%A NIM: 10510012 Shohifur Ridho’i %O Dr. Robby H. Abror, M.Hum %T SUBYEKTIVITAS USTADZ SELEBRITIS DAN PRAKTIK KOMODIFIKASI AGAMA DI INDONESIADAN PRAKTIK KOMODIFIKASI A %X Tahun 1998 adalah momen yang menentukan di Indonesia. Tahun itu tak hanya menandai tumbangnya rezim Orde Baru yang telah berkuasa selama 32 tahun, tapi juga menjadi penanda bagi berlangsungnya panggung budaya populer serta gagasan “keterbukaan” yang mengisyaratkan pencerahan dan kesamarataan. Namun, pasca 1998 juga menyisakan paradoks-paradoks dalam diri manusia Indonesia yang oleh Ariel Heryanto disebut sebagai “mencairnya identitas”. Kebingungan eksistensial dan etikal yang terjadi pada diri subyek pasca 1998 merupakan konsekuensi logis dari derasnya narasi-narasi ideologis baik yang disuarakan oleh politik maupun agama. Pasca 1998 juga menghancurkan batas luar-dalam, publik-privat, fiksi-nyata, tradisional-modern, puritan-liberal, sakral-profan dan semacamnya, tetapi sekaligus mengeraskan batas-batas itu dalam konteks tertentu. Pasca 1998 juga menjadi perayaan atas kebangkitan Islam dan merebaknya wacana spiritualisme yang kebanyakan berbentuk terapi. Munculnya ustadz selebritis dalam khazanah ekspresi Islam Indonesia kontemporer adalah salah satu contoh bagaimana kebudayaan populer—dengan seperangkat ideologi yang dibawanya—mengambil kesempatan atas bangkitnya Islam pasca 1998. Fenomena ini tidak hanya menunjukkan bahwa Islam telah melakukan negosiasi dengan pasar dan selanjutnya dikampanyekan secara besar-besaran di ruang publik kita, tetapi juga sebagai bentuk ekspresi kebebasan di mana pada masa Orde Baru kekuatan dan potensi Islam direpresi oleh pemerintah. Fenomena tersebut merupakan salah satu bentuk “komodifikasi agama”, di mana simbol-simbol dan nilai-nilai agama dikomersialisasi untuk mendapatkan untung. “Komodifikasi agama” sendiri merupakan ideologi dalam bentuk termutakhirnya karena telah menjadi sebuah kesadaran yang tidak mampu lagi dipandang sebagai barang yang asing oleh subyek. Karena ideologi pada tingkatan termatangnya sudah tidak dipandang sebagai sebuah ideologi lagi, maka ia telah berubah menjadi seperangkat kesadaran kita lengkap dengan nilai-nilai yang ada di dalamnya. Kehadirannya dalam diri subyek tidak lagi disadari. Dengan begitu, proses dakwah yang berbaur dengan pasar tidak mungkin dilepaskan dari ideologi dominan itu. Kapitalisme memang cerdas menyusun kerangka ini melalui potensi yang dimiliki masyarakat, yaitu potensi konsumsi dan kegelisahan spiritualitas pada saat yang sama. Absurditas dalam semesta kapitalisme ini memang tidak kita sadari sebagai sebuah ideologi sebab kita menerima secara wajar. Budaya populer dan semangat kapitalisme ini juga melapangkan tabrakan-tabrakan, sebagaimana kita bisa melihat pada ustadz selebritis sebagai subyek yang terbelah dan bertabrakan: di satu sisi mengajak untuk berhemat dan membelenggu nafsu, namun di sisi lain giat mengkampanyekan pembebasan hasrat dengan mengajak membeli produk-produk kapital yang dipermak sedemikian rupa agar terlihat lebih syar’i dan islami. Kata kunci: ustadz selebritis, komodifikasi agama, budaya populer, ideologi. %K ustadz selebritis, komodifikasi agama, budaya populer, ideologi %D 2015 %I UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA %L digilib17358