@phdthesis{digilib25397, month = {March}, title = {AL-NASYR FI AL-QIRA'AT AL-'ASYR (Studi Kitab Karya Ibn al-Jazari tentang Kualifikasi Qira'at Sepuluh)}, school = {UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta}, author = {00530037 AHMAD DANIYAL FARIUS}, year = {2005}, note = {Drs. Muhammad Mansur, M.Ag. / Ahmad Rafiq, M.Ag.}, keywords = {AL-NASYR FI AL-QIRA'AT AL-'ASYR, Ibn al-Jazari, Qira'at Sepuluh}, url = {https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/25397/}, abstract = {Kitab al-Nasyar fi al-Qira'at al-'Asyar karya Ibn al-Jazari adalah kitab yang membahas tentang qira'at sepuluh. Salah satu faktor yang melatar belakangi penyusunan kitab ini adalah untuk menepis anggapan sebagian masyarakat bahwa hanya qira'at tujuhlah yang memiliki sanad yang sahih sedang yang selebihnya itu adalah syaz. Penulis mecoba mengkaji kitab ini ditinjau dari dua segi. Pertama, apa dasar Ibn al-Jazari dalam kualifikasi sepuluh qira'at sehingga harus diterima oleh umat Islam. Kedua, bagaimana hubungan sab'ah ahruf dengan perbedaan qira'at sepuluh yang dikualifikasikan Ibn al-Jazari dan konsep sinonimitas dalam al-Qur'an. Persoalan-persoalan tersebut akan diteliti dengan menggunakan metode deskriptif analitis, yaitu metode yang bertujuan untuk memecahkan masalah yang ada dengan analisa dan klasifikasi dengan obyek kajian primer, yaitu kitab al Nasyr fi al-Qira'at al-'Asyr karya Ibn al-Jazari, mengingat kitab ini merupakan kitab representatif dalam kualifikasi qira'at sepuluh. Dalam kualifikasi yang dilakukannya, Ibn al-Jazari menerapkan tiga syarat, yaitu kesesuaian qira'at dengan bahasa Arab, kesesuaian dengan rasm mushaf, dan kesahihan sanad. Namun dalam kesahihan sanad ini Ibn al-Jazari tidak menerapkan kriteria. mutawatir. Baginya jika kriteria ini diterapkan, maka justru akan menghapus banyak qira'at itu sendiri, termasuk qira'at tujuh. Sebuah qira'at yang memiliki sanad sahih, sesuai dengan mushaf dan bahasa Arab, maka dihukumi sebagai qira'at sahih yang harus diterima dan boleh dibaca dalam shalat, bahkan qira'at ini disertakan pula pada jajaran qira'at yang mutawatir, meskipun tidak sampai derajat mutawatir. Ibn al-Jazaii berasumsi bahwa qira'at mutawatir ataupun qira'at sahih tersebut sama-sama mengandung keyakinan dan kepastian. Dua hal inilah yang menjadi i'tibar dalam penerimaan sebuah qira'at. Dengan dasar ini Ibn al-Jazari termasuk ulama mutasahil dalam kualifikasi qira'at. Dalam memaknai sab'ah ahruf, Ibn al-Jazari menunjukkan bentuk perbedaan qira'at yang tidak lepas dari tujuh segi. Namun menurut Abu Syuhbah tujuh segi tersebut terlalu dipaksakan. Tujuh segi yang dipaparkan Ibn al-Jazari masih berpotensi mengalami penambahan ataupun pengurangan. Sab'ah ahruf sebenarnya tidak menunjukkan makna bilangan dalam arti yang sebenarnya. Ia mengisyaratkan adanya kemudahan dan kelonggaran dalam pembacaan al-Qur'an yang variatif. Bentuk kemudahan tersebut tidak lepas dari penggantian huruf, perubahan harakat, taqdim dan ta'khir, ataupun penambahan dan pengurangan, serta perbedaan dialek. Sab'ah ahruf dalam hadis Nabi saw. Tersebut tidak menunjukkan adanya sinonimitas dalam al-Qur'an sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian ulama. Sab'ah ahruf tersebut sebenarnya menunjukkan adanya lafaz mutabayin mutawasil dalam al-Qur'an. Hal inilah yang mengisyaratkan adanya potensi tafsir dalam qira'at sebagaimana yang diungkapkan oleh Arkoun.} }