%A NIM. 09532017 ILZAM %O Pembimbing : Afdawaiza, M.Ag. %T HADIS-HADIS TENTANG KEIMANAN (STUDI KITAB QAMI’ AL-TUGYAN KARYA SYAIKH NAWAWI AL-BANTANI) %X Kajian studi hadis di Indonesia masih memiliki banyak hal untuk diekspolorasi lebih jauh. Sampai abad ke-20, studi hadis di Indonesia belum mendapatkan perhatian yang memadai. Di awal abad ke-19 lahirlah Syaikh Nawawi al-Bantani (1814-1897 M.). Ia merupakan seorang yang profilik (yang menulis banyak karya) yang menguasai banyak bidang keilmuan tradisional Islam pada zamannya, seperti teologi, fiqh, hadis, tata bahasa arab, tasawuf, retorika, dan tafsir. Salah satu kitabnya yang populer dan banyak dikaji di pesantren adalah Qami’ al-Tugyan. Ia merupakan kitab kecil yang berisi tentang cabang-cabang keimanan. Dalam beberapa hal ia juga bisa dikatakan sebagai sebuah kitab hadis, mengingat banyaknya hadis yang dijadikan landasan oleh Syaikh Nawawi dalam komentarnya. Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library reasearch) dengan menggunakan metode deskriptif-analitis. Pendekatan yang dipakai adalah historis. Dalam penelitian ini sumber primer yang digunakan adalah kitab Qami’ al-Tugyan. Penelitian ini ini berupaya untuk menelusuri karakteristik kitab tersebut dan melakukan kajian elementer terkait hadis hadis di dalmnya berikut pemahaman Syaikh Nawawi terkait hadis hadis yang tertuang di dalamnya. Hasil penelitian menunjukan bahwa dalam kitab Qami’ al-Tugyan, terdapat 102 hadits yang dijadikan sebagai materi oleh Syekh Nawawi dalam menjelaskan beberapa cabang keimanan yang 77 cabang. Berdasarkan penelusuran penulis, terdapat 16 buah hadis yang tidak memiliki sumber asalnya (la asla laha). Selain itu, terdapat empat metode pengutipan hadis yang diterapkan Syekh Nawawi: Pertama, hanya mengutip matan hadis tanpa menyebutkan mata rantai sanad. Kedua, mengutip matan hadis dan periwayat pertamanya saja. Ketiga, mengutip matan hadis dan periwayat terakhir (mukharrij ). Keempat, mengutip matan hadis serta periwayat pertama dan terakhir secara bersamaan. Seluruh hadis tersebut cenderung diposisikan oleh Syekh Nawawi sebagai sebuah ‚motto‛ untuk setiap cabang keimanan yang dijelaskan. Hal semacam ini bisa dikatakan merupakan kecenderungan kaum fuqaha yang lebih berkepentingan kepada daya pakai matan hadis sebagai hujjah syar’iyyah, berbeda dengan kecenderngan muhaddis\in yang menekankan kepada verifikasi histriografis. Ketika menjelaskan cabang keimanan yang tidak termasuk ke dalam aspek i’tiqady, seperti masalah etika dan fadail al- ‘amal, beberapa hadis yang berstatus da’if atau la asla laha dalam pandangan para kritikus hadis digunakan olehnya sebagai landasan argumentasi. Berbeda halnya ketika ia menjelaskan cabang keimanan yang bernuansa i’tiqady yang hanya bersandar pada ayat ayat Al-Qur’an atau setidaknya hadis yang sahih. %D 2014 %I UIN SUNAN KALIJAGA %L digilib14913