@mastersthesis{digilib26455, month = {May}, title = {IZIN POLIGAMI DALAM MASA IDDAH ISTRI (TINJAUAN MA{\d S}LA{\d H}AH TERHADAP SURAT EDARAN NO: D.IV/ED/7/1979)}, school = {UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA}, author = {NIM. 1520310011 ACH ROSIDI JAMIL}, year = {2017}, note = {Dr. H. Agus Moh. Najib, M.Ag.}, keywords = {Surat Edaran Nomor D.IV/Ed/17/1979}, url = {https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/26455/}, abstract = {Ach. Rosidi Jamil 1520310011, Poligami dalam Masa Iddah Istri (Tinjauan Ma{\d s}la{\d h}ah Terhadap Surat Edaran Nomor D.IV/Ed/17/1979), Program Magister (S 2) Konsentrasi Hukum Keluarga Program Studi Hukum Islam pada Fakultas Syari?ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Mengacu pada Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu (iddah). Sedangkan bagi seorang laki-laki tidak ada ketentuan yang megharuskannya agar menjalani masa iddah. Sehingga aturan ini dapat dipahami bahwa laki-laki yang baru saja menceraikan istrinya boleh langsung menikah dengan perempuan lain. Padahal jika perceraian itu terjadi karena talak raj?i, suami masih dianggap punya ikatan dengan istri yang diceraikan itu. Oleh karenanya, jika sang suami ingin menikah dengan perempuan lain, dia diharuskan mengajukan permohonan izin poligami ke pengadilan. Karena jika tidak demikian, jika suami kembali kepada istri yang diceraikannya, sedangkan dia sudah menikah dengan perempuan lain, maka dia telah melakukan penyelundupan hukum. Dengan arti lain sang suami dapat beralasan bahwa tidak ada larangan bagi dia untuk kembali kepada istrinya. Padahal dengan demikian, sebenarnya dia telah berpoligami. Untuk menghindari persoalan tersebut, Dirjen Binbaga Islam Depag RI mengeluarkan Surat Edaran No. D.IV/Ed/17/1979 Tentang Masalah Poligami dalam Masa Iddah yang mengatur tentang diperlukannya izin poligami dari pengadilan dalam persoalan di atas. Oleh karena itu, surat edaran tersebut menjadi penting untuk dikaji dari perspektif ma{\d s}la{\d h}ah untuk kemudian dapat mengetahui kesesuaiannya dengan tujuan dalam hukum Islam. Dalam penelitian yang bersifat deskriptif analitis ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan normatif yang menggunakan sumber data primer dan sekunder. Sedangkan teori yang digunakan adalah teori ma{\d s}la{\d h}ahnya al- Gaz{\=a}li. Yang mana al-Gaz{\=a}l{\=i} meskipun termasuk ulama yang menerima ma{\d s}la{\d h}ah sebagai landasan hukum, dia tidak melepaskannya sama sekali. Berbeda dengan a{\d t}-{\d T}{\=u}f{\=i} yang menjadikan ma{\d s}la{\d h}ah sebagai landasan hukum yang mandiri. Berdasarkan metode penelitian dan teori yang digunakan di atas, akhirnya penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa: pertama, lahirnya Surat Edaran No. D.IV/Ed/17/1979 adalah karena pada saat itu tidak ada dasar hukum yang dapat dijadikan landasan hukum dalam persoalan perkawinan dalam masa iddah. Kedua, dalam tinjauan ma{\d s}la{\d h}ah, SE. No. D.IV/Ed/17/1979 adalah termasuk alma{\d s}la{\d h}ah al-murslah. Karena tidak didapati nas yang mendukung atau menolak diberlakukannya izin poligami dan dapat diberlakukannya waktu tunggu bagi lakilaki. Sedangkan berdasarkan skala kualitas ma{\d s}la{\d h}ah yang dikandungnya, surat edaran tersebut termasuk kategori al-ma{\d s}la{\d h}ah at-ta{\d h}s{\=i}n{\=i}. Karena ia hanya bermuatan dimensi etis saja. Sementara menurut cakupannya, surat edaran itu merupakan al-ma{\d s}la{\d h}ah al-aglabah. Karena hanya ditujukan kepada umat Islam. Oleh karena itu, berdasarkan klasifikasi tersebut jika mengacu pada ma{\d s}la{\d h}ahnya al-Gaz{\=a}li surat edaran itu tidak dapat dijadikan landasan hukum. Karena kualitas ma{\d s}la{\d h}ah yang dikandungnya hanya bersifat ta{\d h}s{\=i}n{\=i}. Sementara jika mengacu pada ma{\d s}la{\d h}ahnya a{\d t}-{\d T}{\=u}f{\=i} surat eadaran itu dapat menjadi landasan hukum. Karena bagi a{\d t}-{\d T}{\=u}f{\=i} ma{\d s}la{\d h}ah itu dapat menjadi landasan hukum yang mandiri, bahkan bagi a{\d t}-{\d T}{\=u}f{\=i}, ma{\d s}la{\d h}ah tersebut dapat didahulukan dari nas dan ijmak.} }