%A NIM. 08360010 H U S A I N I %T CAMBUK SEBAGAI BENTUK HUKUMAN(STUDI KOMPARATIF ANTARA QANUN ACEH DAN HUKUM ADAT ACEH) %X Pelaksanaan hukuman cambuk merupakan implementasi disahkannya sistem pemerintahan syari’at Islam di provinsi Aceh. Hukuman cambuk dipandang sebagai hukuman yang sebanding untuk menjalankan roda pemerintahan syari’at Islam, karena bernuansa Islami dan sesuai dengan aturan agama Islam. Hukuman cambuk dijatuhkan bagi pelanggaran tertentu yang diatur dalam Qanun Nomor 12 tentang Minuman Khamar (minuman keras) dan sejenisnya, Qanun Nomor 13 tentang Maisir (perjudian), dan Qanun Nomor 14 tentang Khalwat (mesum). Skripsi ini dilatarbelakangi oleh adanya pendapat pro dan kontra terhadap pelaksanaan hukuman cambuk. Hukuman cambuk dianggap melanggar hak asasi manusia serta merupakan hukuman yang kejam. Berbagai macam reaksi yang timbul di dalam masyarakat terhadap cambuk yang dijadikan sebagai alat pelaksanaan hukuman. Penelitian ini berangkat dari dua permasalahan yaitu; pertama, apa latar belakang cambuk dijadikan sebagai bentuk hukuman dalam penerapan syari’at Islam di Aceh? Kedua, bagaimana perbandingan hukuman cambuk menurut qanun Aceh dan Hukum adat Aceh?. Data penelitian ini penulis peroleh melalui library reseach (penelitian pustaka) dengan cara menelaah buku-buku, majalah, website, dan referensi-referensi yang relevan dengan permasalahan judul penelitian penulis ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hukuman cambuk telah membawa perubahan pada sistem peradilan di Aceh. Hal ini ditunjukkan dengan adanya lembaga baru yaitu Dinas Syari’at Islam yang bertugas sebagai lembaga pengawas serta sebagai eksekutor hukuman cambuk. Hukuman cambuk menjadi hukuman alternatif prioritas dalam penerapan syari’at Islam di provinsi Aceh dikarenakan pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Ketika itu Sultan Iskandar Muda pernah menghukum putera satu-satunya yang bernama (Meurah Pupok) dengan bentuk hukuman cambuk karena telah melanggar hukum dan adat Aceh yakni telah melakukan zina dengan salah seorang istri pengawal istana Sultan, sehingga akhirnya Sultan Iskandar Muda memutuskan untuk melaksanakan sendiri hukuman cambuk tersebut karena sesuai dengan perintah Allah Swt. yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an. Pelaksanaan hukuman cambuk di provinsi Aceh bila dilihat dari segi qanun Aceh dan hukum adat Aceh memiliki perbedaan, adapun perbedaan yang signifikan terdapat pada bentuk pelaksanaan ditengah-tengah masyarakat mengenai banyaknya jumlah cambukan yang dilakukan antara qanun Aceh dan hukum adat Aceh. Selain perbedaan jumlah cambukan, dalam kehidupan sosial masyarakat Aceh juga terdapat berbagai perbedaan pandangan dalam memahami hukuman cambuk itu sendiri. Masyarakat dan kalangan praktisi hukum menanggapi pro kontra terhadap pelaksanaan peraturan daerah (qanun) tersebut dinilai diskriminatif, karena hanya membidik masyarakat kecil. Oleh karena itu, sudah seharusnya elemen bangsa khususnya NAD mencarikan solusi yang ampuh untuk mencegah dan menanggulangi kejahatan dengan cara-cara yang tepat tanpa mengenyampingkan Adat kebiasaan masyarakatnya. %D 2012 %K hukuman cambuk, qanun aceh, hukum adat aceh %I PERPUSTAKAAN UIN SUNAN KALIJAGA %L digilib10606