@unpublished{digilib1521, month = {August}, title = {TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP BEBAN CALON SUAMI DALAM ADAT SESERAHAN DI DESA MALAHAYU, KEC. BANJARHARJO, KAB. BREBES, JAWATENGAH }, school = {UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta}, author = { SYAEFUL BAKHRI - NIM. O2351168}, year = {2008}, note = {Pembimbing I : Hj. FATMA AMILIA, S.Ag., M.Si. ; Pembimbing II : UDIYO BASUKI, S.H., M.Hum.}, keywords = {Beban, Calon Suami, Adat}, url = {https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/1521/}, abstract = { ABSTRAK Apabila seseorang hendak kawin maka ia harus memenuhi beberapa rukun atau syarat, seperti masalah mahar yang harus ditunaikan calon suami kepada calon isteri sebagai kewajiban, Islam dalam pemberian mahar oleh calon suami kepada calon isterinya tidak menetapkan jumlah minimum dam maksimum. Hal ini disebabkan perbedaan tingkat kemampuan masing-masing orang, bahkan besar dan bentuk mahar senantiasa berpedoman kepada sifat kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan Islam, sehingga ketidak sanggupan mengenai besar dan bentuk mahar itu jangan sampai menjadi penghalang berlangsungnya perkawinan serta memberatkan calon mempelai pria. Dari paparan di atas, penyusun tertarik untuk melakukan suatu penelitian mengenai perkawinan adat di sebagian suku Sunda, khususnya di masyarakat Malahayu, Kecamatan Banjarharjo, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Di samping mas kawin, pihak laki-laki harus membawakan perabot rumah tangga yang meliputi seperangkat alat dapur lengkap, kursi dan meja ruang tamu, kursi dan meja ruang makan, dua almari, ranjang plus kasurnya, dan meja rias kamar tidur. Praktik ini yang penyusun dan masyarakat setempat kenal sebagai seserahan. Harta benda seserahan mengandung kemaslahatan untuk di kemudian hari, yakni agar kelak dalam berumah tangga (ketika sudah punya rumah sendiri) perabotan yang dibutuhkan sudah tersedia sebagaimana milik bersama suami isteri. Akan tetapi, seserahan ini dirasa memberatkan seorang laki-laki yang ingin berumah tangga, sehingga tidak sedikit pemuda lajang yang lewat umur atau tua belum menikah hanya karena alasan tidak adanya dana untuk seserahan. Jika kemampuan ditilik dari materi saja haruskah ia menunda terlebih dahulu keinginannya itu. Untuk memperoleh jawaban, penyusun menggunakan metode penelitian lapangan, yakni pengumpulan data dilakukan dengan dokumentasi dan interview untuk dapat menganalisa sejauh mana manfaat dan madarat dari adat seserahan tersebut. Datanya diperoleh melalui wawancara semi strucktured terhadap para pelaku adat, baik orang tua, pemuda dan tokoh mayarakat. Dari hasil wawancara tersebut kemudian dianalisis untuk ditarik pada kesimpulan. Penelitian yang digunakan bersifat deskriptif analitik, yaitu penelitian yang menyajikan, menguraikan, menganalisa, dan mengumpulkannya sebagai data dengan pendekatan normatif, yakni 'Urf. Adapun hasil penelitian ini adalah, seserahan dalam perkawinan merupakan adat yang tidak ditetapkan hukumnya oleh syara' dan tidak ada dalil yang melarang atau mewajibkannya. Dalam praktiknya, semakin hari jumlah harta benda dalam seserahan semakin meningkat, sehingga bagi sebagian masyarakat, adat seserahan tersebut sangat memberatkan, yang berdampak sulitnya melaksanakan perkawinan. Seserahan merupakan perkara yang bertentangan dengan Islam jika diukur dari keberatan dan kesulitan yang diakibatkannya, karena Islam menghendaki kemudahan bukan kesukaran atau memberatkan. } }