STATUS HUKUM PEMBUNUH YANG DIBUNUH PERSPEKTIF ISTINBAT HUKUM IMAM SYAFI'I

SYARIF HIDAYAT NIM: 04370035, (2009) STATUS HUKUM PEMBUNUH YANG DIBUNUH PERSPEKTIF ISTINBAT HUKUM IMAM SYAFI'I. Skripsi thesis, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Full text not available from this repository.

Abstract

ABSTRAK Setiap perbuatan pidana pasti ada pertanggungjawaban pidananya, begitu pula dengan pembunuhan. Dalam hukum islam bagi pelaku pembunuhan maka dikenakan hukuman qisas atasnya yakni hukuman balasan. Dalam permasalahan tersebut tentu tidak ada masalah sejauh unsur moril (pelaku pidana), unsur materiil (tindakan pidana) dan unsur formil (hukum yang mengaturnya) masih ada atau besar kemungkinan bisa dijalankan. Akan tetapi bagaimana bila salah satu dari ketiga unsur tersebut telah tiada? Termasuk di antara adalah dalam kasus pembunuh yang dibunuh. Dalam kasus tersebut tentu terdapat pertanyaan bagaimana status hukum pembunuh yang dibunuh oleh pihak yang lain? Di mana dalam hal ini salah satu unsur pemidanaan yakni unsur moril (pelaku) yang pertama sudah tidak ada, padahal pelaku jarīmah adalah orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana terhadap jarimah yang dilakukannya. Lalu siapa yang harus bertanggung jawab terhadap perbuatan pelaku yang telah dibunuh tersebut? Padahal kita tahu bahwasanya tidak ada suatu perbuatan pidana pun yang luput dari hukuman, karena jika hal tersebut terjadi maka akan terjadi ketimpangan dalam penegakan syariat. Dalam mempelajari dan memahami bagaimana istinbat Imam Syafi'i guna menyusun skripsi ini, penyusun menggunakan pendekatan normatif karena menurut penyusun pendekatan inilah yang dianggap paling tepat. Menjawab pertanyaan tersebut, Imam Syafii yang dalam masalah ini yang mendasarkan istinbat status hukum pembunuh yang dibunuh pada al-Qur'an surat al-Isra ayat 33 dan al-Baqarah (2): 178 ber istinbat bahwa bagi yang membunuh pembunuh pertama maka hukumannya adalah dikembalikan kepada keluarga korban menghendaki qisas ataupun diyat. Sedangkan bagi pembunuh yang dibunuh, maka menurut Imam Syafi'i dikenakan hukuman diyat karena gugurnya qisas dikarenakan terbunuhnya pelaku sebelum hukuman dijalankan. Sedangkan Imam Syafi'i menyatakan bahwa diyat merupakan hukuman pengganti qisas apabila qisas itu gugur atau terjadi perdamaian. Akan tetapi apabila ahli waris korban atau wali korban pertama memaafkannya maka menurut pandangan Imam Syafi'i hakim sudah tidak berhak lagi menetapkan hukuman ta'zir. Diyat di sini bukan sebagai pelimpahan atau perwakilan dosa dari pelaku kepada ahli warisnya, karena dalam Islam tidak mengenal hal tersebut. Akan tetapi diyat di sini merupakan sebagai bentuk kewajiban dari ahli waris pelaku yang telah meninggal sebagaimana kewajiban membayar utang apabila pelaku telah tiada. Pada intinya menurut Imam Syafi'i semua ketentuan tentang hukuman bagi pelaku pembunuhan maka sanksinya adalah dikembalikan kepada ahli waris atau wali korban apakah mereka menghendaki qişâş atau diyat, begitu pula dalam kasus status hukum pembunuh yang dibunuh.

Item Type: Thesis (Skripsi)
Additional Information: Pembimbing : Drs. Makhrus Munajat, M. Hum. Ahmad Bahiej, S.H.,M.Hum.
Uncontrolled Keywords: Pembunuh, dibunuh, istinbat, Imam Syafi'i
Depositing User: Edi Prasetya [edi_hoki]
Last Modified: 04 May 2012 23:42
URI: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/2483

Share this knowledge with your friends :

Actions (login required)

View Item View Item
Chat Kak Imum