@phdthesis{digilib1557, month = {August}, title = {PERKEMBANGAN KEBUDAYAAN JAWA DAN SERAT PAMORING KAWULA-GUSTI; Perkembangan Kebudayaan Jawa}, school = {UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta}, author = { Drs. SIMUH}, year = {2008}, note = {\#CONTRIBUTOR\#}, keywords = { Perkembangan, Kebudayaan, Jawa, Serat, Pamoring, Kawula-gusti}, url = {https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/1557/}, abstract = { DESKRIPSI Suku bangsa jawa sebelum datangnya pengaruh agama Hindu mungkin belum mengenal tulisan. Namun demikian menurut penelitian ahli-ahli sejarah, kebudayaan Jawa dalam masa pra-sejarah ini telah mengalami perkembangan. Dalam ceritera Aji Saka datang ke Jawa, yang melambangkan masuknya pengaruh unsur-unsur kebudayaan Hindu (kebudayaan suku bangsa Scyth = Saka), dinyatakan bahwa pulau Jawa telah diperintah oleh raja yang kekuasaannya membentang sampai ke laut Selatan. walaupun peradaban negeri ini masih jauh lebih rendah peradaban suku bangsa Scyth (Hindu), dimana rajanya digambarkan masih suka makan daging manusia, namun ceritera itu menunjukkan bahwa suku bangsa Jawa dalam bidang politik/kenegaraan telah mengenal sistem kerajaann yang teratur dan luas daerah kekuasaannya. Dan demikian pula suku bangsa Jawa telah mengenal cara menenun pakaian, membuat rumah, bercocok tanam, dan sebagainya. Dalam bidang keagamaan, kepercayaan animisme-dinamisme telah berkembang menjadi sistem pemujaan terhadap ruh nenek-moyang dan pemujaan terhadap tempat dan benda-benda yang dianggap berkeramat (sakti). Disamping pemujaan terhadap ruh nenek-moyang yang memang telah mengakar dan mendasari tingkah laku keagamaan suku bangsa Jawa, diduga mereka telah mengenal pemujaan terhadap dewa-dewa. Dalam hal ini Prof. Dr. R.M. Ng. Poerbatjaraka menyatakan : Agaknya dapat dikira-kirakan, bahwa, tatkala memuncaknya perkembangan Jawa-Hindu, Tuhan orang Jawa tulen terdesak oleh Tuhan Orang Jindu..... Ketika kemudian pengaruh Indu makin berkurang, maka tuhan orang Jawa tulen muncul lagi dan ditempatkan di atas bathara Guru. Adanya kepercayaan pada dewa-dewa: sang hyang Tunggal, sang hyang Wenang, sang hyang Taya (Sunda teu ya = tidak ada) menurut R.M. Ng. Poerbatjaraka menunjukkan dewa-dewa jawa tulen, karena kata-kata itu asli Jawa. } }