@phdthesis{digilib16797, month = {June}, title = {KUOTA 30\% KETERWAKILAN PEREMPUAN DALAM JABATAN PUBLIK PERSPEKTIF ETIKA POLITIK ISLAM}, school = {UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA}, author = {NIM: 11370023 TRESIA FEBRIANI}, year = {2015}, note = {DR. H. M. NUR, S.AG., M.AG.,}, url = {https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/16797/}, abstract = {Affirmative action adalah langkah sementara yang digunakan untuk mencapai kesetaraan bagi kaum marjinal termasuk kesetaraan perempuan sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 28 H ayat (2) UUD 1945. Tindakan sementara dilaksanakan untuk meningkatkan keterwakilan perempuan khususnya di bidang politik. Allah telah menjelaskan bahwa kedudukan antara perempuan dan laki-laki adalah sama. Faktanya di Indonesia perempuan seringkali terpinggirkan dan akses menuju jabatan publik lebih sulit dibanding laki-laki. Sehingga pemerintah mengeluarkan kebijakan affirmative action dengan memberikan kuota 30\% keterwakilan perempuan. Namun kebijakan 30\% keterwakilan perempuan menjadi kontroversi. Perempuan menganggap angka 30\% menjadi tidak adil karena bagiannya lebih kecil dibanding laki-laki. Selanjutnya keterwakilan perempuan ini telah berjalan kurang lebih sepuluh tahun dan belum pernah terpenuhi dari awal pelaksanaannya. Apakah kuota 30\% menjadi jawaban keterwakilan perempuan? Etika apa yang digunakan oleh pemerintah dalam menetapkan angka 30\% keterwakilan perempuan dalam jabatan publik? Apakah angka 30\% menjadi kuota ideal bagi keterwakilan perempuan? Metode atau pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis yang berpijak pada Undang-undang yang berlaku serta tidak keluar dari bingkai hukum yang berlaku dalam membahas masalah yang akan dikaji. Pendekatan nomatif digunakan agar masalah-masalah dalam penelitian berada dalam lingkaran norma-norma dan kaidah agama, pengumpulan materi dari beberapa buku yanga terkait akan dijadikan referensi dalam penyusunan skripsi. Hasil penelitian adalah kuota 30\% keterwakilan perempuan sudah waktunya dievaluasi. Karena situasi dan kondisi perempuan di Indonesia membutuhkan peraturan khusus yang dapat menjamin keberadaannya dalam jabatan publik. Sistem kuota 30\% menjadi salah satu upaya untuk menjamin keberadaan perempuan. Namun selama sepuluh tahun kebijakan ini dilaksanakan belum pernah terpenuhi. Solusi dari kondisi tersebut adalah tidak perlu adanya kuota 30\% sebab, dengan adanya kuota 30\% fokus dari kebijakan tersebut adalah kuantitas bukan kualitas. Sehingga kuota yang tujuan awalnya menjadi peluang berubah menjadi sebuah paksaan.} }