KH. AHMAD RIFA’I KALISALAK; STUDI TENTANG PEMIKIRAN DAN GERAKAN ISLAM ABAD SEMBILAN BELAS (1786 – 1876)

ABDUL DJAMIL , NIM. 85056/S3 (1999) KH. AHMAD RIFA’I KALISALAK; STUDI TENTANG PEMIKIRAN DAN GERAKAN ISLAM ABAD SEMBILAN BELAS (1786 – 1876). ["eprint_fieldopt_thesis_type_phd" not defined] thesis, UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA.

[img]
Preview
Text (KH. AHMAD RIFA’I KALISALAK; STUDI TENTANG PEMIKIRAN DAN GERAKAN ISLAM ABAD SEMBILAN BELAS (1786 – 1876))
BAB I, VI, DAFTAR PUSTAKA.pdf - Published Version

Download (5MB) | Preview
[img] Text (KH. AHMAD RIFA’I KALISALAK; STUDI TENTANG PEMIKIRAN DAN GERAKAN ISLAM ABAD SEMBILAN BELAS (1786 – 1876))
BAB II, III, IV, V.pdf - Published Version
Restricted to Registered users only

Download (17MB)

Abstract

Disertasi ini merupakan rekonstruksi sejarah intelektual dan sejarah sosial dari tokoh gerakan Rifa’iyah yaitu KH. Ahmad Rifa’i menyangkut pemikiran dan gerakan Islamnya. Apa yang dimaksud dengan sejarah intelektual adalah rekontruksi pemikiran Islam yang berserakan dalam tulisannya yang berjumlah enam puluh sembilan, terdiri dari tiga ilmu keislaman yaitu usul al-din, fikih dan Tasawuf. Adapun yang dimaksud sejarah sosial dalam tulisan ini adalah rekonstruksi gerakanIslam Kiai Rifa’I menyangkut dinamikanya ditengah-tengah gerakan sosial kerakan sosial keagamaan pada abad sembilan belas. Dengan rekonstruksi tersebut akan diketahui tipologi gerakan yang memiliki karakter tersendiri dibanding dengan gerakan lainnya Dalam melakukan rekontruksi tersebut, dipergunakan pertimbangan sosiologis sehingga tampak pemikiran maupun gerakan islamnya memiliki kaitan dengan suasana kalisalak dan sekitarnya pada abad sembilan belas. Inilah yang membedakannya dengan tradisi pemikiran dan gerakan Islam di Jawa pada waktu itu yang secara rinci dapat dijelaskan sebagai berikut 1.Dilihat dari segi hubungan ajaran agama dengan dimensi ruang dan waktu, pemikiran Rifa’I relevan dengan masyarakat Islam abad sembilan belas, khususnya pedalaman Jawa Tengah. Ajaran mengenai sosok (‘Alim ‘Adil) adalah refleksi dari kritikan terhadap tokoh-tokoh agama yang mau bekerjasama dengan penguasa asing (Belanda). Pandangannya mengenai rukun Islam satu dapat dipandang sebagai upaya untuk memberikan legitimasi bagi orang-orang Islam di wilayah pedesaan yang karena suatu alas an dapat menjalankan kuajiban Islam lainnya seperti salat, puasa, zakat danhaji. Dengan pandangan ini orang-orang tersebut masih berstatus sebagai orang Islam yang memiliki banyak harapan. Pandangannya mengenai permikahan yang mengesankan adanya pengulangan (tajdid al-nikah) mencerminkan kritiknya kepada pejabat agama yang dinilainya tidak memenuhi persyaratan untuk bertindak sebagai petugas nikah seperti saksi. Salah satu diantara syarat tersebut adalah mursyid, yakni orang yang tidak melakukan tindakan fasik. Sedangkan saksi nikah harus memenuhi enam belas syarat., dua di antaranya tidak cacat marwat dan tidak fasik. Dari penjelasan tentang persyaratan saksi nikah diatas, sebenarnya tidak ada perbedaan mendasar antara pandangan Rifai dengan kitab-kitab fikih di dunia pesantren, hanya saja dalam penerapannya, ia terlihat menekankan pada aspek yang relevan dengan suasana keagamaan di tengah-tengah kekuasaan Belanda pada abad sembilan belas. Karena sedemikian banyakya penjelasan mengenai hubungan ajaran agama dengan persoalan yang timbul pada waktu itu, maka pemikiran keagamaan Rifa’I terlihat sedemikian rinci mengupas berbagai masalah masyarakat yang timbul. Akibat dari tipe kupasan yang demikian ini berakibat kurang memberikan ruang gerak bagi pengikutnya untuk melakukan inovasi dalam memahami agama sejalan dengan tuntutan keadaan yang selalu berkembang. Kondisi ini didukung oleh kenyataan bahwa mayoritas pengikut Rifa’iyah hidup dalam lingkungan kebudayaan pedesaan sehingga kurang dapat mengikuti irama perkembangn permasalahan sosial keagamaan kontemporer. 2.Dilihat dari segi hubungannya dengan kelompok-kelompok keagamaan lain, pemikiran Islam Kiai Rifa’I memiliki semangat yang eksklusif karena ia terlihat berusaha menciptakan isolasi secara cultural dengan kebudayaan penguasa. Akan tetapi unsure yang seharusnya dilihat dalam kerangka ruang dan waktu penjajahan belanda ini, ternyata berlanjut hingga pasca kemerdekaan dan bahkan hingga sekarang. Kesan inilah yang menjadikannya sebagai aliran keagamaan yang di sana sini masih saja menghadapi hambatan mulai dari legalisasi pemerintah sampai dengan hubungannya dengan masyarakat luas di luar Rifa’iyah. 3.Dilihat dari segi faham keagamaan, pemikiranRifa’i merupakan tipe sinkronisasi antara aqidah, syari’ah dan tasawuf. Pemikirannya dapat dipandang sebagai tipe paling awal dalam merumuskan pengertian Ahlussunnah waljama’ah di Jawa yang pada intinya mengikuti pandangan ulama kepercayaan (taqlid) pada tiga bidang yaitu Usul, Fikih danTasawuf. Cara taqlid yang dikembangkan Kiai Rifa’I merupakan cermin dari upaya kontekstualisasi pemahaman agama sesuai tingkat kemampuan masyarakat dalam menggali ajaran dari sumber pokoknya (al-Qur’an danal-Hadis).Ia sadar bahwa masyarakat Islam dalam konteks Kalisalak dan sekitarnya pada pertengahan abad sembilan belas, tidak mungkin diajak untuk berijtihad yang menuntut berbagai persyaratan, khususnya penguasaan ilmu-ilmu yang diperlakukan untuk melakukan ijtihad seperti Bahasa Arab, ilmu tentang al-Qur’an, ilmu tentang al-Sunnah, pengetahuan tentang posisi Ijma’, pengetahuan tentang Qiyas, pengetahuan tentang tujuan hokum, bersihnya niat dan I’tiqadnya. 4.Dilihat dari segi hubungan antara norma dan kenyataan social, pemikiran Kiai Rifa’I bercorak induktif dalam arti berangkat dari fenomena di lapangan yang sedemikian majemuk, kemudian dicari referensinya dari al-Qur’an, al-Hadis dan pandangan ulama. Karena tipe pemikiran seperti ini, ia terlihat banyak mencampuri urusan di luar ibadah mahdah Dibanding dengan tokoh sezamannya seperti Nawawi al-Bantani, atau tokoh sebelumnya seperti Arsyad al-Banjari, Rifa’I memperlihatkan tipe tersendiri dalam pemikirannya. Pemikiran Nawawi al-Bantani yang lebih banyak tinggal di Mekah hingga wafatnya bercorak deduktif sehingga kurang memiliki kepedulian terhadap suasana umat Islam di bawah kekuasaan penjajah. Seperti halnya Nawawi, Arsyad al-Banjari juga memiliki corak serupa jika dilihat beberapa kitab tulisannya. Dengan tipe seperti ini maka pemikiran Nawawi dalam berbagai kitab yang ditulis memiliki ketahanan cukup lama dan tidak menimbulkan kontroversi. Kitab-kitabnya masih banyak dibaca oleh kalangan pesantren di Indonesia. Keadaan yang sama juga dialami oleh Arsyad al-Banjari yang hingga sekarang tulisannya masih dibaca orang, khususnya di wilayah Kalimantan Selatan. Sebaliknya, pemikiran Rifa’I dengan tipe induktif kurang dapat memiliki elastisitas untuk masa-masa yang akan dating, sekalipun pada waktu itu benar-benar member kemudahan bagi Islam dalam konteks local abad Sembilan belas. Dilihat dalam konteks aneka ragam gerakan yang terjadi pada paruh pertama dari abad Sembilan belas, gerakan KH. Ahmad Rifa’I dapat digolongkan kedalam gerakan keagamaan dengan corak tradisional yang memiliki implikasi sosial (Religio-Traditional Movement). Ciri-ciri utamanya memiliki elemen-elemen seperti loyalitas local (local loyalty), hubungan kekerabatan (kin solidarity) dan hubungan-hubungan berdasarkan status tradisional (traditional status relations). Elemen pertama, terlihat pada kuatnya ketertarikan anggota gerakan kepada tokoh sentral (KM. Ahmad Rifa’i). Anggota gerakan melihat sosok Rifa’I guru dengan berbagai macam kelebihan mulai dari kedalaman ilmu agama sampai dengan hal-hal luar biasa yang lazim dimiliki oleh kekasih Tuhan (wali). Sedemikian kuatnya keterikatan tersebut sehingga loyalitas pengikut terhadap ajarannya bertahan cukup lama (hingga sekarang) meskipun sering dianggap sebagai gerakan pengacau oleh berbagai kalangan. Kondisi ini memiliki implikasi lain yaitu kesulitan anggota gerakan untuk menyesuaikan dengan dinamika masyarakat, khususnya dalam penerapan ajaran Islam ditengah-tengah masyarakat modern. Hubungan kekerabatan juga menjadi elemen penting dari tipe gerakan Rifa’iyah yang terlihat semenjak Rifa’I membangun komunitas santri di kalisalak. Komunitas yang dibentuk melalui pengajaran Islam dengan kitab Tarajumah ini memiliki ikatan yang kuat sehingga mengkhawatirkan pemerintah kolonial di satu pihak dan birokrat tradisional di lainpihak. Fanatisme hubungan antar sesama anggota sering kali melampaui batas-batas hubungan darah sehingga warga Rifa’iyah yang satu merupakan saudara bagi yang lain. Hubungan antar anggota berdasarkan status tradisional, terlihat pada adanya hierarkhi di mana para kiai menduduki posisi tertinggi. Hal ini terlihat pada posisi kiai tersebut pada acara pengajian, pelksanaan salat Jum’at, pengulangan perkawinan dan anggota bilangan jum’at. Semuanya memperlihatkan apresiasi yang sedemikian tinggi kepada kiai atas dasar ajaran Rifa’I mengenai figure ‘Alim ‘Adil. Implikasi yang muncul dari tipe gerakan keagamaan yang demikian ini adalah adanya hambatan dalam berkomunikasi secara luas dengan masyarakat Islam lainnya. Otoritas Rifa’i yang sedemikian kuat dalam mengemukakan pandangan agama menjadikan murid-muridnya tidak dapat berfikir alternatif. Mereka kurang melakukan mobilitas ke luar dan bahkan sejak awal mengisolir diri dari kebudayaan kota. Situasi ini digambarkan oleh laporan berbagai pihak kepada penguasa kolonial yang menganggapnya sebagai pembawa ajaran Islam sesat dan menyalahkan orang Islam lain yang tidak masuk dalam kelompoknya. Jika pemerintah melihat fenomena gerakan Rifa’I sebagai bahaya laten yang sewaktu-waktu dapat mengobarkan semangat anti pemerintah. Maka kalangan birokrat Jawa (priyayi) menempatkannya sebagai sosok kiai yang perlu diwaspadai karena ajarannya yang cenderung menyalahkan orang Islam lainya. Selain itu pemikiran modern tidak dapat berkembang sejalan dengan tuntutan zaman karena keterpakuan kepada loyalitas lokal tanpa memiliki peluang untuk melakukan inovasi pemikiran. Namun demikian, sebagai gerakan yang selalu dihadapan pada berbagai tuduhan negatif, ia memiliki kemandirian dalam konsolidasi yang dibuktikan pada sejumlah pertemuan besar yang mereka selenggarakan dan penghimpunan dana untuk mencapai tujuan organisasi. Tipologi gerakan keagamaan yang bersifat tradisional tersebut pada dasarnya merupakan gerakan budaya yang bertujuan menciptakan isolasi kultural dengan kekuasaan atau protes secara diam (silent protest). Gerakan seperti ini merupakan konsekuensi logis dari ketidak berdayaan menghadapi kekuasaan secara terbuka atau merupakan alternatif lain dalam bentuk mobilisasi internal melalui kekuatan ajaran agama, kharisma tokoh dan solidaritas anggota-anggotanya.

Item Type: Thesis (["eprint_fieldopt_thesis_type_phd" not defined])
Uncontrolled Keywords: Gerakan Islam Abad 19
Subjects: Ilmu Agama Islam
Divisions: Pascasarjana > Disertasi > Ilmu Agama Islam
Depositing User: H. Zaenal Arifin, S.Sos.I., S.IPI.
Date Deposited: 07 Nov 2014 08:16
Last Modified: 07 Apr 2015 13:23
URI: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/14429

Share this knowledge with your friends :

Actions (login required)

View Item View Item
Chat Kak Imum