@phdthesis{digilib12886, month = {June}, title = {DESTRUKSI KELUPAAN ADA (TELAAH KOMPARATIF PEMIKIRAN HEIDEGGER DAN SUHRAWARDI) }, school = {UIN SUNAN KALIJAGA}, author = { NIM. 08510025 MUHAMMAD ARIF }, year = {2013}, note = {Pembimbing: Dr. Fatimah, MA.,}, keywords = {DESTRUKSI KELUPAAN, Pemikiran Heidegger dan Suhrawardi)}, url = {https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/12886/}, abstract = {Metafisika merupakan tema yang seakan tidak pernah lekang dari filsafat. Abad filsafat adalah abad metafisika. Hanya saja, metafisika sebagai disiplin filsafat yang selalu berupaya mencari hakikat di balik penampakan telah banyak mendapatkan kritik dari banyak filosof. Adalah Aristoteles, filosof yang mengawali diri melakukan kritik terhadap metafisika. Aristoteles menyangkal metafisika Platonian yang memisahkan antara dunia ide dan dunia inderawi. Pada perkembangan berikutnya, kritik Aristolotes itu mendapatkan penyempurnaannya dari Hume dan Kant. Keduanya bersepakat bahwa rasio manusia memiliki keterbatasan dalam memperoleh pengetahuan di balik fenomena. Kritik metafisika yang dilakukan filosof-filosof tersebut, meskipun terkesan meyakinkan, pada dasarnya masih belum bisa keluar sepenuhnya dari jerat tradisi metafisika. Di tangan Heideggerlah, destruksi metafisika benar-benar mendapatkan titik terang. Filosof asal Jerman ini dengan penuh percaya diri mengklaim bahwa metafisika telah melupakan Ada. Oleh tradisi metafisika, Ada telah dikaburkan sehingga hanya menampakkan adaan/entitas dan bukan Ada. Sadar akan hal itu, Heidegger mengusulkan proyek destruksi kelupaan Ada yang berdasar pada Dasein (manusia). Melalui Dasein Heidegger berhasil menyudahi era kelupaan Ada yang masih berada dalam dimensi ontis untuk kemudian diganti dengan dimensi ontologis yang sepenuhnya berpijak pada relasi eksistensial-ontologis. Di dalam khazanah filsafat Islam, agaknya destruksi kelupaan Ada seperti yang dikonseptualisasikan Heidegger tersebut, diam-diam telah dimulai sejak abad ke-6 H/ke-12 M oleh Suhrawardi al-Maqtul dengan metafisika hudhuri. Contoh paling baik dari metafisika hudhuri ini adalah pengetahuan yang nyata bagi subjek (aku) yang menyetahui secara performatif dan langsung tanpa perantaraan definisi. Diktum keakuan performatif Suhrawardi tersebut dalam makna sejatinya telah memasuki dimensi ontologis-eksistensial (ready-to-hand). Tidak ada distansi antara ?keakuan performatif? dan ?diri?, karena relasi antara keduanya berlangsung secara ontologis-eksistensial atau dalam terminologi Suhrawardi disebut relasi iluminatif (idlafah isyraqiyah). Di titik ini diam-diam ternyata Suhrawardi telah melakukan proyek destruksi kelupaan Ada. Penelitian ini mengajak pembaca untuk menelusuri pelik-pelik perjumpaan filosofis antara Heidegger dan Suhrawardi tersebut. Dengan mengacu pada metode fenomenologi, interpretasi dan historis, penelitian ini menyingkapkan kesalingterkaitan dan tegangan-tegangan gagasan metafisis keduanya. Melalui tela?ah komparatif ini, diharapkan dapat merekonsiliasi sejarah pemikiran filsafat Islam yang masih terkesan terbiaskan. Menemukan dan meneliti lebih lanjut tentang perjumpaan pemikiran Suhrawardi dengan Heidegger tersebut tentu membuat penulisan sejarah filsafat Islam akan tampak problematis. Lewat penelitian ini penulis juga akan menunjukkan bahwa sosok Suhrawardi yang selama ini hanya dikaji oleh Islam Syi?ah dan nyaris tidak oleh aliran Islam yang lain, lantaran absolutisme pemikiran aliran, ternyata menyimpan motif-motif filsafat yang dapat disetarakan dengan filosof Barat kontemporer.} }