@phdthesis{digilib12088, month = {October}, title = {MAJELIS BUKHOREN DI KASULTANAN NGAYOGYAKARTA HADININGRAT (Studi Living Hadis)}, school = {UIN SUNAN KALIJAGA}, author = {NIM. 10532026 HALIMATUS SA?DIYAH}, year = {2013}, note = {Pembimbing: Dra. Nurun Najwah, M.Ag,}, keywords = {Majelis Bukhoren}, url = {https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/12088/}, abstract = {Skripsi ini berjudul ?Majelis Bukhoren di Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (Studi Living Hadis)?. Topik ini penulis angkat karena ketertarikan penulis terhadap praktek Living Hadis, yaitu Majelis Bukhoren di Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat pada masa Sri Sultan Hamengkubuwono X. Majelis ini memiliki keunikan dibandingkan dengan lainnya yaitu seperti pengajian kitab Bukhori di pondok-pondok pesantren dan mujahadah Bukhoren di Kabupaten Magelang. Karena belum ada yang mengkaji kegiatan tersebut, maka penulis dalam penelitiannya fokus kepada alasan berdirinya, bagaimana pelaksanaan Majelis Bukhoren, dan model pemahaman Bukhori yang ada di majelis tersebut. Penulis menggunakan metode deskriptif eksplanatif, pendekatan fenomenologi, dan menggunakan teori Living Hadis dan lima komponen religi dari Koentjaraningrat untuk menggali data mengenai fenomena Majelis Bukhoren. Melalui dua teori ini penulis mengungkap dan menelusuri alasan para kyai dan ulama mengikuti Bukhoren, ajaran doktrin yang terkandung dalam Majelis Bukhoren, bentuk kegiatannya, peralatan dan peserta yang ikut di Majelis Bukhoren, dan bagaimana apresiasi umat Islam dengan hadis, khususnya hadis Bukhori di Majelis Bukhoren. Hasil dari penelitian ini, antara lain, pertama, praktek Majelis Bukhoren pada masa Sultan Hamengku Buwono X adalah diisi dengan para ulama membaca kitab hadis Shahih Bukhari, menguraikan hadis yang dianggap yang relevan untuk dibahas yang dibaca malam itu, beserta penjelasan hadisnya, lalu pihak kraton memberikan amanat kepada peserta Majelis Bukhoren. Kedua, Majelis Bukhoren didirikan karena terbatasnya waktu dan ruang yang dimiliki oleh Sultan Hamengku Buwono I untuk mengajarkan Islam ke seluruh rakyatnya, maka para penghulu (kyai dan ulama) diberi amanat menjadi penyambung lidah antara sultan dengan rakyat dalam mengajarkan Islam melalui Majelis Bukhoren. Ketiga, model pemahaman hadis para kyai di Majelis Bukhoren adalah pemaknaan secara kontekstual dan tidak ada satupun dari mereka yang menjelaskan seluk beluk perawi hadis yang mereka presentasikan.} }