Institutional Repository UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta: No conditions. Results ordered -Date Deposited. 2024-03-29T06:09:06ZEPrintshttp://digilib.uin-suka.ac.id/images/sitelogo.pnghttps://digilib.uin-suka.ac.id/2023-04-17T02:09:15Z2023-04-17T02:09:15Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/58023This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/580232023-04-17T02:09:15ZGUGURNYA SANKSI PIDANA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA INDONESIAGugurnya sanksi pidana akan terjadi jika perbuatan pidana yang dilakukan
itu karena tidak adanya pilihan atau karena orang yang melakukan perbuatan
pidana tersebut kurang sempurna akalnya. hal ini sudah diatur jelas dalam KUHP.
Kemudian timbulah pertanyaan bagaimana konsep hukum pidana Islam terhadap
Gugurnya sanksi pidana, apa saja faktornya dan kemudian apa persamaan dan
perbedaanya dengan hukum pidana Indonesia. Atas dasar inilah, dilakukan
penelitian ilmiah sebagai salah satu upaya untuk memberikan kontribusi hasil dari
komparatif KUHP dan hukum pidana Islam terhadap gugurnya sanksi pidana.
Jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka (library reseach), dengan
pendekatan yuridis normatif. Penelitian ini bersifat deskriftif komparatif analitik
yaitu penelitian yang mejelaskan, memaparkan penguraian, dan membandingkan
data yang diperoleh mengenai gugurnya sanksi pidana dalam hukum pidana Islam
dan hukum pidana Indosesia kemudian dianalisi dan diambil kesimpulannya.
Berdasarkan uraian dan analisis tentang kajian terhadap Gugurnya sanksi
pidana dalam hukum pidana Islam dan hukum pidana Indosesia, penyusun dapat
menyimpulkan bahwa, dalam hukum pidana Islam ada dua penyebab. yaitu:
pertama, disebabkan perbuatan mubah (asbāb al-Ibāhah) perbuatanya adalah
pembelaan yang sah, pendidikan dan pengajaran, pengobatan, permainan
olahraga, hapusnya jaminan keselamatan, menggunakan wewenang dan kewajiban
bagi pihak yang berwajib. Kedua, disebabkan hapusnya hukuman (asbāb rafi Al
uqûbah) yaitu karena daya paksa, mabuk, gila dan belum dewasa. Sedangkan
dalam hukum pidana Indosesia sudah diatur jelas dalam KUHP bagian pertama
pada Pasal 44 tentang kurang sempurnanya jiwa dan pikiran, 48 tentang daya
paksa, 49 tentang pembelaan terpaksa baik buat diri sendiri atau orang lain, 50
tentang melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang dan
51 tentang melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang
diberikan oleh penguasa yang berwenang. Adapun perbedaan yang ditemukan
dalam penelitian ini terdapat pada perbuatan pidana yang dilakukan oleh anak di
bawah umur/belum baliqh.NIM.: 06360033 Saepudin2023-02-20T02:33:56Z2023-02-20T02:33:56Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/56432This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/564322023-02-20T02:33:56ZHAK KORBAN KEKERASAN SEKSUAL DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2022 TENTANG TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL PERSFEKTIF MAQASHID SYARIAHSejak tahun 2008, Komnas Perempuan telah menghimpun data Kekerasan Terhadap Perempuan (KtP) masih dikatakan fenomena gunung es, yang dapat diartikan bahwa dalam situasi yang sebenarnya, kondisi perempuan Indonesia jauh mengalami kehidupan yang tidak aman, jika didalam Islam keadaan tersebut dinamakan dharuriyat. Persoalan lain yang seringkali muncul adalah tidak tersedianya pelindungan yang baik terhadap korban dan saksi. Sehingga dengan keadaan tersebut Komnas perempuan bersama lembaga lainnya berusaha merumuskan RUU PKS dan mengalami perjalanan yang rumit dan panjang kemudian akhirnya ditahun 2022 disahkan menjadi UU nomor 12 tahun 2022 TPKS. Dengan demikian penulis akan meneliti bagaimana pemenuhan hak korban kekerasan seksual dalam UU TPKS dan hak korban dalam undang-undang tersebut persfektif maqashid syariah.
Jenis penelitian ini adalah adalah penelitian penelitian pustaka (library research). Artinya bahwa penelitian ini dilakukan dengan cara menelaah bahan pustaka baik data primer maupun sekunder serta menggunakan pendekatan hukum normatif, tekhnik analisis yang digunakan adalah content analisis yaitu dengan menganalisis atau membahas suatu informasi tertulis dari semua bentuk komunikasi yang berkaitan dengan objek kajian.
Hasil peneitian menjelaskan bahwa pemenuhan hak korban kekerasan seksual dalam UU TPKS (Pasal 67) terdapat tiga hak yang akan diperoleh korban kekerasan seksual yaitu hak atas penanganan, hak atas pelindungan dan hak atas pemulihan. Adapun yang termasuk dalam hak penanganan adalah jaminan akses informasi dan fasilitas layanan kesehatan, hukum, penghapusan konten dari media elektronik. Sedangkan yang termasuk dalam hak atas pelindungan adalah jaminan akses informasi dan fasilitas pelindungan, kerahasiaan identitas korban, pekerjaan, pendidikan, tuntutan hukum, ancaman kekerasan dan perlakuan yang merendahkan korban. Dan yang terakhir adalah hak atas pemulihan meliputi rehabilitas medis, rehabilitas mental, rehabilitasi dan pemberdayaan sosial.
Ketiga hak korban yang tertuang didalam UU tersebut bertujuan memberikan keselamatan menghindari kemudharatan bagi seluruh manusia terutama korban kekerasan seksual. Melalui hak atas penanganan, hak atas pelindungan dan hak atas pemulihan dalam UU TPKS akan memberikan dampak positif bagi korban sehingga korban kekerasan seksual bisa kembali menjalani kehidupan normal layaknya manusia lain dalam tatanan kehidupan politik , ekonomi, budaya dan sosial korban. Pengaturan hak korban kekerasan seksual pada UU TPKS yaitu Pasal 67-70 dalam persfektif maqashid syari’ah sudah memenuhi perlindungan agama, jiwa, akal, harta dan keturunan korban.NIM.: 20203012029 Miranda Nasati Pohan2022-10-25T07:01:32Z2022-10-25T07:01:32Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/54494This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/544942022-10-25T07:01:32ZPEMBATALAN PERKAWINAN KARENA PENIPUAN OLEH PIHAK WANITA (STUDI PUTUSAN PENGADILAN AGAMA BANTUL NOMOR 907/Pdt.G/2020/PA.BTL)Marriage that is done without fulfilling the conditions can be annulled. There
are still many people who carry out marriages that do not meet the requirements and
violate the provisions of the applicable legislation. This thesis entitled Marriage
Cancellation Due to Fraud by Women (Study of the Bantul Religious Court Decision
Number 907/Pdt.G/2020/PA.BTL), examines cases of marriage annulment filed by
men on the grounds of fraud committed by women, and intends to answer the
questions, namely how the judge's considerations in deciding cases of marriage
annulment requests with elements of fraud depicted in this decision, how the
principles of marriage are applied in the settlement of the case, and what are the legal
consequences that arise from the decision to cancel marriages that contain elements
of fraud.
The research method used is descriptive-analytic, and with a statutory
approach to provide an assessment of the practices listed in court decisions and from
interviews and determine the suitability of practice with applicable laws or
regulations and examine the application of marriage principles. in the settlement of
the case in the decision of the Bantul Religious Court. Interviews were conducted to
obtain information on the legal basis and considerations of the Panel of Judges in
deciding cases of marriage annulment due to fraud and to analyze them with the
theories of the principles of marriage law and the theory of legal certainty.
The results of this study conclude that first, the consideration of the Panel of
Judges in deciding cases of marriage annulment for reasons of fraud has complied
with the provisions of the legislation. Second, through this decision the judges found
that the marriage did not meet the voluntary principle and the principle of consent.
Third, that the decision to annul the marriage which was decided and determined by
the Bantul Religious Court has a legal impact only on the status of the husband and
wife who carried out the marriage and not on other parties such as children.NIM.: 18103040032 Edinda Ikhsania Nafanda Salsabilla2022-10-03T06:07:02Z2022-10-03T06:07:02Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/53742This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/537422022-10-03T06:07:02ZKOMERSIALISASI JASA EDITING MENGGUNAKAN APLIKASI BAJAKAN MENURUT UU NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG HAK CIPTA DAN MENURUT HUKUM PIDANA ISLAMPembajakan merupakan perilaku menembus sebuah system dari aplikasi untuk digunakan secara ilegal. Hasil dari pembajakan ini biasanya dijual secara lebih murah atau digandakan bahkan dipakai secara gratis tanpa memikirkan penciptanya. Aplikasi hasil pembajakan tersebut seringkali digunakan untuk jual beli sebuah jasa, seperti halnya jasa editinhg dengan menggunakan aplikasi bajakan. Kejahatan ini sangatlah sering terjadi dan pengkajiannya masih begitu luas sehingga menjadi ketertarikan penyusun untuk dikaji secara khusus, serta memberi kesempatan penyusun untuk mengetahui bagaimana komersialisasi pembajakan menurut hukum pidana indonesia dan hukum pidana islam dengan memperbandingkannya. Oleh karena itu, dapat diirumuskan dua permasalahan: bagaimana tinjauan hukum UU Nomor 28 Tahun 2014 dan Hukum Pidana Islam mengenai komersialisasi jasa design menggunakan aplikasi bajakan dan apa persamaan dan perbedaan dan UU Nomor 28 Tahun 2014 dan Hukum Pidana Islam mengenai komersialisasi jasa design menggunakan aplikasi bajakan
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan yang dikuatkan dengan wawancara dengan mengumpulkan data dan dianalisis secara deskriptif-komparatif serta penulis melakukan pendekatan secara yuridis-normatif dengan cara mendekati masalah komersialisasi pembajakan dari segi hukum melalui Undang-Undang dan Hukum Pidana Islam. Dalam hal ini penulis menelaah berbagai macam sumber dan mengkaji pasal Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta untuk kemudian diuraikan bagaimana perspektif hukumnya, sedangkan dari hukum islam, penulis mencoba mengkaji Al-Qur’an dan hadis serta dalil-dalil yang berkaitan dengan hukum untuk kemudian diuraikan sesuai dengan teori pemidanaan, jari>mah dan teori qiyas.
Berdasarkan metode yang digunakan, maka diketahui bahwa dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta, komersialisasi pembajakan ini merupakan perbuatan yang dilarang pada pasal 9 mengenai hak ekonomi pencipta. Sedangkan dalam hukum islam sendiri tidak dikatakan secara jelas tentang dalilnya sehingga menjadi bagian dari jari>mah ta’zir dalam bentuk gho>so>b. Sanksi komersialisasi pembajakan hak cipta ini dalam Undang-Undang No.28 Tahun 2014 terdapat pada pasal 113 ayat 3 dan 4. Sedangkan dalam Hukum Pidana Islam, pembajakan merupakan perbuatan yang dilarang karena dikategorikan dalam perbuatan gho>so>b. Maka hukumannya diserahkan kepada hakim dan ulil amri sesuai dengan pengertian dari jari>mah ta’zir.NIM.: 17103060021 Ihza Afdholasyakar2022-03-30T03:33:49Z2022-03-30T03:33:49Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/50183This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/501832022-03-30T03:33:49ZPENERAPAN RECHTERLIJK PARDON (PEMAAFAN HAKIM) DALAM
UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM
PERADILAN PIDANA ANAK DAN PERKEMBANGANNYA DALAM
PEMBARUAN HUKUM PIDANA INDONESIAAnak merupakan aset berharga yang dimiliki oleh suatu bangsa. Pola pertumbuhannya sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Tidak jarang anak yang terjebak dalam lingkungan yang tidak kondusif ditambah faktor ekonomi yang kurang memadai, mengakibatkan anak tersebut melakukan kenakalan yang berujung pada tindak pidana. Saat ini Indonesia telah memiliki sistem peradilan anak yang lebih mengakomodir hak-hak anak tertuang dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 dibandingkan sistem sebelumnya yaitu pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997. Dalam sistem peradilan pidana anak saat ini terdapat suatu mekanisme rechterlijk pardon/pemaafan hakim. Namun, aturan tersebut masih menjadi teks mati karena belum memiliki pedoman dan aturan tambahan yang jelas. Sejak 1968, mulai digaungkan terkait dengan pembaruan hukum pidana di Indonesia. Mengingat hukum pidana yang saat ini dipakai masih terpaku pada hukum warisan Belanda yang sangat individualistik dan liberalistik. Pembaruan tersebut sejalan dengan adanya penerapan rechterlijk pardon/pemaafan hakim untuk menanggulangi kekakuan dalam hukum pidana. Maka dari itu perlunya untuk mengetahui urgensi penerapan rechterlijk pardon/pemaafan hakim khususnya dalam peradilan anak dan menentukan bagaimana aturan ini bisa diimplementasikan.
Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) dengan pendekatan yuridis normatif. Sedangkan metode analisis data yang digunakan adalah deskriptif analitik. Dalam metode pengumpulan data penyusun menggunakan data literer (pustaka), yaitu penelitian di mana sebagian besar data yang diperlukan dan yang akan dikaji adalah data yang bersifat sekunder.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan rechterlijk pardon/pemaafan hakim perlu dilakukan, karena sejatinya konsep tersebut seiring dan sejalan dengan konsep perbaruan hukum pidana dan pemidanaan di Indoensia. Tentunya penerapan tersebut berpedoman pada substansi pada norma yang tertera pada Pasal 53 dan 54 ayat (1) RKUHP. Hal ini sejalan dengan teori penjatuhan putusan yang menekankan pada keseimbangan (pelaku dan korban) serta pada pengetahuan dan wawasan keilmuan hakim dalam memutus suatu perkara.NIM.: 16340059 Prusut Papandrio2022-02-14T02:37:21Z2023-01-31T04:00:06Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/48963This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/489632022-02-14T02:37:21ZHUKUM DOXING TERHADAP PELAKU CYBERBULLYING DI MEDIA SOSIAL MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAMCyberbullying and doxing are problems that are closely related to one of the effects of social media. Bullying, which is actually a problem that has occurred in the real life, now has become commonplace in cyberspace. Cyberbullying can happen to anyone from various backgrounds, but mostly cyberbullying affects artists and public figures. Cyberbullying is usually carried out by individuals or groups of people who do not like or seek attention with victims, some people of them even do it intentionally just for personal pleasure. One of self-defense and protection by cyberbullying’s victims is usually by searching for the perpetrator's personal data, with legally or illegally ways. But not infrequently the search for personal data is carried out not in accordance with existing procedures, victims usually search for the identity of the perpetrator without the help of law enforcement officials, if the cyberbullying perpetrator's personal data has been obtained, the victim will spread the identity of the perpetrator, this is what is considered as doxing behavior.
The nature of this research is comparative descriptive. Meanwhile, the type of this research is library research. In this study the author uses the theory of Islamic criminal law. These data were analyzed by inductive method by analyzing from problems that are specific to things that are general.
The results of this study indicate that the similarity of opinion in Positive Law and Islamic Criminal Law when examined with Islamic criminal law, then both are equally appropriate. Neither of the two laws specifically mentions the words "cyberbullying" or "doxing". The difference between the two laws is that positive law clearly explains what punishment will be obtained, while in Islamic criminal law, ta'zi<r is only imposed and for its implementation it is returned to the ulil amri (local judge).NIM.: 17103060041 Lella Conyta2022-02-10T03:48:50Z2022-02-10T04:01:18Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/48940This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/489402022-02-10T03:48:50ZANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENGANIAYAAN OLEH PELAKU YANG MENGIDAP EPILEPSI
(STUDI PUTUSAN NO. 25/Pid.B/2020/PN.WAT)Criminal liability in the criminal law system states that in article 44 paragraph 1 people who cannot be held accountable for their actions are people who are mentally disabled or disturbed because of an illness. Many forms and types of disease disorders that can be found in everyday life, one of which is epilepsy. People who suffer from this disorder also have the potential to commit a crime. The main problem of this research is how to criminal liability for people who have epilepsy disorders. The subject matter is then formulated in several sub-problems, namely: 1. What is the criminal responsibility of perpetrators of persecution who suffer from epilepsy in the Decision No. 25/Pid.B/2020/PN.WAT? B/2020/PN.WAT against perpetrators of persecution who suffer from epilepsy is enough to meet the sense of justice?. People with epilepsy should receive special attention in the eyes of the law in determining criminal liability.
This research is a library research with a normative juridical research approach. The data that the authors use in the research consists of primary data in the form of laws and decisions of the Wates District Court 25/Pid.B/2020/PN.WAT, secondary data consisting of papers, legal journals and scientific writings in the form of regulations that explain more continued primary legal materials in the form of literature, books related to “Criminal Liability for Persecution by Perpetrators with Epilepsy”, tertiary data and interviews with the judges of the Wates District Court.
After analyzing the decision of case no. 25/Pid.B/2020/PN.WAT criminal liability for perpetrators of persecution who suffer from epilepsy that the act of abuse committed by the defendant was the result of his epilepsy, so that in this case between the actions of the defendant and the defendant's disease there is a relationship or related. Therefore, the defendant's actions cannot be held criminally responsible in full (diminished responsibility). The sentence imposed will better fulfill the sense of justice and benefit if viewed from the purpose of punishment, it is more appropriate if the sanction given is an action sanction by ordering the defendant in the case of decision no. 25/Pid.B/2020/PN.WAT to be admitted to a mental hospital in accordance with the provisions Article 44 paragraph 2 of the Criminal Code to get treatment and intensive care.NIM.: 17103040146 Hawani Romli2021-11-26T04:08:58Z2021-11-26T04:08:58Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/45226This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/452262021-11-26T04:08:58ZPROBLEMATIKA PENERAPAN HUKUMAN KEBIRI
BAGI PELAKU TINDAK PIDANA PEDOFILIA DI INDONESIA
(ANALISIS TEORI AL-MAQASID ASY-SYARIAH DAN SANKSI PIDANA)Tingginya persentase tingkat kejahatan seksual pada anak di Indonesia, yang selalu mengalami kenaikan di setiap tahunnya membuat masyarakat khususnya orang tua semakin merasa resah. Hal ini dibuktikan dengan data yang dimiliki oleh LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) yang mencatat bahwa dalam seminggu setidaknya terdapat 4 kasus pelecehan seksual pada anak. Data LPSK menunjukan grafik peningkatan pelecehan dan kekerasan seksual pada anak sangat signifkan. Pada tahun 2016 tercatat 25 kasus, 2017 ada 81 kasus, dan pada tahun 2018 tercatat sebanyak 206 kasus pelecehan dan kekerasan seksual pada anak. Data ini diperkuat dengan data yang dimiliki oleh KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) bahwa pada tahun 2011 terdapat 2178 kasus kekerasan, 2012 terdapat 3512 kasus, 2013, tedapat 4311 kasus dan 2014 ada 5066 kasus. Di antara kasus-kasus tersebut, kasus pedofilia merupakan kasus yang meningkat dan menghebohkan masyarakat Indonesia di mana tindak kejahatan pedofilia dianggap sebagai extraordionary crime. Hukuman yang selama ini ada dan diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 tahun 2016 tentang Perlindungan Anak yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang nomor 17 tahun 2016, dengan sanksi yang telah didasarkan pada pasal 290 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada kenyataanya belum mampu menekan tingginya angka kejahatan seksual pada anak. Hingga akhirnya pada tahun 2016 pemerintah mencanangkan akan diberlakukannya hukuman kebiri bagi pelaku tindak pidana pedofilia, hukuman kebiri ini adalah suatu hukuman tambahan yang diatur di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Namun, kenyataannya justru hukuman kebiri menuai pro dan kontra diberbagai lapisan masyarakat. Banyaknya problematika mengenai penerapan hukuman kebiri ini membuat hukuman kebiri hingga saat ini belum pernah dilaksanakan, karena banyak hal yang masih harus dipertimbangkan.
Penelitian ini merupakan penelitian pustaka (library reseacrh) yang difokuskan pada kajian tentang problematika penerpan hukuman kebiri bagi pelaku tindak pidana pedoflia. Penelitian ini menggunakan pendekatan normatif dan yuridis sekaligus. Sementara teori yang digunakan untuk mengkaji dan menganalisis masalah tersebut adalah teori maqashid asy-syariah dan dan sanksi pidana. Sumber data penelitian ini terdiri atas data primer dan sekunder. Data primer meliputi Al-Qur’an, hadis, fiqih ushul fiqih, Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan Anak. Adapun data sekundernya terdiri dari data-data pustaka, baik berupa buku, artikel jurnal, berita maupun yang lainnya yang terkait dengan topik penelitian ini.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa masalah yang terjadi di kalangan masyarakat, masih menjadi perdebatan dilaksanakannya hukuman kebiri adalah mengenai tercederainya Hak Asasi Manusia, Ikatan Dokter Indonesia yang menolak menjadi Eksekutor, hukuman kebiri yang tidak sesuai dengan hukum
iii
Islam yaitu perpektif hukum pidana Islam yang menyebutkan bahwa hukuman kebiri ini dianggap sebagai hukuman ta’zir, juga adanya perbedaan pendapat dikalangan ulama yaitu Ulama Muhammadiyah dan Ulama Nahdlatul Ulama dimana sebagian ulama meonolak adanya hukuman kebiri karena dianggap tidak manusiawi serta menyalahi aturan agama dan sebagian ulama menyetujui karena menganggap bahwa hukuman kebiri ini layak dan setimpal untuk diberlakukan kepada pelaku tindak pidana pedofilia. Pihak yang menyetujui melihat dari sudut pandang korban, dan pihak yang tidak menyetujui melihat dari sudut pandang yang menjadi problematika di masyarakat.NIM.: 17103060023 Anggita Palupi Putri Utami2021-11-02T08:15:04Z2023-11-22T04:08:10Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/45126This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/451262021-11-02T08:15:04ZTINDAKAN MEMBUNUH BEGAL KARENA PEMBELAAN DIRI
(PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM)Keberadaan begal sangat meresahkan masyarakat, terutama pengendara motor yang melintasi jalanan sepi. Karena aksi pembegalan dilakukan di jalanan yang sepi dan sering dilakukan pada malam hari. Pelaku begal tidak segan-segan melukai dan membunuh korbannya apabila tidak memberikan harta bendanya. Namun tidak sedikit dari korban pembegalan yang memberanikan diri untuk melawan demi mempertahankan harta bendanya. Bahkan tak jarang perlawanan korban menyebabkan begal meninggal. Berdasarkan latar belakang diatas penulis ingin melakukan penelitian mengenai Pertama, Bagaimana ketentuan pidana tindakan membunuh begal karena pembelaan diri menurut hukum positif? Kedua, Bagaimana ketentuan pidana tindakan membunuh begal karena pembelaan diri menurut hukum islam?
Penelitian ini merupakan jenis penelitian normatif dengan teknik pengumpulan data melalui penelitian pustaka (library reseasrch), bahan-bahan dan data-datanya diperoleh dari perpustakaan dan berbagai uraian lain yang relevan dengan permasalahan topik penulisan. Data-data yang diperoleh kemudian akan dianalisis menggunakan teori pertanggungjawaban pidana dan maqashid syari’ah.
Hasil dari penelitian adalah sebagai berikut; Petama: Ketentuan hukuman tindakan membunuh begal karena pembelaan diri dalam hukum positif adalah tidak dipidana sesuai dengan pasal 49 ayat (1) KUHP denga syarat pembelaan yang dilakukan dalam kedar yang seimbang, dan apabila pembelan diri tidak seimbang maka, pelaku tetap dijatuhi hukuman sesuai dengan fakta dan bukti yang ada. Hal yang demikian itu sudah sejalan dengan asas-asas pertanggungjawaban pidana. Kedua: Ketentuan hukuman tindakan membunuh begal karena pembelaan diri dalam hukum Islam hukumnya mubah (dibolehkan) dan tidak ada hukumann selama perbuatan tersebut adalah pilihan terakhir dan tidak melewati batas namun jika sampai melewati batasnya dan mengenai orang lain dengan tersalah maka perbuatannya bukan mubah lagi melainkan kekeliruan dan kelalaian si pemebela diri. Kelalaian tersebut akan dimintai pertanggungjawaban pidana sesuai dengan kesalahan dan perbuatan tersebut denganm dikategorikan sebagai pembunuhan qatl syibh al-amd. Ditinjau dari maqashid syari’ah ketentuan pembunuh begal karena pembelaan diri dalam hukum Islam sejatinya sudah selaras, ini dikarenakan pada dasarnya hukum pidana Islam adalah instrumen penegak maqashid syari’ah yang merupakan tujuan penetapan syari’ah.
Kata kunci: Tindakan membunuh begal, Hukum positif, Pidana Islam,NIM.: 16360046 Rizka Fatihullah2021-10-08T02:08:11Z2021-10-08T02:08:11Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/45118This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/451182021-10-08T02:08:11ZSANKSI DELIK INSES DALAM HUKUM POSITIF
DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM DAN
MAQASID ASY-SYARĪ’AHKasus hubungan inses dengan anggota keluarga inti yang dibawa kejalur hukum merupakan fenomena gunung es. Banyak kasus inses yang tidak dibawa kejalur hukum dengan alasan untuk menutub aib keluarga. Sikap apatis yang demikian justru hanya akan menguntungkan dan memberi rasa aman terhadap pelaku. Padahal, pada dasarnya dalam hukum positif dan hukum Islam melarang adanya perilaku inses meskipun dalam hukum positif belum ada aturan yang secara khusus dan tegas mengatur delik ini. Dari uraian tersebut muncul pokok masalah yaitu bagaimana sanksi delik inses dalam hukum positif dan bagaimana sanksi delik inses dalam hukum positif ditinjau dari hukum pidana Islam dan maqasid asy-syarī’ah
Penelitian ini adalah Penelitian yuridis-normatif, dengan menggunakan teori hukum pidana Islam dan Maqasid asy-syarī’ah, yakni mengacu kepada pernyataan dan ketentuan-ketentuan dalam hukum positif berkenaan dengan sanksi delik inses
Hasil penelitian menunjukan bahwa sanksi delik inses dalam hukum positif diantaranya adalah: sanksi pidana maksimal tujuh tahun penjara dalam Pasal 294 ayat (1) KUHP, pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling singkat 3 tahun dan denda paling banyak Rp.300.000.000,00 dan paling sedikit Rp.60.000.000,00 dalam Pasal 81 Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 dan ditambah sepertiga dari ancaman tersebut dalam Pasal 81 Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 dan ditambah sepertiga dari ancaman hukuman tersebut dala Pasal 82 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang, dan sanksi pidana penjara maksilam 10 tahun dalam Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1951 Ditinjau dari hukum pidana Islam bentuk sanksi delik inses dalam hukum positif termasuk dalam sanksi jarimah tazir dan sanksi delik inses dalam hukum pidana Islam berbeda dengan hukum positif yaitu sanksi sebagaimana yang dijatuhkan kepada pelaku zina: dera seratus kali bagi pelaku yang belum muhsan dan rajam bagi yang muhsan. Atau pendapat lain mengatakan sanksi yang dibebanka adalah hukuman mati apapun kondisinya. Sedangkan ditinjau dari maqasid asy-syarī’ah sanksi inses dalam hukum positif sudah mengakomodir kepentingan hukum Islam dan tidak bertentangan dengan hukum Islam.NIM.: 16360039 Pandu Rizka Permana2021-09-15T01:35:33Z2021-09-15T01:35:33Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/44385This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/443852021-09-15T01:35:33ZDISPARITAS PIDANA DALAM TINDAK PIDANA MENYEBABKAN KEMATIAN KARENA KELALAIAN (STUDI ATAS PUTUSAN NOMOR 139/PID.B/2019/PN.BTG DAN NOMOR 155/PID.B/2018/PN.BTG)Kematian akibat kecelakaan lalu lintas merupakan masalah serius yang dihadapi banyak negara, dimana kecelakaan lalu lintas merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi di dunia. Seperti kebanyakan negara, Indonesia menghadapi masalah yang sama. Persoalan hukum pemidanaan terkait dengan kelalaian yang mengakibatkan kematian menjadi sangat penting dalam keseluruhan proses hukum, terutama dalam hal penegakan hukum. Oleh karena itu hakim yang memiliki kewenangan dan kebebasan untuk menentukan berat ringanya perkara merupakan faktor penting dalam penegakan hukum. Namun, kebebasan hakim tersebut membuat hakim memberikan putusan yang berbeda meskipun menangani tindak pidana yang sama, hal ini dikarenakan berbagai faktor yang mempengaruhi hakim dalam pengambilan keputusan, seperti peraturan perundang-undangan, keilmuan hakim, kebijaksanaan hakim dan faktor lainnya, sangat menentukan dalam pengambilan keputusan. Faktor-faktor tersebut sangat penting sehingga dapat menyebabkan adanya disparitas.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan kemudian dianalisis dengan data kualitatif dimana isi dibuat dan susun secara sistematik dan menyeluruh. Analisis disini dimaksudkan untuk menggambarkan semua data yang diperoeh yang berkaitan dengan judul penelitian secara jelas dan rinci guna menjawab permasalahan yang ada.
Hasil penelitian ini menunjukan pertimbangan hakim dalam memberikan putusan dibagi menjadi dua yaitu bersifat yuridis seperti dakwaan JPU, keterangan terdakwa, keteranga saksi, barang bukti dan pasal-pasal yang terkait dengan kasus ini, dan yang bersifat non yuridis seperti hal-hal yang memberatkan dan meringankan. Dari analisis yang dilakukan terhadap kedua putusan, yang menjadi penyebab adanya disparitas pemidanan dalam perkara ini adalah Majelis hakim yang berbeda pada masing-masing putusan dan perbedaan dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara seperti tuntutan Jaksa Penuntut Umum, hal-hal yang memberatkan, hal-hal yang meringankan, serta status terdakwa. Perbedaan pada hal tersebut yang menjadi penyebab atas adanya perbedaan masa hukuman pidana antara putusan nomor 139/Pid.B/2019/PN.Btg dan nomor 155/Pid.B/2018/PN.Btg tentang kelalaian yang menyebabkan kematian.NIM.: 13340042 Ibnu Alfakhurozi2020-12-18T02:22:32Z2020-12-18T02:22:32Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/41605This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/416052020-12-18T02:22:32ZSANKSI PIDANA TERHADAP DELIK CABUL DALAM PASAL 294 KUHP PERSPEKTIF HUKUM ISLAMHukum Islam berfungsi untuk menjaga nilai-nilai moral (akhlak) karena hukum diturunkan dan sanksi dijatuhkan untuk menjaga akhlak manusia. Selama ini sanksi yang dijatuhkan terhadap pelaku pencabulan yang terdapat dalam Pasal 294 KUHP belum bisa merubah kemerosotan atau krisis moral di Indonesia menjadi lebih baik. Sanksi yang dijatuhkan bagi orang-orang terdekat atau seseorang yang memiliki pengawasan terhadap orang bawahannya yang melakukan perbuatan cabul terhadap anaknya atau anak yang belum dewasa, sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 294 KUHP adalah tujuh tahun penjara. Adapun pengertian dan sanksi perbuatan cabul secara khusus dalam hukum Islam belum dijelaskan, sebab perbuatan cabul itu sendiri merupakan perbuatan keji, perbuatan merangsang untuk memuaskan nafsu seksuil pada diri yang berbuat atau orang lain dengan cara melanggar tata agama dan tata asusila. Lain halnya dengan zina yang merupakan persetubuhan antara laki-laki dan perempuan tanpa ada ikatan yang sah, dalam hukum Islam sanksi bagi pelaku perzinahan yaitu rajam, dera dan pengasingan, sedangklan perbuatan cabul maknanya berbeda dengan zina dan sanksinya pun pasti berbeda pula.
Dari dua aspek hukum di atas, dalam pemberian sanksi terhadap tindak pidana cabul merupakan sebuah fenomena yang menarik untuk dikaji. Hal tersebut memberikan kesempatan kepada penyusun untuk mengetahui bagaimana sesungguhnya pengertian perbuatan cabul dalam hukum Islam serta pandangan hukum Islam terhadap sanksi perbuatan cabul pada Pasal 294 KUHP.
Dikarenakan kajian ini merupakan kajian yuridis, maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan normatif yuridis, yaitu pendekatan yang berusaha melihat dasar-dasar hukum positif dan hukum Islam terutama yang berkaitan dengan sanksi pidana pencabulan tersebut. Berdasarkan metode yang digunakan, maka dapat diambil kesimpulan bahwa, kitab undang-undang hukum pidana buku kedua tentang kejahatan terhadap kesopanan (kesusilaan) yang menjadi pedoman perangkat hukum dalam menetapkan sebuah keputusan, khususnya tentang pencabulan tidaklah sesuai dengan hukum pidana Islam karena dalam Islam sanksi yang dijatuhkan jauh lebih berat daripada KUHP. Sebab pelaku adalah orang-orang terdekat dan seseorang yang memiliki pengawasan terhadap orang bawahannya. Menurut hukum Islam sanksi yang dijatuhkan terhadap pelaku tersebut adalah rajam, dera dan pengasingan serta ta'zir bagi pelaku pencabulan karena belum ada nash yang qat'i dalam al-Qur'an dan al-Hadist. Sedangkan Tujuan pokok ,dalam penjatuhan hukuman atau sanksi dalam Syari'at Islam ialah pencegahan ( ar-rad'u wa az-zajru) dan pengajaran serta pendidikan (al-,islah wa at-tl}hzib), yang mana suatu jarimah akan diberikan suatu sanksi atau hukuman sebagai balasan atas perbuatannya itu dan juga sebagai antisipasi bagi anggota masyarakat yang lain untuk tidak melakukan jarimah yang serupa maupun jarimah-jarimah yang lain yang akan mengakibatkan adanya suatu hukumanNIM. 01371056 A. JUNAIDI HS2020-12-14T07:33:34Z2020-12-14T07:33:34Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/41558This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/415582020-12-14T07:33:34ZDELIK PENGANIAYAAN BERSAMA PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAMSeiring dengan perkembangan zaman yang terus maju, kejahatan pun semakin berkembang, dengan bertambahnya angka kejahatan dan bertambahnya macammacam jenis kejahatan, seperti kejahatan terhadap selain jiwa atau penganiayaan dalam masyarakat. kejahatan terhadap selain jiwa manusia atau penganiayaan itu terkadang dilakukan oleh beberapa orang yang sepakat untuk melakukan penganiayaan. Penganiayaan disertai penyertaan merupakan tindak pidana penganiayaan yang sering terjadi, akan tetapi sanksi tindak pidana penganiayaan yang disertai dengan penyertaan dengan penganiayaan biasa sangat berbeda, baik ditiNlM. 01370751 ISMATUL IZZA2020-11-29T02:29:31Z2020-11-29T02:29:31Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/41398This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/413982020-11-29T02:29:31ZPELAKU PERKOSAAN DI BAWAH UMUR (STUDI PERBANDINGAN ANTARA HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA POSITIF)02361548 Suaedah2020-11-29T01:29:09Z2020-11-29T01:29:09Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/41392This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/413922020-11-29T01:29:09ZPENJATUHAN PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR (STUDI KOMPARASI HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA INDONESIA)Pemidanaan dan penjatuhan sanksi terhadap anak di bawah umur sejatinya memberikan kontribusi yang luar biasa bagi masyarakat hukum, pemidanaan dan penjatuhan sanksi ini dinilai sebagai sebuah fenomena hukum yang mampu mengurangi tindak kriminal juga sebagai konsekuensi logis terhadap tindakan melawan hukum. Mengingat sifat anak dan keadaan psikologinya dalam beberapa hal tertentu memerlukan perlakuan khusus serta perlindungan yang khusus pula, terutama terhadap tindakan tindakan yang pada hakekatnya dapat merugikan perkembangan mental maupun jasmani anak, maka tujuan pemidanaan terhadap anak menjadi point penting yang harus dirumuskan agar dapat ditetapkan cara, sarana, atau tindakan apa yang akan digunakan dalam menyelesaikan kasus anak. Penetapan jenis sanksi dalam hukum pidana, apapun jenis dan bentuk sanksinya harus didasarkan dan diorientasikan pada tujuan pemidanaan yang relevan dengan kondisi anak, maka akan melahirkan sebuah implementasi kebijakan hukum yang mampu mengakomodir kebutuhan anak yang menitikberarkan pada tindakan edukatif, disamping tindakan yang bersifat menghukum.
Permasalahan pidana dan pemidanaan terhadap anak di bawah umur dalam hukum pidana Llam dan hukum pidana Indonesia merupakan fenomena yang sangat menarik untuk dikaji, karena dari masing-masing hukum ini terdapat jenis sanksi dan implementasi sanksi yang berbeda, walaupun ada sedikit persatuan yang dapat ditemukan. Hal tersebut memberi kesempatan bagi penyusun untuk menyingkap konsep pidana dan pernidanaan anak tersebut dalam skripsi ini agar titik persamaan dan perbedaannya dapat teridentifikasi secara jelas.
Pendekatan yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini dengan dua pendekatan yaitu pendekatan normatif dan pendekatan yuridis. Normatif berarti permasalahan penjatuhan pidana dan pemidanaan terhadap anak di bawah umur berdasarkan pada al Quran dan al-Hadis. sedangkan yuridis berarti mempelajari konteks permasalahan penjatuhan pidana dan pemidanaan dari segi hukum dengan ukuran yang terdapat dalam perundang undangan
Berdasarkan pendekatan yang digunakan di atas, maka terungkaplah bahwa dalam hal penjatuhan pidana dan pemidanaan terhadap anak di bawah umur hukum pidana Islam dan hukum pidana Indonsia sama-sama menitikberatkan pada konsep pertanggungjawaban pidana, anak yang terlibat pidana diberikan pengurangan hukuman Adapun mengenai perbedaannya, terletak pada adanya tujuan pemidanaan terhadap anak. Penetapan sanksi dalam hukum pidana Islam telah terkonsep dengan perbaikan dan pengajaran sebagai tujuan pemidanaan. Dari kejelasan tujuan ini, maka implementasi sanksi ta'zir yang menjadi kewenangan ulil amri tersebut disesuaikan dengan kondisi psikologi anak. Sedangkan hukum pidana Indonesia tujuan pemidanaan terhadap anak hingga dewasa ini belum terumuskan dengan jelas, yang berakibat pada tahap implementasi sanksi pidana dan sanksi tindakan yang dijatuhkan kepada anak dalam sistem perundang-undangannya tidak konsisten, tidak sistematis, dan overlapping02361421 Mimi Rahmawati2020-10-19T03:35:31Z2020-10-19T03:35:39Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/38645This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/386452020-10-19T03:35:31ZHAK EX OFFICIO HAKIM DAN KEWENANGAN EKSEKUSI PENGADILAN AGAMA TENTANG HADHÂNAH TERHADAP PUTUSAN PERCERAIAN
(Studi Empiris di Pengadilan Agama Yogyakarta Tahun 2017)Perceraian merupakan salah satu cara yang dilakukan guna mengakhiri perkawinan karena menghindari permasalahan sebuah rumah tangga, justru menimbulkan permasalahan lain. Salah satu permasalahan yang akan timbul dan berlanjut adalah persoalan haḍānah. Seringkali perceraian diajukan tanpa petitum persoalan haḍānah oleh pihak yang bersangkutan. Dalam hal ini, hakim seharusnya berperan aktif untuk menjamin hak-hak bagi mantan istri dan anak. Namun hakim dalam melaksanakan tugas untuk menegakkan keadilan dibatasi oleh peraturan perundang-undangan. Oleh sebab itu penyusun tertarik membahas sebatas mana Peraturan Perundang-Undangan mengatur dan membatasi hakim tersebut dalam melaksanakan tugasnya. Demikian pula halnya dengan pegawai yang terkait maupun Pengadilan Agama dalam bertindak demi kemaslahatan kedua belah pihak beserta anak yang telah menjadi korban keputusan orangtuanya untuk berpisah dan memilih jalan sendiri.
Penelitian ini termasuk jenis penelitian lapangan (field research), yang datanya diperoleh dari Pengadilan Agama Yogyakarta dan pihak yang berada di dalam yurisdiksi Pengadilan Agama Yogyakarta. Sifat penelitian ini adalah deskriptif analisis, yaitu dilakukan dengan cara menggambarkan fakta yang ada, sehingga lebih mudah dipahami, kemudian dianalisis lalu disimpulkan. Sumber penelitian diperoleh dari hakim, wakil panitera, panitera pengganti, jurusita Pengganti dan beberapa para pihak yang telah bercerai dan keluarga terdekatnya. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosiologi hukum dan pendekatan yuridis dengan menggunakan teori. Teori yang digunakan dalam mendukung penelitian ini adalah teori maṣlaḥat dan teori pengayoman.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa haḍānah maupun nafkah anak ada dalam amar Putusan/ Permohonan jika merupakan bagian bagian dari petitum pemohon atau penggugat maupun dalam bentuk gugatan rekonvensi. Penggunaan hak ex officio hanya sebatas pada
uang mut'ah dan nafkah iddah untuk mantan istri. Itupun para hakim tidak selalu menggunakan haknya terutama jika pihak lawan yang bersangkutan tidak hadir. Sehingga saat hakim memutuskan suatu perkara, maka selesailah tugasnya. Mengenai eksekusi haḍānah maupun nafkah anak di Pengadilan Agama merupakan kewenangan yang melekat apabila ada permohonan dari pihak yang bersangkutan. Eksekusi haḍānah merupakan eksekusi yang harus memperhatikan kepentingan terbaik bagi si anak, eksekusi ini sulit dilaksanakan karena ada beberapa kemungkinan yaitu tidak ada anak ditempat, anak menolak untuk diserahkan, anak menyatakan bersedia ikut kepada pemohon eksekusi tetapi termohon eksekusi tetap menolak menyerahkan. Oleh sebab itu ada yang menyarankan untuk diberikan dwangsom. Faktor kedekatan anak sangat mempengaruhi anak dalam memilih ia ikut dengan siapa.NIM. 1620311003 MERITA SELVINA, S.H.I.2019-07-04T06:22:15Z2019-07-04T06:22:15Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/31438This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/314382019-07-04T06:22:15ZAlat Bukti DNA Dalam Tindak Pidana Perkosaan Perspektif Hukum Positif Dan Hukum IslamTindak kejahatan yang begitu marak terjadi ditengah-tengah masyarakat saat ini, salah satunya adalah perkosaan. Perkosaan menjadi tindak kejahatan yang begitu menakutkan, terutama bagi kaum wanita. Meskipun dalam undang-undang sudah diatur dengan jelas, baik dari segi kriteria maupun sanksi hukumnya, namun grafik kejahatan ini tetap meningkat. Dekadensi moral menjadi persoalan yang memicu grafik meningkat itu. Hal ini juga diperparah dengan proses hukum yang kurang maksimal yang menyebabkan pelaku perkosaan sering lepas dari jerat hukum. Pembuktian merupakan suatu hal yang sering membuat lepasnya pelaku dari jerat hukum. Kekurangan alat bukti dalam kasus ini, berakibat pada lepasnya tersangka. Tahap pembuktian merupakan suatu tahap pelik dalam menangani kasus perkosaan. Bukti-bukti kekerasan yang dilakukan oleh tersangka, belumlah cukup untuk diajukan sebagai pelanggaran delik perkosaan. Hal ini dikarenakan tidak lengkapnya bukti seksual, yang menjadi standar suatu tindak perkosaan. Solusi yang saat ini berkembang adalah pembuktian dengan melakukan tes terhadap jaringan tubuh pelaku yang teretinggal di tempat kejadian atau yang tertinggal pada korban. Alat bukti yang ditemukan berupa jaringan tubuh, apakah itu berupa sperma, rambut, jaringan kulit dan alat bukti lainnya yang berasal dari pelaku, dapat diidentifikasi DNA yang terkandung di dalamnya. Setelah melalui proses laboratorium, barulah hasil tes ini dapat diajukan sebagai alat bukti. Alat bukti DNA merupakan alat bukti dari keterangan ahli, yang menjadi salah satu bukti sah dalam hukum positif Sementara itu dalam hukum Islam, alat bukti DNA dapat dikategorikan sebagai alat bukti petunjuk atau qarinah. Tentunya persoalan perkosaan dapat diatasi dengan alat bukti DNA Dalam hukum positif, hal ini dapat diterima, sehinga pelaku dapat diberikan konsekwensi hukum atas perbuatan yang dilakukannya. Sedangkan dalam hukum Islam, DNA sebagai alat bukti dalam kasus perkosaan, haruslah didukung dengan bukti lain. Hal ini dikarenakan faktor untuk menghindari unsur syubhat dari DNA itu sendiri. Adanya tuntutan dari korban sebagai salah satu alat bukti yang dapat mendukung alat bukti DNA dalam proses peradilan. Alat bukti DNA tetap dapat diterima sebagai alat bukti petunjuk atau qarinah.01360633 Hurriyatul Akmalhttp://digilib.uin-suka.ac.id/35415/1.hassmallThumbnailVersion/Sampul%20-%20Makhrus%20Munajat%20-%20Hukum%20Pidana%20Anak.jpg2019-07-03T03:50:45Z2019-07-03T03:50:45Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/35415This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/354152019-07-03T03:50:45ZPERADILAN PIDANA ANAK
DI INDONESIAGejala perilaku tindak pidana anak di Indonesia,
merupakan masalah aktual. Bentuk-bentuk perilaku tindak
pidana anak, seperti penyalahgunaan napza (narkotika,
alkohol, psikotropika, zat adikfif) beserta bentuk-bentuk
modifikasinya cukup menggejala di kalangan usia muda.
Sementara itu bentuk-bentuk perilaku tindak pidana anak
yang menjurus tindak kriminal pun menunjukan gejala yang
tidak berbeda dengan orang dewasa pada umumnya.
Anak yang berhadapan dengan hukum untuk
mendapatkan keadilan haknya sebagai anak yang harus
dilindungi, untuk mewujudkan perlindungan dan
kesejahteraan anak diperlukan dukungan kelembagaan dan
peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin
pelaksanaannya yang berkaitan dengan perlindungan anak.
Dengan demikian penegakan hukum perlu ditegakan secara
adil dan konsekuen.
Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin
terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi
terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak
mulia, dan sejahtera. Negara, orang tua, serta masyarakat
tetap harus melindungi anak yang berhadapan dengan hukum, hal ini perlu agar kondisi kejiwaan anak serta hak-hak
anak yang tertuang dalam Undang-Undang Perlindungan
Anak dapat terpenuhi dan terwujud.Makhrus Munajat2018-12-28T07:57:35Z2018-12-28T07:57:35Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/32131This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/321312018-12-28T07:57:35ZPELANGGARAN HAK MEREK MENURUT UU NOMOR 15 TAHUN
2001 TENTANG MEREK DAN HUKUM PIDANA ISLAMDalam dunia perdagangan baik produk barang atau jasa, merek
merupakan suatu hal yang penting untuk menarik perhatian
konsumen selain dalam pengemasan dan pelayanan suatu badan
usaha. Merek membentuk pola fikir masyarakat kepada berbagai
jenis produk barang atau jasa, dengan merek konsumen akan
langsung mengenali ciri dan kualitas dari berbagai produk barang
atau jasa tersebut, maka dengan demikian merek dapat dikatakan
sebagai identitas suatu produk dan dianggap penting dalam
pengenalan ciri, kualitas, keunggulan hingga pemasaran suatu
produk barang atau jasa. Praktek pemalsuan merek dilakukan
dengan berbagai macam bentuk. Hal ini dapat merugikan
pemegang hak merek, pasalnya dengan mudah pelaku pemalsu
merek membonceng repurtasi dan meraup keuntungan sebesarbesarnya.
Dari sini timbul pertanyaan bagaimana Pelanggaran
Hak Merek menurut UU No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek dan
Hukum Pidana Islam.
Penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian literar atau pustaka
(library reseach) yaitu menelusuri menelaah berbagai sumber
kepustakaan yang berhubungan dengan pelanggaran hak Merek
baik menurut Undang-Undang maupun hukum Islam. Tipe
penelitian ini adalah deskriptif-analitik-komparatif, yaitu
menggambarkan bagaimana pelanggaran hak merek kemudian di
analisis menggunakan pendekatan normatif dengan hukum
pelanggaran hak merek. Adapun komparatif yakni
membandingan dari dua segi hukum menurut Undang-undang
maupun Hukum Islam sehingga ditemukan titik persamaan dan
perbedaannya.
Hasil dari penelitian ini, terdapat perbedaan dalam UUM dan
Hukum Pidana Islam, yang dimaksud pelanggaran Hak Merek
dalam UUM adalah, siapa pun dengan sengaja dan tanpa hak
menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya, atau pada
pokoknya atau menggunakan tanda yang sama pada keseluruhan
dengan indikasi geografis dengan merek terdaftar milik pihak
lain untuk barang dan/ atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan. Dalam hukum Islam tidak disebutkan apa saja
iii
perbuatan yang dianggap melanggar hak merk, hanya saja Islam
melarang dan memberikan hukuman bagi siapa saja yang
merugikan orang lain.UUM telah menentukan penjara dan denda
sesuai kriteria masing-masingg jenis pelanggaran dan seberapa
banyak kerugian yang ditimbulkan. Sanksi pelaku pelanggaran
hak merek dalam hukum Islam tidak ditetapkan secara pasti.
Syara’ tidak menentukan macam-macam hukuman untuk setiap
jarīmah ta’zīr, tetapi hanya menyebutkan sekumpulan hukuman,
dari yang paling ringan sampai yang paling berat. Dalam hal ini,
hakim diberi kebebasan untuk memilih hukuman mana yang
sesuai dengan macam jarīmah ta’zīr sesuai dengan seberapa
banyak kerugian yang ditimbulkan oleh pelaku pelanggaran.
Dalam UUM telah diatur batas hak ekonomi, berlaku jangka
waktu bagi merek terdaftar, sedangkan dalam hukum Islam tidak
berbatas hak ekonomi. Persamaannya UUM maupun hukum
Islam menyatakan bahwa merek merupakan harta immateril dan
memiliki nilai ekonomis, merek juga dapat menjadi hak khusus,
baik dalam Undang-undang maupun hukum Islam.NIM. 13360030 TRIA SANY LAILATURROCHMAH2018-12-28T07:53:14Z2018-12-28T07:53:14Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/32151This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/321512018-12-28T07:53:14ZTINDAK PIDANA DALAM PERKAWINAN
(Analisis Yuridis Terhadap Putusan Pengadilan Negeri
Bangkinang Nomor: 341/Pid. B/2012/Pn. Bkn Menurut KUHP
dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan)Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang perempuan untuk melakukan ibadah dengan membentuk kelurga yang
bahagia dan kekal. Sejak tahun 1974 bangsa Indonesia telah memiliki hukum
perkawinan nasional sebagai aturan pokok sekaligus menjadi prinsip-prinsip
perkawinan yang berlaku dalam masyarat. Sebelum dikeluarkannya Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 ini seorang pria yang beragama Islam di Indonesia
dapat kawin sampai empat kali. Akan tetapi sesudah keluarnya undang-undang
perkawinan sorang pria tidak diperbolehkan lagi kawin lebih dari satu kali,
kecuali jika perkawinan itu ada izin dari istri yang sebelumnya atau izin dari
pegadilan setempat. Jika terdapat pelanggaran atas ketentuan undang-undang ini
bukan hanya menimbulkan batalnya perkawinan, tetapi bisa dincam pidana.
Meski demikian, terdapat banyak kasus poligami yang terjadi di Indonesia yang
tidak mengindahkan aturan yang berlaku. Hal itu dapat dibuktikan dengan
banyaknya putusan pengadilan terkait tindak pidana perkawinan yang dikeluarkan
oleh Pengadilan Negeri di Indonesia. Di antaranya adalah putusan pengadilan
negeri Bangkinang No: 341/Pid. B/2012/PN.BKN. Terhadap Rasyid yang secara
sah dan meyakinkan telah melakukan perkawinan sedang diketahuinya
sebagaimana diatur dalam Pasal 279 Ayat (1) ke 1e KUHP.
Penelitian ini merupakan penelitian pustaka, yakni penelitian yang
kajiannya dilakukan dengan menelusuri literatur-literatur yang berakitan dengan
bahan-bahan penelitian. Pendekatan penelitian yang digunakan ialah normatifyuridis
dengan mengumpulkan bahan dan memaparkannya. Bahan yang
digunakan dalam penelitian ini ada 2 (dua) yaitu bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder. Bahan hukum primer berupa putusan pengadilan negeri
bangkinang No: 341/ Pid. B/ 2012/ PN. BKN, KUHP, Undang-Undang No 1
Tahun 1974, PP No 9 Tahun 1975. Bahan hukum sekunder berupa berupa bukubuku
yang memiliki keterkaitan dengan penelitian ini.
Setelah dilakukan penelitian, di dalam KUHP dan UU No. 1 tahun 1974
tentang perkawinan ada persamaan dan perbedaan. Persamaannya, bahwa
keabsahan perkawinan secara UU No. 1 tahun 1974, perkawinan sah apabila
dilaksanakan sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing. Sedangkan
secara KUHP, keabsahan perkawinan itu mengikut dengan yang ada dalam
KUHPerdata dan UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Pertanggungjawaban
pidana bagi orang yang melakukan tindak pidana perkawinan secara Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 memang tidak diatur, tetapi dalam PP No. 9 Tahun
1975 orang yang melakukan tindak pidana perkawinan dapat dikenai sanksi
pidana berupa denda. Perbedaanya ialah terdapat pada sanksi pidana yang ada
dalam KUHP dan UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Sanksi pidana yang
ada dalam KUHP bagi oarang yang melakukan tindak pidana perkawinan diatur
dalam Pasal 279 ayat (1) KUHP “dihukum penjara selama-lamanya 5 tahun.
Sedangkan sanksi orang yang melakukan tindak pidana perkawinan dalam UU
No. 1 Tahun 1974 hanya dapat dikenai sanksi pidana dengan hukuman denda
sebesar Rp. 7.500’- (tujuh ribu lima ratus rupiah).NIM. 12360033 PAISAL ARMADON HARAHAP2018-10-23T01:38:42Z2018-10-23T01:38:42Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/31038This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/310382018-10-23T01:38:42ZTINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG HUKUMAN MATI TERHADAP KASUS NARKOBAUU Nomor 22 tahun 1997 tentang narkotika menyatakan: bahwa pengedaran dan penyalahgunaan narkoba termasuk tindak criminal berat. Oleh karena itu orang yang terlibat dalam
pengedaran narkoba dijatuhi hukuman mati. Ada beberapa pandangan yang berbeda dengan hukuman tersebut dan sampai saat ini masih menimbulkan polemik di masyarakat. Tujuan penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan tentang kriteria kasus narkoba yang dapat dijatuhi hukuman mati serta
bagaimana pandangan hukum pidana Islam dalam melihat dan menganalisis kasus tersebut.
Penelitian ini adalah library research, karenanya peranan buku-buku dan kitab-kitab yang berkaitan, artikel, dan karya ilmiah yang menunjang penelirtian ini. Sifat penelitian deskriptif analitik yakni menggambarkan tentang hakekat pidana mati terhadap kasus pengedar narkoba, selanjutnya
dianalisis dari segi hukum pidana Islam. Teknik pengumpulan data dengan sumber-sumber primer yaitu Kitab At-Tasyri al-Jina al-Islami, Fiqh al-Islam wa Adillatuh, Fiqh Sunnah, Asas-asas Hukum Islam, Eksistensi Hukuman Mati, dan buku lain yang terkait dengan masalah penelitian ini.
Hasil penelitian ini bahwa dalam pandangan hukum Islam hukuman mati sudah ada sejak zaman Nabi yaitu qisas. Hukum Islam membenarkan hukuman mati terhadap kasus narkoba selama
hukuman tersebut mengandung kemaslahatan umat. Narkoba maupun minuman keras lebih besar mudharatnya daripada manfaatnya. Hukuman mati dapat dijatuhkan kepada pengedar, penjual, memproduksi, dan lain-lain, dengan tujuan untuk pencehagan (preventif) dan juga untuk pembelajaran. Sedangkan dalam pandangan hukum positif hukuman mati merupakan hukuman yang dijatuhkan pada pelaku tindak pidana berat seperti hukuman mati terhadap kasus narkoba.NIM. 99373600 USWATUN HASANAH2018-08-30T06:32:49Z2018-08-30T06:32:49Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/30715This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/307152018-08-30T06:32:49ZSTUDI KOMPARASI TENTANG TINDAK PIDANA
HAK CIPTA ANTARA HUKUM PIDANA POSITIF
DENGAN HUKUM PIDANA ISLAMTindak pidana hak cipta merupakan sikap tidak menghargai terhadap hasil karya orang lain. Bahkan
pelaku tersebut cenderung memanfaatkan hasil ciptaan yang dilindungi Undang-undang hanya
semata-mata untuk mencari keuntungan finansial pribadi. Kejahatan tersebut tidak hanya dialami oleh
pencipta, pemegang hak cipta, namun negara sekalipun. Dalam hukum pidana positif dan hukum pidana
Islam memandang bahwa tindakan tersebut dilarang dan diancam sanksi bagi pelakunya.
Hukum pidana positif tidak disebut sebagai pelanggaran hak cipta jika
melakukan perbuatan seperti yang dirumuskan Pasal 14 dan 15 Undang undang Nomor 19 Tahun 2002
tentnag Hak Cipta. Adapun dalam hukum pidana Islam apabila untuk menghilangkan kemadaratan dengan
tidak merugikan pencipta. Penyusun melakukan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana
kriteria, sanksi dan titik temu di antara kedua sistem hukum pidana tersebut.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan
yuridis-normatif dengan teknik pengumpulan data melalui penelaah pustaka yang disesuaikan
dengan pokok permaslahan.
Adapun dalam menanalisis data yang terkumpul adalah menggunakan metode komparasi yakni
membandingkan kriteria dan sanksi tindak pidana hak cipta dalam hukum pidana positif dan hukum
pidana Islam sehingga dapat disimpulkan titik temu di antara kedua sistem hukum pidana tersebut.
Hasil dari penelitian yang dilakukan adalah bahwa tindak pidana hak cipta dalam hukum pidana
positif jika melmenuhi kualifikasi sebagaiman terumus dalam Pasal 72 UU No. 19 Tahun 2002 tentang
Hak Cipta, sedangkan dalam hukum pidana Islam hila melakukannya tanpa izin, tanpa hak dengan
atau tanpa sepengetahuan dari pencipta dan adanya itikad tidak baik. Perbuatan tersebut dapat
merugikan pencipta. Adapun sanksi yang ditimbulkan dalam hukum pidana positif adalah pidana penjara
dan/atau denda serta hukuman perampasan. Dalam hukum pidana Islam yakni hukuman ta 'zir,
diserahkan kepada ulil amri sesuai dengan keadaan dengan memperhatikan kemaslahatan . Kedua sistem
hukum tersebut memandang bahwa dalam penjatuhan sanksi merupakan kebijaksanaan dari hakim .NIM. 00360113 KHIRZATUL MUSTATIAH2018-08-30T04:51:11Z2018-10-24T05:10:50Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/30713This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/307132018-08-30T04:51:11ZSTUDI KOMPARASI TENTANG TINDAK PIDANA
HAK CIPTA ANTARA HUKUM PIDANA POSITIF
DENGAN HUKUM PIDANA ISLAMABSTRAK
Tindak pidana hak cipta merupakan sikap tidak menghargai terhadap hasil karya orang lain. Bahkan
pelaku tersebut cenderung memanfaatkan hasil ciptaan yang dilindungi Undang-undang hanya
semata-mata untuk mencari keuntungan finansial pribadi. Kejahatan tersebut tidak hanya dialami oleh
pencipta, pemegang hak cipta, namun negara sekalipun. Dalam hukum pidana positif dan hukum pidana
Islam memandang bahwa tindakan tersebut dilarang dan diancam sanksi bagi pelakunya.
Hukum pidana positif tidak disebut sebagai pelanggaran hak cipta jika
melakukan perbuatan seperti yang dirumuskan Pasal 14 dan 15 Undang undang Nomor 19 Tahun 2002
tentnag Hak Cipta. Adapun dalam hukum pidana Islam apabila untuk menghilangkan kemadaratan dengan
tidak merugikan pencipta. Penyusun melakukan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana
kriteria, sanksi dan titik temu di antara kedua sistem hukum pidana tersebut.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan
yuridis-normatif dengan teknik pengumpulan data melalui penelaah pustaka yang disesuaikan
dengan pokok permaslahan.
Adapun dalam menanalisis data yang terkumpul adalah menggunakan metode komparasi yakni
membandingkan kriteria dan sanksi tindak pidana hak cipta dalam hukum pidana positif dan hukum
pidana Islam sehingga dapat disimpulkan titik temu di antara kedua sistem hukum pidana tersebut.
Hasil dari penelitian yang dilakukan adalah bahwa tindak pidana hak cipta dalam hukum pidana
positif jika melmenuhi kualifikasi sebagaiman terumus dalam Pasal 72 UU No. 19 Tahun 2002 tentang
Hak Cipta, sedangkan dalam hukum pidana Islam hila melakukannya tanpa izin, tanpa hak dengan
atau tanpa sepengetahuan dari pencipta dan adanya itikad tidak baik. Perbuatan tersebut dapat
merugikan pencipta. Adapun sanksi yang ditimbulkan dalam hukum pidana positif adalah pidana penjara
dan/atau denda serta hukuman perampasan. Dalam hukum pidana Islam yakni hukuman ta 'zir,
diserahkan kepada ulil amri sesuai dengan keadaan dengan memperhatikan kemaslahatan . Kedua sistem
hukum tersebut memandang bahwa dalam penjatuhan sanksi merupakan kebijaksanaan dari hakim .NIM. 00360113 KHIRZATUL MUSTATIAH2017-10-06T01:19:58Z2017-10-06T01:19:58Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/27469This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/274692017-10-06T01:19:58ZRestorative Justice dalam Tindak Pidana Pembunuhan:
Perspektif Hukum Pidana Indonesia
dan Hukum Pidana IslamThe completion of the homicide in Indonesia did’nt have
effectiveness, both in order to give a deterrent effect and the creation of
the security and peace in society. Conventional punishment process, as
applicable in Indonesia, didn’t give space to the parties (the victim,
offender, and community ) involved to participate actively in solving
their problems. Position of the State was too dominant, thus denying the
people's participation in law enforcement. Imprisonment system adopted
in Indonesian criminal law also didn’t provide a comprehensive solution.
Retributive justice approach adopted by the Indonesian criminal law
needs to be reformed and replaced with a restorative justice. Restoration
is an alternative approach to solve crime that emphasized on recovery
conflicts and rebulid balances in society. This approach has been also
applied in many countries, both of which adopted the system of criminal
law and civil law (France, Germany, the Netherlands), or apply the
common law system of criminal law (United States, Canada, Australia).
This approach is already practiced in Islamic criminal law, namely the law
of qisas. In completion of murder, procedure of Qisas involving all
parties, namely the victim, offender and community. Family of victim
have the right to determine the punishment, whether qisas (killed), or
diyat (pay a fine), or give forgiveness to the offender . The existence of
three alternative penalties and engagement of the litigants shows that
Islamic criminal law applying restorative justice approach. Position of
Sultan (the State) is a mediator as well as a supervisor in law
enforcement. Completion of this approach is able to resolve crimes with
rebuilding relations after the criminal act.
Abstrak: Penyelesaian tindak pidana pembunuhan di Indonesia tidak
memiliki efektifitas bagi upaya pemberian efek jera dan penciptaan
keamananan dan ketenteraman dalam masyarakat. Proses pemidanaan
konvensional, sebagaimana yang berlaku di Indonesia, tidak memberikan
ruang kepada pihak yang terlibat, yaitu korban dan pelaku untuk
berpartisipasi aktif dalam penyelesaian masalah mereka. Negara terlalu
mendominasi dalam prosedur penegakan hukum pidana, sehingga
menafikan partisipasi aktif masyarakat dalam penegakan hukum. Sistem
pemenjaraan yang dianut dalam hukum pidana Indonesia juga tidak
memberikan solusi yang komprehensif dalam penegakan hukum. Pendekatan retributive justice yang dianut oleh hukum pidana Indonesia
perlu direformasi dan digantikan dengan restorative justice. Pendekatan
restorasi adalah suatu alternatif penyelesaian masalah pidana dengan
penekanan pada pemulihan masalah/konflik dan pengembalian
keseimbangan dalam masyarakat. Pendekatan ini juga telah diterapkan di
berbagai negara, baik yang menganut sistem hukum pidana civil law
(Perancis, Jerman, Belanda), maupun yang menerapkan sistem hukum
pidana common law (Amerika Serikat, Kanada, Australia). Pendekatan
ini sudah dipraktikkan dalam hukum pidana Islam, yaitu dalam hukum
qisas. Qisas adalah hukum yang berlaku dalam tindak pidana
pembunuhan. Dalam penerapannya melibatkan semua pihak, yaitu
korban, pelaku, dan masyarakat. Keluarga korban memiliki hak untuk
menentukan hukuman, apakah qisas (dibunuh), atau diyat (membayar
denda), atau memaafkan. Adanya tiga alternatif hukuman dan
keterlibatan pihak pihak yang berperkara menunjukkan bahwa hukum
pidana Islam menerapkan pendekatan restorative justice. Posisi sultan
adalah sebagai mediator sekaligus pengawas bagi penegakan hukum qisas
tersebut. Penyelesaian dengan pendekatan ini mampu menyelesaikan
kejahatan dengan membangun kembali hubungan setelah terjadi tindak
pidana.
Kata Kunci: restorative justice, pembunuhan, efektifitas hukuman, penegakan
hukum.Ali Sodiqin2017-10-05T06:35:30Z2017-10-31T07:20:07Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/27460This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/274602017-10-05T06:35:30ZKONTINUITAS DAN PERUBAHAN DALAM PENETAPAN HUKUM HUDUD:
DARI NASS HINGGA TEKS FIKIHHukum {wdiid adalah bagian dari hukum pidana Islam selain hukum qi~ii~ dan ta 'zlr.
Secara historis dan antropologis keberlakuan hukum ini memiliki kontinuitas dengan
tradisi hukum sebelumnya. Al-Quran merespon tradisi hukum ini melalui dua model,
yaitu ta{1rlm (destruktif) dan taghylr(rekonstruktif). Model taiJrlm terjadi pada kasus
penetapan hukum kkm1r, sedangkan model taghylr terjadi pada hukum pencurian,
zina, dan qazaf· Al-Qur'an merekonstruksi hukum-hukum tersebut dari masa
sebelumnya, sehingga keberlakuannya didasarkan pada worldview al-Qur'an. Nilai
filosofi yang terkandung dalam hukum IJudzld adalah keadilan, tanggung jawab,
moralitas, kesetaraan. Semua nilai-nilai ini menjadi dasar pemberlakuan hukum,
sehingga model penegakan hukumnya adalah reformatif-restoratif. Konstruksi
pemikiran para ulama dalam penetapan hukum 1J udiid dapat dibedakan dalam dua
bentuk, tekstualis dan kontekstualis. Model tekstualis terutama menyangkut
penetapan bentuk hukuman bagi pelanggar IJudild Para ulama menetapkan hukuman
tersebut seperti apa adanya yang tertulis di dalam na~~· Model kontekstualis terdapat
pada rincian persyaratan dalam penerapan hukum IJudiid Ulama merumuskan syarat
rukun dan berbagai prosedur yang diperlukan dalam rangka penerapan hukum IJudiid
melalui pengadilan. Dalam konteks ini para ulama mempertimbangkan kebutuhan
masyarakat da1am hal penegakan hukum. Keragaman pendapat para ulama
disebabkan adanya keragaman dalil dan fatwa yang dijadikan pegangan, di samping
juga penggunaan metodologi istinbii{hukum dalam memahami na~$tentang {1udud
Kata kunci: IJudud, kontinuitas, dialektika, res torat(f, rehabilitatifAli Sodiqin2017-10-05T01:14:51Z2017-10-05T01:14:51Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/27454This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/274542017-10-05T01:14:51ZHukum Qisas:
Dari Tradisi Arab Menuju Hukum IslamNaskah awal tulisan ini berasal dari disertasi penulis yang
kemudian diberi beberapa tambahan dan penyesuaian di sana sini.
Pada awalnya ibarat batu kasar tak berbentuk, namun berkat arahan
orang-orang yang expert di bidangnya, tulisan ini memiliki
struktur dan bentuk serta kelayakan ilmiah. Oleh karena itu penulis
sangat berterima kasih kepada yang terhormat: Prof. Dr. H.
Sjafri Sairin dan Prof. Dr. H. Irwan Abdullah, dari Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta, Prof. Dr. Abd Salam Arief, M.A., Dr.
Hamim Ilyas, M.A., Drs. Ratno Lukito, M.A., DCL, dan Dr. Phil.
Sahiron Syamsuddin dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Terima
kasih juga untuk supervisor penulis selama di Malaysia, yaitu Prof.
Dr. Wan Muhammad Nor Wan Daud dan Prof. Dr. Torla Hassan
dari The International Institute of Islamic Thought and Civilization
(ISTAC) International Islamic University MalaysiaAli Sodiqin2017-07-04T07:15:20Z2017-07-04T07:17:22Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/25770This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/257702017-07-04T07:15:20ZPEMBUNUHAN SECARA MUTILASI DALAM PERSPEKTIF
HUKUM PIDANA ISLAMPada zaman sekarang banyak sekali muncul berbagai tindak kejahatan
yang dapat merugikan dan meresahkan masyarakat. Mulai dari kejahatan
pencurian, penganiayaan bahkan sampai pada pembunuhan, dan pembunuhan
tersebut tidak sampai di sini melainkan pembunuhannya ada yang dilakukan
dengan cara mutilasi. Mutilasi tersebut dilakukan setelah korban dibunuh yang
kemudian mayatnya dipotong-potong menjadi beberapa bagian dan dibuang
secara terpisah. Seorang pelaku melakukan pembunuhan secara mutilasi ini
bertujuan untuk menghilangkan jejak agar tidak diketahui oleh orang lain.
Perbuatan ini dilakukan karena pelaku dan korban mempunyai masalah yang
menimbulkan kemarahan yang tidak terkendali atau bisa juga karena dendam.
Faktor dominannya bisa dilakukan karena ekonomi masyarakat yang kurang
sehingga tega melakukan pembunuhan secara mutilasi.
Islam memandang tindakan pembunuhan sebagai perbuatan yang pantas
mendapatkan hukuman yang setimpal. Dalam pembunuhan secara mutilasi ini
pelaku tidak hanya membunuh tetapi juga memotong-motong tubuh mayat. Dari
perbuatan tersebut telah terjadi suatu gabungan melakukan tindak pidana yang
menimbulkan adanya gabungan pemidanaan. Jadi gabungan pemidanaan ada
karena adanya gabungan melakukan tindak pidana dimana masing-masing belum
mendapatkan putusan akhir. Hal tersebut memberikan kesempatan kepada
penyusun untuk menyingkap tentang hukuman apa yang akan diterima oleh
pelaku pembunuhan secara mutilasi dalam hukum pidana Islam.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian pustaka (library research}, dan
pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis
normatif, yaitu pendekatan dengan melihat ketentuan-ketentuan hukum yang ada
dengan maksud memberikan penjelasan tentang sanksi bagi pelaku pembunuhan
secara mutilasi dalam hukum pidana Islam.
Dari basil analisis yang telah dilakukan oleh penyusun, maka terungkaplah
bahwa, sanksi yang dapat diterima oleh pelaku pembunuhan secara mutilasi
adalah hukuman yang setimpal dengan perbuatannya yaitu hukuman mati, karena
hukuman mati ini merupakan hukuman yang sesuai dengan apa yang di perbuat
oleh pelaku dan hukuman ini harus diterima oleh pelaku pembunuhan secara
mutilasi.
Dengan demikian diharapkan sanksi bagi pelaku pembunuhan secara
mutilasi dapat dihukum sesuai dengan perbuatannya karena tujuan dari pemberian
hukuman itu sendiri adalah untuk pencegahan dan pendidikan.NIM.01370766 SITI RIHANAH SUPRIYONO2017-07-04T06:57:56Z2017-07-04T06:57:56Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/25759This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/257592017-07-04T06:57:56ZPOLIGAMI DI KALANGAN TUAN GURU DI PRAYA LOMBOK TENGAH NTBKetika mengkaji sejarah, maka akan terlihat jelas bahwa masalah poligami ada sejak Islam belum
datang. Bahkan poligami merupakan warisan nenek moyang yang sudah berakar di kalangan masyarakat
dunia urnumnya dan Indonesia khususnya. Masalah poligami ini juga turun temurun selalu jadi
perbincangan yang sangat menarik dalam kehidupan rnasyarakat, lebih-lebih di kalangan Tuan Guru
yang ada di pulau Lombok. Menurut catatan data yang diperoleh penyusun, dari 149 Tuan Guru yang ada
di pulau Lombok, hanya ernpat yang tidak berpoligami. Oleh karenanya, penelitian ini akan menjadi
semakin rnenarik apabila dilengkapi dengan data-data yang valid dan kemudian dikupas secara
mendetail dengan mengacu pada kerangka teoritik yang dibangun. Penelitin ni terfokus pada seputar
poligami para Tuan Gum yang menjadi model dan sosok yang begitu disorot kehidupannya oleh
masyarakat luas, terutama dalam masalah poligami. Tuan Guru seolah-olah layaknya selebritis yang
kehidupannya nyaris menjadi perbincangan menarik, baik itu bagi jama'ah pengajiannya maupun bagi
masyarakat sekitamya.
Yang menjadi pokok masalah dalam penelitian ini adalah mengemukakan beberapa alasan yang mendasari
Tuan Guru berpoligami dan implikasi yang ditimbulkan poligami tersebut, sehingga dapatlah diketahui
bal1wa poligami Tuan Guru mempunyai berbagai macam motivasi yakni: petjuangan politik, seksual dan
regenerasi yang mana semua itu mempunyai dampak ataupun implikasis. Para Tuan Guru yang menjadi
objek dalarn penelitian ini hanyalall dua Tuan guru saja. Poligami yang dilakukannya akan terlihat
berhasil jika tidak ada masalah yang ditimbulkan oieh akibat poligamt yang dilakukrumya. Akan
tetapi masalah akan menjadi pelik jika implikasi negatif lebih mendominasi poligami mereka.
Kerangka teoretik yang di gunakan adalah dengru1 melihat dari segi nash ai-Qur'an dan swmah yang di
ikuti pula dengan kaidal1-kaidah Fiqih. Yang mana pada kerangka teoretik ini rnembandingkan antara
jumlah laki-laki dan wrutita, dan bagaimana penyelesaian yang baik dengan jalan poligami.
Penulisan skripsi ini rnemakai metode pendekatan normatif dan sosiologis, sedangkan pengumpulan
datanya menggunakan metode wawancara, observasi, populasi dan sampel, yang dilanjutkan dengan
menganalisa data untuk rnendeskripsikan data yang telah didapatkan dengan menggunakan metode
induktif dan deduktif
Kesimpulan akhlr dari skripsi ini yakni poligarni yang dilakukan Tuan Guru, semata-rnata untuk
melestarikru1 budaya-budaya nenek moyang turun ternurun, yang maiia telah menafsirkan ayat-ayat
poligami sebagai dasar pembolehan yang utama untuk melaksaiiakan poligami, sehingga poligami
merupakail identitas bagi Tuan Guru yang ada di pulau Lombok. Sedangkan alasan poligruni yang
dikemukakan Tuan Guru berdasarkan pada konsep poligami dalam nash al-Qur'ru1 dru1 al-Hadits
terkesan dipaksakan dan mengedepankan sifat apriori tentang hukum negara. Juga implikasi yru1g
ditimbulkan akibat poligami yang dilakukan oleh salah seorang Tuan guru, menyebabkan dampak yang
tidak
11
baik dan nyata terlihat ketika tetjadi percekcokan dalam rumah tangga mereka, yang akibatnya para
jama'ah pengajian menjadi berkurang, yang akibatnya kharisma dari Tuan Guru tersebut menurun . Akan
tetapi kharisma Tuan Guru tetap terpelihara dengan adanya jama'ah yang murni mengikuti Tuan
Guru, yaitu jama'ah yang hanya semata-mata ingin menimba ilmu dan mengikuti ajaran dari Tuan Guru
tersebut serta menjadi jama'ah yang setia. Jama'ah setia inilah yang menjadi kekuatan dari Tuan
Guru. Akan tetapi salah seorang Tuan Guru menjadikan poligami sebagai modal untuk menarik simpati
jama'ah pengajian, karena merasa dituntut oleh atasan atau pemimpin organisasi yang ingin
mengumpulkan jama'ah sebanyak-banyaknya.NIM. 01350588 ARDIANI2023-03-21T06:18:32Z2023-03-21T06:21:40Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/1890This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/18902023-03-21T06:18:32ZASAS LEGALITAS MATERIEL DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAMABSTRAK Asas Legalitas Materiel merupakan perluasaan dari asas legalitas (Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali) merupakan perluasan Konsep, dalam pengertian yang quot;formal quot;. Asas Legalitas Materiel ditegaskan dalam pasal 1 ayat (1) Konsep. Konsep bertolak dari pendirian bahwa sumber hukum yang utama adalah Undang-Undang (hukum tertulis). Konsep memperluas perumusannya secara materiel dengan menegaskan bahwa ketentuan dalam pasal1 ayat (1) itu tidak mengurangi berlakunya quot;hukum yang hidup quot; di dalam masyarakat. Konsep memberi tempat kepada sumber hukum tidak tertulis yang hidup di dalam masyarakat sebagai dasar patut dipidananya suatu perbuatan.
Berlakunya hukum yang hidup di dalam masyarakat hanya untuk delik-delik yang tidak ada bandingnya (persamaannya) atau tidak diatur di dalam Undang-Undang. Begitu pula suatu masalah apakah hukum pidana adat yang bersumber dari berbagai daerah dapat diramu menjadi kaidah Perundang-undangan yang akan mengisi hukum pidana nasional atau hanya sekedar jiwanya saja, bukan berupa kaidah-kaidah hukumnya.Asas legalitas dalam Islam berpedoman pada surat al-Isra' ayat (15) yang intinya: quot;Dan Allah tidak akan mengazab sebelum Allah mengutus seorang Rasul.. quot;, akibat dari asas legalitas tersebut seseorang dapat dihukum apabila melakukan suatu perbuatan yang oleh hukum dan peraturan telah disebutkan secara tegas sebagai suatu pelanggaran ketertiban umum. Dalam ayat di atas tidak disebutkan secara jelas bagaimana pandangan hukum pidana Islam terhadap asas legalitas materiel.
Penelitian tentang Asas Legalitas Materiel dalam Perspektif Hukum Pidana Islam dilakukan dengan pendekatan normatif hukum untuk mengetahui bagaimana asas legalitas materiel dalam perspektif hukum pidana Islam. Dalam hal ini asas legalitas materiel bisa dilihat dari berbagai sumber hukum Islam seperti hadits dan istinbat hukum dari para Sahabat juga Ulama yang menggunakan qiyas, ijma', 'urf, dan juga maslahah mursalah sebagai pengambilan keputusan dalam menentukan sebuah hukum.
Dari hasil penelitian dapat digambarkan bahwa Asas Legalitas Materiel dalam hukum pidana Islam dapat diketahui dari sumber-sumber hukum seperti hadits, qiyas, ijma', juga 'urf pada dasarnya untuk mengambil kemaslahatan dan menolak kemafsadatan di dunia. Sesuai dengan maqasid asy-syari'ah (tujuan-tujuan syari'ah). seandainya maslahah tidak diambil pada setiap kasus yang jelas mengandung maslahah syar'iyyah maka orang-orang akan mengalami kesulitan. Para ahli ushul fiqh menyatakan setiap hukum pasti berujung pada setiap maslahat. Para Ulama menyimpulkan bahwa semua hukum syari’at pasti akan kembali, pada suatu tujuan yaitu menjaga kemaslahatan umat manusia di dunia dan di akhirat.NIM.: 02371606 IMAM PRIYONO2023-08-15T04:22:35Z2023-08-15T04:24:06Zhttp://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/6711This item is in the repository with the URL: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/67112023-08-15T04:22:35ZASAS PRADUGA TAK BERSALAH STUDI PERBANDINGAN HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM ACARA PIDANAABSTRAK Landasan atau asas, diartikan sebagai dasar patokan hukum yang melandasi Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam penerapan penegakan hukum. Seseorang yang ditangkap belum tentu dia besalah dan dia belum bisa dianggap bersalah sebelum melalui proses hukum yang dinyatakan oleh putusan pengadilan bahwa dia bersalah atau tidak . Adapun makna dari asas praduga tak bersalah adalah seseorang yang disangka, ditangkap, ditahan dan dihadapkan dimuka persidangan sampai dengan adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hokum tetap, sesuai dengan Pasal 8 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan juga dalam penjelasan umum butir 3c KUHAP. Dan hal itu harus ada bukti-bukkti yang cukup dan sah bahwa dirinya bersalah atau tidak.
Asas praduga tak bersalah tersebut diberlakukan semata-mata untuk melindungi tersangka atau terdakwa dari ketidak pastian hukum, karena hal ini menyangkut harkat dan martabat manusia yang harus dilindungi dan memperoleh haknya sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Apabila haknya tidak dipenuhi, maka dia bisa menuntut haknya baik kerugian yang bersifat meteriel maupun immateriel. Dalam hukum pidana Islam pemberlakuan asas praduga tak bersalah tidak dijelaskan secara spesifik, hanya pada pemutusan sebuah perkara, jadi apabila hakim (qadi) dalam hal memutuskan sebuah perkara karena kurangnya bukti-bukti yang kuat dan sah yang menyebabkan keraguan (syubhat) maka, lebih baik hakim membebaskan, jadi seorang hakim tidak boleh ragu harus berdasar keyakinan tanpa sedikitpun keraguan. Karena keraguan disini, bisa menjadi alasan dihapuskannya hukuman dalam Islam. Misalnya, dalam hal zina harus ada empat orang saksi, apabila kurang, maka seseorang tersebut harus dibebaskan karena kurangnya bukti-bukti. Jadi, dalam hal syubhat disini, sebagai unsur pengecualian saja, tidak mencakup seluruh peristiwa pidana.
Adapun metode yang digunakan disini adalah menggunakan teori mas}lah}ah} mursalah yakni, untuk mewujudkan kemaslahatan dan menghindarkan dari kemafsadatan. sedangkan dalam hukum positif disini menganut system hukum Common Law yang mengadopsi dari hukum barat, yang ditegaskan dengan bunyi kalimat, proven guilty beyond reasonable doubt, yang berarti, (Dinyatakan) Bersalah berdasarkan bukti-bukti yang sangat kuat atau tidak dapat diragukan sama sekali; bandingkan dengan rumusan kalimat, (Dinyatakan) Bersalah atas dasar putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Dan menganut prinsip due proses of law, dimana proses peradilan tersebut telah berlangsung jujur, adil, dan tidak memihak. Jadi asas praduga tak bersalah ini merupakan dasar yang harus dijunjung tinggi oleh aparat penegak hukum dalam sebuah peradilan dari mulai penangkapan sampai dengan putusan pengadilan tanpa melihat adanya faktor-faktor tertentu. divNIM.: 07360067 SOFHAL JAMIL