%A NIM: 11370023 TRESIA FEBRIANI %O DR. H. M. NUR, S.AG., M.AG., %T KUOTA 30% KETERWAKILAN PEREMPUAN DALAM JABATAN PUBLIK PERSPEKTIF ETIKA POLITIK ISLAM %X Affirmative action adalah langkah sementara yang digunakan untuk mencapai kesetaraan bagi kaum marjinal termasuk kesetaraan perempuan sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 28 H ayat (2) UUD 1945. Tindakan sementara dilaksanakan untuk meningkatkan keterwakilan perempuan khususnya di bidang politik. Allah telah menjelaskan bahwa kedudukan antara perempuan dan laki-laki adalah sama. Faktanya di Indonesia perempuan seringkali terpinggirkan dan akses menuju jabatan publik lebih sulit dibanding laki-laki. Sehingga pemerintah mengeluarkan kebijakan affirmative action dengan memberikan kuota 30% keterwakilan perempuan. Namun kebijakan 30% keterwakilan perempuan menjadi kontroversi. Perempuan menganggap angka 30% menjadi tidak adil karena bagiannya lebih kecil dibanding laki-laki. Selanjutnya keterwakilan perempuan ini telah berjalan kurang lebih sepuluh tahun dan belum pernah terpenuhi dari awal pelaksanaannya. Apakah kuota 30% menjadi jawaban keterwakilan perempuan? Etika apa yang digunakan oleh pemerintah dalam menetapkan angka 30% keterwakilan perempuan dalam jabatan publik? Apakah angka 30% menjadi kuota ideal bagi keterwakilan perempuan? Metode atau pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis yang berpijak pada Undang-undang yang berlaku serta tidak keluar dari bingkai hukum yang berlaku dalam membahas masalah yang akan dikaji. Pendekatan nomatif digunakan agar masalah-masalah dalam penelitian berada dalam lingkaran norma-norma dan kaidah agama, pengumpulan materi dari beberapa buku yanga terkait akan dijadikan referensi dalam penyusunan skripsi. Hasil penelitian adalah kuota 30% keterwakilan perempuan sudah waktunya dievaluasi. Karena situasi dan kondisi perempuan di Indonesia membutuhkan peraturan khusus yang dapat menjamin keberadaannya dalam jabatan publik. Sistem kuota 30% menjadi salah satu upaya untuk menjamin keberadaan perempuan. Namun selama sepuluh tahun kebijakan ini dilaksanakan belum pernah terpenuhi. Solusi dari kondisi tersebut adalah tidak perlu adanya kuota 30% sebab, dengan adanya kuota 30% fokus dari kebijakan tersebut adalah kuantitas bukan kualitas. Sehingga kuota yang tujuan awalnya menjadi peluang berubah menjadi sebuah paksaan. %D 2015 %I UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA %L digilib16797