@mastersthesis{digilib23087, month = {July}, title = {NALAR ISLAM KOSMOPOLITAN (STUDI PEMIKIRAN FETHULLAH G{\"U}LEN 1990-2004)}, school = {UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA}, author = {NIM. 1320511076 MUHAMMAD SAID}, year = {2016}, note = {Dr. Ustadi Hamzah, M.Ag}, keywords = {Genealogi, Kosmopolitan, Islam, Etika, Epistemologi.}, url = {https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/23087/}, abstract = {Modernitas dan globalisasi telah melahirkan perubahan sosial yang begitu cepat pada berbagai lini kehidupan manusia. Tak terkecuali dalam kehidupan beragama. Secara umum, modernitas dan globalisasi menghadirkan banyak problem bagi dunia Islam. Isu demokrasi, hak asasi manusia, pluralisme, multikulturalisme, kebebasan beragama, konflik antar ummat beragama, kemajuan teknologi dan informasi telah menempatkan ummat Islam pada situasi dan pilihan-pilihan yang dilematis. Akibatnya, ummat Islam mengalami gejala psikologis yang fragmentaris, memandang dunia sebagai sesuatu yang tak utuh, tak memiliki kontinuitas yang jelas, dan penuh dengan hal-hal yang serba paradoks. Pada titik ini, Islam sebagai way of life dipertanyakan perannya. Apakah Islam mampu survive mengalami gejala yang ada tanpa kehilangan identitas. Mungkinkah Islam di-reinterpretasi agar terbuka pada setiap perubahan. Perlukah merekonstruksi nalar/sistem pengetahuan Islam untuk menujukkan bahwa Islam mampu berkontribusi di tengah arus modernitas. Kegelisahankegelisahan itulah yang ingin dijelaskan penelitian ini melalui Nalar Islam Kosmopolitan Fethullah G{\"u}len. Kajian ini fokus pada dua aspek pemikiran G{\"u}len, yakni pemikiran etika dan epistemologinya. Penelitian ini merupakan kajian pustaka (Library research), tentunya buku-buku, artikel, jurnal, dan karya ilmiah lainnya menjadi sumber data dari penelitian ini, baik yang bersifat primer maupun sekunder. Penelitian ini mengunakan pendekatan filsafat, yakni meminjam teori moral kosmopolitan Immanuel kant, tindakan komunikatif Jurgen Habermas dan arkeologi pengetahuan Michel focault. Teori moral kosmopolitan Imanuel Kant digunakan untuk mendefiniskan ?Islam-kosmopolitan? sebagai sebuah paradigma etik, yang mengedepankan akhlak Islam, bukan formalisme Islam. Kemudian Teori tindakan komunikatif Jurgen Habermas digunakan untuk menganalisis bagaimana G{\"u}len menggunakan rasionalitasnya dalam mengkonstruksi konsep-konsep etika melalui ?linguistifikasi? ajaran normatif agama ke dalam tindakan sosial kolektif. Terakhir, teori arkeologi pengetahuan Michel Focault digunakan untuk melihat diskursus dan relasi kuasa dalam konteks Turki post-Usmani hingga fase modernisasi di mana G{\"u}len ikut terlibat di dalamnya. Dengan begitu, analisis diskursus dan relasi kuasa akan berfungsi untuk melacak jejak genealogis terbentuknya pemikiran dan struktur episteme Fethullah G{\"u}len. Berdasarkan hasil kajian terhadap nalar Islam kosmopolitan Fethullah G{\"u}len, dapat ditarik beberapa kesimpulan. Pertama, Islam kosmopolitan adalah corak Islam yang mengedepankan nilai etik-universal Islam, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan mencita-citakan perdamaian demi terciptanya tatanan dunia yang etik dan harmonis. Namun, upaya kosmopolitanisasi Islam oleh G{\"u}len hanya berhenti pada kritik terhadap kelompok radikal yang dianggap mempolitisasi agama. G{\"u}len mengabaikan struktur geo-politik, ekonomi-politik dan dominasi Barat atas timur yang turut memunculkan radikalisme di berbagai tempat, seperti yang ditulis Mahmood Mamdani dalam ?Bad Muslim Good Muslim? bahwa peran CIA sangat besar dalam kemunculan kelompok-kelompok radikal Muslim pasca perang dingin di Asis tengggra dan Africa. Kedua, dalam mengkonstruksi konsep etikanya, Fethullah G{\"u}len menggunakan rasionalitas ?kognitif-instrumental? untuk mengatasi situasi konflik di Turki dengan menciptakan diskursif keIslaman baru, yakni etika. Etika itu kemudian mewujud dalam gerakan hizmetnya dengan mengakomodir tindakan-tindakan individual yang bersifat teleologis ke dalam struktur tindakan sosial kolektif. Ketiga, konsep epistemologi Islam yang dibangun G{\"u}len bersifat hibrid, yakni melakukan sinergi antara nalar pencerahan dan metafisika Islam. Meskipun G{\"u}len mengkritik filsafat postivisme dan sekularisme, namun ia tidak mengkritik sains secara total. Ia bahkan mengambil bagian-bagian yang dianggap penting dari sains untuk merekonstruksi epistemologi Islam. Pada titik ini, G{\"u}len sebagai subyek memproduksi pengetahuan sekaligus kekuasaan. Pemikirannya terbentuk dari struktur elit, yakni dukungan para volunters kelas menengah yang mendanai agenda G{\"u}len movement dan mendirikan instasi- instasinya di berbagai negara.} }