RETHINKING AL-AMR BI L-MA‘RUF WA N-NAHY ‘AN AL-MUNKAR: ETIKA POLITIK DALAM BINGKAI POST-ISLAMISME

DR. MOCH NUR ICHWAN, - (2011) RETHINKING AL-AMR BI L-MA‘RUF WA N-NAHY ‘AN AL-MUNKAR: ETIKA POLITIK DALAM BINGKAI POST-ISLAMISME. In: DINAMIKA KEBUDAYAAN DAN PROBLEM KEBANGSAAN: KADO 60 TAHUN MUSA ASY‘ARIE. LESFI, pp. 239-297.

[img]
Preview
Text
--Etika_Politik_Islam_Ichwan.pdf

Download (163kB) | Preview

Abstract

Ada perasaan sedih saat menangkap kesan ketidakpercayaan atau keheranan beberapa peserta workshop agamawan non-Muslim di Kaliurang pada paruh akhir dekade 2000-an terhadap presentasi saya yang mendiskusikan amar ma‘ruf dan nahy munkar dengan gambaran yang positif.1 Dalam bayangan mereka konsep ini terkait dengan penggunaan kekerasan atas nama agama, sebagaimana yang mereka lihat di televisi di mana sekelompok orang berbaju putih-putih dengan garang membawa pentungan, batu atau bahkan parang merusak kafe, restoran, atau hotel atau menyerang kelompok-kelompok keagamaan yang mereka pandang “sesat”. Dengan meneriakkan “Allahu akbar” mereka melakukan kekerasan. Saya tidak menyalahkan mereka itu, dan banyak orang lainnya, karena fakta itu memang ada, dan bahkan setelah Reformasi, fenomena ini menjamur di mana-mana. Saya sedih karena betapa ajaran profetik yang luhur ini telah dipahami oleh sebagian saudara seiman saya sebagai ajaran yang menghalalkan cara-cara kekerasan yang menurut standard etika publik tidak dapat diterima sebagai perilaku orang beriman. Bukan hanya non-Muslim, banyak orang tua Muslim pun khawatir terhadap gejala semacam ini, karena anak-anak mereka dapat saja beranggapan bahwa begitulah seharusnya Muslim yang baik, suka melakukan kekerasan. Ajaranajaran kebaikan dan akhlak luhur yang mereka ajarkan di rumah, atau diajarkan di sekolah, TPA dan masjid, rontok hanya karena melihat tayangan kekerasan di televisi-televisi, di koran dan di internet. Hal ini ditambah dengan “pembiaran” negara terhadap kasus-kasus kekerasan semacam itu. Intelejen dan polisi sudah mengetahui aksi-aksi kekerasan akan terjadi, namun mereka sebagai aparat berwenang tidak mencegah agar kekerasan ini tidak terjadi. Dan bahkan dalam sejumlah kasus terdapat indikasi adanya keterlibatan oknum aparat penegak hukum mendukung aksi-aksi semacam itu dari balik layar. Selain itu, tak sedikit tokoh agama yang ikut-ikutan melegitimasi penggunaan kekerasan sebagai tindakan yang “Islami”, dengan alasan adanya kemaksiatan di sana. Dengan retorika hiperbolik, mereka menggambarkan kondisi kemaksiatan sudah mengancam martabat manusia.2 Berbagai dalil atau dalih keagamaan mereka keluarkan untuk melegalkan tindak kekerasan itu. Seringkali kita mendengar khutbah, ceramah, atau wawancara di media di mana mereka memojokkan para Muslimin lain yang tidak bersikap seperti mereka sebagai orang-orang yang beriman lemah, dan sebagai para pendosa yang dapat menurunkan azab Tuhan dalam bentuk berbagai bencana. Ummat awam menjadi bingung sikap siapa yang sebenarnya ma‘ruf. Muncul kesan tidak sehat bahwa, dalam Islam, semakin religius seseorang semakin ringan pula dia melakukan kekerasan. Tentu ini tidak benar. Ada masalah pemahaman etika politik (al-akhlaq al-siyasiyah) di sini, dan oleh karena itu adalah penting untuk melihat konsep amar ma‘ruf dan nahy munkar (al-amr bi l-ma‘ruf wa n-nahy ‘ani lmunkar) dalam konteks etika politik. Etika politik bertujuan, sebagaimana dikatakan Ricoeur, untuk mengarahkan ke kehidupan yang baik, bersama dan untuk orang lain, dan dalam rangka memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi-institusi yang adil.3 Dalam konteks ini, saya berargumen bahwa sesungguhnya amar ma‘ruf dan nahy munkar itu adalah bagian dari “etika publik”, yang dipahami sebagai “etos, cara berada dan cara menilai yang khas pada suatu masyarakat yang tidak bisa disamakan dengan suatu doktrin atau agama tertentu, melainkan mengelompokkan atau menciptakan konvergensi di antara visi-visi yang berbeda tentang dunia. Etos ini yang memungkinkan pengambilan keputusan kolektif dan perundang-undangan. Ia mencakup tujuan, nilai dan norma tentang keadilan yang menjadi inspirasi baik praktik-praktik politik maupun institusi-institusi politik.”4 Oleh karena itu, ma‘ruf dan munkar bukanlah didefinisikan oleh agama, melainkan oleh “konvergensi di antara visi-visi yang berbeda tentang dunia”... “yang memungkinkan pengambilan keputusan kolektif dan perundang-undangan...” yang mencakup “tujuan, nilai dan norma tentang keadilan yang menjadi inspirasi baik praktik-praktik politik.” Ketika menyebut ma‘ruf dan munkar, saya merujuk kepada pengertian ini.5 Selain itu, saya akan membawa konsep ini dari paradigma Islamisme ke “post-Islamisme”, sebagaimana disarankan oleh Asef Bayat.

Item Type: Book Section
Subjects: Artikel Dosen
Divisions: Paper
Depositing User: Miftahul Ulum [IT Staff]
Date Deposited: 06 Jul 2015 11:31
Last Modified: 06 Jul 2015 11:31
URI: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/16226

Share this knowledge with your friends :

Actions (login required)

View Item View Item
Chat Kak Imum