%0 Journal Article %A Dr. Moch Nur Ichwan, Nur %D 2011 %F digilib:10273 %I LeSFI %J Dinamika Kebudayaan dan Problem Kebangsaan: Kado 60 Tahun Musa Asy‘arie %P 239-97 %T Rethinking al-Amr bi l-Ma‘ruf wa n-Nahy ‘an al-Munkar: Etika Politik dalam Bingkai Post-Islamisme %U https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/10273/ %X Musa Asy‘ari menyarankan bahwa etika politik harus dibarengi dengan penegakan hukum (rule of law). Ini penting agar etika dikawal oleh hukum, dan sebaliknya hukum dikawal oleh etika.59 Ini salah satu perspektif post-Islamisme yang penting. Penegakan hukum juga untuk mengeliminasi cara-cara premanisme dalam pelaksanaan amar ma‘ruf dan nahy munkar. Pembasmian tindakan kejahatan yang telah diatur dalam hukum dan perundang-undangan tidak dapat dilakukan secara individuindividu atau kelompok-kelompok masyarakat, karena akan terjadi “main hakim sendiri”; semuanya harus diserahkan pada mekanisme hukum yang berlaku. Dan atas tindakan main hakim sendiri, walau atas nama amar ma‘ruf dan nahy munkar, hendaknya diproses secara hukum yang berlaku. Penegakan etika yang berujung pada tindakan kriminal haruslah dibawa ke meja pengadilan.60 Di sini negara dituntut untuk menegakkan supremasi hukum. Oleh karena itu perlu menjaga menciptakan lembaga-lembaga hukum, dari polisi, jaksa sampai hakim dan mahkamah agung, yang kredibel, yang bersungguh-sungguh menegakkan hukum dan keadilan. Bukan lembaga-lembaga hukum abal-abal. Perundang-undangan yang belum mencerminkan keadilan dan kemaslahatan (ma‘ruf) secara akal sehat dan etika publik atau budaya kemanusian perlu direvisi, dan perundang-undangan baru yang mampua menjamin clean and good governance, dan kepastian hukum harus didorong keberadaannya. Perundang-undangan yang menyengsarakan rakyat dan lebih berpikah kepada pemilik modal dan mencerminkan neo-liberalisme harus direvisi atau dihapus. Ini semua terkait dengan amar ma‘ruf dan nahy munkar juga.