@phdthesis{digilib17968, month = {July}, title = {KETENTUAN AQIQAH UNTUK LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN (STUDI KOMPARATIF ANTARA IMAM MALIK DAN IMAM ASY-SYAFI'I)}, school = {UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA}, author = {NIM. 03360226 REJAL MIFTAHUL FAJAR}, year = {2007}, note = {H. Wawan gunawan, S.Ag., M.Ag.}, keywords = {aqiqah,antara imam malik dan imam asy-syafi'i}, url = {https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/17968/}, abstract = {Aqiqah merupakan salah satu bentuk praktek ritual keagamaan di samping ritual lainnya seperti ziarah kubur, ibadah qurban dan ibadah lainnya yang merupakan institusi atau perwujudan dari Iman. Aqiqah cukup popular di tengah-tengah kehidupan masyarakat Indonesia. Perhatian masyarakat yang cukup besar terhadap ritual ini berdasarkan pada suatu pandangan, bahwa aqiqah merupakan ritual yang mendapat legitimasi syari 'ah Islam, sehingga kental dengan nilai Ubiidiyyah. pada ujungnya pandangan ini melahirkan ekspektasi terhadap pahala dan berkah, baik yang diterima oleh si bayi maupun orang tua. Ritual tersebut juga hikmah yang bersifat intrinsic sebagai pcndekatan (taqanub) kepada Allah dan juga mengandung instrumental sebagai usaha pendidikan pribadi dan masyarakat kearah komitmen atau pengikatan batin kepada amal sholeh. Para ulama' fiqh banyak yang membahas masalah ini, Antara lain menurut Imam Malik dan Imam Asy-Syafi'i sesuai dengan judul yang penyusun angkat. Tulisan ini berbeda dengan tulisan-tulisan yang sebelumnya karena disini juga memuat komparasi pendapat kedua Imam tersebut, kemudian dianalisa pendapat mana yang lebih rajih dan mana yang lebih relavan dengan konteks Indonesia. Aqiqah menurut kedua Imam tersebut hukumnya sunnah, namun dalam menetapkan ketentuan aqiqah Imam Malik berbcda dengan Imam Asy-Syafi'i. Imam Malik mengatakan bahwa aqiqah untuk bayi laki-laki dan perempuan adalah sama, artinya dengan menyembelih satu ekor kambing. Sedangkan Imam Asy-Syafi'i mengatakan bahwa ketentuan aqiqah untuk laki-laki dengan menyembelih dua kambing sementara aqiqah perempuan dengan menyembelih satu kambing. Hal ini mendorong penyusun untuk'menganalisis dengan metode komparasi, artinya membandingkan pendapat kedua imam tersebut serta argumennya dan mencermati pendapat mana yang lebih relavan. Dalam membahas masalah aqiqah, pendekatan yang penyusun gunakan adalah pendekatan ushul fiqh yakni khass muqayyad. Dengan menggunakan metode komparatif maka terungkaplah hahwa kedua Imam tersebut sama-sama merumuskan bahwa aqiqah adalah perbuatan yang disunnahkan, karena kedua Imam tersebut sama-sama berdasar pada hadis, namun berbeda dalam hadis yang digunakan dalam mengistibatkan hukum aqiqah. Dari rumusan pendapat yang ada, penyusun menyimpulkan pendapat Imam Malik yang mengatakan aqiqah laki-laki dan perempuan 1:1 lebih relavan dengan konteks Indonesia.} }