Institutional Repository UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta: No conditions. Results ordered -Date Deposited. 2024-03-28T09:11:07ZEPrintshttp://digilib.uin-suka.ac.id/images/sitelogo.pnghttps://digilib.uin-suka.ac.id/2024-03-15T04:04:16Z2024-03-15T04:04:16Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/64377This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/643772024-03-15T04:04:16ZKONFLIK PALESTINA-ISRAEL MENURUT KACAMATA USTAZ SELEBRITI PADA MEDIA YOUTUBEFenomena ustaz selebriti di media sosial memberikan gambaran mengenai otoritas keagamaan baru yang mampu menggeser otoritas keagamaan tradisional. Pada zaman ini setiap orang dapat memberikan informasi salah satunya terkait dengan agama. Akan tetapi yang membedakan adalah kualifikasi ustaz-ustaz yang sering muncul di media sosial mengenai otoritas keagamaanya. Penelitian ini memilih tiga ustaz selebriti yang memiliki ke viralan yaitu Ustaz Abdul Somad, Ustaz Adi Hidayat, dan Ustaz Khaled Basalamah dalam melihat konflik Palestina-Israel. Penelitian ini menemukan bahwasanya dilihat dari kualifikasinya, tiga ustaz selebriti tersebut memiliki kualifikasi yang cukup dalam memberikan ceramahnya. Dilihat dari latar belakang pendidikan mereka, yaitu lulusan Timur Tengah, kemudian mampu berbahasa Arab, mampu membaca kitab klasik, memahami Al-Qur’an dan Hadis, dan lain sebagainya. Dengan otoritas keagamaan yang dimilikinya, ia mampu mengajak jemaahnya untuk melihat konflik Palestina-Israel melalui fakta sejarah berdasarkan Al-Qur’an, Hadis, kitab, maupun kajian ilmiah atau penelitian orang Barat. Ajakan tersebut adalah mendo’akan masyarakat Palestina dengan membaca qunut nadzilah, boikot produk pro Israel, dan donasi. Apa yang dilihat serta ajakan tiga ustaz selebriti tersebut berdampak pada edukasi mengenai konflik Palestina-Israel, kemudian kontrol sosial, yaitu masyarakat diajak untuk tidak ikut berperang ke Palestina.NIM.: 19200012009 Quowwam Hassan2024-02-16T02:39:22Z2024-02-16T02:39:22Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/63779This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/637792024-02-16T02:39:22ZKONTRADIKSI KEMANUSIAAN PADA PEACE TO PROSPERITY DAN ABRAHAM ACCORDS : STUDI KASUS PERAN AS DALAM KONFLIK ISRAEL-PALESTINAPenelitian tesis ini bermaksud untuk menggali nuansa teoritis yang dapat diterapkan dalam mengkaji isu kemanusiaan hafrada dan apartheid yang terjadi di Palestina dalam kurun waktu tahun 2020- 2021. Konsep kepentingan nasional oleh Hans Morgenthau dipadukan dengan konsep subaltern oleh Gayatri Spivak yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian tesis ini. Konsep kepentingan nasional digunakan untuk mengetahui politik dan strategi perjuangan Israel- Palestina. Selain itu, konsep kepentingan ini juga digunakan untuk mengungkap interest AS dan Negara-Negara Arab (UEA dan Bahrain) yang melakukan normalisasi dengan Israel dengan mengatasnamakan perjanjian damai. Dalam penelitian tesis ini, peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif dengan analisis deskriptif. Berdasarkan data yang dianalisis, peneliti menemukan dari dibalik resminya perjanjian damai Peace to Prosperity dan Abraham Accords terdapat kontradiksi kemanusiaan yang menunjukkan kepada politik dunia bahwa kedua perjanjian damai itu merupakan bagian dari strategi hegemoni bagi elit politik AS dan Israel. Baik untuk menjadikan isu perdamaian Palestina sebagai kampanye politik di negaranya, maupun untuk menjadikan perjanjian damai sebagai cara dalam melegalkan penjajahan Zionis Israel terhadap Bangsa Palestina dimasa kini hingga mendatang. Dengan demikian, penelitian dalam tesis ini bertujuan untuk memberikan kesadaran literasi dalam dunia akademisi, yang diharapkan dapat memberikan evaluasi terhadap penyelesaian konflik Israel- Palestina di masa depan. Dan yang lebih penting adalah untuk mengungkap suatu kebenaran terhadap perjanjian damai yang setiap kali dimediasi oleh AS itu, nyatanya tidak pernah mencapai solusi yang adil, melainkan membuat Israel dan Palestina terus mengalami konflik yang berkelanjutan.NIM.. 20200011125 Idha Ismalia Rohmatika2024-02-16T02:10:03Z2024-02-16T02:20:21Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/63775This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/637752024-02-16T02:10:03ZORIENTALISME DAN DUNIA IMAJINER: ANALISIS POSKOLONIALISME EDWARD SAID TERHADAP NOVEL A’RAS AMINAH KARYA IBRAHIM NASRULLAHOrientalisme adalah pembentukan pola pikir yang dibuat oleh orang Barat untuk membangun Timur. Seorang penulis novel yang bernama Ibrahim Nasrullah adalah novelis yang bercerita tentang kehidupan di Palestina pada era postmodern. Ibrahim Nasrullah bercerita tentang Palestina seakan terbaca seperti perjuangan, namun apabila diamati kembali menjadi sebuah penurunan. Tujuan penelitian ini adalah mengamati pola pikir di Timur saat ini adalah kreasi Orientalis atau Barat. Peneliti menggunakan konsep “Proyek-proyek Orientalisme” dan Deskripsi Dunia Timur Edward Said untuk membaca dan mengamati keadaan berpikir Ibrahim Nasrullah dalam membuktikan pola pikir di Timur. Kajian ini menggunakan metode kualitatif dengan teknik deskriptif-analitik. Dalam teknik pengumpulan data, peneliti menggunakan dokumentasi berupa deskripsi gambaran Palestina pada Novel A’ras Aminah karya Ibrahim Nasrullah untuk dijadikan perwakilan dari Timur yang akan digunakan pola pikirnya, begitu juga pengamatan pada artikel-artikel yang bersangkutan. Penelitian ini berhasil membuktikan bahwa Ibrahim Nasrullah adalah salah seorang Palestina yang memiliki pola pikir Barat walaupun secara jelas menceritakan perlawanannya terhadap Israel yang menjadi antagonis dalam cerita A’ras Aminah. Hal menarik dalam penelitian ini yaitu pengamatan ini biasanya ditemukan ketika Orientalisme ditujukan sebagai orang Barat untuk mengamati Timur, namun peneliti mencoba meletakan Orientalisme sebagai Timur untuk mengamati Timur. Maka penelitiam imi membuahkan hasil bahwa pengetahuan tentang dunia orientalis dapat mengolah pola pikir penulis novel A`ros Aminah Ibrahim Nasrallah melalui caranya berpikir, mengetahui, dan menggambarkan Palestina serta distrikdistriknya.NIM.: 19200010093 Achmad Assegaf2024-02-15T02:13:25Z2024-02-15T02:13:25Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/63683This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/636832024-02-15T02:13:25ZKONFLIK SURIAH: STUDI PERAN AMERIKA SERIKAT DALAM PROSES PENGGULINGAN REZIM BASHAR AL-ASSADGejolak politik yang terjadi di kawasan Afrika Utara dan Timur Tengah,
yang diawali dari Tunisia, telah memicu serangkaian peristiwa yang dikenal dengan
istilah “Musim Semi Arab”. Dimana berbagai kalangan masyarakat turun ke jalan
untuk melakukan demonstrasi menentang pemerintahan yang otokratis, korup dan
sebagainya. Namun di antara massa aksi damai, terdapat para pemberontak lokal
yang mendapat pelatihan, pendanaan, dan bantuan material dari kekuatan asing
melalui organisasi yang sebagian besar didanai oleh Departemen Luar Negeri AS.
Sebuah sesi yang diadakan di Timur Tengah dengan mengumpulkan para aktivis
dari Tunisia, Mesir, Suriah dan Lebanon. Pada saat mereka kembali ke negara
masing-masing, mereka bekerja dengan tujuan untuk melatih rekan-rekan mereka
di sana.
Dengan demikian, penelitian ini mengkaji bagaimana tindakan Amerika
Serikat dalam mensponsori proses penggulingan rezim di Suriah, tidak terlepas dari
proses pengembangan, pasokan dan pengendalian cadangan minyak dan gas alam
di negara-negara kawasan Timur Tengah serta jaringan pipa yang diperlukan untuk
mengekspor migas ke pasar negara-negara Eropa, khususnya sekutu Amerika
Serikat. Dengan kata lain, peperang yang terjadi di Suriah, berkaitan dengan siapa
yang mempunyai kendali dan kekuasaan atas gas alam dan jaringan pipa di kawasan
Timur Tengah.
Penelitian ini menemukan bahwa setidaknya ada dua rencana proyek pipa
gas alam yang ternyata memiliki catatan sejarah tidak hanya bagi Suriah, namun
juga bagi AS, Rusia, Uni Eropa, dan negara-negara di kawasan Timur Tengah.
Kedua proyek tersebut sama-sama bertujuan untuk mengekspor gas ke pasar Eropa,
namun proyek ini dirancang oleh negara yang berbeda dan rute yang direncanakan
pun berbeda. Di satu sisi, proyek ini didukung oleh AS yang rencananya akan
memasok gas alam dari Qatar melalui Arab Saudi dan Suriah lalu ke Turki yang
selanjutnya akan diekspor ke pasar Eropa. Sementara itu, di sisi lain, proyek ini
juga didukung oleh Rusia yang berencana memasok gas dari Iran melalui Irak dan
Suriah, dari sini kemudian mengekspornya ke pasar Eropa. Dengan demikian,
kedua jalur pipa tersebut memiliki satu kesamaan, yakni melewati wilayah Suriah,
di sinilah letak posisi strategis negara tersebutNIM.: 19200012034 Ismir Lina2024-02-15T02:13:19Z2024-02-15T02:13:19Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/63682This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/636822024-02-15T02:13:19ZIRAN DAN POLEMIK JCPOA: KESEPAKATAN, IMPLEMENTASI, DAN PELANGGARAN NUKLIRThe Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) is a nuclear agreement signed by Iran and the P5+1 countries (United States, United Kingdom, France, Russia, China, and Germany) on July 14, 2015. The main objective of this agreement is to regulate Iran's nuclear program by reducing its nuclear capabilities in the hope of preventing the development of nuclear weapons. In return, Iran would be relieved from international economic sanctions. However, after the United States withdrew from the agreement in May 2018, strong economic sanctions were reimposed on Iran. This led to significant tensions between Iran and other countries that remained committed to the agreement, especially European nations. Since then, Iran began violating some clauses of the JCPOA in 2019 by increasing the production of low and high enriched uranium and surpassing the agreed-upon limits of nuclear fuel stockpiles. This has caused uncertainty regarding the sustainability of the JCPOA and has put pressure on other involved countries to find a solution to uphold the agreement.
Based on these issues, this thesis will comprehensively discuss the reasons why Iran violated the JCPOA in 2019. Borrowing theories from Richard C. Snyder, H.W. Bruck, and Burton Sapin regarding the Decision-Making Process, the author finds that there are four factors influencing Iran's breach of the agreement. Firstly, economic conditions. Following the U.S. withdrawal from the JCPOA and the imposition of harsher sanctions on Iran, Iran's economy suffered significant impacts, including currency depreciation, increased inflation, difficulties accessing global markets, and a decrease in foreign investment. Secondly, public support. Besides impacting domestic economic conditions, this also affected the level of trust among the Iranian population regarding the continuity of the JCPOA. Consequently, the majority of them supported the government's decision to exit the agreement. Thirdly, Donald Trump's policies. The future of the JCPOA became increasingly uncertain after Trump unilaterally withdrew the United States from the agreement. However, despite this, Iran attempted to maintain its membership status in the agreement. Fourthly, the ineffectiveness of the European Union in resolving U.S. sanctions against Iran. During this issue, the EU took several steps to address the problem, such as using central banks, special purpose vehicles, and instruments in support of trade exchanges. However, none of these measures were effectively realized, leading to disappointment for Iran.NIM.: 19200020235 Hoirun Nisa2024-02-15T01:54:49Z2024-02-15T01:54:49Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/63715This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/637152024-02-15T01:54:49ZKUDETA 21 SEPTEMBER YAMAN: STRUKTUR KESEMPATAN POLITIK, MOBILISASI SUMBER DAYA, DAN STRATEGI PEMBINGKAIANPenelitian ini mengkaji keberhasilan Gerakan Houthi dalam melancarkan kudeta pada 21 September 2014 di Yaman. Dengan mengadopsi kerangka teori gerakan sosial, penelitian ini berfokus pada analisis struktur kesempatan politik, mobilisasi sumber daya, dan strategi pembingkaian sebagai elemen kunci dalam pencapaian tujuan gerakan tersebut. Metode penelitian yang diterapkan adalah kualitatif, dengan pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka, mencakup analisis ceramah Abdul Malik al-Houthi, serta informasi dari media utama kelompok Houthi. Pengumpulan data juga melibatkan bacaan mendalam terhadap buku, artikel jurnal, disertasi, tesis, dan data dari media elektronik yang relevan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberhasilan Gerakan Houthi tidak terlepas dari konteks politik patronase dan korupsi rezim Saleh, gelombang protes tahun 2011, perpecahan elit rezim Saleh, munculnya kekuatan oposisi, kegagalan pemerintah transisi, dan kelemahan rezim baru Abdrabbuh Mansur Hadi. Houthi memandang situasi tersebut sebagai peluang untuk melancarkan aksi mereka. Mobilisasi sumber daya oleh Houthi, termasuk seruan terhadap identitas Zaidi, dukungan dari suku-suku utara, kapasitas militer Houthi, dukungan dari Iran, serta aliansi mengejutkan Houthi dengan rezim lama, Ali Abdullah Saleh, menjadi faktor krusial dalam keberhasilan kudeta.
Selain itu, keterampilan Houthi dalam memenangkan pertempuran atas makna dan kebijaksanaan publik, dengan menggunakan media sebagai alat framing untuk memperkuat pesan anti-rezim, anti-imperialisme, anti-Zionisme, dan Islamisme. Kombinasi strategi pembingkaian ini membantu mengukuhkan posisi Gerakan Houthi dan meraih dukungan publik yang diperlukan. Penelitian ini memberikan wawasan mendalam tentang faktor-faktor yang melandasi keberhasilan Gerakan Houthi.NIM.: 21200011093 Muh. Zulkarnain2024-02-15T01:52:22Z2024-02-15T01:52:22Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/63714This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/637142024-02-15T01:52:22ZPOLITIK & MILITER: EKSISTENSI MILITER DALAM PERPOLITIKAN MESIR PADA KEPEMIMPINAN ABDEL FATAH AL-SISIThe fall of Mubarak, which was triggered by a mass movement to realize the people's desire to become a democratic country, was taken over again by the military by coup d'etat Mursi who was elected through democratic elections. Egypt experienced this failure of democracy due to the failure of an agreement regarding the division of power. Starting from the gap between the desires of the Egyptian people and Abdel Fatah Al-Sisi's political conditions, it became interesting to study the political conditions of Egypt and the condition of Egyptian democracy during Abdel Fatah Al-Sisi's reign. This research uses a qualitative approach with literature study. The strategy in this research is a descriptive case study with in-depth analysis through a literature study that discusses Abdel Fatah Al-Sisi's policies in the period 2013 to 2022. In carrying out the analysis, this research is divided into five stages, namely pattern matching, connecting data with propositions, making explanations. , time series analysis, logic models, and cross-case synthesis. The use of democracy index theory to see the condition of Egyptian democracy issued by the Economist Intelligence Unit is explained according to existing data and then analyzed for each item of the democracy index such as free and fair general elections, voter security, foreign influence and the ability of government officials to implement policy. Egypt's political condition cannot be separated from the military's role in it. The praetorian concept in the discussion of this thesis is divided into two types, namely the arbitrator type and the ruler type. The type of ruler better describes Egyptian political conditions which are dominated by the military. This can be seen in various policies issued such as nationalization, extraction, building institutions that are under military control. Judging from various aspects that are indicators in the global democracy index, Egypt scored below 4 from 2013 to 2022, namely during Abdel Fatah Al-Sisi's government. This indicates that Egyptian democracy is still in an authoritarian regime.NIM.: 21200011049 Lutfi Rosyad Alfikri, S.Psi.2024-01-19T02:11:15Z2024-01-19T02:11:15Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/63095This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/630952024-01-19T02:11:15ZVIRTUAL CALIPHATE: KONSTRUKSI NARASI PROPAGANDA DALAM REKRUTMEN ONLINE ISISPenelitian ini mengkaji tentang bagaimana konstruksi narasi propaganda ISIS
dalam melakukan rekrutmen online. Secara spesifik penelitian ini memuruskan
beberapa permasalahan yaitu; media apa saja yang digunakan oleh ISIS untuk
melakukan rekrutmen online? mengapa ISIS mengkonstruksi narasi propaganda
agama tersebut? Bagaimana bentuk dan nilai-nilai narasi propaganda agama yang
digunakan ISIS untuk melakukan rekrutmen online? dan langkah apa yang
dilakukan oleh pemerintah dan tokoh agama Indoneisa dan Mesir dalam
menanggulangi masalah tersebut? Dengan menggunakan teori simulacra dan
hiperrealitas dari Jean Baudrillard, penelitian ini menyimpulkan bahwa media
sosial yang digunakan oleh ISIS dalam melakukan rekrutmen online sekurangkurangnya
ada 21 platform media sosial. Adapun yang paling massif
peggunaannya adalah twitter, facebook, telegram, youtube dan website.
Propaganda ISIS tersebut dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya keinginan
mereka utuk mendirikan khilafah, melakukan ekspansi global dan menandingi
barat dan musuh Islam. Penelitian ini menemukan bahwa narasi propaganda ISIS
setidaknya dikonstruksi oleh empat hal, yaitu narasi mereka tentang janji surga,
pencitraan kebenaran dan keadilan, pemberdayaan individu dan kesejahteraan
ekonomi. Sehingga secara garis besar narasi-narasi tersebut memuat dua nilai
yaitu nilai utopianisme dan resilience. Narasi propaganda ISIS sukses merekrut
jutaan orang dari mancanegara, termasuk salah duanya adalah Indonesia dan
Mesir. Sehingga kedua negara tersebut sampai saat ini masih aktif untuk
melakukan deradikalisasi dengan berbagai macam cara. Kebijakan kedua negara
ini melibatkan pemerintah dan tokoh agama yang kemudian terimplementasi
melalui aturan-aturan pemerintah, dialog antar agama, dan khubah-khutbah
keagamaan.NIM.: 2120012093 Fendi Utomo2024-01-19T02:06:50Z2024-01-19T02:06:50Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/63093This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/630932024-01-19T02:06:50ZPEMBANGUNAN DEMOKRATISASI ERA PRESIDEN KAIS SAIED DI TUNISIATunisia merupakan negara yang berhasill melakukan transisi dan
konsolidasi demokrasi dibandingkan dengan negara-negara kawasan Timur Tengah
pasca peristiwa Arab Spring. Unsur-unsur demokrasi; pemilihan umum yang bebas
dan adil secara berkala, jaminan terhadap kebebasan berkespresi dan pers dan
keterlibatan masyarakat sipil dalam urusan publik mulai dirasakan di negara ini.
Setelah pemilihan umum yang adil dan kompetitif di tahun 2019 dengan terpilihnya
Kais Saied sebagai presiden, demokrasi di Tunisia berjalan sesuai dengan jalurnya.
Namun, ketidakstabilan politik muncul setelah tindakan politik Presiden Saied yang
mengeluarkan dekrit darurat pada 25 Juli 2021; dengan membubarkan parlemen,
mengakhiri jabatan perdana menteri dan menguasai lembaga-lembaga
pemerintahan. Tindakan Presiden Saied ini dinilai dapat menghambat
pembangunan demokratisasi di Tunisia. Penelitian ini akan melihat bagaimana
pembangunan demokratisasi, dilihat dari tindakan-tindakan Presiden Saied dan apa
dampaknya terhadap demokrasi di Tunisia.
Penelitian ini menggunakan pendekatan postmodernisme dalam melihat
elemen-elemen yang membangun demokratisasi dan menggunakan teori
demokrasi Robert Dahl di satu sisi dan di sisi lain akan melihat tindakan otoriter
Presiden Saied dengan menggunakan teori otoritarianisme Levitsky dan Ziblatt.
Juga menggunakan teori relativisme budaya Huntington dalam melihat struktur
demokrasi di Tunisia yang dipengaruhi oleh budaya dan agama. Penelitian
kualitatif deskriptif digunakan untuk menganalisi bagian-bagian dari tindakan
politik Presiden Saied dalam proses demokratisasi di Tunisia.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa proses demokratisasi di Tunisia
dinilai berhasil dilihat dari pelaksanaan pemilu secara berkala, peran dan
partisipasi masyarakat dan jaminan terhadap kebebasan berkespresi dan pers, yang
dipengaruhi oleh unsur budaya dan agama di Tunisia. Namun, permbangunan
demokratisasi di Tunisia mengalami stagnasi akibat tindakan-tindakan yang
terjadi setelah Presiden Saied mengeluarkan dekrit seperti; penolakan terhadap
sistem demokrasi, penguasaan terhadap media dan tindakan represif oleh kemanan
yang berwajib terhadap para demonstran dan jurnalis, hal ini menunjukkan
kemunduran prinsip-prinsip demokrasi di Tunisia yang mengarah pada tindakan
otoriter. Dampak dari tindakan Presiden Saied menunjukkan kemunduran prinsipprinsip
demokratisasi di Tunisia setelah pencapaian yang diperoleh pasca Arab
Spring.NIM.: 21200012058 Mohamad Fuat Najib2023-10-18T06:34:03Z2023-10-18T06:34:03Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/61398This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/613982023-10-18T06:34:03ZJARINGAN ORGANISASI JAM’IYYAH IHYA’ AL-TURATH KUWAIT DAN PENGARUHNYA TERHADAP GERAKAN SALAFI DI INDONESIAGerakan Salafi di seluruh dunia telah berkembang pesat dalam segala aspek. Tentu perkembangan tersebut tak bisa lepas dari sumber daya yang didapatkan, salah satunya adalah sumber daya yang berasal dari berbagai macam organisasi filantropi yang berasal dari negara-negara Islam. Dalam penelitian ini berfokus kepada sebuah organisasi filantropi Kuwait yang berideologikan Salafi bernama Jam’iyyah Ihya’ al-Turath, organisasi tersebut menyalurkan berbagai macam bentuk sumber daya untuk disalurkan ke berbagai gerakan Salafi di seluruh dunia termasuk Indonesia.
Tesis ini memfokuskan pada persebaran jaringan-jaringan Jam’iyyah Ihya al-Turath dan juga pengaruhnya terhadap gerakan Salafi di Indonesia. Adapun teori-teori yang digunakan sebagai landasan untuk mengkaji fokus tesis ini adalah Teori Jaringan Sosial dan Teori Relational Ties, Dyad, dan Triad yang membantu untuk menjelaskan berbagai faktor yang berkaitan dengan hubungan dan pengaruh Jam’iyyah Ihya al-Turath terhadap gerakan Salafi di Indonesia.
Penelitian ini menemukan bahwa aliran sumber daya yang diberikan oleh Jam’iyyah Ihya al-Turath turut memberikan pengaruh dan perkembangan terhadap gerakan Salafi di Indonesia di berbagai macam aspek, diantaranya: 1) Bidang ekonomi; 2) Bidang pendidikan; 3) Bidang kesehatan; dan 4) Bidang dakwah dan sosial. Dengan berbagai pengaruh tersebut, gerakan dakwah Salafi berpotensi untuk berkembang lebih pesat di berbagai wilayah di Indonesia.NIM.: 20200012077 Aiman, S. Hum2023-07-06T03:08:54Z2023-07-06T03:08:54Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/59594This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/595942023-07-06T03:08:54ZPUBLIC SPHERE DAN POLITIK PROTES GENDER: TRANSFORMASI GERAKAN FEMINISME ERA PRESIDEN MANSHOUR HADIYemen is a conservative country where there are many gender biases in terms of women's rights in the fields of education, health, and the economy. In addition, Yemen is classified as a poor country in the Middle East and is not free from conflict, both ethnic and religious. Yemeni women become powerless due to religious authority and repressive social structures, so they accept injustice in their position as part of society. This causes the role of women in Yemen to be marginalized in the political, economic, and social spaces.
This study aims to explore and examine the emergence of the politics of gender protest in the Yemeni public space during the reign of Manshour Hadi from 2012 to 2020. Jürgen Habermas's public sphere approach in the context of public space has an important role in democracy because it allows citizens to meet, communicate, and make collective decisions, as well as influence public policy. Then, the approach of the gender movement with the political concept of women's piety Saba Mahmood's views on religion and freedom, capitalism, and liberalism in contemporary conflicts in the Middle East are used to understand a Yemeni women's movement present in the public space voicing gender equality. In addition, Juliet Mitchell's socialist-Marxist feminism approach to capitalism and patriarchy is used to examine the division of labor between women and men and the separation between men in the public world and women in the domestic world. The method used is a qualitative method with a literature study data collection technique.
The research results obtained revealed that efforts to empower women in Yemen encountered various obstacles due to a lack of capacity among women leaders, political and economic instability, and a lack of a culture of political support. In this study, the authors found that a strong patriarchal culture attached to religious dogmas became a benchmark for the failure of Yemeni women's empowerment. Politically, there are efforts by the Yemeni government to support the women's empowerment strategy to achieve gender equality, but socially, the community, especially traditional figures, do not support the existence of a gender equality empowerment strategy.NIM.: 20200011126 Anisa Isdiyanti2023-05-29T07:38:23Z2023-05-29T07:38:23Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/58959This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/589592023-05-29T07:38:23ZOMAN MODERN: IBADI, TOLERANSI DAN PRAGMATISME KEBIJAKAN POLITIK LUAR NEGERIGerakan teologi Ibadi yang lahir pertama kali di Basrah Irak menyebar luas ke beberapa wilayah di Timur Tengah oleh para hamalat al-‘ilm diantaranya menyebar ke Oman. Pada mulanya Ibadi tidak lebih dari gerakan keagamaan namun lambat laun Ibadi bertransformasi menjadi kekuatan politik yang membuat kerajaan besar saat itu seperti Umayyah dan Abbasiyah terusik dan merasa perlu untuk memerangi kelompok Ibadi. Namun Ibadi Oman diuntungkan secara geografis karena konstruk wilayah Oman banyak berupa dataran tinggi pegunungan sehingga menyulitkan pihak lawan dalam berkonfrontasi secara langsung. Gerakan Ibadi di Oman mampu menancapkan eksistensinya sebagai pemimpin agama dan politik hingga berabad-abad lamanya dalam bingkai kepemimpinan imamah dan kesultanan.
Penelitian ini mengkaji bagaimana gerakan Ibadi dapat mengkonstruksi toleransi, koeksistensi pada tataran grassroot berikut mengetengahkan pertanyaan mengapa teologi Ibadi cenderung melakukan kompromi atas teori politiknya sehingga memunculkan kesan inkosisten dan bagaimana pengaruhnya terhadap proses politik di Oman utamanya yang menyangkut hubungan luar negeri. Analisisnya menggunakan teori teologi publik, kebijakan luar negeri dan pilihan rasional yang membantu menjelaskan peranan teologi Ibadi di ruang publik Oman berikut peranannya dalam setiap proses politik di Oman.
Penelitian ini menemukan bahwa Ibadi menjadi madzhab resmi negara Oman dan merupakan teologi yang dianut oleh mayoritas masyarakat Oman, meskipun ada beberapa sekte lain seperti sunni dan syi’ah walaupun jumlahnya sedikit. Berikutnya eksistensi Ibadi juga turut mewarnai kerukunan, toleransi dan koeksistensi kehidupan mayarakat Oman yang heterogen. Selanjutnya dalam konteks politik sejak pertama kali Islam hadir di Oman, Ibadi menjadi garda terdepan dalam mengawal proses politik baik di masa imamah maupun kesultanan. Terakhir, dalam sejarahnya bentuk politik Ibadi Oman terbilang unik karena mengakomodir beragam label kepemimpinan, meskipun terkesan inkonsisten namun ada prinsip yang tidak boleh hilang dalam teori politik Oman yaitu syura, keadilan dan memenuhi kepuasan masyarakat.NIM.: 20200012094 Akhmad Saikuddin, S.Th.I2022-10-12T02:00:18Z2022-10-12T02:00:18Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/54055This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/540552022-10-12T02:00:18ZDIASPORA BANGSA SIRKASIA KE TURKI UTSMANI (ABAD KE-19)Penolakan sebuah olimpiade pada tahun 2014 di beberapa tempat di
negara yang berbeda menjadi fenomena sosial yang menimbulkan pertanyaan
bagaimana hal tersebut terjadi serta munculnya tagline yang merujuk
terhadap sebuah peristiwa masa lampau tahun 1864 menjadi pemicu
pencarian informasi lebih lanjut tentang fenomena tersebut penemuan kliping
yang mengaitkan demonstrasi tersebut dengan bangsa Sirkasia yang
mengungsi ke Trebizonde pada tahun 1864 akibat agresi dan pembantaian
yang dilakukan Kekaisaran Rusia dianggap sebagai faktor pendorong
persebaran penolakan dengan tendensi isu identitas suku bangsa Sirkasia.
Berdasarkan uraian tersebut masalah yang muncul adalah bagaimana
diaspora bangsa Sirkasia terjadi dan penyebabnya. Tujuan dalam penelitian
ini adalah mengetahui bagaimana hal tersebut terjadi dan mengingatkan
terhadap pentingnya identitas kebangsaan.
Pada penelitian ini menggunakan pendekatan antropologi sosial dan
politik dengan menggunakan Teori Migrasi Everett S. Lee juga konsep
Diaspora dan Genosida, penggunaan teori tersebut akibat dari gerakan
mobilitas yang terjadi pada 1864 serta kejadian genosida yang berkaitan
dengan mobilitas tersebut selain itu juga sudut pandang fenomena tersebut
adalah bentuk diaspora yang diakibatkan masa lampau. Metode yang
digunakan oleh peneliti adalah metode penelitian sejarah dengan empat
tahapan (1) Heuristik, (2)Verifikasi, (3)Interpretasi, dan (4)Historiografi
yang didukung menggunakan ilmu kartografi untuk visualisasi.
Faktor kepentingan geopolitik penguasa besar dari abad ke-15 untuk
mengintervensi wilayah kekuasaan tradisional monarki kluster suku bangsa
Kaukasus yang berakhir dengan pembersihan kluster mereka berhubungan
dengan mobilitas bangsa Sirkasia pindah menuju Turki Utsmani. Perang
Krimea yang terjadi pada 1853-1856 memunculkan Treaty of Paris dengan
kesepakatan pengambilan sumber daya manusia dari Kaukasus Utara yaitu
bangsa Sirkasia ke Turki Utsmani akibat intervensi diplomat Britania Raya
di Turki Utsmani. Serta faktor dorongan kebutuhan sumber daya kekuasaan
Turki Utsmani untuk mengembangkan kekuasaannya, namun hal tersebut
menjadi senjata makan tuan bahwa bangsa Sirkasia setelah perang dunia ke
satu berpihak kepada komplotan gerakan sekuler yang dipimpin oleh Mustafa
Kemal Attaturk. Ke ikut sertaan bangsa Sirkasia dalam keruntuhan Turki
Utsmani menjadi momok keberpihakan politik tidak dipengaruhi oleh
kesamaan agama secara menyeluruh.NIM.: 15120069 Ade Fauzan Zulfikar2022-10-07T04:28:13Z2022-10-07T04:28:13Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/53987This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/539872022-10-07T04:28:13ZDAWR AL MAR'AH FI AL QITHA' AL 'AM : BAYNA FATAWA AL 'ULAMA' AL SU'UDIYYIN WA RU'YAH AL MAMLAKAH AL 'ARABIYYAH AL SU'UDIYYAH 2030This study examines the representations of the figure and role of Saudi women in the fatwas of Salafi clerics and Saudi Vision 2030. In addition, this study also discusses the Saudi Arabian government's strategy in controlling the role of ulama so that the new fatwas tend to follow state policies. The text of the fatwa and the Saudi Vision 2030 were analyzed using critical discourse analysis, while the government's control over the ulama was analyzed using the theory of repression and co-optation.
The results of this study indicate that the figure and role of women in the
fatwas of Saudi Arabia's Salafi clerics tend to be described in a discriminatory
manner. Scholars direct women to play a role in the domestic sphere. Ulama limit the role of women in education and work. Women in the ulama's fatwas are also represented as people who are attached to a negative stigma. Domestication of the role of women in fatwa discourse cannot be separated from the ideology of Salafi scholars who are anti-equality. Salafi clerics who have the authority to organize the social sphere can freely direct the actions of the people of Saudi Arabia, including women, to play a role in the domestic
sphere. In addition, the great access of ulama to the government is able to make discriminatory fatwas against women as official state laws that are generally accepted in society.
In contrast to the fatwa of Salafi clerics, the government in the Saudi Vision 2030 represents women as more positive figures. The government describes women as state assets, economic drivers, potential resources, open, and energetic. In this vision, the government provides equal opportunities for
women and men to get education, training, and jobs. Women are encouraged to contribute to economic and social development. In this context, the
government encourages women to be more involved in the labor market. The involvement of women in the public sphere is inseparable from the ideology of the Saudi Arabian government during the reign of King Salman bin Abdul Azis and Muhammad bin Salman which tends to lead to liberalization aimed at economic diversification and the legitimacy of power.
Saudi Vision 2030 directs the government to carry out reforms to increase the role of women in the public sphere. The government has replaced many state laws which were adopted from the previous ulama's fatwas. To minimize protests from the ulama, the government made efforts of repression and cooptation. The government's strategy of repression was applied to deal with ulama who openly opposed the reform policy. Meanwhile, to gain the
legitimacy of the ulama, the government implements a co-optation strategy by selecting moderate and pro-government ulama to fill certain religious positions. The strategy of repression and co-optation affects the attitude of the
ulama in responding to the reforms. In this context, the latest fatwas of contemporary Salafi scholars related to the role of women are different from the previous fatwas of Salafi scholars. The fatwas of contemporary Salafi
clerics are more likely to follow the liberalization plan carried out by the governments of King Salman bin Abdul Azis and Crown Prince Muhammad bin Salman.NIM.: 18300016023 Faiq Ainurrofiq, M.A2022-10-07T04:21:28Z2022-10-07T04:36:35Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/53988This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/539882022-10-07T04:21:28ZAL HAYMANAH AL ZUKURIYYAH WA TAHADDIYAT AL QIYADAH AL NISA'IYYAH "LIBYA NAMUWZJAN"Penelitian ini mengulas tentang hegemoni patriarki dan
tantangan kepemimpinan perempuan dalam masyarakat Libya.
Penelitian ini dilaksanakan berdasarkan kerangka analisis
fungsional yang melihat bahwa hegemoni patriarki adalah salah
satu problem yang dihadapi oleh perempuan Libya dari sisi
pembatasan kebebasan dan marjinalisasi peran nyata mereka,
sehingga terjadi disfungsi peran dalam masyarakat. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi fenomena hegemoni
patriarki dalam masyarakat Libya, dan mengapa hegemoni patriarki
ini makin menguat pasca Arab Spring. Penelitian ini juga
mengidentifikasi tantangan dan hambatan yang dihadapi para
pemimpin perempuan di Libya, walaupun saat ini berbagai upaya
telah dan sedang dilakukan agar perempuan mendapatkan hak
penuh mereka di segala bidang. Selain hambatan dan tantangan,
penelitian ini juga mengidentifikasi hal-hal yang berkontribusi pada
keberhasilan para pemimpin perempuan di Libya. Penelitian ini
merupakan kajian deskriptif analitik berdasarkan pendekatan
kuantitatif dan kualitatif. Data penelitian dikumpulkan lewat survei
sosial melalui angket kuesioner terstandar dengan sampel karyawan
pria dan wanita dari beberapa kementerian di Libya sejumlah 150
orang. Sementara itu, data kualitatif diambil melalui wawancara
dan observasi terhadap beberapa pimpinan yang berjumlah 33
orang. Untuk menganalisis data tersebut, peneliti menggunakan
beberapa pendekatan statistik yang tersedia melalui aplikasi
statistik SPSS, baik untuk analisis data dengan variabel tunggal
(karakteristik sampel) maupun data hipotesis penelitian. Ukuran
tendensi sentral dan dispersi digunakan untuk menganalisis data
variabel tunggal, sedangkan ukuran rata-rata tertimbang dan bobot
presentase digunakan untuk menentukan kepentingan relatif dari
hipotesis penelitian..
Penelitian ini sampai kepada kesimpulan berikut: Pertama,
bahwasanya hegemoni patriarki dalam masyarakat Libya semakin menguat pasca Arab Spring dengan signifikansi sedang. Terkait
dengan ini, aspek sosiopolitik memiliki pengaruh yang lebih
signifikan daripada aspek ekonomi maupun religius, yang
berpengaruh pada hegemoni patriarki berikut dampaknya terhadap
tantangan kepemimpinan perempuan. Kedua, para pimpinan
perempuan di Libya menghadapi berbagai hambatan dan tantangan
yang meliputi sosial, budaya, politik, dan yuridis, termasuk
hambatan personal dari pihak perempuan itu sendiri. Hambatanhambatan
ini telah menghalangi mereka untuk tidak memegang
posisi kepemimpinan, atau menjadi alasan mereka untuk
mengundurkan diri.
Ketiga, terdapat tantangan yang signifikan yang dihadapi oleh
perempuan dalam menduduki posisi kepemimpinan. Tantangan
terberatnya adalah budaya yang dominan di masyarakat terkait
persepsi soal perempuan, bahwa perempuan itu minus kompetensi
karena sifatnya yang emosional dan irasional, sehingga mereka
tidak kompeten untuk memegang posisi kepemimpinan. Perlu
dicatat bahwa budaya yang diwariskan ini tidak terbatas hanya pada
persepsi masyarakat secara umum tentang perempuan, akan tetapi
juga persepsi perempuan tentang diri dan peran mereka sendiri,
yang berdampak pada minimalisasi potensi pencalonan perempuan
untuk memimpin, dan pelemahan kepercayaan diri mereka untuk
mengambil posisi kepemimpinan dalam masyarakat Libya.
Pandangan stereotip pada masyarakat patriarki merupakan kendala
bagi para pemimpin perempuan. Pola asuh patriarki juga
memperkuat citra negatif perempuan dan mendegradasinya.
Tercatat ada upaya para perempuan untuk mengikis hegemoni ini,
namun perubahannya sangat lambat pada tataran realita perempuan
Libya. Rintangan lainnya adalah keengganan perempuan sendiri
untuk maju ke posisi pimpinan sebagai efek dari tidak terwujudnya
keamanan di negara, juga efek berbagai kekerasan yang dilakukan
terhadap politisi perempuan, termasuk absennya konstitusi yang
menjamin hak perempuanNIM.: 19300016145 Laylay Alfaytouri Abdussalam Baddah2022-10-04T04:43:56Z2022-10-04T04:43:56Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/53833This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/538332022-10-04T04:43:56ZPERBANDINGAN KONSTITUSI IRAK DENGAN KONSTITUSI INDONESIA PERSPEKTIF SIYASAH DUSTURIYAHIn the government systems of Iraq and Indonesia, there are clear differences. Indonesia adheres to a purely presidential system of government, while Iraq adheres to a semi-presidential government system. This is written in the 2005 Iraqi Constitution and the Indonesian state which made the 1945 Constitution the state constitution. Likewise with the model and concept of the constitution in the perspective of Siyāsah Dustūriyah. The concept of separation of powers is divided into three, namely the executive, legislative, and judicial (Trias Politica). According to Abdul Wahab, the important elements in the study of fiqh siyasa dusturiyah consist of three things, the first is the form of government and legislation. Second, respect for individual rights. And third, regarding the areas of power.
This type of research uses library research, namely research obtained from various sources of books, journals, magazines, manuscripts, documents and so on. The approach methods used in this research are the comparative approach and the historical approach. Meanwhile, the data analysis method in this study used qualitative data analysis, with inductive and deductive methods.
The result of the research that has been done is that between Iraq and Indonesia, the system of government and constitution is very inversely proportional to one another. As for the separation of powers, they both use the trias politica form, but in the division of authority each country is quite different. In the perspective of siyasa dusturiyah, both Iraq and Indonesia have state principles that are quite different from the principles and shari'ah that apply to siyasa dusturiyah. However, in some aspects of governance and institutions, the two countries can be said to have complied with the principle of siyasa dusturiyah according to Abdul Wahab Khallaf's view.NIM.: 18103070013 Luthfiyah Asfrida2022-09-28T01:23:24Z2022-09-28T01:24:56Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/53528This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/535282022-09-28T01:23:24ZARAH BARU GERAKAN FEMINISME DI TUNISIA DAN POLITIK IDENTITAS POS- ARAB SPRING TAHUN 2011-2015Gerakan feminisme di Tunisia mengalami perubahan dan transformasi yang signifikan post-Arab Spring. Hal ini menjadi momentum bagi Tunisia dalam proses revolusi maupun pasca revolusi. Situasi ini juga dimanfaatkan dengan baik oleh para perempuan dan gerakan feminisme Tunisia untuk ikut serta dan terlibat dalam proses revolusi dan transisi pemerintahan. Jika sebelum Arab Spring pola gerakan feminisme lebih pada ideologi negara (state feminism), tetapi pasca Arab Spring lebih mengarah pada aktivisme gender. Kondisi ini mengindikasikan bahwa gerakan feminisme post-Arab Spring lebih partisipatif dibandingkan sebelumnya.
Selain itu, politik identitas di Tunisia juga menguat post-Arab Spring. Proses transisi pemerintahan dan demokratisasi membuat negara tersebut harus mampu keluar dari berbagai persoalan politik. Kontestasi dan proses negosiasi antara kelompok Islamis vis-à-vis sekularis juga tidak dapat terhindarkan. Kedua kelompok tersebut saling berebut kekuasaan dan posisi politik dalam proses transisi pasca Arab Spring. Sehingga penelitian ini bertujuan untuk mengkaji, menelaah, melacak dan memberikan perspektif yang baru dalam persoalan diskursus gerakan feminisme dan politik identitas Tunisia. Sementara itu, penelitian ini mengajukan beberapa pertanyaan, yakni terkait bagaimana arah baru gerakan feminisme Tunisia pada masa post-Arab Spring, bagaimana konstelasi politik identitas di Tunisia post-Arab Spring, dan mengapa politik identitas dan upaya gerakan kelompok feminisme menguat post-Arab Spring dalam persoalan politik Tunisia.Dalam menganalisis bagaimana transformasi gerakan feminisme dan poltik di Tunisia, peneliti menggunakan teori gerakan sosial. Tiga kompenen utama dalam teori ini yakni, peluang politis (political opportunity structure), siklus penentangan (cycle of contention), dan pembingkaian (framing).
Penelitian ini menemukan bahwa gerakan feminisme di Tunisia pada post-Arab Spring mengarah pada aktivisme gender atau peneliti dalam hal ini memilih menyebut dengan istilah “feminisme partisipatif”. Para perempuan ikut terlibat dan berpartisipasi aktif dalam pemerintahan maupun merespon berbagai isu penting terkait isu perempuan, gender, dan hak asasi manusia. Selain itu, politik identitas sebelum dan pasca Arab Spring juga menjadi perdebatan dan persoalan serius bagi Tunisia, terutama di tengah proses transisi politik post- Arab Spring. Sehingga, antar kedua kelompok, baik Islamis dan sekularis berusaha berkontestasi dan bernegosiasi untuk mendapatkan tempat dan jabatan politik di pemerintahan.NIM.: 20200011035 Ayu Maulida Alkholid, S.Hum2022-09-26T01:54:13Z2022-09-26T01:54:13Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/53412This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/534122022-09-26T01:54:13ZDINAMIKA KEAGAMAAN, SOSIAL, POLITIK ARAB SAUDI DAN VISI 2030 MUHAMMAD BIN SALMAN: ANALISIS TEORI PERUBAHAN SOSIAL DAN MODERNISASIArab Saudi merupakan salah satu negara di kawasan Timur Tengah yang
memiliki sejarah yang panjang, karakteristik masyarakat dengan watak budaya
kesukuan yang kuat menyebabkan konservatisme tumbuh subur di negara ini.
Pertautan antara Wahabi dan Kerajaan pada awal pendirian negara Arab Saudi
berimplikasi kepada terjadinya berbagai percampuran antara nilai-nilai tradisional
kesukuan masyarakat Arab dengan ajaran-ajaran Islam ala Wahabi, sehingga sulit
dibedakan antara prinsip agama dan nilai-nilai lokalitas masyarakat di Arab Saudi.
Selain itu budaya patriarki di masyarakat, otoritarianisme di tingkat elit kerajaan
dan puritanisme dikalangan ulama Wahabi menyebabkan Arab Saudi mendapatkan
citra buruk di masyarakat internasional. Karakter tersebut melekat pada masyarakat
Arab Saudi selama puluhan bahkan ratusan tahun sehingga mewarnai berbagai
dinamika keagamaan sosial dan politik di Arab Saudi.Visi 2030 dianggap menjadi
sebab terjadinya perubahan-perubahan secara radikal di Arab Saudi, awalnya
diformulasikan untuk mendivesifikasi ekonomi di Arab Saudi namun ternyata juga
berdampak pada reformasi besar-besaran sektor lainnya seperti sosial keagamaan
dan politik. Teori perubahan sosial dan Modernisasi akan memotret landasanlandasan
filosofis terhadap dinamika keagamaan, sosial dan politik sebelum dan
sesudah visi 2030.
Penelitian ini mengacu pada penelitian pustaka (Library Research) dengan
jenis penelitian kualitatif menggunakan teori perubahan sosial dan modernisasi
sebagai pisau analisis. Adapun dalam pengumpulan data, penulis menggunakan
data primer berupa data yang berhubungan secara langsung dengan visi 2030
seperti dokumen terkait dengan visi 2030 serta buku-buku induk tentang teori
perubahan sosial dan modernisasi, sedangkan data sekunder adalah merupakan data
apapun yang dapat menunjang data primer. Seperti artikel, jurnal, karya ilmiah dan
lainnya.
Tesis ini menunjukan hasil penelitian bahwa telah terjadi berbagai dinamika
di Arab Saudi khususnya pasca visi 2030. Dalam hal Keagamaan telah terjadi
perubahan menuju Islam yang lebih inklusif dan tidak kaku, kelompok-kelompok
Islam di Arab Saudi mulai mendapatkan ruang kebebasan beragama seperti
menjalankan tradisi yang selama ini dibatasi. Pada aspek Sosial, budaya patriarki
mulai tidak diminati, persamaan hak antara perempuan dan laki-laki menggeliat,
perempuan bisa beraktivitas di ruang publik. Dalam hal Politik secara internal
transformasi di dalam pemerintahan mulai dilakukan, namun kebebasan
berekspresi dan berpendapat masih belum sepenuhnya terelaisasi. Secara eksternal
Arab Saudi mengambil kebijakan politiknya seperti intervensi perang Yaman.
Dinamika keagamaan, sosial dan politik yang terjadi di Arab Saudi sebelum visi
2030 dalam teori perubahan sosial secara proses bersifat evolusi atau membutuhkan
proses yang lama, sedangkan berdasarkan dampak bersifat perubahan besar.
Landasan filosofis yang menyebabkan terjadinya perubahan dinamika keagamaan,
sosial dan politik adalah kesadaran dari mayoritas elemen masyarakat itu sendiri.
Sedangkan dalam teori modernisasi, dinamika keagamaan, sosial dan politik
merupakan suatu upaya dari masyarakat Arab Saudi meninggalkan sesuatu yang
lama dan bergerak menuju sesuatu yang baru atau modern. Sesuatu yang lama atau tradisonal diasumsikan dengan keterbelakangan sedangkan modernitas adalah
suatu kemajuan.NIM.: 18200010103 Moh. Wildan Alfaruk, S.Ag.2022-09-08T04:46:00Z2022-09-08T04:46:00Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/52807This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/528072022-09-08T04:46:00ZRELASI KERAJAAN ACEH DARUSSALAM DENGAN TURKI UTSMANI DALAM MENGHADAPI PORTUGIS TAHUN 1537-1571 MThe scientific work of this thesis is entitled "Relations of the Kingdom of Aceh
Darussalam with the Ottoman Turk in Facing the Portuguese in 1537-1571 CE ." The
Kingdom of Aceh Darussalam is an Islamic Kingdom that existed in the 16th Century.
Meanwhile in the West, the Islamic kingdom which became the last caliphate, namely the
Ottoman Empire, was at the peak of its glory under the leadership of Sulaiman Al-Qanuni.
On the otherside, the Portuguese had succeeded in conquering Malacca and became a
threat to the Islamic Kingdoms in the archipelago, especially Aceh Darussalam, especially
because Aceh was close to Malacca which was the main Portuguese base. On the other
hand, Portugal was also a big enemy and an obstacle for the Ottoman Turks in carrying out
da'wah, expansion and trade, especially in the eastern region. Because Aceh and the
Ottoman Turk both faced the same enemy and on the other hand the Ottoman Turk were
the protectors of Muslims in various parts of the world, the Kingdom of Aceh Darussalam
established diplomatic relations with the Ottoman Turk to deal with the Portuguese threat
in the archipelago
The focus of the problems discussed in this study is the relationship between Aceh
Darussalam and the Ottoman Turk against the Portuguese in 1537-1571 CE. By focusing
on the formulation of the problem. First, how are the diplomatic relations between the
Kingdom of Aceh and the Ottoman Turk. Second, why did the Aceh Kingdom build
diplomatic relations with the Ottoman Empire. In following this problem statement, the
author uses the relation theory proposed by Spradley and McCurdy and is guided by
historical methods which include Heuristics, Criticism, Interpretation and Historiography.
The results of this study indicate that Aceh Darussalam's Relations with the Ottoman Turk
were first seen in 1539 during the battle against the Aceh-Portuguese alliance in that battle,
Aceh received military assistance from the Ottoman Turk. Aceh also received assistance
from Turkey against the Aru Kingdom, which that time was also in alliance with the
Portuguese. In 1561 and the years after that, Aceh resumed relations with the Ottoman
Turk which then continued after the reign of Alauddin Riayat Syah. There are several
points that the purpose of the alliance between Aceh Darussalam and the Ottoman Turk
was to facilitate access for Nusantara traders to trade in the Red Sea safely because they
received protection assistance from the Ottoman Turk. Meanwhile, from the Ottomans
themselves, with this alliance they got the right to establish trading offices in the
archipelago so that the Ottoman Turk were easier to expand business expansion into the
Archipelago. In addition, this alliance also facilitated the Ottoman Turk in securing trade
routes in the Indian Ocean which were very important for Muslim countries in the
Mediterranean Sea such as Turkey itself and the Arabian Peninsula. On the otherside, the
Aceh-Turkey relationship makes the pilgrimate route relatively safer, especially for
pilgrims from the Archipelago. In the military field, Aceh-Turkey relations have made
progress for the Aceh military because of the military assistance provided by Turkey. Aceh
can establish a superior military academy with several Ottoman Turkish military experts
serving as teaching staff there.NIM.: 18201020002 Muhammad Iqbal Ibnu Zena2022-07-12T07:16:52Z2022-07-12T07:16:52Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/51868This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/518682022-07-12T07:16:52ZSalafisme, Transisi Politik, dan Arah Gerakan: Pragmatisme Anshar
As-Sunnah di SudanGerakan Salafisme di Sudan yang sejak awal kemunculannya lebih bersifat sunyi-apolitis dan cenderung memfokuskan diri pada agenda-agenda pemurnian akidah, lambat laun berkembang secara dinamis. Berbagai penyesuaian dan pragmatisme dilakukan seiring dengan sejumlah perkembangan dinamika sosial, politik, dan keagamaan yang terjadi di Sudan. Pergeserannya dari sunyi-apolitis ke politis dan jihadis mulai terlihat jelas sejak awal tahun 2000-an yang kemudian semakin nyata dengan bergabungnya kelompok tersebut pada politik praktis di tahun 2007 dan juga pada sejumlah respon gerakan pasca kudeta 2019. Salah satu kelompok Salafi berpengaruh di Sudan ialah Anshar as-Sunnah. Walaupun sebagai kelompok Salafi tertua dan terbesar di Sudan, kelompok ini cenderung bertentangan dengan stereotip umum yang melihat Salafisme sebagai gerakan yang statis, fundamentalis, kaku, dan selalu beroposisi dengan pemerintahan.
Tesis ini mengkaji bagaimana pergerakan dan pragmatisme kelompok Salafi Anshar as-Sunnah di Sudan, khususnya merespon berbagai peluang politis yang muncul di Sudan, pasca-penggulingan al Turabi dan kudeta rezim al-Bashir. Analisisnya menggunakan teori gerakan sosial dengan tiga konsep utamanya, yaitu peluang politis (political opportunity structure), dinamika penentangan (cycles of contention), dan pembingkaian (framing), yang membantu menjelaskan berbagai faktor dan motif di balik penyesuaian pergerakan dan pragmatisme Anshar as-Sunnah pada peta dinamika politik keagamaan Sudan.
Penelitian ini menemukan bahwa 1). Kemunculan dan perkembangan Anshar as-Sunnah turut mewarnai dinamika politik keagamaan di Sudan yang sebelumnya telah didominasi oleh dua otoritas keagamaan lain; 2). Pergerakan dan sikap pragmatisme politiknya di dalam lanskap politik keagamaan Sudan menunjukkan bahwa kelompok Salafi bergerak secara dinamis, adaptif, dan rasional di dalam merespon perkembangan dinamika sosial politik keagamaan yang ada. Sejumlah peluang politis pun banyak dimanfaatkan oleh kelompok; dan 3). Sebagai dampak dari sikap pragmatismenya ialah bahwa kelompok Salafi mampu mempertahankan eksistensi dan kredibilitasnya di tengah dominasi dua otoritas kelompok keagamaan di Sudan yang telah berakar sebelumnya. Namun, di sisi lain, pragmatisme ini berpengaruh pada hilangnya kepercayaan masyarakat dan munculnya tekanan kepada sejumlah pimpinan dan tokoh kelompokNIM.: 20200011109 Khotibul Umam, S.Hum.2022-07-08T03:00:01Z2022-07-08T03:00:01Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/51836This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/518362022-07-08T03:00:01ZSEJARAH TRANSMISI PEMBARUAN FIKIH
DARI TIMUR TENGAH KE NUSANTARA
ABAD XIX - XX (Studi Pengaruh al-Manar di Indonesia dan
Respons Ulama Tradisionalis)Fiqh renewal‟s thought occuring in Nusantara in 19th to 20th centuries provoked negative reactions from local muslims who had followed traditional fiqh. The thoughts which were the following phase of calling for getting back to the Qur‟an and the Sunna gave moslims freedom to do ijtihad, avoid taklid and unfollow madzhab. It was initiated by three Egyptian reformists: Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, and Rasyid Rida.
The study formulated the followings: first, why fiqh renewal introduced by Muhammad Abduh, an Egyptian reformist, in the al-Manār Journal in the 19th century was accepted by some moslims in Nusantara, and what were the roles of al-Manār readers? Second, why did traditionalists responded negatively and what forms of their reactions?
As a history study, past reconstruction of the object of study followed historical method that starts with heuristic (collecting data) from existing written documents. Intelectual history method was also employed.
Usng anthropological approach, in particular difusionism paradigm, this study used the logic of anthropology to analyse and to explain the process of fiqh renewal transmision since fiqh is part of culture that can be spread.
The results show that ideas of fiqh reformation and renewal were accepted for two factors: ethical political influence of the Dutch colony and Malay‟s spread in Nusantara.
Al-Manār readers played an important role in the movements. Activists and reformists merged themselves into organizations like Muhammadiyah, Persatuan Islam (persis), and al-Irsyad. The movements brought up heroes like Kiyai Haji Ahmad Dahlan, Syaikh Ahmad Surkati, Haji Mas Mansur, A. Hasan, Haji Abd Karim Amrullah, Haji Abdullah Ahmad, Syaikh Thahir Jalaludin al-Azhari, and Syaikh Muhammad Jamil Jambek.
Different from the readers of al-Manār, traditionalists denied the ideas of reformation of Islam and renewal of fiqh. The occurance lay under four points. First, the reformists, who were young, were unskillful and lack of experience to the eye of traditionalists. Second, traditionalists thought that Abduh, who praised freedom of thought, was very close to Mu’tazilah. In addition, ideas from Abduh, al-Afghani, and Ridha were inspired by Muhammad ibn Abd al-Wahhab and al-Wahhab was inspired
by Ibn Taimiyah and Ibn Qayyim al-Jauziyah. This genealogy is intelectual heir to Salafi-Wahabi theology. Third, reformists‟ arrogant accusation to those whor stayed in different position bid‟ah and syirik pushed traditionalists to severely opposed. Fourth, the power of traditionalists was reduced by the emergence of new ideas.
The above points urged oposing movements to stop the ideas to spread. The movements themselves cristalized into some religious organizations like Nahdlatul Ulama (NU), founded by Hadlaratussyaikh K.H. Hasyim Asya‟ari, Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) by Syaikh Sulaimanal-Rasuli, Candung, Bukittinggi, West Sumatra, al-Jami‟atu al-Wasliyah by Syaikh Hasan Maksum, North Sumatra, Nahdlatul Wathan (NW) by Tuan Guru Syaikh Haji Abdul Majid, Lombok, NTB, Mathlaul Anwar in West Java, Daarud Da‟wah wa al-Irsyaad by traditionalist ulama Sulawesi, and al-Khairat by traditionalists from Sulawesi and Maluku.NIM.: 12300016019 A. Turmudi2022-07-05T08:31:15Z2022-07-05T08:31:15Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/51727This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/517272022-07-05T08:31:15ZPOLITIK IDENTITAS DAN ARAH DEMOKRATISASI DI SUDAN SELATANThe political crisis hit South Sudan's democratic process which was dominated by the Sudan People's Liberation Movement/Army and the hegemony of the Dinka ethnic group. This is confirmed by the events of the civil war in 2013 which had a significant influence on the direction of democracy in South Sudan. On the other side, the government faced many challenges and obstacles that contributed to the current crisis.
The researcher uses Jack Snyder's democracy theory and Michel Foucault's Power Relation Theory to analyze the problems surrounding identity politics and democratization in South Sudan. The research methodologies used in this research are archeology and genealogy. aims to further analyze the motives, meanings and interests behind an event, in other words looking for related and hidden variables. Through the genealogy method, it can be known the cause and effect between the independent variable (political identity politics in South Sudan) and the dependent variable (the direction of democracy and the instability of the South Sudanese government system).
The results of this study found that the political crisis that occurred in South Sudan was influenced by several aspects, those are elite propaganda, oil resource disputes, international actor intervention, SPLM/A authorization practices and Dinka ethnic hegemony. Those five aspects are interrelated and become a source of political crisis and complexity in the democratic process as well as a contributing factor to the existence of identity politics in South Sudan.NIM.: 19200010108 Ani Mariani2022-02-24T01:36:03Z2022-02-24T01:36:03Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/49648This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/496482022-02-24T01:36:03ZREFORMASI HUKUM KELUARGA ISLAM MAROKO (ANALISIS MAQASHID AL-SYARI’AH PADA PASAL 24 DAN 25 DALAM THE MOROCCAN FAMILY CODE 2004)In the 20th century, the history of Islamic family law reform began which
was pioneered by Turkey. Morocco followed Turkey's steps by reforming the
slamic family law which was originally applicable to a new Islamic family law,
which was named Mudawwanah al-Usrah or in English called The Moroccan
Family Code 2004. One of the things that became controversial was the article that
allowed Moroccan women to married without a guardian. Fiqh scholars are of the
opinion that a woman should not marry herself, and marriage is invalid if a woman
marries without a guardian.
This study was conducted to explain the polemics that occurred after
Morocco reformed its family law, and to explain the analysis of Maqashid alShari'ah
in
Articles
24
and
25
regarding
guardians
in
The
Moroccan
Family
Code
2004.
This
research
includes
library
research,
namely:
by
collecting
data
related
to
family
law
in
Morocco
and
about
Maqashid
al-Shari'ah,
then
by
using
descriptive
analytical
research type, describing the data obtained and then analyzing it, and
using a historical-philosophical approach. Data collection in this study was carried
out through documentation techniques, which came from books, journals, and the
internet, and data analysis methods using qualitative descriptive methods.
This study found that the polemic that occurred after Morocco reformed its
family law was the pros and cons between feminist groups and Islamist groups. The
feminist group as a pro group argues that the reforms carried out by Morocco are in
accordance with CEDAW which aims to elevate the status of women in marriage.
On the other hand, the Islamist group as a contra group argues that the reforms
carried out are not in accordance with the Shari'ah. Then the analysis in Articles 24
and 25 in The Moroccan Family Code 2004 when reviewed using the Maqashid alShari'ah
perspective of Jasser Auda in terms of a coherent benefit, then it is in
accordance with Maqashid al-Shari'ah in Jaser Auda's perspective. Morocco in
formulating the provisions of these articles takes the opinion of the Hanafi
Madhhab.NIM.: 17200010162 Nur Laila Safitri, S.Hum2022-02-24T01:34:37Z2022-02-24T01:34:37Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/49645This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/496452022-02-24T01:34:37ZMINORITAS DI BAWAH PAYUNG KONSTITUSI: STUDI KOMPARASI KONSTITUSI DAN IMPLEMENTASI HAK-HAK
AGAMA MINORITAS DI MESIR DAN INDONESIATesis ini merupakan studi komparasi terkait hak-hak minoritas pada Konstitusi
Republik Arab Mesir dan Republik Indonesia. Berangkat dari beberapa isu diskriminasi,
kriminalisasi, dan kekerasan yang dialami sejumlah kelompok minoritas di kedua negara,
tesis ini juga mengulas tentang implementasi dari hak-hak minoritas pada kedua konstitusi
tersebut dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat di Mesir dan Indonesia. Penelitian ini
berkontribusi dalam studi mengenai jaminan hak konstitusional warga negara, khususnya
kelompok minoritas, yang dilakukan oleh negara. Peneliti mengkaji naskah konstitusi Mesir
dan Indonesia dan melakukan analisis melalui konten media terkait isu-isu diskriminasi,
kriminalisasi, dan kekerasan yang telah dialami oleh kekompok minoritas di kedua negara.
Kesimpulan tesis ini menunjukkan bahwa konstitusi haruslah dapat mengikuti
perkembangan zaman, atau sebagai living constitution, agar terus disesuaikan dengan
perkembangan sosial dan kebutuhan-kebutuhan baru yang mungkin akan timbul dalam
kehidupan bermasyarakat. Dalam konstitusi Republik Indonesia dan Republik Arab Mesir,
ketentuan tentang Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Beragama dinilai telah terakomodir
dengan baik. Namun pada implementasinya dalam kehidupan bermasyarakat masih banyak
ditemui beberapa pelanggaran HAM, khususnya terkait kebebasan beragama.NIM.: 17200010144 Desthy Umayah Adriani, S.S,2021-11-24T02:19:25Z2021-11-24T02:19:25Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/47110This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/471102021-11-24T02:19:25ZVISI 2030 ARAB SAUDI DAN KEBIJAKAN MILITER: KAJIAN TERHADAP PERAN HEGEMONI REGIONAL DI KAWASAN TIMUR TENGAHThis research is motivated by the high import of Saudi Arabian military weapons in collaboration with the 2030 vision in the economic category. Vision 2030, generated by the sharp decline in oil prices in 2014, caused Saudi Arabia to experience disruptions in the economic sector at that time. Apart from that, Saudi Arabia is also constrained by the upcoming unemployment problem and makes Saudi Arabia need to open up new opportunities in the economic sector. The formulation of the problem in this research is what is the role of military policy in supporting the 2030 vision? and how does regional hegemony analyze the 2030 vision, Saudi Arabia's military policy, and the stability of the Middle East?
This study uses the theory of hegemony which was initiated by Antonio Gramsci and Miriam Prys. This research includes library research using qualitative methods, which is carried out in three stages. The first stage, the data categorization stage. The second stage, analysis of the data obtained to answer the formulation of the problem that has been set. The third stage, the stage of concluding the data that has been analyzed to provide answers to each of the problems raised.
This research results that: first, the role of Saudi Arabia's military policy in supporting the 2030 vision whose goal is to increase the country's economic income, Saudi Arabia will license GAMI and SAMI to produce firearms, ammunition, military explosives, military equipment, individual military equipment, and electronics. the military also opens up business opportunities in the military industry to open up new opportunities in the state's economic opinion. Second, this research is based on the hegemonic theory of Antonio Gramsci and Miriam Prys that Saudi Arabia when viewed from the economic, military, political domination, and influence sectors, has the potential as a regional hegemonic country in the Middle East region. This is reinforced by support from external or US actors. The inhibiting factor of Saudi Arabia's regional hegemony dominance is hampered by Iran which claims itself as a natural hegemony in achieving regional hegemony in the Middle East region. Because each regional power has the tools to withstand the influence of other hegemonic countries. Meanwhile, its effect on the stability of the Middle East is the creation of security instability with increasing concern for every country in the Middle East region that can trigger open war and result in many victims and a past that has the nuances of conflict or war as a general picture.NIM.: 19200010029 Sandriansyah2021-11-23T03:14:24Z2021-11-23T03:14:24Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/47052This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/470522021-11-23T03:14:24ZPOLITIK IDENTITAS TURKI DI BAWAH KEPEMIMPINAN ERDOGAN ( STUDI KASUS KONVERSI HAGIA SOPHIA )President Erdogan through the judicial process has won the conversion of
the Hagia Sophia museum into a mosque. Researchers have different views on the
Hagia Sophia conversion policy, both agree and support the government, but not a
few also reject and are disappointed. However, based on the fact that the
conversion of Hagia Sophia is not just a matter of turning a museum into a
mosque, there are other implementations. In addition, the researcher found facts
about the political maneuvering of the Turkish President's identity in several
policies with religious symbols in the middle of the economic downturn and the
crisis of confidence in the AKP party. The aim of this research is to reveal the
facts related to Erdogan's leadership style, and to reveal the impact of the Turkish
Islamic revival message with the symbol of the conquest of the Hagia Sophia
conversion mosque on geopolitics in the Middle East. This research uses
prophetic political theory. The method used is a qualitative method, which is
carried out through three stages. The first stage, the data categorization stage. The
second stage, analysis of the data obtained which has been categorized in order to
answer the formulation of the problem. The third stage, the stage of drawing
conclusions from the data that has been analyzed to provide answers to the
problems raised.
This research results that Erdogan's leadership style related to identity
politics is influenced by his educational journey and career while he is active in
politics. That through Erdogan's identity politics policy with the symbol of the
conquest of the Hagia Sophia conversion mosque, it has an impact on Turkey's
relations with several countries in the Middle East, even Turkey must be willing
to sacrifice good relations and break economic agreements between countries.NIM.: 18200010120 Bubun Nursyaban S.H2021-11-23T03:11:15Z2021-11-23T03:11:15Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/47051This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/470512021-11-23T03:11:15ZSARANGHAE FILLAH! FANDOM HIJRAH DALAM LANSKAP DAKWAH ISLAM DI KALANGAN ANAK MUDA INDONESIATesis ini mengkaji fenomena anak muda muslim keranjingan hallyu
(gelombang Korea) yang berupaya menjadi saleh dengan tidak menanggalkan
kegemaran mereka. Elemen budaya pop Korea seperti foto idol K-Pop, lagu K-Pop
atau cuplikan drama Korea ialah wasilah mereka mempelajari Islam. Kondisi ini bisa
dijumpai pada gerakan dakwah K-Popers Hijrah dan komunitas dakwah X-Kwavers
yang diteliti dalam tesis ini. Penelitian ini berkontribusi terhadap kajian anak muda
muslim dan budaya pop. Khususnya, mengembangkan pandangan Asef Bayat terkait
anak muda yang berupaya mengakomodasi aspek hiburan dengan aspek kesalehan
secara inovatif serta menjadi agen yang aktif memproduksi budaya pop. Penelitian ini
adalah studi kualitatif dengan menerapkan metode netnografi selama kurang lebih
tujuh bulan dengan melakukan serangkaian wawancara mendalam kepada tokoh
penting dan para anggota, baik K-Popers Hijrah dan X-Kwavers. Selain itu,
penghimpunan data juga dilakukan melalui observasi partisipan dengan mengikuti
ragam kegiatan yang diadakan keduanya secara daring serta melampirkan berbagai
dokumen yang berkaitan dengan topik pembahasan.
Tesis ini menunjukkan bahwa anak muda muslim keranjingan hallyu saat ini
mengalami ambiguitas. Di satu sisi, mereka dihadapkan pada tuntutan sebagai
muslim yang saleh, tetapi juga tetap ingin mengonsumsi hiburan di sisi lainnya.
Untuk mencapai hal itu mereka kerap kali dihadapkan dengan serentetan negosiasi
yang terus menerus terjadi di dalam diri mereka. Namun, kehadiran K-Popers Hijrah
dan X-Kwavers berhasil menjawab kekhawatiran itu. Dua ruang baru ini mampu
mengakomodir kesenangan mereka dan mengajak untuk menjadi saleh. Mereka tidak
hanya dibiarkan menjadi konsumen yang pasif terhadap budaya pop Korea, bahkan
kini mereka menjadi agen yang aktif menyebarkan narasi-narasi dakwah melalui
elemen-elemen hallyu.NIM.: 18200010099 Iqomah Richtig2021-10-22T07:07:44Z2021-10-22T07:07:45Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/45778This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/457782021-10-22T07:07:44ZPERANG PROKSI AMERIKA SERIKAT DAN IRAN
DALAM POLITIK GLOBAL PASCA ARAB SPRINGTesis dengan judul Perang Proksi Amerika Serikat dan Iran dalam Politik Global Pasca Arab Spring merupakan karya tulis ilmiah yang membahas tentang perseteruan antara Amerika Serikat dan Iran yang menguat pasca Arab Spring. Sebelum adanya Revolusi Islam Iran tahun 1979, hubungan kedua negara tersebut berjalan baik. Namun pasca revolusi, hubungan Amerika Serikat dan Iran memburuk hingga saat ini. Keterlibatan mereka dalam perang proksi di Suriah dan Yaman mencerminkan bahwa hubungan kedua negara tidak dalam kondisi yang baik. Sebagaimana yang terdapat dalam konsep Proxy War, aktor-aktor yang terlibat konflik menggunakan pihak ketiga untuk ajang kontestasi eksistensi kekuatan mereka.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori offense-defense Stephen van Evera. Adapun pola dasar keseimbangan dalam teori ofensif-defensif adalah ketika sikap offense suatu negara mendominasi, maka peningkatan dilema keamanan negara akan menguat. Eskalasi keamanan tersebut kemudian diikuti dengan kompetisi senjata hingga terjadinya perang antar negara, sekutu maupun aliansi. Untuk mencegah suatu peperangan, maka negara bisa menggunakan sikap defense yang lebih dominan dari sikap offense. Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode deskriptif analistis, yaitu metode yang mengungkap data dan fakta yang relevan dengan kebutuhan penelitian dan kemudian dianalisis.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah konflik yang terjadi antara Amerika Serikat dan Iran disebabkan oleh adanya kepentingan Amerika Serikat di Timur Tengah yang mendapat gangguan dari Iran. Kepentingan-kepentingan tersebut menimbulkan konflik dalam bidang doktrin militer, geografis, tatanan sosial- politik serta diplomatik. Hal tersebut membuat Amerika Serikat bersikap ofensif terhadap Iran. Sedangkan Iran dengan doktrinnya bersikap defensif.NIM: 18200010083 AHMAD ZAINAL MUSTOFA, S.Hum.2021-10-13T08:02:54Z2021-10-13T08:02:54Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/45403This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/454032021-10-13T08:02:54ZPEREMPUAN DAN NIQAB DI YAMANThe scholars have different views on the background to the use of
the niqāb, both those who say the niqāb is a reflection of devotion to
religion and those who say it is a culture. However, based on the reality
of the use of the niqāb in Yemen, women in Yemen do not only use the
niqāb on the basis of adherence to religion and culture alone, but there
are other implications behind both. In addition, the researchers found that
Yemeni women differ in the level of freedom in the use of the niqāb,
these differences are caused by differences in social class. This research
discusses how the Yemeni women's social class is formed based on the
use of the niqāb. Apart from these problems, it also discusses the position
of the niqāb as an identity that describes the adherence of Yemeni
Muslim women to their religion and how the behavior patterns that
distinguish women using the niqāb which tend to be obedient to those
that tend to other reasons.
This research uses Social Stratification Theory and Henri Tajfel's
Social Identity Theory. The method used is a qualitative method, which
is carried out in three stages. First, the data categorization stage. Second,
analysis of the data obtained and categorized in order to answer the
predetermined problem formulations. Third, the stage of drawing
conclusions from the data that has been analyzed to provide answers to
each of the problems raised.
This study resulted in the social class of Yemeni women based on
the use of the niqāb into 3 social classes, which from one class to another
have different characteristics regarding the use of niqāb. The position of
using the niqāb as an identity that represents the adherence of Yemeni
Muslim women to their religion is still very strong as an identity of
obedience. This is evidenced by the connotative meaning obtained by
researchers based on obedience, in which there are 5 Yemeni women out
of 16 women, stating that their use of niqāb is purely on the basis of
religious adherence. In addition, it succeeded in explaining the point of
difference in the behavior patterns and characteristics of Yemeni women
using niqāb on the basis of obedience to women using niqāb on other
grounds. This refers to several aspects, namely consistency in the use of
the niqāb, personal awareness or not, challenges faced, and several other
aspects.NIM.: 18200010243 Ahmad Masyhur, S.Hum2021-10-06T04:43:10Z2021-10-06T08:43:44Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/45031This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/450312021-10-06T04:43:10ZMINORITAS, KEYAHUDIAN, DAN KEWARGAAN: KAJIAN TERHADAP MINORITAS LGBT DI ISRAELIsrael merupakan negara Yahudi yang mendeklarasikan kemerdekaannya
pada tahun 1948 dan sebagai salah satu negara demokratis di Timur Tengah.
Agama Yahudi berperan penting dalam membentuk kebudayaan masyarakat
Israel. Dengan ini, diskursus publik tidak dapat dipisahkan dari peran Rabi.
artikulasi dan interpretasi Rabi terhadap relasi agama dan negara sangat
berpengaruh dalam kebijakan politik, sosiologis dan kultural. Salah satunya
kebijakan yang terjadi di Israel adalah tentang legalitas keberadaan Lesbian, Gay,
Biseksual, dan Transgender (LGBT). Masyarakat pada umumnya memandang
orang LGBT termasuk perilaku penyimpangan seksual dan sebagai kelompok
minoritas, bahkan sangat dihindari keberadaannya terutama bagi negara yang
memiliki kemayoritasan agama tertentu, seperti di Israel (Yahudi). Akan tetapi,
Israel merupakan negara yang melegalkan keberadaan LGBT di negaranya bahkan
Israel juga mengeluarkan peraturan anti-diskriminasi terhadap LGBT. Berangkat
dari narasi ini, tesis ini berusaha mengkaji relasi agama Yahudi dan negara dalam
legalisasi kelompok LGBT Israel. Tesis ini berusaha menjawab beberapa
pertanyaan, yaitu: (a) Bagaimana praktik masyarakat Israel dalam
mengakomodasi hak minoritas LGBT dan bagaimana terbentuknya kewargaan
dan identitas minoritas kelompok LGBT di Israel? (b) mengapa minoritas LGBT
dapat dilegalkan oleh pemerintah Israel yang mayoritas beragama Yahudi?.
Penelitian ini mengacu pada studi pustaka (library Research) dengan
metode kualitatif menggunakan pisau analisis multikuturalisme hak minoritas dari
Will Kymlicka. Adapun dalam pengumpulan data, penulis menggunakan data
primer berupa buku-buku pokok yaitu Queer Theory and the Jewish Question dan
Companion Sexuality Studies, sedangkan data sekunder didapatkan melalui
wawancara yang dilakukan secara virtual. Tesis ini menunjukkan bahwa,
Yudaisme tidak mengenal homoseksual atau hubungan sesama jenis karena
termasuk perbuatan keji dan telah ditegaskan juga dalam hukum Yahudi
(Halacha). Hal ini menjadi perdebatan antara otoritas agama dan negara pada
kebijakan hukum atas pelegalan kelompok LGBT di Israel. Berdampak juga
dalam masalah sistem pernikahan pasangan sesama jenis, LGBT tidak diizinkan
mendaftar pernikahan mereka di Israel karena hukum pernikahan Israel berada di
bawah kekuasaan lembaga keagamaan (Yahudi, Islam, Kristen). Meskipun
demikian, Israel tetap berusaha membangun keragaman terhadap kelompok
mayoritas dan minoritas untuk kebutuhan bersama. Aktivitas seksual (LGBT) di
Israel berkembang sangat cepat sejak tahun 1990-an hingga sekarang. Maka
orang-orang LGBT di Israel dapat mengekspresikan identitas seksualnya
bersamaan dengan keimanan mereka sebagai orang yang beragama. Sudah barang
tentu, pelegalan LGBT di Israel ini juga tidak terlepas dari peran masyarakat yang ikut mendukung dan mengakomodasi kelompok LGBT, terutama dukungan dari
organisasi-organisasi LGBT.NIM.: 18200010075 Indah Rama Jayanti, S.Hum2021-09-20T07:14:35Z2021-09-20T07:14:35Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/44611This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/446112021-09-20T07:14:35ZGERAKAN ANTI-SYIAH MAJALAH AN-NAJAH DI SURAKARTAPenelitian ini bertujuan untuk memetakan pergerakan anti-Syiah melalui media
cetak Majalah An-Najah di kancah internasional, nasional, dan lokal Suakarta.
Konflik yang mendera timur tengah (Iraq, Suriah dan Yaman) melibatkan isu
sektarianisme antara Sunni dan Syiah. Iran sebagai negara yang memiliki paham
Syiah harus berkontestasi dengan gerakan anti-Syiah yang terwakili oleh
Kelompok Sunni sejati atau salafi. Salafi memiliki varian diantaranya salafi jihadi
dan salafi dakwah, keduanya memiliki kesamaan dalam menolak Syiah, dan
perbedaanya pada cita-cita politik yang akan dicapai yakni salafi jihadi
menginginkan tegaknya negara Islam berupa khilafah. Salafi jihadi memiliki visi
jihad dalam menegakan khilafah Islam dan memiliki keyakinan khilafah akhir
zaman akan tegak di Suriah. Sehingga suriah menjadi medan jihad yang harus
didukung oleh negara-negera lain seperti yang telah dicita-citakan Islamic State In
Iraq And Suriah (ISIS).
Konflik yang mendera Timur Tengah acap kali menjadi role model pergerakan
jihad dunia oleh kelompok-kelompok pro khilafah. Media an-Najah Surakarta
merupakan media yang aktif dalam menyampaikan isu Timur Tengah dan
kesesatan Syiah. Sebagai media yang memiliki akar ideologi pondok al-Mukmin
Ngruki, An-Najah memiliki koneksi luas dalam mendistribusikan gagasan dan
ideologinya. Secara garis besar, an-Najah merupakan media Islam yang berupaya
menyampaikan islamisme melalui jihad dan khilafah. Sebagai upaya
memperkenalkan jihad, maka diperlukan media framing untuk menyampaikan
ideologi dan gagasan khilafah serta membangun slogan yang mudah diterima
masayarakat Muslim Indonesia khususnya Surakarta seperti: anti-Syiah, antiAmerika,
anti-Yahudi
dan
Anti-Komunis.
Dari
penelitian
ini,
penulis
menyimpulkan
bahwa
gerakan
anti-Syiah
sangat
masif
dalam
melancarkan gagasan islamisme melalui media. Sebagai gerakan sosial,
gerakan anti-Syiah mengimplementasikan kesempatan politik dalam bentuk ideide
penegakan khilafah. Melalui media, gerakan ini berusaha meraih massa
dengan berusaha menarik simpati dari isu-isu sektarianisme Timur Tengah,
Sehingga dalam menggambarkan kondisi Timur Tengah membutuhkan upaya
framing pemberitaan yang berkesesaian dengan kepentingan gerakan anti-Syiah
majalah An-Najah Surakarta.NIM.: 17200010109 Ali Makhsum, S.S.2021-09-07T14:35:21Z2021-09-07T14:35:21Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/43992This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/439922021-09-07T14:35:21ZGERAKAN POLITIK RAKYAT MESIR, SIMBOL, DAN RUANG PUBLIK (FUNGSI DAN INTERPRETASI SIMBOL-SIMBOL DALAM TAHRIR SQUARE)Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis kondisi Mesir saat Arab Spring bergejolak lewat potret-potret para demonstran di Tahrir Square. Tahrir Square menjadi jantung perjuangan bagi rakyat Mesir untuk menegakan keadilan. Segala latar belakang masyarakat berkumpul di satu tempat dan menjadikan rezim common enemy. Salah satu penyebab pecahnya revolusi rakyat Mesir yaitu ketidakadilan dan perampasan hak rakyat yang dilakukan oleh rezim. Revolusi ini juga terinspirasi dari rakyat Tunisia yang berhasil menggulingkan pemimpin tirani yaitu Ben Ali. Rakyat Mesir yakin juga bisa menggulingkan Mubarak. Di dalam potret-potret para demonstran terdapat simbol-simbol yang perlu analisis lebih dalam untuk memahaminya. Simbol-simbol yang keluar biasanya sesuai dengan realita yang terjadi pada saat itu. Aktor di balik pecahnya revolusi rakyat Mesir ini adalah para pemuda yang bergabung di dalam gerakan sosial seperti Kifaya, Gerakan Pemuda 6 April, dan We Are All Khaled Said. Revolusi rakyat Mesir disebut sebagai New Social Movement. Rakyat Mesir mulai memanfaatkan internet dan sosial media untuk merformulasikan rencana demonstrasi dan juga sebagai wadah bagi demonstran untuk mengajukan pendapatnya. Analisis dalam penelitian ini menggunakan analisis lanskap linguistik yang dipadukan dengan semiotika Charles Sanders Pierce yang mempelajari tentang simbol-simbol dan interpretasi. Penelitian ini bersifat kualitatif dan data yang digunakan berasal dari media massa berupa foto-foto. Temuan penelitian ini adalah simbol-simbol sindiran dan hinaan, kebebasan dan keadilan, pengusiran, bilingual dan multilingual. Teks-teks yang muncul menggunakan bahasa Arab, kecuali di bagian bilingual dan multilingual, disana muncul beberapa bahasa seperti bahasa Inggris sampai Jepang. Potret-potret yang muncul ingin menerangkan bagaimana keadaan Mesir saat itu. Potret-potretnya mencerminkan suasana hati rakyat Mesir yang menginginkan kesetaraan dan keadilan. ketidakadilan harus dihapuskan bersamaan dengan pemimpin tirani yang tidak memperdulikan rakyatnya.NIM: 18200010251 Bahy Chemy Ayatuddin Assri, S.Hum2021-09-07T12:09:54Z2021-09-07T12:09:54Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/43970This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/439702021-09-07T12:09:54ZPOLITIK DAN GERAKAN SALAFI PASCA-MUSIM SEMI ARAB:
PRAGMATISME HIZB AL-NOUR DI MESIRPolitik Mesir pasca-Musim Semi Arab menunjukkan suatu dinamika baru dalam sejarah Salafisme, di mana terjadi transformasi politik. Gerakan Salafi yang sebelumnya cenderung sunyi-apolitis membentuk sejumlah partai untuk bersaing dalam pemilihan umum. Di antara partai Salafi yang paling berpengaruh dalam politik Mesir adalah Hizb al-Nour, yang merupakan sayap politik al-Da’wa al-Salafiyya (Dakwah Salafi). Tidak hanya menjadi salah satu pemain inti dalam politik di Mesir, Hizb al-Nour menunjukkan sikap politik yang sangat pragmatis dan seringkali bertentangan dengan ideologi Salafi. Tesis ini mengkaji faktor-faktor yang menyebabkan Hizb al-Nour mengadopsi sikap politik yang pragmatis dan bagaimana hal itu kemudian berdampak pada dakwah Salafi di Mesir. Analisis difokuskan pada sebab terjadinya pragmatisme dengan kerangka teori Hukum Besi Oligarki yang dikemukakan oleh Robert Michels bahwa setiap partai-partai demokratis memiliki kebutuhan teknis yang mendesak akan kepemimpinan. Dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut, partai politik cenderung mengadopsi sikap pragmatis yang menguntungkan kelompok mereka. Pragmatisme Hizb al-Nour disebabkan oleh adanya tantangan politik yang mengharuskan mereka mengedepankan prinsip keberlangsungan. Tantangan ini antara lain marjinalisasi politik di bawah rezim Mursi dan politik represif di bawah rezim al-Sisi. Selain itu, pengaruh aktor global seperti Arab Saudi dan Negara-negara Teluk lainnya terhadap politik Mesir ikut mempengaruhi pilihan politik Hizb al-Nour. Kalkulasi cost-benefit yang lebih dominan ke arah politik seringkali menjadikan pilihan kebijakan mereka bertentangan dengan prinsip ideologi mereka. Hal ini berdampak pada terjadinya perselisihan internal gerakan, dan menuai kritik gerakan Islam lainnya. Meskipun demikian, dengan pragmatismenya, Hizb al-Nour dapat menjadi satu-satunya partai Islam yang mampu bertahan setelah penggulingan Mursi.NIM: 18200010183 Duli Qurratu A’yun, S.Hum2020-10-20T02:04:27Z2020-10-20T02:04:37Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/38664This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/386642020-10-20T02:04:27ZPerempuan, Teologi, dan Kekuasaan
(Relasi Diskursif antara Kuasa dan Kebijakan atas Perempuan
Arab Saudi)Di negara-negara muslim, salah satu poin yang paling fundamental dan
berpengaruh dalam proses pembuatan kebijakan adalah faktor identitas yaitu identitas
Islam. Di Arab Saudi, kebijakan-kebijakan yang diterapkan tidak luput melalui
musyawarah antara pihak kerajaan dan para dewan ulama yang memiliki otoritas tinggi
dimata masyarakat. Termasuk visi 2030 Arab Saudi yang dicetuskan oleh Muhammad
bin Salman juga tidak terlepas dari peran sentral para ulama dalam melegitimasi
beberapa kebijakan yang bertentangan dengan kondisi sosial masyarakat di negara
tersebut.
Visi besar ini harus mampu diterima masyarakat Arab Saudi agar negara
tersebut tidak lagi tergantung dengan hasil minyaknya yang merupakan sumber utama
pemasukan negara. Sebuah proses yang sangat panjang dan memerlukan banyak upaya
baik dari segi politik, budaya, agama, sosial, dan ekonomi tentunya. Isu tentang gender
dan perempuan menjadi langkah utama dalam mensukseskan reformasi Arab Saudi
sehingga kebijakan ini akan menjadi pusat perhatiandunia dan memberikan peluang
bagi kerajaan untuk menata kembali ketahanan dan suplemasi politiknya serta
memperbaiki citra negatif yang didapatkan pihak kerajaan.
Tulisan ini akan mencoba melihat relasi diskursif bagi ulama dalam mengawal
dan melegitimasi kebijakan-kebijakan pemerintah yang direpresentasikan oleh pihak
kerajaan. Bagi Michel Foucault, kekuasaan tidak sebatas pada institusi, birokrasi atau
negara melainkan juga proses redistribusi pengaruh mengubah pola berpikir seseorang.
Penulis menemukan bahwa hubungan saling membutuhkan dan ketergantungan satu
sama lain masih mewarnai proses perpolitikan negara tersebut dan bagi kerajaan, cara
terkuat dalam mempertahankan kekuasaannya adalah dengan menjalin hubungan baik
dengan para ulama. Selain itu, berbagai kebijakan yang menyangkut perempuan jugaNIM : 17200010119 M. Syaiful Kamal, S.Hum2020-10-20T02:03:53Z2020-10-20T02:04:05Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/38662This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/386622020-10-20T02:03:53ZFRAGMENTASI DAN KONTESTASI ULAMA
DALAM PERANG SURIAHKeterlibatan beberapa aktor dalam perang Suriah menghadirkan kontestasi
dan fragmentasi di antara aktor-aktor tersebut. Ulama adalah salah satu aktor
penting yang terlibat dalam dinamika perang Suriah ini. Tesis ini menjawab
bagaimana perang Suriah mampu melahirkan fragmentasi dan kontestasi pada
kalangan ulama dan bagaimana para ulama Suriah membangun kembali tatanan
keagamaan masyarakat pasca konflik.
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pemaparan deskriptif
analitis, dengan mengumpulkan data dari ceramah-ceramah para ulama terkait
beberapa isu seputar perang Suriah. Penelitian ini dikaji dengan menggunakan
teori kontestasi ulama.
Penelitian ini menemukan bahwa perang Suriah mampu memfragmentasi
ulama ke dalam dua kelompok dan kedua kelompok ini terlibat dalam konstestasi
terkait perang Suriah. Setidaknya ada tiga isu penting yang menjadi objek yang
menggiring fragmentasi dan kontestasi para ulama ini, yaitu isu jihad, isu
sektarian dan isu demokratisasi. Dalam membangun kembali tatanan praktek
keagamaan, beberapa ulama Suriah banyak mengkampanyekan nilai-niali
keislaman yang indah, teduh, dan penuh kasih sayang. Manusia harus dilindungi
hak hidupnya, mereka harus bisa melawan berbagai paham ekstremisme,
penyebaran Islam moderat harus terus dilakukan, persatuan dan kesatuan umat
harus mampu dikokohkan.NIM. 17200010054 Syarif Bahaudin Mudore, S. Hum.2020-10-19T03:38:40Z2020-10-19T03:38:51Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/38656This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/386562020-10-19T03:38:40ZKONFLIK SUNNI-SYIAH DI TIMUR TENGAH
PERSPEKTIF GEOPOLITIK DAN DAMPAKNYA TERHADAP
HUBUNGAN SUNNI-SYIAH DI INDONESIATujuan penelitian ini adalah untuk: (1) Mengungkap sejarah konflik Sunni-Syiah di Timur Tengah, (2) Mengetahui dan memahami dinamika konflik Sunni-Syiah di Timur Tengah dalam perspektif geopolitik, (3) Mengetahui dan memahami dampak konflik Sunni-Syiah di Timur Tengah terhadap hubungan Sunni-Syiah di Indonesia.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif. Adapun jenis penelitian pada penelitian ini didesain dalam bentuk penelitian kepustakaan (Library research) dengan menggunakan berbagai sumber kepustakaan sebagai sumber data penelitian. Teknik Pengumpulan data dilakukan dengan observasi dan dokumentasi sedangkan teknik analisis data yang digunakan adalah interactive model yaitu dengan langkah reduksi data, penyajian data dan penarikan simpulan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: pertama, akar konflik Sunni dan Syiah dilandasi motif persaingan kekuasaan, bukan motif agama. Konflik dimulai dari suksesi kepemimpinan pasca meninggalnya Nabi Saw., pengangkatan Abu Bakar menjadi pengganti Nabi Saw. dan reaksi Fatimah Az-Zahra yang enggan membaiat Abu Bakar sebagai pemimpin umat Islam penerus Nabi Saw. Perkembangan selanjutnya memunculkan fraksi pengikut setia Ali bin Abi Thalib dan fraksi yang melegitimasi kepemimpinan Abu Bakar. Pada tahun 657 M. terjadi perang Shiffin, perang antara pendukung khalifah Ali dengan pendukung Muawiyah (Bani Umayyah). Pasca Perang Shiffin inilah muncul kotak-kotak polarisasi politik umat Islam hingga detik ini, Sunni, Syi’ah, plus Khawarij. Kelompok Sunni memperjuangkan tegaknya Dinasti Umayyah, Abbasiyah dan terakhir Turki Utsmani, sedangkan kelompok Syiah memperjuangkan tegaknya Dinasti Fatimiyah, Qajar dan Shafawiyah. Kedua, secara geopolitik dan geostrategi, Timur-Tengah terletak di wilayah yang strategis, berada di tiga benua; Asia, Afrika dan Eropa, sehingga menjadi penghubung ketiga benua tersebut dan menjadi penting bagi strategi ekonomi, perdagangan serta peta perpolitikan global. Apabila ditelusuri sumber utama konflik di Timur Tengah bukanlah sekedar sentimen agama, melainkan faktor geografi politik, yaitu berkaitan dengan perbatasan, sumber daya alam berupa minyak gas alam dan air, serta pengembangan program nuklir Iran. Selain itu, hubungan Arab Saudi dan Iran, baik secara politik, strategis, maupun ideologis (Sunni dan Syiah), ikut andil dalam menghidupkan kembali sentimen Sunni-Syiah. Konflik yang tidak terlepas dari sentimen Sunni-Syiah di Timur Tengah, antara lain: konflik Sunni Syiah dalam Perang Teluk, penyerangan terhadap demonstran Sunni di Hawija, penyerangan terhadap peringatan hari Asyura (Karbala Massacre), konflik Sunni Syiah di Suriah, dampak konflik Suriah terhadap hubungan Sunni Syiah di Lebanon, dan konflik Sunni Syiah pada Perang Sipil Yaman. Ketiga, Mayoritas Muslim Indonesia adalah penganut Sunni. Sejumlah kecil penganut Syiah hidup di tengah kaum mayoritas tersebut. Pasca Revolusi Iran, Syiah menjadi bahan pemikiran yang sangat populer di Indonesia, khususnya di kalangan intelektual. Tetapi, ditengah-tengah pesatnya perkembangan paham Syiah tersebut, muncul pula gerakan anti Syiah. Fenomena gerakan anti Syiah merupakan dampak dari situasi geopolitik di antara bangsa-bangsa Arab di Timur Tengah. Hal ini dapat dilihat dari segi momentumnya dimana wacana sentimen pendiskreditan Syiah menjadi masif terjadi setelah dinamika konflik geopolitik yang terjadi di Timur Tengah. Dampak dari gerakan tersebut adalah terjadinya konflik Sunni Syiah di Indonesia, yang meliputi: penyerangan terhadap Pondok Pesantren berhaluan Syiah, pembubaran terhadap peringatan tradisi Asyura, pembubaran terhadap peringatan hari lahir Fatimah Az-Zahra, pelarangan terhadap Yayasan Rausyan Fikr di Yogyakarta, dan penyerangan terhadap warga Syiah di Madura.NIM: 17200010012 Humaini2020-09-03T06:36:29Z2020-09-03T06:36:29Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/40825This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/408252020-09-03T06:36:29ZTERORISME, NEGARA, DAN POLITIK:
Kebijakan dan Sikap Ambivalen Israel Terhadap Aksi TerorPenelitian ini berawal dari keresahan akan bervariasinya respons Israel
terhadap beragam aksi teror. Latar belakang masalah dalam penelitian ini
berangkat dari kontradiksi kebijakan dan sikap Israel dalam menyikapi terorisme.
Pertanyaan riset dalam penelitian ini antara lain Bagaimana Israel mendefinisikan
terorisme? Bagaimana kebijakan Israel dalam menyikapi terorisme? Mengapa
terdapat perbedaan kebijakan terhadap terorisme? Dan apa tujuan yang ingin
dicapai melalui kebijakan yang diterapkan? Tujuan penelitian untuk menemukan
kemungkinan alternatif hubungan antara Israel dan terorisme dan diharapkan
dapat memberikan pandangan berbeda dalam melihat terorisme. Penelitian ini
adalah penelitian kualitatif dan menggunakan pandangan Konstruktivisme
Alexander Wendt dalam melihat permasalahan yang diangkat. Penelitian ini
berakhir dengan kesimpulan bahwa terorisme didefinisikan oleh Israel secara
subjektif dan Israel menerapkan kebijakan dan sikap yang ambivalen dalam
menanggapinya. Ambivalensi ini disebabkan perbedaan aktor, objek, dan konteks
teror yang dihadapi. Ambivalensi ini merujuk pada unsur identitas dan
kepentingan yang melekat pada negara dan entitas teroris. Kepentingan nasional
Israel menjadi panduan bagi kedua aktor untuk menentukan identitas dan
tindakan.17200010078 Muhammad Abdillah Ihsan2020-09-03T04:12:26Z2020-09-03T04:12:26Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/40804This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/408042020-09-03T04:12:26ZFAITH-BASED DIPLOMACY NAHDLATUL ULAMA’:
DISKURSUS PERDAMAIAN TIMUR TENGAHPenelitian ini bertujuan untuk memetakan pergerakan Nahdlatul Ulama
(NU) di kancah internasional, terutama di Timur Tengah. Perkembangan
tradisi hubungan internasional memberi peluang bagi NU sebagai secondtrack
diplomacy untuk berpartisipasi merespon isu-isu internasional.
Sebagai organisasi Islam terbesar, NU cukup diperhitungkan dalam
perumusan kebijakan politik luar negeri (polugri) Indonesia terutama
menyangkut ideologi keagamaan. Praktek diplomasi agama yang
diperankan NU tidak terlepas dari kepentingan domestik Indonesia, di
antaranya mengonsolidasi wacana Islam moderat dan perdamaian dunia.
Penulis menempatkan teori multi-track diplomacy, faith-based diplomasy
untuk mengartikulasi posisi NU sebagai aktor non-state yang terlibat aktif
dalam merespons isu-isu internasional, terutama di kawasan Timur
Tengah.
Konflik yang mendera Timur Tengah acap kali melibatkan legitimasi
agama dalam prosesnya, membutuhkan alternatif baru untuk
mendayagunakan agama sebagai resolusi konflik dan perdamaian. Konflik
yang menahun telah menumbalkan citra Islam, berbagai diksi dan label
subordinatif pun dilekatkan ke Islam. NU dengan otoritasnya punya
tanggung jawab moral yang besar untuk memurnikan citra Islam di mata
dunia. Pengarusutamaan dialog dan konferensi internasional yang
diinisiasi oleh NU merupakan rangkaian dari upaya tersebut. Secara garis
besar, NU menggunakan pendekatan kultural (soft diplomacy) –daripada
politik, dalam menyikapi konflik global.
Penjajakan yang penulis lakukan atas tema ini menyimpulkan bahwa
peran NU sangat signifikan dalam melancarkan gagasan-gagasan
perdamaian (positive peace) melalui soft-diplomacy. Dampak konkrit bagi
Indonesia dan Timur Tengah terlihat dari munculnya kesadaran kolektif
terhadap pengarusutamaan forum-forum internasional, yang membahas
urgensi Islam moderat bagi peradaban dunia. Dengan kata lain,
penggalakan Islam moderat sebagai aset politik baik bagi Indonesia
maupun Timur Tengah, mampu mengukuhkan peran faith-based
diplomacy sebagai inspirasi peacemeaking. Temuan berikutnya
menunjukkan bahwa kesinambungan antara norma, program, dan aktor
v
dalam mengimplementasikan Islam Nusantara sangat menentukan tingkat
keberhasilan sebuah diplomasi dan jalinan kerja sama internasional,
sehingga kepentingan nasional masing-masing negara dapat tersalurkan17200010055 MAHMUD HIBATUL WAFI2020-06-23T06:14:59Z2020-06-23T06:14:59Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/39584This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/395842020-06-23T06:14:59ZPENGARUH GERAKAN KEBANGKITAN MESIR TERHADAP
KEMUNCULAN PAHAM BARU DI MINANGKABAUPada pertengahan akhir abad sembilan belas, Mesir mulai bangkit sebagai
pelopor kebangkitan Islam. Pemikiran-pemikiran tokohnya mengenai modernisasi
Islam, menarik perhatian Muslim di seluruh dunia. Kreativitas penyebaran paham
melalui surat kabar, menjadikan gagasan Jamaluddin Al Afghani, Muhammad
Abduh, dan Rasyid Ridha tersiar dengan cepat ke Indonesia, termasuk
Minangkabau. Terinspirasi dari ide-ide yang dituliskan oleh aktor-aktor tersebut,
Minangkabau kembali mengalami geliat kebangkitan keagamaan untuk kedua
kalinya. Berbeda dengan gerakan Paderi yang muncul karena pengaruh gerakan
Wahabi di Mekkah, gelombang kedua yang lebih dikenal dengan Gerakan Kaum
Mudo, banyak terinspirasi dari modernisme Mesir. Penelitian ini bertujuan untuk
menguraikan sejauh mana pengaruh yang diberikan oleh negeri Piramid tersebut
terhadap proses modernisasi Islam di Minangkabau.
Georg Simmel menjelaskan bahwa salah satu faktor yang menjadi alasan
terjadinya transmisi gagasan pembaharuan adalah interaksi sosial yang terjalin.
Berbagai relasi tersebut terjalin disebabkan persamaan pengalaman dan
emosional. Fazlur Rahman juga menegaskan bahwa modernisasi sebagai buah
dari aksi dan reaksi terhadap berbagai kebijakan pemerintah kolonial. Penelitian
ini menggunakan pendekatan sosiologi historis guna memahami berbagai
peristiwa, persoalan, dan perubahan sosial yang terjadi di dalam masyarakat
Minangkabau pada permulaan abad dua puluh.
Kesuksesan transmisi gagasan dari Mesir melahirkan berbagai
pembaharuan di Minangkabau. Aktor utama perubahan tersebut dikenal dengan
sebutan Kaum Mudo. Pola interaksi yang berbeda berdampak kepada proses
identifikasi yang tidak sama, sehingga membentuk fragmentasi di dalam tubuh
Kaum Mudo itu sendiri. Kaum Mudo gelombang pertama secara tradisi lebih
cenderung kepada ortodoksi Mekkah, meskipun mereka mempraktikkan gagasan
Mesir dengan baik. Berbeda dengan gelombang kedua yang memiliki relasi
langsung dengan Mesir. Meskipun sama-sama tergabung ke dalam kelompok
modernis, namun pengalaman memengaruhi pembentukan identifikasi dalam
merepresentasikan modernisme itu sendiri. Minangkabau berhasil melakukan
modernisasi keagamaan seperti diperbolehkannya penggunaan setelan seperti
bangsa Eropa. Kemunculan ratusan madrasah-madrasah yang menawarkan sistem
pengajaran modern menjadi pembaharuan di sektor pendidikan. Pengaruh lainnya
terlihat dari munculnya Permi sebagai partai yang mengusung ideologi Islam dan
kebangsaan, yang mana para tokohnya terinspirasi dari pengalaman selama berada
di Mesir.NIM. 18200010026 Rahmi Nur Fitri2020-02-25T06:53:07Z2020-02-25T06:53:15Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/35619This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/356192020-02-25T06:53:07ZMembangun Literasi al-Qur’an di Tanah AirSejarah mencatat, metode belajar baca huruf Al-Qur'an
di tanah air selama beberapa dekade atau bahkan lebih satu abad sebelum tahun 1970-an "didominasi" oleh metode turutan (al-Qa'idah al-Baghdadiyah). Materi dalam metode ini dimulai
dari pengenalan nama-nama huruf hijaiyah, harakat, hingga bacaan surat Juz Aruma (juz 30 Al-Qur'an). Pengalaman belajar penulis sewaktu kecil juga menggunakan
metode belajar itu. Hampir bisa dipastikan, metode ini digunakan oleh sebagian besar umat Islam di tanah air sebelum tahun 1970 atau 1980-an. Di banyak daerah terutama di luar Jawa Tengah, dominasi metode al-Baghaddi itu bahkan berlangsung lebih panjang, menembus tahun 1990-an.Burdah Ibnu2020-02-25T01:40:17Z2020-02-25T01:40:26Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/35616This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/356162020-02-25T01:40:17ZKetahanan NIIS dan Teror JakartaSatu setengah tahun lebih dikeroyok, Negara Islam di lrak dan Suriah masih bertahan. Bahkan, pengikut negara teror ini diyakini semakin besar. Mereka baru-baru ini memang kalah di Ramadi dan mundur di sejumlah front di Irak dan Suriah, tetapi tenis berkembang. Setelah kekejian mereka di Paris Perancis, Amerika Serikat, Tunisia, dan lainnya, aksi mereka
di ibu kota Indonesia menjadi bukti baru kesimpulan itu Indonesia adalah ujung tenggara dari dunia Islam yang dicita-citakan kelompok ini masuk dalam kesatuan wilayah mereka. Kendati terbilang gagal, aksi di Jakarta itu sudah menegaskan eksistensi NIIS di Indonesia.Burdah Ibnu2020-02-25T01:39:53Z2020-02-25T01:40:00Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/35612This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/356122020-02-25T01:39:53ZISIS, Ikhwanul Muslimin dan SalafiISIS belum berhenti menebar kekejian ke berbagai penjuru dunia. Jakarta menjadi pilihan aksi brutal mereka setelah rentetan kekejian di belahan dunia lain. Kekejian secara ekstrem merupakan pusat ideologi dan trademark ke1ompok itu. Apa sesungguhpya basis ideologi bagi negara horor ISIS yang menjadi pembicaraan luas saat ini? Adakah hubungannya dengan Ikhwanul Muslimin (IM), kelompok Salafi Jihadi, danlainnya?Burdah Ibnu2020-02-25T01:39:37Z2020-02-25T01:39:44Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/35611This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/356112020-02-25T01:39:37ZBahasa Arab dan ISISBahasa Arab yang hrui ini diperingati hari intenasionalnya
pernah memiliki citra sangat tinggi dalam sejarah umat manusia. Di tengah kejayaan masa Umayah dan Abbasiyah (sekitar750-1250), bahasa itu menjadi bahasa politik dan pemerintahan untuk wilayah yang sangat luas. Wilayah itu tak
hanya meliputi Asia Barat dan Afrika Utara,
tapi tembus hingga seluruh wilayah Spanyol dan sebagian Prancis sekarang. Bahasa birokrasi di wilayah nan luas itu menggunakan bahasa Arab kendati pengaruh bahasa Persia juga masih kuat. Demikian pula bahasa untuk kepentingan
lain seperti militer, pendidikan, propaganda, dan semacamnya.Burdah Ibnu2020-02-25T01:39:18Z2020-02-25T01:39:31Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/35610This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/356102020-02-25T01:39:18ZKetahanan Monarki Arab SaudiArab Saudi tiba-tiba menjadi aktor kawasan yang begitu agresif dalam beberapa tahun terakhir. Padahal, monarki Arab Saudi saat ini menghadapi tantangan demikian berat birik internal maupun ekstemal. Dari internal, monarki ini sudah berumur cukup tua. Salah satu persoalan pentingnya adalah suksesi dari generasi anak ke generasi cucu.Burdah Ibnuhttp://digilib.uin-suka.ac.id/35468/1.hassmallThumbnailVersion/Sampul%20Prosiding%20Semnas%202015.jpg2020-02-18T01:43:14Z2020-02-18T01:43:25Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/35468This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/354682020-02-18T01:43:14ZCERITA PERTAMA DALAM ANTOLOGI CERITA RICHALAT ASSINDIBAD
AL-BACHRIY KARYA MAHIR ABDUL QADIR: KAJIAN
RESEPSI SASTRAPenelitian ini menyuguhkan hasil temuan tanggapan pembaca
terhadap “Cerita Pertama dalam antologi cerita Richalat As-Sindibad Al-
Bachriy karya Mahir Abdul Qadir” dengan memanfaatkan teori dan
metode resepsi sastra sesuai dengan permasalahan yang dibahas. Hal ini
bertujuan untuk mengungkapkan kekayaan khazanah sastra, khususnya
sastra Arab, dalam kaitannya dengan karya masterpeace ‘Alfu lailah wa
Lailah’ dan karya yang menyambutnya ‘The Arabian Nights: kisah-kisah
fantastis 1001 malam’ sehingga dapat ditemukan tanggapan pembaca
karya tersebut.
Kata Kunci: Cerita Pertama, Richalat As-Sindibad Al-Bachriy, resepsi
sastra, tanggapan pembaca.Eva FarhahAisyah Dwi Agdani2019-12-30T06:37:21Z2019-12-30T06:37:21Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/37135This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/371352019-12-30T06:37:21ZREVOLUSI MELATI DI TUNISIA: PELUANG POLITIK,
FRAMING, DAN STRUKTUR MOBILISASIPenelitian ini mengkaji Revolusi Melati di Tunisia yang memicu perubahan
massal dan drastis di Timur Tengah pada tahun 2010-2011 yaitu Arab Spring.
Dalam kurun waktu tersebut banyak rezim yang selama puluhan tahun mapan
goyah dan jatuh akibat gerakan perlawanan masyarakatnya. Keberhasilan
gerakan sosial di Tunisia mewujudkan revolusi dan memicu gelombang protes
di Timur Tengah menyisakan pertanyaan penting, bagaimana dinamika
gerakan protes di Tunisia sehingga mampu menumbangkan rezim Ben Ali?
Tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan utama tersebut.
Penelitian ini menggunakan pendekatan teori gerakan sosial Sidney Tarrow.
Tiga konsep yang digunakan untuk meneliti kemunculan dan dinamika
Revolusi Melati adalah peluang politik, framing, dan struktur mobilisasi.
Ketiga konsep tersebut digunakan untuk melihat interelasi berbagai elemen
dalam gerakan protes meliputi aktor, ide, peristiwa, dan organisasi. Penelitian
mendapat temuan bahwa munculnya gerakan protes dilandasi oleh
ketimpangan ekonomi dan sentralisme politik yang telah berlangsung lama di
Tunisia. Peluang perubahan muncul ketika Boazizi melakukan aksi bunuh diri
dan memicu gerakan protes yang tidak bisa dipadamkan oleh aparat
pemerintah.
Gerakan protes di Tunisia berhasil menjatuhkan rezim karena membentuk
struktur gerakan protes yang bisa mewadahi berbagai kelompok dan persoalan
masyarakat. Serikat buruh dan aktivis siber menjadi struktur penting dalam
pembentukan gerakan protes. Bergabungnya dua kelompok tersebut
memungkinkan mobilisasi protes offline dan online sekaligus. Dalam
perkembangannya gerakan sosial di Tunisia juga mentransformasi struktur dan
narasi protes seiring beragamnya elemen yang masuk. Masuknya asosiasi
pengacara ke dalam protes memungkinkan mobilisasi protes menjangkau
seluruh wilayah dan kelompok sosial di Tunisia. Dengan menghimpun
berbagai keresahan masyarakat dan menjaga tujuan-tujuan utama protes
seperti kesejahteraan, keadilan, dan kebebasan, gerakan sosial di Tunisia
mampu mengarahkan protes menjadi revolusi.NIM. 17200010143 Ahmad Jamaludin, S.H.2019-07-09T07:11:12Z2019-07-09T07:11:19Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/35614This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/356142019-07-09T07:11:12ZKekuatan Bahasa ArabJURJI Zaydan dalam bukunya al-Lughah al-Arabiyyah Kain hay mendefinisikan bahasa sebagai ka'in hay (entitas atau organisme yang hidup). Kekhawatiran akan masa depan bahasa Arab yang hari ini diperingati hari intemasionalnya (l8Desember) menjadi perhatian serius para pengambil kebijakan dan ahli di negara-negara Arab dan sebagian dunia muslim. Diskusi, seminar, serta publikasi mengenai hal ini juga kerap terdengar dari kawasan ini terutama dalam konteks "al-nahdhah", kebangkitan Arab. Keterpinggiran bahasa Arab tidak lepas dari sejarah yang panjang kekalahan demi kekalahan imperium-imperium Arab-Islam membawa dampak signifikan terhadap nasib bahasa itu. Bahasa Arab tak lagi menjadi bahasa pemerintahan dan birokrasi imperium-imperium
besar. Ini tentu berdampak sangat luas terhadap posisi masyarakat yang saat itu didominasi kehidupan politik
dan militer. Yang saya maksudkan adalah militer menjadi
faktor sangat penting terhadap sektor kebidupan lain.Burdah Ibnu2019-03-25T01:17:12Z2019-03-25T01:17:12Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/34081This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/340812019-03-25T01:17:12ZMEDIA BARU, PEMUDA DAN GERAKAN SOSIAL DI MESIR
KAJIAN TERHADAP GERAKAN PEMUDA 6 APRILSebelum Arab Spring melanda negara-negara Timur Tengah pada tahun
2011, Mesir adalah salah satu negara yang hidup di bawah kepemimpinan rezim
otoriter. Husni Mubarok berkuasa puluhan tahun dan segala bentuk penindasan
terhadap rakyat tidak dapat dihentikan. Berbagai perlawanan rakyat, seperti yang
diusung oleh Ikhawanul Muslimin, menghadapi tembok tebal kekuasaan dan pada
akhirnya mengalami nasib tragis berupa kegagalan.
Perlawanan terhadap rezim otoriter era Husni Mubarok telah banyak dilakukan
oleh berbagai kelompok, dan hal itu harus diakui. Salah satu gerakan perlawanan
terhadap rezim Mubarok adalah Gerakan Pemuda 6 April, yang dibentuk oleh
para pemuda seperti Maher dan Adel di tahun 2008. Pada mulanya, gerakan ini
tidak jauh berbeda dengan gerakan perlawanan terhadap rezim pada umumnya. Di
tahun itu terjadi pemogokan massal oleh para buruh pabrik yang sedang menuntut
kenaikan upah minimum mereka. Maher dan Adel bersama para demonstran
lainnya turun jalan dan membentuk Gerakan 6 April ini. Seiring berjalannya
waktu, Gerakan 6 April menjelma gerakan yang multidimensional. Berbagai tema
yang diusung oleh Gerakan 6 April ini bersifat multidimensi, mulai dari sosial,
politik, ekonomi, hukum, hingga kebudayaan. Semua bentuk penindasan oleh
penguasa, pembungkaman opini publik, korupsi yang menyebabkan ketimpangan
sosial, serta aturan hukum yang menindas rakyat, semua itu menjadi sasaran kritik
dari gerakan pemuda yang baru lahir ini. Uniknya, Gerakan 6 April ini
memanfaatkan media sosial yang sedang hit bagi generasi millenial saat itu.
Dalam memperjuangkan idealismenya, Gerakan 6 April ini cenderung berbeda
dibanding dengan gerakan-gerekan lama seperti Ikhawnul Muslimin. Media
massa, seperti facebook, flick, twitter, blog, website, dan lainnya menjadi salah
satu ciri khas yang dimiliki oleh gerakan baru ini. Sasaran tembak dalam rangka
membangun opini dan menggalang dukungan suara dilakukan dengan cara
memanfaatkan media massa. Puncaknya, rezim Husni Mubarok runtuh di tangan
pemuda yang bersenjatakan media massa ini.
Penelitian ini menggunakan teori gerakan sosial baru dengan pendekatan
sejarah. Karenanya, Gerakan Pemuda 6 April ini dapat dikatakan sebagai gerakan
sosial baru dengan segala ciri-ciri kebaruannya yang tidak lazim dan tumbuh
dalam raung waktu sejarah sebagai konteks latar belakang idealisme politik
mereka. Secara umum, gerakan sosial baru lebih menekankan pada isu-isu kecil
yang bisa dipoles sedemikian rupa hingga layak menjadi konsumsi publik.
Gerakan ini jauh lebih besar menaruh perhatian pada upaya distribusi gagasan dan
ide dari pada aksi-aksi yang menuntut narasi besar. Selain itu, spirit gerakan sosial
baru adalah nilai-nilai demokrasi, kebebasan, hak asasi manusia, dan lainnya.
Dengan begitu, Gerakan 6 April ini bagian dari gerakan rakya yang menuntut
nilai-nilai tersebut dan banyak memanfaatkan media massa dalam perjuangannya
itu.NIM. 1620011038 FATKHUR ROJI, SHUM2019-01-29T03:51:43Z2019-01-29T03:51:43Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/32823This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/328232019-01-29T03:51:43ZISLAMIC STATE DAN PROPAGANDA MEDIA Analisis Wacana Kritis Terhadap Teks Majalah Dabiq Edisi I-IIIThe prolonged conflict that faces several Middle East Countries such as Iraq and Syria gave emerged radicalism in same times. One of the most dangerous terrorist group noted is the Islamic State of Iraq and Levant (ISIL) than tronsformed into Islamic State. Throught the propaganda media “Islamic Tradition Propaganda” spreaded throught verious media. This metod have been affected many of radical groups and joined into their plags and starting targeted of all elements societies. The rise of Islamic State in Iraq and Syria espacially 2014 with their main megazine “Dabiq”. In conducting their propagandas, this radical groups be means of two strategies namly hard propaganda and soft propaganda. Thus, the focus of this research is how propaganda in the Dabiq megazine espacially edition I-III by loking for langage and ideological contexs.
The metodology of this research used by literature review, so the main thing that will be done researcher is to concentrate to get data and information as much as possible about Islamic State Propaganda 2014. Furthermore, researcher used a language approace, namely Critical Analysis Discourse (CDA) to examine more Dabiq Megazine. This approaches refer to Teun A. Van Dijk.
The result of this research showed that, (1) there two form of propaganda used by Islamic State in Dabiq Megazine, are coercive propaganda and Persuasive Propaganda. In coercive propaganda, Dabiq megazine became a warning to their enemies in both regional and international levels. Furthermore, in the persuasion of propaganda, Islamic State presents articels rating relating to spirit of Islam “al-Hijrah” and “Khilafah” to influence others. (2) Dabiq megazine serve justification thta what they done by Islamic State today, is the stages in accordancing with Islamic Syari‟a. So that new members who same principle with them and joining their ideologyNIM. 1620010029 Rijal Mamdud2019-01-29T03:40:01Z2019-01-29T03:40:01Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/32822This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/328222019-01-29T03:40:01ZKEBANGKITAN KELOMPOK ISLAMIS DI MESIR DAN TUNISIA PADA ERA DEMOKRATISASI PASCA-ARAB SPRING 2011-2013Proses demokratisasi di Mesir dan Tunisia pasca Arab Spring 2011-2013 merupakan momentum bagi elemen masyarakat terlibat dalam partisipasi politik. Proses demokratisasi di Mesir diawali dengan pemilihan parlemen hingga pemilihan presiden. Sementara di Tunisia, proses demokratisasi ditandai dengan pemilihan majelis konstituante. Menariknya, proses demokratisasi di Mesir dan Tunisia menjadi fenomena baru, kalangan islamis yang sebelumnya absen dalam proses penjatuhan rezim mendapatkan suara mayoritas. Partai Kebabasan dan Keadilan (FJP) sayap kanan Ikhwan al-Muslimin mendominasi pemilihan parlemen dan mampu menghantarkan Mohammed Morsi sebagai presiden pertama dalam sejarah Mesir dari kalangan islamis yang dipilih secara demokratis. Di Tunisia partai al-Nahdhah, memperoleh kursi mayoritas pada pemilihan majelis konstituante. Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (liberary research). Jenis dari penelitian yaitu deskriptif-kualitatif. Dalam penelitian ini peneliti berusaha mengungkapkan fenomena kebangkitan kelompok islamis melalui kemenangan partai Kebebasan dan Keadilan (FJP) di Mesir dan partai al-Nahdhah Tunisia pada proses demokratisasi pasca-Arab Spring 2011-2013. Selanjutnya peneliti menggunakan beberapa pendekatan untuk mengkaji kemenangan kelompok islamis ini yaitu demokratisasi, islamisme dan pos-islamisme dan gerakan sosial. Adapun hasil dari penelitian ini adalah bahwa kebangkitan partai FJP di Mesir dan al-Nahdhah di Tunisia pada proses demokratisasi pasca Arab Spring 2011-2013 disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: Pertama, gerakan IM dan al-Nahdhah yang mengakar kuat di tengah masyarakat melalui kegiatan sosial-kemasyarakatan. Untuk mendapatkan dukungan luas masyarakat, IM memperluas jaringannya melalui lembaga sosial seperti rumah sakit, lembaga pendidikan dan organisasi mahasiswa. Sementara al-Nahdhah memperoleh dukungan masyarakat melalui metode tabligh, organisasi mahasiswa dan bantuan dana bagi masyarakat yang disalurkan ke pelosok negeri. Kedua, moderasi partai. Partai FJP dan al-Nahdhah mengusung moderasi, menerima nilai-nilai demokrasi sebagai pondasi negara. wujud dari moderasi FJP dan al-Nahdhah adalah struktur organisasi yang terbuka, dan penerimaannya terhadap konsep negara sipil (civil state). Ketiga, aliansi politik, kemenangan partai FJP dan al-Nahdhah karena tergabung dalam aliansi demokrasi.Nim. 1620010028 Lalu Wahyu Putra Utama2018-12-19T02:38:42Z2018-12-19T02:38:42Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/32084This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/320842018-12-19T02:38:42ZPOS-ISLAMISME DI TURKI:
TELAAH AKP DAN KELAS MENENGAH ANATOLIAPos-Islamisme di Turki menjadi sebuah fenomena yang terjadi dalam berbagai hal,
baik politik, ekonomi, agama, budaya dan aspek lainnya. Kondisi terse but juga tidak dapat
dilepaskan dari peran dan kontribusi AKP sebagai salah satu partai memiliki ideologi Islam
yang cenderung lebih moderat. Berbagai upaya dan kebijakan yang dilakukan oleh partai
ini juga menjadi prestasi bagi Turki modern. AKP melakukan beberapa kebijakan yang
mampu membawa Turki menjadi negara dengan ekonomi kuat.
AKP juga menjadi bagian tidak terpisahkan dalam perekonomian Turki. Mereka
juga melakukan usaha penuh agar Turki mampu menjadi salah satu negara anggota tetap
Uni Eropa. Kelas menengah Anatolia juga berperan penting dalam peningkatan ekonomi
dan basis dukungan AKP. Mereka berkontribusi dalam perubahan peta politik Turki. Hal
ini juga menjadi salah satu bagian penting dalam memberikan dukungan suara dan
produsen bisnis serta kekuatan ekonomi Turki. Pos-Islamisme, AKP dan kelas menengah
Anatolia saling terkait satu sama lain. Ketiganya menjadi fenomena dan faktor dalam
proses perjalanan Turki, dari berbagai trend yang saling berhubungan, aspek politik,
ekonomi, keagamaan, budaya dan kehidupan Turki. Tesis ini mengkaji bagaimana dan
mengapa pos-Islamisme terjadi di Turki, bagaimana dinamika proses politik AKP, dan
· bagaimana kelas menengah mempunyai peran bagi AKP dan berkontribusi dalam
perekonomian Turki.
Penelitian ini menemukan bahwa pos-Islamisme terjadi di Turki karena proses
dinamika politik dari masa ke masa. Hingga momentumnya ketika AKP lahir dan
berkembang dalam perpolitikan Turki. Selain itu, AKP juga menjadi basis pos-Islamisme
Turki, juga dominasi kelas menengah Anatolia memberikan pengaruh kepada partai
tersebut dalam hal politik maupun peningkatan ekonomi Turki.
Selain itu, pos-Islamisme menjadi fenomena tidak terpisahkan ketika kondisi
politik Turki yang terus bertransformasi. AKP mengambil momentum baik ini, sehingga
AKP mampu mendapatkan perhatian masyarakat Turki. AKP juga dapat mengakomodir
semua kalangan. Berbagai upaya dilakukan AKP untuk memberikan perubahan bagi
Turki, baik dari sisi ekonomi, politik dan agama.NIM. 1620011013 FIRMANDA TAUFIQ2018-12-19T02:26:22Z2018-12-19T02:26:22Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/32083This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/320832018-12-19T02:26:22ZFENOMENA JILBAB BARU DI MESIR:
TRANSFORMASI GERAKAN FEMINISME MESIR PADA MASA PEMERINTAHAN
HUSNI MUBARAKFenomena jilbab baru di Mesir merupakan fenomena populer yang
menarik perhatian publik. Fenomena tersebut dibangun dari wacana perdebatan
intelektual seputar feminisme, gender, demokrasi, globalisasi dan Islamisme, yang
saling bersinggungan, dan akhirnya membentuk konstruksi wacana jilbab baru.
Mesir di masa rezim Mubarak mengalami diskontinuitas ekonomi, yang secara
sistemik sosial berakibat munculnya inisiasi dari perempuan untuk terlibat aktif
menggugat hal tersebut. Stratifikasi kelas sosial yang mewarnai kontestasi sosiopolitik
Mesir, lantas memunculkan agen perubahan, yang kemudian dikenal
dengan perempuan kelas menengah, yang sekaligus menjadi aktor gerakan
feminisme. Partisipasi aktif perempuan tersebut, juga berupaya menegosiasikan
dikotomi antara privat dan publik yang selama ini telah mengakar kuat dalam
budaya patriarkhi masyarakat Arab, khususnya Mesir. Tak pelak melahirkan
perdebatan baru dikalangan intelektual terhadap hal tersebut. Sehingga tulisan ini
hadir guna mengurai fenomena jilbab baru tersebut.
Tren gerakan feminisme Mesir selalu mengalami perubahan pola
perjuangan disetiap masanya, tergantung pada keadaan sosial-politiknya. Kaum
perempuan memiliki agenda politik yang harus dicapainya. Menghadapi hal itu,
mereka merasa sistem dikotomi privat dan publik dalam budaya patriarkhi Mesir
menjadi dinding penghalang yang harus dihancurkan. Bersamaan dengan itu,
kebangkitan ideologi Islam politik yang digawangi Ikhwan al Muslimin mulai
digencarkan dengan menarget masyarakat akar rumput, yang tak pelak melahirkan
kesalehan dalam ruang publik. Mobilisasi masa yang dilakukan kalangan Islamis
ini bersinggungan dengan gerakan perempuan, yang lantas melahirkan pola
gerakan baru, seperti gerakan Islamis feminis. Gerakan tersebut menggunakan
jilbab baru sebagai simbol perlawanan terhadap benturan antara budaya patriarkhi
dan kebebasan sipil. Dalam tulisan ini, saya menemukan pola transformasi
gerakan feminisme Mesir yang di masa sebelumnya terkesan frontal dalam
melawan dominasi kuasa, namun kini berubah seiring berjalannya waktu. Pola
accommodating protest (menerima tetapi tetap protes) digunakan perempuan
kelas menengah dengan lebih dinamis. Sebab model protes tersebut lebih dekat
dengan strategi negoisasi yang bertujuan mendamaikan pihak-pihak yang
bertentangan dengan menawarkan instrument alternatif.
Perlu ditegaskan bahwa jilbab baru bukan hanya sekedar identitas belaka,
melainkan telah berproses menjadi simbol perlawanan kaum perempuan kelas
menengah dalam partisipasi aktifnya dalam ruang publik pada masa pemerintahan
Husni Mubarak di Mesir, yang ditandai dengan melonjaknya angka pekerja
perempuan pada masa itu.NIM. 1620011004 REZA BAKHTIAR RAMADHAN