, dimana penulis tidak hanya mendeskripsikan apa yang terjadi di lapangan
saja, melainkan penulis mencoba menginterpretasikan lebih dalam lagi mengenai
tradisi tersebut.
Praktik pembacaan tiga surat pilihan sebelum memulai kegiatan belajar
mengajar di MTs. Al-Ulum adalah kreativitas dari Kepala Sekolah yang
menyisipkan kegiatan ini diantara shalat dhuha dengan kegiatan belajar mengajar
di sekolah. Jadi tradisi pembacaan tiga surat pilihan ini memiliki fungsi ganda:
pertama sebagai penyempurna ritual shalat dhuha, kedua untuk membuka dan
memulai kegiatan belajar mengajar di sekolah. Timbulnya fungsi ganda inilah
yang penulis sebut sebagai hasil nyata dari kreativitas disini atau jika tidak
berlebihan penulis menyebutnya sebagai kreativitas Qur’ani. Dalam tradisi ini
juga terlihat dengan jelas hubungan antara realita kehidupan sosial masyarakat
dengan al-Qur’an. Selain itu, makna tradisi ini ditinjau menggunakan teori
antropologi interpretatif dapat disimpulkan bahwasannya yang menjadi simbol
adalah ketiga surat pilihan yang dibaca dimana ketiga surat tersebut menjadi zikir
dan do’a yang di dalamnya terkandung pengharapan akan terkabulnya faedah dan
fadhilah dari membacanya. Makna ini telah melekat kuat di benak para pelakunya
sehingga menimbulkan perasaan dan motivasi yang kuat, yang pada akhirnya
mendorong mereka untuk selalu mengikuti dan membiasakan diri membaca ketiga
surat pilihan tersebut. Akhirnya tradisi ini menjadi suatu realitas yang unik dalam
kehidupan sehari-hari siswa-siswi MTs. Al-Ulum yang berbeda dengan
kebudayaan sebelum memulai kegiatan belajar mengajar di tempat atau lembaga
pendidikan yang lainnya.NIM.: 13530116 Khorid Iqbal Amalyn2021-06-24T07:11:18Z2021-06-24T07:11:18Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/42555This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/425552021-06-24T07:11:18ZTRADISI NGALAP BERKAH DI DUNIA PESANTREN (Studi terhadap Eksistensi Pasangan Ustadz Mukim di Pondok Pesantren Nurul Ummah Kotagede Yogyakarta)Ngalap Berkah dalam pesantren merupakan salah satu tradisi yang masih
banyak dilaksanakan meskipun masyarakat pesantren sudah berkembang ke arah
yang lebih rasional, yang dijadikan sebagai salah satu alat untuk mempererat
hubungan antar kelompok masyarakat. Tradisi ini berbentuk keyakinan bahwa
seseorang akan mendapatkan kebaikan apabila dekat dan manut (patuh) kepada
kiai. Para santri sebagai subjek yang banyak mencari manfaat “berkah” ini akan
melakukan berbagai cara untuk mendapatkan berkah dari sang kiai salah satunya
yakni dengan melakukan pengabdian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
bagaimana tradisi ngalap berkah santri, ustadz dan motif pengabdian pasangan
ustadz mukim di Pondok Pesantren Nurul Ummah.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan subyek
penelitian yaitu 3 (tiga) orang ustadz yang sudah berkeluarga yang melakukan
pengabdian di Pondok Pesantren Nurul Ummah Kotagede Yogyakarta dengan
cara menetap di lingkungan pondok beserta keluarganya Teknik pengumpulan
data menggunakan observasi, wawancara dan dokumentasi, sedangkan teknik
analisis data menggunakan model triangulasi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tradisi ngalap berkah santri,
ustadz Pondok Pesantren Nurul Ummah khususnya dalam bentuk pengabdian
memiliki ciri khusus yaitu dilaksanakan dengan tinggal di pesantren dan untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya ustadz pengabdian bekerja pada pekerjaan yang
disediakan pesantren. Motif ustadz dalam melakukan pengadian setidaknya ada
dua. Motif yang pertama ditinjau dari segi rasionalitas instrumental yang mana
bagi ustadz tindakan pengabdian diyakini mengarah pada tujuan terpenuhinya
segala kebutuhan baik kabutuhan materi, sosiologis maupun psikologis. Motif
yang kedua berdasar rasionalitas nilai yang mana tindakan dalam tradisi ngalap
berkah sendiri diyakini sebagai tradisi yang mempunyai makna dan manfaat
dengan tujuan mendapat keberkahan dari kiai. Berkah yang menjadi tujuan dari
segala tindakan pengabdian memiliki makna bagi ustadz sebagai jalan menuju
ketenangan hidup, berkah ilmu dari kiai dapat menjadi petunjuk dalam menjalani
kehidupan, serta perantara atau wasilah yang menghubungkan santri, kiai dan
Tuhan (Allah).NIM.: 14720035 Muntaha2021-03-31T08:01:52Z2022-12-13T02:48:37Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/42217This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/422172021-03-31T08:01:52ZBERTAHAN BERSAMA TRADISI DI TENGAH MODERNISASI STUDI KASUS: RITUAL SEREN TAUN DI KASEPUHAN CISUNGSANG KAB. LEBAK-BANTENKasepuhan Cisungsang merupakan salah satu desa yang masih melestarikan ritual seren taun. Kepercayaan terhadap titipan dari karuhun ini yang melandasi budaya seren taun. Sejalan dengan kepercayaan, masyarakat Kasepuhan Cisungsang cenderung cepat beradaptasi dengan berbagai perubahan zaman dan modernisasi yang ada. Berdasarkan fenomena tersebut penulis merumuskan tiga rumusan masalah yakni seberapa kuat ritual seren taun ini menjadi fungsi pengikat di tengah perubahan sosial yang ada? Kedua, siapa saja para pendukung utama ritual seren taun ? ketiga apa saja implikasi sosial budaya dalam penyelenggaraan ritual seren taun?. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui fungsi pengikat sekaligus identitas budaya seren taun, mengetahui siapa saja pendukung ritual seren taun dan mendeskripsikan implikasi sosial budaya yang terdapat dalam seren taun kasepuhan cisungsang. Penelitian in menggunakan teori utama dari Emil Durkheim yakni solidaritas mekanis dan dua teori soejono soekanto mengenai peran dan status sosial
Metode penelitian ini menggunakandeskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara, dan dokumentasi. Semua data dilihat validitas datanya menggunakan teknik triangulasi sumber dan data, serta dianalisis melalui proses reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.
Hasil penelitian menunjukan bahwa kepercayaan masyarakat Kasepuhan Cisungsang sangat erat terhadap titipan. Seren taun merupakan salah satu dari perwujudan ritual menghormati nenek moyang, menghargai alam, mensyukuri hasil bumi, memperbaiki kesalahan dan munajat lain yang mengandung harapan dan doa untuk hari yang akan datang. Maka sejauh apapun perubahan sosial dan modernisasi tidak akan menggerus kepercayaan mereka karna bagi mereka modernisasi hanyalah penunjang kebutuhan manusia, Fungsinya bukan untuk mengubah atau menggeseradat istiadat dan budaya, namun untuk mempermudah akses dan fasilitas kebutuhan sehari-hari saja.NIM.: 15230080 Lian Ahmad Fauzi2020-12-17T03:09:52Z2020-12-17T03:09:59Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/41476This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/414762020-12-17T03:09:52ZMODEL KETAATAN ABDI DALEM KARATON NGAYOGYAKARTA DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN AGAMA ISLAMSEPTI RAIH SUGANDI. Model Ketaatan Abdi Dalem Karaton Ngayogyakarta dalam Perspektif Pendidikan Agama Islam. Tesis. Yogyakarta: Program Magister Jurusan Pendidikan Agama Islam, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta 2020.
Tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah ingin mengetahui motivasi dan penyebab ketaatan Abdi Dalem Karaton Ngayogyakarta, ingin mengetahui pengaruh pembinaan keagamaan di Karaton Ngayogyakarta, dan ingin mengetahui pola ketaatan Abdi Dalem Karaton Ngayogyakarta.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian lapangan (Field Research), dan pendekatan yang digunakan yaitu analisis deskriptif kualitatif, yaitu salah satu metode penelitian yang tujuannya untuk mendapat pemahaman tentang kenyataan dengan proses berfikir induktif. Metode yang digunakan adalah dengan teknik snowball sampling dan purposive sampling. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara secara mendalam, observasi, dan dokumentasi.
Hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) motivasi dan penyebab ketaatan abdi dalem terhadap Karaton yaitu ingin mencari ketentraman dan merasakan ketentraman, ingin mencari keberkahan dan merasakan keberkahan, ingin mempertahankan identitas diri serta pelestarian budaya, mendapat tanah magersari, dan meneruskan tradisi orang tua; (2) pengaruh pembinaan keagamaan abdi dalem di Karaton Ngayogyakarta yaitu untuk semua abdi dalem tidak ada program khusus dalam pembinaan keagamaan, akan tetapi pembinaan keagamaan hanya untuk abdi dalem kaji saja mereka biasa disebut abdi dalem pethak atau pamethak, mereka bertugas menghidupkan masjid di dalam Karaton. Untuk para abdi dalem tidak hanya mendapatkan penjelasan terkait materi lisan saja akan tetapi dengan praktek. Melalui materi dan praktek abdi dalem sudah termasuk katagori taat terhadap karaton dan membentuk sikap taat, baik secara lahir maupun batin. Secara lahir sikap sopan, tata laku serta wujud taat diajarkan melalui simbol-simbol yang mereka gunakan setiap hari seperti sembah, cara berjalan, berbicara dan berpakaian dan secara batin membentuk manusia yang memiliki jiwa ksatria dan penuh konsentrasi dalam setiap menghadapi permasalahan (nyawiji) juga memiliki pendirian yang kokoh dalam mempertahankan kebenarannya (sengguh), dan berkemauan kuat mengerjakan tugasnya dengan sungguh-sungguh, bersemangat tinggi (greget) serta tidak menyeleweng kekanan dan kekiri tetapi lurus tidak tergoda oleh perkara-perkara apabila sudah memiliki keyakinan akan kebenaran; (3) pola ketaatan abdi dalem yaitu ketaatan pribadi, ketaatan sosial, dan ketaatan aturan. Dari ketiga pola tersebut dapat diambil unsur pentingnya yaitu keteladanan seorang abdi dalem. Perilaku abdi dalem yang bisa kita lihat yaitu melalui simbol-simbol yang biasa mereka gunakan setiap hari, dan itu menjadi sorotan oleh masyarakat, baik ketika abdi dalem berada di karaton maupun di luar karaton.18204011027 Septi Raih Sugandi2020-11-22T05:59:48Z2020-12-31T16:16:42Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/41308This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/413082020-11-22T05:59:48ZPERUBAHAN CARA SILATURAHMI DALAM TRADISI HALAL BIHALAL DI DUSUN MELIKAN DESA NGAWIS KECAMATAN KARANGMOJO GUNUNGKIDULPada saat hari Raya Idul Fitri setelah selesai menjalankan ibadah puasa dilakukan halal bihalal. Halal bihalal sudah menjadi budaya bangsa Indonesia dan selalu dilakukan oleh semua lapisan masyarakat, baik itu masyarakat perkotaan ataupun masyarakat pedesaan. Halal bihalal juga dilakukan di kantor kantor, instalasi pemerintah sampai desa-desa terpencil. Walaupun masih dalam konteks yang sama yaitu halal bihalal, akan tetapi tata cara dan bentuknya selalu berbeda-beda dari satu tempat dan tempat yang lain. Hal ini karena pengaruh dari adat istiadat dan perubahan sosial dalam lingkungan masing-masing. Sebagai contoh kalau di kantor kantor ada istilah alan yang diisi dengan jamuan makan selain acara maaf memaafkan, hal ini hampir mirip yang dilakukan oleh instalunsi pemerintah seperti presiden yang selalu melakukan open house" Di daerah Lamongan ada tradisi bari Raya Ketupat dan di Dusun Melikan yaitu daerah pinggiran di Kabupaten Gunungkidul ada istilah halal bihalal Budaya halal bihalal di Dusun Melikan menarik untuk diteliti, karena telah terjadi perubahan cara dan bentuk. Sebelum tahun 2000 halal bihalal dilakukan dari rumah ke rumah. Setelah tahun 2000 berubah jarang ada yang melakukan halal bihalal dari rumah ke rumah. Caranya telah berganti dengan melakukan halal bihalal di balai dusun. Kenyataan ini menuai berbagai pendapat dari masyarakat antara yang masih merasa puas dengan cara lama dan melihat cara baru memiliki berbagai kekurangan di antaranya tidak seakrab dibanding bila Halal bihalal dilakukan dari rumah ke rumah. Ada juga yang berpendapat halal bi halal lebih sederhana dan mencerminkan kerukunan antarumat beragama, karena dilakukan secara massal dan diikuti juga oleh pemeluk agama lain selain Islam. Halal bihalal cara baru juga dinilai lebih ekonomis. karena menghemat waktu, sport dan jamuan atau makanan yang disajikan di rumah. Fenomena halal bi halal ini sangat menarik untuk diteliti kaitanya dengan perubahan sosial kebudayaan. Diharapkan hasil penelitian ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan. Penelitian ini tidak lain untuk menguak perubahan kebudayaan yang secara pasti walau perlahan atau cepat, di tengah arus modernisasi yang mulai merasuk ke daerah daerah pedesaan terpencil. Selain isi, penelitian itu berusaha mencover gejolak di masyarakat terhadap arus modernisasi terutama dan khususnya dan hanya pada budayaNIM. 00540378 Nanang Nasruddin2020-11-18T06:48:29Z2022-03-02T02:03:40Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/41233This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/412332020-11-18T06:48:29ZTRADISI ROUHAH SHAHIH AL-BUKHARI DI PON. PES. MAMBAUS SHOLIHIN
GRESIK
(Studi Historis Fenomenologis)Pesantren sebagai institusi pendidikan agama Islam, juga mengkaji kitab-kitab hadis,
termasuk Shahih Al-Bukhari. Shahih Al-Bukhari dikaji dengan metode khas pesantren, yakni
bandongan. Namun di pesantren Mambaus Sholihin Gresik, kitab ini dikaji layakanya
membaca Al-Qur’an. Ia dibaca secara begantian sampai khatam selama bulan Rajab setiap
tahunnya. Kegiatan ini disebut rouhah Shahih Al-Bukhari. Hal ini menunjukkan pergeseran
kajian hadis dari kajian denga metode bandongan ke semacam ritual pembacaan biasa yang
seakan-akan tanpa makna. Hal ini lebih unik ketika ditarik lebih jauh dengan melihat
pesantren ini berada di wilayah Gresik di mana ia sebagai kawasan industri. Kawasan di
mana masyarakatnya cenderung mengalami pergeseran nilai dari yang tradisional menjadi
modern, dari yang mistis menjadi cenderung lebih rasional.
Dari latar belakang itulah, tradisi rouhah Shahih Al-Bukhari di pesantren Mambaus
Sholihin dilanjutkan dalam penelitian ini dengan dua pertanyaan, apa latar sejarah munculnya
tradisi rouhah Shahih Al-Bukhari di Pon. Pes. Mambaus Sholihin dan bagaimana memaknai
tradisi tersebut dalam konteks kekinian.
Hasil penelitian ini menemukan bahwa secara genealogis, tradisi rouhah ini memiliki
akar sejarahnya dari tradisi halaqah yang diadakan oleh ulama’ Yaman Timur Tengah.
Tradisi ini bisa sampai ke pesantren Mambaus Sholihin melalui keluarga Assegaf yang
tinggal di Gresik. Keluarga Assegaf ini merupakan imigran dari Hadramaut Yaman dan
mereka masih melestarikan tradisinya di Gresik. Relasi kiai Masbuhin Faqih, sebagai
pimpinan pesantren dengan keluarga Assegaf ini adalah karena keluarga Assegaf ini diyakini
sebagai keturunan Nabi Muhammad yang dalam pemahaman pesantren harus dihormati dan
dicintai. Dengan perspektif antropologi yang mengatakan bahwa agama terbagi menjadi
tradisi besar dan tardisi kecil, maka tradisi besar dari kegiatan rouhah ini adalah kitab Shahih
Al-Bukhari itu sendiri yang bersifat tekstual yang mengandung nilai ideal universal. Adapun
tradisi kecilnya adalah pelaksanaanya yang telah tersistematis di bulan Rajab dengan
pembukaan dan penutupannya, serta pelaksanaannya di tempat yang berbeda-beda dll.
Adapun analisa formasi diskursif dari kegiatan ini adalah adanya pengetahuan bahwa kitab
Shahih Al-Bukhari merupakan kitab dengan nilai otentisitas yang tinggi. Sehingga ia lebih
otoritatif di mata umat Islam. Selain itu ia juga bertemu dengan otoritas (kuasa) kiai
Masbuhin Faqih sebagai pimpinan pesantren yang ditaati oleh santri-santrinya. Maka
dilaksanakanlah kegiatan rouhah oleh kiai Masbuhin Faqih sebagai institusi dari otoritas
kitab Shahih Al-Bukhari yang telah bercampur dengan budaya lokal di mana rouhah ini
diadakan. Yakni di pesantren di wilayah Gresik. Makna dari rouhah Shahih Al-Bukhari
adalah bentuk rasa cinta (mahabbah) kiai Masbuhin Faqih kepada habaib dengan mengikuti
tradisi yang mereka lakukan denga tujuan dapat berkumpul dengan mereka di akhirat kelak,
juga terkabulkannya doa yang dipanjatkan dan mendapat berkah dari hadis yang dibaca. Di
samping itu, kegiatan rouhah ini sebagai bentuk melestarikan tradisi salaf di mana hal itu
merupakan pandangan dunia pesantren. Melihat rouhah ini sebagai bentuk pelestarian tradisi
salaf membatasi dan mengungkung fungsi hadis sebagai sumber pengetahuan agama Islam.
Maka perlu ada upaya penjelasan atas hadis yang dibaca dan dikontekstualisasikan dengan
kondisi saat ini agar hadis tersebut bisa relevan dengan masa kini. Dan sebagai upaya
alternatif atas kecenderungan pemahaman hadis sebagian orang yang tekstual dan dengan
berani menyalahkan prilaku keagamaan orang lain yang berbeda dengan pemahamannya.NIM: 1620510030 Mochamad Ismail Hasan2020-09-09T05:20:51Z2020-09-09T05:21:05Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/38358This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/383582020-09-09T05:20:51ZTRADISI TIRAKAT PUASA NAUN SANTRI PUTRI PONDOK PESANTREN SUNAN PLUMBON TEMANGGUNGABSTRAK
Skripsi ini membahas fenomena budaya dan sosial yang berkaitan dengan teks al-Qur‘an dan hadis nabi di salah satu pondok pesantren di Indonesia yaitu tradisi puasa sunah naun. Lebih tepatnya tradisi ini dilaksanakan oleh para santri putri di Pondok Pesantren Sunan Plumbon Temanggung. Puasa sunah naun dilaksanakan dalam kurun waktu minimal satu tahun ataupun lebih dengan kelipatan tahun ganjil yang dibarengi dengan wirid berisi ragam shalawat yang telah diterima santri ketika meminta ijazah puasa naun pada kiai.
Penelitian ini fokus pada pembahasan tentang makna puasa sunah naun dan pengaruh puasa sunah naun terhadap karakter para santri dalam mencari ilmu di pondok pesantren. Selain itu, penelitian ini juga fokus pada pembahasan tentang tujuan-tujuan dan maksud Pondok Pesantren Sunan Plumbon atas anjuran untuk melaksanakan puasa sunah naun bagi para santri putri Pondok Pesantren Sunan Plumbon. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode observasi dengan mengumpulkan data-data di lokasi dengan mewawancarai pihak-pihak yang terkait dan mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan topik. Penelitian ini merupakan penelitian dengan studi teoritis dan praktik sosial dengan berbagai pendekatan sosial dan dituliskan secara deskriptif-kualitatif.
Dengan menggunakan teori Clifford Geertz, Agama sebagai Sistem Kebudayaan, penelitian ini menganalisa sistem tradisi yang menjadi tujuan utama para santri. Dengan menggunakan metode thick description, peneliti melakukan pendekatan secara mendalam dan menyeluruh terhadap para pelaku tradisi puasa sunah naun dengan menafsirkan sistem simbol makna kultural dari perspektif para pelaku puasa itu sendiri. Melalui pendekatan tersebut, maka dapat ditafsirkan mengapa, latar belakang, faedah, fungsi, dan tujuan seseorang mempraktikkan unsur kebudayaan yang dijalani.
Puasa sunah naun sebagai bentuk tirakatan di Pondok Pesantren Sunan Plumbon merupakan salah satu anjuran kiai kepada para santri untuk me-riyadhah-i ilmu yang diperoleh di pondok pesantren. Pengaruh dari ritual puasa sunah naun yang diperoleh santri ialah ketenangan secara emosional, pengendalian hawa nafsu, pendekatan diri kepada yang Maha Kuasa, terhindar dari perbuatan keji dan mungkar, hidup dalam kederhanaan, hemat secara ekonomi dan dipercaya mampu menjadi salah satu sarana terpenting di Pondok Pesantren Sunan Plumbon dalam me-riyadhah-i ilmu yang diperoleh di pondok pesantren.NIM. 15550042 Siti Latifah2020-09-08T03:28:49Z2020-09-08T03:28:59Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/38347This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/383472020-09-08T03:28:49ZKONSTRUKSI TRADISI IFT{A<R DI DESA SERGANG
KABUPATEN SUMENEPAbstrak
Ift}a>r adalah salah satu ibadah di bulan Ramadhan dan sering dilakukan oleh sebuah komunitas yang mempunyai keunikan di berbagai daerah, dimana orang-orang berkumpul untuk berbuka puasa bersama-sama. Tradisi di desa Sergang membagikan ift}a>r ditiap rumah(kepala rumah tangga). Setiap harinya berpindah-pindah sesuai dengan kesepakatan antara kepala rumah tangga dan tokoh masyarakat setempat. Jadi para tuan rumah bernegosiasi terlebih dahulu kepada tokoh masyarakat sebelum mengadakan ift}a>r di rumahnya. Peran tokoh sangat penting bagi kelangsungan acara tersebut, karena sebelum ift}a>r ada ritual yang berupa tahlil, membaca surah Yasin bersama yang di khususkan kepada nenek moyang tuan rumah. Sedangkan dari segi sumbangan dana ift}a>r itu dari tuan rumah sendiri.
Rumusan masalah penulis, pertama bagaimana sejarah perkembangan tradisi ift}a>r kedua, bagaimana konstruksi tradisi ift}a>r di Desa Sergang, ketiga meneliti hadis-hadis yang menjadi latar belakang tradisi ift}a>r maupun yang berkaitan, keempat bagaimana proses transmisi dan transformasi hadis-hadis ift}a>r menjadi tradisi dan social knowledge di masyarakat. Dengan menggunakan Metode penelitian mewawancarai langsung praktikkan (insider), masyarakat umum (outsider), tokoh masyarakat demi terciptanya penelitian komprehensif, dengan menggunakan teori yang ditawarkan oleh Peter L. Berger menggunakan teori triad dialektis yaitu: ekternalisasi, objektivasi dan internalisasi. Analisis atas penelitian ini adalah dengan mencoba melakukan/melacak transmisi dan transformasi tradisi ift}a>r.
Hasil penelitian menunjukan transmisi tradisi ift}a>r sudah berjalan 1 abad lebih dari pengasuh ketiga Pondok Pesantren Raudlatus Syabab K.H. Syarqowi. Terdapat dua hadis utama yang dijadikan landasan oleh beliau yaitu hadis tentang ift}a>r dan hadis tentang keutamaan bersedekah. Pada awalnya ift}a>r bersama para warga yang berada di Desa Sergang tidak ada ritual-ritual yang diberlakukan sebelum tradisi ift}a>r dimulai, Akan tetapi seiring berjalan waktu tradisi ift}a>r disetiap daerah-daerah sekitar Desa Sergang memiliki keunikan atau ciri khas tersendiri. Hal tersebut disebabkan oleh para alumni dari Pesantren Pajung yang tersebar diberbagai daerah dan mengadakan ift}a>r di wilayah sendiri, dengan menambahkan beberapa ritual-ritual sebelum ift}a>r dimulai. Sedangkan dari segi transformasi hadis tradisi ift}a>r di Desa Sergang mengalami lima periode dari para tokoh berpengaruh dari zaman dulu sampai era saat ini.resepsi masyarakat mayoritas dominan hegemoni, meskipun diawal terhadap ritual-ritual yang baru mengalami resepsi negosiasi.NIM 16550033 MOH. ISBAT ALFAN GHOFFARI2020-08-10T16:11:33Z2020-08-10T16:11:33Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/40038This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/400382020-08-10T16:11:33ZINKLUSIFISME DI TENGAH MASYARAKAT MULTIKULTUR: KASUS TIGA KOMUNITAS MUSLIM DI BALITulisan ini menjelaskan peran komunitas Muslim yang hidup di Bali. Sebagai umat agama yang minoritas dan hidup di tengah-tengah tradisi keberagamaan yang didominasi oleh ajaran Hindu, diperlukan peran komunitas yang mampu menciptakan sistem sosial keberagamaan yang inklusif dan dinamis. Tulisan ini menganalisis bagaimana peran mereka di tengah kuatnya dominasi tradisi Hindu di Bali, bagaimana cara mereka membangun pola pembelajaran yang moderat di kalangan intra umat Islam maupun antarumat beragama. Dengan pendekatan sosiologis dan tehnik pengambilan data melalui wawancara mendalam, tulisan ini ingin menunjukkan bahwa peran komunitas Masjid Ibnu Batutah, Ukhuwah Masjid-Musalla, Kelompok Maiyah sangat prospektif sebagai simpul penggerak keberagamaan Islam yang inklusif di Bali. Dengan caranya masing-masing dan pendekatan asosiatif, ketiga komunitas tersebut cukup aktif melibatkan banyak pihak dalam melaksanakan kegiatan keagamaan yang bisa memantik apresiasi dan respon positif dari masyarakat luas terhadap posisi umat Muslim yang ada di Bali.- FATHORRAHMAN2020-07-24T06:06:47Z2020-07-24T06:06:57Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/38207This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/382072020-07-24T06:06:47ZPERUBAHAN TRADISI SRAH-SRAHAN DALAM PERNIKAHAN
DI DESA LEMBOR KEC. BRONDONG KABUPATEN LAMONGANMasyarakat Jawa dalam melakukan pernikahan banyak melewati tahapan pernikahan. Salah satunya, tahapan srah-srahan, srah-srahan sendiri merupakan penyerahan seperangkat kebutuhan atau perlengkapan sebagai tanda pengikat untuk calon mempelai laki-laki. Di setiap daerah memiliki tradisi berbeda, misalnya di Wilayah Kabupaten Lamongan Jawa Timur. Melakukan tradisi memberikan srah-srahan dalam pernikahan dengan caranya sendiri yaitu tahapan ini bisa dilakukan oleh pihak perempuan sesuai dengan ajaran (sosialisasinya) saat masih kanak-kanak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana perubahan tradisi srah-srahan dalam prosesi pernikahan yang ada di Desa Lembor Brondong Lamongan.
Teori yang digunakan dalam penelitian kali ini yakni teori habitus dari Felix Pierre Bourdieu. Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif etnografis yang menjelaskan tentang perubahan tradisi srah-srahan dalam pernikahan. Penelitian ini dilakukan di Desa Lembor Brondong Lamongan. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah observasi partisipatoris, wawancara, dan dokumentasi yang digunakan sebagai data pendukung. Analisis data dalam penelitian dilakukan dengan mereduksi data primer maupun data sekunder, kemudian penyajian datanya didapat dari hasil penelitian dan dinarasikan serta menarik kesimpulan dari hasil penelitian tersebut.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan kecil yang terjadi dalam tradisi srah-srahan prosesi pernikahan di Desa Lembor yakni banyaknya perubahan barang srah-srahan yang dibawa. Barang yang dibawa semakin beragam, tetapi tidak menghilangkan maksud atau makna di dalamnya. Dahulu dilakukan oleh perempuan dan sekarang oleh keduanya. Faktor- faktor yang mempengaruhi perubahan tradisi srah-srahan di Desa Lembor yakni tingkat pendidikan, pengaruh dari budaya atau tradisi daerah lain (asing), dan pertumbuhan ekonomi.
Keyword: Srah-srahan, Perubahan, Masyarakat Desa LemborNIM 15720015 Himmatul Muflihah2020-07-14T22:23:27Z2020-10-17T07:37:53Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/39648This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/396482020-07-14T22:23:27ZGENDER IDEOLOGY AND RELIGIOUS POWER POLITICS IN CONTEMPORARY INDONESIAThe paper investigates about the religious and social imaginary about marriage in three cities in Indonesia: Banjarmasin, Mataram and Yogyakarta. This is important because despite of the development in human resources and rapid social changes, child marriage, domestic violence, polygamy and marriage dissolution still occur widely, not to say increases. The research found that access and exposure to higher education and cultural diversity has positive impacts on the social imaginary of marriage, thus result in decreasing the number of child marriage, domestic violence and devorceSiti Syamsiyatun2020-07-03T02:13:28Z2020-07-03T02:13:35Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/37940This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/379402020-07-03T02:13:28ZDINAMIKA TRADISI PEMAKAIAN RIMPU
(STUDI KOMUNITAS SANGGAR RIMPU
BIMA-YOGYAKARTA)Skripsi ini berjudul Dinamika Tradisi Pemakaian Rimpu (Studi Komunitas Sanggar Rimpu Bima-Yogyakarta). Dalam kajian ini, peneliti akan menjelaskan bagaimana dinamika perkembagan tradisi Rimpu dalam komunitas Sanggar Rimpu di Yogyakarta. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode deskriptif-analitik kualitatif dengan pendekatan etnografi. Adapun teknik pengumpulan data adalah dengan observasi partisipan dan non-partisipan. Selain itu, penulis juga menggunakan teori Fungsionalisme, yang dikembangkan oleh Malinowsk untuk menelaah dan menganalisa perkembangan makna tradisi Rimpu yang berkembang di komunitas sanggar Rimpu bagaimana perkembangan, Makna dan tujuannya.
Rimpu digunakan kaum wanita tidak hanya untuk melindungi dari panas terik siang hari maupun dinginnya malam hari. Namun juga bermanfaat untuk melindungi dari gangguan lelaki yang seringkali melakukan hal yang tidak diinginkan. Yang paling penting tujuannya untuk menutupi aurat bagi kau wanita dan membedakan status sosialnya.
Hasil penelitian yang penulis temukan terkait dengan perubahan pemakaian taradisi Rimpu terkait dengan perubahan. Pertama, fungsinya dalam penerapan pemakaian bukan berfungsi lagi sebagai identitas, malahan lebih ke modelnya, yang membedakan sebagai status sosial bahkan tidak terlihat lagi, semuanya tidak bias membedakan antara pemakaian orang yang sudah menikah dan belum menikah. Kedua, penulis menemukan semakin maju jaman, tradisi ini semakin terkubur oleh jaman, bahkan dikatakan ketinggalan jaman.NIM.12520048 M. Syahrirhttp://digilib.uin-suka.ac.id/37732/1.hassmallThumbnailVersion/Sampul.jpg2020-06-03T05:56:06Z2020-06-03T05:56:22Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/37732This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/377322020-06-03T05:56:06ZGethok Tular, Traditional Knowledge Preservation Method:
Opportunities and ChallengesWith the ever-increasing amount of information readily available nowadays, it is indeed
empirical for mankind to preserve knowledge for future generation. The emergence of
technology both posits opportunities and challenges on how knowledge is being preserve.
Known as Gethok Tular or word-of-mouth (WOM), it is a conventional marketing method of
communication using traditional or offline marketing technique of getting people to talk
about products and services positively (Alire, 2007). Looping “trusted advisers” as credible
marketing ambassadors, Gethok Tular allows the validity of information to be tested several
times through dissemination of information gained through someone else’s experiences. A
literature study in nature, this undertaking aims to describe the challenges and opportunities
of Gethok Tular or word-of-mouth (WOM) as a traditional method of knowledge
preservation. Data were derived from analysis of different literatures available and deriving
general principles from specific observations. Similar with “lots of copies keep stuff safe”
(LOCKSS) preservation method or principle, this study intends to explore the possibilities of
Gethok Tular as a knowledge preservation method especially in the digital era. While it is
true that privatization or censoring information cannot be ignored, rigorous examination of
information received thru Gethok Tular should also be considered to avoid distortion and
further destruction of valuable knowledge and information.
Keywords: Gethok Tular; word-of-mouth; traditional communication; knowledge preservationThoriq Tri PrabowoApril Ramos Manabat2020-05-21T00:27:00Z2020-05-21T00:27:00Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/39350This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/393502020-05-21T00:27:00ZPENDIDIKAN ISLAM DALAM PERSPEKTIF HISTORIS
Dinamika Pemikiran dan Kelembagaan Pendidikan Islam pada Masa KeemasanSelama ini, masa Keemasan Islam yang berlangsung pada kisaran abad III – V hijriah dinilai sebagai puncak prestasi kultural-intelektual yang begitu diidealisasikan oleh umat Islam. Sewajarnya, jika mereka kemudian senantiasa ingin menjadikan capaian prestasi masa tersebut sebagai model rujukan, bahkan tak jarang dilepaskan dari konteks setting sosio-historisnya. Menurut Prof. Munir Mursi, karakteristik yang menandai pendidikan Islam pada masa Keemasan, antara lain: (1) munculnya pemikiran-pemikiran brilian mengenai pendidikan, (2) masuknya pengaruh ilmu-ilmu intelektual, dan (3) berdirinya madrasah sebagai lembaga pendidikan par excellence di dunia Islam.
Perspektif historis bermaksud meletakkan fenomena kependidikan Islam dalam lokus dan tempus tertentu, dan menganalisisnya sebagai “anak kandung” zamannya secara sinkronis-diakronis.Mahmud Arif2019-12-12T07:11:10Z2019-12-12T07:11:10Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/36964This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/369642019-12-12T07:11:10ZPENGGAMBARAN PEREMPUAN ARAB SAUDI OLEH MEDIA DARING
(Analisis Wacana Kritis Fairclough pada Media Al-Jazirah Online dan Al-Madina)KSA (Kingdom of Saudi Arabia) adalah salah satu negara Arab dengan sistem kerajaannya yang otoriter. Bahkan, banyak kebijakan yang timpang antara laki-laki dan perempuan. Perempuan Saudi banyak tidak mendapatkan hak-hak mereka layaknya perempuan-perempuan di beberapa negara lain. Tesis ini mengangkat wacana transformasi perkembangan perempuan Arab seiring dengan proses realisasi visi 2030 kerajaan pada berbagai ranah, yaitu ekonomi, politik, budaya, sosial, dan pendidikan, pada berita yang terdapat di media daring Al-Jazirah Online. Untuk mengetahui hal tersebut digunakan pisau teori analisis wacana kritis Norman Fairclough, dengan tiga kerangka kerjanya, yaitu analisis tekstual, praktik wacana, dan praktik sosiokultural. Rumusan masalah pada penelitian ini adalah (1) bagaimana media menggambarkan perempuan Arab dalam pilihan kata yang digunakan? (2) bagaimana proses praktik wacana perempuan Arab dalam media? (3) Praktik sosiokultural seperti apa yang ada di dalam media yang terkait dengan perempuan Arab?
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Data dianalisis menggunakan teknik analisis wacana kritis menurut Fairclough, yakni (a) analisis teks bahasa, (b) analisis praksis wacana, (3) analisis praksis sosiokultural, yang terdiri dari analisis konteks situasi, sosial, dan institusi.
Hasil penelitian yang diperoleh melalui analisis dengan menggunakan kerangka tiga dimensi Fairclough diantaranya: (1) berdasarkan analisis deskriptif, perempuan digambarkan dengan citra yang positif. (2) Berdasarkan analisis praktik wacana, memperlihatkan bahwa wartawan menggunakan berbagai aktor sosial yang kebanyakan dari pihak pemerintah untuk menunjukkan keseriusan dalam upaya pemberdayaan dan peningkatan taraf hidup perempuan Arab sebagai misi merealisasikan visi 2030. (3) Berdasarkan praktik sosiokultural menunjukan bahwa transformasi di kerajaan terhadap beberapa kebijakan perempuan di berbagai sektor, dilatarbelakangi oleh kepentingan ekonomi (economic interest), kerajaan mencoba keluar dari bergantung pada minyak ke ekonomi pasca-minyak (post-oil), dengan mendiversifikasi ekonomi kerajaan.NIM. 16201010016 Rifa’atul Mahmudah2019-08-13T01:53:43Z2019-08-13T01:53:43Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/36308This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/363082019-08-13T01:53:43ZTRADISI PENGHORMATAN WALl DI JAWA
(Studi Kasus Tentang Tradisi Ziarah Di Makam Sunan Tembayat, Paseban, Bayat, Klaten, Jawa Tengah)Dalam tradisi Islam di Jawa, praktek ziarah berkembang sedemikian pesat.
mereka biasanya melaksanakan ziarah pada waktu-waktu tertentu, yangmana
dianggap memiliki makna penting dalam kehidupan keagamaannya. Seperti
kalenderikal hari-hari besar Islam, yaitu saat menjelang dan sesudah bulan
Ramadlanm hari Raya Idul Fitri, bulan Maulid, dan bulan Muharram.
Kompleks keramat Paseban di Bayat Klaten dikenal sebagai salah satu
pusat kegiatan ziarah di Jawa Tengah, setelah Demak dan Kudus daya terik
utarnanya adalah makam Sunan Tembayat, seorang wali yang terkenal dan tokoh
kharismatik penyebar agama Islam di Jawa pedalaman bagian Selatan pada abad
XIV-XV. Ritual kegamaan yang melibatkan puluhan ribu orang pada setiap harihari
besar Islam itu telah menjadikan situs makam Sunan Tembayat sebagai obyek
wisata potensial yang secara ekonomis berkontribusi besar bagi peningkatan
pendapatan masyarakat.
Guna memahami ziarah sebagai suatu fenomena sosial keagamaan, maka
penulis dalam hal ini berusaha mengungkap tentang praktek ziarah di makam
sunan Tembayat, dengan cara merumuskan sejumlah pertanyaan, yaitu: tentang
pemahaman para peziarah terhadap sosok Sunan Tembayat dan tipologi para
peziarah di makam Sunan Tembayat. Untuk itu dilakukan penelusuran melalui
observasi di lapangan, wawancara dengan para informan (yaitu: peziarah, juru
kunci/BPH, dan masyarakat lokal), serta pengumpulan data-data terkait, seperti:
monografi, peta, kliping, dan hasil-hasil penelitian.
Hasil penelitian menunjukkan, bahwa praktek ziarah di makam Sunan
Tembayat didasarkan oleh figur Sunan Tembayat yang kharismatik. Kharisma ini
setidaknya bisa dilihat dari konteks kontruksi sosial para peziarah, dimana
keragaman tipologis melahirkan perbedaan pemaham dan praktek ziarah diantara
mereka. Misalnya, perbedaan penggunaan istilah oleh kelompok NU dengan
kelompok Abangan yang juga menentukan perbedaan pula dalam bentuk-bentuk
ritual yang dilakukannya.
Kesinambungan tradisi penghormatan wali di makam Sunan Tembayat,
didasarkan pada keyakinan dan pandangan kalangan peziarah yang menetapkan,
bahwa Sunan Tembayat adalah wali atau orang suci yang memiliki karamah,
pejuang agama Islam, danpepundhen desa. Faktor inilah yang menjadi daya tarik
spiritual di kalangan peziarah sumber-sumber barakah di tempat keramat itu.
Implikasi positif dari fenomena tradisi ziarah di desa Paseban adalah
adanya solidaritas sosial di kalangan para peziarah. Hal ini dapat dilihat dari
adanya harmonisasi dan toleransi sosial keagamaan pada saat upacara-upacara
sakral di kompleks makam Sunan Tembayat, seperti: sadranan Agung, Khaul,
malam 1 Sura dan sebagainya. Selain itu, apresiasi kultural di kalangan para
peziarah dan masyarakat pendukung kebudayaan tersebut adalah wujud
aktualisasi terhadap kearifan lokal tradisi Tembayatan warisan Sunan Tembayat.NIM: 01540801 ANTON BUDI PRASETYO2019-08-01T03:11:47Z2019-09-06T06:18:10Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/35789This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/357892019-08-01T03:11:47ZFEMINISM AND ISLAMIC TRADITIONSCommunication, the Office of Laity, the Office of Theological Concerns, the Office
of Education and ·student Chaplaincy, the Office of Ecumenical and Interreligious
Affairs, the Office of Evangelization, the Office of Clergy, and the Office of
Consecrated Life.
The Central Secretariat of FABC is located in Hong Kong and the Documentation
Centre in Bangkok. The Documentation Centre plans to house and preserve all
books published by the FABC as well as dissenations and other publications referring
one way or the other to the Federation. The FABC Documentation Centre
includes a conference room that can seat about 40 persons, a library and several
small offices.
The FABC has a rich history of action and reflection in Southeast Asia. During
the last four decades, the organization has produced a wealth of pastoral documents
that stresses the importance of the local churches, enculturation and dialogue.
The FABC documents repeatedly stressed "the triple dialogue"-with the poor, with
local cultures, and with local religions. According to Stephen Bevan, the organization
has yielded an impressive body of documents that are incredibly rich, amazingly
visionary, and truly wonh careful reading and study. As best they could and
as often as possible, the Asian bishops wrote that successful evangelization requires
building local churches upon local cultures, languages, and practices. In Southeast
Asia, the FABC is involved in the difficult task of being a Christian organization that
is also sensitive to the challenges of the pluralist context and yet seeking to meaningfully
participate in the effons to build a just and panicipatory societyAlimatul Qibtiyah2019-04-04T08:54:23Z2019-04-04T08:54:23Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/34035This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/340352019-04-04T08:54:23ZPEMAKNAAN TRADISI BURDAH
DESA JADDUNG PRAGAAN SUMENEP MADURA
JAWA TIMUR
(Perspektif Hermeneutika Gadamer)Narasi pembacaan Burdah menjadi feature pemahaman dalam dunia kehidupan beragama masyarakat Jaddung Pragaan Suemep Madura Jawa Timur. Pembacaan Burdah ini mengalami pergeseran makna, yaitu maksud awal sebagai pujian dan ungkapan cinta pada Nabi yang didendangkan oleh Imam Bushiri, namun oleh mereka kemudian dibacakan untuk orang sakit yang kritis. Dengan Burdah, Imam Bushiri bersenandung untuk Nabi dengan berharap syafaat, sementara bagi mereka dibaca untuk orang sakit yang “kayaknya” harus memilih antara hidup atau mati. Keberlainan pemahaman yang muncul tidak dapat dielakkan dari roda historis yang berjalan dalam pembacaan Burdah masyarakat tersebut.
Masyarakat Madura (baca: Jaddung) yang masih dikenal memegang erat agamanya, pun menyisakan dilema yang tampil kontradiksi antara ajaran Islam (formal dan substansi) dengan sikap sosiokultural dalam praksis keberagamaannya. Dalam narasi pembacaan Burdah, ritual agama dan sikap tindakannya mengindikasikan adanya deviasi pemahaman keberagamaan mereka. Hal ini pula “tampaknya” melahirkan sakralitas harapan terhadap kehidupan atau kematian. Kegelisahan tersebut dikaji dengan analisis Heremeneutika Gadamer. Fokus studi menusuk pada proses keberadaan pembacaan Burdah, pemaknaan tradisinya, dan teologi harapan masyarakat Jaddung.
Hasil penelitian di Jaddung menunjukkan, bahwa pemaknaan tradisi Burdah di tengah perjalanannya mengalami pergeseran, dari pujian kepada pengobatan. Dalam perspektif Hermeneutika Gadamer, hal ini terjadi karena i) Burdah dibaca untuk penyakit ta`on pada 1960an, 1970an untuk penyakit tanpa sebab, 1980an untuk orang yang telah lama terbaring sakit. Sejak tahun ini, diduga kuat mulai terbentuk pemahaman masyarakat Jaddung, yaitu Burdah dibaca hanya untuk orang sakit sekarat. Pemahaman ini berlanjut hingga kini (2018), ii) tradisi Burdah diyakini sebagai solusi terakhir dalam pengobatan walau tanpa adanya sosialisasi pemahaman literatur Kasidah Burdah, keberlainan pemahaman tentang Burdah dimaknai sendiri oleh penafsir (baca: masyarakat) berdasarkan pengalaman yang berulang-ulang, dan iii) dengan Burdah, ada harapan agar bisa menentukan nasib hidup atau mati orang sakit.
Kata kunci: masyarakat, Burdah, dan Hermeneutika.NIM: 1620510055 Maghfur MR2019-03-27T08:04:52Z2019-03-27T08:04:52Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/34199This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/341992019-03-27T08:04:52ZTRADISI RUWATAN SEBAGAI SYARAT PERNIKAHAN “ANAK
SARIMPI” MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM ADAT (STUDI
KASUS DI DUSUN SEGELUH DESA PURWOSARI KECAMATAN
PURWODADI KABUPATEN PURWOREJO PROPINSI JAWA TENGAH)Di Indonesia terdapat banyak tradisi adat masyarakat dari leluhur
terdahulu yang masih dilestarikan sampai saat ini. Dalam berbagi acara sering
dijumpai masyarakat yang masih menggunakan tradisi maupun upacara adat,
misalnya dalam acara pernikahan. Di berbagai daerah tentunya memiliki cara
tersendiri dalam melaksanakan ritual adat. Seperti yang terdapat pada masyarakat
di dusun Segeluh, desa Purwosari, kecamatan Purwodadi, kabupaten Purworejo
Jawa Tengah. Tradisi leluhur masih sangat kental pada diri masyarakat di dusun
tersebut. Salah satu ritual atau tradisi yang masih dilestarikan sampai sekarang
adalah tradisi ruwatan bagi anak srimpi sebelum melaksanakan pernikahan.
Menurut penuturan masyarakat, jika ritual ruwatan tidak dilaksanakan maka akan
terjadi akibat buruk. Kejadian tersebut memang sudah terjadi secara nyata. Oleh
karena itu, tradisi ruwatan menjadi syarat dalam melaksanakan pernikahan bagi
anak srimpi. Berangkat dari permasalahan tersebut, maka penyusun memiliki
rumusan masalah : (1) Bagaimana ketentuan mengenai syarat pernikahan yang
harus dipenuhi dalam hukum Islam dan hukum adat dan (2) Bagaimana hukum
Islam dan hukum adat memandang pelaksanaan tradisi ruwatan bagi anak sarimpi
sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi sebelum melaksanakan pernikahan.
Tujuan dari penelitian ini adalah : (1) untuk mengetahui Untuk mengetahui
ketentuan mengenai syarat pernikahan menurut hukum Islam dan hukum adat di
Dusun Segeluh, Kelurahan Purwosari, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten
Purworejo, (2) Untuk mengetahui pandangan hukum Islam dan hukum adat
mengenai pelaksanaan tradisi ruwatan sebagai salah satu syarat sebelum
pernikahan bagi anak sarimpi di Dusun Segeluh, Kelurahan Purwosari,
Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Purworejo. Penelitian ini merupakan field
research atau penelitian lapangan yaitu penelitian dengan data yang diperoleh dari
kegiatan lapangan. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah Deskriftif-
Analisis-Komparatif. Pendekatan penelitian dilakukan dengan pendekatan
normatif.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa tradisi ruwatan sebagai salah
satu syarat sebelum pernikahan bukan termasuk syarat dalam hukum Islam akan
tetapi diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan syari’at dan membawa
kemaslahatan umat. Tradisi ruwatan tidak bertentangan dengan hukum adat,
karena ruwatan merupakan adat istiadat yang sudah lama ada dalam masyarakat
dan tradisi tersebut tidak bertentangan dengan norma yang ada. Sebab ruwatan
tersebut diadakan dengan maksud untuk memohon perlindungan kepada Sang
Pencipta alam agar terhindar dari hal-hal buruk yang mengancam jiwa seseorang.NIM. 11360055 RAUDHATUN NADHIROH2023-01-19T03:51:37Z2023-01-19T03:55:58Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/2036This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/20362023-01-19T03:51:37ZTRADISI SATU SURO DI DESA TRAJI KABUPATEN TEMANGGUNG (PERTAUTAN ANTARA HUKUM ADAT DAN HUKUM ISLAM)ABSTRAK Pada umumnya masyarakat menjelang tahun baru misalnya Tahun Baru Masehi banyak melakukan kegiatan untuk menyambutnya. Kegiatan tersebut biasanya tidak terlepas dari upaya instropeksi dan harapan-harapan. Instropeksi dilakukan tentunya berkaitan dengan perbuatan-perbuatan di tahun lalu, apakah perbuatannya itu telah bermanfaat bagi dirinta sendiri dan masyarakat atau justru merugikan orang lain. Jika masih banyak merugikan orang lain, tentunya akan diperbaiki pada tahun baru ini, itulah harapan-harapannya.
Namun demikian, sebagai seorang muslim tetap harus hati-hati menghadapi adat-istiadat ini, agar tidak terjebak pada praktik-praktik yang sebenarnya bertentangan dengan syari’at Islam. Kendati tradisi telah di islamisasikan sedemikian rupa dan memiliki kesamaan dengan ajaran Islam, tidak berarti seratus persen sama dan terlepas dari upaya purifikasi. Seperi dipaparkan sebelumnya, yaitu tradisi satu suro yang dilakukan masyarakat Traji tidak terlahir dari rahim syari’at Islam, tentunya ada perbedaan-perbedaan tipikal dari tradisi asli Islam yang penulis rasa perlu untuk diketengahkan. Pada akhirnya harus dikembalikan oleh masyarakat itu sendiri sebagai pencipta budaya untuk memahami sebuah arti tahun baru.
Dalam perayaan Satu Suro di Desa Traji Sesaji diselenggarakan untuk mendukung kepercayaan mereka terhadap adanya kekuatan makhluk-makhluk halus seperti lelembut, demit, dan jin yang mbaurekso atau diam di tempat-tempat tersebut agar tidak mengganggu keselamatan, ketentraman, dan kebahagiaan keluarga yang bersangkutan. Selain itu juga untuk memohonkan berkah dan memohonkan perlindungan dari yang mbahurekso agar terhindar dan terjauhkan dari gangguan mahluk halus. Masyarakat desa Traji mempunyai kepercayaan jika adat tersebut tidak dilaksanakan maka masyarakat desa traji akan mengalami banyak kesulitan hidup seperti gagal panen, sumber air menjadi kecil, banyak orang sakit, sehingga tradisi ini terus dilestarikan. Adapun tradisi yang harus dihilangkan antara lain penggunaan sesaji dalam tradisi tersebut, karena sesaji yang disediakan hanya mengandung unsur mubazir semata.
Pada penulisan skripsi ini, penyusun menggunakan metode observasi dengan cara terlibat langsung ke masyarakat (penelitian lapangan) sehingga diperoleh data yang jelas untuk dianalisa dalam pandangan hukum Islam dan Hukum adat masyarakat Desa Traji. Melihat aspek-aspek penyesuaiannya dalam hukum Islam dan melihat aspek-aspek penyimpangan tradisi satu suro di desa traji tersebut dalam hukum Islam sehingga dapat diketahui kejelasan atau status hukum dari pelaksanaan tradisi tersebut. Penyusun berusaha memberikan solusi atau saran dalam rangka penyempurnaan terhadap tradisi yang dirasa aneh atau berbeda dengan daerah-daerah lain agar tidak terjadi ketimpangan dalam hal pelaksanaan ibadah.
Berdasarkan pendekatan dan metode yang digunakan, terungkap bahwa Tradisi Satu Suro di Desa Traji Kabupaten Temanggung keterpautan antara hukum adat dan hukum Islam dalam tradisi satu suro sangatlah erat, sebab ajaran Islam telah menjadi cara pandang masyarakat terhadap tradisi lama, bahkan hukum Islam sendiri telah menjadi adat sekaligus hukum adat bagi masyarakat.NIM.: 04360009 TRI ERIYANI2023-07-17T08:48:56Z2023-07-17T08:49:45Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/6515This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/65152023-07-17T08:48:56ZTRADISI HANG WUE DALAM UPACARA KELAHIRAN DI DESA SIRU, KEC.LEMBOR, KAB. MANGGARAI BARAT, NTTABSTRAK Agama Islam mengajarkan kepada para pemeluknya untuk melakukan kegiatan-kegiatan ritualistik seperti shalat, puasa, haji dan lain-lain. Begitu juga dalam kepercayaan masyarakat Manggarai terdapat kegiatan-kegiatan ritualistik seperti selamatan yang terwujud dalam sebuah upacara tertentu. Pada dasarnya sebuah upacara itu dilaksanakan dalam rangka untuk menangkal pengaruh buruk dari daya kekuatan gaib yang akan membahayakan bagi kelangsungan kehidupan manusia. Hal ini seperti yang dilakukan oleh masyarakat desa Siru, setiap bayi yang baru lahir mengadakan upacara Hang Wue (kelahiran), dimana bayi berusia tujuh hari. Dengan harapan anak yang baru dilahirkan tersebut senantiasa diberi keselamatan dan perlindungan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa dan sekaligus untuk mengamalkan ajaran Nabi Muhammad S.A.W. yaitu aqiqah.
Keunikan dalam penyambutan upacara Hang Wue di desa Siru, ketika bayi lahir, pada malam harinya orang mengadakan acara wela, yaitu kegiatan begadang dengan diselingi tadarusan yang berlangsung hingga bayi berumur enam hari. Acara ini bertujuan agar bayi yang baru lahir ke dunia senantiasa diberi keselamatan serta terhindar dari gangguan makhluk halus. Acara ini dimulai pukul 18:00 sampai 23:00 WITA. Adapun rumusan masalah yang dibahas adalah: apa yang melatar belakangi masyarakat desa Siru melaksanakan tradisi Hang Wue? Hang (makan) Wue (kacang) makna dari Hang Wue yaitu kebersamaan masyarakat dalam penyambutan bayi yang baru lahir, sehingga upacara Hang Wue merupakan salah satu bentuk ritual yang dikaitkan dengan selamatan bayi, setelah bayi berusia tujuh hari.
Upacara Hang Wue ini, tidak terlepasa dari mitos, masyarakat desa Siru masih meyakini apabila upacara Hang Wue tidak dilaksanakan berpengaruh buruk kepada bayi, misalnya bayi sakit, dan menangis. Dengan melaksanakan Hang Wue bersama dengan aqiqah, karena mereka percaya bahwa dengan melaksanakan upacara Hang Wue anak yang baru lahir senantiasa diberi keselamatan dan perlindungan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa dan sekaligus untuk mengamalkan ajaran Nabi Muhammad S.A.W. yaitu aqiqah. Bagaimana bentuk akulturasi Islam dengan budaya lokal pada tradisi Hang Wue? Masyarakat desa Siru ketika bayi lahir pada malam harinya mengadakan tadarusan berturut-turut samapai berusia enan hari pada hari ketujuh masyarakat Siru melaksanakan upacara Hang Wue diantaranya: penyembelihan kambing, mencukur rambut, pemberian nama pada anak, membaca surah al-Fatihah, an-Nas, al-Falaq, al-Ikhlas dan doa selamat yang dipanjatkan kepada Allah S.W.T. kemudian dalam pelaksanaan upacara Hang Wue tidak terlepas dari unsur Animisme seperti dengan adanya garu/dupa dan Dinamisme dengan meletakkan pisau, paku, atau besi yang berwujud apa saja yang ujungnya di susuki bawang dan diletakkan disisi cabang bayi. Tujuannya adalah agar berbagai makhlukhalus tidak mengganggunya. Faktor-faktor apa yang menyebabkan lestarinya tradisi Hang Wue di desa Siru? Adapun faktornya terdiri dari faktor rohani, kelahiran seorang bayi memiliki makna yang sakral dalam kehidupan sosial masyarakat tradisional, prosesi upacara yang berkaitan dengan daur kehidupan memiliki simbol-simbol dan nilai-nilai religi atau kepercayaan. Dalam ritual Hang Wue ada kepercayaan yang selalu dipegang oleh masyarakat desa Siru, yaitu apabila tidak melaksanakan Hang Wue ada rasa yang tidak nyaman dan ketakutan serta kekhwatiran akibat yang ditimbulkan dari ketidakpatuhan kepada ajaran leluhur yang sudah turun temurun yang dilakukan sejak dulu hingga sekarang. Kemudian faktor ekonomi dalam pelaksanaan upacara Hang Wue dapat dijadikan sebagai tolak ukur bagi masyarakat desa Siru mengenai kondisi status sosisl dan ekonomi (keuangan).
Dengan mengadakan upacara Hang Wue dan aqiqah secara bersamaan dapat menghemat biaya yang dikeluarkan sehingga dapat terencana secara maksimal. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian budaya dengan jenis penelitian kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data berupa pertanyaan atau keterangan bukan berupa angka, yaitu ucapan atau tulisan dan perilaku yang dapat diamati dari perilaku (subjek). Tahap pengumpulan data meliputi: wawancara, observasi, analisis data, dan laporan penelitian. Penelitian ini menggunakan pendekatan historis, yaitu suatu ilmu yang didalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, latarbelakang, dan pelaku dari peristiwa tersebut. divNIM.: 07120005 SITI RAHMA2023-07-18T01:28:34Z2023-07-18T01:30:21Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/6510This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/65102023-07-18T01:28:34ZAKULTURASI ISLAM DAN BUDAYA LOKAL DALAM TRADISI SURAN DI DESA BANYURADEN, KEC. GAMPING, KABUPATEN SLEMANABSTRAK Tradisi Suran adalah salah satu bagian dari upacara adat yang diwariskan secara turun temurun. Tradisi Suran ini diselenggarakan setiap tahun sekali pada tanggal 7 Sura, tepatnya saat tengah malam menjelang tanggal 8 Sura yang berpusat di dusun Modinan. Alasan waktu dan tempat pelaksanaan di dusun Modinan adalah untuk menghormati arwah leluhur yaitu Ki Demang Cakradikrama. Hal yang menarik dari tradisi Suran ini, yaitu adanya akulturasi Islam dan budaya lokal yang digambarkan melalui pelaksanaan ritual tradisi Suran. Poses pelaksanaan itu diawali dengan pembagian kendhi ijo kepada warga masyarakat di sekitar tempat upacara, ziarah (nyekar) yang sebelumnya dilakukan do'a bersama terlebih dahulu,wilujengan dan yang menjadi acara puncaknya adalah pembacaan shalawatan. Pembacaan shalawatan itu dilakuakan sampai menjelang pagi. Pada tengah malam tepatnya pukul 00.00 WIB saat shalawatan mencapai srokal, dilakukan mandi di sumur tempat dahulu pernah dipakai Ki Demang. Upacara mandi ini dimulai dari keturunan Ki Demang dengan anak cucunya, kemudian diikuti oleh seluruh anggota trah dan dilanjutkan dengan warga masyarakat pada umum yang ingin ngalap berkah.
Tradisi Suran menarik untuk diteliti kerena beberapa masalah yang ada di dalamnya. Di antaranya Bagaimana proses akulturasi Islam dan budaya lokal dalam tradisi Suran? Bagaimana bentuk akulturasi Islam dan budaya lokal dalam tradisi Suran? Dan bagaimana respon masyarakat terhadap akulturasi Isalm dan budaya lokal dalam tradisi Suran. Penelitian ini mengambil lokasi di desa Banyuraden, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman. Penelitian ini menggunakan teori akulturasi yang dipelopori oleh J. Powell yaitu bertujuan untuk mengungkap akulturasi antara budaya Islam dan budaya Jawa yang terjadi dalam tradisi Suran. Sedangkan pendekatan yang digunakan dalam peneliti ini adalah pendekatan antropologi dengan analisa kualitatif, karena penelitian ini merupakan penelitian budaya. Dalam pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi, wawancara, dan dokumentasi.
Hasil dari penelitian ini adalah: bahwasanya upacara tradisi ini diadakan untuk menghormati, mendoakan serta mengenang terhadap perjuangan hidup Ki Demang Cakradikrama, yang dipercayai oleh keluarganya maupun masyarakat sekitar sebagai seorang tokoh yang mempunyai kharisma yang tinggi, kesaktian dan berjiwa sosial besar. Rangkaian dalam upacara tradisi ini sebagian merupakan hasil akulturasi antara Islam dan budaya lokal. Semua itu diupayakan agar ajaran Islam bisa berdialog dengan lokalitas yang sudah mendarah daging dengan masyarakat. Berkat keterbukaan masyarakat dalam menerima budaya baru, pada akhirnya kedua kebudayaan yang berbeda itu dapat berkembang secara beriringan tanpa menimbulkan konflik yang serius. Hal ini terbukti dengan adanya tahlilan, shalawatan, dan pembacaan do'a-do'a Islam pada pelaksanaan upacara tradisi Suran. Selain itu, kebudayaan lokal seperti penggunaan sesaji dalam upacarapun masih dipertahankan. divNIM.: 06120031 PONIYEM2023-08-15T06:35:41Z2023-08-15T06:36:36Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/6703This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/67032023-08-15T06:35:41ZLARANGAN MENIKAH PADA BULAN SURO DI MASYARAKAT DUSUN KLAMPEYAN DAN DUSUN TEPIHARJO DESA PANEKAN KEC. EROMOKO KAB. WONOGIRIABSTRAK Di kalangan masyarakat Dusun Klampeyan dan Dusun Tepiharjo terdapat kepercayaan bahwa pernikahan yang dilakukan pada bulan Suro dapat menimbulkan sengkolo (petaka) dan kesengsaraan bagi kedua mempelai dan keluarganya, karena pada bulan tersebut dipercayai sebagai bulan keramat serta ada mitos yang mengisahkan tentang larangan dari pihak Keraton Surakarta untuk tidak melangsungkan pernikahan pada bulan Suro. Jika larangan tersebut dilanggar, diyakini kehidupan pasangan pengantin yang menikah pada bulan suro tersebut tidak akan tenteram. Dalam hukum Islam, ada beberapa pernikahan yang dilarang seperti nikah mut'ah, syighar, takhlil, dan lain sebagainya. Namun larangan menikah yang terdapat di Dusun Klampeyan dan Dusun Tepiharjo tidak termasuk dalam macam-macam pernikahan yang dilarang oleh Islam.
Metode penelitian yang digunakan bersifat deskriptif analitik, yaitu penelitian yang bersifat menjelaskan data yang ada di lapangan. Adapun caranya dengan melakukan penelitian langsung di lapangan (field research). Kemudian penyusun menganalisis permasalahan tersebut dengan menggunakan instrumen analisa data kualitatif deduktif melalui pendekatan normatif, yakni berdasarkan al-Qur'an dan Hadits dan dengan tidak meninggalkan undang-undang yang berlaku.
Kesimpulan dari penelitian ini bahwasanya larangan menikah pada bulan Suro yang ada di masyarakat Dusun Klampeyan dan Dusun Tepiharjo ini bertentangan dengan nash Al-Qur'an dan Sunnah karena tidak ditemukan dalil-dalil yang dapat menguatkan larangan tersebut. Keyakinan masyarakat atas mitos yang ada secara turun temurun tentang larangan menikah pada bulan Suro dikhawatirkan dapat menimbulkan kemusyrikan yang dapat menjerumuskan manusia pada kenistaan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi solusi bagi permasalahan diatas, sebagai bentuk kepedulian antar sesama dan bentuk implementasi hukum Islam terhadap kenyataan yang terjadi di masyarakat. divNIM.: 07360049 RISKI LUTFIA FAJRIN