%A NIM: 01360632 KIFRALWI SUPARDA %O Drs. Ocktoberrinsyah, M.Ag, %T ISLAM DAN DEMOKRASI DALAM PANDANGAN MUHAMMAD 'ABID AL-JABIRI DAN ABU AL-A'LA MAUDUDI %X Akhir-akhir ini hampir semua orang menuntut demokrasi. Demokrasi secara tidak langsung telah dianggap sebagai suatu keniscayaan. Semua ideologi dan sistem pemerintahan yang telah ada selama ini seakan-akan telah takluk oleh kepcrkasaan dem'okrasi. Namun di batik keperkasaan demokrasi, ia masih menyimpan keraguan bagi beberapa kalangan, tcrutama umat Islam. Kecaman terhadap demokrasi sering mencuat di negeri yang mayoritas penduduknya Muslim. Kesan yang bisa ditangkap adalah Islam tidak cocok dengan demokrasi. Tapi apa benar demikian? Tak bisa ditampik bahwa Islam adalah agama yang Universal. Misi Islam melampaui batas-batas geografis dan budaya. Islam secara inhern mempunyai nilai sendiri mengenai segala sesuatu. Hal ini sekali lagi mengundang pertanyaan; apakah nilai-nilai Islam sejalan- untuk tidak dikatakan bertolak belakangdengan nilai-nilai yang diusung demokrasi? Dalam rangka berusaha menemukan jawaban atas permasalahan ini, penulis mencoba memperbandingkan pendapat dua tokoh yang cukup berpengaruh dalam konstelasi pemikiran politik un1at Islam dewasa ini. Mereka adalah Mu.Pammad • A bid al-Jabirl dari Maroko dan Abu alA'la Maududi dari anak benua India yang kini bemama Republik Islam Pakistan. Selain berusaha menemukan jawaban atas permasalahan yang telah lama mengganjal tersebut, penulis juga berusaha menemukan relevansi pcmikiran kedua tokoh untuk konteks kcindonesiaan sehingga karya ini bukan sekedar "melangit" saja tanpa ada fungsi dan sumbangan apa-apa bagi umat Islam Indonesia. Dcngan pendekatan historis dan politis yang digunakan, basil penelitian ini adalah: al-Jabiri memandang demokrasi merupakan suatu keniscayaan bagi negeri Arab (dan umat Islam pada umumnya), karena demokrasi merupakan suatu hal yang terbuka untuk difikirkan (qiibil li at-Tajkfr fih) . Islam bisa menerima demokrasi dcngan catatan bahwa demokrasi yang hendak diterapkan haruslah dilahirkan dari pengalaman kesejarahan umat Islam (bangsa Arab pada khususnya, urnat Islam pada umurnnya) sendiri, bukan mengambil begitu saja dari bangsa lain. Lalu Maududi memandang bahwa demokrasi bertentangan dengan Islam. konsep kedaulatan rakyat, yang merupakan inti demokrasi, dengan sangat jelas bertentangan dengan keyakinan Islam yang mengakui kedaulatan satusatunya hanyalah milik Allah. Tcrlepas dari perbedaan pendapat di atas, ketika melihat konsep syurii alJabiri dan Maududi sependapat bahwa sy urii hanyalah konsulta.si yang tidak mengikat; "Syfua lain, dcmokrasi lain". Untuk konteks keindonesiaan, pendapat al-Jabin bahwa dcmokrasi sepatutnya digali dari pengalaman kesejarahan bangsa Arab (atau bangsa manapun yang hendak menerapkannya), mendapatkan kontcksnya di Indonesia. Sedang pendapat MaudO.dl bahwa demokrasi sangat rentan terhadap penyelewengan. mcmang bertemu prakteknya di Indonesia. Namun seperti kata al-Jabin, ''tidak ada alternatif lain bagi kediktatoran dan tirani, selain dernokrasi," otornatis demokrasi tetap relevan bagi Indonesia. %D 2007 %I UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA %L digilib18154