GENEALOGI MAKNA SEMANTIK KĀFIR: STUDI ATAS INTERPRETASI KATA KĀFIR DALAM AL-QUR’AN

Nafisatul Mu’awwanah, NIM. 17200010140 (2019) GENEALOGI MAKNA SEMANTIK KĀFIR: STUDI ATAS INTERPRETASI KATA KĀFIR DALAM AL-QUR’AN. Masters thesis, UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA.

[img]
Preview
Text (GENEALOGI MAKNA SEMANTIK KĀFIR: STUDI ATAS INTERPRETASI KATA KĀFIR DALAM AL-QUR’AN)
17200010140_BAB-I_ V_DAFTAR-PUSTAKA.pdf - Published Version

Download (8MB) | Preview
[img] Text (GENEALOGI MAKNA SEMANTIK KĀFIR: STUDI ATAS INTERPRETASI KATA KĀFIR DALAM AL-QUR’AN)
17200010140_BAB-II_sampai_SEBELUM-BAB-TERAKHIR.pdf - Published Version
Restricted to Registered users only

Download (19MB)

Abstract

Terdapat hubungan fundamental antara wahyu dan konteks yang meliputinya. Hubungan ini telah ada sejak masa pewahyuan, dan terus berlanjut melalui praktek dari komunitas-komunitas interpretatif. Di era pewahyuan, seringkali al-Qur‟an diturunkan dengan latar belakang sosio-historis tertentu. Begitupun di era interpretatif, berbagai pemahaman atas wahyu muncul dan berubah dengan latar belakang sosial-politik tertentu. Pemaknaan kata kāfir, yang merupakan salah satu istilah paling penting dalam al-Qur‟an, juga muncul dan berubah dipengaruhi oleh latar belakang sosial-politik tertentu. Untuk mengetahui kemunculan dan perubahan makna kāfir dalam al-Qur‟an, menurut Izutsu, terlebih dahulu harus bertolak dari era jāhiliyyah, karena struktur makna dalam bahasa Arab mulai dibangun dasar-dasarnya pada era itu. Tahap ini oleh Izutsu, disebut sebagai masa pra Qur’anik. Istilah kunci pada masa itu, selanjutnya oleh al-Qur‟an digunakan secara bersama-sama ke dalam suatu kerangka konseptual baru, yang oleh Izutsu tahap ini disebut sebagai masa Qur’anik. Selanjutnya, banyaknya kegiatan penafsiran yang muncul di kalangan umat Islam, menyebabkan berbagai pemahaman baru bermunculan, atau dalam bahasa Izutsu tahap ini disebut sebagai masa pasca Qur’anik. Kemunculan dan perubahan makna dari masa ke masa tersebut dipengaruhi oleh latar belakang sosial-politik yang bervariasi, atau dalam bahasa Foucault adalah terdapat genealogi kekuasaan. Bagaimana perubahan makna kāfir dari masa ke masa, serta latar belakang sosial-politik yang mempengaruhi perubahan inilah yang dicari dalam penelitian ini. Dari hasil penelitian, kāfir yang memilki makna dasar menutupi, dalam konteks individualistik dan tingginya semangat kesukuan masyarakat Arab pra Islam, dimaknai sebagai orang yang tidak berterimakasih. Ketika Islam datang, kāfir mengalami perubahan makna dari orang yang tidak berterimakasih menjadi; 1) Orang yang tidak bersyukur, dalam konteks risalah Nabi tentang ke-rubūbiyyah-an Tuhan dan keadilan hari akhir, 2) Para penyembah berhala, dalam konteks ajaran Nabi tentang ketauhidan, 3) Vis a vis dengan mu’min, dalam konteks umat yang mengalami intimidasi untuk tidak beriman kepada ajaran Nabi, 4) Orang-orang dengan perilaku munafik dan berkhianat, baik dari kalangan Ahl Kitāb maupun kalangan umat Islam, dalam konteks penghianatan mereka atas perjanjian yang dibuat bersama Nabi. Pada masa pasca Qur’anikawal, perubahan makna kāfir paling tidak dapat dilihat melalui tiga sekte keagamaan yang muncul di masa itu; 1) Ahl Sunnah yang terdiri; ulama hadis, karena sikap diamnya terhadap pemerintah, memaknai kata kāfir dengan pemaknaan yang apolitis. Selain itu ulama fiqih, karena keterlibatannya dalam pemerintah, memunculkan makna baru dari kata kāfir, seperti ahl żimmah yang merupakan warga negara kelas dua dalam sistem pemerintahan Islam. 2) Khawarij, yang merupakan oposisi dari pemerintah, memaknai kāfir sebagai pelaku dosa besar, termasuk juga pemangku dan pendukung pemerintahan, karena sebelumnya terlibat dalam tahkīm, dan juga mereka yang berada di luar sekte Khawarij. 3) Bagi sekte Syi‟ah yang bersikap diam terhadap pemerintah, memaknai kāfir dengan pemaknaan apolitis, sedang Syi‟ah yang berperan sebagai oposisi, memaknai kāfir sebagai orang yang tidak membaiat Ali dan keturunannya, serta perebut kekuasaan dari mereka. Perubahan makna kāfir semakin terlihat ketika dunia Islam memasuki konteks baru, yaitu konteks nation-state. Dalam konteks nation-state, ditemukan perubahan makna dari kata kāfir dalam kaitannya dengan status non-Muslim. Prinsip dari nation-state adalah kemerdekaan, persatuan, dan persamaan, sehingga penyebutan kāfir terhadap salah satu sekte dalam warga negara, termasuk non-Muslim adalah bertentangan dengan prinsip-prinsip nation-state.

Item Type: Thesis (Masters)
Additional Information: Dr. Munirul Ikhwan, Lc., MA
Uncontrolled Keywords: Wahyu dan kontek
Subjects: al Qur'an > Hermeneutika Al Qur'an
Divisions: Pascasarjana > Thesis > Hermeneutika Al Qur'an
Depositing User: Drs. Mochammad Tantowi, M.Si.
Date Deposited: 27 Dec 2019 16:12
Last Modified: 27 Dec 2019 16:12
URI: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/37134

Share this knowledge with your friends :

Actions (login required)

View Item View Item
Chat Kak Imum